Selasa, 13 Maret 2018

Istihsan, Istishhab, Maslahah Mursalah (PAI C Semester Genap 2017/2018)




SUMBER HUKUM ISLAM YANG TIDAK DISEPAKATI (ISTIHSAN, ISTISHAB, MASLAHAH MURSALAH)
Muhammad Kurnadi Bonesaputra, Ilman Aji Nur Hamzah, Amelia Silvi Hayati
Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
PAI-C 2018
Abstract

In Islamic law there are two sources of law namely the source of the agreed law and the source of the law that is not agreed. In this article will discuss the source of unlawful law that istihsan, istishab and MaslahahMursalah. Istishan itself is the switch of thought of a mujtahid from qiyasjali (real) demands to qiyaskhofi (vague). Istishhab is the legal determination of existence and absence of something in the present and in the future based on its existence and its absence in the past because there is no proposition indicating to be changed. Maslahahmursalah is the good or the benefit that is not discussed by the Islamic shari'ah regarding the law, in general maslahat can bring the advantage (benefit) and keep away the disadvantage (loss). To equip ourselves in taking our law as the ummah of Islam is obliged to know and understand what dilil law is agreed upon as well as the unapproved law. Are we referring to the argument already. As moslem, Don't let us misunderstand about our law.

Keywords: source of law, Istihsan, Istishhab, MaslahahMursalah.

Abstrak

Dalam hukum islam terdapat dua sumber hukum yaitu sumber hukum yang disepakati dan sumber hukum yang tidak disepakati. Dalam artikel ini akan  membahas sumber hukum yang tidak disepakati yaitu istihsan, istishab dan Maslahah Mursalah. Istishan sendiri adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata) kepada qiyas khofi (samar). Istishhab adalah penetapan hukum tentang ada dan ketidak adaan sesuatu di masa sekarang maupun di masa depan yang didasarkan pada ada dan ketidak adaannya pada masa yang lalu dikarenakan tidak ada dalil yang berindikasi untuk bisa berubah. maslahah mursalah adalah kebaikan atau kemaslahatan yang tidak dibahas oleh syari’at Islam mengenai hukumnya, pada umumnya maslahat bisa mendatangkan kegunaan (manfaat) dan bisa menjauhkan keburukan (kerugian). Untuk membekali diri kita dalam mengambil sebuah hukum kita sebagai ummat islam wajib mengetahui dan memahami apa saja dilil hukum yang disepakati begitu juga hukum yang tidak disepakati. Apakah kita sudah mengacu pada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan ada kebinggungan dalam memahami suatu hukum yang berlaku.

Kata kunci : sumber hukum, Istihsan, Istishhab, Maslahah Mursalah,
A.    Pendahuluan
Ushul Fiqh adalah salah satu instrumen penting yang harus dilakukan siapapun untuk melakuka ijtihad dan istinbath hukum didalam Islam, itulah mengapa didalam pembahasan karakter seorang mujtahid penguasaan akan ilmu ini dimasukan sebagai salah satu syarat mutlak untuk menjaga proses ijtidad dan istinbath. Meskipun demikian ada suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan ilmu ushul fiqh tidak hanya menjamin kesatuan hasil ijtihad dn istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal ushul fiqh terdapat juga faktor internal dalam hal menangani perdebatan dikalangan para ushuliyyin. Dari sinilah muncul dengan istilah yang dikenal yakni Al-Ushul Mukhtalaf Fiha (dalil-dalil yang diperdebatkan penggunaanya) dalam ranah pengambilan dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni ada yang disepakati dan ada pula yang tidak disepakati. Sumber hukum yang disepakati meliputi Al-Qur’an, As-sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Ada pula yang di bedakan oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad itu sendiri yakni Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini kami akan membahas  dan menjelaskan hukum dalam berbagai kasus yang tidak ada nash (ayat atau hadistnya) yaitu Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah.
B.     Istihsan
1.      Definisi istihsan
Menurut bahasa istihsan adalah menganggap baik sesuatu. Secara istilah menurut ulama ushul istihsan adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata) kepada qiyas khofi (samar). Jika ada sesuatu kejadian atau peristiwa yang hukumnya tidak terdapat dalam nash maka ada dua pendapat yang berbeda dalam pembahasannya : yang menghendaki suatu hukum disebut sudut pandang lahiriyah dan yang menuntut hukum yang lain disebut sudut pandang secara tersembunyi. Yang disebut dengan istihsan menurut syara’ seorang mujtahid menemukan dalil yang memenangkan pandangan secara tersembunyi kemudian pindah dari sudut pandang lahiriyah hal ini juga berlaku jika hukum itu bersifat umum
Sedangkan pada mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian pada sebagian hukum umum ini kemudian ia menghukumi perkecualian itu dengan hukum yang lain maka ini juga disebut dengan istihsan.[1]
Menurut abu al-hasan al-karkhi istihsan adalah perubahan atau penyimpangan penetapan hukum yang sudah diterapkan kepada ketentuan yang lain atas suatu masalah dikarenakan adanya alasan kuat dan dalil yang menghendaki perubahannya.
Menurut kalangan ulama maliki istihsan adalah mengamalkan dan memilih dalil yang paling kuat dari dua dalil.
Menurut kalangan mazhab imam ahmad ibn hambal istihsan adalah penyimpangan dari ketentuan hukum yang semestinya berlaku karena adanya dalil syara yang khusus.
Menurut imam maliki istihsan adalah mengutamakan pada realisasi tujuan syariat, jadi dasar istihsan tersebut yaitu mengutamakan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan atau menolak bahaya-bahaya secara khusus sebab dalil umum menghendaki dicegahnya bahaya tersebut.[2]
Dari pemaparan diatas dapat diketahui bahwa pada dasarnya istihsan sudah tercermin dari beberapa definisi yang telah dipaparkan diatas, dengan adanya suatu ketentuan hukum yang semestinya diterapkan namun karena ada sesuatu dengan alasan kuat menuntut penetapan khusus sehingga ketentuan yang sudah jelas tersebut hukumnya tidak dapat diterapkan. Hal semacam ini bisa terjadi karena tidak dapat menerapkan qiyas atas suatu masalah atau sebagai pengecualian atas ketentuan hukum yang juziy  dan ketentuan hukum yang kulliy atau mungkin pengkhususan sebagian dari makna yang umum atas ketentuan hukum yang khusus.
Menurut al-syarakhsi, abdul wahab khalaf dan al-bazdawi istihsan adalah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas atas ketentuan qiyas yang samar karena adanya dalil dan alasan kuat yang menghendakinya.
2.      Asal-usul perumusan istihsan sebagai dalil
Persoalan qiyas adalah salah satu penyebab istihsan dijadikan sebagai dalil hukum. Dalam persoalan-persoalan tertentu qiyas sebagai dalil hukum tidak dapat diterapkan, dikarenakan salah satu dari unsur rukun qiyas yang dinamakan illat tidak memenuhi syarat. Atau dengan maksud lain tidak bisa diterapkannya illat qiyas yang akan dijadikan sebagai pautan atau penyamaan hukum bagi persoalan tertentu dikarenakan tidak sebanding oleh karenanya hal ini harus diselesaikan dengan cara lain yang lebih mendekati tujuan syara’.
Istihsan diangkat sebagai salah saru dalil hukum karena adanya pemikiran dan perumusan istihsan seperti yang diatas. Pada awalnya muncul dari imam abu hanifah dan kalangan pengikutnya.
Zaky al-din sya’ban menjelaskan bahwa sesungguhnya pada kalangan madzhab hanafi banyak menjelaskan persoalan hukum fiqh yang ditetapkan dengan istihsan.
Salah satu contoh istihsan adalah mengenai sisa air minum burung buas. Burung buas disamakan dengan binatang buas yakni dagingnya tidak diperbolehkan dimakan karena najis. Karena binatang buas dagingnya najis maka air liurnya juga najis. Jika ia meminum maka sisa air minumannya pun menjadi najis. Menurut ketentuan qiyas maka sisa air minum burung buas juga najis karena disamakan dengan binatang buas. Tapi menurut ulama kalangan mazhab hanafi sisa minuman burung buas tidak najis karena burung buas minum menggunakan dengan paruhnya sehingga air minum tidak tercampur dengan air liurnya[3]
3.      Macam – macam istihsan
Dikalangan madzhab istihsan sebagai dalil hukum dibagi menjadi beberapa macam
a.         Menurut madzhab hanafi
Seperti yang ada pada penjelasan Muhammad al-said ali abd. Rabuh, istihsan dalam madzhab hanafi ini dibagi menjadi lima macam diantaranya yaitu :
1.      Istihsan dengan nash
Maksudnya yaitu suatu penyimpangan ketentuan hukum berdasarkan ketentuan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan sunnah.
Dalam beberapa masalah, sering ditemui istihsan pada jenis ini yang bersumber dari nash yang sudah pasti berlawanan dengan ketentuan hukum yang umum atau kaidah yang sudah berlaku. Salah satu contohnya yaitu tentang jual beli salam. Dalam kegiatan ini yaitu belum adanya barang yang dijual belikan akan tetapi harga sudah ditetapkan  dan dibayar terlebih dahulu sesuai kesepakatan antara penjual dan pembeli. Dalam jual beli seperti ini sebenarnya tidak memenuhi persyaratan, karena pada syarat sahnya jual beli harus ada barang atau benda tersebut. Dalam hadis terdapat larangan jual beli barang yang wujudnya belum ada. Akan tetapi, larangan itu dikecualikan berdasarkan istihsan karena ada nash khusus yang membolehkannya. “diriwayatkan bahwa ketika nabi datang kemadinah, beliau melihat penduduk madinah biasa melakukan jual beli buah-buahan yang belum jelas wujudnya, satu tahun sampai dua tahun.” Melihat jual beli seperti ini nabi mengatakan “barang siapa yang melakukan jual beli seperti ini lakukanlah dengan ketentuan yang sudah diketahui dan masa yang sudah diketahui pula.”
2.      Istihsan dengan ijma’
Maksudnya yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada permasalahn karena adanya ijma’. Dalam hal ini dikarenakan adanya fatwa mujtahid atas peristiwa yang berlawanan dengan kaidah umum yang sudah ditetapkan atau ia hanya diam dan tidak menolak dengan apa yang dilakukan oleh manusia yang mana sebnarnya berlawanan dengan ketentuan yang sudah ditetapkan. Contohnya yaitu seseorang memesan suatu barang kepada orang lain. Jadi maksudnya yaitu seseorang meminta bantuan kepada ahlinya (tukang) untuk dibuatkannya suatu barang tertentu, dengan syarat-syarat tertentu yang sebearnya tidak dibolehkan, karena ketika transaksi berlangsung barang tersebut belum ada wujudnya (ma’dum), sementara dengan adanya transaksi barang yang belum ada wujudnya tidak dibolehkan. Akan tetapi, berdasarkan istihsan transaksi ini dibolehkan karena dalam prakteknya (muamalah) masyarakat sudah melakukan tanpa adanya penolakan dari para mujtahid meskipun berlawanan dengan ketentuan qiyas.
3.      Istihsan darurat dan hajat
Maksudnya yaitu meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas terhadap suatu masalah seorang mujtahid karena berhadapan dengan kondisi darurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau meolak terjadinya kemadharatan. Dengan maksud lain karena adnya permasalahan yang darurat dan menjadi hajat orang lain maka penetapan qiyas yang ada boleh ditinggalkan. Contohnya yaitu air sumur atau kolam yang terkenan najis. Berdaskan kaidah yang ada kolam atau sumur yang terkenan najis tidak boleh digunakan. Tetapi, dengan kondisi yang darurat yang menghendakinya dan karena dibutuhkannya air maka dalam kondisi ini dibolehkan, walaupun berlawanan dengan kaidah umum atau dalil yang adanya dalil yang melarangnya. Menurut madzhab hanafi ini cara menghilangkan najis yaitu dengan memasukkan beberapa air gallon kedalam kolam atau sumur tersebut dikarenakan kondisi yang darurat sehingga orang-orang tidak menemukan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan terhadap air.
4.      Istihsan dengan urf dan adat
Maksudnya yaitu penyimpangan penetapan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena telah ada urf yang terkenal dan di praktekan dalam kehidupan masyarakat. Contohnya yaitu penyewaan wanita untuk menyusukan bayi dengan terjaminnya kebutuhan pokok yaitu makanan dan pakaian. Menurut abu hanifah ini dibolehkannya menyewa atau memberi upah wanita untuk menyusukan bayi, dengan berdasarkan kesepakatan dan membolehkan pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian tersebut.
5.      Istihsan dengan qiyas khafi
Maksudnya yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepad yang samar-samar dan tidak jelas, akan tetapi keberadaanya tersebut lebih tepat dan lebih kuat untuk diamalkan. Contohnya yaitu berkaitan dengan aurat wanita. Aurat wanita sesungguhnya dimulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, dibolehkan terlihat bagian tubuh wanita dengan adanya kebutuhan yang baik bagi wanita tersebut. Dalam hal ini terdapat dua qiyas yang berlawanan : yang pertama yaitu berdasarkan kaidah yang jelas bahwa  dengan melihatnya keadaan wanita dapat menimbulkan fitnah, yang kedua yaitu dibolehkan melihat aurat wanita dalam keadaan tertentu seperti halnya pada saat pengobatan ketika itu tidak ada wanita yang khusus dalam pengobatan tersebut, maka di gunakannya illat (alasan) yang membawa kesulitan pada bagian ini.
b.        Menurut madzhab maliki
Berdasarkan penjelasan dari abdul wahab khalaf bahwa ulama dari kalangan madzhab maliki ini membagi istihsan menjadi tiga macam diantaranya yaitu :
1.      Istihsan dengan Al-urf
Contoh yang diberikan oleh madzhab maliki ini yaitu seseorang yang bersumpah tidak akan makan daging dan apabila ia makan daging ikan maka tidaklah dianggap melanggar sumpah, meskipun didalam alqur’an sudah dijelaskan bahwa ikan sama dengan daging.
2.        Istihsan dengan maslahat
Maksudnya yaitu menyampingkan pemberlakuan hukum qiyas dengan adanya pertimbangan maslahat yang lebih penting. Cotohnya yaitu pada penyewaan barang yang mana apabila dalam menyewa barang itu rusak maka itu bukan kesalahan dari penyewa barang tersebut, maka menurut ketentuan qiyas penyewa tidak menanggung resiko pada kerusakan barang. akan tetapi, ketentuan ini tidak berlaku karena demi kemaslahatan keduanya(penyewa dan yang menyewakan) maka penyewa dituntut untuk mennganti kerusakan pada barang tersebut.
3.        Istihsan dengan keadaan untuk menghilangkan kesulitan[4]
          Maksudnya yaitu dengan istihsan ini didasarkan pada meninggalkan kesulitan yang dihadapi. Istihsan ini hampir tidak ada bedanya dengan istihsan yang bersandar pada maslahat. Yang pada umumnya istihsan ini membahas tentang masalah muamalah dan ibadah, sebagai upaya menghilangkan kesulitan.
C.    Istishab
1.      Pengertian Istishab
Istishab dalam arti secara harfiah adalah al-mushahabah yang berarti tuntutan untuk kebersamaan, atau istimrar al-mushahabah yang berarti bersama terus menerus.Pengertian istishab dari para Ulama' ushul fiqh secara istilah yakni penetapan hukum tentang ada dan ketidak adaan sesuatu di masa sekarang maupun di masa depan yang didasarkan pada ada dan ketidak adaannya pada masa yang lalu dikarenakan tidak ada dalil yang berindikasi untuk bisa berubah. Prinsip dari istishhab adalah berdasarkan ghalabah al-zhann atau dugaan yang kuat terhadap keberlanjutan dari kondisi yang sebelumnya sehingga ditetapkan status keberlanjutannya terhadap hukum yang berlaku. Oleh sebab itu istishhab tidak memiliki kekuatan dalil yang baik di dalam proses istinbath,  sehingga apabila terdapat pertentangan yang sangat berlawanan dengan dalil lain yang lebih kuat, maka istishhab harus dinomer duakan.[5]
Terdapat beberapa pengertian tentang Istishhab yang dikemukakan oleh beberapa tokoh ahli ushul fiqh yang meskipun secara penyusunan kalimat berbeda-beda, namun secara inti tidak jauh berbeda maknanya. Menurut Ibn Al-Subki Istishhab merupakan penetapan hukum atas permasalahan hukum yang kedua yang didasarkan pada hukum pertama karena tidak adanya dalil yang mengubahnya. Definisi Istishhab dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyah adalah mengkekalkan hukum dengan alur penetapan hukum berdasarkan hukum yang sudah terlebih dahulu ada, ataupun dengan cara menghapus hukum atas dasar karena tidak adanya hukum sebelumnya.[6]
Kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa definisi tersebut adalah Istishhab sebuah pengakuan terhadap apa yang sebelumnya sudah ada. Terdapat dua macam keadaan yang pernah terjadi di masa yang telah lau, yakni: Nafi (ketika tidak ada hukum sebelumnya), dan Tsubut (saat pernah terdapat hukum sebelumnya).[7]
Berikut contoh gambaran dari kedua istishhab tersebut, baik dalam bentuk Tsubut (yang pernah ada) maupun yang berbentuk Nafi (tidak pernah ada).
a.         Contoh Istishhab yang berbentuk Tsubut (yang pernah ada)
Contoh yang kedua tentang hukum dalam permasalahan talak. Apabila terdapat sebuah keraguan dari seorang suami tentang apakah ia sudah mentalak istrinya atau belum, maka yang diambil adalah hukum asalnya yaitu tetap dalam hubungan pernikahan tanpa ada sebuah talak yang dijatuhkan. Namun, apabila seorang suami merasa yakin bahwasannya ia telah menjatuhkan talak pada istrinya tapi masih ragu apakah telah dijatuhkannya talak satu, dua, ataupun tiga, maka seorang suami dihukumi bahwa ia telah metalak tiga istrinya. Hal tersebut terjadi karena talak didasarkan pada keyakinan.[8]
b.        Contoh Istishhab yang berbentuk Nafi (tidak pernah ada)
Pada masa yang lalu tidak pernah ada hukum yang mengatur atau menjelaskan tentang kewajiban puasa di bulan Syawal, karena memang tidak ada dasar atau dalil apapun yang mewajibkan hal tersebut. Dengan ketiadaannya dasar atau dalil yang mengatur hal tersebut sejak dahulu maka hukum tersebut tetap berlaku hingga masa kini dan masa yang akan datang, dikarenakan telah wafatnya Rasulullah, sehingga hukum tersebut tidak akan berubah.
2.      Bentuk-Bentuk Istishhab
a.      Istishhab al-bar’at al-ashliyah
Ibn al-Qayyim berpendapat Istishhab al-bar’at al-ashliyah adalah terlepasnya tanggung jawab atau kewajiban dari semua taklif sampai terdapat bukti yang menentukan taklifnya. Contohnyaseoranganakkecil yang belumbaliq, berartianakkeciltersebutbelummempunyaikewajiban. Dan juga sepertiseoranglaki-lakidanperempuan bias di katakansuamiistriapabilasudahmelakukanakadnikah.[9]

b.      Istishhab yang dtunjukanpadapikiranatausyara’
Contonyaapabilaseorangmempunyaihutangmakadiamempunyakewajibanuntukmembayarhutangtersebutsamaiadabuktibahwahutangtelahlunas.
c.       Istishhabhukum
Sesuatu yang sudahditetapkanolehhukummudahatau haram.Makanyahukum-hukuminiberlakusecaraterus-menerussampaiadadalil yang menyatakanmengharamkanapa yang awalnyamubahdanmemperbolehkan yang awalya haram.Kebolehaninididasarkanpadafirman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي الأَرْضِ جَمِيعاً خَلَقَ لَكُم مَّا فِي
“ Dialah Allah yang menjadikansegala yang ada di bumiuntukkamu”. (al-baqarahayat 29)
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا
Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya” . (al-jatsiyah: 13)
d.      Istishhab al-wafs
Istishhab al-wafs yang dilandaskanataspendapat yang masihtetapsifatsebelumyasampaiadabukti yang mengubahnya.Contohnyaseseorang yang hilangakandianggapmasihadasampaiadabukti yang menyatakanbahwadiatelahwafat. Begitu juga dengan air yang bersih, akan di katakana bersihselamatidakadabukti yang mengubah status air tersebut.[10]
3.      Argumentasiistishhab
Istishhabmerupakansebuahdalil yang digunakanuntukmembuatkeputusanmerupakancirikhususbuatkalanganSyafi’iyyahdalammenyampaikanpendapatnya, ada juga kalanganHanabilah. Al-AmudimenegaskanbahqagolonganSyafi’iyyahseperti Al-Muzani, Al-Shaiafi, Al-Ghazalidanulama’ lainnya pun berpendapattentangsahnyaberhujjahdenganmemakaimetodeistishhab.[11] Ada empatfaktor yang disampaikanoleh Al-Amuditentangdugaan  yangberkelanjutantersebut:
Pertama, ijma’ yang sudahterbentukdalamperkaramunculnyakebimbangandalampelaksanakanshalat.Seseorang yang bimbangdalammelakukanshalatnyadalamperihalbersuci (wudhu) sebelummelaksanakansholat, makadiatidakbolehmelanjutkansholatnya.Bila yang muculadalah status thaharahnyamasihberlanjut, makaiabolehmelanjutkanshalatnya. Apabilapadamasing-masingcontohtersebutkasusfundamentalnyabukanberlanjutmakabolehjadidalamcontoh yang pertamaseseorangbolehmelanjutkanshalat, danpadacontoh yang keduatidakdiperbolehkanmelanjutkanshalat. Namunkeduakemungkinaninimenyalahiijma’. Hal ini juga sesuaidengansabdaRasulullahSAW :
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya: Apabila salah seorang dari kalian merasakan sesuatu dalam perutnya Sehingga dia bimbang. Apakah telah keluar angin atau tidak. Maka janganlah ia keluar dari masjid(membatalkan shalatnya) hingga ia mendengar suara tau mencum bau. (HR. Muslim dari Abd Hurairah).
Kedua, apabila sesuatu keberadaan dan ketiadaan sudah dapat dipastikan dan juga memiliki karakter terentu, rasio memiliki tradisi  membenarkan pemutusan status hukumnya pada masa yang akan datang sejak masa keberadaan dan ketiadaannya. Dengan ini seseorang mengirimkan sepucuk surat ke orang lain yang jauh, sebelumnya orang lain tersebut sudah di ketahui keberadaanya (alamatnya). Atau melaksanakan persaksian atas seseorang  yang pernah membuat pengakuan memiliki hutang pada orang lain.
Ketiga, bahwa dugaan yang berkelanjutan sebuah kondisi mempunyai keunggulan tersendiri dibandingkan adanya perubahan kondisi. Karena suatu yang berkelanjutan memerlukan lebih dari satu faktor saja, yaitu terjadinya masa yang akan datang dan wujud kondisi yang berlanjut pada masa yang akan datang. Ada tiga faktor yang menyebakan terjadinya perubahan pada suatu kondisi , yaitu terjadinya masa mendatang, peralihan perubahan dari ada pada tiada, ataupun sebaliknya, dan menetapnya kondisi ada atau tiada pada masa yang akan datang.adalah suatu yang dapat dipahami, bahwa sesuatu yang yang berganung pada dua faktor memiliki nilai keunggulan tersendiri dibandingkan sesuau yang bergantung pada tiga faktor.[12]
Keempat, materi yang mempunyai karakter tersendiri mempunyai peluang yang lebih besar (ghalabah al-zhann) untuk berkelanjutan dengan karakter tersebut daripada peluang adanya perubahan. Keberlanjutan tidak memerlukan mu’atssir (faktor perubah), karena jika memerlukan mu’atssir, maka mu’atssir dapat memberikan pengaruh ataupun tidak.  Apabila memberikan pengaruh itupun merupakan kondisi awal. Sedangkan jika tidak memberikan pengaruh maka proses perubahan kondisi harus dengan adanya mu’atssir. Bila tidak demikian, maka proses perubahan sesuatu akan berjalan degan sendirinya, dan ini adalah hal yang tidak logis.[13]


D.    Maslahah mursalah
1.        Pengertian Maslahah Mursalah
Kata “Masalih” merupakan jama’ dari “Maslahah”yang berarti kepentingan, jika digabungkan dengan kata “mursalah” berarti kepentingan yang tidak terikat,  tidak ada batasnya, dan kepentingan yang diputuskan secara bebas.
Secara istilah maslahah mursalah adalah kebaikan atau kemaslahatan yang tidak dibahas oleh syari’at Islam mengenai hukumnya, pada umumnya maslahat bisa mendatangkan kegunaan (manfaat) dan bisa menjauhkan keburukan (kerugian).Istilahlain dari maslahah adalah istidlal, dan istislah. Berdasarkan kedua istilah tersebut beberapa ulama ushul memberikan definisi yang berbeda-beda.
a.         Abdul Wahhab Khalaf mendefinisikan “Maslahah yaitu Maslahah yang ketentuan hukumnya tidak digariskan oleh Tuhan dan tidak ada dalil syara’ yang menunjukan tentang kebolehan dan tidaknya maslahah tersebut.”[14]
b.        Sedangkan Yusuf Musa memberikan pengertian “Maslahah yaitu segala kemaslahatan yang tidak diatur oleh ketentuan syara’ dengan mengakui atu tidaknya akan tetapi mengakuinya dapat menarik manfaat dan menolak kemadaratan.[15]
c.         Selanjutnya dalam kitabnya Asbabul Ikhtilafi Al-Fuqaha, Abdullah bin Abdul Husein merusmuskan “Maslahah Mursalah yaitu kemaslahatan yang tidak jelas diakui atau ditolak oleh syara’ dengan suatu dalil tertentu dan ia termasuk persoalan yang dapat diterima oleh akal tentang fungsinya.”[16]
d.        Sedangkan dalam kitab Ushul Fiqih, Abu Zahrah menyebutkan “masalah atau istislah yaitu segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syariat Islam dalam menentukan hukum dan tidak ada dalil khusus tentang diakui dan tidaknya.”[17]
Berdasarkan beberapa Istilah diatas maka batasan tentang pengungkapan maslahah tersebut berbeda-beda anatara satu dengan yang lain, akan tetapi jika diperhatikan lebih mendalam dan diteliti kembali kesemuanya mempunyai arti dan maksud yang sama, kecuali batasan yang di kemukakan oleh Muhammad Abu Zahra tampak lebih mendudukan persoalan pada tempatnya : bahwa maslahah bukanlah maslahah yang dilatarbelakangi oleh kebebasan berpendapat yang hanya dilandasi oleh emosi diri belaka, akan tetapi ia merupakan maslahah yang sejalan dengan tujuan atau maksud-maksud syara’.
Hubungan batasan-batasan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
1.        Maslahah adalah maslahah yang tidak ditunjuk oleh dalil tertentu tentang diakui atau tidaknya
2.        Maslahah harus sejalan dan senafas dengan maksud-maksud syara’(Allah) dalam mensyari’atkan hukum
3.        Maslahah dalam realisasinya harus dapat menarik maslahah dan menolak madarat.
4.        Maslahah harus dicapai dan diterima secara logis oleh akal sehat.[18]
2.    Dasar hukum maslahah mursalah
Beberapa dasar hukum atau dalil mengenai berlakunya teori maslahah mursalah, yakni :
a.      Al-Qur’an
Salah satu ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan berlakunya maslahah mursalah adalah firman Allah dalam surat Yunus : 57

Artinya : “hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman

Maksud dari ayat tersebut adalah Allah SWT memberikan karunia kepada makhluknya yaitu berupa Al-Qur’an, yang Allah turunkan melalui nabi Muhammad SAW. dengan adanya Al-Qur’an bertujuan untuk mendapatkan hidayah dan rahmat Allah, serta menghilangkan kekejian dan kekotoran.
b.    Hadist
Salah satu hadist yang dikemukakan sebagai landasan kehujjahan maslahah mursalah adalah sabda nabi Muhammad SAW: “tidak diperbolehkan berbuat madhotot serta memadhorotkan
c.       Perbuatan para sahabat dan ulama salaf
Para sahabat dan para imam madzhab telah mensyariatkan beragam hukum berdasarkan prinsip maslahah. Contoh dari sahabat Abu Bakar “para sahabat memilih beliau sebagai seorang khalifah  pengganti nabi Muhammad SAW setelah nabi Muhammad wafat.  Pada saat itu posisi khalifah telah kosong dan sangat dibutuhkan seorang khalifah pengganti. Hal ini merupakan maslahat yang sangat penting, namun tidak tidak ditemukan teks atau dalil khusus dari syari’at yang membenarkan atau tidak diperbolehkan.
Sedangkan contoh dari Utsman bin Affan yaitu mengumpulkan Al-Qur’an dari beberapa mushaf, hal ini tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah, namun alasan beliau mengumpulkan mushaf Al-Qur’an tidak lain kecuali semata-mata maslahat, yaitu menjaga AL-Qur’an dari kepunahan atau kemutawatiranya karena meninggalnya sebagian besar hafidz dari generasi sahabat. Kehujjahan maslahah juga didukung dalil-dalil aqliyah (alasan rasional) sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya Ilmu Ushul Fiqih beliau menulis : “Al-Maslahah Al-Mursalah yakni mathlaqat adalah kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh Allah secara tegas untuk realisasinya dan tidak ada dalil syar’i baik yang memerintahkan maupun yang melarangnya. Disebut juga mutlaq karena kemaslahatan itu tidak terikat pada dalil yang memerintahkan atau yang melarangnya.[19]
3.    Macam-macam  maslahah
Jika dilihat dari segi pandangan syara’ maka maslahah diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1.    Masalahah murtabah, atau kepentingan-kepentingan yang diakui dalam syariat Islam dan dijadikan dasar dalam penetapan hukum. Misalnya, melindungi kehidupan, agama, keluarga, akal, kekayaan, dan kehormatan . contoh gamblangnya adalah diwajibkanya berpuasa pada bulan ramadhan, tujuan dari berpuasa pada bulan ramadhan adalah tidak lain untuk mendidik manusia agar sehat secara jasmani maupun rohani. Demikian juga kemaslahatan yang melekat pada kewajiban zakat, yaitu untuk mendidik jiwa muzakki agar terbebas dan jauh dari sifat kikir dan kecintaan yang berlebihan pada harta serta untuk menjamin kehidupan orang miskin. Kedua contoh kemaslahatan ini tidak bisa dibatalkan, sebab jika dibatalkan akan berakibat kepada hilangnya kepentingan dan keterkaitan dari pensyari’atan puasa dan zakat pada bulan ramadhan.[20]
2.    Masalahah mulghah, atau kepentingan yang dibuang oleh syariah. Misalnya seorang penguasa yang tidak menjalankan puasa pada bulan ramadhan lalu ia menebus dosanya dengan cara memerdekakan budak, tetapi hakim pengadilan memberikan keputusan bahwa sang penguasa harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Karena penebusan dosa tidak ditentukan oleh banyaknya kekayaan seseorang.[21] Contoh lainya adalah kemaslahatan seorang perempuan yang menjadi imam bagi laki-laki sudah jelas bahwa hal ini bertentangan dengan kemaslahatan yang ditetapkan oleh syariat Islam yaitu dilarangya seorang perempuan menjadi imam sholat bagi laki-laki.
3.    Maslahah mursalah, kepentingan-kepentingan yang tidak terbatas dan tidak ada ketentuanya.[22] Misalnya,  penjatuhan talak dipengadilan, kewajiban memilik SIM bagi pengendara motor, dan lain-lain.
Sedangkan ulama ushul mengklasifikasikan maslahah menjadi tiga, yaitu :
1.      Maslahah dharuriyah
Segala hal yang menjadi sendi eksistensi (ada)  kehidupan manusia, harus ada demi kemaslahatan mereka, apabila sendi itu tidak terpelihara dengan baik maka kehidupan manusia akan kacau balau, baik kehidupan didunia maupun kehidupan di akhirat. Hal seperti ini bisa dikembalikan pada lima perkara yang merupakan pokok perkara yang harus dilindungi yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2.      Maslahah hajjiyah
Segala sesuatu yang dibutuhkan manusia (masyarakat) untuk menghilangkan kesulitan dan menolak segala halangan dalam hal beribadah kepada Allah, Islam memberikan keringanan bila sorang mukallaf mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban . misalnya, diperbolehkan seseorang dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau sedang dalam perjalanan jauh
3.      Maslahah tahnisiyah
Menggunakan yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik. Tahnisiyah sendiri dibagi menjadi tiga yakni bidang ibadah, adat, dan muamalah. Contoh bidang ibadah misalnya bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik ketika akan melaksanakan sholat, mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan. Sedangkan contoh dalam bidang adat misalnya,  bersikap sopan ketika makan dan minum, dalam bidang muamalah contohnya seperti larangan menjual barang yang haram seperti khamar.
4.    Syarat-syarat maslahah mursalah
Zakaria Al-Farisi dalam kitabnya Masadirul Ahkami Islamiyah memberikan syarat-syarat lain sebagai kelengkapan syarat diatas, antara lain :
1.    Hendaknya kemashlahatan itu bersifat hakiki bukan bersifat imajinatif atau maslahah yang diduga dan diasumsikan dalam arti apabila seseorang berkesempatan dan memusatkan perhatian pada itu yakin bahwa membina hukum berdasarkan kemaslahatan itu, misal tentang kemaslahatan dari larangan talak oleh suami dan hal itu secara mutlak diserahkan kepada hakim, yang demikian bukanlah kemaslahatan yang hakiki melainkan kemaslahatan yang imajinatif yang hanya akan menghancurkan kehidupan.[23]
2.    Kemaslahatan hendaknya bersivat universal dan tidak parsial. Sebagaimana apa yang diungkapkan imam Al-Ghazali  “kalau dalam suatu pertempuran melawan orang kafir merekan membentengi diri dan membuat pertahanan melalui beberapa orang muslim yang tertawan, sedang orang kafir tersebut dikhawatirkan akan melancarkan agresi dan dapat menghancurkan mayoritas kaum muslimin maka penyerangan harus dilakukan, meskipun akan mengakibatkan kematian beberapa orang muslim yang sebenarnya harus dilindungi keselamatan jiwanya. Hal ini berdasarkan pertimbangan suatu kemenanga dan ketahanan.[24]
3.    Hendaknya kemaslahatan itu bukanlah kemaslahatan yang mulgha (yang jelas ditolak oleh nas), oleh karena itu fatwa Imam Yahya bin Yahya seorang fiqh Andalusia dan murid imam Malik bin Anas  adalah salah beliau memberi fatwa kepada seorang raja apabila ia berbuka puasa di siang hari dengan sengaja pada bulan ramadhan maka tidak ada kafarat baginya kecuali berpuasa dua bulan berturut-urut. Dia berfatwa tanpa memberikan pilihan, antara memerdekakan budak atau dengan cara berpuasa sebagaimana mestinya. Menurut beliau kafarat tidak hanya memberikan pelajaran kepada orang yang melakukan pelanggaran agar ia tidak mengulangi perbuatanya. Dan khusus bagi seorang raja maksud ini dapat dicapai hanya dengan mengharuskan dia memenuhi kafarat berupa puasa yang memberatkan, sedang memerdekakan budak tidak berpengaruh apa-apa karena tidak memberatkan. Namun pendapat ini oleh sebagian ulama dianggap fatwa yang berlandaskan kepada pertimbangan kemaslahatan yang milgha karena nas Al-Qur’an merujuk kepada kafarat itu tidak melakukan diskriminasi antara raja dan lainya.[25]
E.     Kesimpulan
1.    istihsan adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata) kepada qiyas khofi (samar).
istihsan sebagai dalil hukum dibagi menjadi beberapa macam
a.       Menurut madzhab hanafi
1.      Istihsan dengan nash
2.      Istihsan dengan ijma’
3.      Istihsan darurat dan hajat
4.      Istihsan dengan urf dan adat
5.      Istihsan dengan qiyas khafi
b.      Menurut madzhab maliki
1.      Istihsan dengan Al-urf
2.      Istihsan dengan maslahat
3.      Istihsan dengan keadaan untuk menghilangkan kesulitan
2.    Istishab secara istilah yakni penetapan hukum tentang ada dan ketidak adaan sesuatu di masa sekarang maupun di masa depan yang didasarkan pada ada dan ketidak adaannya pada masa yang lalu dikarenakan tidak ada dalil yang berindikasi untuk bisa berubah.
Bentuk-Bentuk Istishhab
a.    Istishhab al-bar’at al-ashliyah
b.   Istishhab yang dtunjukanpadapikiranatausyara’
c.    Istishhab hukum
d.   Istishhab al-wafs
3.    Maslahah mursalah adalah kebaikan atau kemaslahatan yang tidak dibahas oleh syari’at Islam mengenai hukumnya
Beberapa dasar hukum atau dalil mengenai berlakunya teori maslahah mursalah adalah Al-Qur’an, Hadist, dan perbuatan para sahabat dan ulama salaf.
Ada banyak sekali macam-macam maslahah seperti maslahah murtabah, maslahah mulghah, maslahah dharuriyah, maslahah hajjiyah, maslahah tahnisiyah. namun yang dibahas disini hanya pokok bahasan saja yakni maslahah saja sehingga disini hanya menyinggung sedikit saja tetang beberapa macam-macam maslahah tersebut.
F.     Daftar Pustaka
Kallaf, Abdul Wahab, 1997, Ilmu Ushul Fikih , Jakarta: Darul Qalam, Quwait
Usman, Iskandar, 1997,  Istihsan Dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers
H. Romli, 2014,  Studi Perbandingan Ushul Fiqih , Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Forum Karya Ilmiah, 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam , Kediri: Purna Siswa Aliyyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Haq, Husnul, Penggunaan Istishab dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Ulama, IAIN Tulungagung: Alhurriyah Vol. 02 No. 01
Saidurrahmad, Istishhab Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam: Sebuah Tinjauan Historis, Medan: Jurnal Asy-Syir’ah
H. A. Djazuli, 2006,  Ilmu fiqh : Pengalihan, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta : Prenada Media Group
Efendi, Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta, Prenada media
Umar Abdullah, dkk, 2004,  Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Kediri : Purna Siswa Aliyah.
Zuhri, Syaifudin, 2009, Ushul Fiqih, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ridwan, 2007, Fiqih Politik, Yogyakarta: FH UII Pres
Muslehuddin, Muhammad,  1991, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya

Catatan:
1.      Similarity sebanyak 17%.
2.      Judul buku dimiringkan.
3.      Dalam beberapa tempat, perujukan agak minim.


[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Darul Qalam, kuwait, 1997), hlm. 104.
[2] Iskandar usman, Istihsan Dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: rajawali pers, 1991), hlm. 20
[3] H. Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqih (Yogyakarta, pustaka pelajar, 2014), hal. 194-198
[4] H. Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqih (Yogyakarta, pustaka pelajar, 2014), hal. 198-205
[5] Forum Karya Ilmiah 2004, “Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam”, Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, 2008, hlm. 195
[6]Husnul Haq, “Penggunaan Istishab dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Ulama”, IAIN Tulungagung: Alhurriyah Vol.02 No.01 Hlm 18-19
[7]Ibid hlm. 19
[8]Saidurrahmad, “Istishhab Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam: Sebuah Tinjauan Historis”. Medan: Jurnal Asy-Syir’ah hlm. 1043-1044
[9] H. A. Djazuli, Ilmu fiqh : pengalihan, perkembangan dan penerapan hukum islam, prenada medai group,jakarta,2006, hlm. 92
[10]Satria Efendi, UshulFiqh, Prenada media,Jakarta,2005, hlm. 161
[11]Abdullah umar-FathulQodir-ZainurArifin, kilasBalikTeoritisFiqh Islam, Puma siwaaliyyah, Kediri, 2004, hlm. 196
[12]ibid hlm.196
[13]Ibid hlm. 197
[14] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009), hlm. 81
[15] Ibid, hlm. 82
[16] Ibid, hlm 83
[17] Ibid, hlm 82
[18] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009), hlm. 84
[19] Ridwan. Fiqih Politik (yogyakarta: FH UII Press. 2007), hlm 94
[20] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm 129
[21] Ibid, hlm 130
[22] Ibid , hlm 130
[23] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009), hlm, 102
[24] Ibid, hlm, 103
[25] Ibid, hil 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar