Selasa, 24 April 2018

TA’ARUDH, TARJIH,AL-AMRU WA AN-NAHYU (PAI C Semester Genap 2017/2018)



TA’ARUDH, TARJIH,AL-AMRU WA AN-NAHYU

Shilvia Aninndhita Pristianingrum (15110053)
Fathir Akbar (15110106)
Silva Khoirul H. (15110117)

Mahasiswa PAI C Angkatan 2015
UniversitasIslam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail : shilvia.aninndhitapris@gmail.com


Abstrack
In this article will be discussed about ushul fiqh study that is about contradictory propositions and ways of ushuluyyin speak contradictory argument. In the crowd, there is no contradictory or contradictory proof between the two legal propositions, but there are mujtahids arguing or twice as high. in this era (classical era), Mujtahids have done many ways to find solutions to the problem. That is jam'u wa in taufiq, tarjih, nasakh and tatsaqut ad-dalilain. In this article will also be discussed the basics of orders that do not want to repeat the work, Basic not directly, Orders to do the job with the condition / requirement, The command after the ban which is then used. lafadz prohibition shows haram to do, lafadz ban that has dual nature, and gives instructions for the entire time, which can be used to perform actions of the action, lafadz nahyu give limits that indicate Job destruction.

Key Words : ta’arudh, tarjih, al-amru wa an-nahyu

Abstrak
Dalam artikel ini akan dibahas mengenai studi ushul fiqh yaitu tentang dalil yang kontradiktif dan cara para ushuluyyin menyelesaikan dalil yang kontradiktif tersebut. Dalam kenyataannya, tidak ada dalil yang bertentangan atau kontradiktif antara dua dalil secara hukum, namun terkadang mujtahid yang berargumen atau berpendapat melebihi dua argumen. dalam era sebelum ini (era klasik), para mujtahid sudah banyak melakukan cara untuk menemukan solusi dari masalah tersebut. Yaitu jam’u wa at taufiq, tarjih, nasakh dan tatsaqut ad-dalilain. Pada artikel ini juga akan dibahas mengenai Dasar perintah yang tidak menghendaki untuk pengulangan suatu pekerjaan, Dasar Perintah tidak menuntut untuk dilaksanakan secara langsung, Perintah terhadap suatu pekerjaan berikatan dengan wasilah/Syarat, Perintah setelah adanya pelarangan yang kemudian diperbolehkan. lafadz pelarangan menunjukkan haram untuk dilakukan, lafadz larangan yang memiliki sifat mutlak, dan memberi petunjuk untuk sepanjang zaman, larangan yang menunjukkan untuk melakukan lawan dari tindakan tersebut, lafadz nahyu memberi larangan yang menunjukkan rusaknya suatu pekerjaan.
Kata kunci : ta’arudh, tarjih, al-amru wa an-nahyu


A.  Pendahuluan
Ushul fiqh adalah salah satu ilmu yang merupakan komponen penting bagi siapapun yang ingin melakukan ijtihad dan istinbath hukum dalam islam. Dalam pembahasan mengenai kriteria seorang mujtahid, syarat muthlak yang dimasukkan adalah penguasaan akan ilmu. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga supaya proses ijtihad dan istinbath tetap berada dalam koridor yang semestinya.
Penguasaan ushul fiqh tidak pasti menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Faktor eksternal dari ushul fiqh seperti penentuan keshahihan satu hadis misalnya. Faktor internal ushul fiqh adalah pada bagian masalahnya yang mengalami perdebatan pada kalangan ushuluyyin. Lalu muncul ilmu ta’arudh dan tarjih.
Ilmu ushul fiqh mempunyai peran penting dalam ranah keilmuan agama islam terkhusus pada ilmu hukum islam atau hukum fiqh, karena peran ilmu ushul adalah sebagai ilmu metodologi dalam penggalian hukum. Sumber hukum islam yaitu Qur’an dan Hadis menggunakan bahasa arab yang di dalamnya mengandung banyak makna, maka pembahasan tentang kajian lughawiyah itu sangat penting. Ilmu ushul fiqh juga merupakan ilmu yang sangat penting bagi setiap  muslim yang ingin mengetahui dan mengistinbathkan hukum dari dalil syar’i. Terutama untuk mengetahui hal baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah. Karena zaman yang selalu berkembang, sedang Al-Qur’an Hadis sendiri tak akan ada penambahan dan perubahan, karena semuanya sudah tercakup di dalam Al-Qur’an.
Banyak ulama’ dan tokoh-tokoh agama islam yang berijtihad bersama dalam memecahkan masalah yang selalu muncul semakin hari semakin banyak yang permasalahan tersebut bisa mempengaruhi kemantaban hati umat muslim dalam beribadah.
Lalu hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum syara’ yang disesuaikan dengan bermacam sebab dan keadaannya. Dengan hal ini akan membantu meringankan mukallaf dalam beribadah secara mutlak kepada Allah. Dengan berkembangnya zaman seperti sekarang ini, sejalan dengan dalil yang terkait dengan dalil antara perintah dan larangan. Maka, dalam makalah ini akan dibahas tentang ta’arudh, tarjih, amar (perintah) dan nahi (larangan).

B.  Ta’arudh
1.      Pengertian 
Menurut bahasa artinya pertentangan atau kontradiksi yang terjadi antara dua dalil.[1] Secara istilah menurut Wahbah Zuhaili ta’arudh adalah salah satu dari dua dalil yang ada menghendaki adanya hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain. Jadi antara satu dalil dengan dalil yang lain tidak selalu meghendaki hukum yang sama, tapi ada kalanya menghendaki hukum yang berbeda diantara satu dalil dengan dalil yang lain[2]. Wahbah Zuhaili menegaskan tidak ada pertentangan atau kontradiksi pada kalamullah dan Rasulnya. Maka apabila ada anggapan ta’arudh  antara dua dalil ataupun beberapa dalil itu hanya dalam pandangan mujtahid, bukan pertentangan pada hakikatnya. Dalam kerangka berfikir Wahbah Zuhaili ini maka ta’arudh  itu bisa terjadi atau mungkin terjadi pada dalil yang qath’i maupun dalil yang dzanni.[3]Jadi yang perlu diketahui disini adalah tidak ada pertentangan yang sebenarnya antara dua ayat, atau dua hadits yang shohih, maupun antara ayat dengan hadits yang shahih. Apabila kelihatannya ada pertentangan antara dua nash tersebut, itu hanya pertentangan pada segi lahiriyahnya saja, bukan pertent angan yang sebenarnya.[4]
Contoh ayat yang secara lahiriyah terlihat bertentangan :
Q.S An-Nahl: 8 Allah Berfirman :
وَٱلْخَيْلَ وَٱلْبِغَالَ وَٱلْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً ۚ وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “(Dia telah menciptakan) kuda (bagal), dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. (Q.S An-Nahl: 8)
Pada ayat di atas menyatakan bahwa kuda bighal dan keledai itu adalah tunggangan dan perhiasan.
Ayat di atas bertentangan dengan Q.S Al-Ghafir: 79
ٱللَّهُ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَنْعَٰمَ لِتَرْكَبُوا۟ مِنْهَا وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ
Artinya : “Allah-lah yang menjadikan binatang ternak untuk kamu, sebagiannya untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk kamu makan. (Q.S Al-Ghafir: 79)
Pada surat Al-Ghafir: 79 menyatakan bahwa binatang ternak itu untuk dimakan dan dikendarai.
Pada ayat pertama (QS. An-Nahl: 8) kuda dan keledai dapat digunakan sebagai kendaraan dan perhiasan, sedangkan pada ayat yang kedua (QS Ghafir: 79) kata al-an’am mempunyai arti binatang yang di dalamnya itu mencakup kuda dan keledai. Kedua ayat tersebut bisa dikompromikan bahwa binatang itu mempunyai dua fungsi, bisa berfungsi sebagai daging yang bisa dimakan. Dan yang kedua bisa berfungsi sebagai kendaraan dan juga sebagai perhiasan seperti kuda dan keledai.[5]
Apabila kedua nash tersebut secara lahiriyah memang bertentangan, maka yang harus dilakukan adalah mengadakan ijtihad untuk mengkompromikan kedua nash yang berkontradiksi itu.cara yang digunakan untuk menyelesaikan dua dalil yang berkontradiksi di atas didasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Hanafiyah dan Syafi’iyah.


1)      Menurut Hanafiyah :
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa metode yang harus digunakan untuk menyelesaikan dua dalil yang bertentangan adalah :
a.       Nasakh
Pembatalan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada dalil baru yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang pertama.[6] Diteliti dahulu mana yang diturunkan lebih dulu antara turunnya ayat atau diucapkannya hadits. Jika sudah diketahui, maka dalil yang terdahulu dianggap sudah dinasakh (dibatalkan) oleh dalil yang datang belakangan.[7] Maka mujtahid harus mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurud dari ayat maupun hadits tersebut. Lalu mengambil dalil yang baru.
Contoh : permasalahan tentang iddah wanita yang sedang hamil pada QS.At-Thalaq: 4 yang di dalamnya menyatakan “iddah wanita hamil sampai melahirkan”, dengan surat Al-Baqarah: 234 menyatakan bahwa “iddah kematian suami 4 bulan sepuluh hari”. Menurut jumhur ulama, Ibnu Mas’ud meriwayatkan, ayat yang datangnya lebih dulu adalah Q.S Al-Baqarah ayat 234, sedangkan ayat yang datangnya kemudian itu adalah Q.S At-Thalaq: 4, sehingga ditetapkanlah iddah perempuan hamil adalah sampai melahirkan.
b.      Tarjih
Adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang bisa mendukungnya.[8] Jika ada dua dalil yang bertentangan sulit untuk dicari sejarahnya (dalam artian mana yang lebih dulu), maka bisa menggunakan cara Tarjih ini dengan cara mengemukakan alasan yang bisa mendukung dalil tersebut. Untuk melakukan tarjih, dapat kita lihat dari tiga sisi :
1)      Petunjuk kandungan lafadz suatu nash. Misal, menguatkan nash yang hukumnya pasti (Muhkam) dan tak dapat dihapus, daripada nash yang hukumnya pasti tapi masih bisa diubah (mufassar).
2)      Segi hukum yang dikandungnya. Misal, menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh (mubah)
3)      Segi keadilan periwayatan suatu hadits
c.       Al-Jam’u Wa At-Taufiq
Mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengkompromikannya berdasarkan kaidah Ushul yang menyatakan “Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.[9]Contoh :
Pada Q.S Al-Maidah: 3 Allah berfirman :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ......
Artinya: “Diharamkan bagi kamu bangkai dan darah....”(Q.S Al-Maidah: 3)

Ayat di atas menjelaskan tentang jenis darah, namun tidak menjelaskan perbedaan antara darah yang mengalir dengan darah yang sudah beku.

Lalu ada surat lain yang menjelaskan, yaitu pada Q.S Al-An’am: 145, Allah berfirman :
...إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا...
Artinya : “...kecuali (yang diharamkan itu) bangkai dan darah yang mengalir...”

Dari kedua ayat di atas, dikompromikan bahwa darah yang dilarang itu adalah darah yang mengalir.
d.      Tasaqut Ad-Dalilain
Yaitu menggugurkan kedua dalil yang kontradiksi dan mencari yang lebih rendah. Apabila tidak ada peluang lagi untuk mengkompromikan kedua dalil yang kontradiksi tersebut, maka jalan terakhir yang bisa ditempuh adalah seorang mujtahid hendaklah merujuk pada dalil yang lebih rendah bobotnya. Misal, ada dua ayat yang saling bertentangan, namun ketiga cara di atas tidak bisa dipakai, maka yang harus dilakukan adalah mengambil keterangan yang lebih rendah dari Al-Qur’an yaitu hadits. Tapi jika masih bertentangan, maka diambillah metode qiyas (analogi), begitu seterusnya. Menurut ulama’ Hanafiyah, mujtahid hanya dibolehkan mengambil dalil yang lebih rendah jika telah menggunakan ketiga cara di atas.

2)      Menurut Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Dzahiriyah :
Menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Dzahiriyah cara menyelesaikan ta’arudh ini adalah sebagai berikut :
a.       Jam’u Wa Al-Taufiq :
Menurut ke tiga ulama ini cara pertama yang digunakan untuk menyelesaikan dua dalil yang kontradiksi ini adalah dengan mengkompromikan kedua dalil tersebut. Alasan mereka menggunakan cara yang pertama ini adalah karena adanya kaidah yang menyatakan “Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. Adapun cara yang digunakan untuk mengkompromikan kedua dalil yang saling bertentangan itu adalah :
a)      Membagi kedua hukum yang bertentangan, yaitu jika kedua hukum yang kontradiksi itu bisa dibagi, maka bisa dilakukan dengan cara pembagian yang sebaik-baiknya.
b)      Jika hukum yang kontradiksi itu sesuatu yang berbilang, maka disini mujtahid boleh memilihnya. Sebagai contohnya:
لَاصَلَاتَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلَّا فِيْ الْمَسْجِدِ (رواه ابو داود و احمد بن حنبل)
Artinya : “Tidak (sempurna) sholat bagi tetangga masjid kecuali di masjid” (H.R Abu Dawud dan Ahmad Ibn Hambal).

Kata la dalam hadits di atas, menurut ulama ushul kata itu mempunyai banyak arti, bisa diartikan “tidak sah” bisa diartikan “tidak sempurna” atau bisa juga diartikan “tidak utama”. Nah, maka seorang mujtahid boleh memilih salah satu arti namun harus didukung dengan dalil lain yang kuat.
c)      Mengambil dalil yang lebih khusus, artinya apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, maka dalil yang diambil itu adalah dalil yang lebih khusus. Misal tentang masa iddah wanita yang hamil, pada surat Al-Baqarah: 234 masih bersifat umum bahwa setiap wanita yang ditinggal mati suaminya baik hamil atau tidak, maka wajib ber-‘iddah selama empat bulan sepuluh hari. pada ayat yang ke dua yaitu surat At-Thalaq juga masih bermakna umum yaitu setiap perempuan yang ditinggal mati suaminya atau bercerai hidup wajib  ber-‘iddah  sampai melahirkan kandungannya. jadi bila dua ayat tersebut dikompromikan, kesimpulan yang bisa diambil adalah apabila perempuan melahirkan sebelum sampai empat bulan sepuluh hari sejak suaminya meninggal, maka iddahnya itu menunggu empat bulan sepuluh hari, dan jika sampai empat bulan sepuluh hari perempuan itu belum melahirkan, maka iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya.[10]

b.      Tarjih
Cara yang kedua adalah Tarjih, jika cara yang pertama tak bisa digunakan, maka barulah menggunakan cara ke dua ini, yaitu Tarjih (menguatkan salah satu dalil). Cara yang bisa digunakan yaitu bisa mentarjih yang perawinya sedikit, bisa juga penarjihan sanad, bisa menggunakan penarjihan dari sisi matan.
c.       Nasakh
Cara yang ketiga adalah Nasakh, yaitu membatalkan salah satu hukum yang dikandung dalam kedua dalil  tersebut dengan syarat harus mengetahui dulu, mana dalil yang pertama dan mana dalil yang baru. Maka yang diamalkan adalah dalil yang baru (yang datang kemudian), seperti sabda Nabi “Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahlah”.
d.      Tatsaqut Al-Dalilain
Adalah meninggalkan kedua dalil yang berkontradiksi tersebut, lalu kemudian berijtihad dengan dalil yang lebih rendah kualitasnya. Menurut ke tiga ulama ini cara yang yang ditempuh haruslah berurutan.[11]
2.      Macam-macam Ta’arudh
Dalam buku Madkhal Al-Wushul Ila Ma’rifati Ilmi Al-Ushul karya Syed Muhsin bin Ali Al-Musawi, beliau membagi ta’arudh menjadi empat macam :
a.       Pertentangan Dalil ‘am dengan dalil ‘am
Sebagai contohnya, pada satu hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari menyatakan bahwa“sejelek-jeleknya saksi adalah orang yang memberikan kesaksiannya sebelum diminta”, namun pada hadits lain yang diriwayatkan oleh Tabrani dan Ibnu Majah menyatakan bahwa “sebaik-baik saksi adalah orang yang memberikan kesaksian sebelum diminta”.
Secara lahiriyah atau secara rasional kedua dalil di atas bertentangan, tapi sebenarnya kedua dalil di atas bisa dijelaskan posisi dua hadits tersebut. Hadits pertama menitik beratkan pada saksi yang belum mengetahui apa yang disaksikannya. Namun pada hadits yang kedua itu menitikberatkan pada saksi yang sudah mengetahui apa yang disaksikannya.
b.      Pertentangan antara dalil khas dengan dalil khas
Contohnya, pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim menyatakan bahwa Rasulullah berwudhu membasuh kedua kaki, namun pada hadits lain yang diriwayatkan oleh Nasa’i dikatakan bahwa pembasuhan kaki Nabi itu dibungkus sepatu.
Jika dilihat secara rasional atau lahiriyah kedua hadits di atas bertentangan (kontradiksi), namun pada hakikatnya itu tidak. Pada hadits yang pertama itu ditujukan untuk wudhu yang berfungsi menghilangkan hadas kecil, nah pada hadits yang kedua itu untuk sekedar memperbaharuinya.


c.       Pertentangan dalil ‘am dengan dalil khas
Contoh, hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim menyatakan bahwa kewajiban zakat 10 persen bagi hasil pertanian yang diairi oleh air hujan. Lalu hadis kemudian dikhususkan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh hadis riwayat Bukhari Muslim yaitu yang berbunyi hasil pertanian yang kurang lima wasaq maka tidak dikenakan zakat.
Maka kedua dalil itu dikompromikan bahwa hasil tanah yang diairi oleh air hujan dan hasilnya belum mencapai lima wasaq maka belum diwajibkan berzakat.
d.      Pertentangan antara pemahaman ‘am dari pemahaman khas dalam satu dalil
kontradiksi dalil yang modelnya seperti ini harus ditakhsis salah satunya. Seperti hadis riwayat Abu Daud yang menyatakan bahwa air dua kullah itu tidak bisa dinajiskan dengan benda najis. Namun pada hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dinyatakan bahwa air itu bisa najis dikarenakan dengan perubahan bau, rasa dan warnanya.
Solusinya adalah harus dilihat dari posisi dua hadits tersebut. Hadis pertama bersifat khas (dalam ukuran air yaitu dua kullah) namun bersifat ‘am pada perubahan sifatnya. Pada hadis yang kedua sifatnya khas pada perubahan sifatnya tapi bersifat ‘am pada ukuran standar air.
Jadi, keumuman hadis yang pertama bisa di­-khas-kan dengan hadis yang kedua, dan keumuman hadis yang kedua dapat di-khas-kan dengan hadis yang pertama. Maka dari itu, kedua hadis tersebut bisa dikompromikan yang hasilnya: pertama, air dua kullah bisa menjadi najis apabila berubah sifatnya. Kedua, air kurang dari dua kullah menjadi najis bila terkena najis, walaupun tidak berubah sifatnya (bau, warna, dan rasanya).[12]

C.   Tarjih
            Definisi tarjih secara etimologi:
"جعل الشيء راجحا."
Adalah “menjadikan sesuatu lebih kuat.”[13] Kata  “at-tarjih” (الترجيح) merupakan masdar dari kata dasar “rajaha” (رجح) yang artinya mengunggulkan sesuatu yang lebih unggul padanya, menguatkan, dan memenangkannya. Sedangkan dalil yang dikuatkan artinya ialah rajih, dan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.[14]
Secara terminologi:
تقوية احد الطر فين على الأخر تقوية احد الطرفين على الأخر
            Adalah menguatkan salah satu antara dua dalil dengan yang lainnya. Menurut Ulama, dalil syara’ diantaranya ialah qath’y dan zhanny. Tarjih tidak berlaku pada Al-Qur’an karena dia adalah dalil qath’y.[15] Dalil zhanny lah yang akan diijtihadkan. Jika terdapat dalil zhanny yang lebih dari satu dan belum pasti kejelasannya maka wajid ditarjihkan, sehingga ditemukan dalil yang lebih kuat. Dan para ulama’ telah sepakat, bahwasanya dalil yang lebih kuat yang wajib diamalkan.
Syarat-syarat Tarjih
1.      Dalam dalil tersebut terdapat satu masalah yang sama. Misalnya masalah shalat sunnah, haji, dan sebagainya.
2.      Dalil yang ditarjih terdapat kesamaan dalah segi tempat, waktu, syarat dal hal-hal yang dibicarakan.[16]
3.      Ada petunjuk yang mewajibkan beramal dengan salah satu diantara dua dalil tersebut.[17]
Cara Pen-tarjih-an
            Menurut Ulama Ushul, metode pentarjihan dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu At-Tarjih baina An-Nushush dan At-Tarjih baina Al-Qiyas.[18]
1.      At-Tarjih baina An-Nushush
At-Tarjih baina An-Nushush terbagi menjadi beberapa bagian, antara lain :
a.        Dari Segi Sanad
1)      Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya.
-          Jumhur ulama berpendapat bahwa lebih menguatkan hadist yang sanadnya banyak dari yang sedikit sanadnya karena kemungkinan lebih sedikit terjadi kesalahan pada hadist yang benyak diriwayatkan. 
-          Mayoritas Ulama’ Hanafiah berpendapat bahwa suatu dalil tidak bisa ditarjih hanya karena banyak perawi dari salah satu dalil tersebut.[19]
2)      Pentarjihan melalui cara menerima hadist langsung dari Rosulullah SAW.
-          Menguatkan hadist yang didengar langsung oleh Rosulullah, dan menguatkan hadist dalam bentuk ucapan nabi dari pada perbuatan nabi.[20]
3)      Pentarjihan dengan melihat riwayat hadist.
-          Dalam mentarjih hadist, maka bisa dilihat persambungan sanadnya. Misal, hadist yang sampai kepada Rosul, maka lebih kuat dari yang tidak sampai kepada Rosul.
b.       Dari Segi Matan
1)      Dalil yang mengandung larangan lebih dikuatkan dari pada teks yang mengandung perintah, karena menolak kemadharatan lebih mulia daripada mengambil kemanfaatan.
2)      Dalil yang mengandung perintah lebih didahulukan daripada dalil yang mengandung kebolehan.
3)      Dalil yang bermakna hakikat lebih didahulukan dari makna majaz.
4)      Dalil yang berisi khusus lebih didahulukan dari pada dalil yang berisi umum.
5)      Dalil khusus yang telah ditakhsiskan lebih didahulukan daripada dalil umum yang telah ditakhsiskan.
6)      Dalil yang bersifat perkataan lebih didahulukan daripada teks yang bersifat perbuatan.
7)      Teks muhkam lebih didahulukan daripada teks yang mufassar.
8)      Teks yang bermakna hakikat lebih diddahulukan daripada teks yang berupa sindiran.[21]
9)      Teks yang shahih lebih didahulukan dibandingkan dengan yang kinayah.
10)  Dalil yang berbentuk berita, lebih didahulukan daripada dalam bentuk larangan atau suruhan.[22]
c.       Dari Segi Hukum dan Kandungan Hukum
1)      Mendahulukan teks yang mengandung hukum bahaya dibandingkan dengan teks yang membolehkan.
2)      Teks yang mengadung hukuman lebih ringan didahulukan dibandingkan dengan teks yang didalamnya mengandung hukum berat. Sebagaimana Firman Allah SWT. Dalam QS AL-Baqarah-2:185:
رِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”[23]
3)      Teks yang berbentuk wajib dan karanah lebih didahulukan atas teks yang berbetuk nadab.[24]
d.      Dari Segi Faktor (dalil lain)
1)      Mendahulukan salah satu dalil yang terdapat dukungan dari dalil lain.
2)      Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah, karena orang Madinah lebih faham mengenai tafsir dan turunnya Al-Qur’an.
3)      Mendahulukan dalil yang terdapat asbab an-nuzul atau asbab al-wurud daripada dalil yang tidak mengandung hal tersebut.
4)      Dalil yang mengandung sikap waspada lebih didahulukan daripada dalil yang tidak ada hal demikian.
5)      Mendahulukan nash yang terdapat perkataan atau perbuatan perawi.[25]
2.      At-Tarjih baina Al-Qiyas
Dalam menarjihkan dengan qiyas, Imam Asy-Syaukani mengemukakan dalam empat kelompok:
a.       Dari Segi Hukum Asal
1)      Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat qath’i dari yang semula bersifat zhanny.
2)      Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma’ dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash bias di takhsiskan, dita’wilkan dan dinasakhkan.[26]
3)      Menguatkan qiyas yang didukung oleh dalil khusus dari dalil didukung oleh dalil khusus.
4)      Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah qiyas dari yang tidak sesuai.
5)      Menguatkan qiyas yang disepakati ulama untuk tidak dinasakhkan.
6)      Menguatkan qiyas yang hukum asalnya khusus dibanding dengan qiyas yang hukum asalnya bersifat umum.[27]
b.      Dari Segi Hukum furu’ (cabang)
1)      Hukum furu’ yang datang kemudian lebih dikuatkan dari hukum asalnya.
2)      Hukum furu’ yang illat-nya diketahui secara qath’i lebih dikuatkan dari yang hanya bersifat zhanny.
3)      Hukum furu’ yang ditetapkan berdasar logika nash lebih dikuatkan dari yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafsili.[28]
c.       Dari Segi Illat
1)      Pentarjihan dari segi cara penetapan illat, sebagai berikut:
-          Illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat lebih dikuatkan dari illat yang tidak demikian.
-          Illat yang ditentukan dengan cara pengujian, analisis dan pemilahan illat yang telah ditetapkan oleh mujtahid lebih dikuatkan dari illat yang menggunakan metode munasabah (keserasian).
-          Illat yang terdapat nash didalamnya lebih dikuatkan dari illat yang ditetapkan melalui munasabah (keserasian).
2)      Pentarjihan dari segi sifat illat, sebagai berikut :
-          Illat yang dapat diukur lebih dikuatkan daripada yang relative.
-          Illat yang dapat dikembangkan dalam hukum lebih dikuatkan dari yang terbatas pada satu hukum saja.
-          Illat yang mengandung kemaslahatasn lebih dikuatkan dariyang bersifat hajiyyat (penunjang).
-          Illat yang jelas menelatarbelakangi suatu hukum lebih dikuatkan dari illat yang bersifat indikator saja.[29]
d.      Pentarjihan Qiyas Melalui Faktor Luar
1)      Qiyas yang didukung oleh sejumlah illat lebih dikuatkan dari yang hanya satu illat.
2)      Qiyas yang lebih didukung oleh fatwa sahabat lebih dikuatkan dari yang tidak demikian.
3)      Qiyas yang illat nya  dapat berlaku untuk seluruh furu’ lebih kuat dari yang berlaku pada sebagian furu’.
4)      Qiyas yang illat nya didukung oleh beberapa dalil lebih kuat dari yang didukung satu dalil.[30]
Contoh Tarjih
            Sebagai contoh, terdapat dua riwayat yang bertentangan dan wajib ditarjihkan, yaitu:
عن ابن عباس انه قال رسول اللهميمونةوهو محرم  .(رواه مسلم)
“Dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata : ‘Rosulullah telah kawin dengan maimunah, ssaat Nabi dalam Ihram”. (HR. Muslim)
Dengan:
عن يزيد بن الأصم : حدثنى ميمونة بنت الحرية أن رسول الله تزوجها وهو حلال.(رواه مسلم)
“Dari Yazid bin Al-Asam, berkata: “Maimunah binti Al-Haris telah menceritakan kepadaku bahwa bahwa Rosulullah menikah dengannya saat beliau ihlal.” (HR. Muslim)
Dalam mentarjih riwayat diatas, yang menjadi acuan ialah:
1.      Yang meriwayatkan dalam hadist pertama, ialah Ibnu Abbas. Sedangkan dalam riwayat yang kedua, yang meriwayatkan ialah Maimunah sendiri. Sehingga dalam hal ini,lebih dianggap kuat riwayat Maimunah.
2.      Abu Rafi’ juga menguatkan riwayat yang kedua, bahwasanya Nabi kawin dengan Maimunah saat Nabi Ihlal.
3.      Nabi telah bersabda, bahwa:
لا ينكح المحرم ولا ينكح. (رواه مسلم)
            Ialah, orang dalam keadaan ihram tidak boleh kawin dan tidak boleh mengawinkan. (HR. Muslim).[31]
            Oleh karena itu, riwayat yang kedualah yang lebih kuat,dengan demikian itulah yang dinamakan tarjih.
D.  Al amr
1.      Pengertian
            Al  Amru dalam pengertian menurut jumhur ulama’ adalah sebuah lafadz yang menunjukkan suatu kata perintah, tuntutan atau permintaan dari atasan kepada bawahan untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau tindakan.
            Didalam ilmu ushul fiqh yang dimaksud dengan al – amru ialah :
طلب الفعل من الأعلى إلى الأدنى
“ permintaan atau tuntutan suatu tindakan pelaksanaan dari petinggi terhadap bawahan”
Sedang yang disebut sebagai petinggi dalam istilah tersebut ialah Allah dan RasulNya dan istilah bawahan ialah manusia yang diberikan taklif[32]. Didalam ilmu bahasa arab pernyataan perintah atau pun tuntutan selalu ditujukan pada shigat amr (perubahan bentuk kata) yang menunjukkan kata perintah.
2.      Shigat lafadz amr atau bentuk – bentuk amr
a.       Fi’il Amr dan macam-macamnya
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ .... -[33]٧٨
...اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ .... -[34]١٥٣-
b.      Fi’il Mudhari’ yang didahului oleh lam amr
... فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أ... -[35]٦٣-
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ ... -[36]٧-
c.       Masdar sebagai pengganti Fi’il[37]
...وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً -[38]٢٣-
فَإِذا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ ...-[39]٤-
d.      Kalimat khabariyah yang ditujukan sebagai perintah
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ...-[40]٢٣٣-

3.      Hakikat makna dari lafadz amr
           
Perbedaan pendapat terjadi dalam kesepakatan penentuan makna hakikat lafadz amr atau makna dari tuntutan tersebut sebagai suatu tuntutan yang harus dilaksanakan sehingga memiliki makna wajib atau diperlukannya suatu qarinah, maka hal ini para ulama’ ushul berbeda pendapat menjadi empat bagian, yaitu:

1.      Meyakini bahwa makna hakikat dari lafadz amr adalah wajib dan harus dilakukan tanpa ada hal lain, kecuali dengan adanya qarinah yang menjadikan tuntutan tersebut tidak wajib, dan pendapat ini menurut jumhur ulama, As Syafi’i, Al-Amidi, Fuqaha serta Al Husen  Al Basari dan Al Juba’i.

2.      Meyakini bahwa makna hakiki dari amr adalah Nadb menurut Madzhab Abu Hasyim, ulama mutakallimin yang berasal dari kalangan mu’tazilah.

3.      Meyakini bahwa makna hakiki dari amr yaitu Musytarak antara wajib ataupun nadb dan golongan ini menurut Abu Mansur Al Maturidi

4.      Pendapat yang keempat dibawa oleh Qadi Abu Bakar, Al Ghozali, yang menyatakan makna hakiki dari amr bergantung dalil yang menunjukkan maksudnya[41].

4.      Kaidah amr dan maknanya
      Pada setiap amr memberikan petunjuk tuntutan atau permintaan pada maksud tertentu, adapun beberapa lafadz – lafadz amr di dalam Al Qur’an yang disetiap lafadznya memberikan maksud tuntutan yang berbeda, adapun dalam kaidah – kaidah yaitu:
1.      الأمر دلالة على الوجوب/perintah yang menunjukkan wajib
Jumhur ulama’ berpendapat bahwasanya perintah menunjukkan suatu kewajiban terhadap mukallaf, kecuali dengan adanya qarinah – qarinah yang memalingkannya[42]. Seperti firman pada Qs. An Nisa : 77 yaitu:

...وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ...
“kerjakanlah Sholat dan tunaikanlah Zakat”
Ayat diatas memberikan pengertian bahwa dalil tersebut wajib untuk dilaksanakan dikarenakan tidak adanya qarinah yang menjadikanya dalil tersebut tidak wajib, dan jika perintah tersebut tidak dilakukan  maka orang yang tidak melaksanakan akan mendapat ancaman hukuman atas ketidak tundukannya terhadap perkara tersebut.
Selain daripada itu, banyaknya bentuk amr ada pada hal – hal yang sangat bermacam – macam karena adanya qarinah yang menunjukkan, yaitu :
a.       Dihukumi nadb, sehingga dalil bukan perintah yang wajib melainkan nadb/sunnah. Pada Qs. An Nur : 33 yaitu :
فَكَاتِبُوهُمْإِنْعَلِمْتُمْفِيهِمْخَيْراً
“ Maka buatlah perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”
Maksud dari ayat tersebut ialah nadb/sunnah atau anjuran untuk melakukan perjanjian dalam proses transaksi, sehingga jika hal ini tidak dilakukan maka tidak ada ancaman apapun[43].

b.      Adapun yang dihukumi ibahah atau memiliki arti boleh, terdapat pada Qs. Al Baqarah: 60,  yaitu :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
“dan makan dan minumlah”

Ayat tersebut menunjukkan qarinah bahwasannya makan dan minum bukanlah suatu tuntutan yang jika tidak dilakukan tidak diberi ancaman dan ditinggalkan tidak memberi janji pahala, namun hal itu hanyalah tabiat manusia[44].

c.       Adapun ayat yang dihukumi sebagai Tahdid/menakut-nakuti, seperti yang difirmankan Allah SWT, pada Qs. Ibrahim : 30, yang berbunyi :
تَمَتَّعُواْفَإِنَّمَصِيرَكُمْإِلَىالنَّارِ
“Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ke neraka.”
Amr dalam ayat tersebut memberikan maksud untuk menakut – nakuti dan memberikan sebuah janji yang tidak menyenangkan.

d.      Ayat yang menunjukkan ikram/memuliakan, terdapat pada Qs. Al Hijr : 46 :
ادْخُلُوهَابِسَلاَمٍآمِنِينَ
“Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman.”
Ayat tersebut juga tidak memberikan tuntutan apapun namun menunjukkan cara Allah memuliakan hambanya.

e.       Lafadz amr yang menunjukkan takwin/penciptaan, terdapat pada Qs. Yasin : 82, yang berbunyi :
إِنَّمَاأَمْرُهُإِذَاأَرَادَشَيْئاًأَنْيَقُولَلَهُكُنْفَيَكُونُ
“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia Menghendaki sesuatu Dia hanya Berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.”

Lafadz yang menunjukkan amr ini ditujukan dalam penciptaan alam, namun Allah tidak memerintah alam untuk menjadi secara langsung, akan tetapi melewati beberapa proses dan tahapan[45].

2.      الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى التِكْرَار/ Dasar perintah yang tidak menghendaki untuk pengulangan suatu pekerjaan
Kaidah memberi maksud bahwa perintah tidak menunjukkan untuk melakukan pekerjaan secara berulang ulang, namun cukup sekali dalam pengerjaan berarti telah melakukan suatu perintah kecuali adanya suatu qarinah yang menunjukkan perintah untuk berulang – ulang.
Seperti tuntutan dalam pelaksanaan haji, perintah pelaksanaan haji adalah wajib untuk satu kali, karena tidak adanya qarinah yang menunjukkan untuk pelaksanaan berkali – kali. Namun berbeda dengan perintah melaksanakan sholat karena terdapat qarinah atau dalil lain yang menunjukkan pengulangan pada perintah tersebut yaitu dalam hadist Bukhari :
صلوا كما رأيتموني أصلى
Maka ayat yang memerintahkan sholat diperkuat dengan dalil hadist, menjadikan sebab perintah sholat tersebut diulang seperti yang dicontohkan Nabi, begitu pula diperkuat dengan adanya peristiwa isra’ mi’raj tentang perintah pelaksanaan sholat wajib 5 waktu[46].

3.      الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى الفَوْرَ/ Dasar Perintah tidak menuntut untuk dilaksanakan secara langsung

Maksud dari kaidah ini adalah perintah yang tidak harus dilakukan secara langsung pada waktu itu juga, karena perintah yang dimaksud adalah tuntutan untuk pelaksanaan tanpa terikat waktu tertentu. Kecuali jika terdapat qarinah yang menyebabkan perintah itu dilakukan secara langsung. Ayat yang berkenaan pada kaidah ini terdapat pada Qs. Al Baqarah : 184
....فَمَنكَانَمِنكُممَّرِيضاًأَوْعَلَىسَفَرٍفَعِدَّةٌمِّنْأَيَّامٍأُخَرَ....
“Barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau sedang dalam bepergian jauh, hendaklah mengqadha puasa itu pada hari yang lain.”

Perintah diatas menunjukkan bahwasanya tuntutan tidak dilakukan secara langsung namun menunjukkan untuk mengqadha puasa yang ditinggalkan sejumlah yang ditinggalkan sebelum sampai waktu meninggal.

Dan adapun perintah yang dituntut untuk pelaksanaan secara langsung dan memiliki qarinah bahwa perintah tersebut dilakukan secara langsung. Yang terdapat pada Qs. Al A’raf : 12 yaitu :

“(Allah) Berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku Menyuruhmu?”

Dan ayat tersebut menyatakan tuntutan untuk segera langsung dilakukan dengan qarinah yang menunjukkan tuntutan tersebut yaitu pada Qs. Al Hijr : 29 yang berbunyi :

فَإِذَاسَوَّيْتُهُوَنَفَخْتُفِيهِمِنرُّوحِيفَقَعُواْلَهُسَاجِدِينَ
“Maka apabila Aku telah Menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah Meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.”
Dalil kedua menunjukkan bahwa perintah tersebut tuntutan untuk dilakukan segera, dan apabila tidak maka tentunya iblis tidak berhak untuk mendapat celaan[47].

4.      الامر بالشّيئ امر بوسائله/ Perintah terhadap suatu pekerjaan berikatan dengan wasilah/Syarat

Perintah yang dimaksud ialah perintah yang dituntut untuk dilaksanakan namun didalam pekerjaan tersebut mengandung suatu wasilah syarat atau sifat yang menjadi sebab diberikannya perintah tersebut, seperti pada Qs. Al Maidah : 6 dan Qs. Al Maidah : 38[48] yaitu :
...وَإِنكُنتُمْجُنُباًفَاطَّهَّرُواْ...
“Jika kamu dalam keadaan junub, maka bersucilah”
وَالسَّارِقُوَالسَّارِقَةُفَاقْطَعُواْأَيْدِيَهُمَا...
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”

Perintah pertama ialah tuntutan bersuci, dengan adanya syarat yang menjadikan sebab tuntutan untuk bersuci yaitu adalah junub, maka sebab tuntutan untuk bersuci adalah karena junub sekaligus menjadikan syarat untuk bersuci.

Dan dalil kedua ialah adanya sifat mencuri yang maka akan diperintah untuk memotong kedua tangannya, maka sifat mencuri itulah menjadi syarat sebagai perintah dilaksanakan hukum potong tangan.

5.      الاَمْرُ بَعْدَ النَّهْيِ يُعفيْدُ الابَاحَةِ/ Perintah setelah adanya pelarangan yang kemudian diperbolehkan

Maksud perintah ini ialah diperbolehkannya suatu pekerjaan setelah sebelumnya dilarang untuk melakukan pekerjaan tersebut atau perintah suatu pekerjaan yang telah dibolehkan untuk melakukan setelah didahului adanya larangan untuk melakukan. Seperti pada Qs. At Taubah : 5, dan Al Maidah : 2 yaitu :
فَإِذَاانسَلَخَالأَشْهُرُالْحُرُمُفَاقْتُلُواْالْمُشْرِكِينَ...
“Apabila telah habis bulan-bulan haram,maka perangilah orang-orang musyrik”
وَإِذَاحَلَلْتُمْفَاصْطَادُواْ...
“Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu”
Pada ayat yang pertama, perang diharamkan karena untuk menghormati bulan – bulan haram, namun jika telah melewati bulan haram tersebut maka diperbolehkannya untuk memerangi orang musyrik.

Dan pada ayat yang kedua adalah larangan untuk berburu hewan, karena dalam keadaan pelaksanaan haji, maka jika ibadah haji tersebut selesai diperbolehkannya untuk berburu hewan.

E.  An nahyu
1.      Pengertian

            An Nahyu atau Nahi secara bahasa memiliki arti larangan, dan menurut ulama’ ushul fiqh yang dimaksudkan adalah tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan dari pihak tertinggi terhadap pihak bawah.
طلب الترك من الاعلى الى الادنى
“ tuntutan untuk meninggalkan dari pihak tertinggi kepada pihak bawah”

            Jadi, nahyu secara dipahami adalah lafadz yang mengandung arti larangan atau tuntutan untuk meninggalkan suatu perkara/pekerjaan, seperti larangan untuk mencuri, berzina dll.

2.      Shigat nahyu/nahi dan bentuk – bentuknya

a.       Fi’il mudhari’ didahului dengan lam nahyiyang terdapat dalam Qs. Al An’am : 152.
ولَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

b.    Jumlah khabariyah, kalimat yang melarang suatu perbuatan, dengan cara menyatakan pengaharaman pada suatu perbuatan yang terdapat pada Qs. Baqarah : 230.
فَإِن طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً

c.     Larangan dengan menggunakan lafadz nahyu sendiri seperti yang terdapat pada Qs. An Nahl : 90.[49]
إنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

d.      Lafadz perintah yang menunjukkan untuk pelarangan seperti pada Qs. Al Hajj : 30
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

3.      Hakikat makna dari nahyu/nahi
           
            Sama dengan amr, nahyu sendiri makna yang berbeda – beda dalam tuntuntan pelarangan, dan adapun perbedaan ulama’ dalam memaknai lafadz nahyu yang ada didalam Al Qur’an apakah hakikat makna tersebut untuk tahrim ataupun menjadi tidak jika ada dalil/qarinah yang menunjukkannya. Maka perbedaan pendapat tersebut dibagi menjadi empat yaitu:
a.       Nahyu mempunyai hakikat tahrim, dan bukan karahah, dan itu pasti kecuali terdapat qarinah yang menunjukkan bahwa tuntutan itu bukan tahrim, hal ini menurut pendapat jumhur ulama’.
b.      Adapun pendapat yang kedua bahwa nahyi yang tidak disertai qarinah memiliki makna karahah.
c.       Dan pendapat yang ketiga, nahyu memiliki makna mustarak diantara karahah dan tahrim, antara isytarak lafdzhi ataupun isytarak maknawi.
d.      Dan hakikat yang ketiga makna dari nahyu adalah tasawuf[50].

4.      Kaidah – Kaidah dalam Nahyu
1.      النحي للتحريم  / lafadz pelarangan menunjukkan haram untuk dilakukan

Maksud dari kaidah ini adalah lafadz nahyu memberi tuntutan kepada mukallaf supaya benar – benar tidak melakukan pekerjaan tersebut selama tidak ada qarinah atau dalil yang memalingkan arti, contoh nahyu pada kaidah ini terdapat pada Qs. Isra : 32.
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

Maka makna ayat tersebut menunjukkan bahwa larangan untuk mendekati zina. Namun terkadang nahyu juga menunjukkan berbagai makna dengan qarinah, antara lain:
a.       Nahyu untuk doa yang terdapat pada Qs. Al Baqarah : 286.

...رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ...

Lafadz nahyu diatas menunjukkan kata untuk pelarangan namun memberikan makna doa.

b.      Nahyu untuk memberikan petunjuk/membimbing atau irsyadyang terdapat pada Qs. Maidah : 101.
لاَ تَسْأَلُواْ عَنْ أَشْيَاء إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

Dari ayat diatas juga menunjukkan larangan namun memiliki makna untuk membimbing, karena jika bertanya akan memberikan kesusahan atau memberatkan.

c.       Nahyu yang memberikan makna sebuah harapan terdapat pada Qs. At Taubah : 41
لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا

Nahyu tersebut memiliki arti sebuah larangan namun menunjukkan makna harapan atau iltimas, karena pada dasarnya manusia memiliki rasa sedih.
d.      Nahyu yang memberikan arti keputusasaan yang terdapat pada Qs. At Tahrim : 7
 لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ
Meskipun lafadz nahyu ini memberikan arti larangan untuk tidak mengemukakan uzur atau alasan, namun hakikatnya lafadz tersebut memberikan makna keputusasaan pada hari kiamat terhadap orang kafir[51].
e.       Nahyu berikutnya memiliki arti menjelaskan sebuah akibat yaitu yang terdapat dalam Qs. Ibrahim : 42

وَلاَ تَحْسَبَنَّ اللّهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ

“Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim”

Maka lafadz nahyu ini memberikan arti larangan dan bermakna menjelaskan tentang akibat dari sebuah perbuatan[52].

2.      الاَصْلُ فِى النَهْيِ المُطْلَقْ يَقْتَضِى التِكْرَارَى فِى جَمِيْعِ الاَزْمِنَةِ/lafadz larangan yang memiliki sifat mutlak, dan memberi petunjuk untuk sepanjang zaman.

Kaidah ini memberikan larangan dalam suatu perkara yang menunjukkan waktu atas larangan tersebut, yaitu waktu itu berlaku sepanjang waktu atau ada batasan waktu terhadap larangan tersebut, adapun ayat yang menunjukkan bahwa laranganNya berlaku selamanya yaitu pada Qs. Al Baqarah : 11

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ
Ayat tersebut menunjukkan untuk tidak merusak dibumi selamanya, dan adapun ayat yang menerangkan atas larangan dengan batasan waktu tertentu, yaitu pada Qs. An Nisa : 43.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ
Ayat tersebut menunjukkan larangan untuk mengerjakan sholat jika dalam keadaan mabuk sampai tersadar atas dirinya dari mabuk tersebut[53].

3.      النَهْيُ عَنْ شَيْئٍ اَمْرٌ بِضِدِهِ/larangan yang menunjukkan untuk melakukan lawan dari tindakan tersebut

Maksud dari kaidah ini ialah larangan untuk mengerjakan sesuatu dan memberi makna perintah untuk melaksanakan sesuatu kebalikan dari tindakan yang dilarang, misalnya : larangan untuk berpuasa dihari idul fitri, maka larangan tersebut menunjukkan perintah untuk tidak berpuasa, dan larangan untuk kufur maka hal tersebut menunjukkan perintah untuk beriman. Adapun ayat yang menunjukkan kaidah ini yaitu pada Qs. Luqman : 18.
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحاً
Ayat tersebut melarang mukallaf untuk berjalan diatas bumi dengan sombong, maka secara tidak langsung ayat tersebut memerintahkan untuk berjalan dengan sopan dan baik[54].

4.      النَهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ المُنْهِىِّ عَنْه/lafadz nahyu memberi larangan yang menunjukkan rusaknya suatu pekerjaan

Maksud kaidah diatas ialah larangan untuk melakukan suatu pekerjaan yang menunjukkan rusaknya pekerjaan itu sendiri, seperti halnya ketika waktu haid dan mengerjakan sholat, maka sholat tersebut disebut rusak/fasad. Adapun dalil yang menyatakan kaidah ini yaitu terdapat pada hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim no. 1138
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الأَضْحَى وَيَوْمِ الْفِطْرِ

Maka hadist diatas menyatakan larangan berpuasa pada hari raya idul fitri dan idul adha yang apabila dikerjakan akan menjadikan rusak pekerjaan tersebut.

F.   Penutup
Ta’arudh adalah pertentangan atau kontradiksi antara dua dalil. Namun pada hakikatnya tidak ada pertentangan dalam syari’at. Melainkan pada pandangan mujtahid yang terkadang terlihat ada pertentangan dua dalil dalam satu tempat. Ushuluyyin dalam beberapa abad sudah berusaha mencari cara untuk menyelesaikan t’arudh ini. Diantaranya yaitu dengan cara jam’u wa at taufiq, tarjih, nasakh dan tatsaqut ad-dalilain. Jika dengan cara jam’u tidak mungkin dilakukan, maka dilakukanlah cara tarjih, jika dengan tarjih juga tidak memungkinkan, maka  menggunakan cara nasakh, apabila ketiga cara di atas sudah tidak bisa digunakan lagi maka cara terkhir yang harus dilakukan adalah dengan cara tatsaqutad-dalilain.
Tarjih menurut bahasa ialah menguatkan. Menurut istilah, tarjih adalah menguatkan salah satu antara dua dalil dengan yang lainnya, dalam satu masalah yang sama. Adapun mengenai hal-hal yang diijtihadkan ialah yang berhubungan dengan dalil zhanny. Apabila terdapat dalil zhanny dua atau lebih yang bertentangan, maka wajib ditarjihkan, untuk mengetahui dalil mana yang lebih kuat. Cara pentarjihan dibagi menjadi dua, yakni at-Tarjih baina an Nushush dan at-Tarjih baina al-qiyas.
Amr memiliki arti yang dapat kita pahami ialah perintah atau tuntutan untuk mengerjakan bagi mukallaf, maka kaidah – kaidah amr yang dapat kita pahami ialah perintah yang menunjukkan wajib, Dasar perintah yang tidak menghendaki untuk pengulangan suatu pekerjaan, Dasar Perintah tidak menuntut untuk dilaksanakan secara langsung, Perintah terhadap suatu pekerjaan berikatan dengan wasilah/Syarat, Perintah setelah adanya pelarangan yang kemudian diperbolehkan.
Nahyu memiliki arti tuntutan yang menunjukkan arti larangan dalam mengerjakan secara garis besar namun dengan bentuk – bentuk lafadz menjadi memiliki arti yang berbeda-beda, adapun kaidah nahyu ialah lafadz pelarangan menunjukkan haram untuk dilakukan, lafadz larangan yang memiliki sifat mutlak, dan memberi petunjuk untuk sepanjang zaman, larangan yang menunjukkan untuk melakukan lawan dari tindakan tersebut, lafadz nahyu memberi larangan yang menunjukkan rusaknya suatu pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Atabik,Ahmad.2015. Kontradiksi Antar Dalil DanCara Penyelesaiannya PrespektifUshuliyyin, Vol. 6, No. 2, Desember.Yudisia.
Azzuhaili, Wahbah. 2005. Ushul fiqh al Islami, III. Damaskus: Darul Fikri.
Bakry,Nazar.2003. Fiqh dan Ushul Fiqh.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Djalil, Basiq. 2010.Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua.Jakarta: Kencana.
Efendi,Satria. 2005. Ushul Fiqh,I. Jakarta: Prenada Media.
Shidiq, Safiudin.Ushul Fiqh. (Intimedia).
Software Al Qur’an Ad – Dunya
Syafe’I,Rachmat.2010.Ilmu Ushul Fiqh,IV.Bandung: CV Pustaka Setia.
_______________. 2015.Ilmu ushul Fiqh, V. Bandung : CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir.2012.Garis-Garis Besar Ushul Fiqh.Jakarta: Kencana.
______________. 2008.Ushul Fiqh Jilid 2, IV. Jakarta : Kencana.
Rafi’i, Abdullah danMulyono Jamal, dkk. 2011. Ushul Fiqh KMI. Ponorogo: Darussalam Press
Wafa, Muhammad. 2001.Metode Tarjih Atas KontradiksiDalil Dalil Syarah.Bangil : Al Izzah.

Catatan:
Similarity 11%.



[1] Safiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Intimedia), hlm.135
[2]Ahmad Atabik, Kontradiksi Antar Dalil DanCara Penyelesaiannya PrespektifUshuliyyin, Yudisia, Vol. 6, No. 2, Desember 2015
[3]Satria Efendi, Ushul Fiqh,cetakan 1, Prenada Media, Jakarta, 2005,hlm.238-239
[4] Safiudin Shidiq, Op. Cit, hlm.135
[5] Safiudin Shidiq, Op. Cit, hlm.136-138
[6]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. IV,CV Pustaka Setia, Bandung, 2010, Hlm.226-227
[7] Satria Efendi, Op. Cit, hlm. 239
[8] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm.254
[9] Rahmat Syafe’i, Op. Cit, hlm.227-228
[10] Satria Efendi, Op. Cit, hlm.240-241
[11] Rahmat Syafe’i, Op. Cit, hlm. 229-230
[12] Safiudin Shidiq, Op. Cit, hlm.138-139
[13] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, Kencana, Jakarta, 2010, hlm.202
[14] Nazar Bakry, Op. Cit., hlm.261
[15] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Kencana, Jakarta, 2012, hlm.87
[16] Basiq Djalil, Op.Cit, hlm. 203
[17] Nazar Bakry, Op. Cit, hlm.262
[18] Rahmat Syafe’I, Op. Cit, hlm. 243
[19] Muhammad Wafaa, MetodeTarjihAtasKontradiksiDalil-DalilSyarah, Al-Izzah, Bangil, 2001, hlm.198
[20] Nazar Bakry, Op. Cit, hlm.265
[21] Rahmat Syafe’i, Op. Cit, hlm.244-245
[22] Nazar Bakry, Op. Cit, hlm.265
[23] Rahmat Syafe’i, Op. Cit, hlm. 247
[24] Nazar Bakry, Op. Cit, hlm. 266
[25] Rahmat Syafe’i, Op. Cit, hlm. 247
[26] Nazar Bakry, Op. Cit, hlm. 266
[27] Rahmat Syafe’i, Op. Cit, hlm. 248
[28] Nazar Bakry, Op. Cit, hlm. 267
[29] Rahmat Syafe’i, Op. Cit, hlm. 249
[30] Nazar Bakry, Op. Cit, hlm. 268
[31] Basiq Djalil, Op.Cit, hlm.206
[32]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, Kencana, Jakarta, 2010 hlm. 49
[33] Software Al Qur’an Ad – Dunya Qs. Al Isra’: 78
[34] Ibid Qs. Al Baqarah:153
[35] Ibid Qs. AN Nur : 63
[36] Ibid Qs. At Thlm...aq : 7
[37]Abdullah Rafi’i, Mulyono Jamal, dkk, 2011, Ushul Fiqh KMI,Darussalam Press, Ponorogo, hlm. 132 - 133
[38] Ibid Qs. Al Baqarah : 23
[39] Ibid Qs. Muhammad : 4
[40] Ibid Qs. Al Baqarah : 233
[41] Rachmat Syafe’i , Ilmu ushul Fiqh, V, Bandung , CV Pustaka Setia, , 2015,hlm. 201
[42] Wahbah Azzuhaili, Ushul fiqh al Islami, III,Damaskus, Darul Fikri, 2005, hlm. 215
[43] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, IV, Jakarta, Kencana, 2008,hlm. 166
[44]Wahbah Azzuhaili, Op.cit, hlm. 216
[45] Amir Syarifuddin, Op.cit., hlm. 169-170
[46]Ibid, hlm. 53-54
[47]Amir Syarifuddin,Op.cit., hlm. 186
[48]Wahbah Azzuhaili, Op.cit,. hlm. 224
[49]Abdullah Rafi’i, Mulyono Jamal, dkk, Op.cit., hlm. 153-154
[50]Rachmat Syafe’i, Op.cit., hlm. 207
[51]Basiq Djalil, Op.cit.,  hlm. 63
[52]Wahbah Azzuhaili, Op.cit., hlm. 228
[53]Basiq Djalil, Op.cit., hlm. 65 - 66
[54]Basiq Djalil, Op.cit., hlm. 64- 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar