Kamis, 22 November 2018

Ilmu Jarh wa Ta'dil (PAI I ICP English Semester Ganjil 2018/2019)



ILMU JARH WA TA’DIL

Azizatul Bariroh dan Faridatul Azman
Mahasiswa Jurusan PAI, FITK UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
The position of the narrators of the hadith who play a very important role in the narration of the hadith of the Prophet SAW and deliver it to his followers makes the scholars especially the scholars of hadith pay more attention to the conditions of the acceptance of narrators' narrations. This is because recalling that many individuals pretend to be narrators and narrate false traditions that cannot be justified. They made the hadith with the aim to divide Islam. Most scholars of hadith and Islamic jurisprudence have determined that a narrator can be accepted by fulfilling at least 2 basic requirements, namely a narrator must be fair and dhabith. The way to establish a narrator's justice is to use the knowledge of jarh wa ta'dil. And this paper will discuss about the knowledge of jarh wa ta’dil, its understanding and history, the levels of al-Jarh wa Ta'dil and other things that include the knowledge of jarh wa ta’dil.
Keyword: perawi, ilmu jarh wa ta’dil

Abstrak
Kedudukan para perawi hadis yang sangat berperan penting dalam sanad periwayatan hadis nabi SAW dan mengantarkannya sampai kepada umatnya menjadikan para ulama khususnya ulama ahli hadis memberikan perhatian lebih terhadap syarat syarat diterimanya periwayatan seorang perawi. Hal tersebut dikarenakan mengingat kembali bahwa banyak oknum yang berpura pura menjadi perawi dan meriwayatkan hadis palsu yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Mereka membuat hadis tersebut dengan tujuan untuk memecah belah umat islam. Sebagian besar ulama hadis dan ulama fiqih telah menetapkan bahwa seorang perawi dapat diterima periwayatannya dengan memenuhi minimal 2 syarat dasar, yakni seorang perawi harus adil dan dhabith. Adapun cara untuk menetapkan keadilan seorang perawi adalah dengan menggunakan ilmu jarh wa ta’dil. Dan makalah ini akan membahas tentang ilmu jarh wa ta’dil, pengertian dan sejarahnya, tingkatan tingkatan al jarh wa ta’dil serta hal hal lain yang mencakup ilmu jarh wa ta’dil.
Kata kunci: Perawi, Ilmu Jarh Wa Ta’dil

A. Pendahuluan
Hadis memiliki posisi yang sangat penting dalam islam karena hadis merupakan salah satu dari empat sumber hukum islam yang dijadikan sumber rujukan atau referensi dalam berbagai hal dan problematika oleh para ulama. Namun tidak semua hadis yang tersebar dapat dijadikan sebagai sumber referensi dan diterima karena setelah diadakannya penelitian terhadap hadis, ternyata hadis tersebut terbukti dhaif bahkan palsu. Hadis tersebut tidak dapat kita jadikan sebagai sumber. Hadis yang dapat kita jadikan sebagai sumber adalah hadis yang memenuhi kriteria shahih. Adapun untuk mengetahui shahih tidaknya sebuah hadis dapat kita teliti melalui sanad dan matannya. Sedangkan dalam kaidah ulumul hadis, sebuah hadis dapat dikatakan shahih apabila telah memenuhi 5 syarat, yakni: bersambungnya sanad (Ittishal As Sanad), keadilan para perawi (‘Adalah Ar Ruwah), para perawi memiliki ingatan yang kuat (Dhabth Ar Ruwah), tidak terjadi kejanggalan (‘Adamu Syadz) dan tidak terjadi ‘illat (‘Adamu Illat). Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kita dapat mengetahui sifat dari perawi hadis yang telah wafat bertahun tahun lamanya dan kita tidak pernah bertemu dengan mereka. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut maka dilakukan sebuah penelitian untuk menguji apakah perawi tersebut telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh ulama hadis agar riwayatnya dapat diterima dan dijadikan sumber. Seperti contoh hadis dibawah ini:
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ إِسْمَعِيلَ عَنْ عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ (رواه النسائ)  
“Telah mengabarkan kepada kami Amr bin Ali, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Isma’il, dari Amir, dari Abdullah bin Amr, dia berkata, aku mendengar Rasulullah  Saw bersabda: ”Orang muslim adalah yang mampu menjaga lisan dan tangannya tidak menyakiti orang Muslim lainnya. Sedangkan orang muhajir (orang yang hijrah) adalah yang hijrah/pindah dari apa-apa yang dilarang Allah. (HR al-Nasa’i).”
Dari contoh diatas dapat kita lihat bahwa nama nama yang bergaris bawah adalah nama nama perawi. Agar hadis tersebut dapat diterima, maka harus dilakukan penelitian terlebih dahulu terhadap para perawi tersebut dan hasilnya harus menyatakan bahwa mereka memenuhi syarat. Salah satu cara untuk mempermudah kita dalam melakukan penelitian adalah dengan memahami ilmu jarh wa ta’dil yang sangat membantu dalam mengetahui sifat keadilan dan kedhabithan seorang perawi.

B. Pengertian Jarh Wa Ta’dil
Ditinjau dari segi bahasa, kata jarh berasal dari kata  جرح yang mengandung makna melukai. Sedangkan menurut pengertian ulama muhadditsin, jarh berarti mengkritik dan mencela seorang perawi hadits dengan menggunakan ungkapan yang menghilangkan sifat adil dan dhabit dari seorang perawi. Adapun yang di maksud dengan tarjih adalah menyifati perawi dengan sifat sifat tertentu yang menyebabkan riwayatnya tertolak. Sedangkan ta’dil menurut ulama muhadditsin adalah memuji seorang perawi bahwa perawi tersebut adil dan dhabit. Menurut Dr. Shubkhi As Shalih mengartikan ilmu jarh wa ta’dil seperti berikut:
علم يبحث عن الرواة من حيث م ورد في شأنهم مما يشنيهم أو يزكيهم بألفاظ مخصوصة
Yakni ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi apa yang datang dari keadaan mereka, dan dari apa yang mencela mereka, atau yang memuji mereka dengan menggunakan kata kata khusus.
Jadi ilmu jarh wa ta’dil merupakan ilmu yang membahas tentang nilai kecacatan atau keadilan seorang perawi dengan menggunakan kata kata tertentu. Adapun yang dimaksud adil disini bukan sifat adil dalam konteks hukum sebagaimana yang disebutkan di KBBI, akan tetapi cenderung pada penggambaran atas perilaku moral, religi dan spiritual dari seorang perawi. Adil dalam konteks jarh wa ta’dil adalah seorang perawi yang memenuhi syarat berikut:
1. Muslim, seseorang yang meriwayatkan hadis harus beragama islam.
2. Baligh atau mumayyiz, adalah orang yang sudah bisa membedakan mana perbuatan buruk yang harus dijauhi serta di larang dan mana perbuatan baik yang harus di lakukan dan di perintahkan oleh Allah.
3. Berakal sehat dan tidak gila. Orang yang mabuk dan kehilangan akalnya tidak bisa di katakan adil, serta orang orang yang terlalu fanatik terhadap suatu golongan sehingga menciptakan sebuah hadis untuk mendukung golongan tersebut atau sebaliknya.
4. Tidak fasik, artinya seorang perawi tidak pernah melakukan dosa besar dan jarang melakukan dosa kecil.
5. Menjaga muru’ah dan harga dirinya.
Sedangkan istilah dhabit merupakan penggambaran dari kapasitas intelektual seorang perawi, apakah perawi tersebut memiliki daya ingat yang kuat atau lemah. Dhabit dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
1. Dhabith fi as shudur atau dhabith dalam dada. Yakni seseorang yang memiliki daya ingat dan hafalan yang sangat kuat mulai ia menerima dari syaikh atau gurunya sampai ia meriwayatkannya atau menyampaikannya pada orang lain. Selain itu dia juga dapat menyampaikan riwayatnya di manapun dan kapanpun jika dibutuhkan.
2. Dhabith fi as shutur atau dhabith dalam tulisan. Yakni seorang perawi yang tulisan hadisnya terpelihara dari kesalahan, penyelewengan, kekurangan dan perubahan mulai ia menerima hadis sampai meriwayatkannya.
Pada hakikatnya, mencela dan menyebarkan aib seseorang atau biasa disebut dengan ghibah adalah salah satu larangan dalam islam. Kemudian bagaimana dengan ilmu jarh wa ta’dil yang isinya membahas tentang pencelaan terhadap seorang perawi hadis. Menurut Hasbi As Shiddiqie yang menyandarkan pendapatnya kepada imam Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin, mecela seorang perawi hadis termasuk di perbolehkan dan hal tersebut merupakan suatu kepentingan agama dengan berdasarkan 6 alasan:
1. Karena teraniaya. Orang yang teraniaya diperbolehan untuk melaporkan perbuatan aniaya yang telah dilakukan seorang pelaku terhadapnya.
2. Memimta pertolongan untuk menjauhkan kemunkaran
3. Meminta fatwa pada seorang mufti
4. Menghindarkan seseorang dari kejahatan
5. Bid’ah. Sesorang yang melakukan perbuatan bid’ah boleh dicela secara terbuka dan terang terangan agar perbuatannya tidak diikuti atau ditiru oleh orang lain.
6. Membeberkan informasi yang sebenarnya.
Akan tetapi meskipun mencela diperbolehkan tetap saja tidak boleh melebihi batas keperluan dalam mencela. Oleh sebab itu, para pengkritik hadis dalam mencela seorang perawi selalu berhati hati dan mereka biasanya jarang mengungkapkan sebab sebab kecacatan dari seorang perawi. Mereka lebih sering menggunakan ungkapan seperti perawi ini dhaif, perawi ini harus di abaikan dan sebagainya.
C. Sejarah Munculnya Ilmu Jarh Wa Ta’dil
Pada dasarnya, ilmu jarh wa ta’dil lahir sebagai bentuk implementasi dari perintah perintah Allah dan arahan arahan dari nabi Muhammad SAW kepada hamba Allah sekaligus umat Nabi SAW. Hal tersebut dapat kita lihat dari firman Allah Q.S. Al Hujurat: 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang orang yang beriman, apabila datang kepadamu seorang yang fasik dengan membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpahkan suatu musibah pada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu tersebut”.
Secara umum, konsep dan prinsip serta kaidah yang ada dalam ilmu jarh wa ta’dil telah ada sejak zaman rasulullah yang mana beliau sendidri telah mempraktekkannya dalam berbagai hadis dengan tujuan terciptanya kemaslahatan dan kebaikan bagi umatnya. Salah satu contoh dari kritikan beliau tersebut adalah sebagai berikut:
بئس أخو العشيرة
“Betapa buruknya saudara Al ‘Asyirah”
نعم عبد الل خالد بن الوليد سيف من سيوف الل
“ hamba Allah yang paling baik adalah Khalid bin Walid, dia adalah salah satu dari pedang pedang Allah”
Kedua sabda nabi diatas merupakan contoh dari penerapan ilmu jarh wa ta’dil. Ilmu jarh wa ta’dil berkembang seiring dengan berkembangnya periwayatan dalam agama islam. Setelah nabi wafat, ilmu ini tidak hanya berhenti di masa nabi akan tetapi berlanjut hingga sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan seterusnya. Tidak hanya sahabat, para ulama juga sangat ketat terhadap jarh wa ta’dil. Selain itu mereka juga tidak pandang bulu dalam mencacat atau memuji dengan tujuan menjaga keaslian hadis dan agama islam. Seperti contoh saat Ali Ibn Madini ketika ditanya oleh seseorang mengenai ayahnya, beliau menyuruh orang tersebut untuk menanyakannya pada orang lain. Kemudian orang tersebut bertanya pada beliau untuk kedua kalinya, maka di jawab oleh beliau bahwa ayahnya adalah seorang yang lemah atau dhaif.

D. Tujuan Pokok Ilmu Jarh Wa Ta’dil
1. Agar dapat menghukumi dan mengetahui status perawi hadis
2. Agar dapat menegetahui kedudukan sebuah hadis, karena mustahil seseorang bisa mengetahui kedudukan sebuah hadis tanpa mengetahui kaidah dari ilmu jarh wa ta’dil
3. Agar mengetahui kriteria seorang perawi yang diterima atau maqbul riwayatnya melalui sifat keadilan dan kedhabithannya.
Adapun cara untuk mengetahui adilnya seorang perawi adalah berdasarkan penilaian dan ketetapan dari ulama ahl jarh wa ta’dil atau bisa melalui kemasyhuran atau popularitas perawi tersebut di kalangan ulama hadis lain seperti Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali, Sufyan al Uyainah, Al Auza’i dan ulama hadis lain. Sedangkan kedhabithan perawi hadis dapat kita ketahui melalui keselarasan atau kesamaan riwayat dari seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqoh. Sebagai seorang kritikus atau ahl jarh wa ta’dil juga memiliki persyaratan tertentu sebelum dia mengkritik riwayat seseorang, diantaranya adalah:
1. Adil dan dhabith, karena yang dia kritik adalah mengenai sifat keadilan dan kedhabithan seorang perawi otomatis ahl jarh wa ta’dil juga harus memiliki sifat tersebut
2. Faham akan sebab sebab yang menyebabkan seorang perawi di tarjih atau di ta’dil
3. Tidak fanatik terhadap perawi yang di ta’dil dan tidak emosi terhadap perawi yang di tarjih
4. Mengenal baik perawi yang ditarjih maupun di ta’dil
5. Menguasai bahasa arab dengan baik
Ada bebrapa pendapat dari para ulama ahl hadis mengenai jumlah orang yang berhak mentarjih dan menta’dil seseorang. Sebagian pendapat menyatakan bahwa seorang saja sudah dianggap cukup untuk mentarjih dan menta’dil, akan tetapi sebagian lain berpendapat bahwa minimal harus dua orang untuk mentarjih dan menta’dil. Terkait masalah gender, apakah harus laki laki atau perempuan dalam jarh wa ta’dil tidak di syaratkan, jadi laki laki maupun perempuan boleh melakukannya. Tidak disyaratkan juga apakah jarh wa ta’dil hanya untuk seseorang merdeka, jadi periwayatan budak sama dengan periwayatan yang bukan budak jika memenuhi persyaratan.

E. Etika Dalam Mentarjih dan Menta’dil
Pada dasarnya, seorang yang melakuakan jarh wa ta’dil harus memiliki etika yang telah di tetapkan antara lain:
1. Dilakukan secara proporsional. Maksudnya adalah tidak terlalu tinggi dalam menta’dil, akan tetapi juga tidak terlalu menjatuhkan saat mentarjih
2. Dilarang mentarjih secara berlebihan dan melebihi keperluan. Karena pada dasarnya tarjih dilakukan atas dasar dhorurat yang mana keadaan darurat hanya membolehkan sesuatu yang secukupnya
3. Dilarang melakukan tarjih saja tanpa menyebutkan ta’dilnya jika memang seseorang tersebut memiliki nilai nilai positif.

F. Tingkatan Jarh Wa Ta’dil
Dalam melakukan pentarjihan dan penta’dilan, para ulama mebaginya dalam beberapa tingkatan. Dalam tingkatan tingkatan tersebut terdapat lafadz lafadz yang menggambarkan pangkat seorang perawi dari sisi penerimaan riwayat yang disampaikannya. Lafadz lafadz tersebut terbagi lagi menjadi lafadz jarh dan lafadz ta’dil.
Lafadz jarh:
1. Menggunakan lafadz yang menunjukkan arti lemah. Seperti fulan adalah orang yang lunak hadisnya (fulan layyin al hadis), fulan bukanlah hafidz (laysa bi al hafidz).
2. Menggunakan lafadz yang menerangkan bahwa hadis dari perawi tersebut tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Seperti, fulan adalah perawi yang lemah (dho’if), fulan hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah.
3. Menggunakan lafadz yang menjelaskan bahwa hadisnya tidak ditulis atau sejenisnya. Seperti, fulan hadisnya tidak tertulis, fulan adalah orang yang sangat lemah.
4. Menggunakan lafadz yang mengandung perkiraan atau dugaan bohong atau semacamnya. Seperti, fulan adalah orang yang diduga dusta, fulan adalah orang yang tidak tsiqoh, fulan adalah orang yang gugur (saqith).
5. Menggunakan lafadz yang menunjukkan bahwa perawi tersebut memiliki sifat bohong atau semacamnya. Seperti, fulan adalah pembohong (kadzib), fulan adalah penipu (dajjal)
6. Mengunakan lafadz yang menunjukkan makna sangat pembohong atau biasanya menggunakan bentuk af’al al tafdhil. Seperti, fulan adalah orang yang paling bohong (fulan akdzabuan nas), hadisnya fulan cacat.
Semakin kebawah, tingkatan lafadznya semakin parah dibanding tingkatan diatasnya. Seorang perawi yang ditarjih dengan lafadz pertama sampai kedua, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, akan tetapi hadis tersebut dicatat sebagai i’tibar. Sedangkan seorang perawi yang ditarjih menggunakan lafadz ketiga sampai akhir hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak dapat tercatat sebagai i’tibar.
Lafadz ta’dil:
1. Menggunakan lafadz yang menunjukkan makna lebih atau paling dan biasanya berbentuk af’al al tafdhil. Seperti, fulan adalah orang yang paling top keteguan hati dan hafalannya, fulan adalah orang yang mantap hafalan dan keadilannya.
2. Menggunakan lafadz yang menta’qidkan ketsiqohan perawi dengan menambahkan beberapa sifat yang menunjukkan keadilan dan kedhabitannya. Seperti, fulan adalah orang yang benar benar tsiqoh, fulan adalah orang yang tsiqoh dan teguh.
3. Menggunakan lafadz yang menunjukkan makna tsiqoh tanpa adanya ta’qid. Seperti, fulan adalah orang yang tsiqoh.
4. Menggunakan lafadz yang menunjukkan bahwa perawi tersebut adil atau dhabith. Seperti, fulan adalah orang yang sangat jujur, fulan adalah orang yang tidak cacat meneurut sebagian ulama.
5. Menggunakan lafadz yang tidak menunjukkan arti tsiqoh ataupun dhabith. Seperti, fulan adalah seorang guru, fulan adalah orang yang meriwayatkan hadis darinya.
6. Menggunakan lafadz yang mendekati makna jarh. Seperti, hadisnya bisa cacat.
Semakin keatas, tingkatan lafadznya semakin bagus. Adapun perawi yang di ta’dil menggunakan lafadz pada tingkatan pertama sampai ketiga, hadisnya dapat dijadikan sebagai hujjah apabila antara satu dengan yang lain saling menguatkan. Perawi yang di ta’dil menggunakan lafadz keempat dan kelima hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, akan tetapi tercatat sebagai ikhtibar (dapat dipertimbangkan). Sedangkan perawi yang di ta’dil menggunakan tingkatan terakhir hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, namun tercatat untu di i’tibar (sebagai pertimbangan) tidak untuk di ikhtibar karena sudah jelas tidak menunjukkan arti dhabith.
G. Pertentangan Jarh Wa Ta’dil
Apabila seorang perawi di tarjih atau dinilai buruk maupun negatif oleh sebagian ulama, sedangkan ulama lain menta’dilnya atau memberikan penilaian positif terhadapnya, maka hal tersebut menyebabkan perbedaan opini yang terbagi menjadi dua kelompok:
1. Jumhur ulama menyatakan bahwa jarh harus di dahulukan dibanding ta’dil meskipun yang menta’dil lebih banyak jumlahnya daripada yang mentarjih. Hal tersebut berdasarkan alasan bahwa pihak yang mentarjih memiliki pengetahuan yang tidak diketahui oleh pihak yang menta’dil
2. Sebagian pendapat menyatakan bahwa apabila jumlah pihak yang menta’dil lebih banyak daripada yang menta’dil, maka didahulukan ta’dilnya. Kelompok ini menilai berdasarkan jumlahnya dengan alasan bahwa jumlah yang banyak pastinya dapat menguatkan yang lain. Pendapat yang kedua ini dianggap lemah dan tidak mu’tamad.
H. Kitab Kitab
· Al Tarikh Al Kabir karya Imam Bukhari. Kitab ini menjelaskan tentang uraian perawi yang tsiqoh dan yang lemah
· Al Jarh Wa Ta’dil karya Ibn Abu Hatim yang mana isinya kurang lebih sama dengan kitab karya Imam Bukhari diatas
· Al Tsiqaat karya Ibn Hibban yang berisi khusus tentang para perawi yang tsiqoh
· Al Kamil Fi Al Dhu’afa karya Ibn Uday yang khusus berisi tentang perawi yang lemah atau dhaif
· Al Kamaal Fi Asmaa Al Rijal karya Abd Ghani Al Muqaddasi yang khusus berisi tentang para perawi dalam kutub as sittah
· Mizaan Al I’tidaal karya Al Dzahabi yang khusus beris tentang perawi yang dhaif serta matruk
· Tadzhib Al Tadzhiib karya Ibn Hajar yang merupakan ringkasan dari kitab Al Kamaal Fi Asmaa Al Rijal karya Abd Ghani Al Muqaddasi
I. Penutup
Dari pembahasan diatas dapat kita ketahui bahwa agar periwayatan seorang perawi dapat diterima dan dijadikan hujjah harus memenuhi beberapa syarat yakni seorang perawi harus tsiqoh, dalam artian memiliki sifat adil dan dhabith. Untuk mengetahui hal tersebut maka diadakan sebuah penelitian oleh para ulama ahl hadis dan hal tersebut dapat kita temukan dalam ilmu jarh wa ta’dil yang membahas tentang segala keadilan dan kedhabithan para perawi, sehingga riwaytanya diterima.


Daftar Pustaka
Al Qur’an Al Karim
 Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Sejarah & pengantar ilmu hadits. Semarang : Pustaka Rizki Putra
Imron, Ali. 2017. Dasar Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil. Mukaddimah: Jurnal Studi Islam. Vol. 2 No. 2
Ismail, M. Syuhud. 1991. Pengantar ilmu hadits. Bandung : Angkasa
Khon, Abdul Majid. 2013. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah
Nor, Zulhilmi Bin Mohamed. Ilmu Al Jarh Wa Al Ta’dil: Tumpuhan Terhadap Ketokohan Imam Bukhori. Jurnal Universiti Sains Islam Malaysia, Bandar Baru Nilai, Negeri Sembilan.
Siregar, Khairil Ikhsan. 2014. Telaah Hadis Nabi Sebagai Pendidik (Tinjauan Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta‘Dil). Jurnal Studi Al-Qur’an;                                                                                       Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani. Vol. 10, No. 1
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadis. Malang: UIN-Malang Press
Wahab, Husin Abdul. 2011. Ilmu Jarh wat Ta’dil sebagai Kriteria dalam Klasifikasi Hadis. Media Akademika, Vol. 26, No. 2
Zunin, Muhamad. 2015. Hadis-Ilmu Hadis. Jakarta : Kementerian Agama

Catatan:
1. Similarity 13%.
2. Dalam karya ilmiah, penulisan gelar (Prof., Dr., Ustaz, dll) hendaknya dihilangkan
3. Tingkatan-tingkatan jarh dan ta’dl hendakanya dituliskan redaksi Arabnya.
4. Tulis dengan cara penulisa KBBI, misalnya tulisan Islam harus dengan huruf I besar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar