Minggu, 11 Maret 2018

Shalat Jamak dan Qashar (PAI ICP English Semester Genap 2017/2018)




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Di dalam kehidupan sehari-hari saat ingin menjalankan perintah Allah, manusia sering mendapat kesulitan dikarenakan suatu keadaan.Dimana keadaan tersebut mampu menuntun manusia menjadi lalai atau bahkan meninggalkan perintah tersebut.Contohnya adalah sholat.Tidak jarang manusia mengalami keadaan dimana manusia tersebut sulit untuk menunaikan sholat.Untuk itu Allah memberikan keringanan bagi hambanya untuk memudahkan hambanya yang ingin bertakwa.Missal, Allah memberikan keringanan bagi hambanya untuk meringkas dan menggabungkan sholat, demi mengeluarkan hambanya dari kesulitan.
            Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai sholat jama’ dan sholat qasar. Banyak orang yang mengetahui dua sholat ini namum bagi sebagian orang masih rancu akan ketentuan dan bagaimana cara melakukannya. Mengingat sangat pentingnya dua kemudahan yang diberikan Allah bagi hambanya yang mengalami kesukaran saatakan melakukan ibadah atau perintah lainnya.

B.     Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian shalat jama’?
2.         Bagaimana ketentuan shalat jama’?
3.         Apa pengertian qashar?
4.         Bagaimana ketentuan shalat qashar?
5.         Bagaimana tata cara shalat dalam keadaan sakit dandi kendaraan?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian shalat jama’.
2.      Untuk mengetahui ketentuan shalat jama’.
3.      Untuk mengetahui pengertian shalat qashar.
4.      Untuk mengetahui ketentuan shalat qashar.
5.      Untuk mengetahui tata cara shalat dalam keadaan sakit dan di kendaraan.


















BAB II
 PEMBAHASAN
A.    Pengertian Shalat Jama’
            Jama’ secara singkat dapat diartikan menggabungkan dua shalat di dalam satu waktu.[1]
1.      Macam-macam Jama’
a.       Jama’ Taqdim. Yaitu menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar pada waktu Zuhur serta menjamak shalat Maghrib dan Isya’ pada waktu Maghrib. Ada tiga syarat agar jamak sah:
i)                    Hendaknya ia memulai dengan shalat yang dikerjakan pada waktu itu.
ii)                  Adanya niat untuk menjama’.
iii)                Berurutan atau langsung antara dua shalat.
b.      Jama’ Ta’khir. Yaitu menjamak antara Zuhur dan Ashar pada waktu Ashar serta menjamak shalat Maghrib dan Isya’ pada waktu Isya’. Tidak disyaratkan dalam hal itu, kecuali syarat-syarat seperti dalam jamak taqdim. [2]
2.      Niat Menjama’ Shalat
a.       Niat Menjamak Shalat Jama’ Taqdim Dhuhur dengan Ashar
أُصَلِّي فَرْضَ الظُّهْرِأربع رَكعَاتٍ مَجْمُوْعًا مَعَ العَصْرِ اَدَاءً للهِ تَعَالَى

b.      Niat Menjamak Shalat Jama’ Ta’khir Dhuhur dengan Ashar
أُصَلِّي فَرْضَ العِشَاءِ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ مَجْمُوْعًا مَعَ اْلمَغْرِبِ جَمْعِ تَقْدِيمِ اَدَاءً للهِ تَعَالى
c.       Niat Menjamak Shalat Jama’ Ta’dim Maghrib dengan Isya’
            أُصَلِّي فَرْضَ العشاء أَرْبَعَ رَكعَاتٍ مَجْمُوْعًا مَعَ الْمَغْرِبِ جَمِعِ تَقْدِيْمِ اَدَاءً للهِ تَعَالَى
d.      Niat Menjamak Shalat Ta’khir Maghrib dan Isya’
           

أُصَلِّي فَرْضَ العَشَاءِ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ مَجْمُوْعًا مَعَ الْمَغْرِبِ جَمِعَ تَقْدِيْمِ اَدَاءً للهِ تَعَالى


B.     Ketentuan Shalat Jama’
1.      Hukum Shalat Jama’
      Mengenai hukum menjama’ sholat baik taqdim maupun ta’khir ulama’ fiqih memiliki pendapat yang berbeda-beda.
      Menurut Madzhab Hanafi, tidak diperbolehkan menjama’ sholat kecuali pada hari Arafah, hal ini bagi orang yang menunaikan haji.Yakni jama’ taqdim sholat dzuhur dan ashar, dilakukan dengan satu adzan dan dua iqomah.Dikumandangkannya dua iqomah sebagai simbol didirikannya dua sholat yang berbeda dalam satu waktu, yakni sholat dzuhur dan ashar.Sedangkan mayoritas ulama’ memperbolehkan menjama’ sholat yang dzuhur dan ashar boleh dijama’, baik jama’ taqdim maupun ta’khir.Begitupun dengan sholat maghrib dan isya boleh dijama’ baik jama’ ta’khir ataupun taqdim[3].
      Imam Syafi’i berpendapat membolehkan menjama’ sholat baik ketika bepergian, hujan, turun salju, dan haji di Arafah dan Muzdalifah.Terkhusus saat turun hujan, salju, dan cuaca dingin, dianjurkan untuk menjama’ taqdim.Hal ini dikarenakan lamanya waktu hujan tidak dapat diperkirakan.
      Menurut Madzhab Syafi’iah dalam pendapatnya yang mashur tidak diperbolehkan mmenjama’ sholat karena sebab lumpur, angin, suasana gelap, dan sakit berdasarkan hadits.Dikarenakan dahulu Rasulullah SAW juga sering sakit namun tidak disebutkan bahwa rasul menjama’ sholatnya karena sebab sakitnya secara jelas.Menurut Madzhab Syafi’i dan Maliki disunahkan menjama’ taqdim bagi orang yang berhaji saat berada di Arafah dan menjama’ ta’khir saat di Muzdalifah.Sedang dalam perjalanan panjang diperbolehkan menjama’ taqdim maupun Ta’khir[4].

2.      Syarat-Syarat Menjama’ Shalat
Menurut Imam Syafi’I berikut ini adalah syarat-syarat menjama’ shalat:
a.       Niat Menjama’
                        Niat adalah hal yang paling utama, jama’ taqdim disaat memulai shalat pertama dan diperbolehkan saat sudah melakukannya, menurut pendapat yang paling jelas walaupun sudah mengucapkan salam.
b.      Tertib
            Sholat harus dimulai ketika sudah masuk waktu sholat. Mendahulukan sholat yag pertama baru kemudian sholat yang kedua. Apabila seseorang memulai sholat jama’ dengan sholat pertama, namun kemudian diketahui bahwa batal karena tidak melakukan salah satu syarat atau rukun maka sholat keduanya ikut batal.
c.       Bersambung.
            Yang dimaksud dengan bersambung adalah berurutan atau tidak dipisah anatara dua sholat yang dijama’ dengan jarak yang panjang. Waktu melakukan sholat pertama dan kedua tidak boleh dipisah dengan pekerjaan lain.
            Bagi orang yang bertayamum boleh melakukan sholat jama’, menurut sebagian pendapat yang benar seperti halnya orang yang telah berwudhu, tidak mengapa biladipisah dengan mencari air dalam waktu sebentar.
            Dalam syarat satu sampai tiga ini yakni niat, tertib dan tidak terputus atau bersambung tidaklah masuk dalam jama’ ta’khir.

d.      Terus berada di perjalanan hingga melakukan takbiratul ihram pada sholat kedua.
            Apabila perjalanan itu berhenti sebelum dimulainya sholat yang kedua maka tidak boleh untuk menjama’, karena hilangnya sebab.
e.       Tetapnya waktu sholat pertama dengan meyakini bahwa dapat melakukan shalat kedua.

f.       Menganggap bahwa sholat pertama sah.
                        Tidak boleh ragu akan sahnya sholat yang pertama. Apabila ragu akan ke-sah an sholat yang pertama, maka tidak boleh melakukan sholat yang kedua dengan jama’ taqdim.

Syarat melakukan jama’ ta’khir menurut Madzhab Imam Syafi’i[5]:
a.    Niat mengakhirkan sholat.
                        Apabila seseorang ingin melakukan jama’ ta’khir hendaknya dia berniat ketika masuk waktu sholat yang akan dijama’kan ta’khir. Contohnya ingin menjama’ ta’khir sholat dzuhur dan ashar, maka selama waktu dzuhur hendaknya orang tersebut harus berniat mengakhirkan sholat sebelum waktu dzuhur tersebut habis.Apabila tidak, maka jama’ ta’khir tersebut tidak sah.
b.    Kondisi masih dalam perjalanan hingga memasuki waktu sholat yang kedua.
                        Seseorang yang ingin melakukan jama’ ta’khir maka harus dipastikan hingga memasuki waktu sholat yang kedua orang tersebut masih dalam perjalanan.
                        Salah satu cara Rasulullah menjamak shalat dalam perjalanan adalah apabila melakukan perjalanan sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat Zuhur sampai dengan waktu Ashar, kemudian berhenti dan menjamak keduannya. Apabila matahari sudah tergelincir sebelum berjalan, beliau shalat Zuhur.Kemudian beliau naik kendaraan.
                        Apabila tergesa-gesa, Nabi mengakhir shalat Maghrib dan menjamak shalat Maghrib dan shalat Isya’ pada waktu Isya’.Pada saat perang Tabuk, apabila matahari sudah tergelincir sebelum berangkat, maka beliau mengakhirkan shalat Zuhur sampai Ashar.Jika pergi sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat Zuhur sampai Ashar, lalu beliau menjamak keduannya.Begitu juga shalat Maghrib dan Isya’.[6]

3.      Uzur yang Memperbolehkan Menjama’ Shalat
a.       Wanita yang menyusui, kesulitannya adalah banyaknya najis. Yakni kesulitan untuk menyucikan setiap kali hendak mau shalat.
b.      Orang yang tidak mau bersuci dengan air atau bertayamun untuk setiap shalat.
c.       Orang yang tidak mampu menengetahui waktu shalat, seperti orang buta, orang yang dipenjara di bawah tanah, dan sebagainya.
d.      Wanita yang istihadhah dan yang semisal dengannya, seperti orang yang menderita beser, tak bisa menahan kentut, mudah keluar madzi, dan terus-menerus mimisan.
e.       Orang yang sibuk atau beruzur dengan uzur yang karenanya dia boleh meninggalkan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah seperti mengkhawatirkan diri, harta, atau orang yang penghidupannya terancam jika dia tidak menjamak shalat.
f.        Menjamak shalat Maghrib dan Isya’ karena dingin yang menggigit, banjir lumpur, atau angin ribut.[7]
                 
C.    Pengertian Shalat Qashar
          Menurut Bahasa, qashar berarti kebalikan dari panjang. Adapun menurut istilah, qashar adalah:
رَدُّ ررُبَاعِيَةً مَكْتُوْبَةٍ ِإِلى رَكْعَتَيْنِ فِيْ سَفَرٍمَخْصُوْصٍ
Artinya : Mengembalikan shalat berakaat empat yang diwajibkan kepada berakaat dua dalam safar tertentu.[8]
          Qashar secara singkat dapat diartikan meringkas sholat, yang semula empat raka’at diringkas (di-qasar) menjadi dua raka’at dan sholat ini adalah sholat ada’(bukan Qadla’)[9].Di dalam kitab fiqih At-Tadzhib dituliskan bahwa diperbolehkan bagi orang yang bepergian (musafir) meringkas sholat yang memiliki empat raka’at, yakni sholat dzuhur, ashar dan isya’.[10]
D.    Ketentuan Shalat Qashar
1.      Hukum Mengqasar (Memperpendek Shalat)
          Sebenarnya mengqasar sholat diperbolehkan baik dalam keadaan takut maupun dalam keadaan aman.Namun dikaitkannya sholat qasar dengan keadaan ketakutan bermaksud menegaskan kondisi sesungguhnya, dimana kebanyakan perjalanan Rasulullah SAW dahulu dalam keadaan takut atau tidak aman.Diriwayatkan juga dalam beberapa hadits bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat juga mengqasar sholat dalam keadaan aman, baik saat haji, maupun umroh[11]. Salah satunya hadits: 
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قال صلى رسولﷺ: الظُّهْرَ وَاْلعَصْرَ جَمِيْعًا بِا لْمِدِيْنَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلَآ سَفَرٍ......
Artinya: Dari Ibnu ‘Abas r.a. Rasulullah SAW bekata: ‘sholat dzuhur dan ashar dikumpulkan di Madinah, tidak dalam keadaan takut, dan tidak pula ketika bepergian....’.[12]
Mengenai hukum dari mengqasar sholat saat bepergian para ahli fiqih terpecah menjadi tiga pendapat, yaitu:
a.       Madzhab Imam Hanafi
     Menurut pendapat Imam Hanafi megqasar sholat adalah suatu kewajiban disertai nikmat.Bahkan bagi setiap musafir diwajibkan mengqasar sholat yang memiliki empat rokaat menjadi dua rokaat, apabila lupa maka diwajibkan untuk sujud sahwi[13]. Hukum ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang berbunyi:
فَرَضَ اللُهُ الصَّلَآةَ عَلَى ِلسَانِ نَبِيَّكُمْ فِيﷺ الحَضَرِ أَرْبعًا وَفِي السّفَر رَكْعَتَيْنِوَ فِي الخَوْفِ رَكْعَةً.....
Artinya: Allah telah mewajibkan sholat melalui lisan nabi kalian, saat bermukim empat rokaat, dan saat bepergian dua rokaat, serta satu rokaat saat berperang (ketakutan).[14]
b.      Madzhab Imam Maliki
     Imam Maliki mengatakan pendapat yang kuat dan masyhur, bahwa hukum mengqasar sholat adalah sunah muakkad, karena Rasululullah SAW melakukannya.Tidak pernah diriwayatkan dalam sebuah haditts Rasulullah menyempurnakan jumlah rokaat sholat yang berjumlah empat dalam keadaan perjalanan.Seperti hadits yang disebutkan di atas.[15]
           
c.       Madzhab Imam Syaf’i dan Imam Hambali
     Menurut kedua imam madzhab ini mengqasar sholat hukumnya mubah.Artinya qasar adalah suatu kemudahan, dimana musafir boleh mengerjakannya atau meninggalkannya.Namun Imam Hambali juga mengemukakan bahwa mengqasar shalat lebih baik, dikarenakan Rasulullah SAW dan para sahabat selalu melakukannya, demikian pula dengan Imam Syafi’i[16].
      Syaikh as-Sayyid Sabiq, dalam bukunya Ensiklopedia Fiqih Islam Fiqih Sunnah menenrangkan bahwa,menurut sebagian besar ulama madzhab Syafi’i, mengqasar shalat oleh orang yang sedang dalam perjalanan jauh ataupun menyempurnakannya seperti biasa, kedua-duanya jaiz (yakni sama-sama membolehkan, atau boleh memilih di antara kedua-duanya). Tetapi apabila perjalanan tersebut berjarak lebih dari dua marhalah atau ditempuh dalam sedikitnyatiga hari perjalanan, (kira-kira 120 Km) maka mengqhasar lebih afdol daripada menyempurnakan. Hal ini sesuai dengan Surat An-Nisa’ ayat 101 yang berbunyi:
#sŒÎ)ur÷Läêö/uŽŸÑÎûÇÚöF{$#}§øŠn=sùö/ä3øn=tæîy$uZã_br&(#rçŽÝÇø)s?z`ÏBÍo4qn=¢Á9$# ........
101. dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu)....

2.      Syarat Mengqashar Shalat
   Hikmah diperbolehkannya sholat qasar ialah memudahkan para musafir, sehingga menghilangkan kesulitan bagi mereka ketika akan menunaikan perintah Allah SWT, selain itu sebagai penyemangat bagi umat islam dalam beribadah karena tidak ada lagi alasan untuk meninggalkan atau lalai terhadap sholat fardhu.

Adapun syarat-syarat diperbolehkannya sholat qasar sebagai berikut:
a.       Jarak.
        Menurut sebagian besar ulama’ dari madzab Syafi’I, Malik, dan Ahmad, mengqasahar hanya boleh dilakukan dalam perjalanan jauh, yaitu bisa diukur dengandua marhalah atau disebut juga “perjalanan dua hari”  (yakni dengan berjalan kaki secara wajar).Menurut Abdurrahman Al-Jaziry dalam bukunya Al-Fiqh ‘Ala’l-madzahih Al-Arba’ah, jarak tersebut sama dengan 80 km.          
        Adapun yang dijadikan ukuran dalam soal qashar adalah jarak perjalanan, bukan lamanya perjalanan. Dengan demikian, penggunaan sarana perjalanan apa pun (mobil, kereta api, kapal laut maupun pesawat terbang) tidak dipersoalkan, sepanjang perjalanan tersebut ,mencapai 80,640 Km. Walaupun hanya ditempuh dalam satu jam saja.[17]
        Menurut Zainal Arifin Djamaris, dalam bukunya yang berjudul Menyempurnakan Shalat, dijelaskan bahwa ada pendapat madzhab yang menggariskan dan memberi patokan bahwa jarak perjalanan untuk memperbolehkan mengqashar itu 90 Km.
        Dalam hadist nabi juga dijelaskan bahwa jarak yang diperbolehkan mengqashar adalah jarak satu farsakh, yaitu :
وَعَنْ أَبِى سَعِدٍ الْخُدْرَى قَالَ كَانَرَسُوْلُاللّهِ ﷺ إِذَا سَافَرَ فَرْسَخًا يَقْصُرُالصَّلَاةَ (رواه سعيد بن منصور)
Artinya: Dari Abi Sa’id Khurdy, ia berkata : “Rasulullah SAW bila berjalan satu farsakh, beliau mengqashar shalat” (HR. Sa’id bin Mashur).[18]
        Menurut Syaikh as-Sayyid Sabiq, dalam buku Ensiklopedia Islam menyatakan bahwa,  berdasarkan QS an-Nisa’ ayat 101, dapat disimpulkan bahwa setiap bepergian, baik jauh atau dekat, maka dibolehkan shalat qashar, demikian juga shalat jamak. Tidak ada hadist yang menerangkan tetang jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh dalam perjalanan tersebut.[19]
        Ibnu Mudzir dan ulama’nya lainnya meyebutkan lebih dari duapuluh pendapat menegenai masalah ketentuan diperbolehkannya jarak untuk mengqashar shalat. Diantaranya Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Baihaqi meriwayatkan dari Yahya bi Yazid, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik tentang shalat qashar. Ia menjawab :
كَانَرَسُوْلُللّهِ ﷺ إِذَاَ خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلَاثَةِ اَمْيَالٍ اَوْ فَرَاسِخَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
Artinya: “Rasulullah SAW shalat dua raka’at jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau tiga farskh.”

        Dalam kitab al-Fatih Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadist ini adalah hadist paling shahih dan paling tegas yang menjelaskan jarak perjalanan yang boleh mengqhasar.
        Sebagaimana diketahui, satu farsakh itu sama dengan tiga mil. Maka hadist Abu Sa’id ini dapat menghilangkan keraguan yang terdapat dalam hadist Anas.Hadist ini juga menyatakan bahwa Rasulullah SAW melakukan qashar bila beliau bepergian dengan jarak sedikitnya 3 mil.Satu farsakh adalah 5.541 meter, sedangkan satu mil adalah 1.748 meter.
        Minimal, jarak mengqashar shalat adalah satu mil.Dalilnya adalah hadist Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu ‘Umar.Pendapat inilah yang dianut oleh Ibnu Hamz.Alasan tidak boleh mengqashar bial kurang dari satu mil adalah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pergi ke Baqi’ untuk menguburkan orang-orang yang meninggal dan keluar menuju suatu tempat untuk membuat hajat.Pada saat itu beliau tidak mengqashar shalat.[20]

          Ada yang mengatakan jarak tempuh seorang musafir boleh melakukan sholat qasar adalah dua marhalah atau setara dengan dua hari, menurut Imam Hanafi 3 marhalah.Sedang menurut mayoritas ulama’ mengatakan jarak tempuhnya adalah 16 farshakh (kira-kira 81 km).[21]

b.      Tujuan perjalanan tidak untuk menuju maksiat.
        Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali, apabila seseorang meng-qasar sholatnya dalam perjalanan menuju maksiat maka tidak sah sholat tersebut.[22]
c.       Melewati pemukiman dari tempat tinggalnya.
        Musafir haruslah keluar dari pemukiman di daerahnya, juga melewati tanah lapang, perkebunan, persawahan, pemakaman dan lain sebagainya.Apabila musafir tinggal diperkemahan maka musafir harus melewati kemah-kemah yang ada di daerahnya.[23]
d.      Memiliki tujuan yang jelas.
                  Berniat memulai perjalanan dari tempat tertentu dan berniat untuk menempuh jarak qasar tanpa ragu-ragu. Karena tidak boleh mengqasar dan berbuka  puasa bagi orang yang bingung, atau tidak mengetahui kemana dia akan pergi.[24]
e.       Tidak bermakmum pada yang bermukim.
        Pendapat dari Imam Syafi’i dan Imam Hambali mengatakan tidak sah mengqasar sholat bagi musafir yang bermakmum kepada pemukim, atau bermakmum kepada sesama musafir yang menyempurnakan rokaatnya. Apabila musafir malakukannya, maka ia wajib menyempurnakan meskipun hanya menjadi makmum ketika tasyahud akhir saja. Atau ragu-ragu dalam perjalanannya[25].
        Ali  Abul  Al-Bashal di dalam bukunya yang berjudul Rukhsah dalam Shalat mengatakan bahwa, jika seorang musafir bermakmum kepada orang yang mukim, dia wajib mengikuti imam dalam menyempurnakan shalat. Dia tidak boleh mengqashar.Tetapi, jika seorang musafr megimami orang-orang mukim maka dia boleh mengqashar. Setelah salam pada rakaat kedua, disunahkan baginya untuk segera memberitahu makmum supaya mereka menyempurnakan shalat masing-masing dan bahwa dia adalah seorang musafir.[26]
f.       Berniat ketika takbiratul ihram.
     Jika ingin melakukan sholat qasar maka wajib berniat ketika takbiratul ihram, menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hambali.Dikarenakan asal hukum ini adalah sempurna, atau mutlaq.
g.      Tidak memiliki niat untuk bermukim.
        Bagi musafir yang ingin meng-qasar sholat hendaknya memposisikan dirinya sebagai musafir dari awal perjalanan sampai akhir.Juga tidak bertempat di suatu tempat melebihi 3 hari[27].

3.      Tata Cara Melakukan Sholat Qasar
a.       Berniat ketika takbiratul ihram
            Contoh niat sholat qashar:
أُصَلِّى فَرْضَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا لله تَعَالَى
            Artinya: ‘saya niat sholat ashar dua rokaat dengan qasar karena Allah ta’ala.’

b.      Mengerjakan sholat yang di-qasar dengan dua rokaat.
                        Sesuai dengan niat maka apabila telah berniat mengqasar, maka harus mengerjakan sholat yang semula empat rokaat menjadi dua rokaat.

E.     Shalat dalam Keadaan Sakit dan dalam Perjalanan
1.      Shalat dalam Keadaan Sakit
Allah memberikan keringan bagi orang yang sakit. Apabila orang tersebut tidak mampu menunaikan sholat dalam keadaan berdiri, maka hendaknya ia melakukan sholat dengan duduk. Apabila tidak mampu dalam keadaan duduk, hendaknya dia melakukan dalam keadaan terlentang atau rebahan. Apabila masih tidak mampu maka cukup dengan isyarat, misal: berkedip. Apabila masih tidak mampu, maka cukup di dalam hati.
Allah juga memberikan keringan bagi orang yang sakit berupa diperbolehkann menjama’ sholat.Dengan beberapa syarat.Misalkan, seseorang memiliki penyakit musiman yang kebetulan memiliki kebiasaan kambuh di waktu sholat tertentu atau seseorang memiliki penyakit gila, atau epilespi, yang menjadikannya sukar untuk melakukan kewajiban sholat tersebut. Maka diperbolehkan menjama’ sholat karena dikhawatirkan akan menyulitkan penderitanya, atau apabila sholat itu tidak dijama’ maka akan menjadikan penyakit sang penderitanya tersebut semakin parah, atau dikhawatirkan lagi sang penderita tidak melakukan sholat dikarenakan penyakitnya kambuh[28].

2.      Shalat di Kendaraan
     Islam telah menetapkan aturan-aturan khusus yang mudah untuk pelaksanaan shalat fardhu di atas kendaraan. Aturan-aturan tersebut adalah:

a.     Shalat di atas kendaraan sama dengan shalat ditempat lain, di mana pun. Seorang muslim tetap. Seorang muslim tetap harus memenuhi semua rukun dan syarat shalat.[29]
     Di dalam buku yang berjudul Fiqh Shalat, menerangkan bahwa Nabi pernah melakukan shalat Sunnah di atas penggung kendaraannya dan beliau memberi isyarat dengan mengangguakn kepala ketika ruku’ dan sujudnya.Anggukan kepala saat sujud lebih rendah daripada ruku’.Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari hadist yang diriwayatkan oleh Anas bahwa beliau bersama dengan untanya menghadap kiblat saat takbiratul ihram kemudian shalat menghadao ke manapun sesuai dengan menghadapnya unta yang beliau kendarai.[30]
b.    Jika orang yang shalat di atas kendaraan tidak mampu memenuhi syarat dan rukunnya, kecuali jika dia harus turun dari kendaraan tersebut maka dia wajib turun dari kendaraan. Namun demikian, Islam memberikan rukhsah bolehnya shalat di atas binatang tunggangan dan kendaraan dengan adanya uzur berat yang menuntut pemeberian rukhsah tersebut.
Berikut ini penjelasan uzur-uzur tersebut berikut sikap para ulama’ menegenainya
i)                    Ketakutan yang besar ketika perang berkecamuk
      Para ulama sepakat bahwa orang yang shalat dalam kondisi seperti ini diperbolehkan untuk mendirikan shalat dengan tata cara yang dia mampu. Misalnya dengan berjalan atau berkendara, bergerak atau berhenti, dan menghadap kiblat atau berpaling darinya.Dia boleh rukuk dan sujud dengan berisyarat, yaitu menggerakan kepalanya.Dan jika demikian, hendaklah dia menjadikan isyarat untuk sujud lebih rendah daripada isyaratnya untuk rukuk.
ii)                  Hujan lebat dan tanah berlumpur
      Jika tanah berlumpur atau hujan lebat sehingga seseorang tidak mungkin turun dan bersujud di atas tanah kecuali badan dan pakaiannya akan belepotan lumpur dan basah kuyup, maka dia boleh shalat di atas binatang tunggangannya atau yang semisalnya. Hendaklah dia berisyarat untuk rukuk dan sujudnya.Dia tidak wajib turun dan bersujud di atas tanah.Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu para ulama madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali.
iii)                Sakit dan uzur lain
     Jumhur ulama, yakni para ulama madzab Hnafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali menyatakan bahwa orang sakit yang tidk bisa turun  dari kendaraannya kecuali dengan kesulitan yang berlebih, atau jika dia turun maka dia tidak bisa menaiki lagi, dan uzur-uzur lain yang semisal dengan itu maka diperbolehkan mendirikan shalat di atas kendaraan.
     Di dalam kitab Nihayah Al-Muhtaj disebutkan bahwa jiak dengan turun dari kendaraan, seseorang mengkhawatirkan dirinya atau hartanya meskipun sedikit, atau khawatir tertinggal rombongan dan takut sendirian meskipun hal itu tidak mendatangakan bahaya, atau khwatir terjadinya kecelakaan lantaran posisinya di tempat yan terjal , atau binatang tungganganya sakit, ata dia membutuhkan orang lain untuk menaikinya lagi ke atas binatang tunggangan tersebut jika dia harus turun, padahal dalam perjalanan itu dia sendiriran dan da tidak mendapati orang lain yang dapat dimintai tolong maka dalam semua keadaan tersebut dia boleh mendirikan shalat fardhu di atas binatang tunggangan yang yang tengah berjalan kea rah tujuannya. Dia boleh berisyarat.Tetapi, dia harus mengulang shalatnya itu sesampainya di tempat tujuan.
     An-Nawawi menulis, para sahabat kita menyatakan, jika waktu shalat fardhu telah tiba, sementara mereka sedang berjalan dan khawatir akan tertinggal rombongan jika harus turun untuk shalat di atas tanah dengan menghadap kiblat, atau mengkhawatirkan dirirnya atau hartanya, sedangkan dia tidak boleh meninggalkan shalat dan mendirikan di luar waktunya maka dia wajib mendirikannya di atas kendaraan demi kehormatan waktu shalat. Tetapi, dia wajib mengulangnya (sesampainya di tempat tujuan).
     Para ulama mazhab Syafi’I menyatakan bahwa tidak ada ruskhsah bagi orang yang berkendaraan untuk mendirikan shalat fardhu di atas kendaraan, kecuali jika dia khawatir kehabisan waktu.Sebab, meninggalakan shalat dan mendirikannya di luar waktunya tidak diperbolehkan.Tetapi, hendaklah mendirikan di atas kendaraan demi kehormatan waktu shalat dan wajib diulang, ini karena uzur yang menyebabkan hal itu jarang terjadi.[31]














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
                        Sholat jama’ yakni menggabungkan dua sholat dalam satu waktu.Ada dua jenis jama’ yakni jama’ taqdim dan ta’khir.Jama’ taqdim yakni menggabung dua sholat di waktu yang awal.sedang jama’ ta’khir adalah menggabungkan sholat di waktu sholat yang akhir.
                        Sholat qasar yakni meringkas jumlah rokaat pada sholat.Sholat yang boleh diqasar adalah sholat yang jumlah rokaatnya empat rokaat menjadi dua rokaat.Dengan syarat-syarat tertentu.
                        Menjama’ sholat juga diperbolehkan menurut madzhab syafi’i bagi orang yang sakit parah. Juga apabila terjadi hujan lebat, turu salju, dan musim dingin. Allah memberikan kemudahan pula bagi orang yang berada di kendaraan untuk mennaikan sholat di atas kendaraan.












DAFTAR PUSTAKA

Abu Al Bashal,Ali. 2009.Ruksah Dalam Shalat. Solo: PT Aqwam Media Profetika
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Syaikh. 2010. Panduan Lengkap Ibadah Seorang Musli., Jakarta : Pustaka Ibnu ‘Umar.
Abul Husain Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Imam. 1998. Shahih Muslim. Arab:International Ideas Home For Publishing and Distribution.
Ahmad At-Thahir, Hamid. 2008.Buku Pintar Shalat. Solo: Aqwam.
Arifin Djamaris, Zainal. 1997. Menyempurnakan Shalat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
as-Sayyid Sabiq, Syaikh. 2006. Ensiklopedia Fiqih Islam Fiqih Sunnah I. Yogyakarta: Mardhiyah Press,
Az-Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 2. Kuala Lumpur: Darul Fikir.
Dibul Bagha, Mustafa. 2016. At-Tadzhib. Malang : UIN Press.
Qoyyim Al-Jauziyah, Ibnu. 2010.Fikih Shalat.Yogyakarta: Media Grafika Utama.
Zainuddin Abdul Aziz, Syekh. 2006. Shohih Muslim, Haromain: Al-Haromain Jaya Indonesia.

Similarity hanya 4%.




[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 2, Darul Fikir, Kuala Lumpur, 2010, hlm. 450.
[2] Hamid Ahmad At-Thahir,Buku Pintar Shalat, (Solo: Aqwam. 2008), hlm. 167.
[3] Wahbah Az-Zuhaili, halaman 450.
[4]Ibid.,halaman 453.
[5]Ibid., halaman 455.
[6]Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Fikih Shalat (Yogyakarta: Media Grafika Utama. 2010), hal.266.
[7] Ali Abu Al Bashal, Ruksah Dalam Shalat (Solo: PT Aqwam Media Profetika. 2009), hlm. 206.
[8]Ibid.,hlm. 149
[9] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Panduan Lengkap Ibadah Seorang Muslim, Pustaka Ibnu ‘Umar, Jakarta, 2010, halaman 136.
[10] Mustafa Dibul Bagha, At-Tadzhib, UIN Press, Malang, 2016,  halaman 68.
[11] Wahbah Az-Zuhaili, halaman 423.
[12]Imam Abul Husain Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim,International Ideas Home For Publishing and Distribution, Arab, 1998, halaman 279.
[13] Wahab Az-Zuhaili, halaman 424.
[14]Imam Abul Husain Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi,halaman 272.
[15] Wahab Az-Zuhaili, halaman 424.
[16]Ibid.,halaman 425.
[17]Ibid., hlm.208.
[18] Zainal Arifin Djamaris. Menyempurnakan Shalat. ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1997), hlm. 235.
[19]Syaikh as-Sayyid Sabiq.Ensiklopedia Fiqih Islam Fiqih Sunnah I. (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2006), hlm. 671.
[20]Syaikh as-Sayyid Sabiq, hlm. 672-673.
[21] Mustafa Dibul Bagha, halaman 69.
[22]Ibid.... halaman 69
[23] Wahbah Az-Zuhaili, halaman 433.
[24]Ibid.... halaman 436
[25]Ibid.,halaman 436.
[26] Ali Abu Al Bashal, hlm. 166.
[27]Wahbah Az-Zuhaili ,halaman 436.
[28] Syekh Zainuddin Abdul Aziz,Shohih Muslim, (Haromain: Al-Haromain Jaya Indonesia) 2006, halaman 44
[29] Ali Abu Al Bashal, hlm. 109-110.
[30] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah.,hlm.266.
[31] Ali Abu Al Bashal, hlm. 109-110.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar