Rabu, 04 Maret 2020

Sumber Hukum Islam Yang Disepakati (PAI F Semester Genap 2019/2020)



SUMBER HUKUM YANG DISEPAKATI
(AL-QUR’AN, AL-SUNNAH, IJMA’, QIYAS)

MUHAMMAD ALWI FUADI (17110078)
Mahasiswa PAI, UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang


Abstract
This material talks about the sources of law agreed upon by the ulama or mujtahid in determining a law or case in the daily life of a Muslim. Furthermore these sources explain about the laws in terms of jurisprudence, be it about fiqh of worship or fiqh mu’amalah. The approved legal sources are divided into four parts, namely al-Qur'an, al-Sunnah, Ijma ’, Qiyas. The four sources of law are our basis in determining law in a case. When we find a case that we do not know the law, then we look in the Qur'an first if we still do not understand or find the law then we look for in the sunnah of the Prophet Muhammad. if you still don't understand or find the law, then we look for the Ijma 'of friends or tabi'in or from the agreement of the mujtahid but the scope is still not extensive, if we still don't understand or find the law of the case then we can point to Qiyas . This Qiyas has a broad scope of the three sources mentioned earlier.

Abstrak
Materi ini berbicara mengenai tentang sumber-sumber hukum yang disepakati oleh para ulama atau mujtahid dalam menentukan sebuah hukum atau perkara dalam kehidupan sehari-sehari seorang muslim. Lebih lanjutnya sumber-sumber ini menjalaskan tentang hukum-hukum dalam hal fiqih, baik itu tentang fiqih ibadah atau fiqih mu’amalah. Sumber-sumber hukum yang disetujui terbagi dalam empat bagian, yakni al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, Qiyas. Keempat sumber hukum tersebut adalah dasar kita dalam menentukan hukum dalam sebuah perkara. Ketika kita menemukan perkara yang kita belum kita tahu hukumnya, maka kita cari didalam al-Qur’an terlebih dahulu jika masih belum memahami atau menemukan hukumnya maka kita cari didalam sunnah Nabi Muhammad SAW. jika masih belum memahami atau menemukan hukumnya, maka kita cari didalam Ijma’ para sahabat atau tabi’in atau dari kesepakatan para mujtahid akan tetapi cakupanya masih belum luas, jika masih belum juga kita memahami atau menemukan hukum dari perkara tersebut maka kita bisa mngarah kepada Qiyas. Qiyas ini memiliki cakupan luas dari pada ketiga sumber yang telah di sebutkan tadi.
Keywords: Sumber Hukum, Al-Qur’an, Al-Sunnah, Ijma’, Qiyas

A.    Pendahuluan
Dalam penentuan hukum, terutama dalam bidang fiqih, diperlukan dalil-dali atau dasar hukum. Dalil ini nantinya yang akan dijadikan sebagai bukti dari sudut pandang yang benar atas hukum syara’mengenai perbuatan manusia secara pasti atau dugaan.[1] Dalil-dalil hukum dan sumber-sumber hukum merupakan pengistilahan yang sama. Sumber dalam penentuan hukum dalam fiqih kurang lebih memiliki arti yang sama yakni menjadi dasar dan menjadi bukti dalam pemutusan hukum dalam fiqih.
Sumber-sumber atau dalil-dalil ini dibagi menjadi dua golongan yang pertama adalah sumber hukum yang di sepakati, yang kedua adalah sumber hukum yang tidak disepakati. Sumber-sumber yang disepakati antara lain meliputi:
1.      Al-Qur’an
2.      Hadist atau Sunnah
3.      Ijma’
4.      Qiyas
Sedangkan sumber-sumber yang tidak disepakati antara lain:[2]
1.      Istihsan
2.      Maslahah al-mursalahah
3.      ‘Urf
4.      Mazhab Sahabi
5.      Istishab
6.      Sadd ad dzari’ah
7.      Syar’u man Qoblana
Akan tetapi yang akan menjadi fokus dalam mater ini adalah sumber-sumber hukum yang disepakati yakni al-Qur’an, Hadist atau Sunnah, Ijma’ Qiyas. Keempat sumber inilah yang menjadi dasar penentuan hukum dalam Islam, keempat sumber ini dibagi dua golongan yakni sumber naqli (al-Qur’an dan Sunnah) dan juga sumber aqli (Ijma’ dan Qiyas). Sumber naqli bisa dikatakan sebagai sumber yang berasal dari atau sudah dijelaskan didalam nash al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan sumber aqli merupakan sumber yang belum dijelaskan dalam nash,yang mana dikembangkan dengan Ijma’ dan Qiyas.

B.     Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas
Guna memperdalam memahami keempat sumber hukum ini, diperlukan pemaparan lebih lanjut tentang sumber-sumber hukum tersebut, oleh sebab itu penulis memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai sumber hukum al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas.
1.      Al-Qur’an
Menurut para pakar ushul fiqih dan bahasa Arab, al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang lafazd-lafazdnya mengandung mu’jizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari awal Surah Al-Fatihah sampai akhir Surah An-Nas.[3]Al-Aqur’an merupkan suber utama dalam penentuan hukum sebelum sunnah, ijma’, dan qiyas.
Ada pula yang mendefinisikan al-Qur’an dengan artian sebagai berikut, kalam Allah dengan lafazd berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. untuk direnungkan, diingat, dan berdasarkan riwayat mutawatir.[4] Al-Qur’an tidak mengalami perubahan sama sekali, dari segi lafazd, isi, susunan redaksi maupun isi kandungan hukum yang ada didalamnya. Sebagaimana telah di firmankan oleh Allah SWT, yang berbunyi:

إِنَّانَحْنُنَزَّلْنَاالذِّكْرَوَإِنَّالَهُلَحَافِظُونَ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Dzikr (Al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami selalu menjaganya”.(Q.S, Al-Hajr (15): 9)

Allah SWT. telah menjelaskan kepada kita bahwa sanya al-Qur’an merupakan mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai penguat risalahnya.[5]Allah SWT. memberi perintah kepada Nabi Muhammad SAW, dengan firmanya yang berbunyi

أَمْيَقُولُونَافْتَرَاهُ ۖ قُلْفَأْتُوابِعَشْرِسُوَرٍمِثْلِهِمُفْتَرَيَاتٍوَادْعُوامَنِاسْتَطَعْتُمْمِنْدُونِاللَّهِإِنْكُنْتُمْصَادِقِينَ
Artinya: “Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat al-Qur’an itu”. Katakanlah:”(kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. (QS.  Al-Hud: 13).

Dari ayat diatas dapat kita simpulakan bahwasannya tidak ada satu pun orang atau mahkluk yang ada di alam semesta ini yang bisa membuat sesuatu yang menyamai al-Qur’an kecuali Allh SWT. dan kita juga harus bersyukur bahwa kitalah orang yang paling fasih bahasanya dan paling variatif retoriktanya. Kemudian Allah memperkuat argumentasi dan memberi penjelasan yang lebih jelas dengan berfirman kepada mereka.[6]
قُلْلَئِنِاجْتَمَعَتِالْإِنْسُوَالْجِنُّعَلَىٰأَنْيَأْتُوابِمِثْلِهَٰذَاالْقُرْآنِلَايَأْتُونَبِمِثْلِهِوَلَوْكَانَبَعْضُهُمْلِبَعْضٍظَهِيرًا

Artinya: “Katakanlah:”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.(QS. Al-Isra’(17):88)

Salah satu contoh dalil atau sumber hukum dari al-Qur’an, salah satunya adalah melakukan dera /  cambukan pada seseorang digantungkan pada terwujudnya zina pada seorang tesebut. Sehingga cambukan harus diulang-ulang sebanyak pengulangan zina yang dilakukan orang tersebut .[7] dalilnya sebagai berikut:

الزَّانِيَةُوَالزَّانِيفَاجْلِدُواكُلَّوَاحِدٍمِنْهُمَامِائَةَجَلْدَةٍ
Artinya:”Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah setiap seorang dari keduanya seratus kali dera”.(QS. An-Nur:2)

2.      Sunnah
Kedudukan Sunnah Nabi Muhammad SAW. sebagaimana kedudukan al-Qur’an, yang mana sebagai sumber hukum atau ushul syar’iy dan juga sebagai dalil hukum syara’. Kedudukan sebagai sumber syara’ atau ushul syar’iy adalah karena Sunnah Nabi itu mengandung norma hukum yang kepadanya didasarkan hukum syara’ dan digali, ditemukan dan dirumuskan hukum syara’.[8]
Secara  etimologis kata Sunnah memiliki arti cara yang biasa dilakukan., apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Penggunaan kata Sunnah dalam arti yang terlihat dalam sabda Nabi Muhammad yang berbunyi:[9]

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةٍ فَعَليْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artiinya: Siapa yang membuat sunah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakanya dan siapa yang membuat sunah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakanya sampai hari kiamat.

Di dalam al-Qur’an juga menyebutkan kata Sunnah didalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa suarah dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan juga “jalan yang diikuti”.[10] Salah satunya dalam firman Allah SWT. yang berbunyi, sebagai berikut:

سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا ۖ وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا
Artinya: (Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu.(QS. Al-Isra’:77)

Adapun hubungan  Sunnah dan al-Qur’an dilihat dari sisi materinya hukum yang terkandung didalamnya sebagai berikut:[11]
a.       Muaqqi
Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan didalam al-Qur’an dikuatkan dan dipertegas lagi oleh Sunnah, misalnya tentang sholat, zakat terdapat dalam al-Qur’an dan dikuatkan oleh Sunah.
b.      Bayan
Yaitu Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang belum jelas, dalam hal ini ada empat hal:
1)      Memberikan perincian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal, misalnya peintah shalat dalam al-Qur’an yang mujmal, diperjelas dengan Sunnah. Demikian juga tentang zakat, haji dan puasa. Dalam shalat misalnya.
2)      Membatasi kemutlakan (taqyid al-muthlaq). Misalnya al-Qur’an memerintahkan untuk berwasiat, dengan tidak dibatasi berapa jumlahnya. Kemudian Sunnah membatasinya.
3)      Mentakhshishkan keumuman. Misalnya: al-Qur’an mengharamkan tentang bangkai, darah, dan daging babi, kemudian Sunnah mengkhususkan dengan memberikan pengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa.
4)      Menciptakan hukum baru. Rosulullah melarang untuk binatang buas dan yang bertaring kuat, dimana hal ini tidak disebutkan dalam al-Qur’an.
Sunnah juga memiliki beberapa macam, dalam hal ini ada tiga macam, yaitu:[12]
a)      Sunnah qauliyah
Yaitu ucapan Nabi Muhaamad yang didengar oleh para sahabat beliau dan disampaikannya kepada orang lain. Contohnya sahabat menyampaikan bahwa ia mendengar Nabi Muhammad, bersabda: “Siapa yang tidak sholat karena tertidur atau karena ia lupa, hendaklah ia mengerjakan shalat itu ketika ia telah ingat”.
b)      Sunnah fi’liyah
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh NAbi Muhammad SAW. yang dilihat atau  diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapanya. Contohya, sahabat berkata, “Saya melihat Nabi Muhammad SAW. melakukan shalat sunat dua raka’at sesudah shalat zduhurz.”
c)      Sunnah taqririyah
Yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapanya yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi Muhammad, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi. Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kepada orag lain dengan ucapanya. Sebagai contohnya, seoarang sahabat memakan daging dhab di depan Nabi. Nabi mengetahui apa yang dimakan oleh sahabat tersebut, tetapi Nabi tidak melarang atau menyatakan keberatan atas perbuatan itu. Kisah itu disampaikan oleh sahabat yang mengetahuinya dengan ucapanya, “Saya melihat seorang sahabat memakan daging dhab di dekat Nabi. Nabi mengetahui, tetapi Nabi tidak melarang perbuatan itu.”
3.      Ijma’
Ijma’ merupakan salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentative setingkat dibawah dalil-dalil nash (al-Quran dan Hadist). Ijma’ merupakan dalil pertama setelah al-Quran dan Hadist, yang dapat dijadikan pedoman dalam mengggali hukum-hukum syara’.[13] Dari beberapa pendapat terdapat definisi sebagai berikut
a.       Ijma’ dapat terjadi dengan atau jika para ulama atau para mujtahid bersepakat
b.      Adanya permasalahan yang tidak terdapat dalam Nash.
c.       Terjadi di masa tertentu atau juga di masa lampau
Ijma’ ini juga tidak sah jika:
a.       Ada yang  tidak menyetujui
b.      Hanya ada satu orang mujtahid
c.       Tidak ada kebulayan yang nyata
d.      Sudah jelas atau sudah ada di dalam Nash.
Didalam pemutusan ijma’ haruslah ada para ulama atau orang-orang yang berhak mengesahkan ijma’, orang-orang ini atau ulama’ ini di sebut dengan mujtahid, merekalah yg berhak memutuskan di sahkan atau tidaknya ijma’ tersebut. Ijma’ sendiri sudah dilakukan pada masa para sahabat Nab Muhammad SAW. ketika mereka menemukan suatu permasalahan, yang mana masalah tersebut tidak dijelaskan atau tidak diketemukan didalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, lalu merka melakukan ijtihad kuntuk menentukan hukum dari permasalahan tersebut.
Pada masa Nabi Muhammad SAW. masih hidup, umat Islam dapat menyaka semua permasalahan yang dihadapi terkait hukum syar’i secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW. kemudian Rosulullah kemudian menjawabnya berdasakan wahyu yang diturunkan. Kemudian ketika Rosulullah wafat, muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak didapatkan pada masa Rosulullah, sehingga untuk memutuskan hukumnya mutlak diperlukan Ijtihad dan Ijma’ salah satu metode untuuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Salah satunya mengenai masalah kodifikasi al-Qur’an, atau masalah penetapan status tanah daerah taklukan yang semakin luas, pada masa itu Khalifah bersama para sahabat melakukan musyawarah untuk bersama-bersama memecahkan masalah yang dihadapi.[14]
4.      Qiyas
Secara etimologis qiyas merupakan bentuk masdar dari qasa-yaqisu yang berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu.[15] Secara terminologis ada beberapa pendapat atau definisi yang diemukakan oleh para ulama di antaranya adalah pendpat dari Imam Al-Ghozali, beliau mendifinisikan qiyas sebagai berikut:
“Menggunakan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama diantara keduanya, dalam menetapkan hukum atau peniadaan hukum.”
Selain dari pada itu Ibnu Sabhi dalam bukunya Jam’ul Jawami’, beliau mendefinisikan qiyas sebagai berikut:
“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam ‘ilat hukumnya menurut pihak yang menghubungkannya (mujtahid.”[16]

Selain dari dua definisi yang dikemukakan oleh dua ulama’ ini, sebenarnya masih banyak lagi definisi yang laian dari para ulama lainya, akan tetapi pada intinya definisi-definisi tersebut sama yaitu, menetapkan suatu hukum dari suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada seuatu kejadian atau peristiwa lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘ialat diantara keduanya. Proses dalam penatapan hukum dengan qiyas tidaklah menetapkan hukum dari awal, akan tetapi hanya menyingkap dan menjelaskan hukum pada suatu perkara yang belum jelas hukumnya. Penetapanya dilakukan dengan teliti terhadap ‘ilat dari suatu kasus yang dihadapi. Apabila diantara ‘ilat dari suatu perkara ini sama dengan ‘ilat hukum yang sudah ada atau sudah dijelaskan atau disebutkan didalam nash, maka hukum tersebut adalah sama dengan hukum yang telah ditentukan didalam nash tersebut.
Ada empat unsur pokok (rukun) qiyas, yakni:[17]
a.       Ashl (pokok), adalah suatau peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan atau bisa disebut miqas ‘alaih. Menurut para ahli ushul fiqh, ashl adalah nash yang menetukan hukum, karena nash inilah yang dijadikan patokan dalam menentukan hukum far’u. syarat ashl  diantara lain:
1)      Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok. Kalau tidak ada, seperti jika sudah dihapusakan (mansukh) pada masa Rosululah, maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
2)      Hukum yang terdapat pada ashl itu hendaklah hukum syara’
3)      Hukum ashl bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa orang lupa, meskipun makan dan minum.
b.      Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya. Far’u itulah uang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga dengan maqis, yang dianalogikan. Para ulama ushul fiqh mengemukakan empat syarat yang harus dipenuhi:
1)      Ilatnya sama dengan ‘ilat yang ada pada nash,baik pada zatnya maupun pada jenisnya. Sebagai contoh yakni mengqiayaskan wisky pada khamr, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya haram. ‘ilat yang ada pada wisky sama zat atau materinya dengan ‘ilat yang ada pada khamr.
2)      Hukum ashl tidak berubah setelah diqiyaskan
3)      Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl , artinya hukum far’u itu harus dating dikemudian dari hukum ashl.
4)      Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u, artinya tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’.
c.       Hukum ashl yaitu hukum syar’i yang diterapkan oleh nash. Syarat-syarat hukum ashl antara lian sebagai berikut:
1)      Hukum ashl hendaknya hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, karena yang menjadi kajian usuhl fiqh adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan
2)      Hukum ashl dapat ditelusuri ‘ilat hukumnya, seperti hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu diharamkan, yaitu karena memabukkan. Bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘ilat hukumnya, seperti masalah bilangan makna.
3)      Hukum ashl itu lebih dahulu disyari’atkan dari far’u, dalam hal ini tidak boleh mengqiyaskan wudlu dengan tayamum, sekalipun ‘ilat-nya sama, karena syari’at wudlu terlebih dahulu turun dari pada tayamum.
d.      ‘Ilat adalah suatu sifat yang terdapat pada ashl, dengan adanya sifat itulah ashl mempunyai suatu hukum dan dengan itulah terdapat banyak cabang sehingga hukum cabang itu disamakan dengan ashl.

Hal-hal yang telah di jelaskan diatas merupakan rukun atau pokok-pokok dalam menjalani qiyas, dan dengan pokok-pokok diatas penatapan hukum qiyas akan diterima dan di sahkan, meskipun masih banyak pro dan kontra didalamnya.



DAFTAR PUSTAKA


Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam, Terj. Faiz el Muttaqin.  Jakarta:Purtaka Amani,2003.
Hayatuddin, Amrullah.Ushul Fiqih:Jalan Tengah Memahami Hukum Islam. Jakarta: Amzah, 2019.
Yasin, Achmad. Buku Perkuliahan Ilmu Usul Fiqih: Dasar-Dasar Istinbat Hukum Islam. Surabaya:UINSA Press, 2013.
Al-Jurjawi, Ali Ahmad.Hikmatut Tasyri’: Menyingkap Hikmah Di Balik Perintah Ibadah. Terj. Toyib Arifin. Yogyakarta: Qudsi Media 2015.
Afandi, Kholid dan Nailul Huda. Dari Teori Ushul Menuju Fiqih: Ala Tashil Ath-Thuruqat. Kediri: Santri Salaf press 2013.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih JIlid 1. Jakarta: Kencana, 2008.
Sulistiana, LS.(2018).Perbandingan Sumber Hukum Isalam.Jurnal peradaban dan hukum Islam, 1.
Syafe’i, Z. (1997). Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam, Al-Qolam.8.
Tohari, C. (2019). Konsep Ijma’ Dalam Ushul Fiqh Dan Klaim Gerakan Islam 121. Jurnal Aqlam-Journal of Islam and Plurality. 4
Kholiq, AN. (2014). Relevansi Qiyas dalam Istinbath Hukum Kotemporer .Jurnal hukum Islam. 1.

Catatan:
Pembahasan kurang mendalam



[1] Abdul wahab khlaf, Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam, Terj. Faiz el Muttaqin, (Jakarta:Purtaka Amani,2003), hlm. 13
[2]Amrullah Hayatudin, Ushul Fiqih:Jalan Tengah Memahami Hukum Islam (Jakarta: Amzah, 2019), hal. 36
[3] Ibid. hlm. 37
[4] Achmad Yasin, Buku Perkuliahan Ilmu Usul Fiqih: Dasar-Dasar Istinbat Hukum Islam(Surabaya:UINSA Press, 2013), hlm. 32
[5]  Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri’: Menyingkap Hikmah Di Balik Perintah Ibadah. Terj. Toyib Arifin(Yogyakarta: Qudsi Media 2015), hlm. 30
[6] Ibid, Hlm. 31
[7]Kholid Afandi, Nailul Huda,Dari Teori Ushul Menuju Fiqih: Ala Tashil Ath-Thuruqat,(Kediri: Santri Salaf press 2013), hlm. 109
[8]Amir Syarifuddin,Ushul Fiqih JIlid 1,(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 226
[9] Ibid.
[10] Ibid, hlm. 227
[11]Siska Lis Sulitiani, “Perbandingan Sumber Hukum Isalam”, Jurnal peradaban dan hukum Islam. Vol.1 No. 1 Maret, 2018, hlm. 106
[12] Amir syarifuddin, op., cit. hlm. 229
[13] Zakaria Syafe’I, “Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam”Al-Qolam.Vol 8 No. 67, Tahun 1997, hal. 29
[14] Chamim Tohari, “Konsep Ijma’ Dalam Ushul Fiqh Dan Klaim Gerakan Islam 121”, Jurnal Aqlam-Journal of Islam and Plurality, Vol. 4 No. 2, Desember 2019, hlm. 152
[15] Arifana nur kholiq,”Relevansi Qiyas dalam Istinbath Hukum Kotemporer”.Jurnal hukum Islam, Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014, hal. 172
[16] Ibid.-
[17] Ibid, hal. 173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar