Minggu, 18 Februari 2018

Shalat 1 (PAI ICP English Semester Genap 2017/2018)




SHALAT 1 : KETENTUAN SHALAT FARDHU, BACAAN SHALAT FARDHU, KETENTUAN WAKTU SHALAT FARDHU, DAN SUJUD SAHWI

Oleh :
Moh. Bahrul Ulum      (16110117)
Nabilla Agushinta       (16110149)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Shalat merupakan kewajiban seluruh umat Islam. Shalat terdapat dalam Rukun Islam yang kedua. Melaksanakan kewajiban shalat adalah berdasar pada perintah Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dilakukan oleh umatnya. Untuk melaksanakan ibadah salat ini kita perlu tahu tentang ilmunya terkait dengan syarat, rukun, fardhu, gerakan serta bacaan, dan apa-apa yang membatalkan salat sehingga salat kita dapat sah dan diterima oleh Allah SWT.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana tata cara  dan ketentuan dalam shalat ?
2.      Apa saja bacaan – bacaan dalam shalat ?
3.      Bagaimana ketentuan sujud sahwi ?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui tata cara dan ketentuan dalam pelaksaan shalat.
2.      Untuk mengetahui bacaan – bacaan dalam shalat.
3.      Untuk mengetahui ketentuan sujud sahwi.











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Singkat dan Tata Cara Shalat
1.      Pengertian Shalat
Menurut Bahasa Arab, pengertian shalat adalah ‘Doa’. Sedangkan pengertian shalat menurut istilah yaitu, ibadah dalam bentuk perkataan dan perbuatan melaksanakannya dengan menggunakan hati yang ikhlas dan khusyu’, kegiatan ini dimulai dengan takbir dan berakhir dengan salam dan pengerjaannya berdasarkan pada syarat dan rukun shalat yang telah ditentukan syara’.[1]
Dalam melakukan ibadah salat, perlu ditekankan bahwa kita diharuskan untuk mengetahui syarat dan rukun salat. Karena pada dasarnya sebuah ibadah hanya akan menjadi penggugur kewajiban ketika kita tidak mengetahui ilmunya. Dapat dianalogikan seseorang yang hendak menanam padi, ketika orang tersebut tidak tahu ilmu menanam padi, bagaimana sawah harus dibajak dahulu, padi harus disemai di penyemaian dulu baru dipindahkan di ladang, salah-salah orang tersebut akan menanam bulir per bulir padi di ladang langsung seperti menanam jagung.
Ilmu yang perlu diketahui oleh setiap mukallaf terkait hubungannya dengan salat adalah syarat (selanjutnya akan dibagi menjadi syarat wajib dan syarat sah salat), rukun, waktu yang diwajibkan dan yang dilarang untuk salat, yang membatalkan dan tidak memperbolehkan salat, gerakan dan bacaan, serta tata cara atau urutan dalam melaksanakan salat. Berikut akan kami jelaskan satu persatu terkait hal tersebut.

2.      Syarat Wajib Shalat
Syarat wajib seperti namanya adalah syarat yang membuat seseorang terkena hukum wajib melaksanakan salat. Siapa saja yang tidak memenuhi syarat-syarat berikut ini tidaklah wajib baginya untuk melaksanakan salat.[2]
a.       Islam
Selain orang islam tidaklah wajib baginya melaksanakan salat, walaupun mereka akan tetap dihukum karena tidak melaksanakannya.
b.      Berakal
Dalam hal ini orang yang hilang akalnya baik karena sakit ataupun hal lainnya seperti gila, pingsan, dan ataupun tidur tidaklah wajib melaksanakan salat. Ada perbedaan pendapat terkait dengan hal tersebut, pendapat pertama dari ulama Syafi’iyah yang beranggapan bahwa jika seseorang hilang akal dalam seluruh waktu salat tertentu, misal salat zuhur, maka hilanglah kewajibannya untuk melaksanakan salat tersebut. Sementara ulama Hanafiyah beranggapan tidak gugur kewajiban baginya, kecuali jika hilang akalnya telah melewati enam waktu salat. Perbedaan juga terjadi pada kewajiban mengganti seperti pendapat ulama Syafi’iyah namun tidak wajib mengganti menurut ulama Hanafiyah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
رُفِعَالْقَلَمُعَنْثَلاَثَةٍ: عَنِالْمَجْنُوْنِحَتَّىيَفِيْقَ،وَعَنِالنَّائِمِحَتَّىيَسْتَيْقِظَ،وَعَنِالصَّبِيِّحَتَّىيَحْتَلِمَ
“Terangkat pena (tidak dicatat perbuatan) dari tiga orang; orang yang tidur sampai dia bangun, bayi sampai dia mengalami mimpi basah (baligh), dan orang gila sampai dia sembuh.” (H.R. Ahmad dan Ashhabus Sunan)

c.       Baligh
Seperti yang telah disebutkan dalam hadis di atas, bahwa tidaklah wajib salat bagi anak yang belum baligh.

d.      Sampai seruan shalat kepadanya
Ketika sebuah kaum tidak sampai ajaran islam kepadanya tidaklah sampai perintah salat kepadanya. Mereka tidak tahu maka tidak wajib bagi mereka untuk mengerjakan salat. Hal ini dapat kita sambungkan terhadap syarat wajib salat berakal yang maksud dari berakal ini adalah memiliki ilmu tentang hal tersebut, jadi dapat dianggap suatu kaum tersebut tidak berakal dalam arti tidak ada dakwah yang sampai pada mereka.

e.       Normal panca inderanya (sejak lahir)
Yang ketika tidak normal maka akan sulit baginya untuk mengetahui tanda-tanda masuknya salat, ataupun mengetahui bagaimana caranya salat. Namun ketika yang tidak normal adalah indera pengecap dan peraba, maka orang tersebut harus tetap melaksanakan salat.

3.      Syarat Sah Shalat
Maksud dari syarat sah adalah syarat yang harus ada sebelum melaksanakan salat agar sah dan dapat diterima salat orang tersebut. Dalam kitab Safinatun Najah karya Syekh Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Abdullah bin Sumair Al-Hadhromi dijelaskan bahwa syarat sah salat ini ada delapan.
(فَصْلٌ) شُرُوْطُالّصَلَاةِثَمَانِيَّةٌ : طَهَارَةُالْحَدَثَيْنِوَالَّطَهَارَةُعَنِالّنَجَاسَةِفِيْالّثَوْبِوَالْبَدَنِوَالْمَكَانِوَسَتْرُالْعَوْرَةِوَاسْتِقْبَالُالْقِبْلَةِوَدُخُوْلُالْوَقْتِوَاْلعِلْمُبِفَرْضِيَّتِهَاوَأَنْلَايَعْتَقِدَفَرْضًامِنْفُرُوْضِهَاسُنَّةًوَاجْتِنَابُالْمُبْطِلَات
“Syarat sah salat ada delapan; suci dari dua hadas, suci dari najis pada pakaian, badan, dan tempat, menutup aurat, menghadap kiblat, telah masuk waktu, tahu akan rukun-rukun salat, dapat membedakan fardhu dan sunah salat (sehingga tidak meniatkan fardhu sebagai sunah dan sebaliknya), serta menjauhi semua yang membatalkan salat. ”

Selain kedelapan syarat tersebut, ulama Hanafiyah dan Hanabilah beranggapan bahwa niat juga termasuk sebagai syarat sah salat, namun ulama Malikiyah dan Syafi’iyah menganggapnya sebagai rukun salat.
Sebagai penjelasan tambahan, telah kita ketahui bahwa kiblat bagi umat islam adalah Kakbah dan tidak sah salat bagi mereka tanpa menghadapnya kecuali dalam empat hal yakni salat di atas kendaraan, salat dalam keadaan dipaksa dan salatnya orang sakit ketika tidak mampu menghadap sendiri serta tidak ada yang menghadapkan kiblat.
Anggota badan yang harus ditutupi atau disebut dengan aurat bagi laki-laki adalah dari pusar sampai ke lutut, dan bagi perempuan adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan telapak tangan. Namun yang dimaksud dari pusar sampai lutut adalah termasuk pusar dan lututnya jadi ada baiknya ketika ditutup dari atas pusar sampai bawah lutut. Dan bagi perempuan juga perlu menutup bagian tepi dari wajah seperti dagu dan bagian depan telinga, dan juga bagian tepi dari telapak tangan. Aurat yang harus ditutup dalam salat ini haruslah tertutup dari depan, belakang, kiri, kanan, dan atas. Jadi ketika seseorang sudah menutup auratnya namun masih terlihat dari bawah, misal sarung, maka tetaplah sah salat orang tersebut. Dan juga penutup ini harus mampu menutupi warna kulit walaupun tipis, serta tidak menampakkan bentuk tubuh, dan harus dipakai.[3]
Masuknya waktu salat juga menjadi salah satu syarat sahnya salat, sebagai perwakilan dalil yang sudah mencakup keseluruhan waktu dari salat yang diwajibkan akan kami sajikan salah satu hadis yang menurut Imam Bukhari sebagai yang paling sahih, diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a.

أَخْبَرَنَاسُوَيْدُبْنُنَصْرٍقَالَأَنْبَأَنَاعَبْدُاللَّهِبْنُالْمُبَارَكِعَنْحُسَيْنِبْنِعَلِيِّبْنِحُسَيْنٍقَالَأَخْبَرَنِيوَهْبُبْنُكَيْسَانَقَالَحَدَّثَنَاجَابِرُبْنُعَبْدِاللَّهِقَالَجَاءَجِبْرِيلُعَلَيْهِالسَّلَامإِلَىالنَّبِيِّصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَحِينَزَالَتْالشَّمْسُفَقَالَقُمْيَامُحَمَّدُفَصَلِّالظُّهْرَحِينَمَالَتْالشَّمْسُثُمَّمَكَثَحَتَّىإِذَاكَانَفَيْءُالرَّجُلِمِثْلَهُجَاءَهُلِلْعَصْرِفَقَالَقُمْيَامُحَمَّدُفَصَلِّالْعَصْرَثُمَّمَكَثَحَتَّىإِذَاغَابَتْالشَّمْسُجَاءَهُفَقَالَقُمْفَصَلِّالْمَغْرِبَفَقَامَفَصَلَّاهَاحِينَغَابَتْالشَّمْسُسَوَاءًثُمَّمَكَثَحَتَّىإِذَاذَهَبَالشَّفَقُجَاءَهُفَقَالَقُمْفَصَلِّالْعِشَاءَفَقَامَفَصَلَّاهَاثُمَّجَاءَهُحِينَسَطَعَالْفَجْرُفِيالصُّبْحِفَقَالَقُمْيَامُحَمَّدُفَصَلِّفَقَامَفَصَلَّىالصُّبْحَثُمَّجَاءَهُمِنْالْغَدِحِينَكَانَفَيْءُالرَّجُلِمِثْلَهُفَقَالَقُمْيَامُحَمَّدُفَصَلِّفَصَلَّىالظُّهْرَثُمَّجَاءَهُجِبْرِيلُعَلَيْهِالسَّلَامحِينَكَانَفَيْءُالرَّجُلِمِثْلَيْهِفَقَالَقُمْيَامُحَمَّدُفَصَلِّفَصَلَّىالْعَصْرَثُمَّجَاءَهُلِلْمَغْرِبِحِينَغَابَتْالشَّمْسُوَقْتًاوَاحِدًالَمْيَزُلْعَنْهُفَقَالَقُمْفَصَلِّفَصَلَّىالْمَغْرِبَثُمَّجَاءَهُلِلْعِشَاءِحِينَذَهَبَثُلُثُاللَّيْلِالْأَوَّلُفَقَالَقُمْفَصَلِّفَصَلَّىالْعِشَاءَثُمَّجَاءَهُلِلصُّبْحِحِينَأَسْفَرَجِدًّافَقَالَقُمْفَصَلِّفَصَلَّىالصُّبْحَفَقَالَمَابَيْنَهَذَيْنِوَقْتٌكُلُّهُ
“Telah mengabarkan kepada kami (Suwaid bin Nashr) dia berkata; Telah memberitakan kepada kami (Abdullah bin Al Mubarak) dari (Husain bin Ali bin Husain) dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku (Wahab bin Kaisan) dia berkata; telah menceritakan kepada kami (Jabir bin Abdullah) dia berkata, "Jibril 'alaihissalam datang kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam ketika matahari telah condong ke barat, ia berkata. 'Wahai Muhammad, bangkitlah dan tegakkanlah salat!' Lalu beliau salat Zhuhur ketika matahari condong ke barat. Kemudian dia menetap hingga tatkala bayangan seseorang seperti aslinya. Ia datang pada waktu Ashar, lantas berkata, 'Wahai Muhammad, bangkitlah dan tegakkanlah salat!' Lalu beliau salat Ashar, Kemudian dia menetap. Ia datang lagi ketika matahari telah terbenam dan berkata, 'Bangkit dan tegakkan salat Maghrib!' lalu beliau salat Maghrib ketika matahari terbenam. Kemudian dia menetap dan tatkala awan merah telah hilang Jibril datang dan berkata 'bangkitlah dan tegakkan salat Isya!' Lalu beliau salat Isya, dan saat fajar terbit pada waktu pagi, ia berkata, 'Bangkitlah dan tegakkan salat!' Lalu beliau salat Subuh. Kemudian besoknya ia datang lagi ketika bayangan orang sama seperti aslinya dan berkata, 'Wahai Muhammad, bangkitlah dan tegakkanlah salat!, lalu beliau salat Zhuhur. Kemudian Jibril datang lagi tatkala bayangan (benda) seperti dua kali lipatnya, ia berkata, 'Wahai Muhammad, tegakkanlah salat! lalu beliau salat Ashar. Kemudian Jibril datang lagi untuk salat saat matahari terbenam dan hanya satu waktu. Ia berkata, 'Wahai Muhammad, tegakkanlah salat!' Lalu beliau salat Maghrib. Ia juga datang untuk salat Isya ketika sepertiga malam berlalu, 'Wahai Muhammad, tegakkanlah salat!, lalu beliau salat Isya. Kemudian Jibril datang untuk salat Subuh ketika sudah terang sekali, ia berkata, 'Wahai Muhammad, tegakkanlah salat! lalu beliau salat subuh. Lalu beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Semua waktu salat adalah di antara dua waktu ini." (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).

Dari hadis di atas dapat kita ketahui waktu-waktu yang diwajibkan salat adalah:
a.       Salat Dhuhur, yakni ketika matahari mulai tergelincir sampai panjang bayangan benda sama dengan benda aslinya (waktu salat ashar).
b.      Salat Ashar, yakni ketika panjang bayangan benda sama dengan benda aslinya sampai bayangan benda sama dengan dua kali benda aslinya, belum sampai tenggelam matahari.
c.       Salat Maghrib, yakni ketika matahari mulai terbenam sampai tiba waktu isya.
d.      Salat Isya, yakni ketika telah hilang tanda merah di langit sampai sepertiga malam terakhir.
e.       Salat Subuh, yakni ketika fajar telah muncul sampai langit mulai terang (terbit matahari).
Selain waktu-waktu yang diwajibkan untuk salat, juga terdapat waktu yang mana diharamkan bagi kita untuk melaksanakan salat, kami akan menyajikan hadis riwayat Uqbah bin Amir sebagai dalil dari diharamkannya waktu ini.
أَخْبَرَنَاعَمْرُوبْنُعَلِيٍّقَالَحَدَّثَنَاعَبْدُالرَّحْمَنِقَالَحَدَّثَنَامُوسَىبْنُعَلِيِّبْنِرَبَاحٍقَالَسَمِعْتُأَبِيقَالَسَمِعْتُعُقْبَةَبْنَعَامِرٍالْجُهَنِيَّقَالَثَلَاثُسَاعَاتٍكَانَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَنْهَانَاأَنْنُصَلِّيَفِيهِنَّأَوْنَقْبُرَفِيهِنَّمَوْتَانَاحِينَتَطْلُعُالشَّمْسُبَازِغَةًحَتَّىتَرْتَفِعَوَحِينَيَقُومُقَائِمُالظَّهِيرَةِحَتَّىتَزُولَالشَّمْسُوَحِينَتَضَيَّفُالشَّمْسُلِلْغُرُوبِ
“Telah mengabarkan kepada kami ('Amru bin 'Ali) dia berkata; telah menceritakan kepada kami ('Abdurrahman) dia berkata; telah menceritakan kepada kami (Musa bin 'Ali bin Rabah) dia berkata; aku mendengar (bapakku) berkata; aku mendengar ('Uqbah bin 'Amir Al Juhani) dia berkata; "Ada tiga waktu yang ketiganya kita dilarang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk shalat pada waktu tersebut, atau menguburkan orang-orang yang telah meninggal di antara kita, yaitu: ketika terbit matahari hingga naik, ketika siang hari hingga tergelincir dan ketika matahari mendekati terbenam.”[4]

4.      Rukun Shalat
Sama halnya dengan syarat, rukun juga harus ada dalam salat, namun perbedaan dari keduanya terletak pada tempat atau waktu melaksanakannya. Seperti telah kami jelaskan bahwa syarat terletak sebelum melaksanakan salat makan rukun ini ada pada saat kita melaksanakan salat tersebut. Rukun ini dapat berupa perkataan ataupun perbuatan dan juga harus dikerjakan secara runtut agar salat seseorang sah menurut syariat. Berikut adalah rukun-rukun salat:
a.       Niat
Segala perbuatan atau amalan haruslah didasarkan pada niat, karena inilah penentu benar tidaknya sebuah perbuatan untuk pertama kalinya semisal kita niat memberikan sesuatu untuk pamer kepada orang lain, maka hilang sudah kebaikan yang seharusnya kita dapat dari hal tersebut. Seperti halnya dengan salat ketika salah niat kita maka habis sudah salat kita.
Dalam perihal salat niat ini dapat dibagi menjadi dua, yang pertama adalah niat billisan yang diucapkan oleh lisan dan niat dalam hati untuk melaksanakan salat. Jadi langkah untuk meniatkan salat adalah membaca niat secara lisan, menanamkan dalam hati, lalu takbiratul ihram dengan menetapkan niat tersebut tetap di dalam hati.[5]  Sedangkan lafal dari niat tersebut dibagi lagi menjadi tiga dan ketiganya adalah syarat minimal untuk sahnya niat tersebut yakni; fi’li, ta’rid, dan ta’yin. Fi’li berarti niat untuk melakukan salat yakni lafal usholli. Ta’rid berarti meniatkan untuk salat fardhu yakni lafal fardha. Ta’yin berarti menjeniskan salatnya semisal salat dhuhur maka lafal yang dimaksud adalah lafal dhuhri. Dan ketika kita salat menjadi makmum maka kita juga diharuskan untuk meniatkan menjadi makmum (menambah lafal makmuman).[6]

b.      Takbiratul Ikhram
Sesuai namanya takbiratul ihram adalah bacaan takbir ‘Allahu Akbar’ yang dibaca ketika memulai salat dengan mengangkat tangan dengan angkatan setinggi telinga, diusahakan jempol lurus dengan telinga dan menghadapkan kedua telapak tangan ke arah kiblat dengan tanpa merenggangkan jari-jari (sunah) dan disertai dengan lafal Allah dan Akbar yang tidak boleh diganti dengan lafal lain ataupun menambahi huruf seperti wawu mati ataupun tasydid dan dibaca tertib tanpa dibolak-balik serta tanpa jeda di antara kedua lafal walaupun sebentar.[7]

c.       Berdiri dalam shalat fardu apabila mampu

d.      Membaca surat Al-Fatihah
Membaca surah al-Fatihah pada setiap rakaat salat menjadi sebuah rukun yang harus dikerjakan baik dalam salat fardhu ataupun sunah.

e.       Ruku’ disertai tuma’ninah
Terdapat banyak sekali dalil dari kewajiban ruku’ dalam Al-Quran yang salah satunya adalah firman Allah:

يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواارْكَعُواوَاسْجُدُواوَاعْبُدُوارَبَّكُمْوَافْعَلُواالْخَيْرَلَعَلَّكُمْتُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”
Cara untuk melaksanakan gerakan ruku’ adalah dengan menekuk punggung seperti hendak sujud, meletakkan kedua tangan sebagai penyangga tubuh dengan telapak tangan mendekap kedua lutut, punggung diusahakan lurus, dan diawali dengan takbir yang disertai mengangkat tangan seperti saat takbiratul ihram.

f.       I’tidal disertai tuma’ninah
Yakni sikap berdiri bangun dari ruku’ yang harus dilakukan dengan thuma’ninah atau berhenti sejenak yang dalam hal ini dijelaskan bahwa sejenak yang dimaksud adalah cukupnya bacaan subhanallah  di dalamnya. Cara dari gerakan I’tidal adalah dengan bangun lalu mengangkat tangan seperti saat takbiratul ihram dengan mengucap Allahu Akbar atau Samiallahu liman hamidah, lalu menurunkan tangan dan diposisikan agar tangan langsung terhenti gerakannya dan tidak melambai-lambaikannya.

g.      Sujud disertai tuma’ninah
Sujud adalah tanda bahwa kita sebagai makhluk memiliki derajat yang amat sangat rendah dibanding dengan sang khalik dengan cara meletakkan bagian kepala kita yang umumnya menjadi bagian terpenting dan puncak dari kehormatan manusia ke lantai, tempat yang biasanya diinjak injak. Tata cara sujud sendiri adalah dengan meletakkan tujuh tulang atau anggota badan yakni kening, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua ujung kaki. Ulama Hanabilah menambahkan bahwa hidung termasuk dalam syarat ini karena dianggap bersatu dengan tulang kening, namun imam mazhab lain menghukuminya dengan hukum sunah.

h.      Duduk diantara dua sujud disertai tuma’ninah
Tiga dari empat mazhab kecuali mazhab Hanafi sepakat bahwa duduk diantara dua sujud menjadi rukun salat, sedangkan ulama Hanafiyah beranggapan bahwa duduk ini dihukumi sunah. Cara dari gerakan ini adalah dengan duduk menekuk kaki kiri lalu memasukkan ke bagian bawah paha kanan lalu mendudukinya, kaki kanan lurus dan ujung jari ditegakkan di lantai.

i.        Duduk tasyahud akhir
Cara duduk tasyahud akhir ini hampir sama dengan duduk antara dua sujud hanya berbeda pada letak kaki kiri yang ditembuskan sampai di bawah tulang kering kaki kanan (tidak diduduki).

j.        Shalawat pads Nabi Muhammad SAW pada tasyahud akhir
Bacaan shalawat ini berfungsi sebagai penghormatan kepada beliau dengan sekurang-kurangnya ucapan “allahumma shalli ‘ala Muhammad.”

k.      Salam sekali
Kecuali mazhab Hanabi beranggapan salam yang wajib hanya sekali sementara ulama Hanabilah beranggapan kedua salam adalah wajib hukumnya.

l.        Tertib
Seperti telah dijelaskan pada awal bahasan, setiap rukun harus dikerjakan secara runtut dan berurutan, tanpa dibolak-balik.

5.      Hal – Hal yang Membatalkan Shalat
a.       Meninggalkan salah satu rukun atau menambahinya seperti menambah rakaat salat.
b.      Meninggalkan salah satu syarat seperti hilangnya akal, berhadas, terkena najis, ataupun membuka aurat.
c.       Berkata dengan sengaja sebanyak dua huruf walaupun tidak memiliki arti ataupun satu huruf yang memiliki arti. [8]
d.      Banyak bergerak (tiga kali) yang gerakan tersebut dilakukan secara beruntun, jikalau gerakan tersebut tidak beruntun maka tidak apa-apa.
e.       Makan atau minum.[9]

B.     Bacaan – Bacaan dalam Shalat
1.      Bacaan niat
Contoh bacaan niat shalat Subuh :
اُصَلّى فَرْضَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً مَأْمُوْمًا ِللهِ تَعَالَى
Artinya :
Aku berniat shalat fardu Shubuh dua raka'at menghadap kiblat sebagai ma'mum karena Allah Ta'ala

2.      Takbiratul Ihram
اَللهُ اَكْبَرْ , bacaan Takbiratul Ihram dilakukan dengan mengangkat kedua tangan sampai setinggu telinga atau ada beberapa yang meriwayatkan hingga setinggi bahu.[10]

3.      Doa iftitah
Dalam bacaan doa iftitah ini, ada beberapa ulama yang berbeda pendapat dan terdapat dua bacaan iftitah yang digunakan. Bacaan iftitah 1 umumnya digunakan oleh NU dan bacaan iftitah 2 umumnya digunkan oleh Muhammadiyah.
Bacaan doa iftitah 1:
اَللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. أِنِّ وَجَّهْةُ وَجْهِيَ ِللذِيْ فَطَرَالسَّمَوَاتِ وَاْلآَرْضَ حَنِيِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمْحْيَايَ وَمَمَاتِيْ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Allah Maha Besar sebesar-besarnya. Dan puji-pujian bagi Allah sebanyak-banyaknya. Dan maha suci Allah siang dan malam. Kuhadapkan mukaku, kepada yang menjadikan langit dan bumi, aku cenderung lagi berserah kepada Allah dan bukanlah aku dari golongan orang-orang yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku kuserahkan hanya pada Allah tuhan seru sekelian alam. Sekali-kali tidaklah aku menyekutukanNya . Dan dengan demikian aku ditugaskan, dan aku adalah dari golongan orang-orang Muslim (Islam).”

Bacaan doa iftitah 2:

4.      Al-Fatihah
Setelah membaca doa Iftitah, Nabi Muhammad membaca Surat Al-Fatihah. Terkadang Nabi Muhammad membaca Basmallah dengan Jahr dan terkadang membacanya dengan sirri.[12] Terdapat tiga pendapat para mujtahid dalam mekanis pembacaan Basmallah dalam Shalat. Pembacaan Basmallah baik secara sirri atau jahr sangat dilarang mutlak oleh Imam Malik ketika membaca Al Fatihah ataupun surat lainnya dalam Shalat Wajib, namun diperbolehkan dalam shalat Sunnah. Sedangkan yang berpendapat bahwa harus membaca Basmalah baik sirri maupun jahr yaitu Imam Abu hanifah, al-Tsauri, dan Ahmad bin Hanbal. Sedangkan Imam yang memperbolehkan membaca Basmallah secara Sirri pada shalat yang bacaannya sirri ( Shalat Dhuhur dan Ashar), dan membaca jahr pada shalat yang bacaannya jahr (Shalat Subuh, Maghrib, dan Isya’), yaitu Imam Syafi’i.[13]

5.      Surat Surat Pendek atau ayat Al Qur’an Lain
Setelah membaca Surat Al- Fatihah, maka disunnahkan membaca Surat Pendek, dan berbeda surat tiap rakaat pertama dan kedua.

6.      Takbir
اَللهُ اَكْبَرْ

7.      Bacaan Rukuk
Bacaan rukuk ini dibaca 3x
Ada dua versi bacaan rukuk:
Bacaan Rukuk (1)
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung Dan Dengan Memuji-Nya.


Bacaan Rukuk (2)
سبحانك اللهم ربنا وبحمدك ، اللهم اغفر لي
“Mahasuci Engkau ya Allah wahai Tuhanku dan dengan memujiMu ampunilah aku[14]

8.      Bacaan I’tidal
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
Allah mendengar orang yang memuji-Nya.”

9.      Bacaan berdiri setelah rukuk
Ada dua versi Dzikir yang biasa dibaca setelah I’tidal :
Bacaan (1)
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّموَاتِ وَمِلْءُ اْلاَرْضِ وَمِلْءُمَاشِئْتَ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ
Ya Allah, Tuhan kami bagi-Mu segala puji, sepenuh langit dan bumi dan sepenuh barang yang Engkau kehendaki sesudah itu.”

Bacaan (2)
رَبَّنَا وَلَكَ اْلحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
“Ya Tuhan kami, (hanya) untukMu lah (segala) pujian yang banyak, baik, dan diberkahi padanya ”

10.  Bacaan Doa Qunut
Doa qunut merupakan doa yang dibaca khusus pada Shalat subuh, doa ini dibaca saat selesai I’tidal. Namun ada golongan yang meyakini bahwa doa qunut tidak harus dibaca saat melaksanakan shalat subuh, sehingga mereka tidak membacanya. Bagi yang beranggapan tidak perlu membacanya karena mereka meyakini bahwa doa qunut adalah Sunnah, karena Rasulullah tidak pernah meninggalkan membaca doa Qunut ketika shalat subu walaupun tidak sedang dalam bahaya, dan doa Qunut juga dilakukan oleh empat ulama Khulafaur Rasyidin dan tidak pernah putus mengamalkannya.[15]
اَللّهُمَّ اهْدِنِىْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ
وَعَافِنِى فِيْمَنْ عَافَيْتَ
وَتَوَلَّنِىْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ
وَبَارِكْ لِىْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ
وَقِنِيْ شَرَّمَا قََضَيْتَ،
فَاِ نَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ
وَاِ نَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ
وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ
تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ
وَاَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
“Ya Allah tunjukkanlah akan daku sebagaiman mereka yang telah Engkau tunjukkan
Dan berilah kesihatan kepadaku sebagaimana mereka yang Engkau telah berikan kesihatan
Dan peliharalah daku sebagaimana orang yang telah Engkau peliharakan
Dan berilah keberkatan bagiku pada apa-apa yang telah Engkau kurniakan
Dan selamatkan aku dari bahaya kejahatan yang Engkau telah tentukan
Maka sesungguhnya Engkaulah yang menghukum dan bukan kena hukum
Maka sesungguhnya tidak hina orang yang Engkau pimpin
Dan tidak mulia orang yang Engkau memusuhinya
Maha Suci Engkau wahai Tuhan kami dan Maha tinggi Engkau
Maha bagi Engkau segala pujian di atas yang Engkau hukumkan
Ku memohon ampun dari Engkau dan aku bertaubat kepada Engkau
(Dan semoga Allah) mencurahkan rahmat dan sejahtera ke atas junjungan kami Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.”

11.  Bacaan sujud
Ada dua versi bacaan sujud:
Bacaan (1)
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلاَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi Dan Dengan Memuji-Nya”

Bacaan sujud (2)
سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ رَبَّناَ وَبِحَمْدِكَ اَللّهُمَّ اغْفِرْلِى
“Segala puji bagi-Mu, Ya Allah Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu Yaa Allah ampunilah aku”.

12.  Bacaan duduk diantara dua sujud
Ada dua versi bacaan duduk diantara dua sujud :
Bacaan (1)
رَبِّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَارْفَعْنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَعَافِنِيْ وَاعْفُ عَنِّيْ
“Ya Allah,ampunilah dosaku,belas kasihinilah aku dan cukuplah segala kekuranganku da angkatlah derajatku dan berilah rezeki kepadaku,dan berilah aku petunjuk dan berilah kesehatan padaku dan berilah ampunan kepadaku

Bacaan (2)
اَللّهُمَّ اغْفِرْلِى وَارْحَمْنِى وَاجْبُرْنِى وَاهْدِنِى وَارْزُقْنِى
“Ya Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupilah aku, tunjukilah aku, dan berilah rizki untukku”

13.  Bacaan tasyahud awal
Ada dua versi bacaan doa tasyahud awal:
Bacaan (1)
اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ِللهِ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِاللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ اَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَاَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهُ، اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
“Segala penghormatan yang berkat solat yang baik adalah untuk Allah. Sejahtera atas engkau wahai Nabi dan rahmat Allah serta keberkatannya. Sejahtera ke atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang soleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad itu adalah pesuruh Allah. Ya Tuhan kami, selawatkanlah ke atas Nabi Muhammad.”

Bacaan (2)
اَلتَّحِيَّاتُ لِلّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّباَتُ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهاَ النَّبِيُّ

وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْناَ وَعَلَى عِباَدِاللهِ الصَّالِحِيْنَ.

أَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهِ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Segala kehormatan, kebahagiaan dan kebagusan adalah kepunyaan Allah, Semoga keselamatan bagi Engkau, ya Nabi Muhammad, beserta rahmat dan kebahagiaan Allah. Mudah-mudahan keselamatan juga bagi kita sekalian dan hamba-hamba Allah yang baik-baik. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba Allah dan utusan-Nya”.
Kemudian dilanjut doa Sahalawat kepada Nabi
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَالِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَالِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَالِ إِبْرَاهِيْمَ. إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Ya Allah, limpahkanlah kemurahan-Mu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Kau telah limpahkan kepada Ibrahim dan keluarganya, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Kau telah berkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau yang Maha Terpuji dan Maha Mulia”
Kemudian dilanjut doa sesudah tasyahud awal
اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْماً كَثِيراً وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ. فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي، إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan kezaliman yang banyak. Tiada sesiapa yang dapat mengampunkan dosa-dosa melainkan Engkau, maka ampunilah bagiku dengan keampunan dariapda-Mu dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau maha pengampun lagi maha penyayang."

14.  Bacaan tasyahud akhir
Ada dua versi dalam bacaan tasyahud akhir:
Bacaan (1)
اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ِللهِ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِاللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ اَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَاَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهُ، اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَرَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Segala penghormatan yang berkat solat yang baik adalah untuk Allah. Sejahtera atas engkau wahai Nabi dan rahmat Allah serta keberkatannya. Sejahtera ke atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang soleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad itu adalah pesuruh Allah. Ya Tuhan kami, selawatkanlah ke atas Nabi Muhammad dan ke atas keluarganya. Sebagaimana Engkau selawatkan ke atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim. Berkatilah ke atas Muhammad dan atas keluarganya sebagaimana Engkau berkati ke atas Ibrahim dan atas keluarga Ibrahim di dalam alam ini. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung.”

Bacaan (2)
اَلتَّحِيَّاتُ لِلّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّباَتُ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهاَ النَّبِيُّ

وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْناَ وَعَلَى عِباَدِاللهِ الصَّالِحِيْنَ.

أَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهِ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Segala kehormatan, kebahagiaan dan kebagusan adalah kepunyaan Allah, Semoga keselamatan bagi Engkau, ya Nabi Muhammad, beserta rahmat dan kebahagiaan Allah. Mudah-mudahan keselamatan juga bagi kita sekalian dan hamba-hamba Allah yang baik-baik. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba Allah dan utusan-Nya”.

Kemudian dilanjut doa Sahalawat kepada Nabi
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَالِ إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَالِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَالِ إِبْرَاهِيْمَ. إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
“Ya Allah, limpahkanlah kemurahan-Mu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Kau telah limpahkan kepada Ibrahim dan keluarganya, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Kau telah berkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau yang Maha Terpuji dan Maha Mulia”
Kemudian dilanjutkan doa sesudah tasyahud akhir
اَللّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ, وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْياَ وَالْمَمَاتِ, وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ
“Ya Allah aku berlindung kepada Engkau dari siksa jahannam dan siksa kubur, begitu juga dari fitnah hidup dan mati, serta dari jahatnya fitnah dajjal (pengembara yang dusta)”.

15.  Salam
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
“Semoga keselamatan, rohmat dan berkah ALLAH selalu tercurah untuk kamu sekalian”

C.    Ketentuan Sujud Sahwi
1.      Pengertian Sujud Sahwi
Sujud sahwi bukanlah rukun shalat, namun karena suatu sebab, seperti lupa atau keliru yang dapat menimbulkan keraguan saat mengerjakan shalat, maka sujud ini dilakukan. Sujud sahwi dilakukan dua kali setelah membaca Tasyahud akhir dan sebelum membaca salam atau dapat pula dilakukan sesudah membaca salam.[16]

2.      Sebab – sebab sujud Sahwi
a.       Tertinggal Tasyahud Pertama
b.      Lupa dalam shalat sehingga kelebihan rakaat, ruku, dan sujud.
c.       Merasa ragu terhadap jumlah rakaat shalat yang sedang dikerjakan.
d.      Lupa dalam mengingat rakaat yang sudah dilakukan dalam shalat sehingg amembuat rakaat shalatnya kurang.

3.      Tata cara Sujud Sahwi
Melakukan sujud sahwi ketika sebelum salam atau sesudah salam dua kali.

4.      Bacaan Sujud Sahwi
Bacaan sujud sahwi dibaca 3x
سُبْحَانَ مَنْ لاَ يَنَامُ وَلاَيَسْهُوْ

























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Mengetahui tata cara dan ketentuan dalam shalat sangatlah penting, karena ketentuan shalat meliputi syarat sah, syarat wajib, dan rukun shalat. Apabila ketiga poin ini ada yang tidak terpenuhi maka hukum shalat yang dilakukan bisa menjadi tidak sah. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami ketentuan serta tata cara melakukan Shalat Fardhu.
2.      Mengetahui dan memahami bacaan dalam shalat juga tidak kalah penting. Ada beberapa pendapat dalam bacaan shalat, oleh karena itu kita harus mengetahui dengan jelas dan memahami sehingga mampu mengamalkan shalat dengan bacaan – bacaan dalam tuntunan Imam yang kita yakini.
Sujud sahwi merupakan bagian penting dalam shalat. Karena sujud sahwi dilakukan apabila seseorang lupa dengan jumlah raat ia telah lakukan ketika shalat. Hal ini sangat mungkin kita jumpai sehari – hari. Oleh karena itu sangatlah penting memahami tata cara dan ketentuan sujud sahwi agar kita dapat melakukannya pada saat yang diharuskan.














DAFTAR PUSTAKA


Al-Asyqalani, Syekh Ibnu Hajar.Bulughul Maram. Surabaya: Toko Kitab Al-Hidayah.

Al-Hadhromi, Syekh Abdullah bin Umar. 1975.Safinatus Sholat.Diterjemahkan oleh: K.H. Bisri Mustofa.Kudus: Maktabah wa Mathba'ah Menara Kudus.

Al-Hadhromi, Syekh Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Abdullah bin Sumair.1960. Safinatun Najah.Diterjemahkan oleh: Syekh Asrar bin Ahmad bin Kholil Kudus: Maktabah wa Mathba'ah Menara Kudus.

Al-Musainid, Syekh Abdul Aziz bin Nashir. 2007. Al-Qaul Al-Mubin Fi Ma’rifati Maa Yahummu al-Mushallin.Diterjemahkan oleh: Saefuddin Zuhri. Jakarta: Penerbit Almahira.

Ar-Rahbawi, Abdul Qadir. 2007. Ash-Sholah ‘alaa Madzaahib Al-Arbaah.Diterjemahkan oleh: Abu Firly Bassam Taqiy. Yogyakarta: Hikam Pustaka.

Arfan, Abbas. 2008. Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum Islam. Malang: UIN Malang Press.

Hasan, A.. 1985. Soal Jawab Berbagai Masalah Agama. Bangil: Perc. Persatuan Bangil.

Hasbi, Teuku Muhammad A. S. 2000. Kuliah Ibadah. Semarang: Pustaka Riski Putra.

Kadir, Abdul Nuhuyanan. 2002. Pedoman & Tuntunan Shalat Lengkap. Jakarta: Gema Insani.

Qoyyim, Ibnu Al-Jauziyah. 2010. Fikih Shalat. Yogyakarta: Media Grafika Utama.

Rasjid, H. Sulaiman. 1976.Fikih Islam. Jakarta: Atthahiriyah.

Catatan:
1.      Similarity 4%.
2.      Tolong makalahnya dirapikan, ada beberapa bagian yang belum rapi.


[1] Abdul Kadir N., Pedoman & Tuntunan Shalat Lengkap, (Jakarta: Gema Insani, 2002), Hlm 19
[2] Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Ash-Sholah ‘alaa Madzaahib Al-Arbaah, terj. Abu Firly Bassam Taqiy (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2007), hal. 188-190
[3] Syekh Abdullah bin Umar Al-Hadhromi, Safinatus Sholat, terj. K.H. Bisri Mustofa, (Kudus: Maktabah wa Mathba'ah Menara Kudus, 1975), hal. 30-32
[4] Syekh Ibnu Hajar Al-Asyqalani, Bulughul Maram (Surabaya: Toko Kitab Al-Hidayah), hal. 44
[5] Syekh Abdullah bin Umar Al-Hadhromi, Safinatus Sholat, terj. K.H. Bisri Mustofa, (Kudus: Maktabah wa Mathba'ah Menara Kudus, 1975), hal. 43-44
[6] Syekh Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Abdullah bin Sumair Al-Hadhromi, Safinatun Najah, terj. Syekh Asrar bin Ahmad bin Kholil (Kudus: Maktabah wa Mathba'ah Menara Kudus, 1960), hal. 63
[7]Ibid, hal.65-68
[8]Ibid, hal. 92
[9] H. Sulaiman Rasjid, Fikih Islam, (Jakarta: Atthahiriyah, 1976), hal. 103-105
[10] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Fikih Islam, (Yogyakarta: Media Grafika Utama, 2010), hlm 32
[11] Syekh Abdul aziz bin Nashir al-Musainid, Al-Qaul Al-Mubin Fi Ma’rifati Maa Yahummu al-Mushallin, terj. Saefuddin Zuhri, (Jakarta: Penerbit Almahira, 2007), hal. 49-50
[12] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Semarang: PT> Pustaka Rizki Putra, 2000), hal. 140
[13] H. Abbas Arfan, Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008) hal. 243
[14]Ibid, hal. 29
[15] A. Hasan, Moh. Ma’sum, H. Mahmud Aziz, Soal Jawab Berbagai Masalah Agama, (Bangil: Perc. Persatuan Bangil, 1985) hal. 147
[16]Ibid, hal. 55-57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar