Sabtu, 02 September 2017

al-Qur'an dan Historisitasnya (PAI D Ganjil 2017/2018)




Ani Rochmatul Ula dan Melisa Nadhiffatul Annisa’
PAI D Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: Anirochmatulula@gmail.com



Abstrac
This article talk about The Qur’an and the history of it. In the article there are a number of opinions of experts on the definition of the Qur’an does really God’s revelation and about codification there is some period of preparation of the Qur’an. The Quran is Allah as proof Apostolic Prophet Muhammad who has privileges, with pronunciationthe Arabic pronunciation and meaning, became law for man, gave instructions to them, and provide a approach to God. Become a miracle upon the Prophet Muhammad means exposing the functionality of prophecy and Apostolic and holy books he brought. The codification not arbitrarily, starting from the time of the Prophet until a long time after that, the qur'an has always addressed and maintained authentic.

Abstrak
Artikel ini berbicara mengenai Al-Qur’an dan historisitasnya.  Didalamnya terdapat beberapa pendapat para ahli tentang definisi al-Qur’an, beberapa mu’jizat atau wahyu sebagai bukti bahwa al-Qur’an memang benar-benar wahyu Allah dan tentang pengkodifikasian pada beberapa masa penyusunan al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kalam Allah sebagai bukti kerasulan Nabi Muhammad yang mempunyai keistimewaan, dengan lafal-lafal yang berbahasa Arab dan maknanya yang benar, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah. Menjadi mu’jizat atas Nabi Muhammad berarti memperlihatkan kerasulan dan fungsi keNabianya serta kitab suci yang dibawanya. pengkodifikasianya pun tidak sembarangan, dimulai dari masa Nabi hingga masa yang lama setelahnya, Al-Qur’an selalu dibenahi dan dijaga keotentikannya.

Keyword: al-Qur’an, proof, codification


A.    Pendahuluan
Di akhir abad ke-20, gairah umat Islam di Indonesia khususnya, dan umat Islam di dunia umumnya, dalam melakukan studi keislaman menunjukkan keadaan yang cukup menggembirakan. Kesadaran ini muncul mungkin bertolak dari suatu keyakinan bahwa dengan memiliki pemahaman tentang Islam yang kualitatif dan komprehensif, seseorang akan memiliki sikap moral yang tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan dan problema kehidupan yang semakin kompleks.
Al-Qur’an turun tidak dalam suatu ruang dan waktu yang hampa nilai, melainkan di masyarakat yang sarat dengan berbagai nilai budaya dan religius. Sistem-sistem sosial kemasyarakatan dan lembaga-lembaga pemerintahan sudah dikenal dikawasan sana (Arab). Kehadiran Islam bukan berarti tidak menemui kesulitan, bahkan itulah tantangannya.
[1]Berkaitan dengan hal ini, penulis, dalam makalah ini, akan menjelaskan tentang al-Qur’an sebagai wahyu beserta penjelasan mengenai proses turunnya wahyu dan kodifikasinya dalam rentetan sejarah yang ada. Di samping itu, penulis juga akan memaparkan secara global mengenai fase kesejarahan tentang perbaikan al-Mushhaf (tahsin al-Mushhaf) yang dimulai setelah masa Utsman hingga pada masa sekarang ini, guna mendapatkan gambaran yang komprehensif.

B.     Definisi al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Didalamnya termuat ajaran dan petunjuk tentang akidah, hukum, ibadah, dan akhlak[2]. Dari segi bahasa, terdapat berbagai pendapat para ahli mengenai pengertian al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan lafal al-Qur’an dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an القرآن). Pendapat lain mengatakan penulisannya tanpa dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an القرأن )[3].
Beberapa pendapat ulama dari berbagai bidang keahlian tentang definisi al-Qur’an, diantaranya:
1.      Al-Syafi’i, salah seorang imam mazhab yang terkenal (150-204 H.) berpendapat, bahwa kata al-Qur’an itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (al-Qur’an, bukan al-Qur’an) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus digunakan untuk Kitab Suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana nama Injil dan Taurat yang digunakan khusus untuk kitab-kitab Allah yang diberikan masing-masing kepada Nabi Isa dan Nabi Musa.

2.      Al-Farra’ seorang ahli bahasa yang terkenal, pengarang kitab Ma’anil Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata qarain jamak qarinah, yang artinya indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan seolah-olah sebagian ayat-ayatnya itu merupakan indikator dari yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.

3.      Al-Asy’ari seorang ahli Ilmu Kalam, pemuka aliran Sunni (wafat 324 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata قرن , yang artinya menggabungkan. Hal ini disebabkan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an itu dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.

4.      Al-Zajjaj, pengarang kitab Ma’anil Qur’an (wafat 311 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an itu berhamzah, berwazan Fu’lan, dan diambil dari kata القرء , yang artinya penghimpunan. Hal ini disebabkan al-Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci sebelumnya (perhatikan S. Al-Bayyinah: 2-3).

5.      Al-Lihyani, seorang ahli bahasa (wafat 215 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an itu berhamzah, bentuknya masdar dan diambil dari kata قراء , yang artinya membaca. Hanya saja lafal al-Qur’an ini menurut al-Lihyani adalah masdar bi ma’na ismil maf’ul. Jadi Qur’an artinya maqru’ (dibaca) [4].

Pendapat terakhir ini adalah pendapat yang lazim dipegang oleh masyarakat pada umumnya. Sejalan dengan pendapat tersebut Hasby Ash-Shiddieqy mengatakan, al-Qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah masdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu maqru’, yang dibaca[5]. Menurut Subhi al Salih pengarang kitab Mabahits fi Ulumil Qur’an, pendapat ini lebih kuat dan lebih tepat, karena dalam bahasa Arab lafal al-Qur’an adalah bentuk masdar yang maknanya sinonim dengan qira’ah, yakni bacaan. Sebagaimana tersebut dalam QS al-Qiyamah ayat 17-18:

انّ علينا جمعه وقرانه, فاذ قرأناه فاتبع قرانه

“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya dan membacanya (di-dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”
[6]Lafal qara-a yang bermakna tala (membaca) diambil orang Arab dari bahasa Aramia dan digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Kata qara-a tersebut dapat pula berarti menghimpun dan mengumpulkan. Qira’ah berarti mengumpulkan huruf-huruf dan kalimat-kalimat dalam bacaan.
Dengan mengikuti beberapa pendapat diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa secara lughawy (bahasa) al-Qur’an berarti saling berkaitan, berhubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain, dan berarti pula bacaan. semua pengertian ini memperlihatkan kedudukan al-Qur’an sebagai kitabullah yang ayat-ayat dan surat-suratnya saling berhubungan, dan ia merupakan bacaan bagi kaum muslimin.
Sedangkan dari segi istilah, sebagaimana yang dipaparkan oleh Manna’ al Qaththan, al-Qur’an adalah “kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang membacanya bernilai ibadah”. Definisi yang diberikan oleh al-Qaththan ini sangat ringkas dan padat sehingga mampu mengeluarkan aspek-aspek yang bukan termasuk dalam jati diri al-Qur’an. Definisi lain mengenai al-Qur’an dikemukakan oleh al-Zarqani sebagai berikut:

القرآن هو اللّفظ المنزّل على محمّد ص م من اوّل الفاتحة الى اخر النّاس

“Al-Qur’an itu adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dari permulaan surat al-Fatihah sampai akhir surat al-Naas”
            Dalam definisi al-Qur’an diatas disebutkan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah atau firman Allah (bukan ucapan Rasulullah, malaikat, dsb) sebagai bukti atau petunjuk kerasulan Nabi Muhammad yang mempunyai keistimewaan dan menjadi bernilai ibadah bagi yang membaca.



C.    Bukti-bukti al-Qur’an sebagai Wahyu Allah
Berangkat dari definisi al-Qur’an menurut Abdul Wahab Khallaf, yaitu “al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah melalui Ruhul Amin (Jibril as) dengan lafal-lafalnya yang berbahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Al-Qur’an itu terhimpun dalam mushaf, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi secara tulisan maupun lisan. Ia terpelihara dari perubahan atau pergantian.”  [7]Al-Qur’an mempunyai setidaknya dua fungsi utama, yaitu sebagai sumber ajaran, dan bukti kebenaran kerasulan Muhammad Saw.
Diantara bukti kebenaran al-Qur’an adalah mu’jizat al-Qur’an itu sendiri. [8]Kata mu’jizat sudah menjadi bagian dari khazanah bahasa Indonesia. Sedang dalam bahasa Arab sendiri, digunakan istilah i‘jaz al-Qur’an atau mu’jizat al-Qur’an. Dilihat dari sudut kebahasaan, kata mu’jizat merupakan salah satu bentuk ubahan dari lafad i’jaz yang bermakna melemahkan. Dan i’jaz al-Qur’an bermakna pengokohan al-Qur’an sebagai sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan untuk penciptaan karya sejenis. Dengan demikian, al-Qur’an sebagai mu’jizat bermakna bahwa al-Qur’an merupakan sesuatu yang mampu melemahkan tantangan menciptakan karya yang serupa dengannya. Dalam kaitan dengan fungsi kerasulan serta keNabian Muhammad terhadap umatnya, kemu’jizatan al-Qur’an tersebut berarti memperlihatkan kebenaran kerasulan dan fungsi keNabiannya serta kitab suci yang dibawanya. Selain itu, juga untuk memperlihatkan kekeliruan bangsa Arab yang menentangnya, karena tantangan-tantangan yang dilontarkan Allah dalam al-Qur’an tidak dapat mereka layani.  Sehingga ketidakmampuan manusia membuat sesuatu yang sama dengan al-Qur’an menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah benar-benar wahyu Allah SWT.
Menurut para ahli bahasa Arab, al-Qur’an sebagai mu’jizat bagi kerasulan Muhammad terdapat beberapa aspek yang menunjukkan kemu’jizatan al-Qur’an, yaitu bahasa (al-Lughah) yang indah , ringkas, dan padat (balaghah), petunjuk tentang ilmu pengetahuan (al-Isyarat al-Ilmiyat), dan berita-berita mengenai yang gaib (akhbar al-ghaib)[9]. Semua ini, selain dapat melemahkan para penentang kerasulannya, juga memperlihatkan kebenaran kerasulannya. Tetapi tetap saja masih banyak yang melontarkan pelecehan-pelecehan terhadapnya dengan menyebutnya sebagai syi’ir karya Muhammad, sihir, dan mitos belaka.
Untuk menjawab penolakan orang Quraisy terhadap al-Qur’an sebagai wahyu Allah, al-Qur’an menantang mereka melalui tahapan, diantaranya:
1.      Mendatangkan semisal al-Qur’an. Firman Allah SWT
Al-Qur’an menantang mereka untuk menyusun karya setingkat al-Qur’an, baik dari segi isi maupun kebahasaannya. Tantangan ini diungkapkan Allah secara eksplisit yaitu:

قل لّئن اجتمعت الانس والجنّ على ان يّأتوابمثل هذا القرآن لايأتون بمثله ولو كان بعضهم لبعض ظهيرا

 “Katakanlah, sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”. (Q.S. al-Isra, 17:88).

2.      Mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam al-Qur’an. Firman Allah SWT.
Karena tantangan pertama tidak daapat terjawab, kemudian Allah menurunkan tantangan kedua pada mereka untuk menyusun 10 surah saja seperti al-Qur’an. Keterangan ini diungkapkan Allah pada:

ام يقولون افترىه قل فأتوا بعشر سور مّثله مفتريت وّادعوا من استطعتم من دون الله ان كنتم صدقين

Bahkan mereka mengatakan “Muhammad telah membuat-buat al-Qur’an itu”. Katakanlah, “(kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat untuk menyamainya, dan panggilah orang-orang yang kamu anggap sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. (Q.S. Huud, 11:13)

3.      Mendatangkan satu surat. Firman Allah SWT:
Selanjutnya Allah menantang mereka untuk menyusun satu surah saja setelah berulang-ulang mereka menuduh bahwa Muhammad mengada-ada. Allah memperkecil besarnya tantangan; hal ini semakin memperlihatkan kemu’jizatan al-Qur’an, karena dalam volume kecil pun mereka tidak mampu melakukannya. Tantangan ini dituangkan dalam,

ام يقولون افترىه قل فأتوا بسورة مّثله وادعوا من استطعتم مّن دون الله ان كنتم صدقين

Atau (patutkah) mereka mengatakan, “Muhammad membuat-buatnya”. Katakanlah, “(kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggilan siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (Q.S. Yunus, 10:38)[10].

4.      Mendatangkan beberapa ayat
[11]Terakhir, tantangan al-Qur’an terhadap orang-orang kafir untuk menyusun beberapa ayat yang bisa menyerupai ayat-ayat al-Qur’an, baik dari segi isi, ilustrasi, keindahan bahasa, maupun kemampuannya mengungkapkan berbagai peristiwa. Tantangan ini dikemukakan al-Qur’an dalam,

وان كنتم فى ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله , وادعوا شهداءكم من دون الله ان كنتم صادقين

“Dan jika kamu tetap dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah sebagian surah saja yang sama seperti al-Qur’an. Dan ajaklah para penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (Q.S al-Baqarah 2:23)

Peristiwa [12]Abdullah bin al-Muqaffa, seorang sastrawan asal Persia merupakan salah satu contoh ketidakmampuan manusia menjawab tantangan serta menandingi al-Qur’an. Ia mengakui kegagalannya, sebab lebih dari setengah tahun ia berusaha keras menulis semisal al-Qur’an, namun tidak satu ayat pun dihasilkannya.
Tantangan-tantangan tersebut sangat memukul dan melemahkan mereka, karena terbukti sepanjang sejarah perlawanan bangsa Arab terhadap kerasulan dan keNabian Muhammad, tidak tercipta karya mereka yang mampu menandingi al-Qur’an. Padahal diantara mereka adalah ahli-ahli syair, ahli sihir, dan ahli dongeng.
[13]Ketidakmampuan masyarakat Arab memenuhi tantangan balik al-Qur’an semakin memperkuat kemu’jizatannya, karena dapat melumpuhkan penghinaan dan pelecehan mereka terhadap al-Qur’an, sehingga pada akhirnya mereka mengakui kebenaran dan keagungannya. Inilah fungsi utama kemu’jizatan al-Qur’an, yakni memperlihatkan kebenarannya serta kebenaran Nabi Muhammad sebagai Rasul yang membawanya.

D.    Sejarah Singkat Penulisan dan Kodifikasi al-Qur’an (Masa Nabi, Abu Bakar, Utsman)
1.      Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad S.A.W
Al-Qur’an turun atas perantara malaikat jibril yang kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad, diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, tidak secara langsung melainkan sesuai kebutuhan. Sering pula wahyu turun untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan keada Nabi atau membenarkan tindakan Nabi. Banyak pula yang turun tanpa melalui sebuah latar belakang pertanyaan atau kejadian tertentu.
Proses turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad melalu tiga tahapan.[14] Pertama, Al-Qur’an turun sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Proses ini diisyaratkan dalam:

بل هو قرآن مجيد. في لوح محفوظ

Diisyaratkan pula oleh firman Allah:

انه لقرآن كريم.  فى كتب مّكنون. لايمسّه الاّ المطهّرون. تنزيل من رّبّ العالمين

Kedua, al-Qur’an diturunkan dari lauh-al-mahfudz ke bait al-izzah tempat yang berada dilangit dunia

انّآ أنزلنه فى ليلة القدر

Ketiga, al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah kedalam hati Nabi  dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat, dan kadang satu surat. Mengenai proses ini dijelaskan dalam:

نزل به الروح الأمين. على قلبك لتكون من المنذرين. بلسان عربيّى مّبين

Dalam kenyataan tersebut terkandung hikmah dan faedah yang bisa diambil

وقال الذين كفروالولانزّل عليه القرآن جملة واحدة. كذلك لنثبّت به فؤادك ورتّلنه ترتيلا

Setiap kali ayat-ayat al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah, beliau segera menyampaikan kepada para sahabat seperti yang disampaikan oleh malaikat jibril, tanpa perubahan, pengurangan, dan penambahan sedikitpun.[15] Disamping itu, Rasul juga menganjurkan kepada para sahabat yang telah menerimanya untuk menyampaikan lagi kepada para sahabat yang lain yang belum mendengarnya dari Rasul secara langsung. Sesuai dengan sabda beliau

بلغوا عنى ولوآية

Melalui cara yang ditempuh Rasulullah itu, maka semua ayat al-Qur’an dan ajaran yang terkandung didalamnya dapat diketahui dan diamalkan oleh para sahabat secara merata meskiun tidak semua mereka pernah mendengarnya secara langsung dari beliau.
a.       Semua ayat telah dihafal oleh para sahabat
Umumnya bangsa Arab termasuk para sahabat adalah orang ummi (tidak bisa menulis dan membaca) namun mereka memilki daya ingat yang kuat. Kemampuan tersebut yang akhirnya digunakan untuk menjaga autentitas al-Qur’an. Karena itu setiap kali mereka menerima ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung dari Rasulullah maupun melalui para sahabat yang lain, mereka segera mempelajari dan menghafal dengan sebaik-baiknya. Ada beberapa faktor pula yang mendorong minat mereka untuk menghafal al-Qur’an:
Pertama, al-Qur’an berisi berbagai ajaran dan petunjuk tentang kehidupan yang baik, beradab, dan sejahtera, baik lahir maupun batin.
Kedua, belajar dan mengajarkan al-Qur’an kepada orang lain bernilai ibadah, hal ini juga disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-baihaqi.
Ketiga, orang yang terbaik dalam hafalannya akan mendapat prioritas untuk ditunjuk sebagai imam sholat berjamaah. Kesempatan itu juga tekah disebutkan dalam sabda Rasul:
“Hendaknya yang menjadi imam suatu kaum adalah orang yang paling qari diantara mereka. Kemudian jika mereka itu sama dalam hal qiraah (bacaan), dahulukan yang lebih banyak mengetahui al-sunnah di antara mereka. Jika sama juga dalam hal al-sunnah, dahulukan yang terlebih dulu berhijrah. Jika sama juga dalam hal hijrah, dahulukan yang lebih tua di antara mereka. Jangan sampai orang menjadi imam orang lain yang di wilayah kekuasaannya dan jangan pula ia duduk di rumah orang lain, karena menghormatinya, kecuali dengan izinnya.”
Keempat, Rasulullah sendiri telah memerintahkan kepada para sahabat agar selalu memelihara al-Qur’an dengan sebaik-baiknya. Beliau bersabda:

“Peliharalah al-Qur’an. Karena itu, demi Tuhan yang diriku berada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya al-Qur’an itu lebih cepat lepasnya daripada unta pada tambatannya.”

b.      Semua ayat telah ditulis oleh para sahabat
Selain menyuruh dan mendorong minat para sahabat untuk menghafal al-Qur’an, Rasulullah juga telah menyuruh mereka menuliskan ayat-ayat dari kitab suci itu keatas benda apa saja yang bisa ditulisi, seperti pelepah, potongan kayu, kepingan batu, dan lembaran kulit binatang yang telah disamak.
Bahkan menurut penjelasan al-Barra bahwa ketika ayat:

لا يستوى القاعدون من المؤمنين والمجاهد ون في سبيل الله

diturunkan, Rasulullah bersabda, “panggil Zaid , agar menghadap aku dan suruh ia membawa sesuatu yang dapat ditulis dan dirawat” setelah Zaid datang menghadap Rasulullah pun bersabda ,” tulis ayat la yastawi al-aq’iduna min al-mu’minin dan seterusnya.
Jumlah sahabat yang menuliskan ayat al-Qur’an sangat banyak tak kurang dari 43 orang. Diantaranya yaitu Abu Bakar, Umar Ibn al-Khatib, Utsman Ibn Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Sufyan dan dua orang putranya, yaitu Muawiyah dan Yazid, adapula Zaid bin Tsabit, dan masih banyak lagi. Mereka semua disebut katibu al-wahyi (para penulis wahyu). Meskipun demikian, yang paling sering bersama Rasulullah dan menuliskan ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Madinah ialah Zaid bin Tsabit. Hal ini dikarenakan Zaid adalah sekertaris Rasul, kemanapun dan dimanapun Rasul berada Zaid lah yang dimintai beliau untuk menuliskan yang beliau perlukan.
Perhatian Rasulullah juga tak hanya pada penulisan ayat-ayat al-Qur’an setelah beliau berada di Madinah tetapi juga sewaktu beliau masih berada di Makkah. Meskipun kaum musllimin waktu itu masih sangat sedikit dan saran penulisan masih sangat terbatas. Catatan-catatan atau naskah-naskah yang berisi ayat-ayat al-Qur’an bisa saja beredar diantara mereka, ada kemungkinan disamping menuliskan mereka juga telah menyalin untuk kepentingan mereka sendiri.
Agar  tulisan yang berisi ayat-ayat al-Qur’an tidak bercampur dengan tulisan yang lain, maka Rasulullah sering memperingatkan kepada sahabat agar tidak menuliskan sesuatu yang bukan al-Qur’an.
Karena penulis wahyu adalah orang-orang yang terpercaya, ditambah lagi adanya peringatan dari beliau, tidak diragukan lagi bahwa mereka menulis al-Qur’an yang telah didektekan beliau tanpa mengalami perubahan sedikitpun.

c.       Semua ayat dan surat telah disusun seperti sekarang
Untuk menjaga kemurnian al-Qur’an, maka Rasulullah tidak hanya menyuruh para sahabat untuk menghafal dan menuliskan ayat-ayat al-Qur’an saja tetapi juga sekaligus menetapkan ayat-ayat al-Qur’an secara utuh pada suratnya masing-masing.
Sebagian ulama berpendapat bahwa susunan-susunan surat-surat itu tauqifi. Artinya telah ditetapkan oleh Rasulullah berdasarkan wahyu. Argumen-argumen yang mereka kemukakan adalah:
1)      Rasulullah telah membaca beberapa surat  dalam sholat secara berurutan. Menurut riwayat dari Ibn Abi Syaibah bahwa Rasulullah telah menghimpun al- Mufashashal dalam satu rakaat.
2)      Menurut riwayat al-Bukhari bahwa Ibn Mas’ud telah menjelaskan, surat-surat Bani Israil, al-Kahfi, Maryam, Thaha, dan al-Anbiya adalah surat-surat terdahulu diturunkan, kemudian dia juga menyebutkan suatu susunan surat seperti yang terdapat pada urutannya yang telah ada.
3)      Menurut riwayat dari Sulaiman Ibn al-Hilal, ia telah mendengar Rabi’ah telah ditanya, kenapa surat al-Baqarah dan al-Imran didahulukan letaknya, padahal sebelumnya sudah lebih 80 surat makkiyah yang diturunkan, sedangkan kedua surat itu sendiri diturunkan di Madinah. Ia menjawab ,” keduanya didahulukan, karena al-Qur’an disusun berdasarkan pemberitahuan dari Rasulullah yang telah menyusunnya. Itulah yang sampai kepada kami. Karena itu jangan tanyakan lagi hal itu.
4)      Diantara surat-surat yang dimulai dengan huruf hijaiyah yang sama, ada yang berurutan letaknya, seperti hamim dan tha sin, dan ada pula yang terpisah letaknya seperti alif lam mim. Jika susunan surat itu bukan dari Rasulullah sendiri, tentunya letak semua surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah yang sama terletak secara berurutan.
5)      Adanya persesuaian antara urutan  surat-surat yang terdapat dalam mushaf Utsmani dengan urutan-urutan dalam bacaan Rasulullah di waktu sholat.

Menurut sebagian ulama yang lain, susunan al-Qur’an itu ijtihadi. Artinya, para sahabatlah yanng telah menyusunnya. Argumen yang mereka kemukakan adalah:
1)      Sebelum dilaksanakan penstandarisasian mushaf al-Qur’an pada masa Utsman, ternyata urutan dan susunan surat-surat yang terdapat pada mushaf-mushaf para sahabat tidaklah sama. Misalnya, pada mushaf ubai, dimulai dari al-Fatihah, al-Baqarah, an-Nisa, kemudian al-Imran. Berbeda dengan mushaf Ibn Mas’ud dimulai dengan al-Baqarah, an-Nisa, al-Imran, dan seterusnya. Jika susunan-susunan itu tauqifi, niscaya susunan dan urutannya sama serta tidak bervariasi.
2)      Menurut riwayat bahwa Ibn Abbas pernah bertanya kepada Utsman bin Affan, apa yang menyebabkan kalian sengaja menggandengkan surat al-Anfal dan al-Baraah tanpa menuliskan bismillah diantara keduannya. Surat al-Anfal termasuk surat yang pertama turun diMadinah dan al-Baraah termasuk surat yang turun terakhir, ceritanya pun terdapat kemiripan itulah mengapa Utsman menganggap bahwa surat al-Baraah adalah bagian dari surat al-Anfal. Rasulullah sendiri sudah wafat sebelum menjelaskan bahwa surat Baraah adalah bagian surat al-Anfal. Karena itu Utsman menggandengkan kedua surat tersebut tanpa memberinya bismillahirahmanirahim diantaranya.

Meskipun demikian, pendapat yang terkuat adalah yang pertama. Menurut  al-Suyuthi, pada waktu jibril mengontrol dan mengevaluasi bacaan Rasulullah untuk terakhir kalinya Zaid bin Tsabit ikut menyaksikanya. Zaid sendiri adalah orang yang ditunjuk Abu Bakar untuk menjadi ketua panitia pengumpulan al-Qur’an dan juga yang ditunjuk Utsman untuk menjadi ketua panitia pengumpulan al-Qur’an tahap kedua. Karena itu suatu kemustahilan jika Zaid berani meletakkan surat dalam mushaf yanng disalinya itu berlainan denagan urutan surat yang pernah didengarnya ketika Rasulullah memperagakan bacaanya dihadapan jibril untuk yang terakhir kalinya.


Diantara faktor lain yang mendorong penulisan al-Qur’an pada masa Nabi adalah:[16]
1)      Me-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat
2)      Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna. Bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan akan tetap terjaga walaupun tidak dalam satu tempat

2.      Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Umar
Pada dasarnya seluruh ayat al-Qur’an sudah ditulis pada masa Nabi, hanya saja tidak terkumpul dalam satu tempat. Setelah Nabi wafat, maka khalifah Abu Bakar al-shidiq menggantikan memimpin pemerintahan islam dan kaum muslimin untuk memelihara autentitas al-Qur’an yaitu dengan cara komplikasi atau pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an dalam mushaf.
Usaha pengumpulan ayat al-Qur’an itu terjadi setelah peperangan sengit di Yamamah antara kaum muslim disatu pihak dan para pengikut Musailamah al-Kazzab dipihak lain. Dari peperangan tersebut ternyata menyebabkan 700 seorang sahabat penghafal al-Qur’an dan qori’ gugur, bahkan ada yang mengatakan lebih dari itu. Kekhawatiran akan semakin hilangnya para penghafal al-Qur’an, sehingga kelestarian al-Qur’an juga ikut terancam. Umar kemudian menyampaikan ide untuk mengumpulkan al-Qur’an kepada khalifah Abu Bakar.
Menurut sebuah riwayat, Abu Bakar sempat merasa ragu untuk dapat merealisasikan ide Umar tersebut. Namun kemudian Abu Bakar menyetujuinya mengingat kebaikan yang akan diperoleh dari pengumpulan al-Qur’an.
Abu Bakar meminta agar Zaid menemuinya untuk membicarakan mengenai pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan usulan Umar, seraya mempercayakan tugas kepada Zaid sebagai ketua pengumulan al-Qur’an tersebut.
Dalam melaksanakan tugasnya Zaid menetapkan kriteria ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan, tanpa didukung tulisan. Catatan-catatan al-Qur’an tersebut harus dibuktikan kebenarannya oleh dua orang saksi. Yang dimaksudkan dengan dua saksi disini tidak harus keduanya dalam bentuk hafalan atau keduanya dalam bentuk tulisan. Dapat diterima pula apabila ayat yang disodorkan didukung dua hafalan dan dua tulisan sahabat lainya. Demikian juga , suatu hafalan dapat diterima apabila dikuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabat lainnya.
Pekerjaan yang dibebankan kepada Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, ada tahun ke 3H dibawah pengawasan Abu Bakar, Umar, dan para sahabat yang lain. Setelah sempurna, berdasarkan musyawarah, tulisan al-Qur’an yang sudah berkumpul itu dinamakan mushaf.
Setelah khalifah Abu Bakar ra wafat, maka yang menggantikanya adalah Umar Ibn Khathab. Selama masa ini tidak langkah-langkah baru yang telah dilaksanakan dikarenakan keadaan yang tidak memngkinkan.
Sementara itu, perhatian Umar diarahkan kepada aspek pengajaran secara merata keselur negeri islam dan pengawasan terhadap qira’at yang dipakai oleh kaum muslimin dalam membaca al-Qur’an agar tidak menyimpang dari bats tujuh huruf yang telah diizinkan Rasulullah.
Umar wafat terbunuh oleh seorang nasrani yang bernama Abu Lu’lu’ah, sepeninggal Umar, mushaf resmi kemudian disimpan putrinya sendiri yakni Hafsah.

3.      Al-Qur’an pada masa Utsman
Setelah khalifah kedua wafat, maka Utsman di baiat menjadi khalifah ke tiga. Pada masa pemerintah Utsman ini telah diupayakan pengumpulan al-Qur’an, namun dalam bentuk lain tidak seperti pada masa Abu Bakar. Dengan cara mengumpulkan al-Qur’an dalam bentuk menstandarisasikan  bacaan kaum muslimin kepada satu bacaan yang resmi.
Inisiatif Utsman untuk menyatukan penulisan sangatlah beralasan, pasalnya perbedaan cara baca al-Qur’an pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat islam saling menyalahkan dan selanjutnya terjadi perselisihan di antara mereka, karena mereka saling beranggapan bahwa qiraat masing-masing pihak lebih baik.

E.     Penutup
Al-qur’an merupakan sumber utama ajaran agama islam, didalamnya termuat ajaran dan petunjuk tentang aqidah, hukum, ibadah, dan akhlak. Bacaan ayat yang satu dengan ayat yang lainya saling berkaitan, Sedang membacanya pun bernilai ibadah.
Al-qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui Ruhul Amin (jibril as) dengan lafal yang berbahasa arab dan maknanya yang benar. menjadi petunjuk bagi manusia, undang-undang serta pendekatan manusia kepada Allah tanpa adanya perubahan maupun pergantian.
Adanya Al-qur’an adalah sebagai mukjizat atas kerasulan Nabi Muhammad s.a.w yang dimaksudkan untuk melemahkan tantangan untuk penciptaaan karya sejenis, melumpuhkan penghinaan dan pelecehan. Al-qur’an sebagai wahyu Allah untuk menjawab penolakan orang quraisy. Al-qur’an pun menentang mereka melalui beberapa tahapan. Pertama, mendatangkan semisal Al-qur’an. kedua, mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam al-qur’an. Ketiga, mendatangkan satu surat. Keempat, mendatangkan beberapa ayat.
Al-qur’an turun kepada Nabi Muhammad melalui tiga tahap. Pertama, dari Allah ke lauh al-mahfuzh. Kedua, diturunkan dari lauh al-mahfudz ke bait al-izzah. Ketiga, dari bait al-izzah ke dalam hati nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan.
Penulisan Al-qur’an sudah ada sejak zaman rasulullah yang dimaksudkan untuk me-back up hafalan yang telah dilakukan oleh para sahabat. selain itu adanya tulisan, ayat Al-qur’an akan tetap terjaga walaupun tidak dalam satu tempat. selanjutnya Kekhawatiran akan semakin hilangnya hafalan sahabat dikarenakan gugurnya para qori’ dan hafidz dimedan perang juga menjadi salah satu penyebab ditulisnya al-qur’an dan pengumupulanya (al-qur’an).
Ayat-ayat Al-qur’an sudah ditulis di masa Rasulullah, setelah Rasulullah wafat tongkat estafet di pegang oleh khalifah I yakni Abu Bakar. Dimasa Abu Bakar ayat-ayat Al-qur’an mulai dikumpulkan untuk menjaga keatentikasianya, sedangkan dimasa Umar hanyalah untuk menyebarluaskan qira’at diberbagai daerah. Setelahnya, dimasa Utsman barulah terjadi pengumpulkan al-Qur’an dalam bentuk menstandarisasikan  bacaan kaum muslimin kepada satu bacaan yang resmi.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon. Pengantar Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Athaillah, A. Sejarah al-Quran: Verifikasi Otensitas al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Bell, Richard. Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995.
H. Thalhas, T. Fokus Isi dan Makna Al-Qur’an. Jakarta: Gelura Pase, 2008.
M. Yusuf, Kadar. Studi AlQuran. Jakarta: AMZAH, 2009.
Nata, Abuddin. Al-Qur’an dan Hadits: Dirasah Islamiyah I. Jakarta: Citra Niaga Rajawali Press, 1993.
Shihab, Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996.
Shihab, Quraish, dkk. Sejarah dan Ulum al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Sumbullah, Umi, dkk. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2014.
Tajuddin Arafat, Ahmad. Artikel: Membaca Sejarah al-Qur’an (http://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&q=membaca+sejarah+alquran), diakses 25 agustus 2017.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya: Karya Abditama, 1997.

Catatan:
  1. Penulisan judul buku di footnote ditulis miring.
  2. Pelajari lagi cara penulisan footnote.
  3. Data jurnal harus dicantumkan lengkap.
  4. Angka footnote tolong dirapikan.
  5. Perujukan footnote masih sangat minim.
  6. Lebih jelaskan kodifikasi al-Qur’an pada masa Usman.
  7. Pelajari lagi cara penulisan penutup.



[1] Tajuddin Arafat, Ahmad. Artikel: Membaca Sejarah al-Qur’an (http://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&q=membaca+sejarah+alquran), diakses 25 agustus 2017.
[2] Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Hal. 56
[3] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiah I), (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), Hal. 51
[4] Masfujk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, (Surabaya: Karya Abditama, 1997), Hal. 1
[5] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiah I), (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), Hal. 53
[6] Ibid., Hal. 54
[7] Ibid,. Hal. 104
[8] Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Hal. 105
[9] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiah I), (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), Hal. 70
[10] Ibid., Hal. 67
[11] Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Hal. 110
[12] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiah I), (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), Hal. 69
[13] Quraish Shihab, Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Hal. 111
[14] Anwar, rosihon. 2009. Pengantar Ulumul Qu’an. Bandung: CV pustaka. Hal 46
[15] Attaillah. 2010. Sejarah Alqur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 180
[16] Anwar, rosihon. 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: CV pustaka. Hal. 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar