Selasa, 04 April 2017

Urf, Madzhab Sahabat, Sadz al-Dzara'i, dan Syar'u man Qablana (PAI C Semester Genap 2016/2017)





‘URF, SADDUDZARA’I, MADZAB SAHABAT DAN SAR’U MAN QABLANA

Lia Eliana Hidayati, Rokhmah, M. Arif Rachman
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Kelas C Angkatan 2014
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
This journal will explain about some of the Islamic laws that are not agreed by some scholars. Basically all that is contained in the Qur'an and Sunnah already includes information of various problems that exist in the world even until the coming of the Hour. However, limited human ability to interpret and the emergence of differences of interpretation of the opinion of the Fuqohalah which makes the Islamic texts into various forms. Of agreed to disagreement by some groups. It was agreed that means the majority of Ulama 'have agreed to the use of these laws. While that is not agreed upon is only a few scholars who have agreed to these laws.
Some of them are Urf, Saddudzara'i, Madzab Shahabat and Sar'u Man Qablana.
Abstrak
Jurnal ini akan menjelaskan mengenai beberapa hukum-hukum Islam yang tidak disepakati oleh beberapa ulama’. Pada dasarnya semua yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah sudah mencakup informasi-informasi berbagai permasalahan yang ada di dunia bahkan hingga datangnya hari kiamat. Namun keterbatasan kemampuan manusia dalam menafsirkan dan munculnya perbedaan-perbedaan penafsiran dari pendapat para Fuqohalah yang membuat sumber hukum Islam menjadi beragam bentuk. Dari yang disepakati hingga yang tidak disepakati oleh beberapa golongan. Disepakati artinya mayoritas Ulama’ sepakat akan penggunaan sumber hukum tersebut. Sedangkan yang tidak disepakati adalah hanya beberapa ulama’ saja yang sepakat akan sumber hukum tersebut. Beberapa diantaranya adalah Urf, Saddudzara’i, Madzhab shahabat dan Sar’u Man Qablana.
Keyword : Sumber hukum Islam yang tidak disepakati, Urf, Saddudzara’i, Madzhab shahabat, Sar’u Man qablana
A.      Pendahuluan
Agama Islam merupakan agama yang indah, damai, mudah serta tidak mempersempit bagi para pengikutnya. Dalam mengantarkan kepada kedamaian umat islam, maka di dalam agama islam ini  terdapat berbagai macam pendapat (madzab) dalam menyelesaikan suatu masalah baik masalah yang ada dari dahulu kala maupun masalah yang muncul di era modern ini yang bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan umat manusia. Dalam penetapan hukum islam terkait masalah yang ada memang terjadi berbagai kontrofersi antara pro dan kontra dikalangan ulama’ terkait penetapan hukum yang berhubungan dengan adat yang telah membudaya dikalangan masyarakat, kemashlahatan yang disalah gunakan sehingga berakhir pada kerusakan, syari’at yang telah ada sebelum umat islam, dan adanya madzab sahabi. Namun, hal ini tidak menjadikan islam lemah, karena berbagai pendapat diantara ulama terkait penerimaan atau penolakan hukum yang sudah ditetapkan dari berbagai kalangan ulama’ dan berbagai pendapat yang berbeda justru menjadikan agama islam semakin berkembang dan menegaskan bahwa agama islam dapat menjadikan rahmat bagi umat manusia. Beberapa diantara penetapan hukum islam yang terjadi pro dan kontra dikalangan ulama’ adalah ‘Urf, Saddudzara’I, Madzhab Shahabat dan Sar’u Man Qablana. Maka dari itu, di dalam jurnal ini kami akan menjelaskan terkait pengertian, macam-macam dari hukum yang terkait, kehujjahan hukum dan alasan berbagai ulama’ terkait penerimaan maupun penolakan atas hukum tersebut.

B.       ’Urf
1.      Pengertian ’Urf
Secara bahasa, kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa - ya’rifu (عرف – يعرف  ) yang berarti mengenl atau sering diartikan dengan “al-ma’ruf” yang berarti sesuatu yang dikenal.[1] Sedangkan secara etimologi, ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal manusia dan menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.‘Urf juga disebut dengan adat. Sedangkan menurut istilah para ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf  dan adat kebiasaan. ‘Urf yang bersifat perbuatan seperti jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dan dengan cara memberikan namun tanpa ada shighat lafzhiyyah (ungkapan melalui perkataan). Sedangkan ‘urf yang bersifat perkataan, misalnya pemutlakan lafal “al-walad” yang berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan, juga pemutlakan lafal “al-lahm” (daging) yang digunakan untuk daging ikan.[2]’Urf  berbeda dengan ijma’sebab ‘Urf dibentuk dari kebiasaan orang-orang yang berbeda tingkat intelektualnya, sedangkan ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari para ahli mujtahid.[3]

2.      Macam-macam ‘Urf
Penggolongan macam-macam ’urf itu dapat dilihat dari beberapa segi :
1.    Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ’urf itu ada dua macam:
a.’Urf Qouli ( عرف قولي) , yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Kata waladun ( ولد) secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan.  Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan (mu’annats). Penggunaan kata walad itu untuk laki-laki dan perempuan, (mengenai waris/harta pustaka) berlaku juga dalam Al Qur’an, seperti dalam surat an-nisa’ (4) : 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Kata lahm ( لحم) artinya adalah “daging”, baik daging sapi, ikan atau hewan lainnya. Pengertian umum lahmun  yang juga  mencakup daging ikan ini terdapat dalam Al Qur’an, surat an Nahl (16) : 14 :

وهو الذي سخر البحر لتأ كلوا منه لحما طريا
“Allah yang memudahkan laut untukmu supaya kamu dapat memakan ikannya yang segar...”

Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di kalangan orang Arab, kata  lahmun itu tidak digunakan untuk “íkan”. Karena itu, jika seseorang bersumpah, “Demi Allah saya tidak akan memakan daging,” tetapi ternyata kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut adat masyarakat Arab, orang tersebut tidak melanggar sumpah.
b.’Urf fi’li ( عرف فع), yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Misalnya, kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa addanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.
2. Dari segi ruang lingkup penggunaannya, ‘urf terbagi menjadi dua diantaranya :
a. ‘Urf Umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku berlaku dimana -mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Seperti mengganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau menidakkan. Kalau ada orang berbuat kebalikan itu, maka dianggap aneh.
b. ‘Urf Khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku disemua tempat dan di sembarang waktu. Seperti ‘adat menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan (matrilineal) di Minangkabau dan melalui bapak (patrilineal) dikalangan suku Batak.
3. Dari segi penilaian baik dan buruk, ‘urf  dibagi menjadi dua diantaranya :
a. ‘Urf Shahih, yaitu ‘adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh banyak orang, tidak bertentangan dengan agama, shopan santun dan budaya yang luhur. Misalnya memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu, mengadakan acara halal bihalal (silaturrahim) saat hari raya, memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.
b. ‘Urf Fasid, yaitu ‘adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan shopan santun. Misalnya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir,”kumpul kebo” (hidup bersama tanpa nikah).[4]

3.      Perbenturan dalam ‘Urf
            Bentuk-bentuk perbenturan dalam ‘urf diuraikan al-Suyuthi (dalam bahasan tentang kaidah al-‘adah muhakkamah, salah satunya adalah perbenturan ‘urf dengan syara’. Yang dimaksud perbenturan (pertentangan) antara ‘urf dengan syara’ disini adalah perbedaan dalam hal penggunan suatu ucapan ditinjau dari segi ‘urf dan dari segi syara’. Hal ini pun dipisahkan pada perbenturan yang berkaitan dengan hukum dan yang tidak berkaitan dengan hukum.
1.        Apabila perbenturan ‘urf dengan syara’ itu tidak berkaitan dengan materi hukum, maka didahulukan ‘urf. Seperti :
a.    Jika seseorang bersumpah tidak akan memakan daging, tetapi ternyata kemudian dia memakan ikan, maka ditetapkanlah bahwa dia tidak melanggar sumpah. Menurut ‘urf , ikan itu tidak termasuk daging, sedangkan dalam arti syara’ ikan itu termasuk daging, sedangkan dalam arti syara’ ikan itu termasuk daging seperti tercantum dalam al qur’an. Dalam hal ini, pengertian ‘urf yang dipakai dan ditinggalkan pengertian menurut syara’.
b.    Apabila seseorang bersumpah bahwa ia tidak akan duduk di bawah atap, tetapi ternyata kemudian dia duduk di bawah langit, maka dinyatakan dia tidak melanggar sumpah dengan ucapannya itu, padahal dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa langit itu adalah atap, tetapi dalam pengertian ‘urf , langit itu bukanlah atap. Dengan demikian, maka di dahulukan pengertian ‘urf bila dia bertentangan dengan pengertian syara’.
2.        Apabila perbenturan ‘urf dengan syara’ dalam hal yang berhubungan dengan materi hukum, maka didahulukan syara’ atas ‘urf.
Seperti halnya apabila seseorang berwasiat untuk kerabatnya, apakah termasuk dalam pengertian kerabat itu ahli waris atau tidak. Berdasarkan pandangan syara’ ahli waris itu tidak termasuk kepada ahli yang boleh menerima wasiat oleh karenanya dia tidak lagi termasuk dalam pengertian kerabat yang dimaksud disini. Dalam pengertian ‘urf kerabat itu adalah orang yang berhubungan darah, baik dia ahli waris atau tidak. Dalam hal ini ditetapkan bahwa pengertian kerabat yang diucapkan dalam wasiat itu tidak termasuk ahli waris. Dengan demikian, disini pengertian secara syara’ yang dipakai.[5]

4.      Hukum ‘Urf
            Hukum ‘urf yang shahih, maka wajib dipelihara baik dalam pembentukan hukum atau dalam peradilan. Seorang mujtahid harus memperhatikan tradisi dalam pembentukan hukumnya. Seorang hakim juga harus memperhatikan ‘urf yang berlaku dalam peradilannya. Karena sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan telah biasa dijalani, maka hal itu termasuk bagian dari kebutuhan mereka, menjadi kesepakatan serta dianggap sebagai kemaslahatan. Jadi, selama tidak bertentangan dengan syara’, maka wajib diperhatikan. Syari’ telah memelihara tradisi bangsa Arab dalam pembentukan hukumnya, misalnya kewajiban diyat (denda) terhadap wanita berakal, kriteria kafaah (sepadan) dalam perkawinan dan hitungan ‘ashabah dalam pembagian harta waris. Oleh karena itulah, maka ulama’ berkata :

            العادة شريعة محكمة
“Adat merupakan syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum”[6]
Adapun   alasan   pengambilan   urf  tersebut   sebagai   dalil   hukum ialah:
a.    Syariat Islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan (urf) yang berlaku pada bangsa Arab, seperti syarat "seimbang" (kafa'ah) dalam perkawinan dan urutan-urutan perwalian dalam nikah dan warisan   serta harta pusaka atas dasar asabah (pertalian dan susunan keluarga).
b.    Apa yang dibiasakan orang, baik kata-kata maupun perbuatan menjadi pedoman hidup mereka yang dibutuhkan (Hanafi, 146).[7]
Adapun ‘urf yang fasid (adat kebiasaan yang rusak), maka tidak wajib diperhatikan atau dipelihara, karena menjadikannya sebagai suatu hukum berarti bertentangan dengan dalil syar’i atau membatalkan hukum syar’i. Apabila manusia terbiasa mengadakan salah satu perjanjian (akad) yang fasid, seperti perjanjian yang bersifat riba, penipuan atau mengandung unsur bahaya, maka akad-akad tersebut tidak bisa dipakai sebagai sebagai ‘urf. Oleh karena itu, dalam penetapan undang-undang, ‘urf yang bertentangan dengan peraturan atau ketentuan umum tidak diakui.
Hukum yang didasarkan atas ‘urf dapat berubah berdasarkan perubahan masa dan tempat. Karena hukum cabang akan berubah sebab perubahan hukum pokoknya. Oleh karena inilah, dalam perbedaan pendapat semacam ini, fuqoha’ mengatakan:”sesungguhnya perbedaan tersebut adalah perbedaan masa dan zaman, bukan perbedaan hujjah dan dalil.” Pada hakikatnya ‘urf bukan merupakan suatu dalil syar’i yang berdiri sendiri. Pada umumnya ‘urf hanya didasarkan pada pemeliharaan mashlahahmursalah. ‘Urf sebagaimana bisa ditetapkan sebagai hukum syara’, ia juga harus dijaga dalam menginterpretasikan nash-nash Al Qur’an. Dari itu,‘urf dapat digunakan untuk mentakhshiskan lafal yang ‘amm (umum) dan membatasi hukum yang mutlak, Qiyas juga terkadang ditinggalkan karena berlakunya ‘urf. Oleh karena itulah, perjanjian produksi itu sah, karena berlakunya ‘urf. Jika diqiyaskan, tentu tidak sah, karena merupakan perjanjian atas sesuatu yang tidak ada.[8]
C.      Madzab Sahabat
1.      Pengertian
Madzab sahabi atau disebut juga qaul sahabi atau qaul sahabat atau fatwa sahabat menurut definisi yang diberikan oleh ahli ushul adalah:
فتوى الصحابة بإنفراده
“Fatwa seorang sahabat Nabi secara perseorangan”[9]

Dalam referensi lain juga dikatakan bahwa madzab sahabi merupakan segala peristiwa atau kejadian yang muncul dalam masyarakat langsung ditanyakan sahabat kepada beliau dan diselesaikan oleh beliau dengan baik.[10]

2.      Unsur-unsur Madzab Sahabi
Dari definisi tersebut terdapat tiga unsur pada mazhab sahabi itu :
1.    Apa yang disampaikan itu adalah fatwa yaitu hasil ijtihadnya sendiri, bukan pesan yang diterimanya dari Nabi.
2.    Yang menyampaikan adalah seorang yang berkualitas sahabat Nabi yaitu orang yang menyertai kehidupan Nabi dalam waktu yang panjang, pernah menerima Hadits Nabi dan menyampaikan Hadits itu kepada orang lain.
3.    Pendapat tentang hukum syara’ itu disampaikannya secara perseorangan dimana sahabat lain menyampaikan fatwa yang berbeda dengan itu.

3.      Kedudukan Madzab Sahabi sebagai Dalil Hukum Syara’
Kalau yang disampaikan sahabat itu secara pribadi tidak disertai oleh pendapat lain yang berbeda dengan itu, diterima ulama’ ushul sebagai dalil syara’ dan ditempatkan sebagai ijma’ ulama dalam bentuk sukuti, namun kalau pendapat itu mendapat tandingan dari sahabat lain, sulit menempatkannya sebagai dalil hukum. Karena hukum syara’itu hanya satu. Oleh karena itu, kedudukannya sebagai dalil hukumnya syara’ menjadi perbedaan di kalangan ulama, kebanyakan ulama tidak menempatkannya sebagai dalil. Meskipun demikian, sebagian ulama mengambilnya sebagai pertimbangan waktu menetapkan hukum atau sebagai penguat atas suatu dalil yang digunakan dalam menetapkan hukum.[11]
Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in menyatakan 43 alasan (juz 4:148) yang mewajibkan mengikuti madzab shahabi yang akhirnyabeliau berkata bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk :
1.      Fatwa yang di dengar sahabat dari Nabi
2.      Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
3.      Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al qur’an yang agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita
4.      Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat
5.      Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunyabaik bahasa maupun tingkahlakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksudnya kelima hal ini adalah hujjah yang wajib diikuti.
6.      Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dari salah pemahamannya, maka hal ini tidak jadi hujjah.[12]

D.      Sar’u Man Qablana
1.      Pengertian Syar’u Man Qablana
Pembicaraan ulama’ tentang kemungkinan Nabi Muhammad SAW. mengikuti syariat sebelumnya setelah beliau menerima risalah seperti di jelaskan di atas, berkembang pada pembicaraan tentang apa sebenarnya yang disebut syari’at sebelum kita itu. Dimana hal itu dapat ditemukan dan apakah umat Islam wajib mengikutinya ?
Para Ulama’ menjelaskan bahwa syari’at sebelum kita atau syar’u man qablana ialah hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syari’at Nabi Muhammad SAW.[13]
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                
2.      Hukum Syari’at Sebelum Kita
Jika Al Qur’an atau sunnah yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyari’atkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syari’at tersebut ditujukan kepada kita. Dengan kata lain, wajib untuk diikuti, seperti firman Allah SWT. dalam surat Al Baqarah : 183
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan pada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”. (Al Baqarah : 183)
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk  kita, para ulama’ sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyari’atkan kepada kita, seperti syari’at Nabi Musa AS. Bahwa seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya, dan jika ada najis yang menempel pada tubuh, tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota badan tersebut dan lain sebagainya.

3.      Pendapat Para Ulama’ Tentang Syari’at Sebelum Kita
Telah diterangkan di atas bahwa syari’at terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para ulama’. Namun, yang diperselisihkan adalah apabila pada syari’at terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan pada mereka. Seperti firman Allah SWT, dalam surat Al Maidah ayat : 32

مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا

Artinya :
“Oleh karena itu, kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh orang lain) atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.” ( QS. Al Maidah :32 )

            Jumhur Ulama’ Hanafiyah, sebagian Ulama’ Malikiah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut disyari’atkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum yang menasahnya. Alasannya, mereka menganggap bahwa hal itu termasuk diantara hukum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para Rosul-Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orang Mukallaf wajib mengikutinya. Lebih jauh, Ulama’ Hanafiyah mengambil dalil bahwa yang dinamakan pembunuhan itu adalah umum dan tidak memandang apakah yang dibunuh itu muslim atau kafir dzimmi, laki-laki ataupun perempuan, berdasarkan kemutlakan firman Allah SWT.
Sebagian Ulama’ mengatakan bahwaa syaria’t kita itu menasakh atau menghapus syari’at terdahulu, kecuali apabila dalam syariat terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun, pendapat yang benar adalah pendapat pertama karena syari’at kita hanya menasakh syari’at terdahulu yang bertentangan dengan syari’at kita saja.[14]

4.      Pengelompokan Syar’u Man Qablana
Syari’at sebelum kita dapat dibagi ke dalam tiga kelompok :
1.    Syariat terdahulu yang terdapat dalam Al qur’an atau penjelasan Nabi yang disyari’atkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Al qur’an atau Hadits Nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat  Nabi Muhammad. Seperti Firman Allah SWT. dalam surat Al An’am  (6) : 146 :

وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا

“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap (binatang) yang punya kuku dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya.”
Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah SWT. untuk orang Yahudi dahulu. Kemudian dijelaskan pula dalam Al qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad SAW. sebagaimana disebutkan dalam surat al An’am (6) : 145 :

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ

“Katakanlah aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang haram terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah..”

Sedangkan di dalam Hadits Nabi mengatakan bahwa :
“Dihalalkan untukmu harta rampasan yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku.”

          Hadits Nabi ini menjelaskan bahwa ghanimah (harta rampasan) itu tidak halal untuk umat terdahulu, namun kemudian dihalalkan untuk umat Nabi Muhammad SAW. Ulama’ telah sepakat menyatakan bahwa syari’at terdahulu yang dalam bentu ini (yang telah di nashkan) tidak berlaku untuk umat Nabi Muhammad SAW.

2.    Hukum-hukum dijelaskan dalam Al qur’an maupun Hadits Nabi disyari’atkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat al baqarah (2) : 183 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa.”
            Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyari’atkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad. Contohnya dalam Hadits Nabi tentang berkurban yang dijelaskan disyari’atkan untuk Nabi Ibrahim, juga disyari’atkan untuk umat Nabi Muhammad SAW. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi yang mengatakan bahwa : “Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu , Ibrahim.”
            Hukum-hukum dalam bentuk ini berlaku untuk umat Nabi Muhammad SAW.  Hal ini telah disepakati oleh semua ulama’. Pemberlakuan hukum untuk umat Nabi Muhammad SAW bukan karena ia adalah “syara’ sebelum kita” yang harus berlaku untuk kita, tetapi karena kewajiban tersebut ditetapkan pemberlakuannya untuk kita dalam Al qur’an atau Hadits Nabi.

3.    Hukum-hukum yang disebutkan dalam Al qur’an atau Hadits Nabi, dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad SAW, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakhkan.
Dari ketiga kelompok syari’at sebelum kita, bentuk pertama sudah jelas kedudukannya yaitu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad SAW. Demikian juga dengan bentuk kedua yang disepakati telah menjadi hukum islam. Bentuk ketiga inilah sebenarnya yang disebut “syariat sebelum kita” yang menjadi bahan kajian ulama ushul pada waktu membicarakan dalil-dalil syara’ atau metode ijtihad.
Pembahasan tentang “syariat sebelum kita “ ini muncul karena disatu sisi ia  terdapat dalam Al qur’an yang tentu dengan sendirinya mengikat untuk Umat Nabi Muhammad SAW. Ayat Al qur’an dalam hal ini mengisahkan tentang isi sebuah kitab suci terdahulu yang menetapkan hukum bagi umatnya. Seperti firman Allah SWT. dalam surat al maidah (5) : 45:

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ

“Kami telah tetapkan terhadap mereka (kaum Yahudi) di dalamnya (kitab Taurat) bahwasannya  jiwa  (dibalas) dengan jiwa: mata dengan mata...” (QS.Al Maidah : 45)
Ayat ini mengisahkan hukum yang berlaku pada orang Yahudi di masa dahulu kala.

5.      Kehujahan Syar’u Man Qablana
Para ulama berbeda pendapat  mengenai apakah syariat sebelum kita itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad SAW. Pendapat mereka adalah sebagai berikut :
1.    Jumhur ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk ketiga tersebut tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad SAW) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad SAW. Alasannya adalah bahwa syari’at sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain halnya syari’at yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara umum dan menasakh syari’at sebelumnya.
2.    Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama’ Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam Al qur’an dan Hadits meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad SAW. selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk Umat Nabi Muhammad SAW. Dari sinilah muncul kaidah :

شرع من قبلنا شرع لنا

“syariat untuk umat sebelum kita berlaku untuk syari’at kita
Surat an Nahl (16) : 123 :

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ

“Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama nabi ibrahim yang lurus”
            Sehubungan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah memberlakukan hukum qisash yang seimbang sebagimana sebagaimana tersebut dalam surat al Maidah (5) : 45, bagi umat Islam, meskipun ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi. Berdasarkan pendapat ini, orang muslim yang membunuh kafir dzimmi (yang dalam perlindungan) dikenai qishas sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang Islam. Sedangkan kalangan ulama’ Syafi’iyah yang tidak memberlakukan syari’at umat Yahudi itu untuk umat Islam memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada keseimbangan dalam pelaksanaan qishash antara muslim dan non muslim sebagaimana yang diberlakukan terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim membunuh kafir dzimmi yang membunuh orang islam, maka diberlakukan qisash.
            Sebenarnya perbedaan pendapat dalam soal qishash itu tidak semata disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam hal pemberlakuan syari’at sebelum kita tersebut, tetapi ada beberapa faktor pertimbangan lainnya. Meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, namun yang berpendapat bahwa syari’at sebelum kita itu dapat menjadi syari’at kita (umat Muhammad SAW) adalah bukan karena ia adalah syari’at sebelum kita tetapi karena ia terdapat dalam Al qur’an dan Sunnah Nabi yang harus dijadikan pedoman. Dengan demikian, kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum Islam tidaklah berdiri sendiri.[15]

E.       Saddudzara’i atau Sadd Adz-Dzari’ah
1.      Latar Belakang
Sadd adz-Dzari’ah merupakan cabang dari Adz-Dzari’ah. Dalam segi bahasa, adz-dzari’ah (jamak : adz-zara’i) berarti media yang menyampaikan kepada sesuatu. Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, yang dimaksud adz-dzari’ah adalah sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai kepada sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’, baik yang halal maupun yang haram (yang dibenarkan atau terlarang) dan yang menuju ketaatan atau kemaksiatan. Oleh karena itu, dalam kajian ushul fiqh, adz-dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu Sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Meskipun adz-dzari’ah dapat berarti sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah, namun dikalangan ulama ushul fiqh, jika kata adz-dzariah disebut secara sendiri, tidak dalam bentuk kalimat majemuk, maka kata itu selalu digunakan untuk menunjukkan pengertian sadd adz-dzari’ah.
Sadd adz-dzara’i (makna umum : menutup jalan) adalah mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan menimbulkan mafsaddah. Pencegahan terhadap mafsadah dilakukan karena ia bersifat terlarang. Sebagai contohnya, pada dasarnya menjual anggur adalah mubah (boleh), karena anggur adalah buah-buahan yang yang halal dimakan. Akan tetapi jika menjual anggur kepada orang yang mengolahnya menjadi muniman keras menjadi terlarang. Perbuatan terlarang, karena akan menimbulkan mafsadah. Larangan tersebut untuk mencegah agar orang jangan membuat minuman keras, dan agar orang terhindar dari meminum minuman yang memabukan, dimana keduanya merupakan mafsadah.
Sedangkan, Fath adz-dzari’ah (makna generik : membuka jalan) adalah kebalikan dari Sadd adz-dzari’ah yaitu, menganjurkan media atau jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang dapat menimbulkan al-maslahah (manfaat atau kebaikan), jika ia akan menghasilkan kebaikan. Penggunaan media akan melahirkan kemaslahatan harus didorong dan dianjurkan, karena menghasilkan kemaslahatan adalah sesuatu yang diperintahkan dalam Islam. Contohnya, dianjurkan membangun industri tekstil, karena hal itu akan menghasilkan kebaikan, yaitu berguna membantu orang menutup aurat.[16]
2.      Pengertian Sadd adz-Dzari’ah
Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata adz-dzari’ah berarti “wasilah” atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd adz-dzari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”. Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, sadd adz-dzari’ah berarti :
انه من باب منع الوسا ئل المؤديةإلى الفا سد
Menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan”.[17]
Sedangkan Saddu Adz-Dzara’i atau Dzari’ah yang dimaksudkan dalam Ilmu Ushul Fiqih adalah :
هي المسئلة التى ظاهرها الاباحة ويتوصل بها الى فعل المحظور
“satu masalah yang tampaknya mubah, tetapi (kemungkinan) bisa menyampaikan kepada perkara yang terlarang”
            Sebagai contoh misalnya, masalah berteman dengan orang jahat. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, orang-orang jahat tersebut akan menjadi orang baik karena berteman dengan kita. tetapi kedua, sebaliknya mungkin pula terjadi bahwa kita akan menjadi orang jahat akibat persahabatan itu, sedang masalah bersahabat adalah mubah hukumnya.[18]
Lain halnya dengan Imam Asy Syatibi, menurut beliau Saddu adz-dzara’i  adalah
التَّوَصُّلُ بِمَا هُوَمَصْلَحَةٌ اِلَى مَفْسَدَة
“Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada kerusakan (kemafsadatan).” (Asy-Syatibi, IV : 198)
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd adz-dzarai’ah adalah perbuatan yang dilakuakan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan. Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.[19]
3.      Pembagian Perbuatan-perbuatan yang menjadi wasilah kepada kebinasaan
Perbuatan-perbuatan yang menjadi wasilah kepada kebinasaan menurut Abdul Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam :
1)        Perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi sesuatu yang diharamkan, tetapi esensi perbuatan itu sendiri adalah haram. Oleh karena itu, keharaman perbuatan seperti itu bukan termasuk ke dalam kajian Sadd adz-dzari’ah.
2)        Perbuatan yang secara esensial diperbolehkan (mubah), namun perbuatan itu memungkinkan untuk digunakan sebagai wasilah kepada sesuatu yang diharamkan. Perbuatan seperti ini dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili terbagi kepada empat macam :
a.         Perbuatan itu dapat dipastikan akan mengakibatkan kebinasaan. Misalnya menggali lubang di tempat yang gelap di depan pintu gerbang tempat lalu lintas orang umum yang dapat diastikan akan menjebak siapa yang melaluinya.  Perbuatan seperti ini, menurut Wahbah az-Zuhaili adalah perbuatan terlarang dan jika ada orang yang cedera disebabkannya, pelakunya dapat dituntut dan diminta pertanggung jawabannya.
b.        Perbuatan itu mengandung kemungkinan, meskipun kecil, akan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya, menggali sumur di tempat yang tidak biasa dilalui orang atau menjual buah anggur kepada orang yang tidak terkenal sebagai produsen khamr atau minuman keras. Perbuatan seperti ini, demikian dijelaskan Wahbah az-Zuhaili, boleh dilakukan karena kemungkinan akan membawa kepada kebinasaan sangat sedikit dibandingkan dengan manfaat yang akan dirah. Sedangkan Syariat islam dalam menetapkan hukum selalu mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih besar dan dalam kondisi yang demikian kemudaratan yang ringan tidak lagi menjadi pertimbangan.
c.         Perbuatan yang pada dasarnya adalah mubah namun kemungkinannya akan membawa kepada kebinasaan lebih besar dibandingkan dengan kemashlahatan lebih besar dibandingkan dengan kemaslahatan yang akan diraih. Contohnya, menjual senjata kepada musuh pada waktu perang, menyewakan rumah kepada pihak yang dikenal bandar judi atau kepada germo, mencaci-maki atau mengejek sesembahan orang-orang musyrik daan menjual buah anggur kepada pihak produsen minuman keras. Perbuatan seperti itu, sebagaimana dikemukakan Wahbah Zuhaili, dilarang sama hukumnya dengan jenis pertama di atas, karena keras dugaan akan digunakan untuk sesuatu yang diharamkan agama.
d.        Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi di samping itu dilihat kepada pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya semacam akad jual beli yang mungkin digunakan sebagai upaya mengelak dari riba, dengancara si A menjual suatu benda dengan harga satu juta rupiah dengan cara berutang kepada si B, dan ketika itu benda tersebut dibeli kembali oleh si A seharga delapan ratus ribu rupiah dengan cara tunai, sehingga hasilnya dengan perantaraan jual beli arloji, pihak B mengantongi uang delapan ratus ribu rupiah dan nanti pada waktu yang telah ditentukan harus dibayar sejuta rupiah. Jual beli seperti ini dikenal dengan ba’i al-‘ainah.
Menurut Wahbah az-Zuhaili, para ulama sepakat tentang dilarangnya perbuatan seperti ini jika kelihatan tanda-tanda bahwa mereka berniat untuk melakukan riba, dan mereka berbeda pendapat dalam hal tidak kelihatan jelas tanda-tanda bahwa maksud kedua belah pihak melakukan jual beli tersebut sebagai helah untuk mengelak dari perbuatan riba.[20]
4.      Kedudukan Sadd adz-Dzari’ah
Telah dikemukakan bahwa para Ulama’ berbeda pendapat mengenai Sadd adz dzari’ah. Imam Malik dan Ahmad Hambal menjadikan adz-dzari’ah sebagai hujjah syar’iyyah. Sedangkan Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah terkadang menjadikan adz-dzari’ah sebagai dalil, tetapi pada waktu yang lain menolaknya sebagai dalil. Contohnya, Imam Syafi’i membolehkan seseorang yang karena uzur (seperti sakit dan musafir) meninggalkan shalat jum’at dan menggantikannya dengan shalat dhuhur, namun hendaknya ia mengerjakan shalat dhuhur tersebut secara tersembunyi dan diam-diam agar tidak dituduh orang sengaja meninggalkan shalat jumat. Demikian juga oarang yang tidak berpuasa karena uzur, agar tidak makan dihadapan orang yang tidak mengetahui uzurnya, sehingga ia terhindr dari fitnah. Akan tetapi, golongan ulama Zahiriyyah terutama Ibnu Hazm, menolak sama sekali Sadd adz-dzari’ah, artinya ia bukanlah hujjah syar’iyyah.
Secara global, sikap pandang para ulama terhadap posisi Sadd adz dzari’ah, dapat dibedakan menjadi dua kubu, yaitu kubu penerima dan kubu penolak. Adapun kubu penerima mengemukakan argumentasinya sebagai berikut :
a.    Di dalam QS. Al Baqarah (2) : 104, dinyatakan bahwa orang mukmin dilarang mengucapkan kata “ra’ina” yakni suatu ucapan yang biasa digunakan oleh orang Yahudi untuk mengejek Nabi Muhammad SAW. Larangan ini didasarkan atas keyakinan bahwa pengucapan kata itu akan membawa kepada mafsadah yakni tindakan mencela Nabi Muhammad SAW. Pesan ayat ini mengisyaratkan urgensi Sadd adz dzari’ah.
b.    Di dalam Hadits Nabi mengatakan :“Beralihlah dari hal yang meragukan kepada hal yang tidak meragukan” (HR. Al Nasa’i, al- Turmudzi dan al Hakim)
Sedangkan pada kubu penolak mengemukakan argumentasi sebagai berikut :
a.       Aplikasi Sadd al-Dzari’ah  sebagai dalil penetapan hukum ijtihadiy, merupakan bentuk ijtihad bi al ra’yi yang tercela
b.      Penetapan hukum kehalalan atau keharaman ssuatu harus didasarkan atas dalil qat’i, tidak bisa dengan dalil zanni,i, sedangkan penetapan hukum atas dasar Sadd al-Dzari’ah merupakan satu bentuk penetapan hukum berdasarkan dalil zanniy. Sehubungan dengan ini, Allah berfirman dalam Surat Al Najm (53): 28 :
وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“sesungguhnya, zanni itu tidak memadai bagi kebenaran sedikitpun”[21]
F.       Kesimpulan
Dari penjelasan terkait penetapan hukum “’urf, Madzab Shahabi, Syar’u Man Qablana dan Saddudzara’i” dapat disimpulkan sebagaimana berikut : Menurut bahasa, kata ‘urf berarti mengenal. Sedangkan secara etimologi, ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal manusia dan menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.‘Urf juga disebut dengan adat. Macam-macam ‘urf dapat di bagi menjadi tiga, diantaranya dari segi materi, ruang lingkup penggunaannya dan dari segi penilaian baik dan buruk. Menurut Al Syuyuti ada perbenturan yang terjadi di dalam ‘urf dan berhubungan dengan syara’, beberapa diantaranya perbenturan ‘urf yang berhubungan dengan materi hukum dan perbenturan ‘urf yang tidak berhubungan dengan materi hukum. Sedangkan hukum dari penetapan ‘urf adalah ‘urf yang shohih itu wajib dipelihara dengan baik, sedangkan hukum dari ‘urf yang fasid itu tidak wajib dipelihara.
Sedangkan, Madzab sahabi atau disebut dengan qoul shahabi merupakan segala peristiwa atau kejadian yang muncul dalam masyarakat langsung ditanyakan sahabat kepada beliau dan diselesaikan oleh beliau dengan baik. Ada tiga unsur di dalam madzab shahabi, diantaranya yaitu hasil ijtihadnya sendiri, yang menyampaikan adalah yang berkualitas sebagai sahabat Nabi, dan disampaikan secara perseorangan. Para ulama’ menempatkan kedudukan dari madzab shahabi ini sebagai ijma’ ulama dalam bentuk sukuti.
Berbeda halnya dengan Syar’u Man Qablana yang merupakan hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para nabi dan Rasul terdahulu yang menjadikan beban bagi umat terdahulu. Hukum dari Syar’u Man Qablana ini adalah jika Al qur’an atau sunnah yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyari’atkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syari’at tersebut ditujukan kepada kita namun, jika sebaliknya maka syari’at ini tidak berlaku pada kita (umat Nabi Muhammad SAW). Kehujjahan dari syar’u man qablana ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ terkait penerimaan maupun penolakan, seperti ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk ketiga tersebut tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad SAW) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama’ Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam Al qur’an dan Hadits meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad SAW. selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk Umat Nabi Muhammad SAW.
Pembahasan yang terakhir adalah terkait Saddudzara’i yang berarti perbuatan yang dilakuakan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan. Kedudukan dari Saddudzara’i ini para Ulama’ berbeda pendapat mengenai Sadd Al Dzari’ah. Imam Malik dan Ahmad Hambal menjadikan Adz-Dzari’ah sebagai hujjah syar’iyyah. Sedangkan Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah terkadang menjadikan Adz-Dzari’ah sebagai dalil, tetapi pada waktu yang lain menolaknya sebagai dalil.







DAFTAR PUSTAKA

Asmawi.2007.Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah
Dahlan, Abd. Rahman.2013.Ushul Fiqih.Jakarta: Amzah
Djalil,A.Basiq.2010.Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua.Jakarta:Kencana
Djazuli dan Nurol Aen.2000.Ushul Fiqh Metodologi.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Effendi,Satria.2011.Ushul Fiqih.Jakarta:Grafindo Persada
Koto,Alaiddin.2006.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.Jakarta:PT Grafindo Persada
Syarifuddin,Amir.2012.Garis-garis Besar Ushul Fiqh.Jakarta: Kencana
Syarifuddin,Amir.2014.Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana
Syafe’i,Rahmat.2010.Ilmu Ushul Fiqih.Bandung:CV Pustaka Setia
Syafe’i,Rahmat.2015.Ilmu Ushul Fiqih.Bandung:CV Pustaka Setia
Tharaba,Fahim.2016.Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’i. Malang: CV Dream Litera Buana
Wahhab Khallaf,Abdul.2014.Ilmu Ushul Fiqih.Semarang:Dina Utama
Ibrahim,Sidik,Maret 2006,”Aspek Hukum ‘Urf dalam Bermuamalah”. Jurnal Hunafa Volume 3, No. 1


Catatan:
1.      Berikan contoh produk madzhab shahabat.
2.      Perujukan dalam data yang ditulis hendaknya dihapuskan.


[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), hal.410
[2] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri. (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2014), hal. 148
[3] Alaidin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2006),hal.110
[4] Op,Chit., Amir Syarifuddin, hal. 413-416
[5] Ibid, hal. 420-421
[6] Op, Chit., Abdul Wahhab Khallaf, hal. 149
[7] Ibrahim, Sidik, Maret 2006, “Aspek Hukum ‘Urf dalam Bermuamalah”. Jurnal Hunafa Volume 3, No. 1.hal.4
[8] Op. Chit.Amir Syarifuddin, hal. 151-152
[9] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul  Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hal.75
x[10] M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i, (Malang: CV Dream Lkitera Buana, 2016), hal.153
[11] Op, Chit., Amir Syarifuddin, 2012, hal. 75-76
[12] Djazuli dan Nurol Aen,Ushul Fiqh Metodologi,(Jakarta:PT Grafindo Persada,2000),hal.212-213
[13] Op, Chit., Amir Syarifuddin, 2014, hal. 441
[14] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal. 143-145)
[15] Op, Chit., Amir Syarifuddin, 2014, hal. 442-446
[16] Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah, 2013), hal.236-237
[17] Satria Effendi,Ushul Fiqih,(Jakarta:Grafindo Persada,2011), hal.172
[18] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2010), hal. 165-166
[19] Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,terj.Maman Abd. Djaliel.(Bandung:Pustaka Setia,2015), hal.132
[20] Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta : Grafindo Persada,2011), hal.173-174
[21] Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta : Amzah, 2007), hal. 143-146

Tidak ada komentar:

Posting Komentar