Minggu, 29 Oktober 2017

Hadis Mutawatir dan Ahad (PAI D Semester Ganjil 2017/2018)




PAI-D Angkatan 2016
Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang
Amalia Ainun F. N     (16110148)
Rizqi Fatkhu Rokman (16110165)

Abstract
This article will explain a little about the understading and some examples of hadith mutawatir and hadith ahad and the quantity of the rawi, which if we look to the hadith ink we will discuss how the hadith proceeded or even become a benchmark in real life, hadited mutawatir have terms and the provision if his narration, which in which this hadith will speak of quantity or quantity of each level between the mutawatir hadith and the ahadith in the narration of the fabric.In the artikel will also explain a little about the benefits as well as the distincion between hadith mutawatir and hadits ahad.

Keywords :Hadith Mutawatir, Hadits Ahad, Benefits, Different

Abstrak
Artikel ini akan sedikit menjelaskan tentang pengertian dan beberapa contoh dari Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad serta kuantitas dari para rawi, yang dimana jika kita lihat untuk hadits ini kita akan membahas bagaimana hadits tersebut berproses atau bahkan menjadi sebuah patokan dalam kehidupan nyata, hadits mutawatir memiliki syarat dan ketentuan dalam periwayatannya, yang dimana hadits ini akan berbicara tentang kuantitas atau kuantiti (jumlah) dari masing-masing tingkatan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam periwayatan rawinya. Didalam artikel ini juga akan menjelaskan sedikit tentang manfaat serta distingsi antara hadits mutawatir dan hadits ahad.

Kata kunci : Hadits Mutawatir, Hadits Ahad, Manfaat, Perbedaan



A.      Pendahuluan
Dalam hal ini, kami akan membahas sedikit tentang hal-hal yang mengenai sebuah hadits Mutawatir dan Hadits Ahad, Hadits mutawatir sendiri adalah hadits yang tingkatannya setelah hadits Shahih dan hadits Hasan, dalam hal ini hadits mutawatir sendiri juga memiliki syarat-syarat dan ketentuan dalam hal periwayatannya, dan sedangkan hadits Ahad lebih cenderung pada periwayatannya yang bersifat sendiri atau tidak banyak orang yang terlibat didalamnya, untuk lebih jelasnya kami akan menjelaskan tentang pengertian dan beberapa contoh dari hadits mutawatir dan hadits ahad, dalam lingkup kuantitas atau kuantiti dari masing-masing hadits tersebut.

B.       Pengertian Hadits Mutawatir
Menurut bahasa berarti berturut-turut dan beriringan satu dengan lainnya dalam meriwayatkan suatu hadits.[1] Mutawatir juga menurut bahasa adalah sesuatu yang berdatangan dengan cara beriringan antara rowi satu dengan rowi yang lainnya.[2]ataupun suatu hadits yang dimana hadits ini adalah hasil tanggapan dari pancaindera.[3]dan menurut istilahnya ialah:
مَا رَوَاهُ عَدَدٌ كَثِيْرٌ تَحِيْلُ العَادَةٌ تَوَاطُؤُهُمْ عَلى الكَذب
Artinya : “Hadits yang diriwayatkan dari banyak periwayat yang menurut adat kebiasaan”[4]
Sedangkan Definisi yang lengkap menurut Imam Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, adalah : Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh beberapa periwayat yang dimana menurut adat dan kebiasaannya mustahil mereka sepakat untuk berdusta (dalam hal hadits yang telah diriwayatkan) oleh sejumlah periwayat dengan jumlah periwayat yang sama antara sanal awal sampai dengan sanad yang terakhir dalam jumlah syarat itu tidak kurang pada setiap tingkatan yang ada dalam sanadnya.[5]



C.       Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
1.    Berdasarkan dari tanggapan pancaindera yang telah disampaikan dari periwayat dan telah benar-benar diterima oleh perawi berdasarkan pancaindera (penglihatan maupun pendengaran).[6]
2.    Jumlah periwayat harus mencapai kuantitas tertentu dan mereka sepakat untuk tidak berdusta. Menurut Ashhab Asy-Syafi’I lima orang, menurut Arh-Thayib empat orang, ada juga ulama lain menyatakan dua puluh orang. Menurut  Ibn Hajar al-Asqalani tidak diisyaratkan dalam jumlah bilangan tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diantara ulama terdapat perbedaan dalam menetapkan jumlah periwayat, ada yang menggunakan bilangan dan ada yang tidak menetapkannya dalam jumlah bilangan. Menurut ulama yang tidak menetapkan dalam jumlah bilangan, terpenting dalam jumlah itu dapat diterima melaui akal sehat dan dapat memberikan keyakinan, sedangkan bagi ulama yang menetapkan dalam jumlah bilangan tertentu antara empat sampai tiga ratusan orang.[7]
3.    Harus ada keseimbangan  antara jumlah rawi pertama dengan jumlah rawi selanjutnya.[8]
Bila suatu hadis itu dikatakan Mutawatir, maka wajib  diyakini kebenarannya, mengamalkan apa yang ada dalam kandungan maknanya dan tidak boleh ada keraguan di dalamnya.[9]

D.      Macam-macam Hadits Mutawatir
1.    Hadits Mutawatir Lafzhi
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya, yaitu :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأُ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّا رِ
Artinya : Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka. (H.R Bukhari)[10]
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Sebagian ulama menyatakan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan dari 62 orang sahabat dengan lafazh dan arti yang sama. Hadits ini juga terdapat dalam kitab-kitab, yaitu : Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darmini, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tarmidzi, At- Tirmidzi, At-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.[11]
2.    Hadits Mutawatir Ma’nawi
Hadits ini adalah sebuah hadits yang lafazh dan artinya berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tapi terdapat penyesuaian makna secara umum. Dalam makna lain dapat diartikan sebagai hadits yang berbeda bunyi lafalnya oleh masing-masing jalur periwayatannya, tetapi memiliki sebuah kesamaan dalam maknanya, daam isinya juga mengandung satu hal, satu sifat, dan satu perbuatan. [12] Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaidah ilmu hadits, yaitu :
مَااخْتَلَفُوْا فِ لَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ مَعَ رُجُوْ عِهِلَمِعْنًى كُلٍّي
Artinya : Hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna umunya.[13]
Contoh dari hadis Ma’nawi sendiri ialah, “Nabi Muhammad SAW, tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam sholat istisqa, dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya.” (H.R Bukhari)[14]
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits tersebut banyak sekali, atau bahkan lebih dari 100 hadits.[15]

E.       Faedah Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir sendiri memberi sebuah faedah ilmu dharuri, yaitu sebuah keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan apa yang diberitakan dari hadits mutawatir tersebut, sehingga membawa pada sebuah keyakinan yang pasti (qath’i).[16]

F.       Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad atau wahid menurut bahasa ialah satu, maka dapat disimpulkan ahad atau khabar wahid itu berarti hanya satu orang yang menyampaikan.[17]
Hadits ahad adalah hadits yang riwayatnya secara bahasa berarti satu, maka ahad khabar ahad ataupun khabar wahid berarti sebuah berita yang disampaikan oleh satu orang saja.[18]Ada juga yang mengatakan bahwa hadits Ahad adalah suatu hal yang disandarkan kepada Rosulullah, yaitu berupa sebuah perkataan, sifat fizikal, pengakuan, perbuatan, akhlak ataupun perilaku Nabi setelah diangkat menjadi Rosul atau sebelumnya.[19]Adapapun sebagian ulama yang berpendapat bahwa Hadits Ahad adalah sebuah hadits yang dimana para periwayatnya tidak mencapai pada jumlah periwayat hadits mutawatir, juga tidak memenuhi persyaratan  Mutawatir dan tidak juga sampai pada derajat Mutawatir, dan telah dinyatakan dalam ilmu hadits:[20]
هُوَ مَا لاَ يَنتَهِي اِ لَي التَّوَا تِر
Artinya : “Hadits yang tidak mencapai pada derajat Mutawatir”
Dan dalam pengertian yang lain disebutkan bahwa:
مَا رَوَاهُ الْوَاحِدُ أَو الإثْنَانِ فَأَ كْثَر مِمَّا لَمْ تَتَوَا فَرْ فِيْهِ شُرُوْطُ الْمَشْهُور اومتواتر
“Merupakan Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, dua orang atau lebih, yang jumlah perawinya tidak memenuhi syarat-syarat hadits masyhur dan hadits mutawatir”[21]

G.      Macam-Macam Hadis Ahad
Mahmud al-Thahhan berpendapat, hadits ahad yang dilihat dari segi jumlah sanadnya, dubagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:[22]
1.      Hadits Masyhur
Hadits masyhur secara bahasa ialah isim maf’ul dari kata syahara شَهَرْتُ الاَمْرَ  (aku memasyurjan sesuatu) yang mempunyai arti bawa aku menjelaskan dan mengumumkan sesuatu hal. Menurut ulama hadits adalah:[23]
مَا رَ وَا هُ ثَلاَ ثَةُ فَاَ كْثَرَ فِى كُلِّ طَبَقَةٍ مَا لَمْ يَبْلُغْ حَدَ التَّوَا تُرِ
“hadits ini yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau bahkan lebih pada setiap thabaqahnya (lapisan), tetapi tidak sampai pada tingkatan mutawatirnya.”
Contoh hadits masyhur:[24]
قَا لَ رَ سُوْ لُ االلهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسِلّمْ : اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَا نِهِ وَيَدِهِ .
“Rasulullah SAW. bersabda, “Seorang Muslim adalah kaum muslimin yang tidak terganggu oleh lidah dan tangannya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmizi).
Sebuah hadis bisa dikatakan masyhur ketika sudah tersebar dengan luas dikalangan masyarakat.[25] Hadis masyhur yang ditetapkan statusnya kadang bukan dikarenakankriteria hadis, akan tetapi diterapkan pula untuk untuk memberikan sifat suatu hadis yang dianggap populer menurut ahli ilmu tertentu atau dikalangan masyarakat tertentu.[26]
1.    Hadits Aziz
Menurut bahasa berarti adalah  Asy-Syafief (yang mulia), Ash-Shab’bulladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang sukar diperoleh), Al-Qowiyyu (yang kuat). Sedangkan menurut istilah adalah “Hadis yang diriwayatkan dua orang, dan berada pada satu thobaqoh, kemudian orang-orang meriwayatkannya” . [27] Disebut sukar di peroleh karena hadits ini sedikit kategorinya dan jarang adanya, atau disebut kuat juga karena adanya sanad yang datang dari jalur lain.[28]



Contoh Hadits Aziz :
نَحْنُ الأخَروْنَ السَّا بِقُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
Artinya : “Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari kiamat“ ( H.R . Ahmad dan An-Nasa’i )[29]
Hadits ini diriwayatkan dua orang sahabat, Hudzaifah dan Abu Hurairah di Thabaqah pertama. Sedangkan pada thabaqah kedua menjadi masyhur karena melalui periwayatan Abu Hurairah, hadist diriwayatkan tujuh orang, yakni Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, Al’Araj, Abu Shalih, Humam, serta ‘Abd Ar-Rahman.[30]

2.    Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa adalah, badi’un ‘anil wathani (yang jauh dari tanah).[31] Sedangkan Hadist gharib menurut istilah adalah ma tafarrada birwayatihi syakhsun fi ayyi mawdhuin waqa’a al-tafarrud bihi fi as-sanad, yang berarti Hadits yang diriwayatkan oleh satu rawi saja.[32]
Contoh Hadits Gharib yang hanya diriwayatkan oleh satu rawi saja,
عَنْ أَ بِي هُرَ يْرَ ةَ رَ ضِيَ االلهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ اللهٌ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَا ل : أَ لأِ يمَا نُ بِضْعٌ وَسِتُّو نَ شٌعْبَةً وَلحَيَا ءٌ شُعْبَةٌ مِنَ الْاِ يْماَ نِ
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW terlah bersabda, “Iman itu bercabang-cabang menjadi 60 cabang dan malu itu salah satu cabang dari iman” (H.R. Bukhari)[33]

2.        Distingsi Pengetahuan (ilmu) dalam Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad
Perbedaan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad adalah jika hadits mutawatir memiliki banyak periwayat yang dimana periwayat tersebut lebih dari satu, dua, tiga bahkan lebih maka hadits tersebut dinamakan hadits mutawatir, syarat-syarat hadits mutawatir ada 3, yaitu :
1.    Diriwayatkan oleh beberapa rowi besar yang sekurang-kurangnya ada lima rowi dan sudah diyakini bahwa para rowi tersebut tidak mungkin berdusta.[34]
2.    Adanya sebuah kesinambungan antara perawi terhadap thabaqat yang pertama dengan thabaqat selanjutnya.[35]
3.    Berdasarkan dari tanggapan pancaindera, yang dimana berita yang telah di sampaikan oleh periwayat harus di terima berdasarkan pancaindera, maksudnya adalah, harus dengan bukti yang sungguh dari hasil pendengaran ataupun dari hasil penglihatan sendiri.[36]
Jika salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi maka hadits tersebut terbilang hadits ahad, letak perbedaannya hanyalah dalam syarat-syaratnya saja.

Penutup
Dari penjelasan artikel diatas dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir dan hadits Ahad adalah sebuah hadits yang kuat atau tangguh jika perowi dalam hadits tersebut memiliki sanad-sanad yang jelas dan tidak menyeleweng dari periwayat sebelumnya, hadits ini adalah kriteria dari hadits mutawatir, berbeda dengan hadits ahad, hadits ahad adalah sebuah hadits yang dimana hadits tersebut tidak memenuhi syarat-syarat dari hadits mutawatir.














Daftar Pustaka

Suparta Munzier. 1993.Ilmu Hadis.Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Suliaman Noor. 2008.Antologi Ilmu Hadits.Jakarta : Gaung persada Press.

Suyadi Agus. 2008.Ulumul Hadis.Bandung : CV Pustaka Setia.

Suryadilaga Alfatih. 2010.Ulumul Hadis.Yogyakarta : Teras.

Sahrani Sohari. 2010.Ulumul Hadits.Bogor : Ghalia Indonesia.

Ahmad Muhammad.2004.Ulumul Hadis.Bandung : Pustaka Setia.

Idri. 2010.Studi Hadis.Jakarta : Kencana

Mudasir. 1999.Ilmu Hadis.Bandung : CV Pustaka Setia.

Muhammad Rashidi bin Haji Wahab. “Kedudukan Hadis Ahad Dalam Akidah”. Jurnal Ilmiah Berimpah. Tahun Kedua. Bil: 4. Safar 1434 H. (Desember 2012)

Saifudin Zuhri.Predikat Hadis Dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap Hadis Ahad.SUHUF. Vol. 20. No. 1. Mei 2008: 53-65

Catatan:
1.      Similarity 29%
2.      Makalah ini masih sedikit sekali halamannya.


[1] Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta : Teras, 2010), hlm. 228
[2] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 1999), hlm. 113
[3] Saifudin Zuhri, Predikat Hadis Dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap Hadis Ahad, SUHUF, Vol. 20, No. 1, Mei 2008: 53-65
[4] Idri, Studi Hadis, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 130
[5] Ibid, hlm. 131
[6]Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 118
[7]Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 133
[8]Agus Suyadi,Ulumul Hadis, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2008), hlm 130
[9]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), hlm 85
[10]Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 120
[11]Ibid.,
[12]Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta, Teras, 2010), hlm 229                                            
[13] Ibid. hlm. 131
[14]Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 122
[15]Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta, Teras, 2010), hlm 229
[16]Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 1999), hlm. 123
[17] Sohari Sahrini, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 91
[18] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 1999), hlm.124
[19] Muhammad Rashidi bin Haji Wahab, “Kedudukan Hadis Ahad Dalam Akidah”. Jurnal Ilmiah Berimpah. Tahun Kedua, Bil: 4, Safar 1434 H, (Desember 2012)
[20]M Solahudin, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 133
[21]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 108
[22] Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 141-142
[23] Ibid., hlm. 142
[24] Muhammad Ahmad, Ulumul Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), hlm. 94
[25] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta, Gaung Persada Press, 2008), 91
[26] Ibid, hlm. 92
[27] Agus Suyadi,Ulumul Hadis, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2008), hlm 136
[28] Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 147
[29]M Solahudin, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 136
[30]Ibid.,
[31]Agus Suyadi,Ulumul Hadis, Bandung,  CV Pustaka Setia, 2008, hlm 137
[32] Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadits, (Yogyakarta : Teras, 2010), hlm. 231
[33] Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2013), hlm. 138
[34] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 97
[35] Noor Sulaiman, Antologi Hadits, (Jakarta, Gaung Persada Press, 2008), hlm. 87
[36] Ibid. hlm. 88

1 komentar: