Selasa, 26 September 2017

Asbab al-Nuzul (PAI B Semester Ganjil 2016/2017)





Zuhrotun Nisa’, Ahmad Choirul Anwar, dan Fadhlan Haqqan Sileuw
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
PAI B 2016
e-mail: zuhrotunnisa1@gmail.com

ABSTRAK
The process of descending al-qur’an is an absolute requiment in explaining asbabun nuzul mikro. And the consequence of the word means there are verses that even most verses of the al-Qur’an do not have asbabun nuzul. Therefore many verses of the al-Qur’an can not be correctly understood. For it must be supported by asbabun nuzul macro, ie the historical background of Arab society when al-Qur’an is revealed.
Keywords : asbabun nuzul, ilmu al-quran, mikro dan mikro.

Proses turunnya Al-Quran merupakan syarat mutlak dalam menjelaskan asbab nuzul yang menurut ulama dalam tradisi kajian Ulumul Qur’an dinamakan dengan Asbabun Nuzul mikro. Dan konsekuensinya dari kata tersebut berarti ada ayat-ayat yang bahkan sebagian besar ayat Al-Qur’an tidak mempunyai asbab nuzul. Oleh karena itu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak dapat difahami maksudnya dengan benar. Untuk itu harus didukung oleh asbab nuzul makro, yaitu latar belakang historis masyarakat Arab ketika Al-qur’an diturunkan.
Kata Kunci :asbab an Nuzul, ilmu al-quran, mikro dan makro.

A. Pendahuluan
            Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang menempati posisi pertama. Dalam konteks ini, maka kapasitas al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum. Artinya bahwa semua hukum dalam Islam mereferensi dan berdalil pada al-Qur’an. Oleh karena posisinya yang sangat sentral, maka kajian terhadapnya tidak pernah menemukan titik penghabisan. Mengkajinya selalu menghadirkan kemenarikan, karena berkaitan dengan cabang-cabang ilmunya yang rumit. Sejumlah cabang ilmu al-Qur’an menjadi urgen untuk dikaji, mulai dari konsep dasar tentang tentang al-Qur’an, sejarah penyebaran dan kondifikasi yang agak rumit, ayat-ayat dengan karakteristik makkiyah dan madaniyyah yang menjadi salah satu dasar bagi interpretasi dan tafsir al-Qur’an, serta asbab al-nuzul dengan segala problematikanya, baik sebab-sebab yang bersifat mikro (al-asbab al-khashah) maupun sebab-sebab yang makro (al-asbab al-‘ammah).
            Posisi al-Qur’an sebagai sumber utama dalam islam, telah menjadi kesepakatan para ulama. Namun hal yang sama tidak terjadi dalam hadis, karena ada sejumlah umat islam yang tidak mengakui posisinya sebagai sumber hukum islam yang kedua, yakni kelompok munkir al-sunnah. Mengingat posisi hadis yang demikian strategis sebagai salah satu sumber pokok ajaran islam, maka kajian-kajian terhadapnya menjadi sangat urgen dilakukan. Kajian tersebut tidak saja menyangkut matannya, tetapi yang lebih penting dilakukan pertama adalah justru pada sanadnya.
            Kata al-Qur’an atau Quran tidak lain yang dimaksud adalah kitabulloh atau kalamulloh subhanahu wa ta’ala yang diturunkan kepada kepada Nabi Muhammad Saw. Secara makna dan lafadh, yang membacanya merupakan suatu ibadah, susunan kata dan isinya merupakan, termaktub di dalam mushaf dan dinukil secara mutawatir. Sebutan kalam Allah untuk al-Qur’an ini tidak diberikan oleh Nabi maupun sahabat, namun ini murni dari Allah. Dialah yang memberikan nama kitab ini al-Qur’an.
            Menjawab persoalan mengapa kitab suci ini diberi nama al-Qur’an, imam syafi’I menanggapi bahwa tidak perlu kita mengupas asal-usul pemberian nama tersebut, karena Allah memang memberi nama demikian. Al-Qur’an adalah nama bagi keseluruhan ayat yang terhimpun dalam mushaf. Karena itu para ulama Ushul Fiqih menegaskan bahwa al-Qur’an itu adalah nama bagi keseluruhan ayat dan juga nama bagi bagian-bagiannya. Ulama Ushul Fiqih tersebut menunjuk kepada pengertian al-Qur’an secara hakikat, yaitu dalam kedudukannya sebagai sumber pokok hukum islam. Sementara itu, ulama ahli kalam memberi nama al-Qur’an pada kalimat-kalimat yang ghaib dan azali dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas, yaitu lafadh-lafadh yang terbebas dari sifat kebendaan, baik yang dipikirkan manusia maupun yang dikhayalkan oleh manusia.
            Istilah yang digunakan dalam pembahasan tentang turunnya al-Qur’an adalah Nuzul al-Qur’an atau biasa ditulis dengan Nuzulul Qur’an. Di dalam hubungannya dengan pembahasan Nuzul al-Qur’an, kata syekh Abd Al-Wahab Abd Al-Majid Ghazlan, yang dimaksud dengan nuzul adalah turunnya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sesuatu itu tidak lain adalah al-Qur’an. Karena al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk dalam menghadapi berbagai masalah, maka ayat-ayat tersebut diturunkan dalam keadaan dan waktu yang berbeda-beda. Ayat-ayat dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan pada dua bagian jika dilihat dari segi sebab diturunkannya. Sekelompok ayat diturunkan tanpa dihubungkan dengan suatu sebab-sebab secara khusus. Kelompok yang terakhir ini tidak banyak jumlahnya, tetapi mempunyai pembahasan khusus di dalam ulum al-Qur’an.
            Asbab al-nuzul mempunyai arti penting dalam menafsirkan al-Qur’an. Seseorang tidak akan mencapai pengertian yang baik jika tidak memahami riwayat asbab al-nuzul suatu ayat. Al-Wahidi, seorang ulama klasik dalam bidang ini mengemukakan bahwa pengetahuan tentang tafsir dan ayat-ayat tidak mungkin jika tidak dilengkapi dengan pengetahuan tentang peristiwa dan penjelasan yang berkaitan dengan diturunkannya suatu ayat. Pemahaman asbab al-nuzul akan sangat membantu dalam memahami konteks turunnya ayat. Ini sangat penting untuk menerapkan ayat-ayat pada kasus dan kesempatan yang berbeda. Peluang terjadinya kekeliruan akan sangat besar jika riwayat asbab al-nuzul diabaikan. 
            Unsur-unsur yang penting diketahui perihal asbab al-nuzul ialah adanya satu atau beberapa kasus yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, dan ayat-ayat tersebut dimaksudkan untuk memberikan penjelasan terhadap kasus itu. Jadi ada beberapa unsur yang tidak boleh diabaikan dalam analisa asbab al-nuzul, yaitu adanya suatu kasus atau peristiwa, adanya pelaku peristiwa, adanya tempat peristiwa dan adanya waktu peristiwa. Kualitas peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu perlu diidentifikasikasi dengan cermat guna menerapkan ayat-ayat itu pada kasus lain dan di tempat dan waktu yang berbeda.   
B. Pengertian Asbabun Nuzul
Al-Quran berfungsi sebagai petunjuk dalam menghadapi berbagai situasi. Ayat-ayat tersebut diturunkan dalam keadaan dan waktu yang berbeda-beda. Kata asbab (tunggal: sabab) berarti alasan atau sebab. Asbab al-nuzul berarti pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya alquran.[1]
Secara etimologi, asbab an-nuzul ayat itu berarti sebab-sebab turun ayat. Dalam pengertian sederhana, turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, sehingga tanpa adanya peristiwa itu, ayat tersebut tidak turun. Jika memang seperti itu pengertiannya, tidaklah sesuai dengan hakikat Al-Quran itu sendiri, sebab ayat itu sudah ada dan lengkap di Lauh Mahfuzh diciptakan oleh Allah, dibawa oleh Malaikat Jibril, dan disampaikan kepada Nabi. Maksud Allah menurunkan ajaran itu dalam bentuk wahyu (ayat), tentu tidak diikat atau dihukum oleh alam yang berbentuk peristiwa itu, sehingga tanpa sebab peristiwa alam ini, suatu ayat Al-Quran itu tidak turun. Hal itu tidak sesuai dengan sifat Allah yang Mahakuasa. Allah tidak terikat dengan alam atau makhluk dalam menyampaikan rencana dan kehendak-Nya. [2]
Fakta sejarah menunjukkan, bahwa turunnya ayat-ayat Al-Quran itu ada dua bagian, yaitu:
1. Turunnya diawali oleh suatu sebab
            Dalam hal ini ayat-ayat tasyri’iyyah (ayat-ayat hukum) yang pada umumnya mempunyai sebab dalam turunnya ayat dan sebab turunnya ayat ini dengan berupa peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Islam dan ada juga berupa pertanyaan dari kalangan Islam dan dari kalangan lainnya yang ditunjukan kepada Nabi Muhammad SAW. Contohnya dalam Surah al-Baqarah ayat 221: “ janganlah kamu kawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu mengawinkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang yang musyrik walaupun menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat –Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran”.
2. Ayat-ayat yang turunnya tidak diawali oleh sebab
            Ayat-ayat semacam ini banyak terdapat di dalam Al-Qur’an dan jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat hukum yang mempunyai asbab al-Nuzul. Seperti ayat-ayat yang menceritakan tentang umat terdahulu beserta para Nabinya, menceritakan hal-hal yang gaib yang akan terjadi dan menggambarkan keadaan hari Kiamat beserta nikmat surga dan siksaan neraka. Ayat-ayat yang demikian itu diturunkan oleh Allah bukan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu pertanyaan dari suatu peristiwa yang terjadi pada waktu itu, melainkan semata-mata untuk memberi petunjuk kepada manusia agar menempuh jalan yang lurus. Dan Allah menjadikan ayat-ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan kontek Al-Qur’an dengan ayat-ayat sebelumnya dan ayat-ayat sesudahnya
Para ulama ahli Ulum Alquran, misalnya Syekh Abdu al-adhim al-Zarqani, dalam Manahil al-Irfannya mendefinisikan asbab nuzul atau sabab nuzul sebagai kasus atau sesuatu yang terjadi yang ada hubungannya dengan turunnya ayat, atau ayat-ayat Alquran sebagai penjelas hukum pada saat terjadinya kasus.
Kasus yang dimaksud dalam definisi diatas, tentu saja terjadi pada jaman Rasulullah Saw. Demikian juga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan setelah terjadinya kasus tertentu atau pertanyaan tertentu yang diajukan kepada Rasulullah Saw. Menjelaskan hukum kasus tersebut atau menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah Saw. Hakikatnya Rasulullah hanya pembawa risalah, beliau tidak memegang otoritas untuk menetapkan suatu hukum syariat. Hukum itu sendiri datang dari Allah Swt. Melalui wahyu yang dibawa oleh malaikat Jibril.[3]
Cara mengetahui Asbabun Nuzul
            Bentuk redaksi ang menerangkan asbabun nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab, terkadang pula berupa pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya.[4] Sudah jelas, bahwa “asbabun nuzul” tidak mungkin diketahui berdasarkan pendapat, melainkan dari sumber riwayat yang sahih dan mendengarkan dari orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat atau dengan cara membahasnya dari para sahabat, tabiin dan ulama-ulama terpercaya.
            Ibnu Sirrin berkata, “Aku bertanya kepda Abidah tentang suatu ayat”. Kemudian ia berkata, “Bertakwalah kepada Allah Swt. dan berkatalah dengan benar. Ketahuilah, bahwa orang-orang yang mengetahui sebab-sebab diturunkannya ayat Al-Quran sangat langka”.
            Dalam soal “asbabun nuzul” harus berpegang kepada riwayat yang sahih. Jadi, jika rawi mengatakan lafal sebab, maka itu merupakan nash yang sharih. Misalnya, rawi mengatakan, ‘sebab turunnya ayat ini adalah demikian, demikian...!’ atau rawi mengatakan, ‘Peristiwaya tentang demikian lantas turun ayat demikian..,’ semua itu merupakan nash yang sharih (jelas)dalam ‘asbabun nuzul’.
            Kadang ada nash dalam “asbabun nuzul” tidak berupa sighat. Seperti kata mereka: “Ayat itu diturunkan demikian...” Mungkin hal yang dimaksud adalah “asbabun nuzul”, mungkin pula hukum yang terkandung dalam ayat. Seperti kata seorang rawi “Yang dimaksud ayat ini adalah demikian..”
            Imam Zarkasi dalam kitabnya, Al-Burhan, mengatakan “Telah diketahui bahwa kebiasaan para sahabat atau tabiin jika salah seorang diantara mereka mengatakan, ‘Ayat ini diturunkan demikian..’, maka yang dimaksud adalah bahwa ayat ini memuat hukum demikian, bukan merupakan sebagai sebab turunnya.’ ” Ibnu Taimiyah berkata: “Ucapan mereka bahwa ‘Ayat ini diturunkan demikian...’, maka yang dimaksud mungkin ‘sababun nuzul’, mungkin juga bukan”.[5]

 

C. Faedah mengetahui Asbabun nuzul
Ilmu Asbabun Nuzul itu besar sekali manfaatnya bagi setiap orang yang hendak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, karena ilmu ini dapat membantu seseorang agar dapat memahami ayat al-Qur’an secara tepat dan sekaligus dapat menghindari dia dari salah pengertian.[6]Di antara al-Qur’an ada ayat yang turun karena suatu sebab dan ada yang turun dari permulaan (langsung menjelaskan) akidah-akidah keimanan dan kewajiban-kewajiban Islam dan hukum-hukum syari’at yang lain.[7] Berikut faedah mengetahui  sebab-sebab turunnya ayat , diantaranya ialah:
Pertama, menerangkan hikmah yang dikaitkan kepada tasyri hukum dari hukum-hukum. Memikirkan pemeliharaan syari bagi kemaslahatan umum dalam menanggulangi peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Kedua, mentakhsiskan hukum, sekalipun dengan sighat umum. Ada orang yang memperhatikan bahwa pengajaran yang diambil itu dengan mengkhususkan sebab, bukan dengan umurnya lafadz. Ini masih merupakan masalah khilafiyah. Nanti akan dijelaskan lebih lanjut. Orang mencontohkan ini dengan firman Tuhan yang berbunyi.


لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآ أَتَوا۟ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا۟ بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا۟ فَلَا تَحْسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Janganlah sekali-sekali kamu menyangka orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa dan bagi mereka siksaan yang pedih. (Q.S Al-Imran 188)[8]
Menurut suatu riwayat, Marwan pernah berkata kepada penjaga pintunya. Ya Rafi', pergilah kepada Ibnu Abbas, tanyakan kepadanya, -jika sekiranya tiap-tiap orang dari kami ini gembira dengan apa yang di datangkan dan suka dengan apa yang tidak diperbuat, maka sudah barang tentu kami ini diazab semuanya ? Kata Ibnu Abbbas, -bukannya kamu yang dimaksud oleh ayat ini ayat ini ditunjukan kepada ahli kitab. Sudah itu dia membacakan ayat yang berbunyi.
وَإِذْ أَخَذَ اللَّـهُ مِيثٰقَ الَّذِينَ أُوتُوا۟ الْكِتٰبَ
Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab. (Q.S Al-Imran 187).
Ayat ini kata Ibnu Abbas RA. Rasul pernah menanyakan kepada orang tentang sesuatu. Orang yang ditanya ini diam saja. Setelah orang-orang yang berada disini itu keluar, mereka memberi tahukan tentang apa yang di tanyakan Rasul itu. Dengan demikian maka mereka itu mengucapkan alhamdulillah tanda gembira, karena tadinya mereka itu hanya berdiam diri saja tentang apa yang ditanyakan Rasul itu.
Ketiga, apabila ada lafadz yang diturunkan itu berbentuk a'm (umum) dan ada dalil yang mentakhsiskannya, maka dalam hal ini orang cukup mentakhsiskan, terhadap apa yang selain dari yang digambarkan itu, dan tidak sah mengeluarkannya, karena memasukkan sebab pada lafadz a'm itu  adalah qathi', (pasti). Tidak boleh mengeluarkannya dengan ijtihad, karena ijtihad ini dzanniy. Ini pendapat jumhur (sejumlah ulama-ulama yang masyhur). Untuk ini orang mencontohkan firman tuhan yan berbunyi.
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوا۟ فِى الدُّنْيَا وَالْءَاخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَّـهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّـهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik berzina yang lenggang lagi beriman (berzina) mereka kena la'nat dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya. Dan tahulah mereka bahwa Allah lah yang benar, lagi maha menjelaskan  (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya). (Q.S An-Nur 23-25).[9]

Ayat ini turun khusus pada Aisyah. Atau pada salah seorang istri Nabi SAW. Menurut  Abbas RA ayat ini berbunyi, -orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik diturunkan khusus pada Aisyah. Dari hal ayat ini juga Ibnu Abbas mengatakan, -ayat ini pada Aisyah dan Istri-istri Nabi lainnya. Allah tidak akan menerima taubat orang-orang yang memperbuat demikian itu. Sedangkan orang-orang yang menuduh selain istri Nabi berzina, maka dalam hal ini Allah masih menerima taubat mereka itu. Sudah itu dia membacakan ayat yang berbunyi, -orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik berzina.....sampai pada.....kecuali orang-orang yang bertaubat (Q.S An-Nur 4-5)

Dalam hal ini Allah masih menerima taubat orang-orang yang mengkazaf sekalipun kalimat ini mengkhususkan yang umum, yaitu firman Allah yang berbunyi, -bahwa orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik yang lengah dari beriman. Tidak akan diperoleh dengan mentakhsiskan orang-orang yang mengkazaf Aisyah. Atau mengkazaf seluruh Istri-istri Nabi SAW. Disini Allah tidak akan menerima taubat. Masuk gambaran sebab pada lafadz a'm qathi.

Keempat, mengetahui sebab turun itu merupakan jalan yang terbalik untuk memahami arti-arti Al-Quran. Menyingkapkan hal-hal yang masih diragukan, yang mencakup beberapa ayat dalam menafsirkan tentang apa yang tidak diketahui sebab turunnya. Kata Al-Wahidiy, - tidak mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa wukuf (memperhatikan) kisahnya dan menerangkan sebab-sebab turunnya. Kata Ibnu Daqidil Aidi, -menerangkan sebab turunnya itu merupakan jalan yang kuat untuk memahami arti Al-Quran. Kata Ibnu Taimiah. Mengetahui sebab turunnya itu memantapkan pemahaman untuk memahami ayat, karena ilmu dengan sebab itu mewarisi ilmu Musabab. Diantara contoh yang dikemukakannya oleh Marwan bin Hakam dalam memahami ayat yang tersembunyi diatas.
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَآ أَتَوا۟ وَّيُحِبُّونَ أَن يُحْمَدُوا۟ بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا۟ فَلَا تَحْسَبَنَّهُم بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ[10]
Janganlah sekali-sekali kamu menyangka orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan. Janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa dan bagi mereka siksaan yang pedih. (Q.S Al-Imran 188)[11]
Inilah pendapat Ibnu Abbas tentang sebab turunnya itu. Contoh lain adalah ayat yang berbunyi:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللَّـهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّـهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Sesungguhnya Saffa dan Marwa itu adalah sebagian dari syiar Allah. Barangsiapa yang beribadat haji ke baitullah atau berumrah maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan sesuatu kebaikan demgan kerelaan hati , maka sesungguhnya Allah mengsyukuri kebaikan lagi mengetahui. (Q.S Al-Baqarah 158).

Pada zahirnya lafaz ayat ini  sai itu tidak perlu diwajibkan. Karena membuang dosa itu dipakai yang mubah, bukan yang wajib. Sebagian orang hanya berpedoman kepada zahirnya ayat tersebut. Aisyah pernah mengatakan kepada Urwah bin Zubir dalam memahami yang demikian itu, mengenai sebab turunnya ayat itu. Sahabat menganggap berdosa mengerjakan sai diantara dua bukit itu (saffa dan marwa) karena ini adalah perbuatan jahiliah, sebab diatas saffa itu terdapat isaf, dan diatas marwa terdapat nailaha keduanya itu adalah berhala. Orang jahiliyah mengerjakan sai dengan menyentuh kedua berhala tersebut.
Kata Aisyah, bahwa urwah mengatakan kepadanya, -bagaimana pendapat engkau tentang firman tuhan yang berbunyi, -bahwa Saffa dan Marwah itu adalah sebagian dari syiar Allah. Barang siapa yang mengerjakan haji di baitullah, atau bermurah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai, antara keduanya itu. Apakah seseorang itu akan berdosa jika tidak mengerjakan sai antara keduanya itu. Kata Aisyah menjawab, yang seburuk-buruk kata ialah apa yang engkau katakan itu hai anak saudara perempuanku. Karena tanyaku, -kalau sekiranya sudah sejak semulanya, maka sudah barang tentu dia tidak berdosa bila dia tidak mengerjakan sai antara keduanya itu (Saffa dan Marwah). Tapi Ayat yang mengatakan itu sudah turun. Sebelumnya orang Anshar juga mengucapkan salam dan bertahlil kepada berhala Munah yang mereka sembah.[12] Orang-orang pintar juga tidak mau bersai, antara Saffa dan Marwah di zaman jahiliah. Kata aisyah, maka turunlah ayat yang berbunyi.
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللَّـهِ ۖ
Bahwa Saffa dan Marwah itu sebagai dari syiar syiar Allah.
Sesudah itu Rasulullah SAW menerangkan tentang mengerjakan tawaf antarakeduanya itu. Tidak seorang pun yang tidak mengerjakan tawaf tersebut.

Kelima, menjelaskan sebab turun. Dalam hal ini tidak dipikulkan kepada lainnya dengan membuang permusuhan dan penganiayaan. Seperti yang tersebut dalam firman Tuhan yang berbunyi :

وَالَّذِى قَالَ لِوٰلِدَيْهِ أُفٍّ لَّكُمَآ أَتَعِدَانِنِىٓ أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِن قَبْلِى وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّـهَ وَيْلَكَ ءَامِنْ إِنَّ وَعْدَ اللَّـهِ حَقٌّ فَيَقُولُ مَا هٰذَآ إِلَّآ أَسٰطِيرُ الْأَوَّلِينَ
Dua orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya Cis, bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingati kepadaku bahwa aku akan bangkitkan padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelum aku. Lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah, seraya mengatakan, -celaka kamu, berimanlah, sesungguhnya janji Allah itu adalah benar. Lalu dia berkata, -ini tidak lain hanyalah dongeng-dongeng orang-orang dahulu kala (Q.S Al-Ahqaf 17)
Ketika muawiyah bermsksud mengangkat anaknya Walid Yazid menjadi khalifah naka dia menulis sepucuk surat kepada Marwan, Gubernurnya di Madinah tentang maksudnya itu. Oleh Marwan maka dikumpulkannya orang, lalu dia berpidato dihadapan orang banyak, mengajak mereka itu untuk membaiahkan Yazid. Dalam haal ini Abdurrahman bin Abubakar merasa benarkeberatan untuk membaiahkannya itu. Maksud Marwan itu buruk, sekalipun dia tidak sampai memasuki memasuki rumah Aisyah. Kata Marwan, disinilah ayat yang diturunkan Allah, yaitu ayat yang berbunyi.
وَالَّذِى قَالَ لِوٰلِدَيْهِ أُفٍّ لَّكُمَآ أَتَعِدَانِنِىٓ أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِن قَبْلِى[13]
Dan orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya, cis, bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingati kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelum aku (Q.S Al-Ahqaf 17)
Aisyah menolak dan dia mengatakan kepada Marwan, sebab turunnya ayat tersebut. Dari Yusug bin Mahid katanya, -ketika Marwan berada di Hijaz, Muawiyah bin Abi Sufyan mengatakan menjadi gubernur. Muawiyah memerintah untuk menyampaikan kepada orang banyak, supaya Yazid bin Muawiyah dibaiahkan, yaitu yang akan menggantikan ayahnya. Ketika itu Abdurrahman bin Abubakar berkata, -ambil dia Marwan itu dan masukan ke dalam rumah Aisyah. Tapi orang banyak tidak membolehkan. Kata Marwan, -ini ayat yang diturunkan, bunyinya, -dan orang-orang yang berkata, -cis kepada ibu bapaknya. Kata Aisyah, tidak satupun Al-Quran yang diturunkan Allah kepada kami, kecuali yang diturunkan itu mengenai cacat dan dosaku.
Pada riwayat lain dikatakan, -ketika Marwan meminta orang supaya membaiahkan Yazid, katanya, -sunah Abubakar dan Umar. Kata Abdurrahman, -sunah Hyraclius dan Kaisar. Kata Marwan, -inilah firman Allah yang berbunyi, -dan orang-orang yang berkata, -cis kepada kedua, ibu bapaknya. Hal ini disampaikan kepada Aisyah. Kata Aisyah. Bohong Marwan. Demi Allah bukan begitu, dan kalau aku mau maka namaku diturunkan kepadanya itu supaya menanamkannya.[14]
D. Asbabul Nuzul mikro dan makro
            Pengertian harfiah diatas dapat menimbulkan paham bahwa Al-Quran itu turun jika ada sebabnya, maka kalau tidak ada sebabnya maka Al-Quran tidak turun. Kesan pertama itu diangkat oleh ulama ulumul Quran dengan memberi definisi secara terminologi sebagai berikut “asbab an-zil adalah suatu peristiwa yang melatar belakangi pada waktu proses turunnya Al-Quran, lalu turun satu atau beberapa ayat yang menjelaskan hukum pada peristiwa tersebut atau berupa pertanyaan yang disampaikan kepada nabi, lalu turun Al-Quran yang menjelaskan tentang jawaban dari pertanyaan tersebut (Arrumi, 1999: 181).
            Kata pada waktu proses turunnya Al-Quran (ayyama wuku’ihi) menjadi syarat mutlak dalam menjelaskan asbab an nuzul. Konsekuensi dari kata tersebut berarti ada ayat-ayat yang mempunyai asbab an-nuzul dan ada pula ayat-ayat yang tidak memiliki asbab an nuzulnya. Berita atau peristiwa masa lalu bisa dijadikan asbab an nuzul para ulama mengkritik pendapat Al Wahidi yang menyatakan bahwa sebab turunnya surat Al Fil adalah karena kisah penyerangan Abraha dengan pasukan gajahnya terhadap Ka’ba. Padahal peristiwa pasukan gajah terjadi jauh sebelum proses penurunan Al-Quran (Itir, 1996: 46).
            Yang perlu ditegaskan bahwa tidak semua ayat Al-Quran memiliki An Nuzul akan tetapi sebagian besarnya justru diturunkan tanpa asbab nuzulnya. Di antaranya ayat-ayat tentang kisah para nabi terdahulu, cerita umat atau peristiwa umat yang terdahulu, berita tentang hal-hal ghaib tentang peristiwa yang akan datang, tentang hari kiamat, surga dan neraka, cerita tentang anak Adam, Habil dan Qabil anak Adam dan lain sebagainya.
            Dengan demikian asbab an nuzul harus tergambar dalam ayat Al Quran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada zaman nabi, tetapi tidak disinggung dalam Al-Quran tidak bis disebut asbab an nuzul dalam Al-Quran.
            Konsekuensi dari keterangan di atas, berarti banyak ayat-ayat Al Quran yang tidak bisa dipahami maksudnya karena tidak ada asbab an-nuzulnya, yang bisa membantu untuk memahaminya. Fadzlurahman menyatakan menyatakan bahwa pengertian di atas hanyalah merupakan asbab an-nuzul mikro, yang menurutnya harus dibantu dengan asbab an-nuzul makro yakni latar belakang historis masyarakat arab ketika Al Quran diturunkan (Fadlurrahman, 1984: 384).
Asbab An-nuzul makro ini sudah diperkenalkan oleh As-Syatibi (w.1388 M). Ia menyatakan: “maksud mengetahui asbab an-nuzul adalah mengetahui situasi dan kondisi yang meliputi orang-orang yang mengajak bicara, orang-orang yang diajak bicara , dan pembicaranya sendiri”.
            Syah Waliyullah Ad-Dahlawi melontarkan ide asbabun nuzul makro secara lebih tegas dan jelas. Ia menyinggung bahwa usaha yang dilakukan oleh umat untuk mengumpulkan riwayat-riwayat asba an-nuzul yang merupakan peristiwa perorangan hanya merupakan usaha yang mengada-ada. Lalu ia mengatakan bahwa pembicaraan ayat-ayat al-Quran tidak bisa lepas dari lima pengetahuan yaitu:
1.      Pengetahuan mengenai hukum-hukum muamalah dan lain-lain.
2.      Pengetahuan tentang bantahan terhadap Yahudi, Nasrani serta Musyrik
3.      Pengetahuan tentang nikmat Allah
4.      Pengetahuan mengenai peringatan tentang nikmat Allah
5.      Pengetahuan mengenai peringatan kematian dan masa sesudahnya.
Menurutnya, tujuan pokok diturunkannya Al Quran adalah untuk mendidik jiwa manusia, serta memberantas kepercayaan yang keliru dan perbuatan-perbuatan yang jahat. Kemudian ia menyatakan bahwa ada kepercayaan-kepercayaan yang keliru di kalangan mukallaf yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat muhkamat. Menyebar luasnya kejahatan-kejahatan dan kezaliman yang merupakan sebab turunnya ayat-ayat hukum. Ketiadaan mereka mengingat nikmat-nikmat Allah, hari pembalasan, dan kehidupan sesudah kematian merupakan sebab diturunkannya ayat-ayat tadzkir (Addhlawi, tt: 64). [15]
E. kesimpulan
Asbabun Nuzul ialah suatu pengetahuan yang memuat dan membicarakan peristiwa yang berkaitan langsung dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang dapat digunakan sebagai suatu keterangan tentang ayat yang diturunkan itu. Bentuk redaksi yang menerangkan asbabun nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab, terkadang pula berupa pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya. Sudah jelas, bahwa “asbabun nuzul” tidak mungkin diketahui berdasarkan pendapat, melainkan dari sumber riwayat yang sahih dan mendengarkan dari orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat atau dengan cara membahasnya dari para sahabat, tabiin dan ulama-ulama terpercaya.
Banyak sekali manfaat yang bisa didapat dalam mengetahui asbabun nuzul Pertama, menerangkan hikmah yang dikaitkan kepada tasyri hukum dari hukum-hukum. Memikirkan pemeliharaan syari bagi kemaslahatan umum dalam menanggulangi peristiwa-peristiwa yang terjadi. Kedua, mentakhsiskan hukum, sekalipun dengan sighat umum. Ada orang yang memperhatikan bahwa pengajaran yang diambil itu dengan mengkhususkan sebab, bukan dengan umurnya lafadz. Ketiga, apabila ada lafadz yang diturunkan itu berbentuk a'm (umum) dan ada dalil yang mentakhsiskannya, maka dalam hal ini orang cukup mentakhsiskan, terhadap apa yang selain dari yang digambarkan itu, dan tidak sah mengeluarkannya, karena memasukkan sebab pada lafadz a'm itu  adalah qathi', (pasti). Keempat, mengetahui sebab turun itu merupakan jalan yang terbalik untuk memahami arti-arti Al-Quran. Menyingkapkan hal-hal yang masih diragukan, yang mencakup beberapa ayat dalam menafsirkan tentang apa yang tidak diketahui sebab turunnya.Kelima, menjelaskan sebab turun. Dalam hal ini tidak dipikulkan kepada lainnya dengan membuang permusuhan dan penganiayaan.
Ada dua sebab turunnya al-qur’an yaitu asbabun nuzul mikro dan makro. Asbabun nuzul mikro yaitu sebab turun al-quran karena hal khusus (terjadinya suatu kejadian tertentu), sedangkan asbabul nuzul makro yaitu sebab turun al-quran karena hal yang bersifat umum, contohnya tentang keadaan surga.

DAFTAR PUSTAKA
Rachmat, Syafe’i. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Pustaka Setia: Bandung
Umi Sumbulah dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis. UIN-Maliki Press: Malang
Muhammad Ali Ash-Shabuni. 2001. Ikhtisari Ulumul Qur’an Praktis. Pustaka Amani:Jakarta
T.H. Thalhas. 2008. Fokus Isi & Makna Al-Qur’an. Galura Pase: Jakarta
Mana’ul Quthan. 1993. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an. Terjemah, Halimuddin. Rineka Cipta:         Jakarta
Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i. 1994. Shohih Asbabun Nuzul. Terjemah, Agung            Wahyu. Meccah: Jawa Barat
M. Quraish Shihab dkk. 1999. Sejarah Ulum Al-Qur’an. Pustaka Firdaus: Jakarta
Syarafuddin, “Ilmu Asbab An Nuzul Dalam Studi Ilmu Al-Quran” Jurnal Suhuf, Vol.28,    No.1, Mei 2016.
Masjfuk Zuhdi. 1997. Pengantar Ulumul Qur’an. Karya Abditama: Surabaya
Manna Khalil al-Qattan. 2015. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Terjemah, Mudzakir. Litera AntarNusa: Bogor

Catatan:
1.      Makalah ini kurang referensial.
2.      Ketika membuat makalah, jangan hanya copy-paste data. Tidak mungkin ada dua note dalam satu tulisan (footnote dan innote).


[1]M. Quraish Shihab dkk, Sejarah dan Ulum al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus),77.
[2]Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia),24.
[3]Umi Sumbullah dkk, Studi Al-qur’an dan Hadis (UIN Maliki Press, 2014),164.
[4]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,2015),119.
[5]Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis (Pusaka Amani,2001),31.
[6]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an (Karya Abditama,1997)41.
[7]Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, Shohih Asbabun Nuzul, terj. Agung Wahyu, (Jawa Barat: Meccah,1994),18.
[8]Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, terj. Halimuddin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993),87.
[9]Ibid. 88
[10]Ibid. 89

[12]Ibid. 90
[13]Ibid. 91
[14]Ibid. 92
[15]Syarafuddin, “Ilmu Asbab An Nuzul Dalam Studi Ilmu Al-Quran”, Jurnal Suhuf, Vol.28, No.1, Mei 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar