Senin, 21 Oktober 2019

Hadis dan Historitasnya (PAI D Semester Ganjil 2019/2020)



HADIS DAN HISTORINYA
Anisa Nur Alviani (18110038) dan Roisatul Muslimah (18110126)
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract: Hadith is a legal source that has the second position after the Koran. Hadith is as an explanation of the verses of the Koran. Without the Hadith of Muslims the difficulty will be in the implementation or practice of the Koran. Then what is the Hadith and how is the history of the development of the Hadith? In this article will explain what is hadith, also the types of hadith, the development of Hadith and the differences between Hadith, Sunnah, Khabar and Atsar.
Keywords: Hadith, History of the development of Hadith
Abstrak: Hadis adalah sumber hukum yang memiliki kedudukan ke dua setelah Alquran. Hadis adalah sebagai penjelas dari ayat-ayat Alquran. Tanpa adanya Hadis umat islam akan kesulitan dalam pelaksanaan atau praktik dalam Alquran. Lalu apakah Hadis itu dan bagaimana sejarah perkembangan Hadis? Didalam artikel ini akan menjelaskan apa itu hadis, juga macam-macam hadis, perkembangan Hadis dan perbedaan antara Hadis, Sunnah, Khabar dan Atsar.
Kata kunci : Hadis, Sejarah perkembangan Hadis

A.    Pendahuluan
Kita sebagai umat Islam dalam berbuat, beribadah, berperilaku itu semua diatur dalam sebuah system. Sitem tersebut biasa kita sebut sebagai hukum Islam. Hukum-hukum Islam juga memiliki berbagai sumber, salah satunya yaitu hadis. Dalam hukum Islam disebutkan bahwa hadis menempati urutan kedua setelah kitab suci Alquran, yang selanjutnya yaitu ijma dan qiyas. Secara umum hadis biasa disebut sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saw.walaupun pada dasarnya semua yang ada pada diri Nabi berasal dari Allah swt. termasuk ucapan beliau.
Setiap sesuatu pasti ada sejarah terbentuknya, seperti halnya hadi itu sendiri. Pada awalnya hadis belum sefenomenal dan sangat mudah kita dapatkan seperti saat ini, karena sea itu pasti ada prosesnya. Dan di setiap proses pasti tidak berlangsung secara cepat dan mudah karena pasto ada rintangan dalam proses itu sendiri, namun di balik rintangan itu pasti ada saatnya kita menuai keberhasilan atau titik puncak sebelum mencapai garis akhir dari proses itu sendiri.
Di dalam hadis itu sendiri juga bukan berasal dari perkataan Nabi saja, namun juga da perbuatan serta ketetapan yang berasal dari Nabi yang berisi kebaikan yang nati halnya dapat kita jadikan contoh dalam berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Di hadis juga terdapat beberapa tingkatan. Tingkatan-tingkatan ini juga dapat kita gunakan sebagai tolak ukur mana hadis yang baik, hasan atau bahkan hadis dhoif. 

B.              Pengertian Hadis
Hadis secara bahasa dari kata (al-hadits) sesuatu yang baru, bentuk jamak dari hidats, hudatsa’, dan huduts[1]. Adapun Hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan. Dalam islam terdapat dua sumber hukum yaitu Alquran dan Hadis. Kedua sumber hukum tersebut  saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam perannya memberikan petunjuk makhluk hidup. Jika Alquran merupakan sumber utama yang berisi prinsip-prinsip pokok kehidupan yang diterangkan secara mujmal, maka Hadis diterangkan secara mubayyin dan tuntunan operasionalnya[2]. ada pernyataan yang mengatakan tanpa adanya Hadis akan banyak menjumpai kesulitan untuk mempraktikkan Alquran. Terdapat banyak perbedaan pendapat para ulama dalam memeberi definisi Hadis dapat dilihat dari definisi yang dimajukan para ahli hadis (muhadditsn), ulama ushul fiqih (ushliyyn) dan para ulama’ fiqh (fuqah).[3]
Munculnya perbedaan dalam mendefnisikan hal tersebut terjadi adanya perbedaan tinjauan dan objek dalam kajian yang sessuia dengan keilmuan masing-masing. Secara bahasa hadts berarti jadd (baru) juga bermakna berita.[4] Dari pernyataan tersebut Hadis lebih mengacu pada perkataan. Akan tetapi dalam perkebangan Hadis mengalami perluasan makna Hadis, yang didefinisikan sebagai segala perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan kepada Rosullullah[5]. Selain itu Hadis juga digunakan untuk sesuatu yang disandarkan kepada Allah yang dikenal dengan Hadis Qudsi yaitu Hadis yang disandarkan oleh Nabi kepada Allah. Disebut Hadis karena berasal dari Rasulullah dan dikatakan Qudsi sebab disandarkan kepada Allah.[6]
Kadang-kadang Hadis disebut sunnah, khabar dan atsar namun sebenarnya mereka memiliki perbedaan pengertian, makna Hadis lebih luas dan didalamnya mencangkup sunnah, khabar dan atsar. Dikalangan ulama hadis, Hadis merupakan sinonim sunnah, namun Hadis pada umumnya digunakan untuk istilah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rosulullah setelah diutus jadi Nabi (bi’tsah).[7] Hadis dijadikan sumber hukumdi daalam islam selain Alquran, Qiyas, Ijma’ sedang kedudukan hadis adalah sumber hukum ke dua setelah Alquran.

C.          Perbedaan Hadis, Atsar, Khabar, dan Sunah
1.      Hadis
Hadis secara bahasa dari kata (al-hadits) sesuatu yang baru, bentuk jamak dari hidats, hudatsa’, dan huduts[8]. Adapun Hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan.
2.      Sunnah
Sunnah menurut bahasa memiliki banyak arti diantaranya “suatu perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk[9]. Sunnah yang baik seperti yang dicontohkan nabi memang harus diikuti dan sunnah buruk (sunnah yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab) harus dijauhi . Makna sunnah yang lain diartikan sebagai “Tradisi yang kontinu[10]misalnya yang terdapat di firman Allah dalam surah Al- Fath (48):23 yang artinya ”Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu
Sunnah menurut istilah , terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, diantaranya adalah
a.                   Menurut ulama hadis, sunnah sinonim hadis sama dengan definisi hadis. Para ulama mendefinisikan sunnah dengan ungkapan singkat yaitu “segala perkataan Nabi, perbuatannya dan segala tigkah lakunya”.[11]
b.                  Menurut ulama ushul fikih, hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum islam.
c.                   Menurut ulama fikih, sunnah dilihat dari segi hukum sesuatu yang dating dari Nabi tetapi hukumnya tidak wajib, diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya.[12]

3.            Khabar
Menurut bahasa khabar diartikan berita. Dari segi istilah muhadditsn khabar identic dengan Hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perbuatan, perkataan, sifat dan persetujuan[13]. Mayoritas ulama melihat Hadis lebih khusus sedangkan khabar sesuatu yang datang dari padanya (Nabi) dan yang lain (berita-berita umat terdahulu dan yang lain). Antara sunnah dan khabar jika disandingkan dengan hadis, maka khabar memiliki kedekatan atau kemiripan dengan hadis. Hal tersebut sesuai tahdis (pembicaraan) yang meiliki arti semua ikhtibar (pemberitaan). Atau bisa dikatakan bahwa hadis Nabi adalah segala berita atau ucapan yang berasal dari beliau. Hanya saja, nama ikhbari lebih dikhususkan kepada orang-orang yang mendalami tarikh-tarikh dan yang sejenis, sedangkan istilah muhaddits lebih dikhususkan kepada orang-orang yang menekuni sunnah. Para ulama menyimpulkan bahwa hadis adalah segala sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi. Hal ini sesuai dengan ucapan mereka yaitu “Antara khabar dan hadis ada pengertian umum dan khusus. Setiap hadis adalah khobar, tetapi tidak sebaliknya. ”[14]

4.            Atsar
Dari segi bahasa atsar diartikan “ peninggalan atau bekas sesuatu” maksudnya peninggalan atau bekas dari Nabi (Hadis). Atau  diartikan “yang dipindahkan dari Nabi”. Menurut istilah ada dua pendapat, yaitu yang pertama atsar sinonim Hadis. Kedua, atsar dalah sesuatu yang disandarkan kepada pada sahabat dan tabi’in baik perkataan maupun perbuatan.[15] Antar atsar, khabar, hadis, dan sunah pun juga memiliki persamaan atau meliki arti yang hamper sama. Atsartu al-hadis yang artinya Aku (Nabi) meriwayatkan hadis. Jadi, kata hadis tersebut tidaklah dicantumkan secara spesifik apa itu atsar apakah itu disandarkan kepada sahabat (mauquf) ataupun kepada tabi’in (maqthu). Karena antara mauquf dan maqthu sama-sama disandarkan kepada Nabi (marfu). Jadi mudahnya adalah hadis yang disandarkan kepada nabi (marfu) mencangkup semuanya. Hanya saja, mauquf lebih khusus kepada sahabt, maqthu lebih khusus kepada tabi’in, seta marfu lebih khusus kepada Nabi.[16]

D.    Bentuk-Bentuk Hadis
1)         Hadis yang berupa ucapan (qawli)
Yaitu hadis yang diperoleh dari segala bentuk perkataan dan ucapan yanrg disandarkan kepada Nabi. Perkataan itu yang berisi petunjuk syara’ dan tuntunan, kisah-kisah, peristiwa yang berkaitan dengan aspek akidah, syari’ah, dan akhlak.
2)         Hadis yang berupa perbuatan (fi’li)
Segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi, seperti halnya cara Nabi dalam sholat, wudhu, dan lainnya yang disampaikan untuk umat islam melalui para sahabat.
3)         Hadis yang berupa persetujuan (taqriri)
Tidak semua hadis berasal dari Nabi, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan. salah satunya Hadis taqriri yaitu Hadis yang berupa ketetapan dari Nabi terhadap apapun yang datang atau yang dilakukan oleh para sahabatnya baik ucapan maupun perbuatan dengan cara Nabi diam (tanda setuju) , setuju dan menganggapnya bagus.
4)         Hadis yang berupa Hal Ihwal (Ahwali)
Hadis yang berupa hal ihwal Nabi yang berkenaan dengan dengan sifat-sifat dan kepribadian serta keadaan fisiknya. Adapun hadi ini adalah sesuatu yang berasal dari Nabi yang berkenaan dengan kondisi fisik, akhlak, dan kepribadiannya.
5)         Hadis yang berupa Cita-cita (Hammi)
Nabi tetap lah Manusia, beliau juga memiliki cita-cita sama sepeti manusia pada umumnya. Yang sebagian cita-cita itu tercapai dan sebagiannya tidak. Hadis Himmi ini adalah Hadis berupa keinginan atau hasrat Nabi yang belum terealisasikan. Hakikatnya hadis ini bukan kategori perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat-sifat Nabi. Tetapi, bila dilihat secara realitas, hadis Hammi ini belum terwujud masih dalam ide dan keinginan yang belum tercapai ketika Nabi menginginkannya yang pelaksanaannya akan dilakukan pada masa selanjutnya.

E.     Macam-Macam Hadis
1)      Ditinjau dari sumber berita
Ø  Hadis Qudsi, hadis ini dinamakan suci (al-Qudsi), karena disandarkan pada zat tuhan yang maha esa. Sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi Hadis, sandaran Hadis kepada allah tidak menunjukkan kualitas Hadis. Oleh karena itu, Hadis Qudsi tidak semuanya shahih tetapi ada yang shahih, hasan dan dha’if tergantung syarat periwayataan yang terpenuhinya, baik segi sanad atau matan.
Ø  Hadis marfu’, marfu’ menurut pengertian bahasa artinya “yang diangkat” atau yang “ditinggikan”. Jadi Hadis marfu’ adalah Hadis yang terangkat sampai kepada rosulullah saw. Atau menunjukkan ketinggian kedudukan beliau sebagai seoranng rosul.
Ø  Hadis mauquf ,mauquf menurut bahasa waqaf artinya berhenti atau stop. Hadis mauquf adalah sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat atau segolongan dengan sahabat baik dari perkataan, perbuataan, dan persetuujuan baik bersambung sanadnya atau terputus.
Ø  Hadis maqthu’, Hadis maqthu’ adalah sifat matan yang disandarkan kepada seorang tab’in atau seorang generasi setelahnya baik berupa perkataan, pperbuatan, dan persetujuan
.
2)      Hadis dintinjau dari persambungan sanad
Ø  Hadis Muttashil / mawshul adalah Hadis yang bersambung sanadnya, baik periwayatan itu datang dari Nabi ataupun dari seorang sahabat bukan dari tab’in.
Ø  Hadis musnad, adalah hadis yang bersambung sanad-nya dari awal sampai akhir tetapi sandarannya hanya kepada Nabi tidak pada sahaabat dan tidak pula pada tab’in.

3)      Hadis ditinjau dari sifat sanad dan cara penyampaian peristiwanya
Ø  Hadis Mu’an’an, adalah Hadis yang dalam periwayatannya hanya menyebutkan sanad dengan kata ‘an fulan yang artinya dari si fulan, tidak menyebutkan ungkapan yang tegas menunjukkan bertemu (ittishal).
Ø  Hadis Muannan, adaalaah Hadis yang dikatakan kepada sanad-nya memberitakan kepada kami bahwasannya si fulan memberitakan kepadanya begini.
Ø  Hadis Musalsal, adalah keikutsertaan para perawi dalam sanad secara berturut-turut pada satu sifat atau pada satu keadaan, terkadang bagi para perawi dan terkadang bagi periwayatannya.
Ø  Hadis Ali dan Nazil, dalam istilah Hadis  ali adalah suatu Hadis  yang sedikit jumlah para perawinya sampai kepada rasulullah saw. Dibandingkan dengan sanad lain. Dan Hadis Nazil menurut istilah ulama Hadis adalah Hadis yang banyak jumlah perawinya sampai kepada Rasulullah saw. Dibandingkan dengan sanad lain. [17]

F.     Sejarah Singkat Perkembangan Hadis
Dalam proses penulisan hadis ini berbeda dengan proses penulisan Alquran. Hal ini karena setiap setelah wahyu berupa ayat-ayat Alquran diturunkan, maka Nabi Muhammad menunjuk atau menyuruh beberapa sahabat untuk menulisnya yang kemudian mereka diangkat sebagai seketaris wahyu. Jumlah dari mereka tidak kurang dari 40 orang. Sehingga tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya. Jadi secara tidak langsung penulisan Alquran ini terjadi pada masa Nabi Muhammad walaupun tulisan ini belum berbentuk mushaf seperti saat ini. Walaupun begitu penulisan hadis ini ada beberapa sahabat yang menulisnya menjadikannya sebuah catatan, namun tulisan tersebut tidak jelas juntrungnya. Jadi ada jeda atau tenggang waktu antara masa “produksi” hadis dengan penulisan hadis.[18] Berikut ini pembagian perkembangan hadis :
1.                  Hadis pada Masa Nabi
Pada masa ini belum ada perintah yang secara resmi dari Nabi untuk menuliskan hadis, hal ini sesuai dengan hadis Nabi yaitu,
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ فَلْيَتَبَوَّأْ  مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ».
Dari Abu Sa'id al-Khudri ra. Rasulullah saw bersabda: Janganlah kalian menulis dariku, dan barang siapa yang menulis dariku selain Alquran maka hendaklah dia menghapusnya. Dan bicarakanlah tentangku tanpa masalah, dan barang siapa yang berbohong atas namaku maka dia sudah mendudukkan kursinya di Neraka. (HR. Muslim)

Hal tersebut juga yang menyebabkan adanya perbedaan antara hadis Nabi yang sesungguhnya dan tradsi di lingkungan Arab. Namun, dari pelarangan penulisan ini juga terdapat hikmah yang bisa kita ambil, yaitu :
a.          Pada masa itu keadaan umat Islam masih banyak yang “ummi” (belum bias membaca dan menulis). Sedangkan pada masa itu juga turun wahyu dari Allah yaitu ayat-ayat Alquran, sehingga dikhawatirkan umat muslim tidak bias membedakan antar hadis dan Alquran.
b.         Nabi telah percaya bahwa para sahabat pasti bisa menghafalkannya demi terpeliharanya hadis tersebut meskipun tanpa tulisan maupun catatan. Hal ini menunjukkaan bahwa Nabi menyuruh kita untuk percaya terhadap kemampuan kita sendiri.[19]
c.          Larangan ini dikhususkan bagi umat Islam yang belum bisa menulis Karen ahal tersebut dikhawatirkan menulis tulisan yang salah. Sementara umat Islam yang pandai menuls tidak dilarang untuk menulis hadis tersebut.[20]
Selain larangan tetntang perintah menulis hadis, namun juga terdapat hadis yang memperbolehkan untuk menulisnya, misalnya terdapat dalam hadis di bawah ini,
اكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه الاالحق
” tulislah!, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan al-Darimi)
Namu pada akhirnya para sahabat juga bannyak yang menerapkan hadis yangn pertama, yatu tentang larangan penulisan atau membukukan hadis. Hal ini sesuai dalam sebuah qaidah fiqhiyah yaitu,

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَىٰ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak mudharat (bahaya) lebih didahulukan dari mengambil manfaat”
Namun penerapan hadis di atas hanyalah berlaku pada suatu keadaan yang resikonya.

2.               Hadis pada Masa Sahabat
Periode ini terjadi pada masa Khulafaur rasyidin yang terjadi sekitar tahun 10 H – tahun 40 H. lalu apa itu yang disebut dengan sahabat ?sahabat adalah orang-orang yang mempunyai unsur bergaul dengan Nabi dan beragama Islam. Periode ini terjadi setelah Nabi Muhammad saw. telah wafat.[21] Pada masa periode sahabat ini juga terjadi perbedaan pemahaman antara tetap menulis hadis atau tidak, alasannya pun juga sama seperti pada periode Nabi yang telah dijelaskan di atas.
Penyampaian atau penyiaran hadis pada periode ini biasa terjadi melalui lisan atau ucapan. Dan itu pun hanya berlaku hanya beberapa peristiwadalam keadaan yang sangatlah penting dan mendesak serta di saat-saat yang sangat membutuhkan yang sumber untuk penetapannya tidak ada di Alquran, sehinggaharus mencarinya di hadis-hadis Nabi. Itu semua terjadi karena tidak semua hadis yang dipahami oleh para sahabat semuanya benar serta beda kholifah berbeda pula kebijakannya dalam mengambil sumber dari sebuah hadis.[22]

3.                  Hadis pada Masa Tabi’in atau pada Abad 1 H
Periode ini dimulai sejak berakhirnya masa kepemimpinan Kholifah Ali bin Abi Tholib yang menjadikan umat muslim terpecah menjadi bebrapa golongan, diantara golongan-golongan tersebut antara lain adalah :
a.                   Khowarij
Golongan ini merupakan suatu golongan yang tidak menyetujui peristiwa tahkim yang terjadi antara Muawiyah dengan Kholifah Ali bin ABi Thalib.
b.                  Syi’ah
Golongan ini merupakan suatu golongan yang terlalu fanatic atau kukuh pendirian dan tidak mau berubah yaitu hanya menganut Ali bin Abi Thalib.
c.                      Jumhur
Golongan ini sendiri pun juga terbagi lagi menjadi tiga golongan, yakni :
1.) Golongan yang menyetujui pemerintahan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib
2.) Golongan yang lebih condong menyetujui pemerintahan muawiyah
3.) Golongan dari berbagai umat muslim yang netral atau tidak memihak salah satu dari Muawiyah maupun Ali bin Abi Thalib.
Dalam segi politik, ketiga gelombang di atas saling menarik umat muslim untuk masuk ke golongan mereka. Salah satu cara yang di gunakan oleh golongan ini yaitu dengan menerbitkan atau mengajarkan sebuah hadis atau bahkan malah membuat hadis yang palsu atau tidak sesuai dengan yang terjadi pada masa itu. Sebagai imbal balik dari golongan khawarij maka golongan lain atau lebih tepatnya golongan pro Muawiyah pun juga menanggapi hadis ini juga dengan membuat hadis palsu lagi. Sehingga hal tersebut juga menjadi salah satu kesulitan yang dihadapi oleh ulama ahli hadis dalam pembukuan hadis di masa yang akan datang.
Di akhir periode ini Khalifah Umar bin Abdul Aziz beranggapan bahwa hadis-hadis yang tersebar di masyarakat perlu untuk dibukukan atau disatukan menjadi satu, hal ini dikarenakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz merasa khawatir tentang kelestarian atau pelindungan hadis-hadis di masyarakat akan musnah atau lenyap sebab para sahabat dan para tabi’in yang menghafal hadis sudah mulai berkurang sedikit demi sedikit. Maka dari itu, beliau mengutus para pemimpin di berbagai daerah untuk segera mengumpulkan berbagai hadis di wilayahnya masing-masing serta dibukukan menjadi sebuah buku hadis-hadis. Pada periode ini, system pembukuannya difokuskan pada suatu tema. Jadi sebuah buku akan membahas satu tema yang terdiri dari berbagai hadis, namun dalam buku tersebut masih terdapat percampuran antara hadis dengan fatwa sahabat dan tabi’in.[23]

4.                  Hadis pada Abad 2 H
Pada periode ini, para ulama hadis meneruskan proses pembukuan dari periode sebelumnya. Mereka adalah Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab Az-Zuhdi yang memulai penulisan atau pembukuan sejak tahun 100 H. maka dari itu, periode ini disebut juga “Ashru at-Tadwin” yang artinya masa pembukuan. Sehingga pada periode ini muncullah ulam-ulama hadis dalam proses melanjutkan penulisan hadis ini, diantaranya adalah :
a.                      Ibnu Juraij di Makkah
b.                     Al-Auza’i di Syiria
c.                      Syufyan Ats Tsauri di Kufah
d.                     Imam Malik di Mdinah
System pembukuan hadis dalam periode ini hamper sama seperti di periode sebelumnya, namun pada periode ini sudah diklasifikasikan menjadi beberapa bab berdasarkan masalahnya. Selain itu, pada periode ini juga masih tercampurnya hadis dengan fatwa para sahabat dan tabi’in. [24]

5.                  Hadis pada Abad 3 H
Pada periode ini, pertntangan atau peperangan yang disebabkan oleh perbedaan penafsiran antara ulama kalam terutama golongan mu’tazilah dengan ulama hadis mengenai sebuah masalah. Apa masalah tersebut ?masalahnya adalah Alquran itu makluk atau bukan? Golongan mu’tazilah beranggapan bahwa Alquran ini adalah sebuah makhluk. Pendapat yang dikemukakan ini pun mendapat dukungan atau disetujui oleh para kholifah pada zamannya, seperti halnya Kholifah Ma’mun. karena kedudukannya sebagai kholifah, maka beliau pun menginstruksikan kepada seluruh rakyatnya untuk mengikuti pendapat tersebut. Jika ada yang tidak setuju maka ia akan dipenjara, seperti halnya ulama hadis sehingga ia tidak bisa lagi mengeluarkan fatwanya serta tidak diperbolehkan meriwayatkan hadis-hadis, salah satu korbannya yakni Ahmad bin Hambal.
Namun hal tersebut tetaplah bisa berubah. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika menghadapi masalah harus dihadapi dengan tenang dan sabar, maka masalah tersebut akan segera terselesaikan. Masa ini dapat juga disebut atau dikenal sebagai titik keemasan dalam pembukuan hadis. Hal ini bisa ditunjukkan dengan usaha para ulama dalam peisahan antara hadis Nabi dan bukan hadis (berupa fatwa sahabat dan tabi’in) serta ulama hadis berhasil mengklasifikasia terhadap matan dan sanadnya. Masa-masa ini biasa disebut dengan masa menghimpun dan mentashih hadis.[25]

6.                  Hadis pada Abad 4 H sampai Tahun 656 H
Menurut salah satu ulama yaitu Adz-Dzahabi, bahwa pada tahun 300 H ini biasa disebut sebagai tahun pemisah antara Ulam Mutaqaddimin dengan Ulma Mutaakhirin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan lapangan hadis mereka dalam karya ilmiah mereka masing-masing.[26]

G.    Kesimpulan
1.   Hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan.
2.    Menurut ulama hadis, sunnah sinonim hadis sama dengan definisi hadis. Para ulama mendefinisikan sunnah dengan ungkapan singkat yaitu “segala perkataan Nabi, perbuatannya dan segala tigkah lakunya
3.    Menurut bahasa khabar diartikan berita. Dari segi istilah muhadditsn khabar identic dengan Hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perbuatan, perkataan, sifat dan persetujuan. Mayoritas ulama melihat Hadis lebih khusus
4.    Dari segi bahasa atsar diartikan “ peninggalan atau bekas sesuatu” maksudnya peninggalan atau bekas dari Nabi (Hadis). Atau  diartikan “yang dipindahkan dari Nabi”.
5.    Perkembangan hadis dari masa ke masa dibagi menjadi enam masa, yaitu :
a.       Pada masa Nabi
b.      Pada masa sahabat
c.       Pada masa tabi’in
d.      Pada abad 2 H
e.      Pada abad 3 H
f.        Pada abad 4 H sampai 656 H



DAFTAR PUSTAKA
Umi, Sumbulah.2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang : UIN Maliki Press
Idri.2010. Studi Hadis.Jakarta : Prenada Media Grup
Khon, Majid Abdul. 2008. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah
Zuhdi, Masjfuk. 1975. Pengantar Ilmu Hukum. Surabaya : Pustaka Progessif
As-Shalih, Suhdi. 2007. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus
Zuhri, Muh. 2003. Hadis Nabi Telaah Histori dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya

Catatan:
1. Similarity 8%
2. Seharusnya ada contoh hadis qauli, fi’li, taqriri, ahwali, hammi
3. Referensi masih kurang 10


[1] Idri, Studi Hadis (Jakarta, Prenada Media Grup,2010), hlm. 5
[2] Umi Sumbulah , Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang, UIN-Maliki Press, 2010), hlm.1
[3] Ibid, hlm 5
[4] Ibid, hlm 9
[5] Ibid, hlm 9
[6] Idri, Studi Hadis (Jakarta, Prenada Media grup,2010), hlm.7
[7] Ibid, hlm 6
[8] Idri, Studi Hadis (Jakarta, Prenada Media grup,2010), hlm. 5
[9] Ibid, hlm. 5
[10] Ibid, hlm. 5
[11] Ibid, hlm 6
[12] Ibid, hlm 6
[13] Ibid, hlm  9
[14] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 27
[15] Umi Sumbulah, Op.cit, hlm 10
[16] Subhi As-Shahib, op.cit, hlm. 27-28
[17] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah,2008), hlm. 217-246
[18] Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 27-28
[19] Masjfuk Zuhdi, Penggantar ilmu Hadis, (Malang: Pustaka Progesif, 1976), hlm. 79
[20] Muh. Zuhri, op.cit hlm. 79
[21] Muh. Zuhri, op.cit hlm. 37
[22] Masjfuk Zuhdi, op.cit hlm 81
[23]Ibid., hlm. 82-84
[24]Ibid., hlm. 85
[25]Ibid., hlm. 87-88
[26]Ibid., hlm. 90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar