Selasa, 13 Maret 2018

Ilmu Sosial Prefetik (PIPS D Semester Genap 2017/2018)




Integrasi Ilmu Sosial dan Al-Qur’an
(Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo)
Ita Hijriyah, Alfiatus Sholihah, Muhamad Fajar Riyandanu
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas D Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
The article discuss about the position of social knowladge and its integration with Qur’an refering to Kuntowijoyo’s view (1943-2005) on prophetic social knowledge. It intentionally creates contene of value from aspiration of change that has been craved by society. So a change that is based on humanitarian, emansipation, liberation, and transdens. Values in prophetic social knowlegde adapts a theory in Islam (Qur’an), based on scientific and Allah’s oneness. Beside discussing about Kuntowijoyo’s biography, he is also a conseptor of prophetic sosial knowledge inspired by Qs. Al- Imran : 110 that later explain the source of knowledge are not only rationale and empiric, but we also from divine relation.

Abstrak
Makalah ini membahas tentang posisi ilmu sosial dan integrasinya dengan Al-Qur’an yang mengacu pada pemikiran Kuntowijoyo (1943-2005) mengenai Ilmu Sosial Profetik. Ilmu Sosial Profetik secara sengaja membuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat, berarti perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transdensi. Nilai-nilai dalam Ilmu Sosial Profetik mengadopsi suatu ajaran yang berasal dari agama Islam (Al-Qur’an), yang didasarkan pada keilmuan dan tauhid kepada Allah SWT. Selain membahas posisi Ilmu sosial dan Integrasinya dengan Al-Qur’an, makalah ini juga membahas tentang biografi dari Kuntowijoyo. Beliau adalah pencetus dari Ilmu Sosial Profetik yang terinspirasi dari Qs. Al-Imran ayat 110 yang  nantinya menjelaskan bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiris, tetapi juga bersumber dari wahyu.

Keywords : Sosial Knowledge, Prophetic, Integration


A.       Pendahuluan
Relasi Ilmu pengetahuan dan Agama memang menjadi hal menarik untuk kajian-kajian diskusi. Ilmu sosial selama ini telah terlanjur dikembangkan dengan suatu asumsi bahwa ilmu dan agama adalah dua hal yang terpisah yang sangat kuat mempengaruhi perkembangan ilmu sosial.

Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.

Membahas relasi antara Al Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat : adakah Al qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui sumbangan yang di berikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkannya, tetapi juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh (positif atau negative) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.

Ilmu sosial seyogyanya menjadi kekuatan intelektual dan moral. Karenanya, ilmu sosial seharusnya tidak berhenti hanya menjelaskan realitas atau fenomena sosial apa adanya, namun lebih dari itu, melakukan tugas transformasi.

Ilmu sosial profetik ditampilkan sebagai ilmu sosial yang tidak hanya memberikan penjelasan tentang realitas sosial dan mentransformasikannya, tapi sekaligus memberi petunjuk kearah mana transformasi itu dilakukan dan untuk tujuan apa. Ilmu sosial profetik tidak sekedar merubah demi perubahan sendiri tapi merubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Kuntowijoyo kemudian merumuskan tiga pilar ilmu sosial profetik yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi dari misi historis Islam bagaimana terkandung dalam al-Quran.


B.       Posisi Ilmu Sosial dan Al-Qur’an
Al-Qur’an memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan di berbagai segi kehidupan, baik yang berkaitan dengan masalah kejiwaan, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik. Untuk menjawab setiap problem yang ada, Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar umum yang dapat dijadikan landasan oleh manusia, yang relavan di segala zaman. Dengan demikian, Al-Qur’an akan selalu aktual di setiap waktu dan tempat.[1]

Masa modern menghendaki adanya penyatuan berbagai macam keilmuan yang mempunyai dimensi yang berbeda. Ilmu agama yang merupakan ilmu-ilmu berdimensi ketuhanan diharapkan dapat berintegrasi dengan ilmu eksakta maupun sosial-humaniora yang berdimensi kemanusiaan.[2]

Ilmu Sosial menjadi hal yang krusial dalam masyarakat, karena ilmu sosial lah yang paling dekat dengan kehidupan manusia. komunikasi, sosialisasi, interaksi, semua tidak terlepas dari peran ilmu sosial. Dalam perkembangannya ilmu sosial dan ilmu agama berada di ruang lingkup yang berbeda, ilmu sosial membahas tentang sesuatu yang nyata, terlihat, empiris, sedangkan ilmu agama lebih mengarah ke hal-hal yang berbau abstrak.

Ilmu sosial terdiri atas dua suku kata, yaitu ilmu dan sosial. Ilmu dalam bahasa inggris diredaksikan dengan science yang berasal dari bahasa Latin scientia yangmempunyai arti pengetahuan. Sementara itu sosial yang dalam bahasa Inggris diartikan dengan social memiliki banyak arti. Soekanto menunturkan bahwa istilah sosial dalam ilmu sosial sendiri merujuk pada objeknya, yaitu masyarakat. Dengan demikian dari pemaknaan secara tersebut, bisa disederhanakan bahwa ilmu sosial merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang masyarakat. Karena ilmu sosial memiliki banyak arti, bisa diartikan ilmu sosial adalah ilmu yang tidak mengenal kebenaran pasti. Ilmu-ilmu sosial tidak pernah mengenal kebenaran tunggal.

Menurut Jalaluddin dalam bukunya yang berjudul Teologi Pendidikan, Upaya manusia untuk mengembangkan diri dan membentuk peradaban adalah dengan cara mengembangkan diri dan membentuk peradabannya, yang kemudian digunakan untuk mengembangkan nalar untuk berkreasi. Pengembangan nalar dapat berupa ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian dalam pandangan pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi betapapun canggihnya, secara hakiki harus terikat pada nilai-nilai tertentu. Tanpa ikatan nilai, Ilmu Pengetahuan dan teknologi akan berdampak negatif bagi kehidupan manusia dan lingkungannya. Agama menyediakan tolak ukur kebenaran dalam ilmu (benar, salah), bagaimana ilmu itu diproduksi (baik, buruk) dan tujuan-tujuan ilmu (baik,buruk).

Ayat-ayat Al-Qur'an merupakan petunjuk manusia, tidak saja untuk kehidupan akhirat namun juga untuk kebaikan kehidupan di dunia. Ilmu pengetahuan  adalah salah satu sarana manusia untuk menuju kehidupan di dunia lebih baik. Oleh sebab itu, dalam Al-qur'an pun tak luput memberikan petunjuk tentang ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia.

Guna mengansitipasi permasalahan yang akan timbul dari kalangan agamawan dan peneliti, Kuntowijoyo mengusulkan Ilmu Intergraslistik, adalah ilmu yang menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu tuhan dan pemikiran manusia (ilmu-ilmu integralistik) tidak akan mengucilkan tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia. Diharapkan bahwa integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.[3]

C.       Integrasi Ilmu Sosial dan Al-Qur’an
Secara konseptual, pemahaman mengenai pola integrasi keilmuan mengacu kepada sebuah pandangan bahwa Ilmu pengetahuan yang diperoleh dari sumber manapun, pada hakikatnya memiliki kesamaan dalam kerangka menemukan sebuah kebenaran dalam kapasitas dan porsi yang berbeda. Dalam perkembangannya, pandangan demikian semakin memperoleh respon yang positif sebagai sebuah pendekatan yang mampu menjadi jalan tengah dalam pusaran konflik antara al-quran sebagai sumber ajaran agama yang bersifat dogmatik dengan sains yang bersifat logik dan empirik. Sebagai konsekuensinya dalam pandangan ini bahwa antara alquran, sains dan ilmu sosial tidak harus saling mendeskriditkan satu sama lainnya.

Agamawan dengan kitab sucinya meyakini sebagai produk yang diturunkan oleh Allah adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat, sementara di sisi lain, dalam sains juga berlaku hukum-hukum alam yang dapat dibuktikan kebenarannya. Pada persoalan ini sains telah menolak klaim kebenaran agama yang menyatakan bahwa Adam sebagai manusia pertama. Di sisi lain agama juga kerap melakukan penolakan terhadap kebenaran ilmu pengetahuan.

Meskipun di awal antara ilmu pengetahuan dan agama sempat mengalami persinggungan, namun dalam perkembangannya, antara ilmu pengetahuan dan agama terus berdialog bahkan berdampingan satu sama lain dalam membongkar rahasia Tuhan di balik teks agama. Sains tidak lagi dipandang sebagai musuh yang berpotensi mengganggu eksistensi agama, begitupun sebaliknya, agama tidak lagi dipandang sebagai penghambat kerja nalar sains.[4]

sejalan dengan Kuntowijoyo yang menyatakan bahwa agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya, menganggap pikiran manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan. Jadi, sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu yang berasal dari Tuhan dan yang berasal dari manusia.[5]

penemuan sains, memungkinkan manusia mempunyai instrument penelitian sains yang memiliki tingkat akurasi tinggi. Pada saat itulah akhirnya kita mampu memahami maksud dari firman Tuhan. Hal ini seperti diberitakan dalam sebuah ayat, “untuk tiap-tiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui”. (QS. Al-An’am : 67)[6]

Sebagai contoh integrasi ilmu sosial dan Al-Qur’an dapat dilihat dari kehidupan masyarakat indonesia yang sangat toleransi dengan banyaknya perbedaan Suku, Agama, maupun Ras. Bersikap adil dan berbuat baik antar sesama akan menciptakan kedamaian dan keharmonisan tanpa adanya permusuhan dan sikap saling mencurigai. Sesungguhnya Allah SWT mencintai perbuatan yang demikian. Seperti yang tertulis di Qs. Al-Mumtahanah : 8

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengursir kamu dari kampung halamanmu. Sessungguhnya Allah mencintai ornag-orang yang berlaku adil”.

D.       Biografi Kuntowijoyo 
Sebagaisalahseorangcendekiawanmuslim yang khas, Kuntowijoyoatau yang akrabdisapadenganKunto, beliaudikenalsebagaisejarawan, sastrawandanbudayawan di Indonesia. Kuntowijoyoadalahputrapasangandari H. Abdul Wahid SastroatmojodanHj. Warastibeliaudilahirkan di Sorobayan, Sanden, Bantul, Yogyakarta padatanggal 18 September 1943, Meskilahir di Yogyasemasahidupnyalebihbanyakdilewati di Klatendan Solo[7].Anakkeduadarisembilanbersaudarainidibesarkan di lingkunganMuhammadiyah, ayahnya yang Muhammadiyahjugasukamendalangbeliautergolongsebagaianakpriyayi.KehidupanKuntowioyodengankeluarganyaberpolahidupsederhana.Kuntowijoyodiasuhdalamkedalamanrelijiusdansenibeliautidakhanyamenuliskaryasejarah, akantetapijugamenulisbagaimanaseharusnyasejarahditulis.

     Minat belajar sejarah Kuntowijoyo sudah terlihat sejak ia masih kecil, ketika ia masih belajar di madrasah ibtidaiyah, Kunto kecil sangat kagum kepada guru mengajinya, Mustajab, yang pandai menerangkan peristiwa sejarah Islam secara dramatik. Dia merasa seolah-olah ikut mengalami peristiwa yang dituturkan sang Ustad tersebut. Sejak saat itu, Kunto pun tertarik dengan sejarah. Di bangku kuliah, Kunto akrab dengan dunia seni dan teater. Dia pernah menjabat sebagai sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua dari Studi Grup Mantika hingga tahun 1971, sehingga ia berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam dan Salim Said. [8]Kuntowijoyo mengenalkan baik metode maupun metodologi sejarah sesuai dengan perkembangan ilmu sejarah.

Bagi Kuntowijoyo, corak perkembangan intelektualnya banyak dipengaruhi oleh Prof.Dr.Sartono Kartodirjo. Seorang dosen sekaligus sejarawan kenamaan yang juga menekuni bidang sejarah sosial, yang menurut pengakuan Kunto selalu menganjurkan untuk tidak percaya pada reduksionisme, menganjurkan plurikausalitas dan pendekatan multidimensional dalam sejarah. Beliau menyelesaikan sarjananya pada tahun 1969 di UGM Fakultas Sastra Jurusan Sejarah.  Gelar Master-nya diperoleh dari University of Connecticut, USA. Gelar Ph.D. dalam study sejarah dari University of Columbia pada tahun 1980 dengan disertasi berjudul “Social Change in an Agrarian Society Madura 1850-1940”.

Kendati menjalani hidup dalam keadaan sakit, semenjak mengalami serangan virus meningo enchepalitis pada 6 Januari 1992, dia terus berkarya sampai detik-detik akhir hayatnya. Prof Dr Kuntowijoyo meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare dan ginjal. Kuntowijoyo merupakan sosok yang produktif dan begitu konsisten dalam melahirkan karya-karya berbobot. Salah satu karya monomentalnya yaitu Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi (1991) yang menjadi magnum opusnya. Buku-buku Dinamika Sejarah Umat IslamIndonesia (1985); Budaya dan Masyarakat (1987); Identitas Politik Umat Islam (1987); Muslim Tanpa Masjid (2001); dan Selamat Tinggal Mitos, SelamatDatang Realitas (2002).[9]

E.       Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo
Kuntowijoyo pernah mengemukakan bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah ilmu-ilmu sosial Profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi (perubahan) itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan proferik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat. Bagi kita itu berarti perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendesi, suatu cita-cita profetik yang divariasikan dengan misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam QS Al-Imran [3], ayat 110.

“Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah”.

Tiga muatan nilai inilah yang mengkarakterisasikan ilmu sosial Profetik. Dengan kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi (hal-hal rohani), ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa depan.[10]

Sehingga dapat dipahami bahwa ilmu sosial profetik dalam pemikiran Kuntowijoyo ialah suatu disiplin ilmu sosial yang menjadikan humanisme, liberasi, dan transedental sebagai landasannya, yang merupakan alternative di tengah-tengah perkembangan berbagai ilmu pengetahuan yang cenderung bersifat positivis. Selain itu, nilai-nilai yang bersifat rohani dalam ilmu sosial profetik ini mengadopsi ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Sehingga menjadi suatu pengetahuan yang memiliki nilai-nilai keilahian (Iman dan Tauhid).

Gagasan ini sebenarnya diilhami oleh Muhammad Iqbal,  khususnya ketika Iqbal berbicara tentang peristiwa mi’raj Nabi Muhammad Saw. Seandainya Nabi itu seorang mistikus atau sufi, kata Iqbal, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi karena telah merasa tenteram bertemu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Nabi kembali ke bumi untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau memulai suatu transformasi sosial budaya berdasarkan cita-cita profetik.[11]

F.        Unsur-unsur Ilmu Sosial Profetik
Menurut Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Islam Sebagai Ilmu, Pilar dari Ilmu Sosial Profetik ada tiga, yaitu amar Ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan tu’minuna billah (transendensi).

·         Humanisasi (Ma’ruf). Diartikan sebagai menyuruh kebajikan. Dapat dilakukan penelitian tentang berbagai gejala sosial dan pemecahannya, yaitu dehumanisasi (objektivitas tekonologi, ekonomis, budaya, dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif, kriminalitas), dan loneliness (privatisasi, individualisasi).

Dehumanisasi terjadi di antaranya karena dipakainya tekonologi (fisik dan metode) dalam masyarakat.[12] Jacquel Ellul menulis buku The Tecnological Society, menjelaskan betapa jauh pengaruh teknologi itu di dalam kehidupan. Penelitian di suatu pabrik yang menggunakan mesin seperti pabrik tekstil, konveksi, rokok akan menjawab masalah objektivitas (manusia hanya jadi objek) dan otomatisme (manusia jadi otomaton, bergerak secara otomatis tanpa kedasaran). Masalah yang akan terjadi selanjutnya adalah terjadinya Alienasi di masyarakat. Pekerja/buruh akan teralienasi terhadap sesama pekerja, teralienasi terhadap identitasnya, pekerjaannya, bahkan keluarganya.

Masyarakat teknologi juga masyarakat ekonomis, karena itu ekonomi menentukan stratafikasi, sistem pengetahuan, dan lingkungan. Kedudukan ekonomi seorang menjadi patokan ketika orang mencoba untuk menggolongkan masyarakat. Dalam budaya, masyarakat teknologis juga menyebabkan transformasi, yang dimana transformsi bisa menyebabkan kerusuhan Kerusuhan yang mengandung Suku, Agama, dan Ras (SARA) bisa jadi karena adanya manusia massa itu. [13]

Dampak tekonologi juga berimbas ke negara, baik positif maupun negatif. Dampak positif ialah apabila negara mengalami kemajuan teknologi berarti demokrasi, HAM, dan birokrasi yang lancar. Negatif, bila teknologi menyebabkan otoritarianisme, neofeodalisme, dan militerisme. Kemiskinan/kekumuhan menjadi salah satu faktor besar mengapa kriminalitas terjadi, maka dari itu perhatian kepada masalah kriminalitas dan kontrolnya sekarang harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran (emansipasi) supaya perilaku kriminal itu tidak terjadi, dengan cara pendidikan, melakukan kontrol, dan pencegahan.

Loneliness, seperti yang disebut oleh David Riesman dalam The Lonely Crowd untuk menggambarkan masyarakat kota karena individualisasi atau privatisasi. Nasib semacam ini tentu dialami oleh kelas menengah ke atas, orang kota sungguhan. Penduduk kota mesikipun bergerombol, sebenernya mereka hidup sendiri-sendiri. Manusia di zaman industri mudah sekali terjatuh. [14]

Tujuan humanisme adalah memanusiakan manusia, merupakan terjemahan kreatif dari Amar Ma’ruf (Menyuruh Kebajikan). Dalam Islam, humanisme dipraktikan oleh Nabi Muhammad saw ketika menghilangkan perbudakan secara berangsur-angur hingga saat ini serta mengakui dan mendukung manusia yang merdeka. Hal ini juga pernah dilakukan oleh Karl Max, seorang filosof asal jerman yang berusaha untuk menghapuskan eksploitasi berlebihan pada kaum pekerja. Marx melihat bahwa fenomena industrialisasi yang mengiringi terjadinya Revolusi Industri telah melahirkan masyarakat kelas ( Proletar, buruh). Meskipun jumlah kelas buruh proletar ini demikian massif, secara ekonomi maupun politis mereka berada di bawah kekuasaan golongan burjois yang kini telah menguasai modal atau kapital. Hal ini menyebabkan struktur masyarakat kapitalistik terjadi pemiskinan massal dengan tenaga buruh hanya diperas dan diperas tanpa memerhatikan kesejahteraan sosial.

Berjalannya waktu, Marx berupaya untuk melakukan suatu gerakan revolusi sosialis. Ketika daya beli masyarakat hancur, saat itu juga masyarakat kapitalis pun runtuh. Nah ketika itulah kelas proletar akan bangkit dan merebut alat-alat produksi yang akan digunakan untuk melakukan perombakan ekonomi secara besar-besaran, suatu proses yang akan menyebabkan terjadinya revolusi sosialis. Namun , alih-alih melakukan revolusi sosialis, mereka ternyata hanya menuntut perbaikan upah, perbaikan jaminan sosial, asuransi hari tua, dan pemotongan jam kerja.

Manusia dalam zaman industri mudah sekali terjatuh, kehilangan kemanusiaan. Dalam Qs At-tin (95): 5-6 dikatakan bahwa orang dapat jatuh ke tempat paling rendah. Kemudian ayat itu mengecualikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Kiranya ayat ini merujuk pada humanisasi, yaitu iman dan amal saleh.[15]

Surat An-Nahl ayat 90, menjelaskan bahwa kehidupan manusia haruslah adil. Seperti yang diupayakan dan diperjuangkan oleh Nabi Muhammad saw dan Karl Marx.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi kepada kamu kerabat, dan Allah  melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Individu yang telahterinternalisasi oleh nilai ini akan menghilangkan ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia, serta memiliki karakter: (1) menjaga persaudaraan antar sesama meski berbeda agama, status sosial-ekonomi, dan tradisi, (2) memandang seseorang secara total meliputi aspek fisik dan psikisnya atau raga dan jiwanya, (3) menghindarkan berbagai bentuk kekerasan terhadap siapa pun dan dimana pun termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan (4) membuang jauh sifat kebencian. Setiap orang memiliki keterbatasan sehingga dimungkinkan melakukan kesalahan atau ketidaksempurnaan. Menerima kekurangan orang lain akan menghilangkan kebencian yang terkadang mendera jiwa sesorang. [16]

·         Liberasi.Terjemahan dari Nahiy Munkar (Mencegah Kemungkaran), Sasaran liberasi ada empat, yaitu sistem pengetahuan & sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik. Liberasi sistem pengetahuan ialah usaha-usaha untuk membebaskan orang dari sistem pengetahuan materialistis, dari domonasi struktur, misalnya seks.Pembebasan dari dominasi seks ini bertentangan dengan gerakan feminisme Barat yang serba anti-pria. Islam dalam hal ini mendukung sebuah moderasi, yaitu sejajaran antara pria dan wanita, dengan perspektif gender. Pembebasan dari belenggu sistem sosial amat penting, karena pada umunya umat sedang keluar dari sistem sosial agraris ke sistem sosial industrial. Itulah the great transformastion bagi umat.[17]

Pembebasan dari belenggu sistem ekonomi perlu mendapat perhatian, meskipun masalah ini kadang-kadang sangat sensitif karena disangkutkan dengan pembangunan nasional, stabilitas, dan keamanan. Adalah kepentingan nasional kita untuk melihat beberapa kesenjangan dan ketidakadilan dengan kepala dingin. Kerusuhan-kerusuhan akhir ini (Sampit, Maluku, Poso), kebanyakan pasti disebabkan karena kesenjangan ekonomi.[18]

Islam merupakan agama yang secara serius dan kongkret berupaya untuk menghilangkan ketidak adilan itu, misalnya dengan mekanisme zakat. Zakat bukanlah merupakan kebaiklan hati orang kaya kepada orang miskin. Zakat lebih merupakan kewajiban kelas kaya yang diberi karunia kepada lebih oleh Tuhan untuk menegakkan keadilan sosial.[19] Dalam konsep zakat ini, tampak sekali ada pemihakan kelas kepada golongan-golongan yang lemah dan miskin. Rupanya memang pemilihan kelas diakui secara teologis dalam pengertian bahwa itu didasarkan pada prinsip keadilan. Secara vokal Al-Qur’an menyerukan agar kekayaan, kekuasaan dan kehormatan tidak boleh hanya beredar di kalangan kelas kaya.

Dalam kesenjangan ekonomi setidaknya ada dua ayat Al-Qur’an yang dengan jelas menyebutkannya, yaitu Qs: Al- Hasyr (59): 7

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”

Hal yang sama juga diserukan dalam Qs: Al-Baqarah (2): 188
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.

Ini berarti bahwa Islam mengencam konsentrasi dan monopoli. Islam menghendaki adanya distribusi yang adil menyangkut kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan.

 Sebuah gerakan liberasi yang didasarkan akal sehat justru penting untuk sistem ekonomi nasional kita.[20]Liberasi Politik berari membebaskan sistem dari otoritarianisme, diktaror, dan neofeodalisme. Demokrasi, HAM, dan masyarakat madani adalah juga tujuan Islam.[21]

Tujuan Liberasi adalah pembebasan dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknokrasi, dan mereka yang tergusur oleh ekonomi raksaksa.

Individu yang terinternalisasi nilai ini akan memiliki karakter di antaranya: (1) memihak kepada kepentingan rakyat, tidak membebani rakyat dengan prosedur yang rumit atau biaya tinggi, (2) menegakkan keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan, dengan membuat program dan sistem yang mampu menjaga diri dari lingkungan sosialnya untuk mendukung dan berpartisipasi, dan (3) memberantas kebodohan dan keterbelakangan sosial-ekonomi melalui pendidikan yang membebaskan dan pengembangan ekonomi kerakyatan.  [22]

·         Transedensi. Bagi umat islam sendiri tentu transendensi berarti beriman kepada Allah. Kedua unsur Ilmu Sosial profetik (humanisasi, liberasi) harus mempunyai rujukan yang Islam yang jelas. Menurut Fromm siapa yang tidak menerima otoritas Tuhan akan mengikuti: (1) relativisme penuh, di mana nilai dan norma sepenuhnya adalah urusan pribadi, (2) nilai tergantung pada masyarakat, sehingga nilai dari golongan yang dominan akan menguasai, dan (3) nilai terkandung pada kondisi biologis, sehingga Darwinisme sosial, egoisme, kompetisi, dan agresitivitas adalah nilai-nilai kebajikan. Karana itu, sudah selayaknya kalau umat Islam meletakkan Allah sebagai pemegang otoritas, Tuhan yang Maha Objektif. [23]

Sebuah etika harus tahu batas,Ilmu tanpa bimbingan wahyu hanya akan menyebabkan kerusakan. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak bisa terlepas dari wahyu. Islam bukanlah Komunisme yang mempunyai satu ideologi resmi dan melarang yang tidak resmi. Misalnya, mereka melarang kritik sastra Formalisme Rusia hanya karena kritik sastra itu tidak sama dengan ideologi Realisme Sosialis. Demikian yang terjadi di Indonesia dengan PKI dan Lekranya. Ilmu Sosial Profetik tidak boleh dipaksakan, ilmu harus eklektik, bersifat terbuka, menimba dari banyak sumber, sehingga ada cross fertilization. Meskipun nanti sudah banyak penelitian, sudah ada corpus Ilmu Sosial Profetik, sifat keterbukaan itu perlu dipertahankan. Hal yang lebih penting ialah bagaimana Ilmu Sosial Profetik dapat menjadi pelayan umat, menjadi bagian dari inteligensi kolektif, yang mampu mengarahkan umat ke arah evolusi sosial secara rasional.

Tujuan transendensi terjemahan dari tu’ minuna billah (Beriman Kepada Allah) adalah menambahkan dimensi transendental (hal-hal yang bersifat rohani) dalam kebudayaan.[24]

G.    Penutup
Al- Qur’an merupakan sumber ilmu utama yang dapat dijadikan pedoman dan acuan untuk kajian ilmu-ilmu lainnya. Penemuan-penemuan yang ditemukan oleh para ilmuan, terutama ilmuan barat sering menyalahi kodrat/alam itu sendiri. Penemuan seperti kloning, kawin silang jika diteruskan akan mengakibatkan  ketidakseimbangan alam yang nantinya akan berpengaruh ke kehidupan manusia serta aktifitas sosialnya.

Kuntowijoyo ingin mengemukakan bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah ilmu-ilmu sosial Profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi (perubahan) itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan proferik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat    kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat. Bagi kita itu berarti perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendesi, suatu cita-cita profetik yang divariasikan dengan misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam QS Al-Imran [3], ayat 110.

Istilah profetik mempunyai makna kenabian. Nilai- nilai profetik perspektif Kuntowijoyo terdiri dari nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi berarti memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan,ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia, dengan melawan tiga hal yaitu dehumanisasi (objektivasi teknologis, ekonomis, budaya, ataunegara), agresivitas (agresivitas kolektif, dan kriminalitas), loneliness(privatisasi, individuasi).

Liberasi mempunyai makna membebaskan, yang bersignifikansi sosial dengan tujuan membebaskan manusia dari kekejaman pemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas, dan hegemoni kesadaran palsu.

Transendensi mempunyai makna teologis, yakni ketuhanan, maksudnya bermakna beriman kepada Allah SWT. Transendensi bertujuan menambahkan dimensi transendental dengan cara membersihkan diri dari arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Singkatnya, menghendaki manusiauntuk mengakui otoritas mutlak Allah SWT.

































DAFTAR PUSTAKA

Afwadzi,Benny.Membangun Integrasi Ilmu-ilmu Sosial dan Hadis Nabi. Jurnal Living Hadis Volume 1. no.1. Mei 2016.

Al –Qaththan ,Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2010.

Irwanto. Pendektan Ilmu Sosial Profetik Dalam Memahami Makna Ayat-ayat Al-Qur’an. Jurnal Literasi. Volume. V, no. 1 Juni 2014.

Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Pustaka Grasindo.2001

Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan, 2001.

Kuntowijoyo. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan, 2008.

Miftahuddin- ajat sudrajat-djumarwan. Kuntowijoyo dan Pemikirannya: Dari Sejarawan Sampai Cendekiawan.Laporan Hasil Penelitian Dosen UNY. Oktober 2013.

Rosadisastra, Andi. Integrasi Ilmu Sosial Dengan Teks Agama dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an. Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis. Volume 4. no.1 . Juni 2014.

Roqib,Moh.Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Profetik. Jurnal Pendidikan Karakter. Tahun III. no. 3. Oktober 2013.

Sanusi.Integrasi Al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial Sebagai Basis Model Pengembangan Materi Ajar IPS di Madrasah. Jurnal IJTIMAIYA. Volume 1. no. 1. Juli-Desember 2017.


Catatan:
1.      Similarity sebanyak 28%. Cukup tinggi
2.      Mengapa masih mengutip dari blog?
3.      Bagian awal kurang referensial.


[1]Syaikh Manna’ Al –Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hal. 15
[2]Benny Afwadzi, Membangun Integrasi Ilmu-ilmu Sosial dan Hadis Nabi, Jurnal Living Hadis, Volume 1, no.1, Mei 2016, hal. 102
[3]Kuntowijoyo. ISLAM SEBAGAI ILMU, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 55
[4]Sanusi, Integrasi Al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial Sebagai Basis Model Pengembangan Materi Ajar IPS di Madrasah, Jurnal IJTIMAIYA, Volume 1, no. 1, Juli-Desember 2017, hal. 139
[5]Andi Rosadisastra, Integrasi Ilmu Sosial Dengan Teks Agama dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Volume 4, no.1 , Juni 2014hal. 98
[6]Sanusi, Integrasi Al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial Sebagai Basis Model Pengembangan Materi Ajar IPS di Madrasah, Jurnal IJTIMAIYA, Volume 1, no. 1, Juli-Desember 2017, hal. 141
[7]Irwanto, ”Pendektan Ilmu Sosial Profetik Dalam Memahami Makna Ayat-ayat Al-Qur’an”, Literasi, Volume. V, no. 1 Juni 2014, hlm. 2
[8]Miftahuddin- ajatsudrajat-djumarwan,”kuntowijoyodanpemikirannya:darisejarawansampaicendekiawan”
[9]Ibid, 3
[10]Kuntowijoyo. ISLAM SEBAGAI ILMU, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 87
[11]Kuntowikoyo. PARADIGMA ISLAM Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan Pustaka,2008), hal.483
[12]Kuntowijoyo. ISLAM SEBAGAI ILMU, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 100
[13]Ibid, hal. 101
[14]Ibid, hal. 102
[15]Kuntowijoyo. ISLAM SEBAGAI ILMU, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 102    
[16]Moh Roqib, Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Profetik, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, no. 3, Oktober 2013, hal. 245
[17]Kuntowijoyo. MUSLIM TANPA MASJID, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 370
[18]Kuntowijoyo. ISLAM SEBAGAI ILMU, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 104
[19]Kuntowikoyo. PARADIGMA ISLAM Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan Pustaka,2008), hal.502
[20]Kuntowijoyo. MUSLIM TANPA MASJID, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 371
[21]Ibid, hal.373
[22]Moh Roqib, Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Profetik, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, no. 3, Oktober 2013, hal. 245
[23]Ibid, hal. 374
[24]Kuntowikoyo. PARADIGMA ISLAM Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan Pustaka,2008), hal.483-484

Tidak ada komentar:

Posting Komentar