Kamis, 08 November 2018

Klasifikasi Hadis dari Aspek Kualitas (PAI H ICP Semester Ganjil 2018/2019)



KLASIFIKASI HADIS DARI ASPEK KUALITAS

Wilda Azka Fikriyya dan Yeni Dwi Lutfiana
Mahasiswa Jurusan PAI, FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

التجريد
كُتب الحديث الصحيفة الكثيرة من زمان نبيّنا محمّد صلّى الله عليه وسلّم.  ولكن مسجّل الحديث رسميّا من القرن الثاني الهجريّ أي من عهد الخليفة عمر بن عبد العزيز في السنة 110 هـ. لأنّ الجداول الزمنيّة الطويلة, فرُوي الأحاديث الأكثريّة باللسان و تسبب كثير من المشكلة كمثل الحديث الفاسد. ولذالك من أجل مستعمل الحديث كالأساس القانونيّ القويّ  فتقسّم علماء الحديث الأحادث التي تتناسب بعدد الرواية وصفة الرواية. وهذه المقالة تبحث صفة الرواية تنقسم على ثلاثة أقسام, يعني حديث الصحيح وحديث الحسن وحديث الضعف مع تقسيم لكلّ من أقسام حديث الصحيح وحديث الحسن وحديث الضعف. 
Abstrak
Hadis ditulis dalam beberapa shahifahsudah sejak masa Nabi Muhammad SAW. Namun secara resmi hadis dibukukan pada abad ke-2 H yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz tahun 101 H. Dikarenakan rentang waktu yang cukup lama, maka mayoritas hadis yang diriwayatkan melalui lisan menimbulkan berbagai masalah seperti hadis palsu. Oleh karena itu agar hadis bisa digunakan sebagai dasar hukum yang kuat, maka para ulama hadis mengklasifikasikan hadis sesuai dengan kuantitas dan kualitasnya. Dan makalah ini membahas mengenai klasifikasi hadis dari segi kualitas periwayatannya, yang terbagi menjadi tiga macam, yaitu hadis shahih, hadis hasan dan hadis dhaif serta beberapa pembagian masing-masing dari hadis shahih, hadis hasn dan hadis dhaif.
Keyword: Hadis, Shahih, Hasan dan Dhaif.
A.    Pendahuluan
Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah alquran. Yang mana alquran dan hadis berfungsi sebagai pedoman dan mengontrol semua perbuatan dan tingkah laku manusia. Semua periwayatan ayat-ayat dalam alquran adalah suatu yang mutlak kebenarannya sedangkan hadis atau sunah belum dapat dipertanggung jawabkan periwayatannyabenar dari Nabi atau tidak. Karena tidak semua periwayatan dalam hadis diriwayatkan secara tawatur sebagaimana alquran.
Dalam segi kualitas periwayatannya, Imam Al-Suyuthi menjelaskan dalam kitab Alfiyah:
والأكثرون قسموا هذا السنن # الي صحيح وضعيف وحسن
“Kebanyakan ulama membagi sunah (hadis) ini menjadi shahih, dhaif dan hasan.”[1]
Dengan kata lain, hadis ituadakalanyahadismaqbul(diterima) dan adakalanya hadismardud (ditolak). Dikatakan hadis maqbul(diterima) karena dalam periwayatannya telah memenuhi syarat-syarat untuk diterima secara sempurna atau karena dalam periwayatannya telah memenuhi syarat-syarat untuk diterima tetapi kurang sempurna. Hadis-hadis yang dalam periwayatannya memenuhi syarat untuk diterima dengan sempurna disebut hadis shahih, sedangkan hadis-hadis yang dalam periwayatannya memenuhi syarat untuk diterima tetapi kurang sempurna disebut hadis hasan. Dan dikatakan hadis mardud (ditolak) karena periwayatannya tidak memenuhi syarat untuk diterima, dan hadis ini disebut hadis dhaif.[2]
Oleh karena itu,kami sebagai penulis akan menguraikan dan menjelaskan makna dari masing-masing hadis shahih, hasan dan dhoif serta syrat-syarat yang digunakan oleh para ulama dalam menentukan kehujjahan setiap hadis.
B.     Hadis Shahih
1.      Pengertian Hadis Shahih
Shahih menurut bahasa berarti sehat, selamat, benar, sah dan sempurna. Dan para ulama biasa menyebut kata shahih sebagai  lawan dari kata saqim yang berarti sakit. Sedangkan secara istilah, menurut Shubhi al-Shalih definisi hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil dan dhabit hingga bersambung pada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung syadz ataupun illat.[3]
Menurut Ibn al-Shalah definisi hadis shahih sebagai berikut:
"الحديث الصحيح هو المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه, ولا يكون شاذا ولا معللا"
“Hadis shahih adalah hadis yang musnad, yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang berwatak adil dan dhabit dan diterima dari periwayat yang adil dan dhabit hingga pada akhir sanad, tidak ada syadz dan tidak pula mengandung cacat”.[4]
Definisi tersebut kemudian diringkas oleh Imam al-Nawawi, yang dikutip oleh al-Suyuthi:
"هو ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة"
“Hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabit, serta tidak syadz dan tidak cacat”.[5]
Menurut Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Nuzhah al-Nadzar Syarh Nukhbah al-Fakir mendefiinisikan dengan ringkas adalah:
"ما رواه عدل تام الضبيط متصل السندغير معلّل ولا شاذ"
“Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya dan tidak ber-illat serta tidak ber-syadz”. [6]
Demikian juga menurut al-Qasimi dalam kitabnya Qawaid al-Tahds min Funun Musthalah al-Hadis, bahwa definisi hadis shahih adalah:
"ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله وسلم عن شذوذ وعلة"
“Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan dan diterima dari periwayat yang adil dan dhabit, serta selamat dari kejanggalan dan cacat”.[7]
2.      Syarat-syarat Hadis Shahih
Berangkat dari beberapa  definisi tentang hadis shahih yang telah disebutakn diatas, maka dapat diketahui beberapa kriteria atau syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hadis shahih, syarat-syarat tersebut adalah: (1) sanadnya bersambung, (2) para periwayatnya adil, (3) para periwayatnya dhabit, (4) terhindar dari syadz dan (5) terhindar dari illat atau cacat.
1)      Sanad Bersambung
Sanad bersambung juga bisa diartikan sebagai kesinambungan jalur periwayatan yang berarti bahwa setiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat yang terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian hingga akhir sanad hadis tersebut. Persambungan sanad tersebut terjadi mulai dari mukharrij hadis(penghimpun riwayat hadis dalam kitabnya) hingga pada periwayat pertama dari kalangan sahabat yang menerima hadis langsung dari Nabi.[8]Maka sanad hadis tersambung sejak sanad pertama (mukharrij hadis) samapi sanad terakhir (kalangan sahabat) hingga Nabi Muhammad.
Upaya mengetahui keterhubungan suatu sanad hadis atau tidak, maka biasanya para ulama hadis menempuh tata cara penelitian sebagai berikut:
a.       Mencatat semua nama periwayat hadis dalam sanad yang akan diteliti,
b.      Mempelajari sejarah hidup masing-masing dari setiap periwayat yang dapat dilakukan melalui kitab rijal al-hadis, misalnya kitabal-Kasyif karya Muhammad Ibn Ahmad al-Dzahabi,kitab Tahdzb al-Kamal karya al-Mizzi,dan kitab Tahdzb al-Tahdzb karya Ibn Hajar al-Asqalani.
c.       periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam suatu sanad. Yakni kata-kata yang dipakai dalam sanad yang berupa: haddatsani, haddatsana, akhbarani, akhbarana, sami’tu, ‘an, ana dan lain sebagainya.[9]
Dengan melalui beberapa tata cara yang telah disebutkan diatas, maka dapat membantu untuk mengetahui apakah sanad dari suatu hadis yang kita teliti dinyatakan bersambung atau tidak. Dengan meneliti ketersambungan sanad tersebut berarti dapat mengetahui juga apakah periwayat benar-benar meriwayatkan hadis dari periwayat terdekat sebelumnya.
2)      Periwayat Bersifat Adil
Para ulama hadis berbeda pendapat tentang syarat-syarat atau kriteria-kriteria periwayat hadis yangbisa dikatakan adil, diantaranya:
-          Menurut al-Hakim ada tiga syarat, yaitu 1) beragama Islam,  2) tidak berbuat bid’ah, dan  3) tidak berbuat maksiat.[10]
-          Menurut Ibn Hajar al-Atsqalani ada lima syarat, yaitu 1) taqwa kepada Allah SWT,  2) memiliki moralitas yang mulia (muru’ah),  3) bebas dari dosa besar,  4) tidak melakukan bid’ah, dan  5) tidak fasiq. [11]
-          Menurut Ibn al-Shalah ada lima syarat, yaitu 1) muslim,  2) dewasa (baligh),  3) beraqal (aqil),  4) memelihara muru’ah, dan  5) tidak fasiq.[12]
maka dari sekian banyak kriteria atau syarat diatas maka kemudian diringkas menjadi empat kriteria atau syarat, yaitu: 1) beragama Islam,  2) mukallaf,  3) melaksanakan ketentuan agama, dan  5) memelihara muru’ah.
        Sedangkan untuk mengetahui adil tidaknya seorang periwayat hadis, maka para ulama hadis menetapkan beberapa cara, yaitu:
a.       Melalui popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis. Karena ulama hadis yang terkenal keutamaannya seperti Sufyan al-Tsawri dan Malik Ibn Anas sudah tidak diragukan lagi keadilannya.
b.      Mengambil penilaian dari para kritikus periwayat hadis. Penilaian tersebut berisi tentang pengungkapan terhadap kelebihan (al-ta’dil) dan kekurangan (al-jarh)  yang ada pada diri seorang periwayat hadis.
c.       Menerapkan kaidah al-jarh wa al-ta’dil apabila seorang kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi seorang periwayat hadis. [13]
Ketiga cara diatas diutamakan dari urutan yang pertama kemudian yang selanjutnya. Yakni, jika seorang periwayat hadis terkenal dengan keutamaan pada dirinya maka dipastikan ia bersifat adil. Apabila seorang periwayat tidak terkenal bersifat adil namun berdasarkan penilaian para kritikus periwayat hadis tersebut dapat diketahui bahwa ia bersifat adil, maka ditetapkanlah sifat adil baginya.  Namun apabiala terjadi perbedaan pendapat antara para kritikus tentang adil atau tidaknya seorang periwayat maka menggunakan kaidah al-jarh wa al-ta’dil.
3)      Periwayat Hadis Bersifat Dhabit
      Pengertian dhabit sendiri para ulama hadis berbeda redaksi atau pendapat. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan mampu menyampaikan hafalan itu kapanpun dia mau. Sementara menurut Shubli al-Shalih, dhabit adalah orang yang mendengarkan hadis sebagaimana seharusnya, memahami dengan pemahaman yang detail, kemudian hafal secara sempurna, dan memiliki kemampuan menjaga hafalan mulai dari saat mendengar riwayat sampai menyampaikan riwayat kepada orang lain.[14]
      Sebagaimana periwayat hadis bersifat adil, maka periwayatan hadis bersifat dhabit mempunyai beberapa cara untuk mengetahui kedhabitan periwayat hadis:
a.       Kedhabitan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian para ulama hadis,
b.      Kedhabitan periwayat juga dapat diketahui berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan periwayat lainnya yang telah dikenal kedhabitannya,
c.       Periwayat yang sesekali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhabitasal tidak sering melakukan kekeliruan.[15]
4)      Terhindar dari Syadz (Kejanggalan)
      Secara bahasa, syadz merupakan isim fail dari syadzdza yang bermakna menyendiri. Sedangkan menurut istilah, syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat hadis yang tsiqah dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi yang juga tsiqah.[16]
      Menurut al-Syafi’i, suatu hadis bisa dikatakan syadz apabila: 1) hadis tersebut memiliki lebih dari satu sanad,  2) seluruh periwayat hadis tersebut sama-sama tsiqah,  3) matan atau sanad dalam hadis tersebut mengandung pertentangan. Dan para ulama hadis sperti Ibn al-Shalah, al-Naawi, Ibn Hajar al-Asqalani, al-Suyuthi, al-Iraqi, Muhammad al-Shabbagh, Shubhi al-Shalih dan beberapa ulama lainnya sepakat dengan al-syafi’i dalam mendefinisikan hadis syadz.[17]
5)      Terhindar dari ‘Illat
       Secara bahasa kata ‘illat berarti cacat, penyakit dan keburukan. Sedangkan menurut istilah‘illat berari yang tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadis. Menurut Ibn al-Shalah, al-Nawawi dan Nur al-Din ‘Itr, ‘illat adalah sebab yang tersembunyi yang merusak kualitas hadis, yang mana menyebabkan hadis yang tampak luar berkualits shahih menjadi tidak shahih.Menurut Mahmud al-Thahhan, sebab yang dikatakan ‘illat adalah: tersembunyi dan samar serta merusak keshahihan hadis. [18]
      Suatu hadis dinyatakan mengandung ‘illat menurut Mahmud al-Thahan, yaitu apabila: 1) periwayatannya menyendiri, 2) periwayatan lain bertentangan dengan hadis tersebut 3) adanya qarinah-qarinah lain yang terkait dengan dua unsur diatas.[19]
      Cara mengetahui adanya ‘illat pada suatu hadis, yaitu: 1) menghimpun seluruh sanad hadis, yang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya tawabi’ atau syawahid, 2) melihat perbedaan diantara para periwayat hadis, dan 3) memperhatikan status kualitas para periwayatnya baik berkenaan dengan keadilan maupun kedhabitan seriap periwayat.[20]
3.      Contoh hadis shahih:
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَرَأَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّوْرِ (رواه البخاري)
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf dan ia berkata: telah mengkabarkan kepada kami Malik dari Ibn Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Math’ami dari Ayahnya dan ia berkata: aku pernah mendengar Rasulullah SAW dalam shalat maghrib membaca surat at-thur” (HR. Bukhari).
Analisis terhadap hadis tersebut:
-    Sanadnya bersambung karena semua periwayat dari hadis tersebut mendengar dari langsung gurunya.
-    Semua periwayat pada hadis tersebut adalah adil dan dhobit. Adapun sifat-sifat para periwayat hadis tersebut menurut para ulama aj-jarhu wa ta’dil sebagai berikut: Abdullah bin yusuf = tsiqat muttaqin, Malik bin Annas = imam hafidz,  Ibnu Syihab Aj-Juhri = ahli fiqih dan hafidz, Muhammad bin Jubair = Tsiqat, Jubair bin muth’imi = Sahabat.
-    Tidak syadz karena tidak ada pertentangan dengan hadis yang lebih kuat serta tidak cacat.
4.      Pembagian Hadis Shahih
        Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam, yaitu hadis shahih li dzatihi dan hadis shahih li ghayrihi.
1)      Hadis shahih li dzatihi,adalah:
"ما اتصل اسناده بنقل العدل الضابط ضبطا تاما عن مثله الى منتهى السند من غير شذوذ ولا علة قادحة"
”Yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, orang yang sempurna kedhabitannya sampai akhir sanadnya serta terbebas dari syadz dan ‘illat”.Yakni hadis yang memenuhi syaratnya  hadis shahih yang berjumlah lima seperti yang sudah dijelaskan. [21]  Adapun contohnya seperti hadis yang diceritakan oleh Abdullah bin Yusuf yang sudah dijelaskan pada hadis shahih.
2)      Hadis shahih li ghayrihi, adalah:
"هو الحديث الحسن لذاته إذا روي من طريق اخر مثله أو أقوى منه"
"Hadis shahih li ghayrihi adalah hadis hasan li dzatihi ketika ada periwayatan dari jalan lain yang sama atau lebih kuat darinya”.[22]
        Jadi hadis shahih li ghayrihi adalah adalah hadis yang semestinya kurang memenuhi syarat hadis shahih yang berupa kurangnya kedhabitan, namun setelah diketahui ada hadis lain dengan kandungan matan yang sama dan berkualitas shahih maka hadis tersebut naik derajatnya menjadi hadis shahih li ghayrihi.
Adapun contohnya seperti hadis berikut:
حدثنا أبو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمرو عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة... الخ رواه الترمذي.
        Menurut Ibn as-Shalah,  Muhammad Ibn Amr adalah seseorang yang terkenal kejujuran dan kehormatannya, namun ia bukan orang yang kuat hafalannya, sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa ia tetap tsiqah dikarenakan kejujuran dan kehormatannya, maka hadis pada jalur ini adalah hadis hasan. Maka ketika telah digabungkan dengan riwayat-riwayat dari jalur lain yakni dari al-A’raj dan Sa’id al-Maqbari, sehingga sanad hadis ini yang asalnya hasan berubah menjadi hadis shahih li ghayrihi.
5.      Kehujjahan Hadis Shahih
        Para ulama hadis bersepakat bahwa hadis yang telah memenuhi syarat hadisshohih bisa untuk diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara’ yang mana harus sesuai dengan kesepakatan para ulama hadis dan sebagian ulama ushul fikih. Tidak ada alasan bagi orang yang muslim untuk tidak mengamalkannya.[23] Ada beberapa pendapat dari para ulama hadis yang memperkuat kehujjahan hadis shahih , yaitu:
a.       Hadis shahih berstatus qath’i (pasti kebenarannya) jika terdapat dalam kitab Bukhari Muslim sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Ibn al-Shalah.
b.      Wajib menerima hadis shahih meskipun tidak ada seorangpun yang mengamalkannya.[24]

C.    Hadis Hasan
1)      Pengertian Hadis Hasan
        Hasan menurut bahasa artinya “suatu yang baik”. Sedangkat hasan menurut istilah adalah hadis yang muttasil sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabit, namun kadar kedhabitannya di bawah kedhabitan hadis shahih, dan hadis tersebut tidak syadz dan tidak  terdapat ‘illat atau cacat.[25]
        Karakteristik hadis hasan anatara lain: 1) muttasil sanadnya, 2) periwayatnya adil, 3) periwayatnya kurang dhabit(kadar kedhabitan periwayat kurang sempurna), 4) bukan hadis yang syadz dan 5) bukan pula hadis yang terdapat ‘illat.[26]
        Hadis hasan dikenalkan pertama kali oleh Imam al-Turmudzi karena hadis semacam ini tidak pantas disebut hadisdhaif tetapi juga kurang tepat disebut hadis shahih. Sedangkan hadis hasan hampir sama seperti hadis shahih dan letak perbedaannya hanya pada kadar kedhabitan periwayat. Yang mana kedhabitan hadis shahih itu harus dalam tingkat yang tinggi. Sedangkan pada hadis hasan tingkat kedhabitannya ada dibawah hadis shahih.[27]
Adapun contohnya seperti hadis berikut:
حدثنا محمود قال حدثنا يزيد قال أخبرنا الوليد بن جميل الكندي عن القاسم بن عبد الرحمن عن أبي أمامة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من رحم ولو ذبيحة عصفور رحمه الله يوم القيامةرواه البخاري.
Dalam hadis tersebut semua periwayatnya tsiqah kecuali al-walid bin Jamil dan al-Qasim bin Abdur Rahman, maka hadis ini dinamakan hadis hasan.
2)      Pembagian Hadis Hasan
        Seperti halnya hadis shahih, hadis hasan juga memiliki pembagian yang tak jauh berbeda dengan pembagian hadis shahih. Hadis hasan terbagi menjadi dua:
1.      Hadis hasan li dzatihi , yaitu hadis hasan yang memenuhi semua kriteria hadis hasan yang berjumlah lima seperti yang telah disebutakn di atas.
      Menurut Ibn al-Shalah sebagaimana yang dikutip oleh al-Qasimi dan al-Sakhawi, mengatakan bahwa hadis hasan li dzatihiyang mana para periwayatnya terkenal dengan kebaikannya, namun daya ingat dan kekuatan hafalan mereka belum sampai pada derajat hafalan yang sempurna (para periwayat hadis shahih).[28]
      Adapun contohnya seperti hadis yang diceritakan oleh Mahmud yang mana sudah dijelaskan sebelumnya dalam bab pengertian hadis hasan.

2.      Hadis hasan li ghayrihi, yaitu:
      Hadis yang pada asalnya berupa hadis dhaif, kemudian karena terdapat hadis lain yang shahih dengan matan yang sama lalu naik menjadi hadis hasan li ghayrihi. Hadis dhaif yang bisa naik menjadi hadis hasan tertentu untuk hadis-hadis yang tidak terlalu dhaif. Seperti hadis muallaq, hadis mursal, hadis mubham, hadis mastur, hadis majhul hadis munqathi’ dan lain sebagainya. Maka pengecualikan hadis-hadis yang sangat lemah yang mana hadis tersebut tidak bisa naik menjadi hadis hasan meskipun terdapat riwayat lain yang berkualitas shahih dan sama, seperti hadis maudhu’, hadis matruk dan hadis munkar. [29]
Adapun contohnya seperti hadis berikut:
إنّ امرأة من بني فزارة تزوجت على نعلين فقال رسول الله صلى الله عليه وسلّم : ارضت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت نعم فأجاز.[30]
      Dalam hadis diatas al-Turmudzi mengomentari, bahwa hadis tersebut memiliki kesamaan matan dengan riwayat-riwayat lain yakni dengan riwayat Umar, Abu Hurairah, Aisyah dan Binti Hadrad. Oleh karena itu, al-Turmudzi menilai hadis diatas sebagai hadis hasan, karena meskipun sanad hadis tersbut dhaif disebabkan jelek hafalannya, namun hadis tersebut didukung oleh adanya riwayat-riwayat yang shahih.

3)      Kehujjahan Hadis Hasan
      Sebagaimanan hadis shahih, maka hadis hasan juga dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan sebuah hukum baik hadis hasan li  dzatihi atau hadis hasan li ghayrihi dan harus diamalkan sebagaimana hadis shahih.
      Namun terdapat perbedan pandangan diantara para ulama hadis tentang penempatanrutbah (urutan) yang disebabkan oleh berbedanya kualitas masing-masing hadis.  Ada ulama yang membedakan kehujjahan sebuah hadis sesuai kualitasnya misalnya diantara hadis hasan li dzatihi dan hadis hasan li ghayrihi. Dan ada pula ulama yang memasukkan hadishasan  sebagai bagian dari hadis shahih dalam satu kelompok, dengan catatan bahwa hadis hasan secara kualitas berada dibawah hadis shahih sehingga jika terjadi pertentangan maka yang dimenangkan adalah hadis shahih. Pendapat ini dianut oleh al-Hakim al-Naysaburi dan Ibn Khuzaymah dan Ibn Hibban. [31]

D.    Hadis Dhaif
1.      Pengertian Hadis Dhaif
Secara bahasa, dhaif berarti lemah. Sedangkan secara istilah, hadis dhaif adalah:[32]
ما لم يجتمع فيه صفات الصحيح و لا صفات الحسن
“Adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis shahih dan hadis hasan”.
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwasannya hadis dhaif merupakan hadis yang tidak memenuhi persyaratan hadis hasan dan hadis shahih. Di dalam hadis dhaif terdapat beberapa hal yang menyebabkan ke-dhaifan hadis, diantaranya adalah: perawi yang tidak adil dan tidak mempunyai hafalan yang kuat (dhabit), terputusnya sanad, dan terdapat kecacatan (illah) dalam matan. Contoh hadis dhaif:[33]
مَا أَخْرَجَهُ التِرْمِذِي عَنْ حَكِيْمٍ الاَثْرَمِ عَنْ أَبِيْ تَمِيْمَةَ الْهَجِمِى عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِ قَالَ : مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوْ اِمْرَأَةً فِيْ دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أَنْزَلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

2.      Pembagian Hadis Dhaif
Hadis dhaif dibagi menjadi dua bagian, yakni sebab putusnya sanad dan sebab cacatnya perawi dalam sanad. Penulis menyajikan peta konsep pembagian hadis dhaif untuk mempermudah proses mempelajari hadis dhaif.
a)   Sebab-Sebab Putusnya Sanad
1)   Mursal
Secara bahasa, mursal merupakan isim maf’ul dari kata أرسل-يرسل-إرسالا-مرسالاyang berarti terlepas atau terbebas dari ikatan. Sedangkan secara istilah, al-Mas’udi memaparkan bahwa[34]
هو ما رَفعَهُ التَّابِعي ولو حُكْمًا الى النبيِّ صلى الله عليه وسلم
“Hadis yang disandarkan oleh seorang tabi’in, sekalipun secara hukum disandarkan kepada Nabi SAW”.
Dari pengertian di atas, hadis mursal adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang tabi’in tanpa menyebutkan sanad dari seorang sahabat. Ini adalah hal yang sangat tidak mungkin, karena tabi’in tidak hidup pada zaman Rasulullah SAW. maka dari itu hadis mursal masuk dalam kategori hadis dhaif.
Hadis mursal dibagi menjadi tiga macam:
a.       Mursal Shahabi
هو ما أخبر به الصحابي من قول الرسول ص.م. أو فعله, و لم يسمعه أو يشاهده, إما لصغر سنه أو تأخر إسلامه أو غيابه[35]
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwasannya mursal shahabi adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat. Namun mereka tidak mendengar dan melihat langsung. Hal ini dikarenakan sahabat tersebut masih pada usia dini, terakhir masuk islam, ataupun karena mereka tidak hadir. Contoh mursal shahabi:[36]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ ثُمَّ أَفْطَرَ
Dalam hadis di atas terdapat sanad dari shabat Ibnu Abbas. Peristiwa tersebut terjadi ketika sahabat Ibnu Abbas masih kecil. Maka tidak mungkin beliau beliau ikut Nabi SAW dalam penaklukkan kota Makkah.
b.         Mursal Tabi’i
Adalah tabi’iin meriwayatkan hadis langsung dar Nabi SAW. ini adalah hal yang mustahil, karena tabi’in tidak hidup pada zaman nabi SAW. Contoh mursal tabi’i:[37]
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا حُجَيْنُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ  أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْمُزَابَنَةِ وَالْمُحَاقَلَةِ
Hadis ini mursal tabi’i dikarenakan Said Ibn al-Musayyab adalah seorang tabi’in kabir yang tidak mungkin bertemu dengan Nabi Muhammad SAW.
c.       Mursal Khafi
Adalah seorang rijal al-hadis meriwayatkan hadis dari seorang syekh. Namun tidak ada proses tahammul hadis. Maksudnya adalah, seorang rijal meriwayatkan hadis dari seorang syek yang pernah ia jumpai. Namun ia tidak benar-benar meriwayatkan hadis tersebut, karena tidak ada proses tahammul hadis. Contoh mursal khafi:[38]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ أَنْبَأَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ صَالِحِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَائِدَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِمَ اللَّهُ حَارِسَ الْحَرَسِ
Hadis di atas adalah mursal khafi, karena sekalipun Umar bertemu dengan Uqbah, namun ia tidak pernah menerima hadis dari Uqbah.

2)      Munqathi’
Secara bahasa munqathi’ berasal dari kata إنقطع-ينقطع-إنقطاعا-منقطع yang berarti terputus. Sedangkan secara istilah adalah[39]
هوَ الحديثُ الذِي سقطَ مِنْ سندِه راوٍ واحدٌ  بشرطِ أن لايكونَ  الساقِطُ صحابيًّا
“Hadis yang gugur sanad oleh seorang perawi dengan syarat bukan dari kalangan sahabat”.
Sedangkan menurut ushuliyyin dan segolongan muhadditsin, diantaranya adalah al-Khathîb al-Baghdadî dan Ibn Abd al-Barr mungungkapkan:[40]
هو كلُّ مَالَم يتصلْ إسنادُه بأيِّ وجهٍ كانَ
“Hadis munqathi’ adalah segala sesuatu yang tidak bersambung (muttashil) sanadnya, dimanapun tempatnya (thabaqah)”.
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hadis munqathi’ adalah hadis yang terputus sanadnya oleh seorang perawi karena tidak bertemu langsung dengan perawi sebelumnya. Dalam hal ini tidak berlaku pada sahabat.
Contohnya sepertiHadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Ahmad, dan al-Bazzar dari Abd al-Razzâq  dari al-Tsawriy dari Abi Ishaq dari Zayd bin Yutsai` dari Hudzayfah  secara marfû`:[41]
اذا وليتموها أبا بكر فقوي أمين
“Jika engkau serahkan kekuasaan kepada Abu Bakar, dia adalah orang  yang kuat dan terpercaya”
Pada hadis di atas terdapat seorang perawi yang digugurkan yakni Syarîk, yang seharusnya berada di antara al-Tsawrî dan Abi Ishâq.
3)      Mu’dhal
Secara bahasa, mu’dhal berasal dari kata أعضل-يعضل-إعضالا-معضلا-معضل yang berarti payah. Sedangkan secara istilah adalah:[42]
هو الحديث الذي سقط منه رويان فأكثر بشرط التوالي
“Adalah hadis yang gugur sanadnya dua orang atau lebih secara berturut-turut”
Hadis mu’dhal disebut sebagai hadis yang payah dikarenakan gugurnya perawi terjadi pada dua tingkatan atau lebih secara berturut-turut. Contoh hadis mu’dhal:[43]
Diriwayatkan oleh al-Hakimyang disandarkan kepada al-Qa`nabi dari Mâlik dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda:
لِلْمَمْلوكِ طعامُهُ وكِسْوَتُه ولا يُكلَّفُ الا ما تُطِيْقُ
“Bagi budak mendapat makanan dan pakaian, ia tidak boleh dibebani kecuali pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya”.
Dari hadis di atas terdapat dua orang perawi yang digugurkan secara berturut-turut. Mereka adalah Muhammad bin `Ajlân dan ayahnya yang seharusnya berada di antara Mâlik dan Abu Hurairah
4)      Mu’allaq
Secara bahasa, mu’allaq berasal dari kata علق-يعلق-تعليقا-معلق yang berarti bergantung. Sedangkan secara istilah adalah:[44]
ما حذف من مبدأ إسناده راو فأكثر على التوالي
“Hadis dimana seorang perawi atau lebih dihapus secara berturut-turut dari awal sanad sanad”.
Jadi, hadis mu’allaq adalah hadis dimana terdapat seorang perawi atau lebih dihapus secara berturut-turut, baik di awal sanad ataupun dihapus semua sanadnya. Contoh hadis mu’allaq:[45]
و قال أبو موسى: غطى النبي ص.م. ركبتيه حين دخل عثمان
“Nabi menutup kedua lututnya ketika masuk (ke rumah) Utsman”.
Hadis di atas diriwayatkan oleh al-Bukhar, dia menghapus seluruh sanad kecuali saabat Abu Musa.
5)      Mudallas
Secara bahasa, mudallas berasal dari kata دلس-يدلس-تدليسا-مدلس-ومدلس yang berarti samar. Sedangkan secara istilah adalah:[46]
إخفاء عيب في الإسناد، ة تحسين لظاهره
Jadi, hadis mudallas adalah menyembunyikan cacat dalam sanad dan membaguskan dalam cara periwayatannya. Hadis mudallas dibagi menjadi tiga macam:
a)      Tadlis Isnad
أن يروي الراوي عمن قد سمع منه ما لم يسمعع منه من غير أن يذكر  أنه سمع منه[47]
Jadi, tadlis isnad adalah seorang perawi meriwayatkan hadis dari seorang syekh yang pernah ia temui, namun di antara mereka tidak ada proses yang menunjukkan bahwa seorang syekh tersebutmemberikan hadis kepada perawi tersebut. Contoh tadlis isnad:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ الْأَجْلَحِ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ-....- الْبَرَاءِ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا[48]
Abu Ishak al-Suba’iy adalah seorang tsiqoh tetapi mudallis. Dalam hadis ini, ia mendengar dari Abi Dawud al-A’ma yang matruk hadisnya. Kemudian ia meriwayatkan hadis dari al-Barra’ dan menyembunyikan Abi Dawud dengan menggunakan kata “’an”. Sebenarnya Abu Ishak al-Suba’iy telah mendengar beberapa hadis dari al-Barra’.

b)      Tadlis Taswiyah
رواية الراوي عن شيخه ثم إسقاط راو ضعيف بين ثقتين[49]
        Tadlis taswiyah adalah periwayat menggugurkan seorang syekhdhaif di antara dua syekh tsiqah yang saling bertemu. Maksudnya adalah, periwayat menggugurkan/menghapuskan seorang syekh yang telah diketahui ke-dhaifannya  yang berada di antara dua syekh yang telah dinyatakan tsiqah. Contoh tadlis taswiyah:[50]
مَا رَوَاهُ ابْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبِيْ عَنْ اِسْحَقَ بْنِ رَاهَوِيَّةِ عَنْ بُقَيَّةِ حَدَثَنِيْ أَبُوْ وَهْبٍ الأَسَدِيْ عَنْ-.....- نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ حَدِيْثٌ لَا تَحْمَدُوْا اِسْلاَمَ الْمَرْءِ حَتَّى تَعْرِفُوْا عُقْدَةَ رَأْيِهِ.
Hadis ini diriwayatkan melalui sanad Buqiyah dari Ubaidillah bin Amru julukannya Abu Wahab Al-Asadi (ṭsiqah) dari Ishak bin Abi Furuwah (ḍha’īf ) dari Nafi’ (ṭsiqah). Kemudian nama Ishak bin Abi Furuwah dibuang oleh Buqiyah. Jadi, dalam hadis ini terdapat seorang yang dhaif bernama Ishak bin Abi Furuwah, yang kemudian ia digugurkan oleh Buqiyah (periwayat hadis).

c)      Tadlis Syuyukh
أن يروي الراوي عن شيخ حديثا سمع منه، فسميه أو يكنيه أو ينسبه أو يصفه بما لا يعرف به كي لا يعرف [51]
Singkatnya, tadlis syuyukh adalah seorang perawi menerima hadis dari seorang syekh, namun ia mengubah atau memberikan nama syekh tersebut bukan dengan nama aslinya. Ia menggunakan nama julukan ataupun nama suatu bangsa. Hal ini bertujuan agar nama syekh tersebut tidak dikenal. Contoh tadlis syuyukh:
Abu Dawud meriwayatkan hadis teng talak tiga melalui sanad Ibn Jurayj memberitakan kepadaku sebagian Bani Abi Rafi mawla (budak yang telah dimerdekakan) Rasulillah SAW dari Ikrimah mawla Ibn ‘Abbas dari Ibn ‘Abbas berkata:
طلَّقَ عبدُ يزيدٍ – أبو رُكَانَة وإِخْوتُه – أمَّ رُكانة ونكَحَ امرأةً مِن مُزِيْنة ..
        Abdu Yazîd (Abu Rukânah dan saudara-saudarnya) atau Ummu Rukânah menthalak dan menikahi seorang wanita dari kabilah Muzînah…
Nama asli Ibn Jurayj adalah ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Jurayj, ia tsiqah namun mudallis karena ia menyamarkan nama syekhnya dengan ungkapan sebagian Bani Abi Rafi, padahal yang ia maksud adalah Muhammad bin `Ubaydillah bin Abi Rafi`
b)      Sebab Cacatnya Periwayat
1.      Hadis dhaif sebab tidak adil
a)      Maudhu’
Secara bahasa maudhu’ berasal dari kata وضع-يضع-وضعا-فهو-موضوع yang berarti dibuat-buat. Sedangkan secara istilah adalah:[52]
هوَ الْمَكْذوبُ علىَ رسولِ الله صلى الله عليه وسلم مِنْ قولٍ أو فعلٍ أو تقريرٍ أو نحوِ ذلك عَمْدًا
“Adalah hadis yang didustakan atas Rasul SAW, mulai dari perkataan, perbuatan, ketetapan, ataupun sejenisnya secara sengaja”
Jadi, maudhu’ adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, padahal periwayat itu memalsukan atau membuat hadis sendiri.di antara faktor dibuatnya hadis maudhu’ adalah karena faktor politik, dendam dari musuh islam, fanatisme, faktor negeri dan madzhab, dll.[53] Contoh hadis maudhu’:[54]
Ghiyâts bin Ibrahim al-Nakha`iy. Ghiyâts berkata Rasulullah SAW bersabda :
لا سَبْقَ إلاَّ فى نصلٍ أو خفٍّ أو حَافزٍأو جَناَحٍ
“Tidak ada perlombaan kecuali pada anak panah  atau onta  atau kuda dan atau pada burung”.
Sebenarnya, dalam hadis di atas tidak terdapat kata “burung” (janaahan), tetapi karena Ghiyats pernah melihat Khalifah al-Mahdi sedang bermain burung merpati, kemudian ia menambahkan kata “burung” pada hadis tersebut.
b)      Matruk
Secara bahasa, matruk berasal dari kata ترك-يترك-تركا-فهو-متروك yang berarti tertinggal. Sedangkan secara istilah adalah:[55]
هوَ ما انْفَردَ به رَاوٍ اُتُّهِمَ بالكذِب  لِمُخَالفةِ  القواعدِ  المعلومةِ ولم يَرْوِ إلاَّ من جِهَتِهِ  أو عُرِف  بالكذبِ في كلام النَّاسِ  وإن لم يظهَرْ ذلكَ في الْحَديثِ
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi  tertuduh dusta sendiri  karena menyalahi kaedah yang maklum, tidak ada yang meriwayatkannya melainkan dari dia  atau dikenal dusta dalam pembicraan manusia sekalipun tidak nampak kebohongan tersebut  pada hadis”.
Dari definnisi di atas, bahwasannya sebab-sebab teruduh dusta ada kalanya hanya seorang perawi saja, terkenal sebagai seorang pembohong, ataupun menyalahi kaidah yang maklum. Seperti kewajiban sholat,  zakat, puasa, haji, dll. Contoh hadis matruk:[56]
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abi al-Dunya dalam Qadhâ’ al-Hawâ’ij melalui Juwaybir bin Sa`îd  al-Azdî dari al-Dhahhâk dari Ibn `Abbas dari Nabi saw :
عليكُمْ باصْطِنَاعِ  الْمَعروفِ فإنهُ يَمْنَعُ مصَارِعَ السُّوْءِ  وعليكُمْ بصدقةِ السِّرِّ فإنّهَا   تُطْفِئُ  غضبَ اللهِ عزَّ وجلّ
“Wajib atas kamu berbuat yang makruf sesungguhnya ia mencegah pergulatan kejahatan dan wajib atas kamu  shadaqah samaran (sirr) sesungguhnya ia mematikan murka Allah SWT”.
   Pada isnad Hadis disini  terdapat Juwaybir bin Sa`îd al-Azdiîy dan ia matrûk al-Hadîts  atau lays bi syay’ (tidak ada apa-apanya). Hadis matrûk sangat dhaif,  tidak dapat dijadikan hujah dan tidak perlu syahid (sanad lain di kalangan sahabat).
c)      Mubham
Secara bahasa, mubham berasal dari kata أبهم-يبهم-إبهاما-فهو-مبهم yang berarti samar. Sedangkan secara istilah adalah:[57]
هو الحديثُ الذِيْ  يُوْجَد  في سندِه أو متنِه رجلٌ أو امرأةٌ لم يُسمَّيَا
“Adalah Hadis yang didapatkan di dalam sanadnya atau di dalam matannya terdapat seorang laki-laki atau seorang perempuan yang tidak disebutkan namanya”. Jadi, dalam Hadis Mubham  tidak disebutkan nama  periwayat atau yang diriwayatkan, di situ hanya menyebutkan seorang laki-laki atau seorang perempuan saja. Contoh mubham:[58]
Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan, melalui al-Hajjaj bin Farafishah dari Seorang lelakidariAbi Salamah  dari Abi Hurairah berkata Rasulullah saw bersabda :
اْلمُؤْ مِنُ  غُرٌّ كَرِيْمٌ وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئِيْمٌ
“Orang mukmin adalah seorang mulia yang murah sedang  durhaka adalah penipu yang tercela”.
Pada hadis di atas terdapat sanad yang hanya menyebutkan “seorang laki-laki” tanpa menyebutkan namanya. Maka dari itu hadis ini dinamakan hadis mubham. Apabila yang meriwayatkan adalah seorang sahabat, maka hadis tersebut dapat diterima. Sebaliknya, jika yang meriwayatkan hadis selain sahabat maka hadis tersebut tertolak.
2.      Hadis dhaif sebab tidak dhabit
a.       Munkar
Kata Munkar dari akar kata  Inkâr :   أنكَرَ  يُنْكِر إنكاراً  فهو مُنْكر = menolak, ingkar dan tidak mengakui.  Dalam istilah:[59]
ما رَوَاه الضَّعيفُ مُخالِفاً لِمَنْ هوَ أدنَى  منه ضَعْفًا
“Hadis yang diriwayatkan oleh seorang dha’if menyalahai periwayatan orang yang lebih rendah kedha’ifannya”.
Dari definisi ini menunjukkan  bahwa di antara periwayat Hadis Munkar ada yang sangat lemah daya ingatannya, periwayatannya menyalahi  periwayatan orang yang lebih sedikit kedha’ifannya atau dalam bahasa lain periwayatan orang dha’if menyalahi orang tsiqah.
Seperti Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah melalui Usâmah bin Zaid al-Madaniy dari Ibn Syihab dari Abi Salamah  bin Abd al-Rahman bin `Awf dari ayahnya secara marfû` :
صائمُ رمضانَ فى السَّفرِ كالْمُفْطِر فى الْحَضَرِ
“Seorang yang puasa Ramadhan dalam perjalanan seperti seorang yang  berbuka dalam tempat tinggalnya”.
Hadis di atas  periwayatan Usamah bin Zaid al-Madaniy  secara marfû` (dari Rasulillah saw), bertentangan periwayatan   Ibn Abi Dzi’bin yang tsiqah, menurutnya Hadis di atas mawqûf pada Abd al-Rahman bin `Awf.
b.      Mu’allal
Dalam bahasa Mu`allal  berasal dari kata    علّل  يعلِّل  تعلِيلا  فهو معلَّلٌ yang berarti penyakit. Seolah-olah Hadis ini terdapat penyakit yang membuat tidak sehat  dan tidak kuat. Dalam istilah Hadis Mu`allal adalah:[60]
هو حديثٌ ظاهرُهُ السلامةُ لكنْ اُطُّلِع فيهِ بَعْدَ البحثِ في طُرُقِهِ على علَّةٍ قادحةٍ في السَّنَدِ أو في المتنِ كوصلِ مُرسلٍ أو منقطعٍ أو إدخالِ حديثٍ في حديثٍ أو غيرِ ذَلك
Contoh Mu’allal pada sanad seperti yang diriwayatkan  dari Yahya bin Muhammad bin Abi Katsir  dari Anas bahwa Nabi saw  :
 كانَ إذا أفطرَ عندَ أهلِ بيتٍ قالَ : أفْطَرَ عندكُمْ الصَّائِمون
Bahwa beliau  ketika berbuka bersama ahli bait (keluarga) bersabda : “Selamat berbuka orang-orang yang berpuasa di sisi kalian”. 
c.       Mudraj
Yaitu hadis yang didalamnya terdapat tambahan kata-kata oleh periwayat bukan dari sumber aslinya.[61]
d.      Maqlub
Hadis Maqlub yaitu hadis yang terbalik redaksinya baik pada matan atau pada sanad. Atau sanadnya tertukar dengan matan lain.[62]
e.       Mudhtharib
Hadis yang bertentangan antara riwayat yang satu dengan riwayat yang lainnya namun masih bisa digabungkan dari salah satu dari berbagai segi.[63]
f.          Muharraf
Hadis Muḥarraf yaitu Hadis yang didalamnya terdapat perbedaan dari segi harakat sedangkan bentuk tulisannya tetap. [64]Contoh hadis yang di tahrifkan oleh Gandūr dengan ungkapan yang aslinya “Ubay” menjadi “Aby” yang artinya Ayahku.[65]
مَا رَوَاهُ غَنْدُوْرُ قال رُمِيَ أَبِيْ يَوْمَ الْأَحْزَابِ عَلَى أَكْحُلِهِ فَكَوَاهُ رَسُوْلُ اللهِ
Yang benar adalah:
حَدَّثَنِي بِشْرُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ شُعْبَةَ قَالَ سَمِعْتُ سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سُفْيَانَ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رُمِيَ أُبَيٌّ يَوْمَ الْأَحْزَابِ عَلَى أَكْحَلِهِ فَكَوَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . رواه مسلم
g.      Mushahhaf
Hadis Muṣaḥḥaf yaitu Hadis yang didalamnya terdapat perbedaan dari segi titik sedangkan bentuk tulisannya tetap.Contoh hadis yang di taṣḥīfkan oleh Abu Bakar As-Ṣūli dengan ungkapan:[66]
مَا رَوَى عَنْ أَبِيْ بَكْرٍ الصُّوْلِيْ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَ اِتَبَعَهُ شَيْئًا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصَوْمِ الدُّهْرِ
Yang benar hadisnya adalah:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ. رواه الترمذي
h.      Syadz
Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang ṡiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang lebih ṡiqah. [67]
i.     Majhul
Hadis majhul yaitu hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang disebutkan dalam sanad namun tidak diketahui jati diri dan identitasnya (tidak pernah ada rijal lain yang mengkomentari ketsiqahannya). Contoh:[68]
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا عَثَّامُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ هَانِئِ بْنِ هَانِيءٍ قَالَ دَخَلَ عَمَّارٌ عَلَى عَلِيٍّ فَقَالَ مَرْحَبًا بِالطَّيِّبِ الْمُطَيَّبِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مُلِئَ عَمَّارٌ إِيمَانًا إِلَى مُشَاشِهِ. رواه ابن ماجة.
Hadis ini diriwayatkan melalui sanad Hani’ bin Hani’ yang tidak pernah didengar namanya.

3.      Hukum Mengamalkan Hadis Dhaif

Hukum mengamalkan hadis  ḍa’if ulama’ berbeda pendapat:
1)      Pendapat pertama, hadis dhaif tidak boleh diamalkan ataupun dijadikan hujjan sama sekali baik yang berhubungan dengan hukum maupun keutamaan amal. (Imam Bukhari, Muslim, Ibnu Hazm, dan Abu Bakar Ibn al-Aroby)[69]
2)      Pendapat kedua Imam Ahmad dan Abu Daud bahwa hadis ḍha’īf  dapat diamalkan secara mutlak baik masalah aqidah, hukum, atau fadlailu al-ahkam. hadis ḍha’īf  lebih kuat dibanding pendapat para ulama’ yang murni dari pemikiran mereka.[70]
3)      Pendapat ketiga: Ibnu Hajar al-Asqalani : “boleh diamalkan dalam hal faḍā’ilu al-a’māl dengan syarat:
a.    Ḍa’īf nya tidak terlalu (bukan karena bohong, diangggap bohong, kesalahan yang fatal).
b.   Tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang berlaku.
c.    Tidak meyakini kebenarannya dari nabi, namun mengamalkan untuk kehati-hatian (iḥṭiyāṭi)[71]














DAFTAR PUSTAKA

Al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Al-Mas’udi, Hafidz Hasan. Minhatul Mughib fi Ilmi Mustholahul Hadis. Surabaya: Andalas, 2001.

Amin, Kamaruddin. Metode Kritik Hadis. Jakarta: Mizan Media Utama, 2009.

Chandra, Agus Firdaus dan Buchari M. Kriteria Keshahihan Hadis, Jurnal Ushuluddin: Vol. 24, No. 2, Juli-Desember 2016.

Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana  Prenada Media Group, 2010.

Jum’ah, Imad Ali. Mushtalahul Hadis al-Maisir. Riyadh: Makhtabah al-Mulk, 2005.

Khon, Abdul Majid. Ilmu Hadis Madrasah Aliyah Program Keagamaan Kelas XI. Jakarta: Kemenag RI, 2010.

Salihin, Syamsuez. Historiografi Hadis Hasan dan Hadis Dhaif. Jurnal Adabiyah: Vol. 10, No. 02.

Shalih, Subhi. Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu. Bairut: Dar Ilmi al-Malayin, 1977.

Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi. Yokyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003.

Zunin, Muhammad dkk. Ilmu Hadis Pegangan Siswa Kelas XI Peminatan Ilmu Agama. Jakarta: Kemenag RI, 2013.


Catatan:
1. Similarity 18%, cukup bagus.
Makalah ini bagus, tetapi kok tidak ada penutupnya?


[1]Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 50.
[2]Ibid.
[3]Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana  Prenada Media Group, 2010), hlm. 157.
[4]Agus Firdaus Chandra dan Buchari M, Kriteria Keshahihan Hadis, Jurnal Ushuluddin: Vol. 24, No. 2, Juli-Desember 2016, hlm. 168.
[5]Muhammad Zuhri, Hadis Nabi (Yokyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 88-89.
[6]Idri, Studi Hadis, hlm 158.
[7]Ibid.
[8]Idri, Studi Hadis, hlm. 160.
[9]Idri, Studi Hadis, hlm. 162.
[10]Ibid.
[11]Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis (Jakarta: Mizan Media Utama, 2009), hlm. 24.
[12]Ibid.
[13]Idri, Studi hadis, hlm. 163.
[14] Ibid., hlm. 165.
[15]Idri, Studi Hadis, hlm. 168
[16] Ibid.
[17]Ibid. 
[18]Ibid., hlm 170.
[19]Ibid., hlm 172.
[20]Ibid.
[21]Hafidz Hasan al-Mas’udi, Minhatul Mughib fi Ilmi Mustholahul Hadis (Surabaya: Andalas, 2001), hlm. 6.
[22]Hafidz Hasan al-Mas’udi, hlm. 8.
[23]Idri, Studi Hadis, hlm. 175.
[24]Ibid.
[25]Muhammad Alwi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm. 59.
[26]Ibid.
[27]Muhammad Zuhri, Hadis Nabi, hlm. 93.
[28]Idri, Studi Hadis, hlm. 173.
[29]Idri, Studi Hadis, hlm. 174.
[30]Muhaammad Alawi Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm. 63.
[31]Idri, Studi Hadis, hlm. 175-176.
[32] Subhi Shalih, ‘Ulum al- Hadis wa Mustalahuhu (Beirut: Dar Ilmi al-Malayin, 1977), hlm. 165.
[33]  Muhammad Zunin,dkk, Ilmu Hadis Pegangan Siswa Kelas XI Peminatan Ilmu Agama (Jakarta: Kemenag RI, 2013), hlm. 75.
[34] Abdul Majid Khon, Ilmu Hadis Madrasah Aliyah Program Keagamaan Kelas XI (Jakarta: Kemenag RI, 2010), hlm. 76.
[35] Imad Ali Jum’ah, Musthalahul hadis al-Maisir (Riyadh: Maktabah al-Mulk, 2005), hlm. 24.
[36] Muhammad Zunin,dkk, Ilmu Hadis Pegangan Siswa Kelas XI Peminatan Ilmu Agama (Jakarta: Kemenag RI, 2013), hlm. 77.
[37]Ibid., hlm. 77.
[38]Ibid., hlm.77.
[39] Abdul Majid Khon, Ilmu Hadis Madrasah Aliyah Program Keagamaan Kelas XI (Jakarta: Kemenag RI, 2010), hlm. 77.
[40]Ibid., hlm. 77.
[41]Ibid., hlm.78
[42] Subhi Shalih, ‘Ulum al- Hadis wa Mustalahuhu (Beirut: Dar Ilmi al-Malayin, 1977), hlm. 169.
[43] Abdul Majid Khon, Ilmu Hadis Madrasah Aliyah Program Keagamaan Kelas XI (Jakarta: Kemenag RI, 2010), hlm. 78.
[44] Imad Ali Jum’ah, Musthalahul hadis al-Maisir (Riyadh: Maktabah al-Mulk, 2005), hlm. 24.
[45]Ibid., hlm.23.
[46]Ibid., hlm.26.
[47] Ibid., hlm.26.
[48] Muhammad Zunin,dkk, Ilmu Hadis Pegangan Siswa Kelas XI Peminatan Ilmu Agama (Jakarta: Kemenag RI, 2013), hlm. 79.
[49] Imad Ali Jum’ah, Musthalahul hadis al-Maisir (Riyadh: Maktabah al-Mulk, 2005), hlm. 24.
[50] Muhammad Zunin,dkk, Ilmu Hadis Pegangan Siswa Kelas XI Peminatan Ilmu Agama (Jakarta: Kemenag RI, 2013), hlm. 79.
[51] Imad Ali Jum’ah, Musthalahul hadis al-Maisir (Riyadh: Maktabah al-Mulk, 2005), hlm. 24.
[52] Abdul Majid Khon, Ilmu Hadis Madrasah Aliyah Program Keagamaan Kelas XI (Jakarta: Kemenag RI, 2010), hlm. 81.
[53]Ibid., hlm. 81.
[54]Ibid., hlm. 81.
[55]Ibid., hlm. 82.
[56]Ibid., hlm.82.
[57]Ibid., hlm. 83.
[58] Ibid., hlm. 83.
[59]Ibid., hlm. 84.
[60]Ibid., hlm. 84.
[61] Muhammad Zunin,dkk, Ilmu Hadis Pegangan Siswa Kelas XI Peminatan Ilmu Agama (Jakarta: Kemenag RI, 2013), hlm. 82.
[62]Ibid., hlm. 83.
[63]Ibid., hlm. 84.
[64]Ibid.,hlm. 85.
[65]Ibid., hlm. 85.
[66]Ibid., hlm. 85-86
[67]Ibid., hlm. 84.
[68]Ibid., hlm. 81.
[69] Syamsuez Salihima, Historiografi Hadis Hasan dan Dhaif, Jurnal Adabiyah, 2010, Vol. 10, No. 02, hlm. 217.
[70] Muhammad Zunin,dkk, Ilmu Hadis Pegangan Siswa Kelas XI Peminatan Ilmu Agama (Jakarta: Kemenag RI, 2013), hlm. 86.
[71] Ibid., hlm. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar