Kamis, 13 September 2018

Alquran dan Historisitasnya (PAI ICP Arabic Semester Ganjil 2018/2019)


  
AL-QUR’AN DAN HISTORISITASNYA
(Urain Analitis, Kronologis, dan Naratif tentang AlQur’an dan Sejarahnya)

Oleh: Yuni Oktavia Rojiah
Mahasiswa Jurusan PAI, FITK, Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang


التجريد
عند المسلمين، القرآن هدى لنّاس الذي يدلّ على الإنسان و يحدد السعادتهم في الدنيا والآخرة. القرآن يقدم نفسه مع مجموعة متنوعة من الخصائص والصفات والمزايا. هذه الميزات يمكن أن ينظر إلى الجوهرها أو  الخارجيها و يدلّ على أنه هو حقا كلام الله و لا أحد يستطيع أن يكتب كمثله. أنزل الله القرأن على النبي محمد صلى الله عليه وسلم عن طريق جبريل تدريجيا. وبعد ذالك، كانت عملية وتاريخ طويلة لتصبح المصحف التي نستخدمها اليوم. هذه العمليات تحدث أكثر من ألف و أربعمائة سنة مضت. بدأت من نزوله والكتابته في زمان النبي و جمعه الأصحاب في زمان أبي بكر الصديق و جعله من المصحف في زمان عثمان بن عفان. والمصحف التي نستخدمها اليوم هي المصحف المعيار لجميع المسلمين في العالم التي تسمى بمصحف عثماني.

الكلمات المفتاحية: التاريح، القرآن، كلام الله، مصحف.

A.    Pendahuluan
AlQur’an merupakan kitab universal umat Muslim sebagai petunjuk yang meletakkan dasar-dasar prinsipil dalam segala persoalan manusia. Petunjuk tersebut dijadikan sebagai landasan pokok agama Islam dan sebagai pedoman hidup bagi penganutnya yang dapat menjamin kehidupan dunia dan akhirat.
Alqur’an merupakan kitab penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya, yang mana keasliannya sangat dijaga dan dipelihara oleh Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
{ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ } [الحجر: 9]
Artinya: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan AlQur’an dan Kami pulalah yang memeliharanya”. (Q.S. Al Hijr: 9)
Muhammad Husain Thabathaba’iy, seorang ulama besar Syiah Kontemporer, mengatakan bahwa sejarah AlQur’an mulai dari awal turunnya hingga saat ini sangatlah jelas dan terbuka, sehingga sebenarnya AlQur’an tidak membutuhkan sejarah untuk membuktikan keasliannya. Dan untuk memperkenalkan dirinya sebagai firman-firman Allah, AlQur’an menantang siapapun untuk membuat hal yang serupa dengannya, namun tiada seorangpun yang mampu menandinginya. (Quraish  Shihab, 2006: 21-22).
Mushaf AlQur’an yang ada di tangan kita saat ini bukanlah mushaf yang sama dengan mushaf pertama yang ditulis setelah nabi menerima wahyunya, namun telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku dalam kurun waktu kurang lebih selama 1400 tahun yang lalu dan memiliki latar belakang sejarah yang panjang.
Meskipun begitu, tidak sedikit orang yang mengkritik AlQur’an dari berbagai sisi, baik dari segi sejarah, latar belakang, maupun isinya. Hal tersebut  dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai hisrorisitas lengkapnya. Oleh karen itu, tulisan ini memberikan penjelasan mengenai sejarah AlQur’an, mulai dari proses turunnya, pengumpulannya, dan penulisannya hingga menjadi mushaf yang kita gunakan saat ini.

B.     Pembahasan
1.      Definisi AlQur’an
Menurut bahasa (lughah), kata AlQur’an diambil dari kata قرأ-يقرأ-قرآنا yang berarti “bacaan” dan merupakan  mashdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu مقروء yang artinya “yang dibaca”[1]. Makna tersebut bernash pada firman Allah yang menyebutkan lafadz AlQur’an berulang kali, yaitu diantaranya terdapat pada surah Al Qiyamah ayat 16-18:
{لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18)} [القيامة: 16 - 18]
Artinya: “Jangan kau gerakkan lidahmu untuk bergegas-gegas membacanya. Bahwasannya Kami mengumpulkannya dan membacakannya. Maka apabila Kami telah membacanya, ikutilah bacaannya.”[2]
Selain itu, banyak pula pendapat para ulama mengenai makna AlQur’an secara bahasa (lughah), diantaranya yaitu:[3]
1.      Menurut Asy Syafi’y, lafadz AlQur’an yang dita’rifkan dengan “Al”, tidak berhamzah (tidak berbunyi “an”), dan tidak diambil dari kalimat lain, memiliki arti قرأتُ  (qara’tu) yaitu “aku telah baca”.
2.      Menurut pendapat Al Asy’ary dan beberapa golongan lain, lafadz AlQur’an diambil dari lafadz قرن (qarana) yang artinya “menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Makna ini diambil karena mempertimbangkan bahwa AlQur’an merupakan Kitab yang mana surah-surahnya, ayat-ayatnya, dan huruf-hurufnya digabungkan satu sama lainnya.
3.      Menurut Al Farra’, lafadz AlQur’an diambil dari kata قرائن / qara-in (ج. قرينة) yang berarti bahwa ayat-ayat AlQur’an saling benar membenarkan satu sama lain.
4.      Menurut Az Zajjaj, kata Qur’an mengikuti wazan fu’lan, dan diambil dari kata qar’i, yang artinya “mengumpulkan”.
5.      Menurut Al Lihyany dan segolongan ulama, lafadz AlQur’an berarti “yang dibaca” karena merupakan mashdar dari kata qara’a yang dimaknai dengan isim maf’ul.
6.      Menurut Dairatul Ma’arif Al Islamiyah, Schwally dan Wellhausen, kata Qur’an berasal dari bahasa ibro (Suryani) yang ditulis Kiryani = Keryani yang artinya “yang dibacakan”. Menurut mereka, kata qara’a yang berarti “dia telah membaca” bukanlah bahasa Arab, namun hanya bahasa asing yang dimasukkan di dalamnya.
Dari berbagai pendapat tersebut, Dr. Subhi Al Shalih dalam bukunya Mabahis fi Ulum AlQur’an mengemukakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa kata AlQur’an merupakan bentuk mashdar yang berarti “membaca”. Hal ini juga diperkuat dari pendapat lain yang menyatakan bahwa AlQur’an secara harf  berasal dari akar kata qara’ah yang berarti “bacaan” atau “himpunan”, karena Alqur’an merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari, serta merupakan himpunan dari ajaran wahyu yang terbaik.[4]
Sedangkan menurut istilah, banyak pula pendapat ulama mengenai makna AlQur’an, yaitu diantaranya:
1.      Menurut ahli Kalam, AlQur’an adalah kalam Azali yang berdiri pada zat Allah yang senantiasa bergerak (tidak pernah diam) dan tidak pernah ditimpa suatu bencana.
2.      Al Alusy dalam Ruhul Ma’ani mengatakan bahwa para Mutakallimin memaknai AlQur’an mulai dari awal Al Fatihah sampai ahir An Naas sebagai lafadz-lafadz yang terlepas dari sifat kebendaan, baik secara dirasai, dikhayali, maupun hal lain yang tersusun pada sifat Allah yang qadim.
3.      Menurut As Suyuthy dalam Al Itmam, AlQur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad dan tidak ada yang bisa menandinginya walaupun hanya satu ayat.
4.      Asy Syaukany dalam Al Irsyad berpendapat bahwa AlQur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad yang ditilawahkan dengan lisan dan mutawatir dalam penuqilannya.
5.      Menurut Prof.Dr. H. Muin Salim, AlQur’an merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril sebagai peringatan, petunjuk, tuntunan, dan hukum bagi manusia.[5]
Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa AlQur’an merupakan Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang dinuqilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, bernilai ibadah bagi yang menbacanya dan dihukum kafir bagi yang mengingkarinya, serta termaktub dalam Mushaf yang dimulai dari surah Al Fatihah dan ditutup dengan surah An Naas.[6]

2.      Bukti Alqur’an Sebagai Wahyu Allah
AlQur’an merupakan kitab yang sempurna, tiada bacaan yang lebih sempurna dan lebih mulia dari AlQur’an. Keagungan dan kesempurnaannya tidak hanya dirasakan oleh orang yang mempercayainya maupun yang mengharap petunjuknya, namun juga dirasakan oleh orang yang dekat dengannya. Hal ini menunjukkan bahwa AlQur’an adalah firman Allah, bukan sabda Nabi atau perkataan manusia, karena tidak mungkin seorang manusia dapat menciptakan sesuatu yang sangat sempurna seperti AlQur’an.
AlQur’an yang merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW memiliki keitimewaan-keistimewaan yang luar biasa, yang mana ini bisa dijadikan sebagai bukti bahwa AlQur’an adalah benar-benar firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Bukti-bukti tersebut tidak hanya berasal dari dalam AlQur’an sendiri (bukti intrinsik), namun juga dari luar AlQur’an yaitu kesesuaian antara ayat-ayat AlQur’an dengan realita yang terjadi (bukti ektrinsik).
Adapun bukti-bukti tersebut antara lain:
a.       Bukti Intrinsik
1.      Aspek Kebahasaan
Bahasa yang digunakan dalam AlQur’an adalah bahasa Arab yang sempurna, bukan bahasa ‘Ajam. Hal ini merupakan suatu keistimewaan karena bahasa Arab juga memiliki keistimewaan tersendiri dibanding bahasa lainnya, yaitu diantaranya: rasional, setiap huruf dalam bahasa arab memiliki kandungan falasafah bahasa tersendiri, memiliki kekayaan kosakata, sangat teliti dalam menggambarkan sesuatu, memiliki i’rab, dan lain sebagainya.
Hal ini dijelaskan sendiri dalam beberapa ayat AlQur’an, salah satunya yaitu ayat yang membantah tuduhan yang mengatakan bahwa AlQur’an diturunkan oleh seorang ‘Ajam (non Arab) kepada Nabi, yaitu:
{وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ} [النحل: 103]
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya AlQur’an diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)’, padahal orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa ‘Ajam, sedangkan ini adalah dalam bahasa Arab yang terang”.[7]
Keistimewaan AlQur’an dari segi bahasa juga dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu antara lain:
1.)    Nada dan Langgamnya.
Menurut cendekiawan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Qur’an, menyatakan bahwa: “AlQur’an merupakan simponi yang tiada taranya, dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita”.[8]
Hal tersebut memang benar adanya, karena kata-kata dalam AlQur’an memiliki keserasian bunyi dan irama, seperti contoh berikut:
{لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ (1) وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ (2) أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ (3) بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ (4) بَلْ يُرِيدُ الْإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ (5) يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ (6)} [القيامة: 1 - 6]
2.)    Singkat dan Padat.
Untuk menyusun kalimat singkat namun sarat akan makna tidaklah mudah, karena pesan yang banyak, jika tidak pandai menyusun atau merangkai kata-katanya akan membutuhkan kata yang banyak pula. Namun, AlQur’an memiliki keistimewaan tersebut, dimana kata yang digunakan sangat singkat, tapi memiliki banyak makna. Contohnya dalam Q.S. Al Baqoroh [2]: 212
{ ....وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ} [البقرة: 212]
Ayat tersebut memiliki banyak arti yang dapat diambil, yaitu:
-          Allah memberikan rizki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa ada yang berhak bertanya kepada-Nya mengenai alasan Ia memperluas dan mempersempit rizki tersebut.
-          Allah memberikan rizki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa memperhitungkan pemberian itu, karena Dia Maha Kaya.
-          Allah memberikan rizki yang tak disangka-sangka kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
-          Allah memberikan rizki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa memperhitungkan amal-amalnya.
-          Allah memberikan rizki yang sangat banyak kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, sehingga tak seorangpun yang mampu menghitungnya.
3.)    Memuaskan Para Pemikir dan Orang Kebanyakan.
Ketika seorang seseorang membaca suatu artikel, buku, jurnal, maupun sumber lain, maka akan ada kemungkinan rasa ketidakpuasan karena berbagai faktor, misalnya karena dangkalnya makna, data yang kurang rasional, maupun segi bahasanya yang membingungkan. Namun berbeda halnya dengan AlQur’an, ketika seseorang membacanya, akan memberikan rasa kepuasan tersendiri, baik ketika membaca lafadznya, maupun ketika mendalami makna yang terkandung di dalamnya.
4.)    Memuaskan Akal dan Jiwa.
Manusia memiliki akal dan jiwa, yang mana akal sebagai daya pikir dan jiwa sebagai daya rasa. Daya pikir dijadikan sebagai pendukung pandangannya melalui berbagai argumrntasinya, sedangkan daya rasa atau biasa disebut sebagai daya qolbu dijadikan sebagai pengantar untuk mengekspresikan keindahan-keindahan dan imajinasinya. Dalam bahasa tidaklah mudah untuk memuaskan keduanya dalam waktu yang sama, namun tidak halnya dengan AlQur’an. AlQur’an mampu menggabungkan keduanya dengan sempurna. AlQur’an memiliki aneka gaya bahasa untuk mengungkapkan sesuatu, baik untuk kata perintah maupun larangan.
AlQur’an selalu menguraikan ayat-ayat yang berbicara tentang sesuatu (seperti hukum, akidah, dan etika) dengan dengan argumentasi logika dan gaya bahasa yang berbeda, sehingga dapat menyentuh akal dan jiwa mitra bicaranya.[9] Seperti yang terdapat pada ayat tersebut:
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184)} [البقرة: 183، 184]
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan terhadap orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) pada beberapa hari tertentu, maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”[10]
Pada ayat tersebut, tidak menyatakan “Tuhan mewajibkan kepadamu”, tetapi “Diwajibkan atas kamu”. Ini menunjukkan bahwa manusia sendirilah yang mewajibkan atas dirinya berpuasa setelah mengetahui ungensi dan manfaat puasa. Dan ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa perintah puasa bukanlah sesuatu yang baru dan khusus untuk mereka, karena Allah mengatakan bahwa “Orang-orang sebelum kamu” juga berpuasa. Selain itu, puasa yang disyriatkan pun tidak lama, hanya “beberapa hari tertentu”, itu pun jika ada halangan tertentu, seperti sakit atau dalam perjalanan tidak wajib puasa, namun menggantinya di hari lain.
Begitulah Allah menyampaikan ayat-ayatnya dengan lembut dan sangat menyentuh akal dan jiwa pembacanya.
5.)    Keindahan dan Ketepatan Maknanya
Tiada satupun tulisan atau syair yang lebih indah dari AlQur’an, baik dari segi bahasa, kalimat, maupun bunyinya. Selain itu, AlQur’an selalu memaknai bacaannya secara tepat, meskipun dalam lafadz yang sama. Namun, tidak semua orang menyadari hal tersebut, sehingga banyak terjadi kesalahan pemahaman AlQur’an karena kesalahan dalam memaknai lafadz AlQur’an. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang lebih mengenai pemaknaan AlQur’an dengan tepat dan benar.
2.      Aspek Bilangan dan Struktur AlQur’an
Banyak rahasia dalam AlQur’an yang belum terungkap sepenuhnya, salah satunya mengenai bilangan-bilangan dalam AlQur’an. Banyak pertanyaan yang timbul mengenai struktur dalam AlQur’an, seperti perbedaan mengenai jumlah ayat AlQur’an, makna yang terkandung dalam simbol huruf, angka, surat, juz, maupun tanda ‘ain dalam AlQur’an, mengapa ayat yang pertama turun adalah surah Al-Alaq, dan lain sebagainya, yang mana jawaban dari semua itu merupakan salah satu bukti keajaiban AlQur’an.
Membahas mengenai ayat AlQur’an, banyak perbedaan mengenai jumlah ayat dalam AlQur’an, ada yang mengatakan jumlah ayat AlQur’an adalah 6.666, 6.204, 6.214, 6.217, 6.219, 6.220, dan 6.236. Sedangkan, menurut Depag RI jumlah ayat AlQur’an adalah 6.236.[11] Perbedaan tersebut bukan karena adanya penambahan atau pengurangan ayat AlQur’an, tapi karena adanya perbedaan dalam perhitungan jumlah ayat dalam satu ayat tersebut. Misalnya, pada ayat terahir surah Al Fatihah. Ada yang menafsirkan itu satu ayat, dan ada yang menafsirkan itu dua ayat.
Selain itu, penyusunan AlQur’an, baik penyusunan surah, ayat, maupun kata dalam AlQur’an, semuanya disusun berdasarkan keseimbangan yang tepat. Banyak pertanyaan mengenai penyusunan surah dalam AlQur’an, dimana surah Al-Alaq yang diturunkan pertama kali bukan menjadi urutan surah pertama dalam AlQur’an, tetapi surah Al Fatihah lah yang menjadi surah pertama AlQur’an (ummul Qur’an). Tidak ada yang tau alasan mengenai penyusunan tersebut, karena Nabi sendirilah yang meminta para sahabat menulis AlQur’an sesuai urutan yang disebutkannya (sebagaimana penjelasan di atas). Hal tersebut akhirnya menimbulkan banyak penafsiran dari berbagai ilmuan. Salah satunya adalah Dr. Rasyad, khalifah yang terkenal dengan “ Fenimena Angka 19”. Beliau mempelajari keajaiban AlQur’an darisegi angka, yaitu:[12]
-          Huruf qof (ق) yang merupakan awal dari surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3 × 19.
-          Huruf Kaf (ك) , Ha (ه), Ya (ي), ‘Ain (ع), Shod (ص), dalam surah Maryam ditemukan sebanyak 798 kali atau 42 × 19.
-          Huruf Nun (ن) dalam surah Al Qolam ditemukan sebanyak 7 × 19.
-          Huruf Ya (ي) dan Sin (س) pada surah Yasin masing-masing terulang sebanyak 285 kali atau 15 × 19.
-          Huruf Tha (ط) dan  Ha (ه) dalam surah Taha, masing-masing terulang selama 342 kali atau 18 × 19.
-          Huruf Kha (ح) dan Mim (م) yang terdapat dalam keseluruhan surah yang diawali dengan kedua huruf ini, semuanya merupakan perkalian dari 114 × 19 atau sama dengan 2.166 kali.
Abdurrazzaq Nawfal dalam Al Ijaz Al Adabiy li AlQur’an AlKarim, juga melihat keajaiban AlQur’an dari sisi yang berbeda, yaitu dari sisi kata, antara lain: [13]
-          Kata Al Hayah (hidup) dan Al Maut (mati) dalam AlQur’an masing-masing terdapat sebanyak 145 kali.
-          Kata An Nafi’ (manfaat) dan Al Madhorroh (mudlorot), masing-masing sebanyak 50 kali.
-          Kata Al Kharru (panas) dan Al Bardu (dingin), masing-masing sebanyak 4 kali.
-          Kata Ash Sholihat (kebajikan) dan As Sayyiat (keburukan), masing-masing 167 kali.
Hal tersebut menunjukkan bahwa AlQur’an disusun secara seimbang, selain contoh di atas, ditemukan keseimbangan khusus dalam AlQur’an, yaitu kata Yaum (hari) dalam bentuk tunggal diulang sebanyak 365 kali, hal tersebut sesuai dengan jumlah hari dalam setahun. Sedangkan kata Al Ayyam (bentuk jamak dari Yaum) dan Yaumaini (bentuk tasniyah dari Yaum), berjumlah 30, yang mana itu adalah jumlah hari dalam sebulan. Selain itu, kata Syahr (bulan) terdapat sebanyak 12 kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.[14]
Masih banyak keunikan dan keistimewaan yang terdapat dalam AlQur’an, sehingga untuk mempelajarinya butuh pembahasan khusus yang lebih detail dan terperinci.
b.      Bukti Ekstrinsik
AlQur’an adalah kitab petunjuk dan sebagai pedoman untuk mencapai kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kandungan yang ada di dalam AlQur’an pun tidak hanya tentang ibadah dan hal-hal yang berkaitan dengan akhirat saja, tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Petunjuk tersebut dapat dilihat secara tersurat maupun tersirat.
Ayat-ayat AlQur’an yang menerangkan tentang ilmu pengetahuan, seperti ayat-ayat tentang alam semesta (ayat-ayat kauniyah) dan ayat tentang peniptaan manusia, semuanya terbukti secara nyata dan sesuai, hal itu menunjukkan bahwa AlQur’an memang benar-benar kalam Allah yang tidak ada seorang pun mampu menandinginya.
Berikut beberapa contoh mengenai peristiwa-peristiwa ilmiahdalam AlQur’an:
1.)    Ihwal Reproduksi Manusia
Banyak ayat AlQur’an yang menyebutksn tentang penciptaan manusia, diantaranya ayat berikut ini:
{أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى (36) أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى (38) فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى (39)} [القيامة: 36 - 39]
Artinya: “ Apakah manusia mengira bahwa ia akan ditinggalkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? Bukankah dia dahulu nutfah dari mani yang dituangkan (ke dalam rahim), kemudian ia menjadi ‘alaqoh, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya? Lalu Allah menjadikan darinya sepasang lelaki dan perempuan?”[15]
Dari ayat tersebut, diketahui bahwa nutfah adalah bagian terkecil dari mani yang dituangkan ke dalam rahim. Dalam bahasa arab, kata nutfah berarti “setetes yang dapat membasahi”.  Pada abad kedua puluh ini, ada penemuan ilmiah yang sesuai dengan informasi tersebut, yaitu bahwa pancaran mani dari alat kelamin pria mengandung sekitar dua ratus juta benih manusia,  sedangkan yang berhasil dengan ovum hanya satu saja, dan itulah yang dimaksud AlQur’an dengan  نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى (nutfah dari mani yang memancar).
2.)    Ihwal Kejadian Alam Semesta
Salah satu ayat AlQur’an yang menjelaskan tentang alam semesta adalah tentang isyarat bahwa langit dan bumi marupakan satu gumpalan, yaitu:
{أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ} [الأنبياء: 30]
Artinya: “ Tidakkah orang-orang kafir memperhatikan bahwa langit dan bumi awalnya merupakan satu yang padu (gumpalan), kemudian Kami memisahkannya dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman?”[16]
AlQur’an tidak menjelaskan mengenai pemisahan antara keduanya, namun apa yang dinyatakan dalam ayat tersebut mengenai keterpaduan alam raya dan pemisahannya dibenarkan oleh beberapa ilmuan, diantaranya adalah observasi Edwin P.Hubble (1889-1953) melalui teropong raksasa pada tahun 1929 yang menunjukkan pemuaian alam semesta.[17] Ia menemukan bahwa galaksi-galaksi terebut selain berotasi juga bergerak menjauhi bumi. Semakin jauh letak galaksi dari bumi, maka semakin cepat gerak tersebut. Para ilmuan menyebutnya sebagai “The Expanding Universe”, dimana alam semesta bersifat seperti balon atau gelembung karet yang ditiup dan menggelembung ke segala arah.
Sebagaimana dijelaskan pula dalam Surah Adz-Dzariyat:
{وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ} [الذاريات: 47]
Artinya: “Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya/mengembangkannya.”[18]
Menurut fisikawan RusiaGeorge Gamow (1904-1968), ekspansi tersebut menghasilkan sekitar seratus miliar galaksi yang mana rata-rata masing-masing meiliki seratus miliar bintang. Namun, jika menariknya kembali ke belakang, semuanya merupakan gumpalan yang terdiri dari neutron.[19] Dan gumpalan itulah yang meledak dan dinamakan sebagai Big Bang.
3.)    Ihwal Gunung
Ayat berikut menjelaskan mengenai gunung yang bergerak layaknya jalannya awan atau disebut sebagai gunung berjalan. Ha tersebut sangat tidak masuk akal bagi orang-orang pada umumnya, namun bukan berarti ayat tersebut salah, karena telah terbukti maksud dari ayat tersebut, yaitu:
{ وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ} [النمل: 88]
Artinya: “Kamu lihat gunung-gunung, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan. Begitulah perbuatan Allah, yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu,. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[20]
Ternyata Jazirah Arab beserta gunung-gunungnya bergerak mendekati Iran beberapa sentimeter setiap tahunnya. Hal tersebut diketahui dari hasil rekaman sebuah satelit beberapa waktu lalu. Sebelumnya sekitar lima juta tahun yang lalu, Jazirah Arab bergerak memisahkan diri dari Afrik adan membentuk Laut Merah. Saat ini, sekitar daerah Somalia sepanjang pantai Timur je Selatan berada dalam proses pemisahan yang lamban dan telah membentuk “Lembah Belah” yang membujur ke selatan melalui deretan Danau Afrika.
Dan itulah yang dimaksud dengan ayat di atas mengenai pegerakan gunung atau berjalannya gunung sebagaimana jalannya awan.
Demikian beberapa bukti ekstrinsik mengenai keistimewaan AlQur’an yang berhubungan dengan fenomena ilmiah, namun selain itu masih banyak fenomena-fenomena yang sesuai dengan AlQur’an, yaitu mengenai kalender Syamsiyah dan Qomariyah, mengenai awan dan proses turunnya hujan, mengenai pemisah antara dua laut, mengenai semut, madu, jahe, dan lain sebagainya.

3.      Sejarah Singkat Penulisan dan Modifikasi Alqur’an
a.       Pada Masa Nabi
Alqur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur, baik ayat demi ayat maupun surat demi suratnya, sehingga setiap ada ayat yang turun, Nabi memerintahkan beberapa sahabat yang terkemuka yang kemudian diangkat menjadi sektretaris, seperti Ali bin Abi Thalib ra., Muawiyah ra., Ubay bin Ka’ab ra., dan Zaid bin Tsabit ra., untuk menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, karena susunan atau tertib penulisan AlQur’an  tidak didasarkan pada tertib turunnya, tetapi Rasulullah sendiri yang menjelaskan letak ayat tersebut dalam surah tertentu. Selain itu, Nabi juga menyampaikan ayat yang diterimanya kepada sahabat lain untuk dihafal, sehingga bentuk hapalan dapat mereka menjadi bukti fisik dari ayat-ayat yang telah tertulis.
Selain sahabat yang diangkat menjadi sekretaris, sahabat-sahabat lain juga menulis AlQur’an secara suka rela, dan karena tidak adanya ketersediaan alat tulis yang cukup, mereka menggunakan media seadanya, yaitu pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, dan potongan tulang belulang binatang.
Pada masa ini, metode pengumpulan AlQur’an dilakukan dengan dua cara, yaitu:[21]
Pertama: Al Jam’u fis Sudur, yaitu para sahabat langsung menghafalnya setiap kali Rasulullah menerima wahyu. Hal ini sangat mudah dilakukan karena sudah menjadi budaya (kultur) orang Arab yang menjaga Turats (peninggalan nenek moyang mereka, diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hapalan, sehingga mereka sangat terkenal dengan kemampuan hapalannya.
Kedua: Al Jam’u fis Suthur, yaitu para sahabat menulis ayat AlQur’an yang dibacakan Nabi setiap menerima wahyu, dan beliau melarang para sahabat untuk menulis hadist karena takut tercampur dengan ayat-ayat AlQur’an.
 Setelah itu mereka senantiasa menyerahkan AlQur’an kepada Nabi, baik dalam bentuk tulisan maupun hapalan, sehingga AlQur’an pada masa ini tidak terkumpul dalam satu mushaf, karena yang dimiliki seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain.
Ketika Rasulullah wafat, AlQur’an telah dihafal oleh ribuan sahabat dan tertulis dalam mushaf yang tersusun sesuai keterangan di atas. Dimana tiap ayat dan surahnya dipisah-pisah, atau diterbitkan ayatnya saja, dan setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Tapi memang benar bahwa saat ini AlQur’an masih belum dijilid menjadi satu mushaf yang utuh, karena beberapa faktor, yaitu:
1.      Tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan AlQur’an menjadi satu mushaf, mengingat Rasulullah masih hidup dan banyak sahabat yang menghafalnya, sehingga tidak ada unsur yang diduga dapat mengganggu kelestarian AlQur’an.
2.      AlQur’an diturunkan secara berangsur-angsur, sehingga tidak mungkin dibukukan sebelum turun secara sempurna, yaitu ketika Rasulullah wafat.
3.      Terdapat kemungkinan adanya ayat AlQur’an yang mansukh selama proses penurunannya.[22]
Sebagaimana yang dikatakan Az-Zarkasyi bahwa,”AlQur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada masa Nabi agar tidak berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, penulisannya dilakukan setelah AlQur’an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah”. Pengertian ini menafsirkan apa yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit ra, yang mengatakan bahwa,” Rasulullah telah wafat, sedangkan AlQur’an belum dikumpulkan sama sekali”. Maksudnya adalah ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.
Al Katabi juga berkata bahwa,”Alasan Rasulullah tidak mengumpulkan AlQur’an dalam satu mushaf ialah karena beliau senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya.sesudah berahir masa turunnya dengan wafatnya Rasulullah, maka Allah mengilhamkan penulis mushaf secara lengkap kepada Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya tentang jaminan pemeliharaan AlQur’an. Dan hal ini terjadi pertama kali pada masa Abu Bakar ra. atas pertimbangan usulan Umar bin Khattab ra.”

b.      Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar merupakan Khalifah pertama yang menjalankan urusan keislaman setelah Rasulullah wafat. Pada masa ini terjadi peristiwa-peristiwa besar yang berkaitan dengan kemurtadan orang-orang arab, sehingga Abu Bakar mengirim pasukan untuk memerangi orang-orang murtad tersebut. Salah satu perang yang terjadi adalah perang Yamamah, yaitu “perang kemurtadan (riddah)” pada tahun 12 H atau tepatnya pada Desember 632 M. Pada perang ini mayoritas pasukannya adalah para sahabat yang hapal AlQur’an dan jumlah sahabat yang gugur sebanyak 70 orang. Melihat hal itu Umar bin Khattab merasa sangat kuatir, dan mengusulkan kepada Abu Bakar agar mengumpulkan dan membukukan AlQur’an untuk mengatasi kemusnahan AlQur’an.
Mendengar usulan Umar tersebut, Abu Bakar merasa ragu untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan AlQur’an tersebut, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi sebelumnya. Namun Umar terus membujuknya melihat banyaknya peperangan yang terjadi di tempat lain yang membunuh banyak qori’ sehingga dikhawatirkan AlQur’an akan hilang dan musnah. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya Abu Bakar setuju dan meminta Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menulisnya yang kemudian akan dibukukan dalam satu mushaf. Sama seperi Abu Bakar, awalnya Zaid juga tidak setuju dengan usulan tersebut, namun setelah mendengan penjelasan dari Abu Bakar, akhirnya Zaid menerimanya dengan lapang dada.[23]
Zaid memulai tugas berat ini dengan bersandar pada hafalan para qari’ dan tulisan yang ditulis para sahabat pada pelepah kurma, daun dan kulit kayu, lempengan batu, daun lontar, ataupun media lainnya. Zaid juga membentuk tim kusus dan membuat dua butir outline persyaratan pengumpulan ayat-ayat. Kemudian Abu Bakar menambahkan satu syarat lagi, maka terkumpullah tiga syarat, yaitu:
1.      Ayat atau surat tersebut minimal dihafal oleh dua orang.
2.      Ada bukti fisik berupa tulisan.
3.      Untuk ayat atau surat yang tertulis, harus ada saksi yang melihat saat menulisnya, minimal dua orang.
Dengan persyaratan tersebut, Zaid memulai tugas berat itu dan membawahi sahabat-sahabat lainnya.beberapa anggota yang membantunya adalah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan.[24] Penulisan dimulai dengan pengumpulan hafalan dari para qari’ dan tulisan para sahabat hingga akhirnya mendapatkan akhir surat At-Taubah yang hanya berada pada Abu Huzaimah Al-Anshori. Lembaran-lembaran tersebut kemudian disimpan di tangan Abu Bakar hingga beliau wafat,  kemudian di tangan Umar dan selanjutnya ke tangan  Hafsah binti Umar.
Alqur’an sudah dituliskan sejak zaman Nabi SAW, namun pengumpulan dan pembukuannya baru mulai dilakukan pada masa ini, maka dapat dikatakan bahwa Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan AlQur’an dalam satu mushaf, bahkan para ulama berpendapat bahwa penamaan AlQur’an dengan sebutan “mushaf” itu baru muncul sejak Abu Bakar mengumpulkan AlQur’an. Ali ra berkata bahwa, “ Orang yang paling besar pahalany adalam hal mushaf adalah Abu Bakar ra, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar, karena dia lah orang pertama yang mengumpulkan kitab Allah.”

c.       Pada Masa Utsman bin Affan
Pada masa ini, terdapat adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah yang berbeda-beda, sehingga menyebabkan keragaman cara bacaan AlQur’an (qira’at). Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman, akhirnya ia mengambil kebijakan untuk menyalin mushaf yang dipegang Hafsah dengan sebuat mushaf standar yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar inilah yang digunakan hingga saat ini dan dikenal sebagai rasam (cara penulisan) Utsmani. Pada saat itu, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar ini diperintahkan untuk memusnahkannya (membakarnya). Hal ini bertujuan untuk mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan antar umat Islam di masa depan, baik dalam penulisan maupun pembacaan AlQur’an.[25]
Selanjutnya, naskah tersebut disempurnakan oleh pejabat Muayyah, yaitu Ibn Muqlah dan Ibn ‘Isa pada 933 dengan bantuan Ibn Mujahid. Ibn Mujahid mengenali adanya tujuh corak pembacaan AlQur’an yang berkembang, hal tersebut disebabkan karena tidak adanya huruf vokal dan tanda baca. (Philip  K.  Hitti, 2005: 155)
Dari kebijakan khalifah Utsman bin Affan tersebut, ada konsekuensi yang harus diterima oleh umat Islam saat ini, yaitu AlQur’an yang sangat plural serta kaya akan bacaan dan maknanya, menjadi suatu bentuk tunggal, yang dikenal dengan versi mushaf Utsmani. Dan mushaf inilah yang dianggap paling sah dan benar sampai saat ini, yang mana mushaf tersebut merupakan hasil tafsiran dari berbagai mushaf yang berkembang saat itu, dan di dalamnya terjadi proses selektifitas, pembuangan, dan penambahan. .  (Ignaz Goldziher, 2006: X)

C.    Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa AlQur’an merupakan Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril yang bernilai ibadah bagi yang menbacanya dan dihukum kafir bagi yang mengingkarinya, serta termaktub dalam Mushaf yang dimulai dari surah Al Fatihah dan ditutup dengan surah An Naas. AlQur’an juga merupakan wahyu Allah yang tiada duanya, yang didukung dengan banyaknya bukti keistimewaan-keistimewaannya, baik secara intrinsik maupun ekstrinsik.
Sejarah turunnya AlQur’an hingga menjadi mushaf yang sempurna seperti yang kita gunakan saat ini tidak terjadi secara tiba-tiba, namun memerlukan waktu yang sangat panjang, yang mana selama dalam prosesnya selalu menyesuaikan dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat saat itu. Selain itu, sudah banyak revisi yang dilakukan mulai dari penulisan pada zaman Nabi hingga zamannya Utsman bin Affan, yang mana hasil dari berbagai revisi tersebut sudah kita rasakan saat ini, yaitu adanya mushaf Utsmani sebagai mushaf standar umat Muslim.






Daftar Pustaka
Al Munawar, Said Agil Husin. 2002. AlQur’an membangun Kesalehan Tradisi Hakiki, Jakarta: Ciputat Press.

Ash Shiddieqy, Hasbi. 1953. Sejarah dan Pengantar Ilmu AlQur’an Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang.

At Tubany, Ziyad Ul Haq. 2009. Struktur Matematika AlQur’an. Surakarta: Rahma Media Pustaka.

Chaeroni, Cahaya. 2017. Sejarah AlQur’an. HISTORIA. 5 (2): 193-206.

Isma’il, Muhammad Bakr. 2009. Dirasah fi Ulumul AlQur’an dalam Mardan, AlQur’an Sebuah Pengantar Memahami AlQur’an Secara Utuh. Jakarta: Pustaka Mapan.

Kholil, Moenawar. 1985. Al Quran dari Masa ke Masa. Solo: C.V.Ramadhani.

Mas’ud, Muhammad. 2008. Subhanallah Quantum Bilangan-Bilangan AlQur’an. Yogyakarta: DIVA Press.

Masduki, Yusron. 2017. Sejarah Turunnya AlQur’an Penuh Fenomenal (Muatan Nilai-Nilai Psikologi dalam Pendidikan). MEDINA-TE. 16 (1): 39-50.

Nasruddin. 2015. Sejarah PenulisanAlQur’an. Rihlah. 2 (1): 53-68.

Nasution, Harum. 1992. (ed) Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Salim, Muin. 1989. Konsepsi Penguasaan Politik dalam AlQur’an. Jakarta: Fakultas Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.

Shihab, M. Quraisy. 1999. Mukjizat AlQur’an. Bandung: Mizan.

Syafe’i, Rahmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.

Catatan:
1.      Similarity 20%, cukup bagus.
2.      Abstrak dengan dua bahasa, Arabic dan Indonesia
3.      Maksud dari sub-judul Anda itu apa?
4.      Anda pakai footnote atau innote? Kok ada innote Quraish Shihab, Hitti, Goldziher?
5.      Penulisan gelar (Prof., Dr., Ustadz, dll) dalam tulisan ilmiah hendaknya dihilangkan, baik dalam tulisan inti maupun footnote.
6.      Penulisan footnote tolong diperbaiki.
7.      Untuk referensi jurnal, judul tidak usah miring tetapi diberikan tanda petik dua: “.......” dan yang dimiringkan hanya nama jurnalnya.



[1] Moenawar Kholil, Al Quran dari Masa ke Masa, Solo: C.V.Ramadhani,1985, hal.1
[2] Q.S Al Qiyamah [75]: 16-18
[3] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu AlQur’an Tafsir,Jakarta: Bulan Bintang, 1953, hal.17
[4] Harum Nasution, (ed) Ensiklopedia Islam Indonesia, (Cet I; Jakarta: Djambatan,1992)h.794
[5] Muin Salim, Konsepsi Penguasaan Politik dalam AlQur’an, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 1989), hal.24
[6] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2015, hal.50          
[7] Q.S. An Nahl [16]: 103
[8] M. Quraisy Shihab, Mukjizat AlQur’an, (Bandung: Mizan, 1999), hal.119
[9] Ibid., hal.128
[10] Q.S. Al Baqoroh [2]: 183-184
[11] Muhammad Mas’ud, Subhanallah Quantum Bilangan-Bilangan AlQur’an, (Yogyakarta:DIVA Press,2008), hal.70
[12] Ziyad Ul-Haq At Tibany, Struktur Matematika AlQur’an, (Surakarta:Rahma Media Pustaka,2009), hal.47
[13] Dr. Quraisy Syihab, Membumikan AlQur’an
[14] Ziyad Ul-Haq At Tibany, Op.Cit., hal.49
[15] Q.S. Al Qiyamah [75]:36-39
[16] Q.S Al Anbiya’ [21]:30
[17] M. Quraisy Shihab. Op.Cit., hal 172
[18] Q.S. Adz Dzariyat [51]:47
[19] M. Quraisy Shihab. Op.Cit., hal 172
[20] Q.S. An Naml [27]:88
[21] Cahaya Khaeroni, Sejarah AlQur’an, HISTORIA. Vol.5 No. 2, 2017, hal.196
[22] Said Agil Husin Al Munawar, AlQur’an membangun Kesalehan Tradisi Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002, hal.18
[23] Muhammad Bakr Isma’il, Dirasah fi Ulumul AlQur’an dalam Mardan, AlQur’an Sebuah Pengantar Memahami AlQur’an Secara Utuh, Jakarta: Pustaka Mapan, 2009, hal.68
[24] Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit. hal.100
[25] Cahaya Khaeroni, Op.Cit.,hal.198

Tidak ada komentar:

Posting Komentar