PENELITIAN SANAD DAN MATAN
HADIS
Siti Zakiyatul Islamiyah,
Nur Indah Rahmawati
PAI D semester III
Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
See the phenomenon that often occurs in people crowded lately, a
lot of disagreement among religious groups due to different guidelines used by
each of these groups. Hadith position as the second source of law after the
Qur’an. In fact, also has a major influence of the survival of the muslim.
Overal not have degrees shohih hadith, there are dho’if, even now rampant false
hadith as a source of law. Sanad and matan criticsm need to be done to identify
the truth of the hadith. Sanad and matan criticsm conducted to identify the
hadith, who origins are unknown clarity of truth. These things need to be done
because at the moment it is not possible to ask the problem directly to the
Prophet but to refer to the hadith and sunnah to avoid mistakes guided,
requires the criticsm of sanad and matan hadith, hadith to determine which ones
deserve to be hujjah
Keyword: hadith, criticsm,
sanad, matan
Pendahuluan
Hadis
adalah perkataan, perbuatan, serta taqrir Nabi Muhammad SAW. Hadis merupakan
pedoman kedua setelah AlQur’an yang merupakan dua pusaka peninggalan dari Nabi
Muhammad SAW. Selain itu, hadis juga memiliki fungsi sebagai penjelas AlQur’an.
Hadis bersumber dari Nabi Muhammad SAW lalu disampaikan kepada sahabat,
tabi’in, tabi’ut tabi’in, sampai kepada manusia hingga sekarang ini. Walaupun
terdapat dari segi penafsiran, keduanya tetap dijadikan sumber rujukan ajaran
islam. Oleh karena itu, kajian kajian atau penelitian penelitian terhadap
alqur’an dan hadis tidak akan pernah ada habisnya bahkan terus berjalan dan
berkembang seiring dengan kebutuhan umat islam.[1]
Hadis
memiliki tiga unsur pokok, yaitu sanad, matan dan perawi.[2]
Penyampaian hadis dilakukan oleh banyak perowi, yang mana diantara
perawi-perawi tersebut terdapat perawi yang lemah hafalannya, kurang ‘adil dan
lain sebgainya. Oleh karena itu, hadis ada yang memiliki kualitas shahih, hasan
dan dha’if. Suatu hadis dapat dikatakan shahih apabila memenuhi lima syarat,
yaitu perawinya dhabit, ‘adil, sanadnya bersambung, tidak terdapat syadz dan
tidak terdapat ‘illat. Apabila didalam hadis tersebut tidak memenuhi kriteria
yang telah ditentukan, maka hadis tersebut masuk kedalam kriteria hadis hasan
dan dhaif.[3]
Umat
islam melakukan segala bentuk aktivitasnya berpedoman pada alqur’an dan hadis.
Dalam ruang lingkup hadis, hadis yang digunakan diutamakan berkualitas shahih.
Untuk mengetahui kualitas suatu hadis, diperlukanlah adanya penelitian kritik
sanad dan kritik matan hadis.
A.
Kritik Sanad Hadis
1. Pengertian
Kritik Sanad
Sebagaimana
yang diketahui, khalayak ramai menilai kata kritik memiliki konotasi negatif,
karena pada umumnya kritik dikenal sebagai kegiatan yang dimaksudkan sebagai
upaya memberikan kecaman yang pada akhirnya dapat melahirkan pelecehan terhadap
eksisitensi hadis. Dalam terminologi ilmu hadits, istilah kritik justru
bermakna kebalikan. Kritik hadis dalam ilmu hadis merupakan sebuah upaya dalam
penyeleksian hadis. Untuk mengetahui keshohihan suatu hadis. Sedangkan sanad
sendiri berarti serangkaian perawi yang mentransmisikan hadis dari rosulullah
sampai kepada mukhorrij al hadis. Sanad sendiri memiliki dua bagian penting,
yaitu nama periwayat dan lambang periwayatan yang telah digunakan
masing-masing. Berdasarkan penjeleasan tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan
bahwa kritik sanad merupakan sebuah upaya untuk meneliti kebenaran seeluruh
jajaran perawi hadis dalam suatu jalur sanad, yang mencakup beberapa aspek,
diantaranya kebersambungan (muttashil), kualitas pribadi dan kapasitas perowi,
serta aspek syadz dan illatnya.[4]
Urgensi dari kritik sanad sendiri adalah untuk mengetahui derajat dari perowi
hadis serta memberikan keyakinan kepada orang islam dalam upaya merealisasikan
serangkaian ajaran agama dengan berpegang teguh pada hadis-hadis yang terbukti
keshohihannya dan meninggalkan hadis-hadis yang tidak bisa diterima sebagai
dasar agama..[5]
2. Sejarah
Kritik Sanad
Penelitian sanad
berlangsung dari generasi ke generasi, diantaranya:
a) Pada
Masa Rosulullah
Pada masa Rosulullah
kritik hadits berlangsung dengan sangat sederhana yaitu dengan cara konfirmasi
secara langsung. Sahabat yang hidup semasa dengan Rosulullah akan langsung
menanyakan apabila terdapat permasalahan. Dengan cara demikian sahabat secara
langsung dapat mengetahui valid dan tidaknya hadis yang mereka terima itu.
b) Era
Sahabat dan Sahabat Kecil
Kritik sanad pada masa
sahabat dan sahabat kecil dilakukan dengan cara lebih berhati-hati dalam menerima dan menolak sebuah periwayatan
hadits. Sebab pada masa sahabat mulai bermunculan hadis-hadis palsu, puncaknya
pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan syi’ah sengaja membuat-buat
hadis yang isinya terkesan memuliakan khalifah Ali.
c) Kritik
hadits pada masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in hingga pada masa kodifikasi
Pada era tabi’in dan
tabi’ut tabi’in banyak terjadi manipulasi hadis, sehingga menuntut para ulama
untuk lebih bersikap ekstra ketat dalam melakukan kritik hadist. Jika pada masa
sebelumnya kritik hadis dilakukan oleh ulama dalam suatu lingkup tertentu, maka
pada era ini, kritik hadis dilakukan tidak hanya dalam satu lingkup saja,
melainkan harus melalui rihlah ke berbagai pelosok daerah.
3. Metode
Kritik Sanad
Ulamahadissependapatbahwaadaduahal yang
harusditelitipadadiripribadiperiwayathadis,
yaknikeadilandankedabitan.Keadilanberhubungandengankualitaspribadi,
sedangkankedabitanberhubungandengankapasitasintelektual.Apabilakeduahalitudimilikiolehperiwayathadis,
makaperiwayattersebutdinyatakansebagaibersifattsiqqah,tsiqqahmerupakangabungandarisifatadildandabit
yang dimiliki perowi.[6]
1) Menelitikualitaspribadiperiwayat (adil)
seorangperiwayathadisharuslahmemilikisifatadil.
Kata adilberasaldaribahasaarab:adl. Arti kata
terebutsecarabahasaadalahpertengahan, lurus,
ataucondongterhadapkebenaran.Dalammemberikanpengertianistilahadil yang
berlakudalamilmuhadis, ulamaberbedapendapat.Keempatbutirsebagai criteria
periwayathadistersebutialah:[7]
a. beragamaislam
beragamaislammenjadisalahsatu
criteria keadilanperiwayatapabilaperiwayat yang
bersangkutanmelakukankegiatanmenyampaikanriwayathadis.
Untukkegiatanmenerimahadis, criteria tersebuttidakberlaku.
b. mukallaf
mukallafyakniballighdanberakalsehat,
merupakansalahsatu criteria yang harusdipenuhiolehseorangperiwayattatkaladiamenyampaikanriwayat.
Untukkegiatanpenyampaianriwayat, periwayattersebutdapatsajamasihbelummukallaf,
asalkansajadiatelahmumayyiz, yang
artinyadapatmemahamimaksudpembicaraandandapatmembedakanantarasesuatudengansesuatu
yang lain.
c. melaksanakanketentuan agama
melaksanakanketentuan agama
dalamartianteguhdalam agama, tidakberbuatdosabesar, tidakberbuatbidah,
tidakberbuatmaksiat, sertaharusberakhlaqmulia.
d. memeliharamuru’ah
muru’ahartinyakesopananpribadi
yang membawapemeliharaandirimanusia pada tegaknyakebiasaan moral
dankebiasaan-kebiasaan. Hal itudapatdiketahuimelaluiadatistiadat yang
berlakudimasing-masingtempat.
2)
Menelitikapasitasintelektualperiwayat (dabit)
Artiharfiahdabityakni: yang kokoh, yang kuat, yang tepatdan yang
hafaldengansempurna. Adapunmuhadisinmerumuskan, bahwasannyadabitadalah:
(a). hafaldengansempurnahadis yang diterimanya
(b) mampumenyampaikandenganbaikhadis yang
dihafalnyakepada orang lain
(c)mampumemahamidenganbaikhadis yang
dihafalnyaitu.
MenurutIbnHajar al Asqolani,
ada 5 hal yang merusakkedabitanseorangperawi, diantaranya:[8]
(a) dalammeriwayatkanhadis,
lebihbanyaksalahnyadaripadabenarnya
(b) lebihmenonjolsifatlupanyadaripadahafalnya
(c) riwayat yang
disampakanjugakerasmengandungkekeliruan
(d) riwayatnyabertentangandenganriwayat yang
disampakanoleh orang-orang yang tsiqqah
(e) jelekhafalannya,
walaupunadajugasebagianriwayatnyaitu yang benar.
Dalamhalini,
untukmengetahuiseorangperiwayatmemilikisifatadildandabitatautidak,
diperlukanseperangkatilmu yang disebutdenganilmujarhwata’dil yang
didefinisikanoleh Muhammad Ajjaj al Khatibsebagaiilmu yang
membahaskeadaanparaperawihadisdarisegiditerimaatauditolaknyaperiwayatanmereka.
3) Meneliti
Persambungan Sanad (ke-muttasil-an)
Dalam meneliti
ke-muttasil-an sanad, ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu:[9]
(a)
Lambang-lambang metode periwayatan
Lambang-lambang atau lafal yang digunakan dalam periwayatan
hadis ialah bermacam-macam, misalnya sami’tu, sami’na, haddasani, haddasana,
dianggap memiliki tingkat akurasi yang tinggi karena adanya relasi langsung
antara periwayat.
(b)
Hubungan periwayat dengan metode periwayatannya
Untuk mengetahui bersambung atau tidak bersambungnya
suatu sanad, maka hubungan antara periwayat dan metode periwayatan yang
digunakan juga perlu diteliti. Karena tadlis masih mungkin terjadi pada sanad
yang dikemukakan oleh periwayat yang siqah, maka ke-siqah-an periwayat dalam
menggunakan lambang metode periwayatan perlu diakukan dengan cermat.
4) Meneliti
Syuzuz
Pendapat sebagian besar ulama hadis mengatakan, syuzuz didefinisikan
kedalam tiga bagian:[10]
(1)
hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang siqqah tetapi riwayatnya bertentangan
dengan dengan riwayat lain yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang siqah
juga. Pendapat ini dikemukakan oleh imam syafi’i.
(2) hadis
yang diriwaytkan oleh perawi yang siqqah tetapi orang-orang siqqah yang lainnya
tidak meriwayatkan hadis itu. Pendapat ini dikemukkan oleh Hakim al Naisaburi.
(3)
hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatnya bersifat siqqah
maupun tidak siqah. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Ya’la alKhalili.
5)Meneliti Illat
Illat
menurut etimologi berarti penyakit, menurut terminologi illat berarti sebab-sebab
tersembunyi yang menyebabkan rusaknya keshahihan hadis yang secara lahir tampak
shahih.[11]
Klasifikasi as suyuthi mengenai illat:[12]
1)
Sanad tersebut secara
lahir tampak shohih, namun ternyata didalamnya terdapat seorang perawi yang
belum mendengar langsung hadis dari gurunya. Misalnya hadis yang diriwayatkan
oleh Musa ibn Uqbah dari suhail ibn Abi Sholih dari ayahnya Abu Hurairah dari
Nabi SAW bersabda:
لااله إلا أنت أستغفرك سبحانك اللهم وبحمدك وأتوب إليك، الا
غفرله ما كان فى مجلسه ذلك
AlBukhori mengomentari
hadits tersebut sebagai hadits yang cacat, karena Musa bin Uqbah tidak
mendengar sendiri haditsnya tersebut dari Suhail. Sanadnya terputus antara Musa
dan Suhail.
2) Sanad
hadis tersebut mursal dari seorang rowi yang tsiqqah dan hafidz, padahal secara
lahir nampak shohih. Contoh hadis yang diriwayatkan oleh Qubaish ibn Uqbah dari
Sufyan dari Khalid al hadza dan Ashim dari Abu Qilabah dari Annas yang diriwayatkan
secara marfu’:
ارهمامتى ابو بكر واشدهم في
دين الله عمر واصدقهم حيأعثمان واقرؤهم ابي بن كعب واعملهم بالحلال والحرام ومعاذ
بن جبل وان لكل امة امينا وان امين هذاالامة ابو عبيدة
3) Hadits
tersebut mahfudzh dari sahabat, dimana sahabat ini meriwayatkan dari sahabat
lain yang berlainan negeri. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh ulama madinah
dari ulama kuffah. Sebagai contoh adalah hadis yang diriwayatkan oleh Musa Ibn
Uqbah dari Abu Ishak dari Abu Burdah dari ayahnya secara marfu’:
اني لاستغفرالله واتوب اليه
في اليوم مائة مرة
Al Hakim menyatakan, jika
orang madinah meriwayatkan hadis dari ulama kufah, maka hadisnya dihukumi
terbuang. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan negeri itu sangat
memungkinkan tidak adanya pertemuan secara langsung diantara mereka.
Penelitian sanad secara
prosedural bisa dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:[13]
a) Melakukan
takhrij hadits berdasarkan penggalan lafadz hadits. Hal ini dapat dilakukan
dengan menggunakan kitab kamus hadits, seperti al mu’jam al mufahras li al
fadz al hadis an nabawi untuk penelusuran berdasarkan penggalan lafadz
hadis. Untuk penelusuran berdasarkan topik hadis dapat menggunakan kitab kamus
hadis yaitu miftah kunuz al sunnah.
b) Menelusuri
letak hadis pada kutubu tis’ah berdasarkan infomasi yang telah diperoleh
c) Menulis
hadis lengkap dengan sand, matan, dan perowinya
d) Menyusun
silsilah sanad dan rowi hadis
e) Meneliti
kebersambungan sanad hadis berdasrakna biografi perowi
f) Meneliti
keadilan dan kedhabitan perawi berdasarkan nilai al jarhu wa al ta’dil
g) Mengambil
kesimpulan sementara tentang nilai hadis
B.
KritikMatanHadits
1.
Pengertian Kritik Matan
Kritik matan sering juga
disebut kritik intern (al-naqd al-dakhili). Kritik matan dilakukan untuk
mengetahui apakah hadis tersebut mengandung berupa syadz atau illat. Kritik
matan hadis ini di pahami sebagai upaya untuk menguji keabsahan matan hadis,
yang dilakukan untuk memisahkan antara matan hadis yang shahih dan yang tidak
shahih. Oleh karena itu, kritik hadis itu tidak bermaksud untuk mencari
kelemahan sabda Rasulullah, namun mengarah pada telaah redaksi dan makna guna
menetapkan keabsahan hadis.[14]
2.
Sejarah kritik matan
Penelitian matan dalam
setiap generasi yang dimulai dari masa Rasulullah SAW hingga masa ulama yakni sebagai
berikut:[15]
a.
Kritik matan hadis masa
Rasulullah saw
Ketika Rasulullah masih,
kritik matan berjalan dengan baik dan dalam bentuk sederhana. Tujuan yang ingin
dicapai adalah menguji kebenaran berita yang disandarkan kepada Rasulullah saw.
Adapun bentuknya adalah (1) konfirmasi; (2) klarifikasi (tabayun); dan
(3) kesaksian (testimony) membuktikan atas sesuatu yang telah diperbuat
oelh Rasulullah SAW.
b.
Kritik matan masa sahabat
Setelah Nabi Muhammad saw
wafat, maka kemungkinan untuk melakukan cek hadis sudah tidak mungkin lagi.
Musfir Azmillah al-Damani menyebutkan tiga pilar utama cara sahabat menilai
suatu matan hadis, yaitu tidak bertentangan dengan al-Qur’an, tidak
bertentangan dengan hadis lain dengan cara membandingkan dengan riwayat lain,
melalui ijtihad dengan penalaran nalar sehat.
c.
Kritik matan masa Tabi’in
Pada masa ini, penelitian
matan hadis telah berkembang. Para tabi’in menggunakan cara mu’aradhah untuk
meneliti matan hadis. Cara ini sangat efektif untuk menyamakan konsep yang yang
menjadi muatan suatu matan hadis agar tetap terpelihara kebenarannya. Selain
itu, menggunakan media al-Qur’an dan pendekatan historis dalam artian penyamaan
dengan sejarahnya.
d.
Kritik matan hadis masa
ulama hadis
Ulama hadis telah
mempermudah upaya penelitian hadis. Secara singkat, berbagai pendapat ulama
dapat diringkas dalam prinsip pokok yang dipegangi jumhur ulama, yaitu:
1. Tidak
bertentangan dengan al-Qur’an
2. Tidak
bertentangan dengan hadis mutawatir yang statusnya lebih kuat atau sunnah yang
lebih masyhur atau hadis ahad
3. Tidak
bertentangan dengan ajaran pokok Islam
4. Tidak bertentangan
dengan sunnatullah
5. Tidak
bertentangan dengan fakta sejarah Rasulullah saw.
6. Tidak
bertentangan dengan indera, akal, kebenaran ilmiah atau sangat sulit
diinterpretasikan secara rasional.
3.
Tata cara dan metode
kritik matan
Sebagaimana yang telah
diketahui, hadis shahih adalah hadis yang memenuhi 5 syarat, yaitu sanadnya
bersambung, perawinya bersifat ‘adil, perawinya dhabit, tidak terdapat syadz
dan tidak terdapat illat. Ketiga syarat pertama khusus untuk kriteria sanad,
sedangkan kriteria matan terdapat dua syarat, yaitu tidak terdapat syadz dan
tidak terdapat illat. Penelitian aspek syadz dan illat yang ada pada matan
hadis lebih sulit dibandingkan dengan penelitian aspek syadz dan illat yang ada
pada sanad hadis. Dinyatakan seperti itu dikarenakan belum ada kitab yang
khusus membahas matan hadis yang mengandung syadz dan illat. Sedangkan kitab
yang membahas illat hanya membahas illat yang ada pada sanad hadis saja. Para
ulama menetapkan berbagai syarat untuk melakukan penelitian matan hadis. Menurut
al-Khatib, seseorang boleh melakukan penelitian matan hadis apabila ia telah
memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang agama Islam, telah belajar
hadis yang cukup, dan memiliki akal yang cerdas sehingga mampu memahami hadis
secara benar, serta memiliki wawasan ilmu yang tinggi. Penelitian matan hadis
ini mengacu pada terhindar dari syadz dan illat.
a.
Terhindar dari syadz
Syadz pada matan hadis
diartikan sebagai adanya pertentangan atau ketidak sejalanan riwayat seorang
perawi dengan seorang perawi yang lebih kuat hafalannya dan ingatannya.[16]
Pertentangan dan ketidak sejalanan tersebut dalam hal penukilan hadis, sehingga
terjadi penambahan, pengurangan, perubahan tempat (maqlub) dan berbagai
bentuk kelemahan dan cacat lainnya. Beberpa contoh mengenai syadz diantaranya :
1) Sisipan
teks hadis (al-idraj fil matn)
Mudraj matn dipahami
sebagai ucapan sebagian perawi dari kalangan sahabat atau generasi sesudahnya,
dimana ucapan tersebut kemudian disambungkan dengan matan hadis yang asli,
sehingga sulit membedakan antara matan yang asli dengan matan yang telah
tersisipi dengan ucapan selain hadis. Penyisipan pada matan bisa terjadi di akhir,
ditengah atau diawal matan.[17]
Contoh :
حدثني ابو الطاهر احمد بن عمرو بن
عبد الله بن عمرو بن سرح اخبرنا ابن وهب قال اخبرني يونس عن ابن شهاب قال حدثني
عروة بن الزبير ان عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم اخبرته انها قالت كان اول
ما بدئ به رسول الله صلى الله عليه و سلم من الوحي الرؤيا الصادقة في النوم فكان
لا يرى رؤيا الا جائت مثل فلق الصبح ثم حبب اليه الخلاء فكان يخلو بغار حراء يتحنث
فيه وهو التعبد الليالي اولات العدد قبل ان يرجع الي اهله. مسلم
Lafad yang disisipkan
dalam matan hadis tersebut adalah wa huwa al ta’abbud yang aslinya
adalah ungkapan dan tafsiran pada lafad yatahannath menurut al zuhri.
Dengan demikian telah ada idraj yaitu adanya cacat pada matan hadis.
2) Memiliki
kualitas sama dan tidak bisa diunggulkan salah satunya (idhtirab fi al-matn)[18]
Mudtarib dapat dipahami
sebagai hadis yang diriwayatkan dari seorang perowi atau lebih dengan beberapa
redaksi yang berbeda dengan kualitas yang sama. Hal ini sering terjadi pada
sanad dan jarang terjadi pada matan. Contoh :
حدثنا محمد بن عبد الرحيم حدثنا
معاوية بن عمر وحدثنا زائدة عن الأعمش عن مسلم البطيني عن سعيد بن جبير عن ابن
عباس رضي الله عنهما قال جاء رجل الي النبي صلي الله عليه و سلم فقال يا رسول الله
ان امتي ماتت وعليها صوم شهر افأقضيه عنها قال نعم قال فدين الله احق ان يقضي .
مسلم
Hadis ini dinyatakan telah
terjadi idhtirab oleh al A’mas. Menurut nya telah terdapat sekelompok
perawi yang mentransmisikan hadis ini dari jalur sanad Ibn Abbas dengan redaksi
sebagai berikut :
عن ابن عباس قالت امرأة للنبي صلي
الله عليه وسلم ان اختي ما تت وعليها صيام
Namun, diantara sebagian
perawinya mentransmisikan hadis ini dari Ibnu Abbas dengan redaksi :
عن ابن عباس قالت امرأة للنبي صلي
الله عليه و سلم ان امي ماتت و عليها صوم نذر
Dari
kedua hadis tersebut, dapat dipahami bahwa mudhtarib terletak pada adanya
perbedaan ungkapan ummi dan ukhti, sementara kedua hadis tersebut memiliki
kualitas yang sama dan tidak dapat di unggulkan salah satunya.
3) Kesalahan ejaan (al-tashhif wa al tahrif fil matn)
Tashhif adalah kesalahan yang
terjadi pada syakalnya, sedangkan tahrif adalah kesalahan yang terjadi pada
letak hurufnya.[19] Contoh
hadis yang mengalami tashhif adalah :
من صام رمضان و اتبعه شيئا من
شوّال فكانما صام الدهر كله
Sedangkan hadis yang shahih
adalah :
حدثنا احمد بن منيع حدثنا ابو
معاوية حدثنا سعد بن سعيد عن عمر بن ثابت عن ابي ايّوب قال قال النبيّ صلي الله
عليه وسلم من صام رمضان ثم اتبعه يتا من شوّال فذلك صيام الدهر. الترمذي
Tashif terjadi pada matan hadis
tersebut adalah lafadz sittan menjadi syai’an yang dilakukan oleh
abu bakar as shauli. Adapun contoh hadis yang mengalami tahrif adalah:
رمى اُبَيْ يوم الاحزاب علي اكحله
فكواه رسول الله صلي الله عليه وسلم
Kalimat ubay pada hadis
tersebut mengalami tahrif menjadi kalimat abiy sehingga redaksi matan
nya adalah :
رمى ابِيْ يوم الاحزاب علي اكحله
فكواه رسول الله صلي الله عليه وسلم
a.
Terhindar
dari illat
Illat
pada matan adalah suatu sebab yang tersembunyi yang terdapat pada matan hadis
yang secara lahir tamapak berkualitas shahih. Sebab tersembunyi dapat berupa
masuknya redaksi hadis lain terhadap hadis teretentu atau redaksi yang dimaksud
bukan lafad yang menunjukkan hadis rasulullah sehingga akhirnya matan tersebut
sering menyalahi nash yang lebih kuat.[20]
Menurut As Salafi kriteria dan
cara untuk mengetahui illat pada matan adalah :
1.
Mengumpulkan
hadis yang semakna dan membandingkan sanad dan matannya sehingga diketahui
illat yang ada didalamnya.
2.
Jika
seorang perawi riwatnya bertentangan dengan yang lebih tsiqah darinya maka
perawi tersebut dinilai ma’lul.
3.
Melalui
penyeleksian seorang syaikh bahwa dia tidak pernah menerima hadis yang
meriwayatkannya, atau dengan kata lain hadis yang diriwayatkannya itu
sebenarnya tidak pernah sampai kepadanya.
4.
Seorang
perowi tidak pernah mendengar (hadis) dari gurunya secara langsung.
5.
Hadis tersebut bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah perowi yang siqqah
6.
Adanya
keraguan bahwa tema hadis tersebut berasal dari Rosulullah
7.
Hadis
yang telah dikenal oleh sekelompok orang, kemudian datang seorang perowi yang
haditsnya menyalahi hadits yang telah mereka kenal, maka hadis yang dikemukakan
itu disebut hadis yang memiliki cacat.
Melihat dari kriteria tersebut,
menyatakan bahwa penelitian terhadap illat pada matan hadis itu sangat sulit
dilakukan kecuali oleh peneliti yang benar benar terlatih melakukan penelitian
hadis.
Tahapan tahapan dalam penelitian
matan adalah sebagai berikut:
a)
Membandingkan
hadis dengan ayat alqur’an yang sesuai
b)
Membandingkan
hadis yang diteliti dengan hadis yang lain yang shohih atau yang lebih shohih
c)
Membandingkan
hadis dengan fakta sejarah
d)
Membandingkan
hadis dengan perkembangan ilmu pengetahuan
e)
Mengambil
kesimpulan sementara mengenai nilai matan hadis
a. Kitab-kitab syarh hadis dan Tafsir al-Qur’an
b. Kitab-kitab yang membahas gharib al hadis, asbab
al-wurud, mukhtalif al hadis, fiqh
al-hadis, dan mustalah al-hadis
c. Kitab sejarah Nabi Muhammad saw dan sejarah Islam
d. Kitab-kitab ilmu kalam
Kesimpulan yang di
perolehdaripenelitianhadisadalahhadistersebutmaqbul (diterima) ataumardud(ditolak).[22]
DAFTAR
RUJUKAN
Rosidin,
Mukarom Faisal, 2013, Menelaah Hadis 1, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri
Suryadilaga,
Muhammad Alfatih, 2009, Metodologi Penelitian Hadis, Yogyakarta:
TH-Press
Suparta,
Munzier, 2002, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Abdurrahman,
Muhammad, 2011, Metode Kritik Hadits, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sumbulalah,
Umi, 2008, Kritik Hadis, Malang: UIN-Malang Press
KESIMPULAN
Kritik
sanad merupakan sebuah upaya untuk meneliti kebenaran seeluruh jajaran perawi
hadis dalam suatu jalur sanad, yang mencakup beberapa aspek, diantaranya
kebersambungan (muttashil), kualitas pribadi dan kapasitas perowi, serta aspek
syadz dan illatnya. Adapunurgensi kritik sanad ini adalah untuk mengetahui
derajat dari perowi hadis srta memberikan keyakinan kepada orang islam dalam upaya
merealisasikan serangkaian ajaran agama dengan berpegang teguh pada hadis-hadis
yang terbukti keshohihannya dan meninggalkan hadis-hadis yang tidak bisa
diterima sebagai dasar agama. Sedangkan kritik matan sendiri dapat dipahami
sebagai upaya untuk menguji keabsahan matan hadis, yang dilakukan untuk
memisahkan antara matan hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Oleh karena
itu, kritik hadis itu tidak bermaksud untuk mencari kelemahan sabda Rasulullah,
namun mengarah pada telaah redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan hadis.
Perkembangan kritik sanad dan matan dari generasi ke
generasi jelas sangat berbeda, memiliki metode masing-masing sejak zaman
rasulullah hingga masa kodifikasi. Semakin berkembanganya zaman, semakin ketat
pula penelitian yang dilakukan untuk menentukan keabsahan hadis yang layak
dijadikan hujjah. Ulama muhaditsin mengungkapkan beberapa metode dan tata cara
untuk melakukan kritik sanad dan matan, yang keseluruhannya dapat ditarik
kesimpulan bahwa hadis dapat dikategorikan shahih apabila baik sanad maupun
matannya terhindar dari kecacatan.
Revisi:
1. Berilah contoh sebuah hadis
yang kemudian diteliti hadisnya dari aspek sanad.
2. Kesimpulan sebelum daftar
pustaka.
3. Dalam beberapa tulisan yang
butuh perujukan, tolong dicantumkan.
[1]Muhammad Al Fatih Suryadilaga,
Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: TH-Press, 2009). Hlm. 1
[2]Munzier Suparta, Ilmu
Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).hlm. 45
[3]M. Abdurrahman, Metode
Kritik Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011).hlm. 14-15
[4]Umi Sumbulalah, Kritik
Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008). Hlm. 27
[6]Muhammad al fatih
suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: TH-Press,
2009).hlm. 102
[7]Mukarom Faisal Rosidin, Menelaah
Hadis 1, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka mandiri, 2013).hlm. 48
[13]Umi Sumbulalah, Kritik
Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008). Hlm. 78
[14]Umi Sumbulalah, Kritik
Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008). Hlm. 93
[15]Muhammad Alfatih
Suryadilaga, Metodologi Penelititan Hadis, (Yogyakarta: TH-Press,
2009).hlm. 144-146
[17]Umi Sumbulalah, Kritik
Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008). Hlm. 104
[19]Umi Sumbulalah, Kritik
Hadis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008). Hlm. 108
[21]Muhammad Alfatih Suryadilaga,
Metodologi Penelititan Hadis, (Yogyakarta: TH-Press, 2009).hlm. 150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar