Selasa, 02 April 2019

Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih (PAI A Semester Genap 2018/2019)



HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH

Mukhammad Zain dan Fatichatul Burhaniyah
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
This article talks about the taklifi law, the law of wadh'i, mahkum fih and mahkum alaih. Where the law of taklifi and wadh'i is a division of syara law '. We have seen that the law of shara 'itself is the command of Allah which is related to the act of mukallaf. Taklifi's own law is the command of Allah in the form of demands, prohibitions, or choices to be made or abandoned by the mukallaf. While the law of wadh'i is the provision of Allah which makes something a cause. Terms and barriers to the existence of a law. Mahkum fih is a mukallaf act which is burdened by a law, while mahkum alaih is a mukallaf who is burdened by a law.

Abstrak
Artikel ini berbicara mengenai hukum taklifi, hukum wadh’i, mahkum fih dan mahkum alaih. Dimana hukum taklifi dan wadh’i merupakan pembagian dari hukum syara’. Telah kita ketahui bahwa hukum syara’ sendiri adalah perintah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.  Hukum taklifi sendiri adalah perintah Allah yang berupa tuntutan, larangan, atau pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh orang mukallaf. Sedangkan hukum wadh’i adalah ketentuan Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang bagi adanya suatu hukum. Mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang dibebani suatu hukum, sedangkan mahkum alaih orang mukallaf yang dibebani oleh suatu hukum.

Kata kunci: Hukum Taklifi, Hukum Wadh’i, Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih


A.      Pendahuluan
     Segala perkataan, perbuatan dan tindak tanduk manusia tidak terlepas dari ketentuan hukum syariat, yang telah dibuat oleh Allah dan sudah jelas dalil nya ada di Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hukum syara’ sendiri merupakan salah satu pembahasan dari ushul fiqih. Ilmu ushul fiqih sendiri merupakan dasar atau cara atau metode untuk menentukan hukum syara’.
     Beberapa pendapat mengatakan bahwa hukum syara’ adalah perintah Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah dibebani hukum) baik itu tuntutan (hukum taklifi), pilihan (takhyiri) dan hukum wadh’i. Selain hal tersebut, hukum syara’ juga mencakup pembahasan tentang hakim (pembuat hukum), mahkum fih (perbuatan mukallaf) dan mahkum alaih (mukallaf itu sendiri).
     Oleh karena itu artikel ini membahas tentang bagaimana hukum taklifi dan pembagiannya, apa bedanya dengan hukum wadh’i. Dan juga siapa orang yang bisa dibebani hukum, dan juga syarat-syarat untuk menjadi mukallaf. Artikel ini juga akan membahas contoh-contoh dari setiap hukum, agar kita semua bisa lebih memahami dan memiliki pengetahuan yang lebih mendalam.


B.       Hukum Taklifi
       Hukum taklifi adalah hukum yang menuntut seseorang agar melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan, atau dilarang untuk mengerjakannya, atau terdapat pilihan dalam melakukan dan meninggalkannya bergantung situasi dan kondisi yang dialami oleh mukallaf[1].
       Dapat kita pahami bahwasannya hukum taklifi merupakan sebuah bentuk peraturan yang dibebankan kepada seorang mukallaf untuk melaksanakan perintah, larangan, anjuran, ataupun boleh tidak melakukan sesuatu bahkan pilihan diantara dua kemungkinan yaitu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu yang ada dihadapannya tersebut, yang dibebankan kepada mukallaf dikarenakan sebab-sebab tertentu yang disetujui oleh syari’at.
       Jadi, hukum taklifi adalah sebuah istilah yang diperuntukkan kepada seseorang yang telah memenuhi kriteria secara syar’i untuk dibebankan hukum sebagai sebuah tuntutan padanya, orang yang dibebankan hukum tersebut disebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang sudah baligh (keluar mani atau sudah haid bagi perempuan) dan berakal sehat atau normal serta dapat menggunakan akalnya dengan baik.[2]
       Dalam pembagiannya, hukum taklifi dibagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, haram. Dari kelima hukum tersebut dapat didefinisikan sebagai berikut:[3]
1.      Wajib
Wajib adalah sebuah tuntutan yang pasti harus dilakukan oleh seorang mukallaf yang apabila ditinggalkan akan mendapat dosa, dan apabila dikerjakan akan mendapat pahala. Kemudian hukum wajibnya suatu perkara apabila ditinjau dari beberapa sudut pandang terbagi menjadi 4 macam:[4]
كتب عليكم الصيام
      Artinya:...diwajibkan atas kamu berpuasa (QS. Al Baqarah 183)
a)      Wajib dari sudut pandang dalam waktu pelaksanaannya dibagi menjadi dua:
1)      Wajib Mutlak
         Wajib mutlak adalah suatu perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf karena tuntutan dari syara’ untuk dilakukan, akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak dijelaskan waktu pengerjaannya. Contohnya adalah waktu pelaksanaan pembayaran nadzar atau kafarat sumpah seorang mukallaf.
2)      Wajib Muwaqqat
         Wajib muwaqqat merupakan sebuah bentuk tuntutan yang dibebankan kepada mukallaf dan telah ditentukan waktu pelaksanannya dan tidak sah apabila melaksanakan perbuatan tersebut diluar waktu yang telah ditentukan[5].
         Wajib Muwaqqat disini apabila kita tinjau dari pelaksanannya terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Wajib muwassa’, wajib muwassa’ adalah wajib yang memiliki waktu lebih banyak dari pada waktu yang diperlukan untuk melaksanakan perbuatan wajib tersebut dan diperbolehkan bagi mukallaf untuk melaksanakan perbuatan tersebut kapanpun selama dalam koridor batas waktu yang telah ditentukan. Contoh: waktu sholat ashar boleh dilakukan jam berapapun selama berada dalam koridor waktu yang telah ditentukan, karena waktu ashar lebih panjang dari pada lamanya pengerjaan sholat ashar.
b. Wajib mudhayyaq adalah perbuatan wajib yang telah ditentukan waktunya dan panjang waktunya sama dengan lamanya waktu saat pengerjaan wajib tersebut dilakukan. Contoh: puasa dibulan ramadhan

b)      Wajib apabila kita tinjau dari sudut pandang dari segi kuantitasnya atau kadarnya terbagi menjadi dua, yaitu:
1)      Wajib Muhaddad
         Wajib ini adalah suatu perbuatan wajib yang menuntut mukallaf untuk melakukannya sesuai dengan kadar dan nilainya yang telah ditentukan syara’. Contoh: rakaat sholat tidak lebih dan tidak kurang dalam pelaksanaannya.
2)      Wajib Ghairu Muhaddad
         Adalah tuntutan seorang mukallaf yang dalam pelaksanaannya tidak ditentukan batas waktu dan kadar nilai pada pengerjaannya. Contoh: sikap saling tolong menolong dan berbuat baik kepada makhluk Allah, sedekah kepada fakir miskin, membelanjai istri.

c)      Bentuk kewajiban seorang mukallaf apabila ditinjau dari sudut pandang subyek (pelaku) terbagi menjadi dua, yaitu:
1)      Wajib ‘Ain
         Adalah bentuk tuntutan yang dibebankan kepada setiap individu mukallaf dan tidak dapat diwakilkan. Contoh: kewajiban sholat 5 waktu atau puasa dibulan ramadhan.
2)      Wajib Kifayah
         Wajib kifayah atau fardhu kifayah adalah tuntutan yang dibebankan kepada salah seorang mukallaf yang terdapat dalam satu lokasi tempat tinggal (desa). Contoh: Sholat jenazah, mendirikan rumah sakit, tempat ibadah, dalam konteks fardhu kifayah ini jika dalam satu lingkup masyarakat tidak ada yang menjalankan maka satu penduduk yang berada didesa tersebut akan mendapat dosa dari Allah.[6]

d)     Wajib apabila ditinjau dari sudut pandang obyek dalam pelaksanaannya dibagi menjadi dua:
1)      Wajib Mu’ayyan
         Adalah suatu tuntutan kepada mukallaf yang telah ditentukan jenis perbuatannya oleh syara’. Contoh: membaca fatihah dalam sholat.
2)      Wajib Mukhayyar
         Yaitu tuntutan seorang mukalaf yang pelaksanaannya boleh memilih satu diantara beberapa pilihan yang telah ada. Contoh: kafarah bagi orang yang berhubungan suami istri disiang hari pada bulan ramadhan.
2.      Sunnah
Adalah sebuah bentuk anjuran untuk dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf dan akan mendapat pahala bila dikerjakan, serta tidak akan mendapat dosa dan celaan apabila tidak dikerjakan. Perbuatan sunnah, jika dilihat dari sudut pandang sering atau tidaknya Nabi Muhammad melakukan perbuatan tersebut dibagi menjadi tiga: Sunnah Mu’akkadah, Sunnah Ghairu Mu’akkad, dan Sunnah al-Zaidah.[7]
a)      Sunnah Mu’akkad
      Adalah sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan oleh mukallaf, karena nabi sendiri sering melakukannya. Walaupun kadang sesekali tidak dilakukan, agar perbuatan tersebut tidak menjadi wajib. Orang yang melakukan sunnah ini akan diganjar dengan pahala, dan jika tidak mengerjakan maka dia tidak mendapat dosa melainkan hanya celaan. Contoh sunnah muakkad adalah adanya adzan sebelum sholat, shalat rawatib (shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat fardhu), sholat dengan berjamaah.
b)      Sunnah Ghairu Muakkad
      Ialah perbuatan sunnah yang apabila tidak dilakukan, orangnya tidak mendapat dosa ataupun hinaan dari orang lain, tapi jika dikerjakan seorang mukallaf maka akan mendapat pahala. Nabi sendiri tidak continue dalam mengerjakannya, melainkan hanya sesekali. Seperti sholat sunnah dhuha, bersedekah.
c)      Sunnah al-Zaidah
      Yaitu perbuatan sunnah yang hanya bersifat tambahan, pelengkap atau pengindah kehidupan mukallaf. Jadi apabila dikerjakan akan dibalas dengan pahala, dan tidak dikerjakan pun tidak akan mendapat dosa atau celaan dari orang lain. Dengan syarat segala yang dilakukan diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasulullah saw. Contohnya adalah tata cara makan, tata cara tidur, tata cara berpakaian.

3.      Mubah
Mubah adalah bentuk pekerjaan yang hal ini merupakan sebuah pilihan untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh mukallaf. Ada sebuah pendapat terkait pembagian mubah itu sendiri dilihat dari segi juz’i dan kulli menurut Imam Abi Ishaq Asy-Syatibi[8], berikut penjelasannya:
a)    Mubah bil Juz’i al-mathlub bil kulli ‘ala jihad ar-rujub
        Maksudnya disini adalah sesuatu yang diperbolehkan bisa menjadi sesuatu yang diwajibkan untuk dilakukan bagi orang mukallaf. Seperti contohnya adalah minum, makan yang pada mulanya itu dibebaskan akan dikerjakan atau tidak, tapi semisal jika ada orang yang meninggalkannya, maka pekerjaan itu menjadi wajib. Karena makan, minum adalah suatu hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup mukallaf.
b)   Mubah bil juz’i lil mathlub bil kulli ‘ala jihad al-mandub
        Yaitu suatu hal yang diperbolehkan bisa menjadi sunnah untuk dilakukan oleh mukallaf. Seperti halnya makan, minum yang pada awalnya adalah berhukum boleh, namun jika ditinggalkan akan mendekati makruh, maka hal tersebut hukumnya menjadi dianjurkan atau sunnah.
c)    Mubah bil juz’i al muharramah bi kulli
        Merupakan sesuatu yang dibolehkan bisa menjadi suatu hal yang dilarang. Seperti contohnya adalah memakan makanan yang enak di setiap harinya. Hal tersebut bisa menimbulkan kemudharatan jika orang tersebut tidak memperhatikan kondisi fisik dan kesehatan, melainkan hanya menuruti keinginan nafsunya, maka perbuatan yang awalnya boleh menjadi diharamkan.
d)   Mubah bil juz’i al makruh bil kulli
        Artinya adalah sesuatu yang pada asalnya adalah mubah bisa menjadi makruh, dikarenakan perbuatan tersebut menjadi perbuatan yang negatif atau tidak dibenarkan. seperti contohnya adalah bernyanyi. Jika saat bernyanyi melampaui batas, sampai melalaikan kewajiban yang lainnya seperti ibadah, belajar, dan pekerjaan lain yang harusnya lebih penting untuk dikerjakan, maka hukum bernyanyi menjadi makruh.

4.      Makruh
Ialah sebuah perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan dan mendapat ganjaran pahala, namun apabila dikerjakan tidak mendapat dosa. Ulama’ Hanafiyah membaginya ke dalam dua bagian[9], yaitu:
a)    Makruh Tahrim
        Yaitu suatu hal yang tidak boleh dikerjakan karena ada dalil yang melarangnya, tapi dalil ini masih bersifat dugaan atau zhanni (belum pasti). Seperti contohnya ada sebuah hadits dilarangnya melamar wanita yang sudah dilamar oleh orang lain. Begitu juga dengan membeli barang yang masih ada dalam penawaran orang lain.
b)   Makruh Tanzih
        Merupakan suatu hal yang dianjurkan untuk tidak dilakukan oleh syariat islam. Namun menjadi makruh jika hal tersebut sangat dibutuhkan. Misalnya, di waktu perang memakan daging kuda dan meminum susunya sebenarnya ada dalil yang melarangnya, tapi karena dibutuhkan maka hukumnya menjadi makruh.

5.      Haram
Adalah sesuatu yang dituntut oleh syara’ untuk tidak mengerjakannya dengan tuntutan yang pasti dan akan mendapat dosa apabila tetap dikerjakan. Para ulama’ membaginya kepada beberapa macam[10], diantaranya adalah sebagai berikut:
a)    Haram li dzatihi
        Adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh mukallaf karena mengandung kemudharatan dan sudah jelas dalil larangannya. Seperti hal nya larangan berzina yang terdapat dalam nash Al-Qur’an:
وَلَا تَقْرَبُواالزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32)
b)   Haram li ghairihi
        Yaitu suatu hal yang halal menjadi haram karena adanya kondisi tertentu yang bisa menimbulkan kemudharatan. Seperti larangan berjual beli pada saat adzan shalat jum’at. Jual beli disini adalah halal hukumnya, tapi jika dilakukan saat adzan sholat jumat, bisa jadi akan mengakibatkan kelalaian bagi mukallaf sehingga pada waktu tersebut jual beli menjadi haram hukumnya.

C.      Hukum Wadh’i
     Perintah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani’ terhadap adanya hukum taklifi disebut sebagai hukum wadh’i. Dapat kita fahami bahwa hukum wadh’i ini bukanlah sebuah tuntutan atau keharusan, namun merupakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Hakim (pembuat hukum) sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi atau akibat dari hukum taklifi itu sendiri[11]. Berikut ini pembagian dari hukum wadh’i dan penjelasannya:
1.                         Sebab
Merupakan sesuatu yang menjadi tanda adanya sebuah hukum, dan jika sebab tidak ada maka itu sebagai tanda tidak adanya sebuah hukum[12]. Disini terdapat beberapa macam sebab menurut para ulama’, yaitu:
a)    Sebab yang berada di luar kemampuan mukallaf, namun itu menjadi tanda bagi adanya suatu hukum. Contohnya seperti terbenamnya matahari menjadi tanda masuknya waktu sholat maghrib, datangnya bulan ramadhan menjadi tanda kewajiban bagi mukallaf untuk melakukan puasa.
b)   Sebab yang berada di dalam batas kemampuan mukallaf. Seperti contohnya adanya keringanan bagi orang yang safar untuk menjamak atau mengqashar shalatnya, adanya hukum yang setimpal (Qishas) terhadap pelaku pembunuhan yang disengaja.

2.                         Syarat
Sesuatu yang tidak ada dalam hukum syara’, tetapi adanya hukum syara’ tergantung pada syarat tersebut. Jika syarat tersebut tidak ada, maka hukum pun tidak ada, dan juga adanya syarat tersebut tidak mengharuskan suatu adanya hukum syara’[13].
Seperti contohnya wudhu’ merupakan syarat sah dari shalat, karena tanpa adanya wudhu’ maka shalat pun tidak akan sah hukumnya. Tetapi, jika seseorang berwudhu’, maka hal itu tidak mengharuskan orang tersebut untuk melakukan shalat. Jadi dapat kita pahami bahwa hukum yang dibebankan kepada mukallaf (taklifi) tidak dianggap sah jika adanya syarat tersebut tidak terpenuhi.
Pembagian syarat menurut ulama’ ushul fiqih[14], diantaranya adalah:
a)    Syarat syar’i
        Merupakan syarat yang datang dari hukum syari’at itu sendiri. Seperti dicontohkan, ketika seorang anak yatim sudah mempunyai kemampuan untuk mengatur sendiri kebutuhan mereka. Hal ini menjadi syarat bahwa harta mereka wajib diberikan, karena anak yatim tersebut sudah memiliki kemampuan untuk mengelolanya.
b)   Syarat ja’ly
        Adalah syarat yang datang dari seorang mukallaf itu sendiri. Misalnya, ketika seorang suami berkata kepada istrinya, bahwa jika sang istri pergi keluar rumah tanpa seizinnya, maka akan dijatuhi talak. Jadi bisa difahami bahwa adanya syarat dari sang suami kepada istrinya akan menyebabkan suatu hukum, yaitu talak. Dan jika syarat itu tidak ada, maka talak pun tidak ada.

3.                         Mani’
Adalah penghalang dari adanya hukum atau menjadi penghalang atas adanya suatu sebab yang menjadikan hukum[15]. Jadi dapat kita fahami bahwa jika pada suatu hukum tidak ada mani’, maka hukum tersebut dikatakan sah. Seperti contohnya ketika seorang anak melakukan pembunuhan terhadap orang tuanya, maka anak tersebut tidak akan mendapat warisan atas harta orang tuanya. Pembunuhan ini menjadi mani’ atau penghalang bagi adanya hukum waris.
Pembagian mani’ menurut ulama’ adalah sebagai berikut:
a)    Mani’ al hukm
        Merupakan sesuatu yang menjadi penghalang bagi adanya hukum sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan. Contohnya wanita yang sedang haid, menjadi mani’ tidak diperbolehkannya melakukan shalat.
b)   Mani’ al sabab
        Adalah sesuatu yang menafikan fungsi dari adanya sebab, sehingga hukum pun juga tidak ada. Seperti contoh diwajibkannya zakat harta bagi orang yang kaya, dan harta nya tersebut sudah mencapai satu nishab, namun orang tersebut memiliki hutang. Hutang disini menjadi mani’ dari kewajiban orang tersebut untuk menzakati hartanya.

D.      Mahkum Fih
     Mahkum fih dapat dijelaskan sebagai suatu istilah yang diberikan kepada pekerjaan mukallaf yang senantiasa dibebani dengan-hukum syar’i.[16] Maka dengan demikian, yang disebut dengan mahkum fih adalah obyek atau perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan syara’ yang dapat berupa tuntutan mengerjakan, meninggalkan atau bahkan ada yang mengerjakan tapi dengan syarat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ 
     Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” ( QS. Al-maidah:1)
     Ayat diatas menjelaskan tentang perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan hukum syar’i mengenai janji yang merupakan bentuk kewajiban dan harus dipenuhi oleh mukallaf. Begitu juga dengan nadb (anjuran) merupakan sebuah perbuatan yang lebih baik untuk dilakukan, seperti yang terdapat dalam ayat berikut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
    Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya,”      
     Qorinah pada ayat ini adalah mengenai anjuran untuk menuliskan utang-piutang yang dibebankan kepada mukallaf, karena menulis utang-piutang adalah yang suatu yang sangat baik dan dianjurkan. Kemudian terdapat dalam surat al-isro’ ayat 33 mengenai tahrim, yaitu :
     Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh allah, melainkan dengan suatu alasan yang benar”.
     Dan terdapat pula qorinah yang menunjukkan arti keringanan atau rukhsos terhadap beban yang diterima mukallaf, seperti ayat berikut:
     Artinya: “ Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (Lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya” (QS. Al-Baqarah:184).
            Syarat-syarat Mahkum Fih [17]adalah:
1.    Perbuatan yang akan dilakukan, mukallaf tersebut harus mengetahuinya secara pasti agar dia mampu melakukan sesuai dengan yang telah di syariatkan. Seperti contoh nya ayat tentang kewajiban melaksanakan shalat bagi orang yang mukallaf. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian dijelaskan secara lebih rinci tata cara, syarat dan rukunnya oleh Rasulullah saw.
2.    Mukallaf tersebut mengetahui secara pasti bahwa perintah baginya itu berasal dari Allah dan Rasulullah.
3.    Segala perbuatan yang telah diperintahkan ataupun dilarang bagi mukallaf hendaklah perbuatan yang sesuai dengan kemampuan mukallaf, untuk melakukan atau meninggalkannya.


E.       Mahkum Alaih
     Mahkum ‘alaih bisa disebut dengan subjek hukum. Subjek hukum disini adalah mukallaf itu sendiri, yaitu orang yang sudah baligh dan dikenai pembebanan hukum[18]. Sehingga dia bisa memilih untuk melakukan, meninggalkan atau memilih melakukan atau meninggalkan perbuatan.
     Syarat untuk menjadi seorang mukallaf[19], diantaranya adalah:
1.                 Orang tersebut memahami bahwa dia sudah dibebani oleh hukum. Artinya dia mengetahui bahwa segala larangan dan perintah dari Allah ditujukan kepada dirinya. Jadi dia harus mempunyai kemampuan memahami hukum taklifi secara sempurna.
2.       Memiliki tanda-tanda fisik yang sudah menunjukkan bahwa dia sudah baligh. Batas baligh wanita ketika sudah mengalami masa haid, dan batas baligh bagi laki-laki ketika berumur 15 tahun atau sudah bermimpi mengeluarkan mani.
3.                 Tidak ada halangan bagi orang tersebut disebut sebagai mukallaf, seperti gila, idiot, lupa, tertidur, terpaksa dan ketidaktahuannya.
     Kemampuan seorang mukallaf menurut ulama’ ushul[20] dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.                 Ahliyatul wujub
           Adalah kelayakan seseorang dalam menerima hak dan melakukan kewajiban. Baik laki-laki, perempuan, orang yang sehat ataupun sakit, anak kecil ataupun orang dewasa.
2.      Ahliyatul ada’
           Merupakan kecakapan dalam bertindak secara hukum, maksudnya orang tersebut pantas atau layak dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang telah dilakukan.


F.       Penutup
     Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa Hukum taklifi adalah hukum yang menuntut seseorang agar melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan, atau dilarang untuk mengerjakannya, atau terdapat pilihan dalam melakukan dan meninggalkannya bergantung situasi dan kondisi yang dialami oleh mukallaf. Terbagi menjadi 5 macam, yaitu hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
     Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau mani’ terhadap adanya hukum taklifi disebut sebagai hukum wadh’i. Dapat kita fahami bahwa hukum wadh’i ini bukanlah sebuah tuntutan atau keharusan, namun merupakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Hakim (pembuat hukum) sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi atau akibat dari hukum taklifi itu sendiri. Terbagi menjadi sebab, syarat dan mani’ (penghalang).
     Mahkum fih adalah perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf, sedangkan mahkum alaih mukallah itu sendiri (orang yang terbebani hukum).

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin dan Fathurrohman. 2016. Pengantar Ilmu Fiqih. Bandung: PT       Refika Aditama.
Bakry, Nadzar. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo           Persada.
Dahlan, Abd. Rahman. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah.
Hasbiyallah. 2014. Fiqih dan Ushul Fiqih. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Jabbar, Umar Abdul. Mabadiul fiqh jilid 3. Surabaya: Toko Kitab Sumber        Ilmu.
Khallaf, Abdul Wahab. 1989. Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul         Fiqh. Jakarta: CV. Rajawali Pers.
Koto, Alaidin. 2012. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo            Persada.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul fiqih: Jilid 1. Jakarta: Kencana Prenadamedia             Group.
Zein, M. Dan Satria Effendi. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Prenada Media
Zein, Ma’shum. 2013. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka         Pesantren.


Catatan:
Makalah sudah lumayan bagus, similarity 4%.


[1]  Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh. (Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1989), hal 155
[2] Umar Abdul Jabbar, Mabadiul fiqh jilid 3, ( Surabaya: Toko Kitab Sumber Ilmu), hlm. 7
[3] Amir Syarifuddin,  Ushul fiqh: Jilid 1, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008), hlm. 56
[4] Nadzar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 147
[5] Ibid., hlm. 148
[6] Alaidin Koto, M.A. Filsafat Hukum Islam.(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012)
[7] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2007), hlm.306
[8] Ibid, hlm. 310
[9] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqih, (Jakarta: PRENADA MEDIA, 2005), hlm. 58
[10] Ibid, hlm.55
[11] Amiruddin dan Fathurrohman, Pengantar Ilmu Fiqih, (Bandung: PT Refika Aditama, 2016), hlm.85
[12] Satria Effendi dan M. Zein, Op.cit, 2005, hlm. 62
[13] Rahmat Syafe’i, Op.cit, 2007, hlm. 313
[14] Hasbiyallah, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), hlm.38
[15] Satria Effendi dan M. Zein, Op.cit, 2005, hlm. 66
[16] Ma’shum Zein, M.A, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), hlm 229
[17] Satria Effendi dan M. Zein, Op.cit, 2005, hlm. 74
[18] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH, 2010) hlm.95
[19] Loc.cit
[20] Ibid, hlm.96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar