Minggu, 29 Oktober 2017

Hadis dan Historisitasnya (PAI B Semester Ganjil 2017/2018)





Siti Zulaicha dan M.L.Habib Hasbulloh
Mahasiswa PAI B angkatan 2016 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
This article describes the second source of the religion of Islam, the Hadith. Hadith is everything that comes from the Prophet Muhammad saw from the word (kauliyah), deed (fi'liyah), the decree of the prophet (tarqririyah), and (ahwali) and can also come from the friends and tabi'in. So in this discussion there is also an explanation of the difference between atsar, khabar, sunnah and hadith own. In the book of hadith not necessarily directly into a hadith, but the hadith experienced several stages before becoming sepintal book, as well as bookkeeping Al Quran into manuscripts that have previous stages. Hadith at the beginning of the Prophet's time is forbidden to be recorded because it is feared will be mixed with the verses of Al Quran. However, the Companions of the Prophet are the ones who wrote the hadith but as personal records and even those written which are according to the Companions are important to his life. Then at the time of the Abbasids, when the sons of Amawiyah occupied the Caliphate held by Umar bin Abdul Aziz, he paid full attention to the collection of hadith. Because at that time Al Quran has been recorded before the government of Umar bin Abdul Aziz since the Caliph Uthman ibn Affan. The bookkeeping started by ordering the government of Medina at that time to write down the hadith that existed in the scholars of the hadith madinah scholars. But in the collection of hadith in the time of Umar bin Abdul aziz the hadith of the Prophet is still mixed with the words of friends and tabi'in. Then after the time of Umar bin Abdul Aziz, the bookkeeping of the hadith has continued to improve to this day. Related to the separation between the words of the prophet Muhammad with the words of the Companions or the tabi'in, the validity of the hadith, and so forth.
Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang sumber agama Islam yang kedua yaitu Hadits. Hadits adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saw mulai dari perkataan (kauliyah), perbuatan (fi’liyah), ketetapan nabi (tarqririyah), dan (ahwali) dan juga dapat berasal dari para sahabat dan tabi’in. Maka dalam pembahasan ini pula terdapat penjelasan tentang perbedaan antara atsar, khabar, sunnah dan hadits sendiri. Dalam pembukuan hadits tidak serta merta langsung menjadi sebuah hadits, tetapi haditsmengalami beberapa tahapan sebelum menjadi sepintal kitab, sama halnya dengan pembukuan Al quran menjadi mushaf yang memiliki tahapan-tahapan sebelumnya. Hadits pada awal masa Rasulullah dilarang untuk dicatat karena dikhawatirkan akan tercampur dengan Ayat-ayat Al Quran. Tetapi, para sahabat Nabi ada yang menulis hadits tetapi sebagai catatan pribadi dan yang ditulis pun adalah hal-hal yang menurut sahabat itu penting bagi kehidupannya. Kemudian pada masa Abbasiyah, saat bani Amawiyah menduduki kekhalifahan yang dipegang oleh umar bin Abdul Aziz, beliau memberikan perhatian penuh terhadap pengumpulan hadits. Karena pada masa tersebut Al Quran telah dibukukan sebelum pemerintahan umar bin abdul aziz yaitu sejak masa khalifah Utsman bin Affan. Pembukuan tersebut dimulai dengan memerintahkan kepada pemerintah Madinah saat itu untuk menuliskan hadits yang ada pada para ulama ahli hadits madinah.Tetapi dalam pengumpulan hadits dimasa umar bin abdul aziz hadits Nabi masih tercampur dengan sabda-sabda dari sahabat dan tabi’in. Kemudian setelah masa Umar bin Abdul Aziz ini, pembukuan hadits terus mengalami perbaikan sampai saat ini. Berhubungan dengan pemisahan antara sabda nabi Muhammad dengan sabda para sahabat ataupun para tabi’in, kesahihan hadits, dan lain sebagainya.
Keywords:Hadits, Sunnah, Atsar, Khabar, Historitas
A.  Pendahuluan
Hadis merupakan dasar sumber dalam agama Islam, yang dijadikan sebagai acuan untuk menetapkan suatu hukum yang belum dijelaskan dalam Al Quran ataupun tidak ada di dalam Al Quran. Karena, tidak semua penjelasan tentang berbagai permasalahan ada di dalam Al Quran.Ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran kebanyakan hanya menjelaskan secara global (mujmal) dan tidak terperinci. Maka dengan adanya Hadits, apa yang masih mujmal diperinci dalam Hadits, jika ayat Al Quran telah berupa perincian maka dipertegas dengan adanya Hadis dan hukum yang belum ada di dalam Al Quran bisa diketahui di dalam Hadis. Rasulullah pun telah memberikan sebuah wasiat kepada umat muslim yang disampaikana kepada Aisyah dalam sabdanya “ Telah aku tinggalkandua perkara kepadamu. Dan kamu tidak akan tersesat setelah itu,  yaitu Kitabullah dan Sunnahku” (HR. Hakim dari Abu Hurairah).Dari sabda Nabi Muhammad saw tersebut maka dapat diketahui bahwa Hadits memiliki tempat yang tinggi dalam penetapan hukum-hukum Islamyaitu sebagai sumber hukum Islam yang kedua.
Hadis sendiri merupakan segala tindak tanduk dari Nabi Muhammad saw berupa perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), ketetapan (taqriri), keinginan atau hasrat (hamimi), dan keadaan beliau (ahwali). Ada pula yang berpendapat bahwa bukan hanya yang berasal dari Nabi Muhammad saw yang disebut sebagai Hadis, tetapi segala sesuatu yang disandarkan terhadap sahabat dan Tabi’in pun juga disebut sebagai Hadis. Maka ada yang disebut dengan hadis, sunnah, atsar, dan khabar. Semua Istilah tersebut disandarkan  kepada Nabi Muhammad saw, Sahabat, dan Tabi’in. Hal tersebut muncul ketika proses pengumpulan hadis pada masa awal, karena pada saat itu pengumpulan hadis hanya sekedar mengumpulkan tidak dengan memilah-milah antara sabda Nabi Muhammad, perkataan sahabat ataupun perkataan Tabi’in.
Maka dari itu, kita sebagai seorang muslim kita haruslah dapat memahami tentang hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua dan perbedaannya dengan sunnah, atsar dan khabar. Agar kita tidak salah pemahaman dalam mengartikan makna tersebut. Maka dari itu kami akan memaparkan tentang penjelasan tentang bentuk-bentuk Hadis, dan perbedaannya dengan sunnah, atsar, dan Khabarserta sejarah hadis dalam masa ke masa hingga menjadi sebuah kitab hadis, yang dijadikan sebagai rujukan untuk memahami dan mengetahui Hadis.
B.  Pengertian hadits/sunnah dan macam-macamnya (qauli, fi’li, taqriri, ahwali)
Hadits menurut bahasa memiliki beberapa arti yaitu Jadid, lawan dari qodim yang artinya baru, Qorib  yang artinya dekat, yang lama belum terjadi, seperti dalam perkataan “Haditsul ahdi bil islam” orang yang baru memeluk agama islam, Khabar yang artinya warta, yakni “Ma yutahaddatsu bihi wayunqolu” : sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. Dari makna inilah diambil perkataan “Hadits Rosululloh”.[1]
Sedangkan secara terminologis, para ulama baik dari ulama hadis, ulama ushul, ulama fiqih mereka mendefinisikan sunnah berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing dalam melihat Nabi Muhammad SAW. Ulama hadist memandang nabi sebagai orang yang sempurna serta sebagai imam, atau pemberi petunjuk dan juga sebagai suri tauladan yang baik. Para ulama hadis menukilkan segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan lain sebagainya. Ulama ushul memandang nabi sebagai orang yang menetapkan hukum islam dan juga orang yang menetapkan ketentuan untuk para mujtahid dalam menetapkan hukum islam. Ulama fiqh memandang nabi dari segi perbuatannya yang dimana bermuatan dengan hukum-hukum syara’ baik berupa perbuatan wajib, sunnah, mubah, haram, ataupun yang lainnya.
Bermula dari sudut pandang di atas para ulama hadist mensinonimkan antara definisi dari pengertian sunnah dan hadist sebagai berikut:
السنة في الصطلاح المحدثين : هي كل ما اثرعن الرسول صلّى الله عليه و سلّم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقيه أو خلقيه أو سيرة سواء كان ذلك قبل البعثة كتحنثه في غار حراء أم بعدها
 “Sunnah dalam pengertian para ulama hadis adalah segala riwayat yang berasal dari Rosululloh baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan(taqrir), sifat fisik dan tingkah laku, baik sebelum diangkat menjadi Rosul ataupun sesudahnya diangkat menjadi Rosul”.[2]
Jadi arti dari pengertian sunnah dan hadist menurut para ulama hadis adalah semua hal yang dimana mencakup segala aspek dari kehidupan nabi yang dimulai sejak beliau lahir hingga beliau wafat, serta setelah beliau diangkat menjadi nabi ataupun sebelumnya yang dimana menunjukkan hukum syari ataupun tidak. Dalam definisi yang dikemukakan oleh ulama hadis diatas bahwasannya cakupan sunnah/hadis sangatlah luas yang dimana mencakup segala aspek dari nabi Muhammad SAW. Dengan begitu nabi Muhammad SAW dapat dianulir sebagai seseorang yang dapat dijadikan suri tauladan, panutan yang patut dicontoh, dan pemimmpin yang harus diikuti dan ditaati. Beberapa pokok yang dianulir sebagai karakter nabi tersebut sesuai dengan dalil-dalil dari al-quran, misalnya saja seperti ayat yang menyatakan keteladanan nabi Muhammad SAW. Dalam surat al-ahzab:21, Allah berfirman:
لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة
 Sesungguhnya telah ada pada diri Rosululloh suri tauladan yang baik”[3]
 Adapun analisis yang menyangkut rumusan keterikatan umat dengan hadis adalah rumusan para ulama ahli ushul. Bagi ulama ushul, maksud hadis yang dikemukakan oleh ulama hadis adalah memang hadis. Tetapi yang terpenting bagi ulama ushul adalah hadis apapun yang mengikat umat islam sebagai konsekuensi dari syahadat. Karena itu, rumusan makna hadis dalam pemaknaan ulama ushul pengertian definisinya lebih panjang, namun maknanya lebih sempit dan terbatas. Dalam rumusan para ulama ushul, ada beberapa penambahan kata yang sebagaimana terlihat dalam salah satu pengertiannya sebagai berikut:
كل ما صدر عن النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم من قول أو فعل أو تقرير ممّا يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعيّ
 “Semua yang bersumber dari nabi baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan(taqrir) yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum agama(syari)”.[4]
Dalam pengertian definisi pengertian sunnah/hadis diatas ulama ushul mengkategorikan maknanya dalam dua kategori, yaitu yangpertamaadalah  bahwa yang dimaksud hadis itu segala sesuatu yang dinukilkan kepada nabi setelah diangkat menjadi nabi/rosul. Sementara hadis yang dinukilkan kepada nabi sebelum diangkat menjadi nabi/rosul tidak dapat dikategorikan sebagai hadis. Kedua adalah bahwa batasan yang dikategorikan sebagai hadis itu adalah yang dapat dijadikan dasar hukum agama.
Sementara itu, ulama fiqh mendefinisikan sunnah/hadist sebai berikut:
كل ما ثبت عن النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم و لم يكن من باب االفرض ولا الواجب
 “Segala yang ditetapkan dari nabi Muhammad SAW tetapi tidak termasuk fardhu dan tidak pula wajib”.[5]
Ulama fiqh memaknai sunnah/hadist terfokus pada aspek praktis yang dimana nabi Muhammad SAW di pandang sebagai sosok yang perilakunya bermuatan hukum syara’. Dalam hal tersebut para ulama fiqh menfokuskan atau memusatkan sunnah/hadis sebagai hukum syara’ dimana dikaitkan dengan perbuatan  para orang mukalaf yang berupa fardhu ataupun wajib. Selain nabi Muhammad dipandang sebagai penyampai risalah beliau juga sebagai pelaksana dari risalah tersebut. Sehingga segala sesuatu yang dikatakan dan dilaksanakan nabi tidak berupa fardhu atau wajib, tetapi disebut sebagai sunnah. Oleh sebab itu, para ulama fiqh mendefinisikan sunnah/hadis dengan segala sesuatu yang berasal dari nabi tetapi tidak termasuk fardhu atau wajib.
Dilihat dari segi bentuknya, hadis nabi dapat diklarifikasikan menjadi lima, yaitu: hadis yang berupa ucapan (hadis qowli), hadis yang berupa perbuatan (hadis fi’li), hadis yang berupa persetujuan (hadis taqriri), hadis yang berupa hal ihwal (hadis ahwali), dan hadis yang berupa cita-cita (hadis hammi).
1.    Hadis yang Berupa Ucapan (Qowli)
Segala perkataan nabi baik berkenaan dengan ibadah maupun kehidupan sehari-hari disebut dengan hadis qowli, yaitu segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada nabi. Perkataan atau ucapan tersebut berisi tentang sebuah tuntunan, petunjuk syara, peristiwa-peristiwa, dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah, syariah, maupun akhlak. Contoh hadis qowli adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdulloh ibn Umar bahwa Rosululloh bersabda:
بني اللإسلام على خمس شهادة ان لا اله الاّ الله و انّ محمّدا رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزّكاة والحخّ والصوم رمضان
 “Islam ditegakkan atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain allah dan bahwa nabi Muhammad rosul Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan berpuasa bulan romadhon”.[6]
Periwayatan hadis nabi secara qowli dilakukan dengan beberapa cara. Pertama adalah sabda nabi yang disampaikan dihadapan orang banyak, baik melalui majlis ta’lim, khutbah, ceramah, dan sebagainya. Keduaadalah sabda nabi yang dikemukakan didepan seorang atau beberapa orang saja. Hadis qowli seperti ini pernah disampaikan oleh nabi didepan salah seorang sahabat yang berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh sahabat itu.Ketiga adalah hadis qowli yang dikemukakan oleh nabi karena sebab tertentu yang mendorongnya untuk menyampaikan hadis yang berkenaan dengan suatu peristiwa. Keempat adalah hadis yang disampaikan dalam bentuk sabda tetapi tidak disertai dengan sebab tertentu. Nabi dalam hal ini bersabda tanpa adanya motivasi yang mendorongnya untuk menyampaikan sebuah hadis. Karena hadis ini disampaikan oleh nabi dalam rangka mrnyampaikan ajaran islam sebagai tugas risalahnya meskipun tidak ada yang melatarbelakangi kemunculan hadis yang dimaksud. Kelima adalah pada umumnya, nabi tidak menyertakan perintah untuk menulis sabda itu kepada sahabat tertentu. Akan tetapi adakalanya nabi menyertakan perintah kepada sahabat tertentu untuk menulis sabda yang diucapkannya itu.[7]
2.    Hadis yang Berupa Perbuatan (fi’li)
Yang dimaksud dengan hadis fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada nabi, seperti halnya ketika nabi melaksanakan sholat, wudhu, dan lain sebagainya yang disampaikan kepada sahabat untuk umat islam. Contoh hadis fi’li adalah sebagai berikut:
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : كان رسول الله صلّى الله عليه و سلّم اذا قام للصّلاة رفع يديه حتّي تكونا حذو منكبيه ثم كبّر
 “Dari Ibn Umar r.a ia berkata:’Rosululloh jika melaksanakan sholat mengangkat kedua tangannya hingga sejajar bahunya kemudian takbir” (HR. al-Bukhari).[8]
     Hadits yang berupa perbuatan(fi’li) ini dilakukan oleh nabi untuk ditunjukan kepada para sahabat dan para sahabat menginformasikannya kepada umat islam. Hadits fi’li ini juga memiliki beberapa kategori tentang kemunculannya:
     Pertama, hadits yang berupa perbuatan yang dilakukan oleh nabi dan kemunculannya disebabkan oleh sebab tertentu serta disaksikan oleh seorang atau lebih sahabat. Kedua,hadits fi’li yang muncul karena tidak disebabkan oleh sebab tertentu. Hadits-hadits yang tergolong seperti ini lebih banyak dibanding hadits-hadits yang kemunculannya disebabkan oleh sebab tertentu. Jumlah hadits kategori ini sangat banyak mencakup segala aktivitas yang nabi lakukan baik berkenaan dengan ibadah maupun muamalah, bahkan berita tentang doa-doa nabi juga merupakan sebagian dari hadits fi’li. Misalnya:
كان اكثر دعاء النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم اللهمّ آتنا في الدنيا حسنة وفي الأخرة حسنة وقنا عذا ب النّار
 “Doa yang paling banyak dilakukan nabi Muhammad SAW adalah Allahumma atina fi ad dunya hasanah wa fi al khiroti hasanah waqina adzab an nar”(HR.Muttafaq alaih).”[9]
     Hadits diatas menjelaskan bahwa aktivitas doa yang paling banyak  dilakukan oleh Rosululloh adalah doa tentang permohonan kehidupan yang sejahtera di dunia dan di akhirat, serta terhindar daridari siksa api neraka. Karena doa ini dilakukan oleh nabi, apalagi dilakukan berulang-ulang maka dapat dinilai sebagai perbuatan nabi.
     Ketiga,hadits yang berupa perbuatan (fi’li) yang dimana kemunculannya untuk disampaikan kepada orang banyak atau dilakukan dihadapan orang banyak. Sebagaimana diinformasikan oleh Aisyah, pada suatu malam Rosululloh sholat di masjid. Lalu orang-orang ikut sholat barsama nabi hingga malam ketiga. Kemudian pada malam keempat orang-orang berkumpul untuk melakukan sholat berjamaah bersama Rosululloh lagi, akan tetapi Rosululloh tidak keluar dari rumahnya dan bersabda:
قد رايت الذى صننتم ولم يمنعني من الخروج اليكم الاّ انّى قد خشيت ان تفرض عليكم
 “Sesungguhnya saya telah melihat apa yang telah kalian lakukan. Dan tidak ada sesutupun yang menghalangi saya untuk keluar menjumpai kalian, terkecuali saya sesungguhnya khawatir kalian akan menyangka bahwa sholat malam tersebut diwajibkan atas kalian.”[10]
     Keempat, hadits yang berupa perbuatan (fi’’li) yang dilakukan dihadapan satu atau beberapa orang saja. Diantara kategori hadits fi’li ini adalah sebuah hadits tentang cara sholat nabi diatas kendaraan, yang bebunyi:
كان النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم يصلّى على رحلته حيث توجهت به
 “Nabi sholat diatas tungganganya, kemana saja tunggangannya itu menghadap.”[11]
     Aktivitas sebagaimana dalam hadits diatas dilakukan oleh Rosululloh didepan beberapa sahabat yang kebetulan mengikuti nabi dalam perjalanan, hal ini tidak dilakukan nabi didepan khalayak banyak seperti khitabah.
     Adapun para ahli ushul juga berpendapat tentang sebuah perbuatan nabi ini, yang dimana para ahli ushul membaginya menjadi tiga bagian yaitu: pertama, perbuatan yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW berdasarkan tabiat, seperti duduk, berdiri dan berjalan. Kedua, perbuatan yang dilakukan oleh nabi Muhammad atas dasar tradisi (adat), seperti cara makan, minum, dan tidur. Ketiga, perbuatan yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW, namun dengan maksud tidak jelas, apakah perbuatan tersebut dimaksudkan untuk mendekatkan diri (qurobbat) dan bernilai ibadah, atau perbuatan itu semata-mata lahir karena faktor tradisi dan adat kebiasaan.[12]
     Untuk perbuatan yang pertama dan kedua, yakni perbuatan yang dilakukan Rosululloh berdasarkan tabiat beliau sebagai manusia atau perbuatan yang dilakukan atas dasar adat kebiasaan (tradisi), maka dari itu tidak ada keharusan bagi umat islam untuk mengikutinya. Namun demikian, seandainya perbuatan tersebut tetap dilakuakan, maka tidak ada pula larangan. Sementara itu untuk perbuatan yang ketiga, yakni perbuatan yang tidak jelas maksudnya, maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang keharusan bagi umat islam untuk mengikutinya. Perdebatan ini dapat di kategorikan menjadi tiga kelompok.
     Pertama, yang diwakili oleh Imam Malik dan Hasan al Bashri, berpandangan bahwa ada sebuah keharusan bagi semua umat islam untuk mengikuti sebagian perbuatan tersebut, sepanjang tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut berlaku khususbagi nabi. Kedua,kelompok yang diwakili oleh Imam Abu Hanifah dan Ushuliyun, berpendapat bahwa sunnah hukumnya bagi umat islam mengikuti segala perbuatan Rosululloh. Ketiga, kelompok yang dimotori oleh pengikut al Ash ari, berpandangan bahwa perbuatan Rosululloh yang tidak jelas maksudnya tersebut tertangguh untuk diikuti, hingga terdapat dalil lain yang menuntut pelaksanaanya.[13]
3.        Hadits yang Berupa ketetapan (Taqrir)
Menurut Abd Wahab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh berpendapat bahwa hadits taqrir adalah penetapan Rosululloh atas sesuatu yang dilakukan sahabat baik berupa ucapan maupun perbuatan dengan cara Rosululloh diam (tidak menyangkal), setuju dan menganggapnya bagus.[14] Dalam pengertian taqrir ini al Qodir juga berpendapat bahwa taqrir disebut juga dengan iqrar yang berarti diamnya Rosululloh dari membantah suatu perkataan atau perbuatan yang disampaikan atau dilakukan dihadapan beliau. Dari pendapat diatas dapat diketahui bahwa hadits taqrir adalah suatu ketetapan nabi yang dimana pada waktu itu membiarkan atau memdiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh sahabat, tanpa memberi penegasan bahwa yang dilakukan sahabat itu benar atau salah.
Contoh dari hadits taqrir sendiri yaitu terdapat dalam sebuah hadits yang menjelaskan bahwa Rosululloh membiarkan para sahabat memakan daging biawak, akan tetapi Nabi sendiri tidak memakan daging tersebut dan tidak pula mengharamkannya.[15] Dari contoh tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa daging biawak itu tidak haram dan juga tidak dilarang untuk memakan dagingnya yang dimana sesuai dengan ketetapan nabi diatas.
4.        Hadits yang berupa hal ihwal (ahwali)
Yang dimaksud dengan hadits ahwali adalah hadits yang berupa hal ihwal nabi yang berkenaan dengan sifat-sifat dan kepribadian serta keadaan fisiknya. Dengan kata lain hadits ihwali adalah sesuatu yang berasal dari nabi yang berkenaan dengan kondisi fisik, akhlak, dan kepribadiannya.
Terdapat dua hal yang bisa disebut dalam kategori sebagai hadits ihwali, yaitu pertama adalah hal-hal yang bersifat intrinsik berupa sifat-sifat psikis dan personalitas yan tercermin dalam sikap dan tingkah laku keseharian, misalnya cara-cara bertutur kata, makan minum, berjalan, menerima tamu dan lain-lain. Aspek intrinsik ini termasuk dalam kajian ilmu akhlak atau etika. Jadi hal-hal yang berkenaan dengan etika nabi termasuk hadits ihwali. Contoh tentang sifat nabi misalnya dalam hadits Anas bin Malik yang disebutkan sebagai berikut:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم احسن النّاس خلقا
 “Rosulullah SAW adalah orang yang paling mulia akhlaknya”
     Yang kedua adalah hal-hal yang bersifat ekstrinsik yaitu aspek yang terkait dengan fisik nabi misalnya tentang wajah, warna kulit, dan tinggi badan. Tentang keadaan fisik nabi dalam beberapa hadits disebutkan antaranya:
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم اخسن النّاس وجها واحسنه خلقا ليس بالطويل ولا بالقصير
 “Rosululloh SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh, keadaan fisiknya tidak tinggi juga tidak pendek”.[16]
Kedua aspek diatas tidak ada kaitannya dengan ajaran islam secara langsung tetapi hanya sekedar informatif tentang ciri atau identitas nabi secara fisik bahwa nabi adalah orang yang sempurna secara psikis maupun fisik, tidak cacat sehingga kemampuannya untuk menyampaikan risalah tidak diragukan.
5.        Hadits yang berupa cita-cita (Hammi)
Yaitu sebuah hadits yang dimana berupa suatu keinginan atau hasrat nabi yang belum terealisasikan. Hadits kategori ini tidak disebutkan dalam beberapa definisi hadits baik dari ulama hadits, ulama ushul, maupun ulama fiqh. Dalam sebuah hadits dari Ibn Abbas dinyatakan bahwa ketika nabi berpuasa pada hari asyura tanggal 10 beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuas, mereka berkata: “Wahai nabi, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang yahudi dan nasrani”. Kemudian nabi bersabda:
فاذ كان عام المقبل ان شاّء الله صمنا اليوم التّاسع
 “Tahun yang akan datang insyaallah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan”.[17]
C.  Perbedaan antara hadits, sunnah, atsar, dan khabar
1.        Hadits
Hadits menurut bahasa memiliki beberapa arti yaitu Jadid, lawan dari qodim yang artinya baru, Qorib  yang artinya dekat, yang lama belum terjadi, seperti dalam perkataan “Haditsul ahdi bil islam” orang yang baru memeluk agama islam, Khabar yang artinya warta, yakni “Ma yutahaddatsu bihi wayunqolu” : sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. Dari makna inilah diambil perkataan “Hadits Rosululloh”.
Secara istilah yaitu segala sesuatu yang diidhofahkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan lain sebagainya.Makna kata hadits secara istilah memilki perbedaan pendapat dikalangan para ulama, diantaranya ulama muhaditsin atau ahli hadits yang menjelaskan bahwa kata hadits itu secara istilah adalah sebagai berikut:
أقواله صلى الله عليه وسلم وأفعاله واحواله
“Segala ucapan Nabi SAW, segala perbuatan, dan segala keadaannya”.
Maksud dari kata keadaannya adalah segala yang diriwayatkan dalam kitab sejarah, seperti hal kelahirannya, tempat dan sangkut paut dengan itu, baik sebelum diangkat menjadi Rosul maupun sebelumnya.
Sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat, bahwa: “Hadits itu melengkapi sabda nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau : melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi pula perkataan, perbuatan dan taqrir tabi’in”. Maka dari itu suatu hadits yang sampai kepada nabi, dinamai Marfu’. Yang disampaikan oleh sahabat dinamai Mauquf. Sedangkan yang disampaikan para tabi’in dinamai Maqthu’. Murodhifnya dari Sunnah, Khobar, Atsar.Adapun juga pengertian hadits secara istilah menurut para ahli ushul yaitu:
اقواله صلّى الله عليه وسلّم وافعاله وتقاريره ممّا يتعلق به حكم.
 “Segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum”.[18]

2.    Sunnah
Sunnah secara bahasa berarti a way, course, rule, mode, or manner of acting or conduct of life (jalan, arah jalan, aturan cara berbuat, atau tingkah laku kehidupan). Sedangkan Al-jurjani dalam kitab al- ta’rifat mengartikan sunnah dengan: السنةُ هي الطريقةُ مرضيةً كانت اوغيرمرضية والعادةُ  (sunnah adalah jalan yang diridhoi atau tidak diridhoi dan berarti pula kebiasaan). Pengertian sunnah secara bahasa ini sejalan dengan hadist nabi yang diriwayatkan oleh Jarir ibn Abdulloh bahwa Rosululoh bersabda:
من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل اجرمن عمل بها ولاينقص من اجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيعة فعمل بها بعده كتب له مثل وزرمن عمل بها ولاينقص من اوزارهم شيء
 “Barang siapa menjalani (memberi contoh) dalam islam dengan jalan (contoh) yang baik kemudian orang-orang sesudahnya mengamalkannya, maka ditentukan baginya pahala sebagaimana orang-orang yang mengamalkanya dan tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka itu. Barang siapa menjalani (memberi contoh) dalam islam dengan jalan (contoh) yang buruk kemudian orang-orang sesudahnya mengamalkannya, maka di tentukan baginya dosa sebagaimana dosa orang-orang tang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa itu.”[19]
Maka dari pengertian sunnah secara bahasa yang artinya jalan yaitu jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saw, yang tercermin dalam perilaku beliau. Dapat difahami jika sunnah memilki arti yang lebih sempit dari pada hadits, yang mana hadits mencakup perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau, sedangkan sunnah termasuk bagian dari hadits, yakni khusus yang terkait dengan perbuatan beliau.[20]
3.    Khabar
Khabar menurut bahasa adalah diriwayatkan atau diberitakan, maka menurut ahli bahasa, khabar mencakup semua berita atau riwayat yaitu segala warta atau berita yang disampaikan seseorang kepada orang lain. Orang yang banyak khobarnya dinamai khabir.[21] Sedangkan khabar secara istilah menurut para ahli hadits adalah warta atau berita dari Nabi SAW ,maupun dari sahabat, ataupun dari tabi’in. Karena menurut mereka bahwasannya perawi tidaklah cukup hanya menukil dari hadits yang disandarkan kepada Rasulullah (marfu’), melainkan juga diperlukan sumber yang lain yang bersala dari para sahabat (mauquf) ataupun pada tabi’in (maqtu’). Sebagian ulama muhaditsin mengkhususkan hadits untuk periwayatan yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW. Dan untuk khabar adalah sebuah riwayat yang dinukilkan dari selain Nabi. [22]
Maka dapat disimpulkan bahwa antara khabar dan hadits ada pengertian umum dan khusus, yang mana khabar lebih umum dari pada hadis, karena khabar mencakup semua yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad maupun dari selainnya, sedangkan hadits lebih khusus terhadap yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad saw saja.[23] Maka setiap hadits adalah khabar, tetapi tidak sebaliknya.
4.    Atsar
Atsar secara bahasa berarti : والبقية من الشئ (yang tersisa dari sesuatu). Sedangkan menurut Istilah menurut sebagaian ulama mendifiniskan atsar sebagai مااثرعن الصحابة وتابعين (sesuatu yang bersal dari sahabat dan tabi’in). Dengan demikian dikalangan ahli hadits terdapat dua pandangan tentang atsar, pertama, menyatakan bahwasannya atsar itu sinonim dari hadits; kedua, membedakan atsar dengan hadist, yakni mencakup riwayat-riwayat yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in, baik perbuatan atau perkataan. [24]
Adapun juga sebuah pendapat yang mengatakan bahwa atsar itu searti dengan khabar, sunnah dengan hadits. Bila orang mengatakan :”Atsartu al hadits” itu berarti aku meriwayatkan hadits. Tetapi dari jumhur ulama, atsar khusus untuk hadits yang berasal dari  sahabat (mauquf) dan tabi’in (maqthu’). Sebab yang mauquf maupun maqthu’ itupun juga riwayat, seperti halnya yang disandarkan kepada Nabi Muhammmad SAW (marfu’). Jadi pada asalnya semua itu sama, hanya saja yang membedakan itu adalah yang menjadi sandarannya.[25]
Dengan memperhatikan definisi dan pendapat tersebut, sekalipun tersirat adanya perbedaan, namun secara substansial nampaknya dapat dikemukakan bahwa hadits, sunnah, khabar, dan atsar pada prinsipnya kembali pada suatu pengertian yang sama yakni makna hadits itu sendiri. Yang dimana Rosululloh SAW tetap menjadi sandaranya dan sumber utama sebagai pembawa risalah.
D.  Sejarah singkat hadits Nabi dari masa ke masa
Dalam perkembangan Hadits Nabi dari masa kesama telah mengalami enam priode dan sekarng telah menempuh periode ketujuh. Masa-masa tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut sesuai dengan masa perkembangan hadits Nabi.
1.    Periode Pertama (Masa Rasulullah sampai wafatnya (13 SH-11H))
Periode ini adalah era turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril mulai pada masa kenabian hingga wafatnya. Masa ini disebut sebagai asru al-wahyi wa al- takwin yang artinya masa wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Dimasa ini Rasulullah sebagai penerima wahyu yang ditugaskan untuk menyebarkannya kepada seluruh umat. Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat dan masyarakat Arab, karena mereka yang lebih dekat dengan beliau. Baik dengan penjelasan-penjelasan Rasulullah ataupun mengambil langsung dari nas-nas al-Qur'an. Dalam hal petauladanan yang sholeh kepada mereka, yang berupa sabda-sabda, prilaku-prilaku spiritual yang praktis (mudah difahami dan diterima oleh masyarakat arab), cara bergaul dalam kehidupan sosial dan berperadaban. Masa ini terhitung mulai 571 Hijriyah sampai 594 Hijriyah.
Sabda-sabda Nabi SAW. tersebut berisikan jawaban atas persoalan yang disampaikan para  sahabatnya dan ada juga yang berisi fatwa-fatwa atau legislasi yang tidak ditanyakan oleh sebagian sahabat. Para sahabat dekat Nabi SAW. banyak yang menuliskan sabda-sabda Nabi dalam bentuk naskah-naskah,sebagai catatan pribadi dan dalam catatannya masih bercampur dengan teks-teks ayat-ayat al-Qur'an.
Maka karena hal tersebut, nabi saw memperhatikan pemeliharaan kedua dasar syariat (al-qur’an dan hadist) dengan begitu besar. Untuk al-qur’an, nabi saw menyuruh para sahabat menghafal dan menulisnya, serta secara resmi mengangkat penulis wahyu yang bertugas untuk mencatat setiap ayat al-qur’an yang turun, sehingga sepeninggal nabi saw seluruh ayat al-qur’an sudah tercatat walau belum terkumpul dalam satu mushaf. Sedang sikap nabi terhadap hadist, beliau memerintahkan untuk dihafal dan ditabligkan tanpa menyuruh untuk mengadakan penulisan resmi sebagaimana halnya al-qur’an. Hal ini disebabkan adanya kekhawatiran akan bercampurnya catatan sebagian sabda Nabi dengan Al Quran dengan tidak disengaja.[26]
Keadaan inilah yang memunculkan sabda Nabi SAW. dalam riwayat imam Muslim yang diberitakan dari Abu Sa’id Al Khudry untuk jangan menulis apa yang beliau sampaikan selain al-Qur'an dan bagi yang telah terlanjur menulisnya hendaknya dihapus saja. Dan Rasulullah bersabda lagi “sampaikan apa yang kalian terima dari Aku dan tidak ada halangan. Namun siapa yang sengaja membuat kebohongan, maka kepadanya dipersilakan menempati neraka.” Larangan Nabi SAW. sebagaimana dituangkan dalam sabdanya tersebut bukan sebagai larangan untuk membuat catatan hadis-hadis yang Beliau sampaikan, melainkan larangan agar para sahabat memisahkan antara teks-teks ayat al-Qur'an dengan sabda-sabda Nabi SAW.[27]
Para sahabat banyak yang sengaja tidak memusnahkan catatan-catatan dan naskah hadits walau sudah ada instruksi dari Nabi SAW untuk menghapusnya. Karena hal tersebut sebagai manifestasi dari upaya mereka untuk menyelamatkan hadis-hadis Nabi SAW. yang berisi ajaran-ajaran agama dalam bentuk catatan, disamping masih tersimpan dalam hafalan-hafalan mereka. Upaya itu mereka bentuk dalam institusi-institusi formal disamping non-formal, artinya bahwa pemeliharaan dan penyebaran periwayatan hadis ada yang dilakukan secara resmi seperti dalam majelis-majelis, dan ada pula yang diriwayatkan oleh perorangan dengan metode saling mengingat dalam hafalannya.[28]
Beberapa naskah peninggalan para sahabat itu antara lain : Sahifah Hammam, Sahifah Abdullah Ibn Amr Ibn 'As yang populer dengan nama Sahifah as-sadigah, dan beberapa Sahifah atau Nashah yang lain. Sementara beberapa sahabat yang menurunkan catatan-catatan hadis seperti ; Abu bakar as-Siddiq, Abu Bakar as-Saqafi, Abdul Aziz Ibn Marwan, Abu Salih al-Samman, Hammam Ibn Munabbih, Muhammad Ibn Sirin, Marwan Ibn Hakam, Ubaidillah Ibn abdullah, Abi Bakar Ibn Abdirrahman, Abdullah Ibn Mas'ud, Abdullah Ibn Zubeir, Ali Ibn Abi Thalib, Anas Ibn Malik, Jabir Ibn Abdullah, dan masih banyak sahabat yang lain.
2.        Periode Kedua (Masa Khulafaur Rasyidin (11 H- 40H))
Periode ini terjadi pada masa khulafaur Rasyidin atau yang dikenal dengan masa sahabat besar yaitu dimulai sejak wafatnya rasul sampai berakhirnya pemerintahan ali bin abi thalib pada tahun 11 H sampai 40 H. Masa ini disebut sebagai Al-Ashru al- Tsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yang artinya masa pembatasan dan memperketat periwayatan, disebut demikian karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-qur’an yang mendapat prioritas utama untuk terus disebarkan keberbagai pelosok wilayah islam dan keseluruh lapisan masyarakat. Dalam perkembangan hadist, setelah wafatnya Rasullah, para sahabat banyak yang berhijrah kekota madinah dan kota-kota lainnya untuk menyebarkan ajaran-ajaran islam termasuk diperkuat dengan memberikan hadis-hadis nabi untuk menjawab suatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang tidak ada dalam Al Quran, maka dibutuhkanlah penjelasan dari Hadits Nabi.[29]
Dalam menerima suatu hadits para sahabat Nabi sangat teliti. Abu Bakar dan Umar bin Khattab dalam suatu atsar dinyatakan bahwa “mereka berdua tidak akan menerima suatu hadits jika tidak disaksikan kebenarannya oleh orang lain” diriwayatkan oleh Adz- Dzahabi dalam Tadzkuratul Huffadh. Sejarah mencatat bahwa dimasa Abu Bakar dan Umar bin Khattab periwayatan hadits sangat sedikit dan lambat. Hal ini disebabkan kecenderungan mereka secara umum untuk menyedikitkan riwayat,disamping sikap ketelitian para sahabat dalam menerima hadits, hal ini bertujuan supaya terpelihara dari kekeliruan.[30] Ketika Umar bin Khattab memegang kekhalifahan,meminta dengan tegas supaya para sahabat menyelidiki riwayat hadits. Ketika mengutus perutusan ke Iraq, beliau mewasiatkan supaya utusan-utusan itu mengembangkan Al Quran dan mengembangkan kebagusan tajwid, serta mencegah mereka membanyakkan riwayat hadits.[31]
Tak jauh berbeda dengan pendahulunya, khalifah usman dan ali juga memperketat periwayatan. Pada zaman Usman bin Affan, kegiatan umat islam dalam periwayatan hadis telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman umar. Karena secara pribadi usman tidak sekeras umar , ditambah juga wilayah islam telah meluas sehingga para sahabat banyak yang trpencar keberbagai daerah diluar jazirah arab, yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan untuk mengadakan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara ketat. Dan ada pula atsar yang menyatakan Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadits sebelum yang meriwayatkan disumpah. Pada akhir priode ini, yang dihadapi oleh umat islam adalah persoalan orang-orang murtad dan pertikaian politik. Dan inilah yang menyebabkan munculnya hadis-hadis palsu bermunculan. Karenanya, tidak mengherankan kalau para sahabat utamanya khulafa al-rasyidin sangat ketat dan teliti dalam mengadakan periwayatan hadis,karena dikhawatirkan akan terjadi kebohongan atas nama rasul dan pembelokan perhatian kaum muslimin dari al-qur’an kepada hadis. Oleh sebab itu periode ini dikenal dengan masa pengetatan periwayatan hadis. [32]
3.        Periode Ketiga (Masa Sahabat kecil dan Tabi’in Besar(41H-akhir abad I H))
Periode ini berawal sejak akhir kekuasaan Khulafaur Rasyidin hingga akhir abad pertama hijriah, yang disebut Asru al- Intisyar al-Riwayah ila al-Amshar yang artinya masa pembatasan riwayat. Pembatasan riwayat pada priode ini merupakan tindakan berhati-hati dalam mengadakan suatu periwayatan hadis. Walaupun pada periode ini al-qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan keadaan pun tidak sesulit yang dialami oleh masa-masa Khulafaur Rasyidin. Dimana Al Quran belum dibukukan, sehingga dalam penggumpulan hadis pun belum diadakan. Maka pada masa ini tidak ada lagi kekhawatiran akan bercampurnya Al Quran dengan hadis-hadis nabi. Selain itu, pada masa ini para sahabat sudah banyak yang menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam.
Sejalan dengan pesatnya perluasan kekuasaan islam itu, pengembaraan para sahabat keberbagai daerah terus meningkat. Kegiatan pengembaraan ini sangat mempengaruhi perkembangan periwayatan hadist pada masa tersebut. Para ulama tidak hanya mengamati hadais-hadis yang mereka dapatkan, tetapi juga meneliti periwayatnya termasuk perjalanan hidupnya. Mereka mengadakan penyelidikan terhadap periwayat yang bersangkutan dengan menanyakannya kepada penduduk setempat (disekitar tempat tinggal periwayat). Hal ini dilakuakan tidak lain karena ingin memastikan kebenaran suatu hadis. Sebab terkadang seorang periwayat mendengar hadis dari ulama yang satu berbeda dengan ulama lain, pada hal hadis tersebut menyangkut hal yang sama.[33]
Pada periode ini terdapat beragam bid'ah dan penciptaan hadis-hadis maudu' bermunculan. Disebabkan dengan adanya golongan yang berkeinginan untuk menarik perhatian umat Islam agar mempercayai kebenaran argumentasinya dan dapat menjadi penguasa di daerah kekuasaan Islam.Sehingga tak dapat dipungkiri, hal ini dapat mengancam kelangsungan pemeliharan Hadits yang otentis berakar kepada Rasulullah. Masyarakat pun juga tidak lagi selektif, karena pembiusan doktriner sekte tersebut, demi tersebarnya sekte dengan klaim kebenaran ajarannya kepada khalayak umum. Karena hal tersebut semakin memuncak maka para sisa-sisa tokoh sahabat maupun tokoh-tokoh tabi’in melakukan suatu usaha dalam menaggapi kejadian tersebut dengan cara mereka melakukan suatu konstribusi dalam bidang pelembagaan as-Sunnah dengan mendirikan madrasah. Pendirian Madrasah-madrasah semakin diperluas di kota-kota besar maupun pelosok sebagai usaha menyebar luaskan ajaran agama yang disampaikan oleh Nabi SAW. dan Sunah-sunnahnya. Melalui lembaga-lembaga Madrasah ini periwayatan dan pencatatan as-Sunnah mulai dikembangkan secara standarisasi, yang telah ditetapkan dalam beberapa kebijakan para Khulafaur Rasyidin dalam periwayatan hadits.[34]
4.      Periode Keempat (Masa Pembukuan Hadis (abad ke-2 Hijriyah))
Periode ini dimulai pada akhir abad pertama hijriyah hingga pertengahan abad ke-2 Hijriyah. Dalam periode ini terdapat perubahan dalam pelembagaan hadits yaitu dengan melakukan penataan hadits Nabi Muhammad saw. dengan mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada para ahli hadits saat itu. Maka periode ini disebut dengan ‘Asr al Kitabah wa Al tadwin, yang artinya masa penulisan dan pendewanan/pembukuan hadits. Masa ini tepat pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H. Ia adalah seorang khalifah dari dinasti Amawiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dipandang sebagai Khalifah Ar Rasyidin yang ke-lima. Pada tahun 100 H khalifah Umar bin Abdul Aziz tergerak hatinya untuk membukukan Hadits maka dimintalah gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya membukukan Hadits Rasulullah saw. Yang ada pada penghafal wanita yang terkenal yaitu Amrah binti Abdir Rahman bin Sa’ad bin Zuhrah bin Aus, seorang ahli fiqih murid Sayyidati Aisya ra. Dan hadits-hadits yang ada pada Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar As Siddiq salah seorang fuqaha Madinah yang ketujuh. Beliau sadar bahwa orang yang membendaharakan hadits dalam dadanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan dalam buku-buku hadits para perawinya, mungkin hadits-hadits itu akan lenyap dari permukaan bumi dibawah bersama para penghafalnya ke alam barzah (kubur).[35]
Disebabkan juga pada abad pertengahan ke dua Hijriyah, terjadi sebuah permasalahan yang disebabkan oleh adanya propaganda-propaganda politik yaitu keinginan untuk menumbangkan rezim Amawiyah. Untuk memudahkan mempengaruhi massa, maka dibuatlah hadits-hadits palsu, dengan hal itu mereka mudah menarik perhatian rakyat kepada pemerintah Abbasiyah.  Dan sebalikanya pihak Amawiyah juga memalsukan hadits untuk membendung arus propaganda penganut faham Abbasiyah. Disamping itu pula juga muncul golongan zindik, tukang cerita yang berdaya upaya menarik minat pendengar untuk memperhatikan pengajaran-pengajarannya dengan membuat kisah-kisah palsu yang disandarkan kepada hadits-hadits Mandlu’. Menanggapi masalah tersebut Umar bin Abdul Aziz menetapkan pembukuan hadits nabi yang berasal dari para periwayat hadits di kawasan kekuasaannya, agar tidak ada lagi pemalsuan hadits-hadits nabi. Maka beliau mengirimkan surat-suratnya kepada para gubernur diseluruh wilayah yang dibawa kekuasaannya, supaya membukukan hadits yang ada pada para ulama yang berdiam diwilayah masing-masing. [36]Pengumpulan pertama di Kota Mekkah ialah Ibnu Juraij; Pengumpalan pertama di kota Madinah ialah Ibnu Ishak, atau Muhammad bin Abdur Rahman bin Abi Dzi’bin atau Malik bin Anas; Pengumpulan pertama di kota Kuffah ialah Sufyan Ats Tsauri; Pengumpulan pertama di kota Syam ialah Al Auzai; Pengumplan pertama di kota Wasith ialah Husyaim Al Wasithi; Pengumpulan pertama di Kota Yaman ialah Ma’mar Al Azdi; Pengumpulan pertama di kota Rei ialah Jarir Abdul Dlabbi; Pengumpulan pertama di kota Khurasan ialah Ibnu Mubarak; Pengumpulan pertama di kota Mesir Ialah Al Laits bin Sa’ad.[37]
Para ulama ini membukukan hadits tanpa adanya penyaringan, yakni mereka bukan hanya memasukkan hadits nabi tetapi juga memasukkan fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, semua itu dibukukan bersama-sama, maka terdapatlah di dalamnya hadits-hadits Marfu’, Maukuf, dan Maqthu’. Hanya catatan Ibn Hazm yang secara khusus menghimpun hadis Nabi karena khalifah Umar bin Abd al-Azîz menginstruksikan kepadanya untuk hanya menulis hadis Nabi saja. Hanya saja, sangat disayangkan bahwa manuskrip Ibn Hazm tersebut tidak sampai kepada generasi sekarang. [38]
5.        Periode Kelima (Masa Pentashihan Hadits dan menyaringnya(abad ke-3H))
Periode ini terjadi pada masa awal sampai akhir abad III hijriyah. Periode ini disebut dengan ‘ashr al tajrid wa al tashih wa al tanqih yang artinya masa penerimaan, mentashihkan, dan penyempurnaan.[39] Para ahli hadits pada abad ke 3 Hijriyah berupaya untuk memperbaiki kekurangan pembukuan hadits abad ke 2 H, yaitu pada abad ke 2 H pembukuan hadits tidak dipisah dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Dalam periode kedua pun juga masih mencampur adukkan hadits shahih, hadits hasan dan hadits doi’fnya. Segala hadits yang diterima langsung dibukukan tanpa menerangkan hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dho’ifnya.[40] Maka pada abad ini, para ulama melaksanakan penkodifikasian hadis dengan memisahkan antara sabda nabi saw dengan fatwa sahabat dan tabi’in . Sistem penyusunan yang dipakai adalah tashnid, yakni menyusun hadis dalam kitab-kitab berdasarkan nama sahabat perawi. Namun sistem ini kelemahannya adalah sulit untuk mengetahui hukum-hukum syara’ sebab hadis –hadis tersebut dikumpul dalam kitab tidak berdasarkan satu topik bahasan.
Kemudian ulama- ulama hadis pada abad ketiga ini, juga dihadapkan dengan dua golongan yang sedang bentrok, yaitu golongan dari mazhabilmu kalam. Yang mana tidak segan-segan membuat hadis-hadis palsu untuk memperkuat argumen mazhabnya dan juga untuk menuduh lawan mazhabnya. Dan untuk menghadapi keduanya dan sekaligus melestarikan hadis-hadis nabi, secara garis besar ada beberapa kegiatan penting yang dilakukan oleh ulama hadis, antara lain yaitu:
a.         Mengadakan perlawatan kedaerah-daerah yang jauh, kegiatan ini ditempuh karena hadis-hadis nabi yang telah dibukukan pada periode keempat hanya terbatas pada hadis hadis nabi dikota – kota tertentu. Usaha ini dipelopori oleh Imam bukhori.
b.        Mengadakan klasifikasi antara hadis yang Marfu’ (yang disandarkan kepada nabi ), yang Mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan Maqtu’ (yang disandarkan kepada tabi’in).
c.         Pertengahan abad III, ulama hadis mulai mengadakan seleksi kualitas hadis, yaitu kepada shohih dan dha’if. Usaha ini dipelopori oleh Ishaq ibnu ibnu rahawaih, kemudian diikuti oleh imam bukhori, muslim dan dilanjutkan oleh Abu Daud , Tirmidzi , dan lain-lain.
Dari penyeleksian diperiode ini , telah menghasilkan 2 jenis dewan hadis ,yaitu : Kitab shahih, yakni kitab yang disusun hanya berisikan hadis shahih saja dan kitab sunan, yakni kitab yang tidak memasukkan hadis-hadis mungkar dan sederajatnya, sedang hadis dha’if yang tidak mungkar dan tidak sangat lemah tetap dimasukkan kedalam sunan disertai keterangan ke dhai’fannya. [41]
6.      Periode Keenam (dari awal abad VI hingga tahun 656 H)
Periode ini berawal dari abad keempat hingga pertengahan abad ke enam hijriah, dan disebut sebagai 'Asru al-Tahzib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa al- Jami' artinya masa pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan. Pada periode keenam ini, hanya berpegang pada kitab-kitab hadis yang telah ada disusun oleh ulama pada abad II dan III. Gelar yang diberikan kepada ulama abad II dan III mutaqaddimun, yaitu ulama yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang kepada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar disetiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya. Sedangkan para ulama hadis pada abad keempat ini tidak lagi banyak yang mengadakan perlawatan keberbagai daerah seperti ulama sebelumnya, kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan pun adalah hasil dari usaha ulama abad II dan III. [42]Maka Al-dzahaby memberi batasan bahwa penghujung tahun 300 H. sebagai batas pemisah antara masa Ulama Mutaqaddim dengan Ulama Muta‟akhirin .[43]
Aktivitas para ulama sudah tidak lagi diprioritaskan ke dalam penyusunan prinsip-prinsip periwayatan as-Sunnah, melainkan memodifikasi karya-karya yang telah disusun oleh para ulama pendahulu mereka. Lebih jauh peran ulama pada periode ini adalah mengadakan kajian kritis terhadap kitab-kitab yang telah ditulis, dengan menerapkan metode kritik Hadis sesuai dengan prinsip standarisasi yang telah dirumuskan oleh para pengambil kebijakan atau rumusan para ulama terdahulu. Sehingga kesempatan yang diupayakan oleh ulama dari generasi dalam periode ini adalah mengkaji dan mengkoleksi secara besar-besaran sebagai khazanah pengetahuan dalam perkembangan sejarah kajian Hadis untuk masa-masa yang akan datang.[44]
7.      Periode Ketujuh (656 H- Sekarang)
Periode ini berawal dengan ditandai oleh jatuhnya Dinasti Abbasiah di bagdad ke tangan Kerajaan Tar Tar masa Hulaku Khan pada tahun 656 H. dan diambil alihnya Daulah Ayyubiah di Mesir oleh Dinasti Mamalik di penghujung abad ketujuh hijriah; maka berpindahlah kegiatan perkembangan hadis di Mesir dan India. hingga lahirnya abad modern yang disebut Asru al-Syarh wa al-Jam'i wa al-Takhrij wa al-Bahsi arinya masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan. Kegiatan ulama hadits pada masa ini berkenaan dengan upaya mensyarah kitab-kitab hadits yang telah ada dan mengumpulkan hadits kedalam kitab yang telah ada, mentakhrij hadits dalam kitab tertentu dan membahas kandungan hadits.Jalan-jalan yang ditempuh sebagai upaya pencapaian kegiatan para ulama masa ini ialah dengan menertibkan isi kitab-kitab hadis ,menyaringnya dan menyusun kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab takhrij, serta mebuat kitab-kitab jami’yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadis hukum, mentakhrijkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab, , mentakhrijkan hadis-hadis yang terkenal dalam masyarakat dan menyusun kitab athraf. [45]
Dalam pembukuan hadits dalam periode ini sudah merambah luas keberbagai penjuru dunia, tidak sebagaimana pada awal-awal periode pembukuan hadits, baik realisasi maupun aspek-aspek kajiannya. Karena penyebaran penduduk muslim semakin merata di penjuru dunia, disamping kompleksitas persoalan yang mereka hadapi, baik dalam persoalan pengajaran hadits sebagai disiplin pengetahuan, juga sebagai dasar atau sumber ajaran agama.[46]
E.       Penutup
Dapat diambil kesimpulan dari penjelasan diatas bahwasannya, Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua yang berasal dari Rasulullah mulai dari perkataan, perbuatan, ketetapan, cita-cita dan kondisi beliau. Dan juga dapat diartikan sebagai tindak tanduk para Sahabat Nabi dan para Tabi’in. Beliau yang selalu terjaga atas kredibilitasnya selama hidupnya, yang ditetapkan sebagai dasar penentuan hukum atau sumber hukum yang disebut dengan khabar atau atsar. Dalam pembukuan hadits Rasulullah mengalami 7 periodesasi mulai dari zaman Rasulullah hingga saat ini. Pelopor pertama untuk membukukan hadits adalah Umar bin Abdul Aziz, yang memerintahkan pemerintah madinah Abu Bakar. Kemudian dalam perkembangannya pembukuan hadits sering mengalami berbagai penyempurnaan pembukuan hadits dari masa kemasa. Untuk menghindari bercampurnya hadits Rasulullah dengan sabda-sabda selain dari Rasulullah, dan terhindar dari hadist palsu.
F.       Daftar Pustaka
Abu BakarAbak, SejarahPelembagaandanPembukuan As Sunnah,JurnalAsy-Syir’ah, Volume 42 Nomer 2, 2008.
Alawi Al Maliki, Muhammad. 2009. Al Manhalu Al Lathifu fi Ushuuli Al Hadisi Al Syarifi.Pen.Qohar, Adnan.Ilmu Ushul Hadis.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Baso Ahmad Gazali, Perkembangan dan Pemeliharaan Hadis (Suatu Kajian dengan Pendekatan Sejarah),Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1, 2013.
Juned,Daniel .2010. Ilmu Hadits.Jakarta:Erlangga.
Idri.2010.Studi Hadits. Jakarta:Kencana.
Hasbi Ash Shiddieqy, Muhammad.1999.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
Nasrah.2005.Perkembangan Hadis Pada Masa Nabi Muhammad saw dan Kedudukan Sahabat Serta Adalahnya. Universitas Sumatra Barat : e-USU repository.
As Shalih,Subhi .2000. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits.Jakarta:Pustaka Firdaus.
Sumbulah, Umi. 2010.Kajian Kritis Ilmu Hadits. Malang:UIN MALIKI PRESS.
Darmalaksana,Wahyudin. 2004.Hadits di Mata Orientalis. Bandung:Benang Merah Pres.
Zainuddin, Inkar Al SunnahPadaAspekKodifikasiHadis,Mutawatir : JurnalKeilmuanTafsirHadis,Volume 3, Nomer.2, Desember 2013.

Catatan:
1.      Similarity sudah sangat baik, hanya 8%
2.      Tata letak footnote perlu diatur
3.      Berikan ringkasan perbedaan hadis, sunnah, khabar, dan atsar.


[1]Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), 1.
[2] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadit.,(Malang:UIN MALIKI PRESS,2010),6.
[3] Idri, Studi Hadits, (Jakarta:Kencana,2010), 4.
[4] Daniel Juned, Ilmu Hadits, (Jakarta:Erlangga,2010), 78.
[5] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadits, (Malang:UIN MALIKI PRESS,2010), 8; Idri.Studi Hadits.(Jakarta:Kencana,2010),5.
[6] Idri, Studi Hadits, 8.
[7] Idri,Studi Hadits,(Jakarta:Kencana,2010), 8-12.
[8] Idri, Studi Hadits, 12.
[9]Ibid., 13.
[10] Idri, Studi Hadits,(Jakarta:Kencana,2010),14.
[11]Ibid.,15.
[12] Umi Sumbulah,Kajian Kritis Ilmu Hadits,(Malang:UIN MALIKI PRESS,2010), 14.
[13] Umi Sumbulah,Kajian Kritis Ilmu Hadits,(Malang:UIN MALIKI PRESS,2010), 15.
[14] Idri, Studi Hadits,(Jakarta:Kencana,2010), 16.
[15]Ibid., 17.
[16] Idri, Studi Hadits,18-19.
[17] Idri, Studi Hadit,(Jakarta:Kencana,2010), 19.
[18] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadit,(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), 1-5 .
[19] Idri,Studi Hadits, 2.
[20] Umi Sumbulah,Kajian Kritis Ilmu Hadits(Malang:UIN MALIKI PRESS,2010).10;Subhi As Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits,(Jakarta:Pustaka Firdaus, 2000),17.
[21] Umi Sumbulah,Kajian Kritis Ilmu Hadits.10; Wahyudin Darmalaksana,Hadits di Mata Orientalis,(Bandung:Benang Merah Pres,2004), 23.
[22] Wahyudin Darmalaksana,Hadits di Mata Orientalis, 23.; Subhi As Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, 21; Idri,Studi Hadits, 7.
[23]Muhammad Alawi Al Maliki, Al Manhalu Al Lathifu fi Ushuuli Al Hadisi Al Syarifi.terj.Adnan Qohar,Ilmu Ushul Hadis.(Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2009),  46 .
[24] Idri,Studi Hadits, 7.
[25] Subhi As Shalih,Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, 21.
[26]Baso Ahmad Gazali, Perkembangan dan Pemeliharaan Hadis (Suatu Kajian dengan PendekatanSejarah),Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1, 2013, 134.
[27] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,1999), 34-35.
[28]Abu BakarAbak, SejarahPelembagaandanPembukuan As Sunnah, JurnalAsy-Syir’ah, Volume 42 Nomer 2,2008, 295.
[29]Baso Ahmad Gazali, PerkembangandanPemeliharaanHadis (SuatuKajiandenganPendekatanSejarah), Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1,2013,135; Idri,Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2010), 39.
[30] Nasrah.Perkembangan Hadis Pada Masa Nabi Muhammad saw dan Kedudukan Sahabat Serta Adalahnya. Universitas Sumatra Barat : e-USU repository.2005,  5.
[31] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.1999),  42.
[32]Baso Ahmad Gazali, Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1,2013. 136-137; Idri,Studi Hadits, 41.
[33]Baso Ahmad Gazali, ,Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1, 2013, 137.
[34]Abu BakarAbak, JurnalAsy-Syir’ah, Volume 42 Nomer 2, 2008,  300-301.
[35] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.1999), 59; Idri,Studi Hadits,(Jakarta:Kencana,2010), 47.
[36] Baso Ahmad Gazali, Perkembangan dan Pemeliharaan Hadis (Suatu Kajian dengan Pendekatan Sejarah),Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1, 2013, 138; Zainuddin, Inkar Al Sunnah Pada Aspek Kodifikasi Hadis,Mutawatir : Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis,Volume 3, Nomer.2, Desember 2013, 318.
[37] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 61.
[38]Zainuddin, Inkar Al SunnahPadaAspekKodifikasiHadis,Mutawatir : JurnalKeilmuanTafsirHadis,Volume 3, Nomer.2, Desember 2013, 319.
[39] Idri,Studi Hadits, (Jakarta:Kencana,2010), 49.
[40] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadit,.(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), 68.
[41]Baso Ahmad Gazali, ,Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1, 2013, 138-139.
[42] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadit, 93.
[43]Baso Ahmad Gazali, Perkembangan dan Pemeliharaan Hadis (Suatu Kajian dengan Pendekatan Sejarah),Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1, 2013,140.
[44]Abu BakarAbak, ,JurnalAsy-Syir’ah, Volume 42 Nomer 2, 2008.308
[45]Baso Ahmad Gazali, ,Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1, 2013, 140; Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,105.
[46]Abu BakarAbak, ,JurnalAsy-Syir’ah, Volume 42 Nomer 2, 2008, 309.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar