Rabu, 23 Maret 2016

NU dan Epistemologi Irfani




Banyak orang yang menghina NU sebagai organisasi yang suka ritual bid’ah, syirik, mengakibatkan kekafiran dan lain sebagainya. Yach, itulah yang namanya pendapat. Ia akan selalu muncul tatkala manusia masih hidup di dunia. Manusia mempunyai pikiran yang telah diberikan oleh Allah, dan tentu saja pikirannya memproduksi pendapat. Hanya pikiran yang mati saja yang tidak bisa membuat pendapat. Namun, kita harus ingat apa konsekuensi dari perkataan-perkataan atau pendapat-pendapat itu, kafir misalnya, kata ini dapat balik menyerang kita saat orang yang kita tuduh kafir ternyata bukan kafir. Syair Tanpo Waton yang sangat padat makna saya kira sudah sangat jelas menerangkan ini, terlebih lagi kalau membaca hadis-hadis Nabi. Jangan-jangan pendapat kita itu muncul karena keawaman dalam menelaah kitab-kitab keislaman. Wah, semoga kita tidak seperti itu ya...
Nah, bagi saya, NU itu sangat menarik. Karena dilihat ketika berdiri saja tidak lepas dari hal-hal yang menarik. Jamak diketahui bahwa NU berdiri atas restu seorang wali besar asal Madura, yang bernama Syaikhuna Khalil Bangkalan dengan tongkat dan lengkap dengan bacaan wiridnya. Salah satu pendirinya pun seorang ulama besar yang bergelar Hadratus Syaikh, yakni Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Mbahnya Gus Dur yang punya sanad langsung kitab shahih Bukhari dan juga “tabahhara fi ilmihi” dalam kitab-kitab kuning. Nah, kalau kita? Paling cuma mengandalkan CD Mausu’ah atau Maktabah Syamilah sudah seperti orang yang paling cerdas dan mengerti kandungan al-Qur’an dan Hadis hehe,, Hal menarik lainnya adalah lambang NU sendiri bukan buatan otak manusia, tetapi hasil mimpi seorang ulama alim yang bernama KH. Ridwan Abdullah. Pertanyaannya, siapa yang memberikan mimpi perihal lambang NU pada ulama ini? Yach, jawab sendiri saja lah, hehe..
Yang membuat NU berbeda dengan organisasi-organisasi “lainnya” adalah aspek sufistiknya atau tasawuf. Kalau organisasi-organisasi “lainnya” biasanya hanya berkutat pada teks al-Qur’an dan Hadis saja, tetapi NU tidak. Organisasi “lain” itu tidak mau mendapatkan pengetahuan keislaman dari non-teks, misalnya seperti akal atau dzauq. Wah, kalau bagi saya malah sudah kalau harus hidup seperti itu. Salah seorang ulama kontemporer, Ustadz M. Abid al-Jabiri membagi sumber pengetahuan (atau bahasa kerennya epistemologi hehe) keislaman ada tiga, yakni Bayani (dari teks), Burhani (dari rasio), dan Irfani (dari dzauq, rasa, intuisi). Ketiganya ini penting dalam kehidupan beragam orang Islam. Tidak usah jauh-jauh, akal misalnya, contohnya ketika mengisi Te Te Es, kita tidak akan bisa mendapatkan jawabannya dengan ijtihad menggali dari teks atau dzauq, rasanya tidak akan ketemu. Berbeda jika kita memakai akal pikiran. Dengan memakai media akal, soal-soal yang susah sekalipun akan bisa terjawab (jika bisa sich hehe), makanya akal penting sebagai sumber pengetahuan (ini hanya contoh yang ada unsur joke-nya, tidak usah terlalu diperhatikan hehe).
Meskipun akal itu penting, tetapi yang erat kaitannya dengan NU adalah dzauq yang merupakan media dari epistemologi Irfani. Irfani inilah yang banyak dikembangkan di kalangan warga NU dengan thariqah-thariqahnya. Thariqah pada dasarnya adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Orang tidak boleh asal dekat saja tanpa dibarengi dengan cara yang diajarkan oleh Waliyullah, orang yang sudah berpengalaman. Oleh karena itu, di kalangan warna NU, cara mendekat pada Allah adalah dengan cara thariqah dengan bimbingan mursyid. Selain itu, dengan thariqah ini pula seseorang dapat lebih “mudah dan cepat” dalam mendekatkan diri kepada Sang Khalik (tidak perlu panjang-panjang, karena saya bukan ahli thariqah hehe, tapi semoga di masa mendatang bisa bergabung di dalamnya, amin).
Kyai-kyai NU terkenal dengan irfaninya, sebut saja Syaikhuna Khalil Bangkalan yang sebagaimana disebut sebelumnya telah memberi restu pendirian NU. Dengan irfani ini, jawaban yang muncul bukan lagi melalui “wasilah” al-Qur’an dan hadis, tapi sudah langsung dari Sang Pemberi Hidup. Allah memberikan jawaban lewat dzauq yang dimiliki manusia. Allah langsung memberikan solusi atas problematika yang mendera. Tapi eitz, jangan tiba-tiba bilang bid’ah dulu ya. Susah kalau mengatakan dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bid’ah (lama-lama jadi bid’ah kok cuma sedikit hehe). Apalagi dibarengi dengan embel-embel perkataan “nanti syirik itu”, “tahayul itu”, “tidak logis itu”, “seharusnya pedoman umat Islam hanya al-Qur’an dan Hadis saja” dan dan beragam embel-embel lainnya.
Memang al-Qur’an dan Hadis (Bayani) itu penting, terlebih lagi belajar tafsir dan syarahnya. Namun jangan sampai menafikan eksistensi Irfani, sebab hal itu langsung nyambung dengan Sang Khalik. Kalau dilacak dalam ritual kita, gampangnya seperti shalat istikharah lah. Kalau dirundung sebuah masalah yang membuat pusing kepala, kita lazimnya menjalankan shalat istikharah, berdoa diberikan solusi terbaik oleh Allah. Pertanyaannya, mengapa tidak langsung kepada al-Qur’an dan Hadis? Bukankah keduanya sudah lengkap dan merupakan solusi atas problematika hidup manusia? Coba direnungi ya... Nah, dari sini dipahami bahwa seorang muslim penting mempelajari al-Qur’an dan Hadis, akan tetapi jangan lupa pada dzauq, rasa, intuisi sebagai media dalam epistemologi irfani, yang notabenenya banyak dikembangkan di kalangan sufi atau ahli tasawuf.  
Coba logika yang terbangun ini disingkronkan dengan terbentuknya NU yang menggunakan nalar irfani, baik  pendiriannya maupun lambangnya sekalipun. Jadinya seperti apa? Marilah kita renungi bersama sebagai orang awam dan notabenenya masih jauh sekali dengan-Nya.

NB: tulisan ini hanya ngobrol-ngobrol santai sembari minum kopi sesama orang yang lagi belajar. Bagi kalangan intelektual yang “burhani”nya kuat, tolong yang sabar ya, tolong pahami konteks saya sekarang ini hehe..       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar