Kamis, 13 September 2018

Alquran dan Historisitasnya (PAI ICP English Semester Ganjil 2018/2019)



AL-QUR’AN DAN HISTORISITASNYA
(STUDI AL-QUR’AN DAN HADITS)

Tasya Annisa
Fajriatis Subkhiyah
Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: tasyaannisa123@gmail.com

                   fajriatissubkhiyah38@gmail.com

Abstract
As we know that the Qur'an is the word of Allah SWT. But in this article I will review about the Qur'an which we not only know as the word of Allah SWT but also there are other interesting things through the description in the following theme namely "Al-Qur'an and its Historicality" which will be discussed in the next section. This study aims to develop our insight into the importance of knowing the definition of the Qur'an itself as well as its historicity or history, so that we are expected not only to read but also to understand meaning, authenticity, as well as the ins and outs of the Qur'an. or we usually call it asbabun nuzul. Because with this concept our faith will increase over time. By having the historical insight of Al-Qur'anul Karim also without realizing it will deepen our love for Allah SWT and this is also included in the deeds that are worth worship.In other words, worship without understanding will also result in nothing. Because as if we just carry out it without knowing what the meaning and purpose of doing it.
Abstrak
Seperti yang kita ketahui bahwasannya Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT. Namun dalam artikel ini akan mengulas mengenai Al-Qur’an yang tidak sekadar kita ketahui sebagai firman Allah SWT melainkan juga terdapat hal menarik lainnya melalui uraian dalam tema berikut ini yakni “Al-Qur’an dan Historisitasnya” yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk menumbuh kembangkan wawasan kita mengenai betapa pentingnya mengetahui definisi Al-Qur’an itu sendiri sekaligus historisitasnya atau sejarahnya, sehingga kita diharapkan untuk tidak hanya sekadar membaca melainkan juga memahami makna, otentitas, begitu pula seluk beluk turunnya Al-Qur’an atau biasa kita sebut dengan asbabun nuzul. Sebab dengan adanya konsep tersebut keimanan kita akan bertambah seiring berjalannya waktu. Dengan memiliki wawasan sejarah Al-Qur’anul Karim pula tanpa kita sadari akan memperdalam kecintaan kita terhadap Allah SWT dan demikian inilah juga termasuk dalam amalan yang bernilai ibadah. Dalam artian lain, ibadah tanpa pemahaman pula akan menghasilkan sesuatu yang sia-sia. Sebab seolah kita hanya melaksanakan saja tanpa tahu apa maksud dan tujuan melakukan hal tersebut.
Keywords:Historicality, Aunthenticity of the Qur’an, Asbabun Nuzul



A.    Pendahuluan
Setelah kita ketahui Taurat, Zabur, dan Injil lebih dahulu hadir, kemudian hadirlah kitab suci Al-Qur’an sebagai penyempurna. Tak hanya itu melainkan juga merupakan mukjizat yang luar biasa besar dibandingkan mukjizat lainnya.Dan turunnya Al-Qur’an terjadi dalam dua fase yakni diturunkan di Mekkah dan di Madinah dalam kurun waktu sekitar 23 tahun.
Bila kita ketahui isi maupun kandungan Al-Qur’an pasti akan kita temukan beberapa aspek yang diantaranya meliputi segala suatu tentang ketuhanan, kenabian, kemanusiaan, alam semesta, dan masih ada aspek lainnya yang sangat berpengaruh pada kehidupan manusia dalam artian memudahkan roda kehidupan dengan teguh berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an. Dengan Al-Qur’an, umat manusia memiliki tuntunan dan tujuan hidup yang tidak bisa lepas dari prinsip atau pokok yang terdapat di dalamnya. Jika seseorang ingin mengetahui hakikat hidup maka dengan memhami kandungan Al-Qur’an, dan jika seseorang ingin menguasai ilmu pengetahuan juga dengan Al-Qur’an.
Maka dari itu alangkah baiknya sebagai umat Islam kita tidak hanya sekadar melaksanakan perintah sholat melainkan juga senantiasa membaca dan memahai kalamullah yakni kitab suci Al-Qur’an, sebab dengan membaca Al-Qur’an pun akan bernilai ibadahdi sisi Allah SWT.Lebih baik lagi jika mampu merealisasikan dalam kehidupan serta mengajarkannya.
Dalam artikel ini akan dibahas mengenai Al-Qur’an dan historisitasnya seperti yang disebutkan sebelumnya. Dan penulis berharap agar apa yang dipaparkan nantinya dapat dipahami dan dapat terealisasi kedepannya melalui amalan-amalan yang dilakukan. Terutama bagi pembaca yang telah memahami artikel ini.
B.     Definisi Al-Qur’an
Definisi Al-Qur’an bagi sebagian orang awam memang terkadang mereka anggap sekadar kitab suci yang apabila membacanya bernilai ibadah dan  mendapatkan pahala.  Namun juga ada yang sudah mulai mengetahui bahwasannya Al-Qur’an merupakan penyempurna kitab-kitab terdahulu yakni Taurat, Zabur, dan Injil.Namun para ahli ternyata menghasilkan definisi yang berbeda dari tiap individunya.Ada yang menunjukkan bahwa definisi Al-Qur’an merupakan Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang ketika itu Malaikat Jibril datang dengan tujuan agar Al-Qur’an menjadi hujjah maupun bukti bahwasannya beliau ialah memang sungguh sosok Rasul Allah.
Dan Al-Qur’an pun sebagai pedoman bagi umat manusia yang keseluruhan isinya yakni dimulai dari surat Al-Fatihah hingga An-Nas memberikan petunjuk-petunjuk yang membawa umat manusia menuju jalan yang lurus, sehingga terciptalah ketentraman dalam hidupnya tanpa kebimbangan sebab sudah pasti tidak akan pernah ada pergantian ayat dan senantiasa terjaga keotentikannya hingga saat ini. Selain berbeda dari segi terminologi para ahli pun menyebutkan definisi Al-Qur’an dari segi etimologi.
      Dr.Subhi al-Shalih merumuskan definisi Al-Qur’an yang dipandang sebagai definisi yang diterima para ulama, terutama ahli bahasa, ahli Fiqh, dan ahli Usul Fiqih.
اَلْقُرْﺁنُ هُوَالْكِتَابُ الْمُعْجِزُالْمُنَزﱠلُ عَلَى النَّبِيِّ ص. م. الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتِرُالْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ
Al-Qur’an adaah firman Allah yang bersifat (berfungsi) mukjizat (sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad) yang turun-temurun kepada Nabi Muhammad, yang tertulis di dalam mushaf-mushaf, yang dinukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawatir, dan yang membacanya dipandang beribadah.”[1]
Dari pendapat diatas jelas bahwa Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi SAW yang turun melalui perantara malaikat jibril secara berangsur-angsur sebagai pedoman hidup bagi umat Islam yang didalamnya terdapat pengajaran tentang ibadah, aqidah, akhlak, tarikh, pahala dan ancaman serta hukum, yang mana umat Islam dapat memahaminya dengan tidak hanya membaca tetapi juga merenungi dan mempraktekkan isi kandungan dalam Al-Qur’an. Dengan begitu Al-Qur’an sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu dan penyempurna kehidupan umat Islam.
Dalam Al-Qur’an, berisi ajaran yang hakikatnya memiliki tujuan untuk menuntun seluruh umat Islam menjadi pribadi yang sholeh dan memiliki keturunan sedemikian pula yang mampu meneruskan kepada penerus umat Islam seterusnya. Allah Swt. menurunkan mukjizat  Al-Qur’an dengan memiliki prinsip atau tujuan pokok sebagai pedoman umat manusia yang termaktub dalam isi dari kandugan Al-Qur’an, antara lain:
·   Tauhid
   Kepecayaan mengenai Ketuhanan yang Maha Esa merupakan tuntunan utama bagi umat manusia bahwasannya Tuhan adalah satu yang patut disembah dan memohon apapun hanya kepada-Nya yaitu Allah Swt. Sekalipun Adam yang merupakan manusia pertama dibumi ia percaya terhadap Keesaan Allah Swt. Namun setelahnya, banyak keturunan yang menyimpang darinya, mengikuti ajaran yang jauh dari hakikat Keesahan Tuhan seperti menyembah matahari, api, para dewa dan lain sebagainya. Mengetahui hal itu, diutuslah para Nabi dan Rasul untuk meluruskan ajaran umat manusia untuk menuju ajaran yang diridhai oleh Allah Swt.
·   Janji dan ancaman Tuhan
   Allah Swt. menjanjikan ancaman bagi makhluknya yang beriman dan mematuhi semua petunjuk-Nya, maka Allah akan mewujudkan kebahagian dalam hidupnya dan dihilangkan kekhawatirannya akan celaka di kehidupan akhirat kelak. Namun sebaliknya, bagi setiap orang yang ingkar kepada Tuhannya dan enggan untuk menerima ajaran maupun nasihat dari pada orang-orang terdahulu, maka akan ditimpakan kesengsaraan dalam hidupnya.
·   Ibadah
   Tujuan manusia dalam hidupnya adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Dalam Islam, Ibadah dinilai desuatu yang sangat luas. Tidak hanya dengan  melakukan Ibadah Mahdhoh seperti sholat, puasa , haji, dan yang lainnya, namun hal-hal baik yang diniatkan untuk Allah Swt. dinilai suatu ibadah. Seperti mencari ilmu dengan niat untuk menghilangkan kebodohan dan agar berguna bagi umat nusa bangsa adalah suatu ibadah. Membersihkan rumah dengan niat mensucikan agar nyaman untuk beribadah, beraktivitas maupun berkumpul dengan keluarga, hal tersebut jugadikatakan sebagai suatu ibadah.
   Ibadah sebagai bentuk rasa syukur manusia kepada Tuhannya atas nikmat dan karunia yang ia peroleh. Ibadah juga merupakan suatu tanggung jawab atau konsekuensi bagi manusia yang bertuhan. Tidak cukup bagi manusia yang beriman tanpa melaksankan ibadah, sebagaimana tidak cukup bagi manusia yang melakukan suatu amalan tanpa dilandasi dengan keimanan.
·   Jalan dan cara mencapai kebahagiaan
   Setiap orang yang beriman, pasti memiliki impian untuk memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mencapai impian tersebut, Allah Swt.dalam Al-Qur’an  memberi petunjuk bagi hamba-Nya untuk senantiasa menjaga keimanan dan ketaqwaan serta menjalankan perintah atau aturan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
·   Cerita-cerita umat teradahulu (tarikh)
   Di dalam Al-Qur’an terdapat kisah tentang para Nabi atau Rasul besrta umatnya seperti kisah Nabi Musa dengan umatnya, Nabi Ibrahim dengan umatnya, Nabi Nuh dengan umatnya, dan masing-masing Nabi maupun Rasul beserta umatnya. Kisah-kisah tersebut diutarakan kembali dengan maksud sebagai pelajaran bagi umat manusia sekarang tentang kehidupan orang-orang terdahulu yang memiliki penyimpangan. Ha itu sebagai tuntunan bagi setiap manusia untuk menjadi umat yang lebih baik daripada umat seblumnya dan semakin taat atas apa yang diajarkan dalam agama.
Terdapat pendapat bahwa penulisan lafal Al-Qur’an ada yang disertai hamzah ataupun tanpa disertai hamzah. Walaupun para ahli menyebutkan definisi yang berbeda-beda, namun setidaknya kita dapat menyimpulkan sendiri sesuai dengan pemahaman kita masing-masing asalkan tidak menyimpang dari ketentuan, dan lebih baik jika justru menambah kecintaan kita pada Allah SWT. Sehingga ketakwaan pun bertambah tanpa harus merisaukan pendapat ahli mana yang lebih tepat atau bahkan paling tepat. Sebab Islam tidak akan mempersulit kaumnya melainkan kaumnya sendiri yang menciptakan keresahan yang dengan mudah kita terima begitu saja godaan setan dengan keinginan kuat, keimanan, serta ketakwaan pada Allah SWT. [2]
Perbedaan pendapat mengenai penggunaan hamzah atau tidak dalam kata Al-Qur’an merupakan kajian yang dilakukan oleh para ulama’ atau ahli agama dalam memperdalam ilmunya sesuai dengan pemikiran mereka. Tidak perlu mempersalahkan ulama atau ahli agama dalam menuturkan pemikiran mereka, tetap berkeyakinan terhadap apa yang diyakini selagi hal tersebut tidak menimbulkan mudharat dan tidak mengurangi kecintaan terhadap wahyu Allah Swt. (Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur).
Seperti pada beberapa pendapat tentang asal kata Al-Qur’an:[3]
o   Al-Syafi’i, salah seorang imam mazhab yang terkenal (150-204 H) berpendapat, bahwa kata Al-Qur’an itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (Al-Quran bukan Al-Qur’an) dan tidak diambil dari kata lain.
o   Al-Farra’ seorang ahli bahasa yang terkenal, pengarang kitab Ma’anil Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata qarain jamak qarinah, yang artinya indikator (petunjuk). Hal itu disebabkan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an itu serupa satu dengan yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya itu merupakan indikator dari yang dimaksud oleh ayat lain yang seripa itu.
o   Al-Asy’ari seorang ahli Ilmu Kalam, pemuka aliran sunni (wafat 324 H) berpendapat, bahwa lafal Al-Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kataقَرَنَ, yang artinya menggabungkan. Hal ini disebabkan surat-suat dan ayat-ayat A-Qur’an itu dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
o   Al-Zajjaj, pengarang kitab Ma’anil Qur’an (wafat 311 H) berpendapat, bahwa lafal Al-Qur’an itu berhmazah, berwazan fu’lan, dan diambil dari kata الْقَرْءُ, yang artinya penghimpunan. Hal iini disebabkan Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpu intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci sebelumnya.
o   Al-Lihyani, seorang ahli bahasa (wafat 215 H) berpendapat, bahwa lafal Al-Qur’an itu berhamzah, bentuknya masdar dan diambil dari kata قَرَاءَ, yang artinya membaca. Hanya saja lafal Al-Qur’an ini menurut al-Lihyani adalah masdar bi ma’na ismil maf’ul. Jadi Qur’an artinya maqru’ (dibaca).
o   Dr. Subhi al-Salih, pengarang kitab Mabahits fi Ulumil Qur’an mengemukakan, bahwa pendapat yang paling kuat adalah lafal Al-Qur’an itu masdar dan sinonim (murodif) dengan lafal qiro’ah, sebagaimana tersebut dalam al-Qiyamah ayat 17-18:
اِنﱠ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْاَنَهُ , فَاِذَا قَرَاْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٙنَهٗ
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”
Dengan demikian maka permasalahan ini terdapat sangkut pautnya terhadap fungsi Al-Qur’an itu sendiri serta terkait dengan historisitasnya sehingga turunlah Al-Qur’an yang hingga detik ini terbukti mampu memperbaiki problematika umat.
Murni merupakan kata yang pantas untuk mendefinisikan Al-Qur’an selain yang ada pada pembahasan sebelumnya begitu pula dengan tanpa adanya pengurangan maupun penambahan itulah kemudian dapat dimaksud dengan otentitas Al-Qur’an. Dengan demikianlah peradaban umat dari masa ke masa akan membaik atau bahkan menumbuhkan ketentraman apabila berpedoman dengan Al-Qur’an yang tetap sama isi dan kandungannya hingga saat ini walau perubahan zaman sekalipun.
a.       Masa Turunnya
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah surat atau berupa sebuah surat yang pendek secara lengkap. Adapun penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan, memakan waktu lebih-kurang 23 tahun ketika Nabi masih tinggal di Mekah sebelum hijrah dan 10 tahun ketika Nabi sesudah hijrah ke Madinah.[4]
Surah atau ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah dinamakan Makkiyah. Dalam kategori ini, surah dan ayat terbilang pendek-pendek dan singkat dalam bahasannya. Hal itu dikarenakan sasaran utamanya adalah orang-orang suku Quraisy dan suku Arab lainnya yang sudah memahami bahasa Arab. Adapun isi dari surat Makkiyah banyak membahas tentang ketauhidan, yaitu seruan untuk meyakini secara murni tentang Tuhan Yang Maha Esa bahwa Dia lah benar-benar Sang Pencipta dan Tuhan yang Agung.
Sedangkan, surah atau ayat yang diturunkan setelah Nabi SAW hijrah dinamakan Madaniyah. Dimana surah dan ayatnya terbilang panjang-panjang serta gaya bahasa yang digunakan panjang dan juga jelas. Dalam hal ini, sasarannya tidak lagi orang-orang Quraiys atau orang-orang Arab saja, namun juga orang-orang non Arab dari berbagai bangsa yang baru masuk Islam, dimana pemahaman mereka mengenai bahasa Arab masih kurang. Secara umum, isi dari surat Madaniyyah adalah mengenai norma-norma hukum untuk membina dan membentuk umat Islam yang memiliki keberagaman atau perbedaaan dengan masyarakat lainnya secara adil dan makmur.
      Nabi SAW  menerima wahyu yang pertama ketia Ia sedang berada di Gua Hira yaitu surat al-alaq ayat 1-5. Sedangkan, wahyu yang diterakhir diterima Nabi SAW ketikaberwukuf di Arafah untuk melaksanakan Haji Wada’ pada 9 Dzulhijjah tahun kesepuluh Hijriah adalah sural al-Maidah ayat 3. Wahyu yang pertama dan yang terakhir berselang waktu kurang lebih 23 tahun.
Adapun tujuan Al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur adalah untuk meneguhkan hati Nabi SAW yang melaksanakan amanat besar dari Tuhannya untuk menyampaikan wahyu kepada umatnya. Dengan perjuangan yang tiada henti tidak bisa dipugkiri bahwa Nabi memperoleh banyak kecaman, ancaman, dan permusuhan dari orang-orang kafir. Dengan diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur sebagai penghibur dan peneguh hati Nabi SAW dikala susah sedih dalam memperjuangkan agama Allah Swt. Tujuan lain diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah untuk memudahkan Nabi SAW dalam menghafalkan Al-Qur’an dikala Nabi SAW belum pandai membaca dan menulis, sebagai petunjuk bagi  umat Islam untuk meningglkan sikap atau perbuatan yang negatif dan tradisi jahiliyah setelah mereka memahami dan mengamalkan isi dari Al-Qur’an dan ajaran yang dibawa Nabi SAW secara bertahap.
     Pemeliharaan dan pengalaman dari Rasulullah kepada sahabat yang dilakukan dengan semaksimal mungkin. Biasa kita sebut dengan istilah tartil merupakan metode yang Rasulullah lakukan untuk mengajarkan membaca Al-Qur’an dengan perlahan serta baik dan benar kepada para sahabat untuk kemudian ditirukancara membacanya. Karena anjuran yang benar ketika membaca Al-Qur’an adalah dengan membacanya secara pelan, tidak tergesa-gesa, dan dengan suara yang indah. Dengan begitu, umat Islam mampu menghayati dan memahami setiap ayat dan kandungan yang ada didalamnya.
Begitulah memang segala sesuatunya membutuhkan proses untuk memperoleh pemahaman yang baik walau sedikit demi sedikit. Sesuai dengan pepatah yang mengatakan “sedikit sedikit lama-lama menjadi bukit”merupakan istilah atau ibarat yang tepat untuk hal ini.Sebab terbukti hingga kini banyak umat Islam yang mulai bisa membaca Al-Qur’an atau bahkan mahir di dalamnya, baik itu dari segi membacanya atau pemahamannya mengenai Al-Qur’an.Ini semua tak lepas dari Nabi Muhammad yang telah mendedikasikan dan senantiasa dengan senang hati membagi ilmunya kepada para sahabat hingga turun-temurun kepada anak cucunya. Proses memahami dan mendalami Al-Qur’an merupakan suatu usaha yang bernilai ibadah. Tidak bisa dibayangkan kebaikan apa saja yang akan datang jika Al-Qur’an tidak hanya dibaca, namun juga dipahami dan diamalkan isi atau kandungan yang ada didalamnya. Lebih baik lagi jika mampu menghafalnya dan megamalkannya.
Berkat Rasulullah jugalah yang pada awalnya mengajarkan dengan perlahan dan tidak tergesa-gesa hingga pada akhirnya pun para sahabat menjadi paham. Sebab kita tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan dengan tergesa-gesa tidak akan membawa kebermanfaatan akan tetapi justru sia-sia belaka. Yang demikian ini patutlah kita teladani salah satu perilaku dari Muhammad SAW tersebut.
Berbicara mengenai perlahan seperti yang disebutkan sebelumnya ternyata berkaitan dengan turunnya Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur dan tidak sekaligus. Lagi-lagi kekuasaan Allah lah yang membuat kita takjub akan segala rencanaNya termasuk juga fenomena Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan dengan firman Allah Q.S Al-Isra’ ayat 106 sebagai berikut:
وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian”. (QS. Al-Isra’, 17:106)
b.      Yang Menyampaikan Al-Qur’an
Peran Malaikat Jibril tidak terlepas pada penyampaian Al-Qur’an itu sendiri.Sebab selain dikenal dengan Al-Ruhul Amin yakni Malaikat terpercaya dimata Allah SWT. Dalam proses turunnya kalamullah tersebut Malaikat Jibril menurunkan firman Allah ke dalam hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah untuk memberi peringatan kepada umat manusia yang telah dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam Q.S As-syu’ara ayat 193-194 :

(193). نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril)”

(194).
عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ
“Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”

c.       Penerima Al-Qur’an
*      Q.S Al-Qolam (68) : 4

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
                                                                                               
*      Q.S Al-Fath (48) : 29

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Fath: 29)
*      Q.S An-Najm (53) : 3-4

(3). وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya”
(4).
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),

d.      Para Penulis Al-Qur’an
Nama-nama yang tercantum dalam sejarah kepenulisan Al-Qur’an yakni diantaranya yang tergabung dalam Khulafaur Rasyidin yang empat, Amir bin Fuhairah, Ubay bin Ka’ab, Tsabit bin Qais bin Samas, Zaid bin Tsabit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

e.       Bukti Keautentikan Al-Qur’an
v  Q.S Al-Isra’ (17) : 88
قُل لَّئِنِ ٱجْتَمَعَتِ ٱلْإِنسُ وَٱلْجِنُّ عَلَىٰٓ أَن يَأْتُوا۟ بِمِثْلِ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِۦ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.”

v  Q.S Hud (11) : 13
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَٮٰهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا۟ بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهِۦ مُفْتَرَيٰتٍ وَادْعُوا۟
مَنِ اسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صٰدِقِينَ ﴿هود:١٣﴾
“Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.”
v  Q.S. Yunus (10) : 38

أَمْ يَقُولُونَ ٱفْتَرَىٰهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا۟ بِسُورَةٍ مِّثْلِهِۦ وَٱدْعُوا۟ مَنِ ٱسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ
“Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakana itu), maka cobalah datangkan sebuah surah seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”




C. Bukti-bukti Al-Qur’an sebagai Wahyu Allah
      Wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan kepada Nabi/Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah betul-betul dari Allah sendiri.[5]
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ اِلَّاوَحْيًا اَوْمِنْ وَّرَاءِ حِجَابٍ اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحَى بِاِذْنِهٖ مَايَشَٓاءُ
“Tidak ada manusia yang diajak bicara oleh Tuhan secara langsung (face to face), kecuali dengan perantaraan wahyu (ilham) atau di balik tabir atau dengan mengutus seorang utusan (Malaikat), kemudian ia diberi wahyu dengan izin Tuhan apa-apa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 51)
Berdasarkan ayat diatas, wahyu dibagu menjadi tiga macam yakni
1)      Wahyu yang diperoleh tanpa melalui perantaraan, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Ibrahim ketika menerima perintah untuk menyembelih putranya yang bernama Ismail. Wahyu tersebut diperolehnya melalui mimpi yang benar.
2)      Wahyu yang diperoleh dengan mendengar langsung firman Allah Swt. di balik tabir, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Musa ketika ia memperoleh pengangkatan atas kenabiannya.
Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu, karena itu lepaskanlah sepatumu sebab sesungguhnya engkau berada di tempat suci, yakni Thuwa. Dan Aku telah memilih engkau sebab itu dengarkanlah apa yang diwahyukan.” (QS. Thaha: 11-12)

Hal yang sama juga terjadi ketika peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad SAW, dimana  Nabi memperoleh perintah sholat lima waktu secara langsung oleh Allah Swt.
3)      Wahyu yang diperoleh melalui perantaraan Malaikat Jibril atau “Ruhul Amin”, Sebagaimana peritiwa turunnya Al-Qur’an, dimana Nabi SAW dapat melihat malaikat Jibril secara langsung dalam wujud asli maupun jelmaan manusia sebagai seorang laki-laki bernama Duhyah bin Khalifah.
Kategori wahyu yang ketiga merupakan bukti bahwasanya Al-Qur’an merupakan wahyu Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi SAW melalui perantara malaikat Jibril adalah benar adanya. Al-Qur’an bukanlah karangan atau buatan Nabi SAW sebagaimana anggapan orang-orang kafir, mereka mengatakannya karena tidak mengetahui hakikat wahyu Tuhan yang diberikan kepada makhluknya. Jika Al-Qur’an adalah karangan Nabi untuk apa Jibril datang dengan menyampaikan wahyu dari Allah? Ketika menerima pun Nabi merasa gejala atau perubahan dalam dirinya seperti badan Nabi yang bertambah berat, keluar banyak keringat meski dalam cuaca yang dingin. Proses penerimaan wahyu melalui perantara malaikat Jibril inilah yang terberat dibandingkan proses perolehan wahyu lainnya.
Dalam Q.S Al-Hijr ayat 9 yang berbunyi :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
Telah dijelaskan bahwasannya Al-Qur’an merupakan kitab suci yang terpelihara bahkan Allah lah yang memelihara. Dan kitab suci ini begitu sangat sempurna dibanding kitab-kitab yang lain.[6]
Suatu keistimewaan yang luar biasa dan hanya dianugerahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan RasulNya biasa diistilahkan dengan mukjizat.Tidak hanya nabi dan rasulNya, ternyata Al-Qur’an pun memiliki sesuatu yang menakjubkan pada isi maupun kandungannya.Yang demikian ini merupakan kebesaran serta karunia Allah SWT sehingga tiada mungkin tertandingi oleh manusia berilmu tinggi sekalipun.Sudah menjadi takdir bahwa keajaiban tersebut dikhususkan pada orang-orang terpilih menurut kehendak Allah SWT.
Adapun syarat-syarat mukjizat antara lain merupakan segala sesuatu yang mustahil dilakukan oleh makhluk, bertentangan dengan adat, harus disertai bukti kebenaran dan bertanggung jawab atas pengakuannya dalam artian ia dapat menunjukkan bahwa yang dilakukan memang benar adanya, begitu pula ketika dimintauntuk mempraktekkan apa yang ia katakan sebagai mukjizatnya. Pada intinya ialah tidak akan pernah ada makhluk Allah yang dapat menantang ataupun menandingi mukjizat yang telah dikehendaki Allah pada orang terpilih seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an antara lain dari segi :
ü  Gaya bahasa (uslub)
ü  Isi kandungannya:
Mengungkapkan berita bersifat gaib, I’jazul ‘ilmi (kemukjizatan ilmu pengetahuan), memberi aturan hukum yang bersifat universal.
ü  Sifat agung yang tiada mungkin ada makhluk Allah yang mendatangkan mukjizat Al-Qur’an
ü  Merupakan undang-undang yang detail dan sempurna
ü  Mengabarkan hal gaib yang tidak diketahui kecuali dengan wahyu
ü  Tidak bertentangan dengan pengetahuan umum yang sudah terbukti keabsahannya
ü  Menepati janji dan ancaman yang ada di dalamnya
ü  Memenuhi kebutuhan manusia
ü  Berpengaruh pada yang taat dan yang menentang

D. Sejarah Singkat Penulisan dan Kodifikasi Al-Qur’an (Masa Nabi, Abu Bakar, dan Usman)
Sebelum mengerti sejarahnya, maka kita perlu mengetahui arti dari pengumpulan Al-Qur’an itu sendiri atau yang biasa disebut dengan Jam’ul Qur’an di dalam bahasa Arab.Berasal dari kata”Jama’a – Yajma’u – Jam’an”yangartinya mengumpulkan.Menurut istilah yakni salah satunya menurut Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir yang menyatakan bahwa maksud dari Jam’ul Qur’an ialah menghimpun Al-Qur’an dalam lubuk hati serta menghafalkannya.
Al-Qur’an telah ditakdirkan turun di kawasan Arab.Menurut mereka para penduduk Arab, Al-Qur’an sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari sehingga mereka tidak menganggap bahwasannya Al-Qur’an merupakan kalimat yang berdiri sendiri.
Alasan Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab telah tertuang dalam firman Allah SWT pada Q.S At-Thaha : 113 yang berbunyi :[7]

وَكَذٰلِكَ أَنْزَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا وَّصَرَّفْنَا فِيْهِ مِنَ الْوَعِيْدِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ أَوْ يُحْدِثُ لَهُمْ ذِكْرًا ١١٣
Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab, dan Kami telah menjelaskan berulang-ulang di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka bertakwa, atau agar (Al-Quran) itu memberi pengajaran bagi mereka.
Nabi Muhammad SAW meminta beberapa sahabat untuk menuliskan wahyu diantaranya; Zain bin Tsabit, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’ab dan Khalid bin al-Walid. Mereka adalah sahabat Nabi yang pandai baca tulis dan dijadikan sebagai penulis wahyu. Penulis wahyu diperintahkan Nabi untuk menuliskan wahyu sesuai petunjuk Tuhan melalui Jibril. Mereka menuliskannya di hadapan Nabi SAW pada benda-benda seperti; batu, kulit binatang, tulang, pelepah kurma, dan lain sebagainya, meskipun ayat-ayatnya masih terpencar-pencar dan belum tersusun diatas mushaf ataupun suhuf Al-Quran para penulis wahyu membuat naskah pribadi dalam pengumpulan ayat-ayat tersebut. Benda-benda yang telah dipenuhi oleh tulisan atau ayat-ayat disimpan di rumah Nabi SAW.
Dengan belum diadakannya penyusunan Al-Qur’an dalam satu mushaf, Al-Qur’an tetap terjaga dan terpelihara secara murni karena suhuf yang diletakkan di rumah Nabi, para penulis wahyu yang membuat naskah-naskah Al-Qur’an untuk mereka pribadi serta di dukung oleh banyaknya sahabat yang menghafal Al-Qur’an, Hal itu tidak menghawatirkan atas kekeliruan maupun tidak terjaganya Al-Qur’an. Berdasarkan janji Allah Swt atas apa yang Dia kehendaki dalam surat al-Hijr: 9, yang artinya:
“Sesungguhnya Aku telah menurunkan peringatan (al-Qur’an) dan sesungguhnya Aku telah memeliharanya (mengamalkannya).”
Setelah Nabi SAW wafat, Abu bakar diangkat menjadi khalifah. Pada masa pemerintahannya terjadi beberapa konflik dengan gerakan murtad yang mana mereka menolak untuk membayar zakat yang dipimpin oleh Musailamah al-Kadzab. Abu Bakar segera bertindak terhadap gerakan tersebut dengan mengirim pasukan perang dibawah pimpinan Khalid bin al-Walid. Terjadilah peperangan pada tahun 12 H di Yamamah. Pasukan gerakan murtad bersih keras untuk memerangi umat Islam, dari peperangan tersebut menimbulkan banyak korban yang terbunuh termasuk 70  sahabat yang hafidz Qur’an.
Setelah terjadinya perang Yamamah yang mengakibatkan banyak pasukan Islam yang terbunuh dan sahabat hafidz Al-Qur’an. Umar memiliki ide untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalah dalam mushaf untuk mengantisipasi hilangnya sebagian Al-Qur’an dengan wafatnya para sahabat tahfidz Qur’an. Usulan tersebut diterima oleh Abu bakar setelah diadakannya diskusi dan pertimbangan diantara mereka.Kekhawatiran tersebut akhirnya menjadikan kesepakatan untuk menyusun mushaf, dimana Abu Bakar menunjuk Zain bin Tsabit untuk segara menyusun dan menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Zaid sangat berhati-hati dalam menjalankan tugas ini, sekalipun dia seorang penulis wahyu utama dan hafal seluruh Al-Qur’an. Dia dalam menjalankan tugasnya berpegangan dengan dua hal, yaitu:[8]
1)      Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis dihadapan Nabi dan yang disimpan di rumah Nabi.
2)      Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz Qur’an.
Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali kalau disaksikan dengan dua orang saksi yang adil, bahwa ayat itu benar-benar dituls dihadapan Nabi atas perintah (petunjuk)nya.[9]
Penulisan  dan penghimpunan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf dilaksanakan oleh Zaid bin Tsabit dalam waktu 1 tahun, yaitu antara setelah terjadinya perang Yamamah dan sebelum wafatnya khalifah Abu Bakar. Dengan hal itu, Khalifah Abu bakar tercatat sebagai orang yang pertama yang menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf, Umar sebagai orang pertama yang memiliki ide untuk dilaksanakannya penghimpunan Al-Qur’an serta Zaid bin Tsabit sebagai orang pertama yang melakukan penulisan dan penghimpuan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Setelah penulisan Mushaf Al-Qur’an selesai, Abu bakar menyimpannya dan setelah itu umar memiliki amanah untuk menyimpannya setelah Abu Bakar wafat. Kemudian Mushaf tersebut disimpah oleh istri Nabi yang bernama Hafsah setelah umar wafat. Hafsah merupakan istri nabi yang pandai dalam baca tulis dan hafal Al-Qur’an.
Pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan, terjadi probleatika dalam membaca Al-Quran. Kalangan umat Islam memiliki perbedaan dalam membaca Al-Qur’an, hal ini mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam pemahaman Al-Qur’an dan pecahnya persatuan dan kesatuan umat Islam. Mengetahui hal itu, seorang sahabat yang bernama Hudzaifah memberi usul atau saran kepada khalifah Utsman untuk segera melakukan tindakan dengan menyeragamkan tulisan Al-Qur’an. Diketahui bahwa penurunan wahyu Al-Qur’an menggunakan tujuh dialek Arab pada waktu itu.
Dalam al-Mashahif terdapat sejumlah riwayat yang menerangkan tentang sejauh mana perbedaan bacaan yang terjadi saat itu. Diantaranya, mereka sedang membaca Al-Qur’an, lalu mereka berselisih tentang suatu bacaan, hingga hampir timbul fitnah di antara mereka.[10] Hal seperti itu sangat berbahaya akan timbul suatu anggapan siapa yang lebih baik dan benar dalam membaca Al-Qur’an. Dari situ akan timbul pengkafiran yang menyatakan dirinya paling benar. Itu merupakan suatu poblematika yang sedikit rumit pada masa Khalifah Utsman bin Affan mengenai keabsahan dan kebenaran bacaan Al-Qur’an.
Khalifah Utsman menerima saran dari Hudzaibah untuk menyeragamkan tulisan Al-Qur’an dengan membentuk panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit, beranggotakan Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam. Mereka bertugas untuk menyalin suhuf Al-Qur’an yang benar yakni suhuf yang disimpan oleh Hafsah setelah wafatnya Umar.
Penyalinan Suhuf Al-Qur’an ke dalam mushaf dilakukan dengan jumlah beberapa untuk disebarkan dibeberapa daerah Islam dengan disertai instruksi bahwa seluruh suhuf maupun mushaf Al-Qur’an yang berbeda dengan Mushaf Utsman harus dimusnahkan demi keseragaman bacaan Al-Qur’an yang baik dan benar sesuai dengan wahyu tang diturunkan kepada Nabi SAW. Serelah Mushaf Usmani tersebar, seluruh umat Islam dan juga para Nabi menerima hal itu dan mematuhi instruksi yang disampaikan.
Panitia Zaid berhasil menyelasaikan tugas pada tahun 25 H. Setelah penyalinan selesai, Suhuf Hafsah dikembalikan  kepada Hafsah. Kemudian Suhuf Hafsah dibakar oleh Marwan bin al-Hakam, seorang Khalifah Dinasti Umayyah. Hal itu Ia lakukan dengan terpaksa demi keamanan dalam keseragaman Al-Qur’an yang mana telah diusahakan oleh Khalifah Utsma untuk menyalin suhuf  Hafsah ke dalam Mushaf Utsman untuk menghindari keragu-raguan umat islam terhadap mushaf yang memiliki dua naskah yaitu suhuf Hafsah dan mushaf Utsman.
Dari zaman Rasulullah kemudian Abu Bakar hingga pada Umar ibn Khattab, naskah ditulis oleh para sahabat untuk kemudian disimpan. Pertanyaannya ialah mengapa saat itu Al-Qur’an hanya tersampaikan lewat lisan? jawabannya ialah sebab dikhawatirkan tercampur ataupun menjadi kurang terjaga keotentikannya sehingga pada saat bangsa Arab mulai membuka diri dengan bangsa-bangsa lainnya barulah naskah tersebut ditulis dan disusun kembali dan kemudian disebarluaskan ke luar Arab walau hanya ke beberapa daerah saja. Dan ketika itu merupakan masa dimana Usman bin Affan memimpin pemerintahan. Naskah tersebut dijadikan naskah berstandar yang biasa kita kenal dengan mushaf Al-ustmani.
Kemudian pada masa Ali bin Abi Thalib memimpin pemerintahan muncul lah kajian tentang tata bahasa Al-Qur’an (ilm I’rab Al-Qur’an). Beliau memerintahkan Abul Aswad Ad-Duwali menyusun dengan kaidah bahasa Arab sebab sebelumnya terjadi pengrusakan akibat perbuatan orang-orang asing yang dikhawatirkan mencampur adukkan bahasa mereka dengan bahasa Arab yang memang sudah menjadi bahasa paten Al-Qur’an.
Setelah masa Ali bin Abi Thalib kemudian dilanjutkan dengan khulafaurrasyidin para tabi’ tabi’in pun memunculkan ilmu-ilmu mengenai Al-Qur’an. Adapun yang dibahas antara lain meliputi penafsiran ayat, nasikh wal mansukh, dan sebagainya. Dan yang ada hingga kini setelah masa-masa tersebut ialah telah adanya pembukuan Al-Qur’an yang kita pakai sehari-hari sebagai pedoman hidup.
Ada perbedaan diantara pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar dan Usman bin Affan, yakni Abu Bakar melakukan pengumpulan mushaf disebabkan oleh banyaknya penghafal Al-Qur’an yang gugur di medan perang, sedangkan Usman bin Affan melakukan pengumpulan mushaf disebabkan karena banyaknya cara membaca diberbagai wilayah dikhawatirkan adanya tradisi saling menyalahkan akan terus berkelanjutan hingga kemudian mengakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan.
Ada cara unik yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam pengumpulan mushaf yakni dengan memindahkan ayat-ayat yang ada pada kulit binatang, tulang, ataupun pelepah kurma yang lalu kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf. Terdapat suatu riwayat yang mengatakan bahwasannya selama ini yang banyak umat kira ialah pengumpulan mushaf dilakukan pada saat pemerintahan Usman bin Affan ialah kurang tepat. Sebab Usman bin Affan hanyalah menyelaraskan model qira’at (bacaan) yang ada di kalangan umat saat itu. Hal ini pun juga atas persetujuan kaum Muhajirin dan Anshar ketika itu hadir di hadapnya.
Sedangkan yang mengumpulkan Al-Qur’an terlebih dahulu sebenarnya ialah Abu Bakar. Akan tetapi Usman bin Affan tidak lepas dari sejarah pengumpulan mushaf Al-Qur’an, sebab beliau juga berkontribusi dalam penjagaan Al-Qur’an sehingga tidak pernah ada penambahan, pengurangan, atau bahkan penyimpangan hingga akhir zaman serta berhasil menghindarkan perselisihan ataupun fitnah yang dikhawatirkan akan terjadi pada saat itu.
Al-Qur’an memiliki surat-surat yang secara etimologi dapat diartikan sebagai “mulia,derajat, atau tingkat di sebuah bangunan”. Hikmah dari adanya surat itu pun salah satunya ialah seperti yang kita lihat fenomena yang ada terkait Al-Qur’an ialah akan menambah kerinduan hingga banyak yang tertarik untuk menghafal yang alhasil menumbuhkan bibit-bibit pecinta Al-Qur’an.[11]
Seperti yang telah dijelaskan bahwa pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan dikarenakan adanya perbedaan cara membaca. Adapun cara membaca yang dimaksud biasa dikenal dengan Qira’at, yakni ilmu mengenai tata cara memenuhi kalimat dalam Al-Qur’an serta perbedaannya tergantung dari asal daerah. [12]Dan Qira’at terjadi dalam tiga zaman yang antaralain terjadi pada zaman Rasulullah, sahabat, dan tabi’in hingga muncul ulama Qira’at. Adapun arti lain dari Qira’at yakni dikatakan sebagai mazhab pembaca kitab suci Al-Qur’an yang kemudian dikembangkan para pembaca maupun qari’ sebagaimana telah diberi amanah menjadi imam pembaca Al-Qur’an.[13]
Adapun sedikit penjelasan mengenai teks Al-Qur’an karya orientalis.Penerjemahan ayat-ayat Al-Qur’an sangat menarik untuk dikaji atau bahkan dipahami. Sehingga dengan kerja keras kajian orientalis pun menjadi berkembang dan dikelompokkan menjadi tiga sebagai berikut ini:
Ø  Karya yang mencari pengaruh Yahudi Kristen dalam Al-Qur’an. Adapun karyanya seperti “Judische Elemente im Koran (1878) karya Hartwig Hirschfeld.
Ø  Karya yang mencoba memaparkan kronologis Al-Qur’an, seperti pada karya Theodor Noldeke (1836-1930) yang berjudul Geshichte des Qorans.
Ø  Karya yang menerangkan aspek tertentu dalam Al-Qur’an seperti contoh “Die Richtunger der Islamischen Koranauslegung” karya Ignaz Goldziher.

E.     Penutup
Setelah melalui proses kajian dan pembahasan diatas, Al-Qur’an dari segi historisitasnya memiliki keontetikan dan sejarah yang memiliki makna luar biasa, dimana terdapat bukti-bukti yang jelas bahwa Al-Qur’an benar-benar wahyu Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi akhir zaman sebagai mukjizat terbesarnya. Dari masa ke masa, Al-Qur’an tetap terjaga meskipun melalui tahap-tahap yang sangat sederhana dalam penjagaannya hingga dapat dibukukan dalam satu mushaf yang sampai saat ini memudahkan umat Islam dalam mengamalkannya. Tidak diragukan lagi bahwasanya usaha yang dikerahkan oleh para khalifah dalam melanjutkan kepemimpinan Nabi SAW. serta menjaga kitab suci Al-Qur’an tidak terdapat kesukaran atau kesulitan bagi mereka. Mengingat janji Allah Swt. adalah sebaik-baik penjaga kitab suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam yang mana memberi petunjuk dalam segala aspek kehidupan.Kandungan yang termaktub didalamnya seperti tauhid, ibadah, janji dan ancaman, akhlak, kisah umat terdahulu, memberikan petunjuk bagi umat manusia untuk memperoleh jalan hidup yang benar untuk memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Sebagai umat islam yang bijak, tidak perlu memperdebatkan mengenai hal-hal yang dianggap benar atau dianggap salah dalam pemikiran seseorang, cukup yakin dengan wahyu yang diturunkan Allah Swt. dan sabda Rasul terkait keaslian Al-Qur’an yang patut kita jaga dengan terus mengamalkannya dan mengajarkan kepada saudara muslim yang lain. Karena Al-Qur’an tidak menyulitkan, namun manusia yang membuat kesulitan.Maka dari itu, seluruh umat Islam memiliki tanggungjawab untuk menjaganya.
DAFTAR PUSTAKA

Syahin, Abdul Shabur. Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan. Mesir: Nahdet Mesir, 2005.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya: Karya Abditama, 1997.
Nata, Abuddin. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.
Pramono, Muhammad Fajar. "Pola-pola Pemeliharaan Al-Qur’an dalam Tinjauan Historis".STIQ ISY KARIMA. Vol. 1 No. 1, Edisi 2017.
Nawawi,Maimun"Bahasa dan Hegemoni Kekuasaan (Analisa Historis Sosiologis Tentang Sakralitas Bahasa Al-Qur’an".OKARA.Vol. 2 No. 7, Edisi 2012.
Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan. Nahdet Mesir, Mesir, 2005.
MAnsharuddin"Sistematika Susunan Surat di dalam Al-Qur’an: Telaah Historis". STAI Hasan Jufri Bawean.Vol. 2 No. 2, Edisi 2016.
Muslimin"Urgensi Memahami Qira’at dalam Al-Qur’an dan Sejarah Perkembangannya”.IAIT Kediri. Vol. 26 No. 2, Edisi 2015
Bahri, Samsul"Sejarah dan Perkembangan Qira’at Al-Qur’an".SEAR FIQH.Vol. 10 No. 2, Edisi 2013.


Catatan:
1.      Similarity hanya 11%, sangat bagus.
2.      Dalam tulisan ilmiah, hindari penggunaan kata kita.
3.      Penulisan gelar (Prof.. Dr, Ustadz, dll) di tulisan inti atau footnote harus dihilangkan.
4.      Lihat KBBI mengenai kata-kata yang sudah menjadi kosakata Indonesia, misalnya yang seharusnya: Alquran, hadis, sunah, dll.
5.      Penulisan footnote tolong dibenahi, sebab tidak sesuai dengan aturan, terutama penulisan referensi dari jurnal.
6.      Makalah ini belum sistematis, terkesan agak acak-acakan. Tolong dibuat sistematis dan logis. Antara satu pembahasan dengan pembahasan lainnya menjadi benar-benar jelas.
7.      Pembahasan mengenai sejarah Alquran hendaknya dipisah-pisah agar mudah dipahami.


[1]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Karya Abditama, Surabaya, 1997, hal. 1.
[2]Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 51.
[3]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Karya Abditama, Surabaya, 1997, hal. 2
[4]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Karya Abditama, Surabaya, 1997, hal. 12.
[5]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, PT Bina Ilmu Offset, Surabaya, 1982, hal.5
[6]Muhammad Fajar Pramono, "Pola-pola Pemeliharaan Al-Qur’an dalam Tinjauan Historis". STIQ ISY KARIMA. Vol. 1 No. 1, Edisi 2017, hal 3.
[7]Maimun Nawawi"Bahasa dan Hegemoni Kekuasaan (Analisa Historis Sosiologis Tentang Sakralitas Bahasa Al-Qur’an". OKARA.Vol. 2 No. 7, Edisi 2012, hal.168.
[8]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, Karya Abditama, Surabaya, 1997, hal. 15.
[9]Ibid,hal.16.
[10]Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan, Nahdet Mesir, Mesir, 2005, hal.202.
[11]Ansharuddin M"Sistematika Susunan Surat di dalam Al-Qur’an: Telaah Historis". STAI Hasan Jufri Bawean.Vol. 2 No. 2, Edisi 2016, hal.211.
[12]Muslimin"Urgensi Memahami Qira’at dalam Al-Qur’an dan Sejarah Perkembangannya”.IAIT Kediri.Vol. 26 No. 2, Edisi 2015, hal.2.
[13]Samsul Bahri"Sejarah dan Perkembangan Qira’at Al-Qur’an". SEAR FIQH.Vol. 10 No. 2, Edisi 2013, hal.108.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar