PENELITIAN SANAD DAN MATAN HADIS
Lutfiana Syaidatul Aliyah, Roichatul
Mabruroh, Nizar Aulia Rahman Wahid
Pendidikan Bahasa Arab Kelas D, UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract:This
article discusses about criticism
of hadith. Criticism of hadith is
connecting structure of research hadith
prophet Muhammad[1].
We already know that hadith is one of sources of Islamic law which guiding
Muslims. Hadith prophet Muhammad is second of Islamic sources law after the
holy Qur’an[2].
This criticisms are about criticism of sanad and matan hadith. Criticism of
sanad is research, assessment, and tracking of individual sanad hadith
narrators and acceptance hadith process of their each teachers. The purpose of
this criticism is trying to find errors to find the truth. Sanad is authentic
if the five elements are met, there are
connection of sanad, narrator fair, dhabit, avoid ofsyuzuz, and ‘illah.
And criticism of matan is research to take responsibility for the content
of hadith news which coming from the
prophet. And criteria of matan criticism, they are avoidance of syuzuz and
avoid of ‘illah.[3]
Keyword: criticism, hadith,
sanad, matan.
Pendahuluan
Hadis merupakan sualah salah satu sumber hukum yang dijadikan manusia
sebagai pedoman hidup. Kumpulan-kumpulan hadis terdapat pada kitab-kitab hadis
karya para mukharrij al-hadis[4].
Dalam kitab-kitab tersebut sangatlah beragam baik dilihat dari sistematika,
metode, topik penghimpunan maupun kualitas hadis yang dikandungnya. Dengan
adanya keberagaman kitab hadis terutama dari segi kualitas hadis yang
dikandungnya, upaya meneliti validitas hadis-hadis yang yang termuat didalamnya
menjadi urgen dilakukan. [5]
Aktivitas kritik dalam ilmu hadis adalah upaya menyeleksi hadis, sehingga
dapat diketahui hadis yang shahih dan tidak shahih. Dengan adanya aktivitas
kritik hadis, akan memberikan keyakinan pada umat Islam untuk merealisasikan
serangkaian ajaran agama dengan berpegang teguh pada hadis-hadis yang sudah terbukti
keshahihannya dan meninggalkan hadis-hadis yang tidak bisa diterima sebagai
dasar agama. Dengan demikian, dapat diminimalisir adanya kekhawatiran terjadi
penyimpangan dalam realisasi ajaran agama yang telah diajarkan dan dicontohkan
Rasulullah. Kritik hadis berorientasi pada dua aspek, yaitu kritik sanad
(kredibilitas rawi) dan kritik matan (orisinalitas teks hadis).[6]
Pengertian Kritik
Sanad dan Matan Hadis
Pengertian kritik sanad
Kritik merupakan alih bahasa dari kata نقد atau dari kata تمييز. Kritik menurut istilah yaitu
berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangka menemukan kebenaran.
Kritik ini sebagai upaya mengkaji hadis Nabi untuk hadis yang benar benar
berasal dari Nabi bukan hadis palsu.[7]Sanad menurut bahasa adalah
المعتمد yaitu sesuatu yang dijadikan
sandaran, pegangan, dan pedoman. [8] Sedangkan menurut istilah
hadis, sanad yaitu jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis. Hadis
berasal dari bahasa arab الحديث yang artinya
baru. Hadis secara istilah, menurut Ibn Al Subki adalah segala sabda dan
perbuatan Nabi Muhammad. Sedangkan menurut pendapat masyhur ulama, hadis adalah
segala sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw.[9]
Jadi, kritik sanad hadis adalah penelitian, penilaian dan penelusuran sanad
hadis tentang individu perowi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka
masing masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam
rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (shahih, hasan
dan dhaif).
Kritik atau penelitian hadis bertujuan untuk mengetahui kualitas hadis yang
terdapat dalam rangkaian sanad hadis yang diteliti. Apabila dalam hadis yang
diteliti terdapat keshahihan sanad hadis, hadis tersebut digolongkan hadis
shahih. Kritik sanad hadis pada masa Rasulullah dan Khulafaur rosyidin memang
tidak ada, karena pada dua masa ini disepakati muhadditsin sebagai masa
berkumpulnya periwayatan hadis yang adil. الصحابة كلهم عدل (semua sahabat Nabi Muhammad Saw. adalah
adil).
Perhatian ulama terhadap sanad hadis muncul karenaditemukannya hadis palsu
yang diciptakan oleh orang-orang zindik dan orang yang mempunyai kepentingan
khusus, baik karena kepentingan politis, bisnis, maupun karena kefanatikan
paham, aliran, dan mazhab.Perhatian muhaddisin terhadap sanad hadis sangat
besar, diantaranya : pertama, mereka menyatakan bahwa sanad merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadis. Berikut ini
pendapat para muhaddisin[10] :
1.
Muhammad bin Sirin (w. 110 H = 728 M)
menyatakan :
انّ هذا العلم دين فانظروا
عمن تأخذون دينكم
“sesungguhnya
pengetahuan (hadis) ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu
mengambil agamamu itu”.
2.
Abu ‘Amr Al Awza’iy (w. 157 H = 774 M)
ماذهاب العلم إلاذهاب
الإسناد
“hilangnya
pengetahuan (hadis) tidak akan terjadi kecuali bila sanad hadis telah hilang”
Apabila sanad suatu hadis benar-benar telah dapat
dipertanggungjawabkan keshahihannya, pastilah hadis itu berkualitas shahih.
Analoginya, jika ada berita yang dibawa oleh orang-orang yang dapat dipercaya,
penerima berita tidak memiliki alasan untuk menolak kebenaran berita itu.
Kedua, muhaddisin
mempunyai banyak karya tulis yang berkenaan dengan sanad hadis. Seperti
munculnya kitab-kitab tentang rijal al-hadis, diantanya Siyar A’lam
al Nubala’ karya Imam Syamsuddin
Muhammad bin Ahmad bin Usma Al-Zahabiy, al-Tarikh al-Kabir karya
Al-Bukhori, dan al-Jarh wa al-Ta’dil karya Imam Ibnu Abu Khatim Al-Razi.Ketiga,
ketika mereka menghadapi hadis, maka sanad hadis merupakan salah satu
bagian yang mendapat perhatian khusus. Faktor-faktor penyebab kajian sanad
hadis menjadi penting, pertama, tidak seluruh hadis tertulis pada zaman
Nabi Muhammad Saw. kedua, sering terjadi pemalsuan hadis sesudah zaman
Nabi Muhammad Saw. dan ketiga, pen-tadwin-an hadis secara resmi
dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan hadis.
Ulama hadis telah menetapkan syarat keshahihan hadis untuk membersihkan
hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. dari hadis palsu, seperti yang dijelaskan oleh
Ibnu Al-Shalah.
أما الحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط إلى
منتهاه ولا يكون شاذاولامعللا
“hadis shahih adalah hadis yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dabit sampai
akhir sanadnya, tidak terdapat kejanggalan (syad) dan cacat (illat)”[11]
Pengertian kritik matan
Menurut bahasa, matan
berasal dari bahasa Arab متن artinya punggung jalan (muka jalan), tanah
yang tinggi dankeras. Menurut ilmu hadis,matan adalah penghujung sanad,
yaitu sabda Nabi Muhammad Saw., yang disebut sesudah habis disebutkan sanad.
Matan hadis adalah isi hadis. [12] Definisi lain menyebutkan :
ألفاظ الحديث التى تقوم بها معانيه
Beberapa lafal hadis yang membentuk
beberapa makna.
Dari berbagai definisi matan, intinya sama yaitu materi atau isi berita
hadis itu sendiri yang datang dari Nabi. Matan hadis dibagi menjadi tiga, yaitu
ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad Saw.
Kritik matan hadis merupakan kajian yang jarang dilakukan oleh muhaddisin,
jika dibandingkan dengan kritik sanad hadis. Menurut mereka bukan hadis Nabi
apabila tidak ada silsilah yang menghubungkan kita sampai kepada sumber hadis
(Nabi Muhammad Saw.). Kalimat yang susunan kata dan kandungannya sejalan dengan
ajaran Islam, belum dapat dikatakan sebagai hadis, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada Rasulullah.
Sebaliknya, tidak bernilai sanad hadis yang baik, apabila matannya tidak
dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Kajian kitab-kitab
kritik matan
Kitab yang membahas matan hadis, pertama muncul dalam bentuk
penyelesaian hadis-hadis kontroversi, baik kontroversi hadis denghan hadis
shahih, hadis dengan akal, maupun dengan al-Qur’an. Kitab Ikhtlaf al-Hadits yang
ditulis Imam Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i digunakan untuk menyelesaikan hadis
yang kelihatannya saling bertentangan terutama yang menyangkut hukum. Imam Ibn
Qutaybah Al-Dinuri menulis kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits, kitab ini
senada dengan karya Imam Al-Syafi’i namun lebih banyak membahas hadits hadits
tentang aqidah. Kitab tentang Gharib al-Hadits, Asbab al-Wurud al-Hadits dengan
berbagai versinya juga termasuk kajian matan hadis.
Di zaman modern ini, perhatian ulama terhadap matan hadis lebih
menonjol, sejalan dengan semakin besarnya perhatian umat terhadap hadis.[13]
Mekanisme Kritik
Sanad dan Matan Hadis
Mekanisme kritik
sanad
Kaidah yang digunakan dalam penelitian hadis sebenarnya sudah ada sejak
lahrnya hadis itu sendiri. Hal itu terbukti dengan adanya upaya selektivitas
para sahabat atas informasi-informasi tentang hadis yang tidak di dapat
langsung dari Nabi, yaitu dengan mengecek ulang informasi-informasi langsung
kepada Nabi. Dan berkutnya diperjelas oleh para ulama seperti Imam Syafii, Imam
Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain. Abu Amr Usman ibn Abd al-Rahman bn
al-Salah al-Syahrazuri merupakan salah satu ulama yang berhasil menyusun
rumusan kaidah ke-shahih-an hadis. Menurutnya, bisa dikatakan hadis
shahih jika hadis tersebut bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan
oleh periwayat yang adil dan dabit sampai akhir sanad, (didalam hadis itu)
tidak terdapat kejanggalan (syad) dan cacat (illat).Dengan mengacu pada
unsur-unsur kaidah ke-shahih-an hadis tersebut, maka ulama menilai bahwa
hadis yang memenuhi semua unsur itu dinyatakan sebagai hadis shahih, yaitu
shahih sanad dan shahih matannya. Dalam hubungannya dengan penelitian sanad,
maka unsur-unsur kaidah ke-shahih-an yang berlaku untuk sanad dijadikan
sebagai acuan. [14]
1.
Aspek kebersambungan sanad
Menurut al-Bukhari,
sebuah sanad dikatakan bersambung apabila memenuhi kriteria berikut : pertama
al-liqa’ yaitu adanya pertautan langsung antara satu perawi dengan perawi
berikutnya yang ditandai dengan adanya sebuah aksi pertemuan antara murid yang
mendengar secara langsung suatu hadis dari gurunya. Kedua al-mu’asharahyaitu
sanad dikatakan bersambung apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang
guru dengan muridnya. Menurut muslim, sebuah sanad dikatakan bersambung apabila
antara satu perawi dan perawi berikutnya begitu seterusnya ada kemungkinan
bertemu, karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama sementara tempat
tinggal mereka tidaklah jauh bila diukur dengan kondisi saat itu dengan
demikian Muslim hanya menekankan kebersambungan sanad pada aspek al mu’asharah
semata.
Berdasarkan kedua
pendapat yang berbeda, meskipun Muslim tidak seketat al-Bukhari ia juga
memperhatikan adanya kemungkinan pertemuan antara jajaran perawinya meski tidak
secara jelas ditegaskan. Berdasarkan istilah kebersambungan dan tidakbersambungan
sanad ini kemudian muncul istilah yaitu muttasil[15],
munqathi’[16],
musnad, marfu’.
2.
Aspek keadilan perawi
Secara etimologi term 'adalah (adil)
memiliki arti pertengahan, lurus,
condong kepada kebenaran. Secara terminologi terdapat beberapa rumusan definisi yang dikemukakan para ulama, diantaranya al-Hakim dan al-Naisaburi yang
menyatakan bahwa 'adalah seorang muhaddith dipahami sebagai
seorang muslim, tidak berbuat
bid'ah, dan maksiat yang dapat
meruntuhkan moralitasnya. IbnShalah menyatakan bahwa seorang perawi disebut
memiliki sifat adil jika dia seorang yang
muslim, baligh, berakal,
memelihara moralitas (muru’ah) dan tidak berbuat fasiq. Kemudian Ahmad
M.Syakir menambahkan satu unsur lagi,
yaitu dapat dipercaya beritanya. Berdasarkan pendapat ulama di atas
dapat di pahami bahwa seseorang di katakan adil atau bersifat 'adalahjika
pada dirinya terkumpul kriteria muslim, baligh, berakal, memelihara muru’ah, tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat
dan dapat dipercaya beritanya.
Muslim adalah unsur utama yang terkandung dalam cakupan makna adil, hal ini
di haruskan bagi seseorang yang menyampaikan riwayat hadis.Sedangkan bagi
kegiatan menerima hadis tidak disyaratkan.Oleh karena itu,orang kafir boleh
menerima suatu hadis.[17]
3.
Aspek intelektualitas perawi
Aspek intelektualitas (dhabit) perawi dalam ilmu hadis dipahami
sebagai kapasitas kecerdasan perawi hadis.Secara etimologi istilahdhabit
berarti menjaga sesuatu. Aspek ini merupakan salah satu persyaratan dasar yang
harus ada pada seorang perawi hadis,
agar riwayat yang di sampaikanya dapat diterima.
Secara terminologi ilmu hadis, terdapat beberapa definisi dhabit
yang di kemukakan para ulama, di antaranya:al-Sarkhasi mengemukakan bahwa dhabit
mengandung makna sebagai tingkat kemampuan dan kesempurnaan intelektualitas
seseorang dalam proses penerimaan hadis, mampu memahami secara mendalam makna
yang di kandungnya, menjaga dan menghafalnya semaksimal mungkin hingga pada
waktu penyebaran dan periwayatan hadis yang di dengarnya tersebut kepada orang
lain, yaitu hingga proses penyampaian
hadis tersebut kepada orang lain(ada'al-hadith).Dengan demikian, di tuntut adanya konsistensi mulai dari proses tahammul hingga proses ada'-nya.Artinya hadis yang di sebarkan itu sama persis namun
tidak harus secara redaksional- dengan hadis yang diterimanya dahulu.'Ajjaj
al-Khatib menyajikan formulasi dhabit sebagai intensitas intelektual
seorang rawi ketika menerima sebuah hadis dan memahaminya sebagai yang di
dengarnya, selalu menjaganya hingga saat
periwayatannya, yaitu hafal dengan sempurna jika ia meriwayatkannya berdasarkan
hafalanya, paham dengan baik makna yang di kandungnya, hafal benar terhadap
tulisannya, dan paham betul adanya
kemungkinan perubahan (tahrif) penggantian (tabdil) maupun
pengurangan (tanqis) jika ia
meriwayatkan hadis tersebut berdasarkan tulisannya. Berdasarkan dua definisi di
atas dapat di simpulkan bahwa aspek dhabit memeliki beberapa unsur yaitu
pendengaran, pemahaman, penjagaan, dan penyampaian secara sempurna .
Ibn al-Athir al-Jazari mengukakan klasifikasi lain tentang dhabit
yaitu dhabit zhahir dan dhabit batin. Dhabit zhahir
diartikan sebagai kemampuan intelektual seorang perawi dilihat dari sisi makna
kebahasaan, sedangkan dhabit batin
diartikan sebagai kemampuan intelektual seorang perawi dalam mengungkap hukum
syara' yang di kandung oleh sebuah teks hadis yang diriwayatkanya yakni berupa
fiqh. Namun demikian, yang dimaksud dengan dhabit dalam ilmu hadis
menurut pendapat mayoritas ulama adalah dhabit zhahir.
Berdasarkan formulasi di atas, dapat dipahami bahwa seorang perawi layak
disebut dhabit apabila dalam dirinya terdapat sifat-sifat berikut : pertama,
perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah di dengarnya dan
diterimanya. Kedua, perawi itu
hafal dengan baik atau mencatat dengan baik riwayat yang telah di dengarnya
(diterimanya). Ketiga, perawi itu mamapu menyampaikan riwayat hadis yang
telah di dengarnya dengan baik, kapanpun di perlukan terutama hingga saat
perawi tersebut menyampaikan riwayat hadisnya kepada orang lain.
Terdapat beberapa metode yang digunakan para ulama untuk mengetahui ke-dhabit-an
seorang perawi. Ibn al-shalah menyatakan bahwa ke-dhabit-an seorang
perawi hadis di ketahui dengan mengkomparasikanya dengan riwayat hadis dari
sejumlah perawi yang thiqah dan terkenal dhabit-nya. Apabila
riwayat seorang perawi memiliki kesesuaian dengan riwayat sejumlah perawi lain,
meski secara makna maka riwayatnya dapat di jadikan sebagai dalil keagamaan,
namun bila menyalahi, dapat dijadikan indikasi bahwa seorang perawi tersebut
tidak dhabit, dan oleh karena itu, riwayatnya tertolak untuk di jadikan hujjah.
Syuhudi Ismail berpendapat bahwa ke-dhabit-an seorang perawi dapat di
ketahui dengan beberapa cara : pertama, kesaksian para ulama dan
popularitasnya di mata para muhaddisun. Kedua,
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh perawi lain yang
telah dikenal kedhabitanya . Kesesuaian yang di maksud boleh jadi hanya secara
maknawi atau mungkin hingga secara redaksional.
Ketiga, apabila seorang perawi sesekali mengalami kekeliruan maka
kelaim dhabit masih layak di pakaikan padanya namun apabila kekeliruan yang di
maksud sering terjadi maka klaim dhabit yang di sandangnya tanggal
dengan sendirinya.
Ada dua term yang biasa di gunakan menyangkut dhabit ini yang
melambangkan tipologinya , yaitu dhabit (dhabit biasa) dan tamm
al-dhabit (dhabit sempurna) kedua
bentuk tesebut apabila di nilai bobot kualifikasinya maka dhabit tamm yang lebih
bisadijadikan jaminan bahwa kesahihan hadis yang bersangkutan lebih unggu di
bandingkan dhabit biasa. Terlebih apabila periwayatan hadis dilakukan secara
makna maka adanya kedalaman pemahaman hadis bagi seorang perawi merupakan
sebuah kemutlakan.[18]
4.
Terhindar
dari syudzudz
Para ulama mengakui bahwa penelitian
terhadap syadz lebih sulit jika dibandingkan dengan penelitian terhadap 'illat.Hal
ini dikarenakan belum ada ulama yang membahas tentang aspek tersebut dalam
bentuk sebuah kitab yang ditulis secara khusus.Sedangkan aspek 'illat,
banyak ulama yang memonumentalkan karyanya dalam sebuah kitab.Sehingga, mereka
bersepakat bahwa dibutuhkan pengetahuan yang luas, mendalam dan telah terbiasa
melakukan penelitian hadis untuk mengetahui aspek syadz khususnya aspek 'illatdalam
hadis.
Dalam terminologi ilmu hadis, terdapat tiga pendapat tentang
definisi syadz, yaitu :pertama, al-Syafi'i mengatakan bahwa hadis
dapat dinyatakan mengandung syadz apabila hadis yang diriwayatkan oleh
seorang perawi thiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah perawi yang juga bersifat thiqah. Dengan demikian, hadis syadz
bukan disebabkan oleh kesendirian individu perawi dalam sanad hadis(fard
mutlaq), dan juga bukan disebabkan perawi yang tidak thiqah. Kedua,
al-Hafidz Abu Ya'la al-Khalili mengatakan bahwa hadis dapat dinyatakan
mengandung syadz apabila hanya memiliki satu jalur saja, baik
diriwayatkan oleh perawi yang thiqah maupun yang tidak, baik bertentangan atau
tidak. Dengan demikian, hadis syadz sama dengan hadis yang berstatus fard
mutlaq. Hal ini dikarenakan hadis yang berstatus fard mutlaq tidak memiliki
syahid, yang memunculkan kesan bahwa perawinya syadz, bahkan matruk. Menurut
pandangan penulis, pandangan al-Khalili akan berimplikasi pada dua hal, yaitu
kehati-hatian dalam menerima riwayat hadis, di satu sisi sebagai sebuah sikap
yang dituntut dalam rangka menjaga orisinalitas dan otentitas sebuah hadis.
Namun, disisi lain, sikap tersebut menimbulkan implikasi negatif, yaitu adanya
"pembuangan" hadis yang berstatus fard mutlaq yang mungkin berkualitas
shahih atau hasan, sedangkan hadis yang berkualitas dha'if memang harus
ditolak.Ketiga, al-Naisaburi mengatakan bahwa hadis dinyatakan syadz
apabila hadis tersebut diriwayatkan oleh seorang perawi yang thiqah, namun
tidak terdapat perawi thiqah lainnya yang juga meriwayatkan hadis
tersebut.Dengan demikian, kerancuan (syadz) dalam sanad hadis disebabkan oleh
kesendirian perawi, dan bukan disebabkan oleh tidak thiqahnya seorang perawi
hadis.
Menurut Ismail, pada umumnya ulama lebih menukil pendapat
yang dikemukakan oleh kelompok al-Syafi'i. Hal ini dikarenakan konsep
al-Syafi'i tentang syadz mengandung implikasi praktis agar para ulama tidak
terjebak pada kecerobohan dalam menyikapi sebuah hadis, yang dapat berakibat
adanya marginalisasi(pembatasan) hadis sebagai hujjah. Menurut pandangan
penulis, sikap yang diambil al-Syafi'i dilatarbelakangi oleh konstruksi tentang
hadis-hadis Rasulullah. Karena dengan mengklaim hadis yang berstatus fard
mutlaq sebagai hadis yang mengandung syadz, akan memberikan legitimasi (pengesahan)
bagi pengeyampingan hadis Rasulullah, khususnya yang berkualitas maqbul
(diterima sebagai hujjah). Dengan tidak menyimpulkan bahwa seorang yang thiqah
dianggap hadisnya mengandung syadz jika hadis yang diriwayatkannya bertentangan
dengan sejumlah perawi yang thiqah, hal ini sebagai upaya menjaga dan
mempertahankan eksistensi hadis sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam.[19]
5.
Terhindar dari 'illat
Secara bahasa,
'illat berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebagai sebab dan
kesibukan.Dalam terminologi ilmu hadis, 'illat didefinisikan sebagai sebuah
hadis yang didalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak
keshahihan hadis yang secara lahir tampak shahih.Ibn Shalah mendefinisikan
'illat sebagai tempat tersembunyi yang merusak kualitas hadis, karena
keberadaannya menyebabkan hadis yang lahirnya berkualitas shahih menjadi tidak
shahih. Sedangkan Ibn Taimiyah mengatakan bahwa hadis yang mengadung 'illat
adalah hadis yang secara lahir sanadnya tampak baik, namun ternyata setelah
diteliti lebih lanjut, didalamnya terdapat perawi yang ghalt ( banyak melakukan
kesalahan), sanadnya mauquf atau mursal, bahkan mungkin ada hadis lain yang
masuk pada hadis tersebut.Untuk penjelasan lebih lanjut, al-Suyuthi
mdngklasifikasikan menjdi 3 bagian :
1)
Sanad tersebut secara lahir tampak
shahih, namun ternyata di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak mendengar
sendiri dari gurunya.
2)
Sana hadis termasuk mursal dari seorang
perawi yang siqah dan hafidz, padahal secara lahir nampak sahih
3)
Hadis tersebut mahfudz dari sahabat,
dimana sahabat ini meriwayatkan dari perawi yang berlainan negeri.[20]
Contoh kritik sanad :
Dalam kegiatan ini, mengambil sanad
Imam al-Tirmidzi yang melalui sahabat Abu Hurairah. Bunyi riwayat hadis
berdasarkan sanad al-Tirmidzi adalah :
حدّثنا أبو كريب حدثنا أبو معاوية عن الأمش عن أبي صالح عن أبي هريرة قال قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم لكّل نبي دعوة مستجابة وإنّي اختبأت دوتي شفاعة
لإمتي وهي نائلة إن شاء الله من مات منهم لا يشرك بالله شيئا
Urutan nama periwayat hadis riwayat al-Tirmidzi di atas adalah : 1)
periwayat I : Abu Hurairah; 2) periwayat II : Abu Salih; 3) periwayat III :
al-Amasy; 4) Periwayat IV : Abu Muawiyah; 5) periwayat V : Abu Kuraib; 6)
periwayat VI : at-Tirmidzi.[21]
Langkah-langkah meneliti sanad :
a.
Meneliti kualitas periwayat dan
persambungan sanad
Penelitian dapat dimulai pada periwayat
pertama ataupun periwayat terakhir.
1.
Al-Tirmidzi (Muhammad ibn Isa ibn
Saurah ibn Musa ibn al-Dahhak atau Ibn al-Sakkan al-Sulami, atau Abu Isa
al-Tirmidzi)
·
Guru al-Tirmidzi sangat banyak,
diantaranya : Qutaibah Ibn Said, Ishaq bin Musa, Mahmud Ibn Gailan, Ali bin
Hajar, Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Muridnya antara lain : al-Hasim ibn
Kalib al-Syasi, Muhammad ibn Mahbub, Mahmud ibn Numair.
·
Pernyataan para kritikus hadis tentang
al-Tirmidzi
1)
Al-Khalili : siqah muttafaqalaih
2)
Ibn Hibban : pengumpul hadis, penyusun
kitab, penghafal hadis
3)
Al-Hakim Abu Abd Allah : kuat
hafalannya, wara, zuhud
4)
al-Zahabi pengarang kitab al-Jami siqah
mengatakan bahwa al-Tirmidzi adalah perawi terakhirdan sekaligus sebagai
mukharrij yang menerima hadis dari Abu Kuraib. al-Tirmidzi adalah perawi siqah.
al-Tirmidzi adalah
periwayat siqah, tidak seorang pun dari ulama kritikus hadis yang mencela
pribadinya dalam hal periwayatan hadis. Dengan demikian, sigah tahammul wa
al-ada haddasana yang dikemukakannya ketika menyandarkan riwayatnya dapat
dipercaya. Berarti antara al-Tirmidzi dengan Abu Kuraib bersambung sanadnya.
2.
Abu Kuraib (Muhammad ibn Ala ibn Kuraib
al-Hamdani, atau Abu Kuraib al-Kufi al-Hafiz)
·
Guru-gurunya antara lain : Abd Allah
ibn Idris, Hafs ibn Qiyas, Abu Bakar ibn Ayyas. Murid-muridnya antara lain :
Abu Hatim, Abu Zurah, Abdullah ibn Ahmad ibn Hambal.
·
Pernyataan para kritikus hadis tentang
Abu Kuraib
1)
Ibn Abi Hatim : saduq
2)
Marrah : siqah
3)
Abu Amr : ahfaz
4)
Abu Amr Ahmad ibn Nasr al-Khaffaf :
kuat hafalannya
Tidak seorang pun kritikus hadis yang mencela pribadi Abu
Kuraib, karena beliau adalah periwayat yang siqah. Dalam periwayatannya Abu
Kuraib memakai lambang sigah tahammul wa al-ada haddasana. Dengan
demikian beliau telah menerima riwayat hadis dari Abu Muawiyah dapat dipercaya.
Hal ini berarti antara keduanya sanadnya bersambung.[22]
3.
Abu Muawiyah (Muhammad ibn Khazim
al-Tamimi al-Sadi, Abu Muawiyah al-Darir al-Kufi)
·
Guru-gurunya antara lain : Asim
al-Ahwal, Abu Malik al-Asyjai, Said, al-Amasy, Dawud ibn Abi Hindi, Jafar ibn
Barqain. Murid-muridnya antara lain : Ibrahim, Ibn Juraji, Yahya al-Qattan, Abu
Kuraib.
·
Penyataan para kritikus hadis tentang
dirinya :
1)
Muawiyah ibn Salih : sahabat yang paling
kokoh
2)
Ibn al-Kharasy : saduq
3)
Ibn Hibban : hafidz dan teliti
4)
Ibn Abi Hatim : paling kokoh ingatannya
Telah disepakati
bahwa Abu Muawiyah adalah siqah. Walaupun beliau menggunakan lambang al-tahammul
wa al-ada an dalam menerima hadis dari al-Amasy, namun beliau adalah oerawi
yang siqah dan salah seorang murid al-Amasy, dengan demikian sanad antara
Muawiyah dengan al-Amasy adalah bersambung.
4.
Al-Amasy (Sulaiman ibn Mahran al-Asadi
al-Kalili)
·
Guru-gurunya antara lain : Anas, Abd
Allah ibn Abi Uf, Zaid ibn Wahb, Abu Wail, Qais ibn Abi Hazm. Murid-muridnya
antara lain : al-hakim ibn Utaibah, Zubaid al-Yami, Abu Ishaq al-Sabi, Aulaiman
al-Taimi.
·
Penyataan para kritikus hadis tentang
dirinya :
1)
Al-Ajli : siqah, kokoh ingatannya
2)
Ibn Main : siqah
3)
Al-Nasai : siqah sabt
Para kritikus
sepakat menyatakan bahwa al-Amasy adalah periwayat hadis yang siqah walaupun
beliau menggunakan lambang al-tahammul wa al-adaan dalam menerima riwayat hadis
Abu Salih, namun beliau adalah seorang perawi yang dapat dipercaya dan muridnya
Abu Salih, sehingga al-Amasy dan Abu Salih ada persambungan sanad hadis.[23]
5.
Abu Salih (Zakwan, Abu Salih al-Saman
al-Zayyat al-Madani)
·
Guru-gurunya antara lain : Abu
Hurairah, Abu al-Darda, Abu Said al-Khurdi, Uqail ibn Abi Talib, Jabir.
Murid-muridnya antara lain : Suhail, Salih, Abd Allah, Ata ibn Abi Rubah.
·
Pernyataan para kritikus
1)
Abdullah ibn Muhammad : siqah
2)
Ibn Main : siqah
3)
Abu Hatim : siqah, salih al hadis
4)
Al-Saj’i : siqah saduq
5)
Al-ijli : siqah
6)
Ibn Sad : siqah
Abu Salih
merupakan periwayatan hadis yang berperingkat tinggi tadil-nya, para kritikus
hadis sepakat dalam memberikan pujian kepada beliau yaitu siqah. Meskipun dalam
periwayatan hadisnya menggunakan lambang al-tahammul wa al-adaan, namun
beliau adalah periwayat hadis yang dapat dipercaya maka sanad antara dirinya
dengan Abu Hurairah adalah bersambung.
6.
Abu Hurairah (‘Abd al-Rahman ibn Sakhr)
·
Guru-gurunya antara lain : Nabi
Muhammad, Abu Bakar, Umar, Fadl ibn Abbas ibn Abd Muthallib, Ubay ibn Kab.
Murid-muridnya antara lain : Ibn Abbas, Ibn Umar, Anas, Jabir, Abu Salih.
·
Pernyataan para kritikus :
1)
Al-Bukhari : ada kurang lebih 800 orang
yang mengambil riwayat darinya.
2)
Al-Araj : Abu Hurairah paling banyak
meriwayatkan hadis dari Rasulullah
3)
Talhah ibn Ubaidillah : ia adalah
seorang yang begitu dekat dengan Nabi saw. dan tidak diragukan lagi bahwa ia
mendengar dari Nabi saw. sesuatu yang tidak kita dengar.
Lambang al-tahammul
wa al-ada yang beliau gunakan adalah qala. Menurut sebagian ulama,
kata qala merupakan salah satu bentuk berita yang menggunakan bahwa
hadis yang disampaikan oleh seorang sahabat diterima dari Nabi dengan cara al-sama.
Dengan demikian antara Abu Hurairah dengan Nabi bersambung.[24]
b.
Meneliti kemungkinan adanya syuzuz dan
‘illah
Kekuatan sanad al-Tirmidzi ini makin
meningkat jika dikaitkan dengan adanya pendukung berupa mutabi. Sanad
yang memiliki mutabi terletak pada sanad-sanad pertama, kedua, ketiga,
keempat dan kelima. Dengan demikian, semua sanad memiliki mutabi. Hanya
sanad terakhir, yaitu sahabat Abu Hurairah yang tidak memiliki syahid.
Ketiadaan syahid periwayat Abu Hurairah itu tidak mengurangi kekuatan periwayat
yang bersangkutan karena Abu Hurairah adalah orang yang siqah tanpa syarat.
Dengan alasan-alasan tersebut, sangat kecil kemungkinannya bahwa sanad
al-Tirmidzi yang diteliti ini mengandung syuzuz dan illah.
Karenanya, telah memenuhi syarat apabila sanad al-Tirmidzi yang diteliti ini
dinyatakan terhindar dari syuzuz dan illah.[25]
c.
Mengambil Kesimpulan
Berdasarkan analisa sanad hadis, dapat dilihat bahwa
seluruh periwayat hadis dalam sanad al-Tirmidzi di atas bersifat siqah
dan sanadnya bersambung dari sumber hadis yakni Nabi sampai kepada periwayat
terakhir al-Tirmidzi yang sekaligus sebagai mukharrijal-hadis. Hal ini
berarti sanad hadis yang diteliti, sanad hadis tentang syafaat Nabi kepada
umatnya yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi berkualitas sahih al-sanad.[26]
Mekanisme kritik matan hadis
Metode penelitian
matan hadis berbeda dengan penelitian sanad hadis. Sehingga kriteria dan cara
penilaiannya juga berbeda. Jika dalam kritik sanad hasil penilaiannya dapat
diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu shahih, hasan dan dha’if,
sedangkan dalam kritik matan dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu maqbul
dan mardud. Dalam sejarah perkembangan hadis, penelitian sanad hadis
sering dilakukan ulama, karena data dan literatur yang ada dan mendukung,
sedangkan penelitian atas matan tidak begitu dilakukan. Jika kedua unsur hadis
disatukan yakni sanad dan matan, kemungkinan hasil penelitian menjadi empat
macam, yaitu :
1.
Hadis sanadnya shahih matannya maqbul
2.
Hadis sanadnya dha’if matannya maqbul
3.
Hadis sanadnya shahih matannya mardud
4.
Hadis sanadnya dha’if matannya mardud[27]
Hal-hal yang berkaitan erat dengan
penelitian matan adalah :
a.
Unsur unsur kaedah ke-shahih-an
matan
Hal yang harus diperhatikan adalah
meneliti matan dengan kualitas sanadnya. Maksudnya adalah meneliti matan
sesudah meneliti sanadnya, setiap matan harus bersanad dan kualitas matan tidak
harus sejalan dengan kualitas sanad. Adapun unsur-unsurnya adalah tidak ada
syuzuz dan ‘illah. Dalam menjabarkan dua kriteria tersebut ulama berbeda
pendapat. Menuru al-Khatib al-Baghdadi yaitu : 1) tidak bertentangan dengan
akal sehat; 2) Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an; 3) Tidak bertentangan
dengan hadis mutawattir; 4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi
kesepakatan; 5) Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti; 6) Tidak bertentangan
dengan hadis ahad yang kualitasnya lebih kuat.
Sedangkan Salah al-Din al-Idlibi
menunjuk kriteria : 1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an; 2) Tidak
bertentangan dengan hadis yang kuat; 3) Tidak bertentangan dengan akal sehat,
indera dan sejarah; 4) Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda
kenabian.
b.
Aplikasi kaedah ke-shahih-an
berdasarkan pernyataan sebelumnya telah
dijelaskan bahwa untuk meneliti matan yaitu tidak mengandung syaz dan illah.
Kedua syarat tersebut dapat dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :
1.
Meneliti susunan redaksi matan yang
semakna
Bentuk-bentuk dari adanya perbedaan struktur matan hadis
dapat digambarkan melalui ziyadah (tambahan lafadz atau kalimat oleh
periwayat tertentu sedangkan periwayat lain tidak). Bentuk dan macam-macam ziyadah
periwayat siqah, bertentangan dengan kebanyakan periwayat siqah,
ziyadah periwayat siqah , tidak bertentangan (ditolak), ziyadah
periwayat siqah terhadap lafadz tertentu, periwayat siqah lainnya
tidak.
Bentuk lain dari adanya perbedaan matan hadis adalah
disebabkan adanya idraj, memasukkan pernyataan yang berasal dari
periwayat ke dalam suatu matan hadis yang diriwayatkan sehingga mengenaskan
sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw. dan tidak ada penjelasan.
Selain dengan kedua cara diatas, dapat juga dilakukan
dengan cara : 1) Melihat adanya perubahan bentuk kata (tashif) dan pergeseran
cara baca hadis (tahrif); 2) perpindahan tata letak kata atau kalimat
(taqlib/maqbul). Ada suatu hadis yang terkadang terbalik atau tertukar letak
penggalan kalimatnya, bagian yang seharusnya di depan menjadi di belakang; 3)
kacau atau goncang (idtirab/mudtarib). Ini terjadi jika suatu hadis
diriwayatkan dengan tema tertentu dari berbagai jalur sanad melalui satu
sahabat; dan 4) ‘illah al-hadis merupakan fakta penyebab yang tersembunyi
keberadaannya dan tidak transparan.[28]
2. Meneliti kandungan matn
Dengan
membandingkan kandungan matn yang sejalan, yakni melalui takhrij bi al-maudu
dan membandingkan kandungan matn yang tidak sejalan. Jika terjadi demikian,
maka dilakukan penyelesaian dengan cara:
a. Al-Qarafi: al-tarjih ( al-nasikh wa
al-mansukh dan al-jam).
b. Al- Tahawani: al-nasikh wa
al-mansukh dan al-tarjih.
c. Ibn Hajar al-Asqalani: al-jam,
al-nasikh waal-mansukh, al-tarjih, al-tauqif.
d. Adib Salih: al-jamu, al-tarjih dan
al-nasikh wa al-mansukh.
Setelah diketahui tidak ada perbedaan
yang mendalam, maka perlu pembahasan matn hadis sesuai dengan kriteria ulama
hadis yang jumlahnya sebanyak dua puluh satu item dan yang disepakati sebanyak
tujuh buah. Untuk memperkaya khazanah penelitianmatn diperlukan pertimbangan
pengadopsian keilmuan lain dalam konteks kekinian.
3. Menyimpulkan hasil penelitian matn
Kesimpulan
yang diperoleh adalah hadis tersebut maqbul(diterima) atau mardud
(ditolak).
Penelitian terhadap aspek matan hadis
mengacu kepada kaedah kesahihan matan hadis ini sebagai tolok ukur, yakni
terhindar dari syadz dan ‘illah.[29]
1) Terhindar dari
syad
Dibawah ini
berbagai macam bentuk syad yang harus dihindari :
1.
Sisipan teks hadis (al-idraf fi
al-matn)
Yaitu ucapan sebagian perawi dari
kalangan sahabat atau generasi sebsudahnya, dimana ucapan tersebut kemudian
bersambung dengan matan hadis yang asli, sehingga sangat sulit untuk dibedakan
antara matan yang asli dengan yang telah disisipi.
2.
Pembalikan teks hadis (al-qalb fi
al-matn)
Yaitu hadis jenis ini diapahami sebagai
hadis yang perawinya menggantikan suatu bagian darinya dengan orang lain dalam
sebuah matan hadis, baik karena sengaja maupun lupa.
3.
Memiliki kualitas sama dan tidak bisa
diunggulkan salah satunya (idhtirab fi al-matn)
Yaitu hadis yang diriwayatkan dari
seorang perawi atau lebih dengan beberapa redaksi yang berbeda dengan kualitas
yang sama.
4.
Kesalahan ejaan (al-tashif wa al
tahrif fi al-matn)
Tashif kesalahan terletak pada
syakalnya, sedangkan tahrif kesalahan terletak pada hurufnya.[30]
2) Terhindar dari
‘illah
Kriteria dan tata
cara mengungkapkan ‘illah pada matan, sebagaimana dikemukakan oleh al-Salafi
adalah :
1.
Mengumpulkan hadis yang semakna serta
mengkomparasikan sanad dan matannya sehingga diketahui ‘illat yang terdapat di
dalamnya
2.
Jika seorang perawi bertentangan
riwayatnya dengan seorang perawi yang lebih siqah darinya, maka riwayat perawi
tersebut dinilai ma’lul
3.
Jika hadis yang diriwayatkan oleh
seorang perawi bertentangan dengan hadis yang terdapatdalam kitabnya, atau
bahkan hadis yang diriwayatkannya itu ternyata tidak terdapat dalam
kitab-kitabnya sehingga oleh karenanya riwayat yang bertentangan tersebut
dianggap ma’lul.
4.
Melalui penyeleksian seorang syaikh
bahwa dia tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkannya itu, atau dengan
kata lain hadis yang diriwayatkannya itu sebenarnya tidak pernah sampai
kepadanya.
5.
Seorang perawi tidak mendengar hadis
dari gurunya secara langsung
6.
Hadis tersebut bertentangan denga hadis
yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang siqah
7.
Hadis yang telah umum dikenal oleh
sekelompok orang (kaum), namun kemudian datang seorang perawi yang hadisnya
menyalahi hadis yang telah mereka kenal itu, maka hadis yang dikemukakan itu
dianggap memiliki cacat
8.
Adanya keraguan bahwa tema inti hadis
tersebut berasal dari Rasulullah[31]
Kesimpulan
Kritik sanad hadis adalah penelitian, penilaian dan penelusuran sanad hadis
tentang individu perowi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing
masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad
untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (shahih, hasan dan dhaif).[32]Kritik matan hadis
merupakan kajian yang jarang dilakukan oleh muhaddisin, jika dibandingkan
dengan kritik sanad hadis. Menurut mereka bukan hadis Nabi apabila tidak ada
silsilah yang menghubungkan kita sampai kepada sumber hadis (Nabi Muhammad
Saw.). Kalimat yang susunan kata dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam,
belum dapat dikatakan sebagai hadis, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada Rasulullah.
Sebaliknya, tidak bernilai sanad hadis yang baik, apabila matannya tidak
dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Bisa dikatakan
hadis shahih jika hadis tersebut bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi),
diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dabit sampai akhir sanad, (didalam
hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syad) dan cacat (illat).[33]Penelitian terhadap aspek
matan hadis mengacu kepada kaedah kesahihan matan hadis sebagai tolok ukur,
yakni terhindar dari syadz dan ‘illah.[34]
Secara
umum, makalah ini cukup bagus. Namun ada beberapa revisi yang harus dilakukan:
1.
Dalam
kesimpulan itu tidak ada footnote.
2. Ada beberapa keterangan yang perujukan,
tetapi tidak ada.
3.
Aplikasi
kritik matan pada hadis yang dibahas kok tidak ada?
Daftar Pustaka
Bustamin dan M. Isa. 2004.Metodologi Kritik Hadis.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suryadi. 2009. Metodologi Penelitian Hadis.
Yogyakarta: TH-Press.
Sumbulah, Umi. 2008. Kritik Hadis. Malang: UIN-Malang
Press.
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Khon, Abdul Majid. 2008. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
[1] Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis,
(Yogyakarta: TH-Press, 2009), hlm. 5.
[2] Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik
Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 1.
[4]Mukharrij al-hadis yang dimaksudkan adalah ulama yang
meriwayatkan hadis dan sekaligus melakukan pengumpulan atau penghimpunan hadis
dalam kitab hadis yang ditulisnya. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hlm.
18.
[7] Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis,
hlm. 99.
[9] Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik
Hadis, hlm. 6.
[10] Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik
Hadis, hlm. 8.
[11]Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, hlm. 10.
[12] Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik
Hadis, hlm. 59.
[13]Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, hlm. 62.
[15]Istilah muttasil dimaksudkan sebagai hadis yang
bersambung sanadnya. Namun demikian istilah tersebut belum menjamin bahwa
kebersambungan sanad tersebut pasti hingga Rasulullah, bisa saja hingga sahabat
atau bahkan hingga tabiin saja. Oleh karena itu kemudian muncul istilah muttasil
marfu’ jika kebersambungan dengan Rasulullah, muttasil mauquf jika hingga sahabat dan muttaqil maqthu’
jika sampai ketingkat tabiin.
[16]Tidak keseragaman pendapat ulama tatkala mereka
dihadapkan pada munqathi’. Sebagian berpendapat bahwa hadis munqathi’
adalah hadis yang sanadnya tidak bersambung ditingkat manapun, baik satu
tingakatan, dua tingakatan, sanad pertama, pertangahan maupun terakhir. Dengan
logika demikian istilah tersebut berarti mencakup seluruh bentuk hadis munqathi’
yaitu murshol, mu’dhal, dan juga mu’allaq.Namun pada umumnya
termtersebut dipakaikan pada hadis yang diriwayatkan oleh Thabaqat bawah
tabiin dari seorang sahabat. Sebagai contoh adalah Malik meriwayatkan hadis
dari Ibnu Umar padahal Malik tidak pernah bertemu dengannya karena dia seorang
Tabi’in.
[32]Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik
Hadis, hlm. 8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar