Senin, 23 Oktober 2017

Hadis dan Historisitanya (PAI D Semester Ganjil 2017/2018)





Wildan Agus Wicaksono dan Ama Faridatul Husna Jamil
PAI D Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
This article is about Hadith and its history. In it contains the existence of the hadith concerning the opinion of the scholars' on the definition of Hadith in language and terms, the various hadiths in the form of (deeds, sayings, approval of things, and the ideals of the prophet), the distinction between hadith, sunna, atsar, and khabar, and the periodization of a brief history of hadith from time to time, which includes the hadith at the time of the Prophet, the period of companions, the period of tabi'in, the period of codification of hadith from the beginning to the end. Hadith is the second source of Islamic teachings after the Qur'an, which every Muslim must follow and practice the teachings contained therein. Therefore, it is necessary to understand and examine the hadiths (the history of the prophet's traditions, the kinds and forms of the hadith of the prophet) is also necessary, to know the things taught in them. This article emphasizes the scope of the hadith, not about the science of hadith.

Keywords : Hadith,  Sunna, Khabar, Atsar, History.

Abstrak
Artikel ini berisi tentang Hadis dan historinya. Didalamnya memuat tenatng eksistensi hadis yang berkenaan dengan pendapat para ulama’ mengenai definisi Hadis secara bahasa dan istilah,macam-macam hadis baik berupa (perbuatan, perkataan, persetujuan hal ihwal, maupun cita-cita nabi), perebedaan antara hadis, sunnah, atsar, dan khabar, dan periodisasi sejarah singkat histori hadis dari masa ke masa, yang meliputi hadis pada masa Nabi, masa sahabat, masa tabi’in, masa kodifikasi hadis mulai masa awal hingga akhir. Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, yang setiap muslim wajib mengikuti dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, maka memahami dan mengkaji hadis meliputi (sejarah hadis nabi, macam-macam dan bentuk hadis nabi) juga diperlukan, untuk mengetahui hal-hal yang diajarkan di dalamnya. Artikel ini menekankan pada lingkup hadisnya, bukan mengenai ilmu hadis.

Kata kunci : Hadis, Sunnah, Khabar, Atsar, Histori.

A. Pendahuluan
            Sumber ajaran Islam yang pokok adalah alQur’an dan Hadis kedua sumber ajaran tersebut sangatlah penting perannya dalam kehidupan umat Islam karena dari keduannyalah para ulama sepakat menjadikan alQur’an dan Hadis sebagai pedoman utama dalam pengambilan suatu rujukan akan ilmu Islam.[1] Dan yang akan kami singgung pada kesempatan kali ini ialah mengenai Hadis dan Historinya. Seperti yang kita tahu mempelajari hadis merupakan bagian dari keImanan umat Islam akan keNabian baginda Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW merupakan sang pembawa risalah tersebut dari Allah SWT. Hal itu tidak akan bisa kita mengerti dan teladani jika tanpa kita mengetahui akan hadis sendiri serta bagaimana perkembangannya hingga sampai sekarang ini.[2] Dan dalam  keilmuan hadis sendiri, terdapat sejumlah istilah yang dari sisi bahasa  atau terminologis memiliki pengertian serupa, yakni: hadits, sunnah, khabar, dan atsar. Menurut mayoritas ulama hadis, keempat istilah tersebut dianggap sama atau bersinonim satu sama lain, sehingga dalam pemakaiannyapun dapat dipertukarkan satu sama lain. Sementara sebagian lainnya, beranggapan bahwa tiap-tiap istilah tersebut memiliki kandungan serta makna yang berbeda. Dalam kesempatan ini juga, akan sedikit kita bahas mengenai beberapa istilah tersebut disamping apa itu Hadis dan bagaimana perkembangannya.[3]
           
B. Pengertian Hadis
Menurut bahasa, hadis mempunyai beberapa arti, yaitu : (1) “Al-Jadid”, yaitu sesuatu yang baru, (2) “Al-Khobar”, yaitu berita atau sesuatu yang diberitakan, (3) “Qorib”, yaitu sesuatu yang dekat. [4]
Menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat menurut muhaddisin dan ulama’ ahli ushul mengenai pengertian tentang hadis. Di kalangan muhaddisin sendiri terdapat pendapat yang berbeda, diantaranya :[5]
a) Hadis adalah segala perkataan, perbuatan, daln hal ikhwalnya Nabi Muhammad Saw. Yang dimaksud “hal ihwal” disini adalah semua perbuatan mengenai Rasulullah, yang berhubungan dengan sejarah kelahiran, karasteristik, himmah, dan kebiasaannya.
b) Hadis merupakan segala seuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, dan sifat-sifatnya.
c) Hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, dan sifatnya.
     Dari beberapa pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hadis adalah segala hal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik perkataan maupun perbuatan, hanya yang berbeda adalah tambahan yang disebutkan diakhir.  [6]
Menurut ulama’ fiqih (fuqoha), definisi hadis yaitu:
a) Semua perbuatan, perkataan, dan taqrir Nabi Muhammad Saw yang berkaitan dengan hukum syara’. [7]
b) Segala perkataan Nabi Muhammad Saw, yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara’. [8]
Dapat disimpulkan, bahwa pengertian hadis menurut ulama’ fiqih adalah segala perbuatan, perkataan, dan takrir yang berkaitan dengan hukum atau suatu yang dapat dijadikan landasan untuk mentapkan hukum.

C. Macam-macam Hadis
            Hadis nabi dapat dikalsifikasikan mejadi empat, yaitu :
1. Hadis Qauli
     Hadis Qauli disebut juga sebagai Hadis yang berupa ucapan. Yang dimaksud dengan hadis qauli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan yang berisi berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan mengenai akidah,akhlak, dan syari’ah.[9]Salah satu contoh hadis qauli adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘umar bahwa Rasulullah Saw bersabda:
بُنِيَ الاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللّه وَاَنّ مُحمّدَارَسُوْلُ اللّهِ وَاِقَامُ الصّلاَةِ وَاِيْتَاءُالزّكَاةِ وَاْلحَجُّ وصوْمُ رَمَضَانَ.
“Islam ditegakkan atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad rasul Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan berpuasa bulan Ramadhan”.
     Nabi Muhammad Saw melakukan beberapa cara untuk meriwayatkan hadis secara qauli, yaitu:[10]
a)      Sabda Rasul disampaikan secara lisan di hadapan banyak orang, melalui ceramah, khatbah, majlis-majlis, dan lain sebagainya. Hadis disampaikan di depan banyak orang baik laki-laki maupun perempuan.
b)      Sabda Rasul hanya disampaikan di depan satu orang atau beberapa orang. Nabi menyampaikan hadis qauli di depan salah seorang sahabat, yang berisi jawaban atasan pertanyaan yang diajukan oleh sahabat ataupun tidak.
c)      Hadis qauli disampaikan oleh Nabi karena suatu sebab yang mendorong untuk menyampaikan hadis yang berkaitan dengan peristiwa tertentu.
d)     Secara umum, hadis dalam bentuk sabda tidak disertai dengan sebab atau peristiwa tertentu. Nabi bersabda tanpa adanya motivasi yang mendorong untuk menyampaikan hadis. Hadis ini disampaikan dalam rangka menyampaikan ajaran islam sebagai tugas risalah Nabi, meskipun tidak ada hal yang melatarbelakangi adanya hadis yang dimaksud.
e)      Umumnya, Nabi hanya bersabda dan hanya ada seseorang atau beberapa sahabat yang mendengarkannya, tidak menyertakan perintah kepada sahabatnya untuk menulis sabdanya. Tetapi, ada kalanya nabi memerintahkan sahabat untuk menulis sabda yang diucapkan.
2. Hadis Fi’li
Hadis Fi’li bisa disebut dengan hadis yang berupa perbuatan. Hadis Fi’li adalah hadis yang menyebutkanperbuatan Nabi Muhammad Saw yang sampai kepada kita.[11] Hadis Fi’li juga bisa didefinisikan semua perbuatan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, misalnya sholat dan wudhunya nabi. Hadis tersebut berupa perbuatan Nabi yang menjadi uswah sahabat pada waktu itu, dan umat islam wajib mengikutinya. [12]
Contoh hadis fi’li adalah : [13]
صَلّوا كَمَا رَاَيْتُمُونِي اُصَلّي
“Lihalatlah kalian sebagaimana kalihan melihat aku shalat”
Ada beberapa kategori mengenai Hadis Fi’li:[14]
1.      Hadis berupa perbuatan yang disebabkan oleh sebab tertentu. Nabi melakukan perbuatan yang disaksikan oleh seorang sahabat atau beberapa yang disebabkan oleh faktor tertentu.
2.      Hadis yang berupa perbuatan yang tidak disebabkan oleh suatu hal. Hadis Fi’li yang tidak disebabkan oleh suatu hal lebih banyak dibandingkan hadis yang disebabkan oleh suatu sebab.
3.      Hadis yang berupa perbuatan yang dilakukan di hadapan banyak orang.
4.      Hadis yang berupa perbuatan yang dilakukan di hadapan beberapa orang saja.

3. Hadis Taqriri
     Hadis Taqriri bisa disebut sebagai hadis yang berupa persetujuan. Hadis Taqriri adalah yang berupa ketetapan Nabi Muhammad Saw terhadap apa yang datang atau yang dilakukan oleh sahabat Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan dengan cara Rsulullah menyetujui dan menganggapnya sebagai suatu hal yang bagus. [15]
     Diantara contoh hadis taqriri, adalah sikap Rasulullah membiarkan para sahabat melakukan perintahnya, sesuai dengan penafsiran mereka terhadap sabdanya, seperti: [16]

لاَ يُصَلِّيَنَّ اَحَدٌ اَلْعَصْرَ لاَفِى بَنِى قُرَيْضَةَ
Artinya: “Janganlah seseorang pun sholat Asar, kecuali bila tiba di Bani Quraizah”.
     Materi yang terkandung dalam hadis taqriri ini bukan dari Nabi, tetapi dari sahabat yang perbuatan yang disetujui oleh Nabi Muhammad Saw. Sikap persetujuan Nabi yang seperti itu, dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang bisa dijadikan hujjah dan mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan hukum.  [17]

4. Hadis Ahwali
     Hadis ahwali bisa disebut juga dengan hadis yang berupa hal ihawal. Yang dimaksud dengan hadis ahwali yaitu hadis yang menyebutkan hal ihwal Rasulullah Saw, mengenai keadaan fisik, kepribadian, dan sifat-sifat beliau. [18]
Terdapat 2 hal yang bisa disebut dalam kategori hadis ahwali, yaitu:[19]
1.      Hal-hal yang bersifat intrisik, berupa sifat-sifat psikis yang tercermin dalam sikap dan tingah laku keseharian , seperti Minum, makan, tidur, adab dalam menerima tamu, dan lain-lain. Jadi, hal-hal yang berkaitan dengan akhlak dan etika Nabi termasuk hadis ahwali.
Misalnya dalam hadis Anas bin Malik berikut ini:

كَانَ رَسُوْلُ اللّه صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَحْسَنَ النَّاسِ خَلْقًا
Artinya: Rasulullah Saw adalah orang yang paling mulia akhlaknya”.

2.      Hal-hal yang bersifat ekstrinsik yaitu aspek yang terkait dengan fisik Nabi Muhammad Saw, seperti tentang wajah, postur tubuh, dan lain-lain. Seperti yang terdapat dalam hadis berikut ini:

كَانَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَمَ اَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهَا وَاَحْسَنَ النَّاسِ خَلْقًا لَيْسَ بِا لطَوِيْلِ وَلاَ بِا لقَصِيْر
Artinya: “ Rasulullah Saw adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh, keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek”.

Aspek keduanya tersebut tidak ada kaitannya secara langsung dengan ajaran islam, hanya sebagai informasi mengenai idektitas baik fisik maupun psikis Nabi Muhammad Saw.

5. Hadis Hammi
Hadis hammi bisa juga disebut dengan hadis yang berupa citi-cita. Yang dimaksud hadis hammi adalah hadis yang  berupa keinginan nabi dan belum tersealisasikan. Pada kenyataannya, hadis hammi belum tercapai atau  terwujud, masih dalam ide yang pelaksanaaannya pada masa sesudah nabi.[20] Contohnya hadis hammi yaitu keinginan untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘asyura, sebagaiman disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Abbas : [21]

لَمّضأ صَامَ رَسُلُ اللّهِ صَلّ اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَا شُوْرَاءَ وَاَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوْا يَا رَسُوْلُ اللّه, انَّهُ يَوْمٌ يُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُوالنّصاَرَى, فَقَالَ: فَاَذَا كَانَ عَامُ الْقْبِلِ انْشِاءَ اللّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ لتّاسِعَ

Artinya : “ Ketika Nabi Muhammad Saw berpuasa pada hari ‘Asyura dan memrintahkan para sahabat untuk berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, “Ya Nabi, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang yahudi dan nasrani:. Nabi bersabda, “Tahun yang akan datang insyaAllah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilannya.”
       Dilhat dari esensinya, hadis hammi ini belum terwujud, tetapimasih apada taraf keinginanyang belum dilaksanakan dan dicapai. Macam hadis seperti ini lebih sedikit daripada hadis yang lain.

D. Perbedaan antara Hadis, Sunnah, Atsar, dan  Khabar

Sumber ajaran Islam yang utama ialah alQur’an, tetapi bagaimana dengan sumber ajaran kedua Islam yaitu al-hadis dan dalam penjabarannya sendiri juga terdapat beberapa istilah yang saling berkaitan yakni sama erat dengan perkataan, perbuatan, dan taqrir Rasulullah SAW, yaitu hadis, sunnah, atsar,dan khabar. Namun tidak sedikit ulama yang membedakan istilah-istilah tersebut.[22] Seperti apa yang akan dibahas dalam pembahasan kali ini.
Hadis
Dari segi bahasa, hadis memililki beberapa arti, yaitu : (1) “Al-Jadid”, yang berarti sesuatu yang baru, (2) “Al-Khobar”, yang berarti berita atau sesuatu yang diberitakan, (3) “Qorib”, yang berarti sesuatu yang dekat. [23]
            Sedangkan menurut istilah hadis dapat diartikan sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir nabi, sifat maupun hal ihwal Nabi SAW.[24]
Sementara dikalangan beberapa ulama ada yang berpendapat bahwa hadis tidak hanya sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW saja, melainkan juga yang berasal dari sahabat, dan tabi’in. kemudian disinilah terdapat istilah yang namannya hadis marfu’, hadis mauquf, dan hadis maqtu’. Hadis marfu’ yaitu hadis yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW, hadis mauquf , yaitu hadis yang dinisbahkan kepada sahabat Nabi, dan hadis maqtu’, yaitu hadis yang dinisbahkan kepada tabi’in.[25]

Contoh hadis marfu’ :
كَا ن رسول الله صلى الله عليه وسلم يُصلِّى على را حِلَتِهِ حَيثُ تَوَ جَّهَتْ بِهِ، فَاِذا اَرادَالفَرِيضَةَ نَزَلَ فَا سْتَقْبَلَ القِبْلَةَ
(رواه  البخاري)
“Rasulullah SAW, pernah melakukan shalat  di atas kendaraan (dengan menghadap kiblat) menurut arah kendaraan itu menghadap. Apabila hendak shalat fardhu, beliau turun sebentar, kemudian menghadap kiblat.” (HR. al-Bukhori).
Dari contoh diatas jelas bahwa hadis tersebut dinisbahkan pada perbuatan Rasulullah SAW.[26]

Contoh Hadis mauquf :
قال : عليُ بن طالب رضي الله عنه : حدِّ ثوا النَّ سَ بما يعرفونَ أتُريدون انْ يُكذِّبَ اللهُ ورسوله.
( رواه البخاري)
“Ali bin Abi Tholib berkata : berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui, apakah engkau menghendaki Allah dan RasulNya di dustakan ?” (HR. Bukhori).
 Hadis diatas disandarkan atau dihubungan dengan sahabat, Ali berkata... begini..begitu..dst.[27]

Contoh Hadis maqthu’ :
Imam Malik berkata kepada murid-muridnya :
اتقوا اللهَ و نْشُزُوا هذا العلمَ و علِّموهُ ولا تكتُمُوهُ
"Takutlah kamu sekalian kepada Allah SWT, sebarkanlah ilmu ini dan ajarkanlah serta janganlah kamu sekalian menyimpannya”
Adapun juga biasannya ada perkataan yang diucapkan tabi’in dengan kata, “termasuk sunnah.. begini..begitu…dst.”[28]

Sunnah
لقد تَرِكْتُ فيكُمْ أمْرَينِ لَنْ تَضِلّوْا ما إن تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَا بَ اللهِ و سُنَّةَ رسو لِهِ (رواه مالك)
           
“sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua perkara, tidak sekali-kali kamu sesat, selama kamu berpegang kepadannya, yakni kitabullah dan sunnah Rasul-Nya” (HR. Malik)[29]
Dari segi bahasa sunnah memiliki beberapa arti yaitu jalan yang dilalui, tata cara atau perilaku.[30]adapun mengenai jalan yang dijalani, itu termasuk dalam sesuatu yang terpuji maupun tercela.[31]
Dari segi terminologis atau istilah, sunnah juga dapat diartikan, yaitu menurut ulama hadis misalnya, berpendapat bahwa sunnah adalah sinonim dari hadis. Yang mana dapat diartikan segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, persetujuan, penampilan fisik dan budi pekerti Nabi SAW.[32]
Sedangkan menurut ulama fiqh, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan sesuatu hal yang wajib atau fardhu yang didalamnya terkandung unsure mewajibkan atau memfardhukan, hal ini didefinisikan berdasar pokok pembahasan para ulama fiqh yang berkaitan dengan hukumm-hukum syara’.[33]
Adannya perbedaan tersebut karena memang dilihat dari sudut pandang yang berbeda, jika ulama hadis melihat pada perilaku atau pribadi Nabi Muhammad SAW, ulama fiqh lebih sebagai respon dari perilaku Nabi Muhammad SAW sebegai penetapan untuk melandasi suatu hukum.[34]
Dengan demikian sunnah dan hadis sama-sama bersumber dan bersandar kepada Nabi Muhammad SAW, dan sunnah lebih kepada soal-soal praktis atau penerapannya yang dicontohkan Nabi SAW, kemudian berlaku sebagai tradisi dikalangan umat Islam.[35]

Khabar
Kata khabar berarti an-naba (warta), menurut istilah ulama mendefenisikan ada dua poin yaitu;
·         Pertama, khabar disamakan pengertiannya  dengan hadits maupun sunnah.
·         Kedua, ulama berpendapat, khabar merupakan khabar yang dating dari selain nabi Muhammad, sedangkan hadits dan sunnah adalah khabar dari Nabi Muhammad.[36]
Secara bahasa khabar yaitu semua berita yang disampaikan seseorang kepada seseorang yang lain. Ulama ahli hadits juga berpendapat bahwa khabar ini sama artinya dengan hadits yakni, dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu’, mauquf, dan maqtu’ dan berkaitan dengan sesuatu yang asalnya dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan para tabi’iin.
Sebagian ulama juga berpendapat dan mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datanganya selain dari Nabi Muhammad SAW. Dan yang datang dari Nabi Muhammad SAW disebut hadits. Mereka juga berpendapat bahwa hadits sifatnya hadits lebih umum daripada khabar. Oleh karena itu, dapat dikatan bahwa hadits itu merupakan khabar tetapi khabar belum tentu dikatakan hadits.[37]
Dalam buku Ilmu Ushul Hadis yang  di tulis oleh Drs. H. Adnan Qohar yang merupakan terjemah dari kitab Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syariifi karya Prof. Dr. Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki yang merupakan ulama besar Masjidil Haram. Berpendapat bahwa;
Khabar menurut etimologi berarti “berita”, dan menurut terminologi, mengenai arti khabar mendapat tiga pendapat, yaitu:
1.      Pengertian khabar identik dengan hadits.
2.      Khabar ialah apa-apa atau sesuatu yang datang selain dari Nabi, seadng hadits adalah sebaliknya. Sehingga, terkenal dengan  sebutan “muhaddits” bagi orang-orang yang menggeluti bidang ilmu hadits, dan disebut “ikhbari” bagi orang-orang yang menggeluti bidang ilmu sejarah dan sejenisnya.
3.      Pengertian hadits lebih khusus daripada khabar, sehingga setiap hadits pasti khabar, namun tidak setiap khabar  pasti hadist.
Atsar
            Lafazh “atsar” yang artinya bekas sesuatu[38] atau sisa dari gambaran sesuatu dan hasil dari peninggalan. Secara bahasa, atsar juga diartikan sama  dengan hadis, sunnah, dan khabar. Mayoritas ulama hadis mengartikan atsar sebagai ‘sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, atau pun tabi’in’. Sementara al-Nawawi (w. 676 H.) menyebutkan bahwa atsar dalam terminologi ulama salaf dan mayoritas ulama khalaf, adalah ‘sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW (marfu’) maupun dari sahabat (maquf).[39]
            Jadi mengenai atsar sendiri ada dua poin yang bisa dijadikan sebagai patokan pengertian atsar sendiri yaitu :
1.      Pengertiannya identik atau sinonim dengan hadis, sunnah, maupun khabar.[40]
2.      Berbeda dengan dengan hadis, sunnah maupun khabar. Atsar yaitu sesuatu yang berasal dari para sahabat. Dalam hal ini atsar berarti juga hadis mauquf. Dan oleh karena sesuatu yang berasal dari Nabi SAW ialah khabar.[41]

Demikian uraian mengenai beberapa istilah Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar. Dan dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
Secara prinsip atau hal mendasar istilah Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar sendiri mempunyai hal yang sama yakni sesuatu yang didasarkan atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, atau sahabat Nabi, atau Tabi’in, baik yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat Nabi.[42] Dan adapun yang membedakan akan keempat istilah tersebut mengenai perbedaan para ulama yaitu akan keterangan dan periwayatannya.[43] Serta para ulama juga berpandangan bahwa perbedaan akan keempat istilah tersebut sebenarnya hanya bersifat teoritis karena dalam perpektifnya sama saja yaitu sesuatu yang bersumber dan dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW. [44]

E. Sejarah Hadis dari Masa ke Masa
  Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis dapat diklafisikasikan menjadi beberapa periode : hadis pada masa nabi, hadis pada masa sahabat, dan hadis pada masa tabi’in.
1. Hadis pada Nabi Muhammad Saw
Masa Rasulullah adalah periode pertama pertumbuhan dan perkembangan hadis. Masa ini berlangsung selama 23 tahun dan merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus sebagai masa pertumbuhan hadis. [45]Masa ini juga dikenal dengan ‘Ashr al-Wahy al-Takwin, yaitu masa wahyu dan pembutukan karena pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan hadis-hadis yang datang dari Nabi.
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan hadis pada masa nabi: [46]

a.      Cara menyampaikan Hadis
Rasulullah menyampaikan hadis kepada sahabat dengan beberapa teknik atau cara, yaitu: [47]
Pertama, melalui majlis majlis ta’lim. Yaitu tempat pengajian para jamaah yang diselenggarakan oleh Rasulullah. Melalui majlis ta’lim ini, para sahabat memiliki banyak waktu dan peluang untuk menerima hadis dari Nabi Muhammad Saw. Sehingga para sahabat selalu meluangkan dan mengusahakan untuk mengikutinya. Periwayatan hadis melalui majlis ini dilaksanakan secara reguler, dimana kegiatan ini diikuti secara antusias oleh para sahabat.
Kedua, Rasulullah menyampaikan hadisnya pada kesempatan-kesempatan lain, tidak harus melalui suatu majlis. Di banyak kesempatan, Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabat tertentu atau beberapa sahabat saja, yang kemudian para sahabat menyalurkannya kepada prang lain.
Ketiga, Rasulullah menyampaikan hadis dengan metode ceramah di tempat umum atau tempat yang terbuka. Contohnya pada waktu haji wada’ dan futuh makkah.
Keempat, Rasulullah menyampaikan hadis melalui perbuatan langsung yang dilihat oleh para sahabat. Misalnya hal-hal yang berkaitan dengan praktik ibadah dan muamalah.
Kelima, Rasulullah menyampaikan hadis melalui istri-istri sahabat ketika berkenaan dengan hal-hal yang sensitif, seperti keluaraga dan kebutuhan biologis.
Tempat-tempat yang digunakan Rasul dalam menyampaikan hadis yaitu di masjid, rumah beliau, pasar, ketika perjalanan, dan ketika mukim.

b. Keadaan Sahabat dalam Menerima dan Menguasai Hadis
Dalam memperoleh dan menerima hadis ada seorang sahabat dengan sahabat yang lain tidak sama. Sebagian sahabat memperoleh lebih banyak dari sahabat yang lain, dan sebagian lagi memperoleh hadis lebih sedikit. Hal tersebut terjadi karena beberapa hal, yaitu: [48](1) Perbedaan terhadap kesempatan bertemu dan bersama Rasulullah, (2) Perbedaan menganai hafalan dan keaktifan sahabat dalam mencari informasi mengenai hadis terhadap sahabat yang lain, (3) Perbedaan sahabat dalam hal kesanggupan untuk selalu bersama Rasulullah, (4) Berbedanya waktu islam, jarak tempat tinggal, dan majlis Rasulullah, (5) Ketrampilan dalam menulis hadis yang berbeda.
Beberapa sahabat yang tergolong banyak menerima hadis dari Rasul adalah: [49]
1.      Khulafaur Rasyidin, karena lebih dulu dan awal dalam masul islam.
2.      Istri-istri Rasulullah Saw, karena mereka lebih dekat dengan Rasul, jadi banyak mengerti yang berkaitan dengan kepribadian Rasul, keluarga, dan tata cara pergaulan suami istri.
3.      Sahabat yang selalu ada dan dekat disamping Rasulullah, seperti Abdulla Amr bin ‘Ash.
4.      Sahabat yang memanfaatkan peluang untuk aktif bertanya kepada sahabat yang laiinya dengan giat dan sungguh-sungguh. Seperti Abu Hurairah
5.      Sahabat yang sungguh dalam mengikuti majlis yang diselenggarakan oleh Rasul dan aktif dalam kegiatan tersebut.

c. Pemeliharaan Hadis dalam Hafalan dan Tulisan
1. Aktifitas Menghafal
Hadis-hadis yang diterima oleh sahabat dari Rasulullah dihafalkan secara sungguh-sungguh agar tidak lupa dan hilang dari ingatan, tidak terjadi kekeliruan, dan tidak tercampur dengan ayat-ayat Al Qur’an. Rasulullah Saw tidak memperkenankanuntuk menulis hadis, akan tetapi memerintahkan hanya utnuk dihafal. Rasulullah tidak memerintahkan sahabat untuk menulisnya, karena dihawatirkan terjadi kekeliuran, atau tercampur dengan ayat-ayat  Al Qur’an. Para sahabat memiliki alasan yang kuat dalam kegiatan menghafal hadis, yaitu menghafal merupakan budaya arab yang sudah mentradisi, orang-orang arab atau sahabat terkenal memiliki kemampuan yang sangat kuat dalam menghafal, Rasulullah memberikan semangat melalui doa-doa kepada mereka, dan Rasul sering menjanjikan kebaikan yang berada di akhirat bagi orang yang menghafal dan menyampaikan hadis. [50]

2. Aktifitas Menulis Hadis
Banyak diantara sahabat yang mempunyai tulisan hadis, baik untuk disimpan sebagai catatan pribadi ataupun disampaikan kepada orang lain. Daintara para sahabat yang melakukan penulisan terhadap hadis yang menurutnya telah dibenarkan oleh Rasul, yang disebut dengan nama ash-shahifa as-shadiqah.
Diantara sahabat yang melakukan penulisan hadis, yaitu: (a) Jabir bin Abdillah bin Amr al-Anshari. Beliau memiliki tulisan hadis yang berisi tentang manasik haji. Yang kemudia diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya dikenal dengan Shahifah Jabir, (b) Anasbin Malik. Beliau memiliki catatan hadis untuk disimpan sendiri dan disampaikan kepada orang lain, (c) Ali bin Thalib, sebagai salah seorang penulis pribadi Rasulullah. Beliau juga memiliki tulisan yang didsimpan secara pribadi yang isinya yaitu hadis-hadis yang diterima dari Nabi. [51]

2. Hadis Pada Masa Sahabat
Pada masa sahabat, khususnya masa Khulafaur Rasyidin periwayatan hadis berlangsung mulai tahun 11 H sampai tahun 40 H, kurang lebih selama 29 tahun. Masa ini lebih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al Qur’an, sehingga membatasi periwayatan hadis. Mereka sangat membatasi diri dan berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, karena khawatir terjadi kekeliruan, serta meriwayatkan hadis nabi merupakan hal penting sebagai wujud ketatan kepada Rasul dan memelihara amanah Rasulullah Saw.  Maka dari itu Khulafaur Rasyidin sangat berjati-hati dalam hal tersebut. [52]
Para sahabat melakukan penelitian yang sungguh-sungguh terhadap periwayatan hadis mengenai rawinya ataupun matannya, maka dari itu sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadis. Para sahabat yang dipelopori oleh khalifah Ali bin Abi Thalib juga meminta sumpah dari rawi yang meriwayatkan hadis, untuk memastikan dan mempertanggungjawabkan hadis yang diriwayatkannya tersebut, para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.[53]
     Pada masa sahabat juga terjadi kekeliruan dalam periwayatn hadis. Menurut Shalah al-Din Ibn Ahmad, kekeliruan terjadi pada hadis itu disebabkan oleh salah satu atau lebih dari faktor –faktor berikut: [54]
1.      Sahabat meriwayatkan hadis yang didengar langsung dari Rasul, tetapi tidak tau kalau hadis itu telah di nasakh.
2.      Seorang rawi menyertakan komentar dan redaksi hadis, sehingga diduga oleh orang-orang yang menerima atau mendengar hadis sebagai bagian dari hadis tersebut.
3.      Kekeliruan dalam meletakan suatu kata dalam hadis oleh seorang rawi.
4.      Seorang rawi meriwayatkan hadis dengan redaksinya sendiri  yang mempunyai cakupan lebih luas daripada hadis yang sebenarnya bersumber dari Nabi.
5.      Meriwayatkan hadis bukan pada jalur yang sebenarnya atau semestinya karena lupa latar belakang timbulnya hadis tersebut.
6.      Periwayat keliru meriwayatkan hadis, yang sesungguhnya tidak berasal bersumber dari Nabi, dikatakan berasal dari dirinya.

  Pada masa khalifah sempat terjadi upaya pembatasan dan pengetatan dalam periwayatan hadis, tetapi juga terjadi pemalsuan hadis pada masa Ali bin Abi Thalib yang dibuat oleh orang-orang syi’ah. Munculnya hadis palsu ini disebabkan oleh beberapa faktor politik, yang bertujuan untuk menjustifikasi kekuatan sekte tertentu agar mendapat legitimasi di kalangan umat muslim. Bukti hadis yang dibuat oleh orang-orang syiah tersebut adalah hadis yang berisi tentang ‘Ali bin Abi Thalib yang disanjung beserta pengikutnya, dan mencela para sahabat Abu Bakar, ‘Umar bin Khattab, dan lainnya.[55]

3.      Hadis Pada Masa Tabi’in
            Pada masa ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena pada dasarnya dalam hal periwayatanpun tidak jauh beda yang dilakukan tabi’in dan sahabat. Para sahabat yang pada masa ini terfokus pada penyebaran hadis karena alQur’an sendiri sudah dalam bentuk mushaf dan ini memudahkan mereka untuk mempelajari hadis dari para sahabat. Wilayah Islam yang semakin luas meliputi Irak, Persia, Mesir, Afrika, Spanyol dan Damaskus pada masa kepemerintahan Bani Umayah juga menjadi faktor pendorong meningkatnya penyebaran hadis dan pada masa ini pun dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis.
            Dalam pembinaan ini beberapa kota tercatat menjadi pusatnya yaitu di Madinah, Makkah, Kufah, Syam, Mesir, dll. Pusat yang pertama yaitu Mdinah dimana disinilah Nabi Muhammad SAW menetap setelah hijrah dan para sahabat yang menetap disini pula yaitu, Khulafaur Rasyidin, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya. Di Makkah ada nama seperti Mu’adz bin Jabal,  Usman bin Thalha, dan sahabat lainnya. Begitupun di wilayah-wilayah Islam lainnya seperti itulah mereka menyebar luaskan hadis dengan menetap disuatu wilayah kekusaan Islam.[56]

4.      Hadis Pada Masa Kodifikasi
            Pada masa ini ketika pemerintahan Islam berada pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia mengintruksikan kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari pengahafalnya. Kebijakan ini dilandasi oleh beberapa pokok alasan yaitu khawatir akan habisnya para ulama hadis karena meninggal dimedan perang dan khawatir akan tercampurnya hadis shahih dengan hadis yang palsu.
            Dan pada masa ini pula ada gerakan menulis hadis dikalangan tabi;in dan tabi’it tabi’in. Seorang ulama hadis dengan kitabnya yang berjudul Al-Muwatha’ditulis oleh Malik bin Anas dan kemudian banyak dari kalangan tabi’in dan tabi’it tabi’in yang turut serta dalam gerakan ini.


Penutup
          Dari uraian diatas, dapat disimpulkan mengenai definisi hadis, macam-macam hadis, perbedaan antara hadis, sunnah, dan atsar, serta sejarah hadis dari masa ke masa. Dalam agama islam, hadis digunakan sebagai dasar hukum yang kedua setelah Al Qur’an. Hadis merupakan sebuah ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad Saw yang bersumber dari beliau.
          Hadis digolongkan menjadi beberapa macam, yaitu hadis fi’li, hadis qauli, hadis taqriri, hadis ahwali, dan hadis hammi. Hadis Fi’li merupakan hadis yang menyebutkan perbuatan nabi. Hadis Qauli adalah hadis yang memuat semua perkataan nabi, baik ucapannya memuat berbagai hukum syara’, ataupun peristiwa dan keadaan tertentu. Hadis Taqriri merupakan hadis yang menyebutkan ketetapan nabi terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Hadis ahwali yaitu hadis yang menyebutkan hal ihwal Nabi Muhammad Saw. Hadis hammi merupakan hadis yang berisi mengenai cita-cita atau keinginan nabi yang belum terlaksana.
           Dan Secara prinsip atau hal mendasar istilah Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar sendiri mempunyai hal yang sama yakni sesuatu yang didasarkan atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, atau sahabat Nabi, atau Tabi’in, baik yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat Nabi
          Kemudian sejarah hadis atau periodesasi hadis dibagi menjadi 4 tahap, yakni masa Rasulullah yaitu dengan menghafal dan menulis hadis. Pada masa sahabat, terutama masa khulafaur rasyidin  hadis diriwayatkan dan diterima namun dengan sangat hati-hati. Pada masa tabi’in, dan masa pengodifikasian hadis. Pada masa tabi’in, terdapat pusat-pusat pembinaan hadis, pergolakan politik, dan pemalsuan hadis. Pada masa kodifikasi, adanya gerakan menulis dikalangan tabi’in dan tabi’it tabi’in.











Daftar Pustaka


Ahmad, Muhammad. Mudzakir. 2004. Ulumul Hadis. Bandung : CV  Pustaka Setia.

Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadis dalam Wacana Studi Islam (Telaah Terminologi Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar), IAIN Jember : Jurnal Edu-Islamika, 2012, Vol.3 No.1

Idris. 2010. Studi Hadis. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Jumantoro, Totok. 1997. Kamus Ilmu Hadis. Jakarta : Bumi Aksara
.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadis. Bandung : Pustaka Setia.

Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung : CV Pustaka Setia.

Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadis. Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia.

Suryadilaga, al-Fatih. 2014. Pengantar Studo Qur’an dan Hadis. Yogyakarta : KAUKABA DIPANTARA.

Qohar, Adnan. 2006. Ilmu Ushul Hadis( Terjemah Kitab Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi-Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Zuhdi, Masjfuk. 1985. Pengantar Ilmu Hadis. Surabaya : PT Bina Ilmu.

Catatan:
1.      Similarity baik, hanya 12%.
2.      Penulisan footnote tolong lebih teliti lagi
3.      Berikan ringkasan perbedaan antara hadis, sunnah, atsar, dan khabar
4.      Buat pembahasan makalah ini lebih sistematis lagi.


[1] M. Alfatih Suryadilaga, Pengantar Studi Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta : KAUKABA DIPANTARA, 2014), hlm. 111.
[2] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm. 7.
[3] Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadis dalam Wacana Studi Islam (Telaah Terminologi Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar), IAIN Jember : Jurnal Edu-Islamika, 2012, Vol.3 No.1 hlm. 44.
[4] Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2004), hlm. 11.
[5] Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 2.
[6] Ibid, hlm. 3.
[7] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 15.
[8] Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 3.
[9]  Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 33.
[10] Idri,  Studi Hadis, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 8.
[11] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 34
[12] Idri, Studi Hadis, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 12
[13] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 34
[14] Idri, Studi Hadis, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 13-15
[15] Ibid,hlm.16
[16] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 35
[17] Idri, Studi Hadis, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.16
[18] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm.37
[19] Idri, Studi Hadis, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 18-19
[20] Ibid, hlm. 19
[21] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm.36
[22] M.Alfatih Suryadinaga, Pengantar Studi Qur’an Hadits ,( Yogyakarta : KAUKABA DIPANTARA, 2014), hlm. 112.
[23] Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung:Pustaka Setia,2004), hlm. 11
[24] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung  : Pustaka Setia, 2010), hlm. 60.
[25] Ibid, hlm. 62.
[26] Ibid, hlm. 72-73.
[27] Adnan Qohar, Ilmu Ushul Hadis( Terjemah Kitab Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi-Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 72.
[28] Ibid. hlm.72-73.
[29] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), hlm. 231.
[30] M.Alfatih Suryadilaga, Pengantar Studi Qur’an Hadist,( Yogyakarta :  KAUKABA DIPANTARA, 2014), hlm. 113.
[31] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung  : Pustaka Setia, 2010), hlm. 66.
[32] Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadis dalam Wacana Studi Islam (Telaah Terminologi Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar), IAIN Jember : Jurnal Edu-Islamika, 2012, Vol.3 No.1 hlm. 47.
[33] Adnan Qohar, Ilmu Ushul Hadis( Terjemah Kitab Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi-Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 4.
[34] M.Alfatih Suryadilaga, Pengantar Studi Qur’an Hadist, (Yogyakarta : KAUKABA DIPANTARA, 2014), hlm. 114.
[35] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis,( Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm. 66.
[36] Ibid, hlm. 115.
[37] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2005), hlm.32.
[38] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm. 67.
[39] Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadis dalam Wacana Studi Islam (Telaah Terminologi Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar), IAIN Jember : Jurnal Edu-Islamika, 2012, Vol.3 No.1 hlm. 51.
[40] Adnan Qohar, Ilmu Ushul Hadis( Terjemah Kitab Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi-Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 46.
[41] Ibid, hlm. 47.
[42] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), hlm. 32.
[43] Adnan Qohar, Ilmu Ushul Hadis( Terjemah Kitab Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi-Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 47.
[44] Dzikri Nirwana, Rekonsepsi Hadis dalam Wacana Studi Islam (Telaah Terminologi Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar), IAIN Jember : Jurnal Edu-Islamika, 2012, Vol.3 No.1 hlm. 53-54.
[45] Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia,2010), hlm. 49
[46] Ibid, hlm.50-57
[47] Ibid, hlm. 50-52
[48] Ibid, hlm. 52
[49] Ibid, hlm. 52-53
[50] Ibid, hlm. 53-54
[51] Ibid. hlm. 56
[52] Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 39
[53] Ibid, hlm. 55-57
[54] Ibid, hlm. 42
[55] Ibid. hlm. 43
[56] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), hlm. 101.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar