‘URF,
SADDUDZARA’I, MADZAB SAHABAT DAN SAR’U MAN QABLANA
Lia Eliana
Hidayati, Rokhmah, M. Arif Rachman
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam
Kelas C Angkatan 2014
Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang
e-mail: liaelianahidayati@gmail.com
Abstract
This journal will explain about some of the Islamic laws that are
not agreed by some scholars. Basically all that is contained in the Qur'an and
Sunnah already includes information of various problems that exist in the world
even until the coming of the Hour. However, limited human ability to interpret
and the emergence of differences of interpretation of the opinion of the
Fuqohalah which makes the Islamic texts into various forms. Of agreed to
disagreement by some groups. It was agreed that means the majority of Ulama
'have agreed to the use of these laws. While that is not agreed upon is only a
few scholars who have agreed to these laws.
Some of them are Urf, Saddudzara'i, Madzab Shahabat and Sar'u
Man Qablana.
Abstrak
Jurnal
ini akan menjelaskan mengenai beberapa hukum-hukum Islam yang tidak disepakati
oleh beberapa ulama’. Pada dasarnya semua yang terkandung dalam al-Qur’an dan
Sunnah sudah mencakup informasi-informasi berbagai permasalahan yang ada di
dunia bahkan hingga datangnya hari kiamat. Namun keterbatasan kemampuan manusia
dalam menafsirkan dan munculnya perbedaan-perbedaan penafsiran dari pendapat
para Fuqohalah yang membuat sumber hukum Islam menjadi beragam bentuk. Dari
yang disepakati hingga yang tidak disepakati oleh beberapa golongan. Disepakati
artinya mayoritas Ulama’ sepakat akan penggunaan sumber hukum tersebut.
Sedangkan yang tidak disepakati adalah hanya beberapa ulama’ saja yang sepakat
akan sumber hukum tersebut. Beberapa diantaranya adalah Urf, Saddudzara’i,
Madzhab shahabat dan Sar’u Man Qablana.
Keyword
: Sumber hukum Islam yang tidak disepakati, Urf, Saddudzara’i,
Madzhab shahabat, Sar’u Man qablana
A.
Pendahuluan
Agama Islam
merupakan agama yang indah, damai, mudah serta tidak mempersempit bagi para
pengikutnya. Dalam mengantarkan kepada kedamaian umat islam, maka di dalam
agama islam ini terdapat berbagai macam
pendapat (madzab) dalam menyelesaikan suatu masalah baik masalah yang ada dari
dahulu kala maupun masalah yang muncul di era modern ini yang bertujuan untuk
mewujudkan kemashlahatan umat manusia. Dalam penetapan hukum islam terkait
masalah yang ada memang terjadi berbagai kontrofersi antara pro dan kontra dikalangan
ulama’ terkait penetapan hukum yang berhubungan dengan adat yang telah
membudaya dikalangan masyarakat, kemashlahatan yang disalah gunakan sehingga
berakhir pada kerusakan, syari’at yang telah ada sebelum umat islam, dan adanya
madzab sahabi. Namun, hal ini tidak menjadikan islam lemah, karena berbagai
pendapat diantara ulama terkait penerimaan atau penolakan hukum yang sudah
ditetapkan dari berbagai kalangan ulama’ dan berbagai pendapat yang berbeda
justru menjadikan agama islam semakin berkembang dan menegaskan bahwa agama
islam dapat menjadikan rahmat bagi umat manusia. Beberapa diantara penetapan
hukum islam yang terjadi pro dan kontra dikalangan ulama’ adalah ‘Urf,
Saddudzara’I, Madzhab Shahabat dan Sar’u Man Qablana. Maka dari itu,
di dalam jurnal ini kami akan menjelaskan terkait pengertian, macam-macam dari
hukum yang terkait, kehujjahan hukum dan alasan berbagai ulama’ terkait
penerimaan maupun penolakan atas hukum tersebut.
B.
’Urf
1.
Pengertian
’Urf
Secara bahasa,
kata ‘urf berasal dari kata ‘arafa - ya’rifu (عرف – يعرف ) yang
berarti mengenl atau sering diartikan dengan “al-ma’ruf” yang berarti
sesuatu yang dikenal.[1] Sedangkan
secara etimologi, ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal manusia dan menjadi
tradisi mereka, baik berupa perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan
meninggalkan perbuatan tertentu.‘Urf juga disebut dengan adat. Sedangkan
menurut istilah para ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat kebiasaan. ‘Urf yang bersifat
perbuatan seperti jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dan dengan
cara memberikan namun tanpa ada shighat lafzhiyyah (ungkapan melalui
perkataan). Sedangkan ‘urf yang bersifat perkataan, misalnya pemutlakan
lafal “al-walad” yang berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan, juga
pemutlakan lafal “al-lahm” (daging) yang digunakan untuk daging ikan.[2]’Urf
berbeda dengan ijma’sebab
‘Urf dibentuk dari kebiasaan orang-orang yang berbeda tingkat intelektualnya,
sedangkan ijma’ dibentuk dari persesuaian pendapat khusus dari para ahli
mujtahid.[3]
2.
Macam-macam
‘Urf
Penggolongan
macam-macam ’urf itu dapat dilihat dari beberapa segi :
1.
Ditinjau dari
segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ’urf itu ada dua macam:
a.’Urf
Qouli ( عرف قولي) , yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau
ucapan. Kata waladun ( ولد) secara etimologi artinya “anak” yang
digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan.
Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini
khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan (mu’annats). Penggunaan
kata walad itu untuk laki-laki dan perempuan, (mengenai waris/harta
pustaka) berlaku juga dalam Al Qur’an, seperti dalam surat an-nisa’ (4) :
11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang disebutkan
secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Kata lahm
( لحم) artinya adalah “daging”, baik daging sapi, ikan atau hewan lainnya.
Pengertian umum lahmun yang
juga mencakup daging ikan ini terdapat
dalam Al Qur’an, surat an Nahl (16) : 14 :
وهو الذي سخر البحر لتأ كلوا منه لحما طريا
“Allah
yang memudahkan laut untukmu supaya kamu dapat memakan ikannya yang segar...”
Namun dalam
adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di kalangan orang Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “íkan”.
Karena itu, jika seseorang bersumpah, “Demi Allah saya tidak akan memakan
daging,” tetapi ternyata kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut adat
masyarakat Arab, orang tersebut tidak melanggar sumpah.
b.’Urf
fi’li ( عرف فع), yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Misalnya, kebiasaan
saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa addanya ucapan meminta dan
memberi, tidak dianggap mencuri.
2. Dari segi ruang lingkup penggunaannya, ‘urf terbagi
menjadi dua diantaranya :
a. ‘Urf
Umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku berlaku dimana -mana, hampir di
seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama. Seperti
mengganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak
atau menidakkan. Kalau ada orang berbuat kebalikan itu, maka dianggap aneh.
b. ‘Urf
Khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu atau
pada waktu tertentu, tidak berlaku disemua tempat dan di sembarang waktu.
Seperti ‘adat menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan
(matrilineal) di Minangkabau dan melalui bapak (patrilineal) dikalangan suku
Batak.
3. Dari segi penilaian baik dan buruk, ‘urf dibagi menjadi dua diantaranya :
a. ‘Urf Shahih,
yaitu ‘adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh banyak orang, tidak
bertentangan dengan agama, shopan santun dan budaya yang luhur. Misalnya
memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu,
mengadakan acara halal bihalal (silaturrahim) saat hari raya, memberi
hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.
b. ‘Urf Fasid,
yaitu ‘adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun
bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan shopan santun. Misalnya
berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman
haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir,”kumpul kebo” (hidup
bersama tanpa nikah).[4]
3.
Perbenturan
dalam ‘Urf
Bentuk-bentuk
perbenturan dalam ‘urf diuraikan al-Suyuthi (dalam bahasan tentang
kaidah al-‘adah muhakkamah, salah satunya adalah perbenturan ‘urf
dengan syara’. Yang dimaksud perbenturan (pertentangan) antara ‘urf dengan
syara’ disini adalah perbedaan dalam hal penggunan suatu ucapan ditinjau dari
segi ‘urf dan dari segi syara’. Hal ini pun dipisahkan pada perbenturan
yang berkaitan dengan hukum dan yang tidak berkaitan dengan hukum.
1.
Apabila
perbenturan ‘urf dengan syara’ itu tidak berkaitan dengan materi hukum,
maka didahulukan ‘urf. Seperti :
a.
Jika seseorang
bersumpah tidak akan memakan daging, tetapi ternyata kemudian dia memakan ikan,
maka ditetapkanlah bahwa dia tidak melanggar sumpah. Menurut ‘urf , ikan
itu tidak termasuk daging, sedangkan dalam arti syara’ ikan itu termasuk
daging, sedangkan dalam arti syara’ ikan itu termasuk daging seperti tercantum
dalam al qur’an. Dalam hal ini, pengertian ‘urf yang dipakai dan
ditinggalkan pengertian menurut syara’.
b.
Apabila
seseorang bersumpah bahwa ia tidak akan duduk di bawah atap, tetapi ternyata
kemudian dia duduk di bawah langit, maka dinyatakan dia tidak melanggar sumpah
dengan ucapannya itu, padahal dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa langit itu
adalah atap, tetapi dalam pengertian ‘urf , langit itu bukanlah atap.
Dengan demikian, maka di dahulukan pengertian ‘urf bila dia bertentangan
dengan pengertian syara’.
2.
Apabila
perbenturan ‘urf dengan syara’ dalam hal yang berhubungan dengan materi
hukum, maka didahulukan syara’ atas ‘urf.
Seperti halnya
apabila seseorang berwasiat untuk kerabatnya, apakah termasuk dalam pengertian
kerabat itu ahli waris atau tidak. Berdasarkan pandangan syara’ ahli waris itu
tidak termasuk kepada ahli yang boleh menerima wasiat oleh karenanya dia tidak
lagi termasuk dalam pengertian kerabat yang dimaksud disini. Dalam pengertian ‘urf
kerabat itu adalah orang yang berhubungan darah, baik dia ahli waris atau
tidak. Dalam hal ini ditetapkan bahwa pengertian kerabat yang diucapkan dalam
wasiat itu tidak termasuk ahli waris. Dengan demikian, disini pengertian secara
syara’ yang dipakai.[5]
4.
Hukum
‘Urf
Hukum
‘urf yang shahih, maka wajib dipelihara baik dalam pembentukan hukum atau dalam
peradilan. Seorang mujtahid harus memperhatikan tradisi dalam pembentukan
hukumnya. Seorang hakim juga harus memperhatikan ‘urf yang berlaku dalam
peradilannya. Karena sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan telah biasa
dijalani, maka hal itu termasuk bagian dari kebutuhan mereka, menjadi
kesepakatan serta dianggap sebagai kemaslahatan. Jadi, selama tidak
bertentangan dengan syara’, maka wajib diperhatikan. Syari’ telah memelihara
tradisi bangsa Arab dalam pembentukan hukumnya, misalnya kewajiban diyat
(denda) terhadap wanita berakal, kriteria kafaah (sepadan) dalam perkawinan dan
hitungan ‘ashabah dalam pembagian harta waris. Oleh karena itulah, maka ulama’
berkata :
العادة شريعة محكمة
“Adat
merupakan syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum”[6]
Adapun alasan
pengambilan urf tersebut
sebagai dalil hukum ialah:
a.
Syariat Islam
dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan (urf) yang berlaku pada
bangsa Arab, seperti syarat "seimbang" (kafa'ah) dalam perkawinan dan
urutan-urutan perwalian dalam nikah dan warisan serta harta pusaka atas dasar asabah
(pertalian dan susunan keluarga).
b.
Apa yang
dibiasakan orang, baik kata-kata maupun perbuatan menjadi pedoman hidup mereka
yang dibutuhkan (Hanafi, 146).[7]
Adapun ‘urf
yang fasid (adat kebiasaan yang rusak), maka tidak wajib diperhatikan atau
dipelihara, karena menjadikannya sebagai suatu hukum berarti bertentangan
dengan dalil syar’i atau membatalkan hukum syar’i. Apabila manusia terbiasa
mengadakan salah satu perjanjian (akad) yang fasid, seperti perjanjian yang
bersifat riba, penipuan atau mengandung unsur bahaya, maka akad-akad tersebut
tidak bisa dipakai sebagai sebagai ‘urf. Oleh karena itu, dalam
penetapan undang-undang, ‘urf yang bertentangan dengan peraturan atau
ketentuan umum tidak diakui.
Hukum yang
didasarkan atas ‘urf dapat berubah berdasarkan perubahan masa dan
tempat. Karena hukum cabang akan berubah sebab perubahan hukum pokoknya. Oleh
karena inilah, dalam perbedaan pendapat semacam ini, fuqoha’ mengatakan:”sesungguhnya
perbedaan tersebut adalah perbedaan masa dan zaman, bukan perbedaan hujjah dan
dalil.” Pada hakikatnya ‘urf bukan merupakan suatu dalil syar’i yang
berdiri sendiri. Pada umumnya ‘urf hanya didasarkan pada pemeliharaan mashlahahmursalah.
‘Urf sebagaimana bisa ditetapkan sebagai hukum syara’, ia juga harus
dijaga dalam menginterpretasikan nash-nash Al Qur’an. Dari itu,‘urf
dapat digunakan untuk mentakhshiskan lafal yang ‘amm (umum) dan
membatasi hukum yang mutlak, Qiyas juga terkadang ditinggalkan karena
berlakunya ‘urf. Oleh karena itulah, perjanjian produksi itu sah, karena
berlakunya ‘urf. Jika diqiyaskan, tentu tidak sah, karena merupakan perjanjian
atas sesuatu yang tidak ada.[8]
C.
Madzab
Sahabat
1.
Pengertian
Madzab sahabi atau disebut juga qaul sahabi atau qaul
sahabat atau fatwa sahabat menurut definisi yang diberikan oleh ahli ushul
adalah:
فتوى الصحابة
بإنفراده
“Fatwa
seorang sahabat Nabi secara perseorangan”[9]
Dalam referensi lain juga dikatakan bahwa madzab sahabi merupakan
segala peristiwa atau kejadian yang muncul dalam masyarakat langsung ditanyakan
sahabat kepada beliau dan diselesaikan oleh beliau dengan baik.[10]
2.
Unsur-unsur
Madzab Sahabi
Dari definisi tersebut terdapat tiga unsur pada mazhab sahabi
itu :
1.
Apa yang
disampaikan itu adalah fatwa yaitu hasil ijtihadnya sendiri, bukan pesan yang
diterimanya dari Nabi.
2.
Yang
menyampaikan adalah seorang yang berkualitas sahabat Nabi yaitu orang yang
menyertai kehidupan Nabi dalam waktu yang panjang, pernah menerima Hadits Nabi
dan menyampaikan Hadits itu kepada orang lain.
3.
Pendapat
tentang hukum syara’ itu disampaikannya secara perseorangan dimana sahabat lain
menyampaikan fatwa yang berbeda dengan itu.
3.
Kedudukan
Madzab Sahabi sebagai Dalil Hukum Syara’
Kalau yang
disampaikan sahabat itu secara pribadi tidak disertai oleh pendapat lain yang
berbeda dengan itu, diterima ulama’ ushul sebagai dalil syara’ dan ditempatkan
sebagai ijma’ ulama dalam bentuk sukuti, namun kalau pendapat itu mendapat
tandingan dari sahabat lain, sulit menempatkannya sebagai dalil hukum. Karena
hukum syara’itu hanya satu. Oleh karena itu, kedudukannya sebagai dalil
hukumnya syara’ menjadi perbedaan di kalangan ulama, kebanyakan ulama tidak
menempatkannya sebagai dalil. Meskipun demikian, sebagian ulama mengambilnya
sebagai pertimbangan waktu menetapkan hukum atau sebagai penguat atas suatu
dalil yang digunakan dalam menetapkan hukum.[11]
Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in
menyatakan 43 alasan (juz 4:148) yang mewajibkan mengikuti madzab shahabi
yang akhirnyabeliau berkata bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari 6 bentuk :
1. Fatwa yang di dengar sahabat dari
Nabi
2. Fatwa yang didasarkan dari orang
yang mendengar dari Nabi
3. Fatwa yang didasarkan atas
pemahamannya terhadap Al qur’an yang agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita
4. Fatwa yang disepakati oleh tokoh
sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat
5. Fatwa yang didasarkan kepada
kesempurnaan ilmunyabaik bahasa maupun tingkahlakunya, kesempurnaan ilmunya
tentang keadaan Nabi dan maksudnya kelima hal ini adalah hujjah yang wajib
diikuti.
6. Fatwa yang berdasarkan pemahaman
yang tidak datang dari Nabi dari salah pemahamannya, maka hal ini tidak jadi
hujjah.[12]
D.
Sar’u
Man Qablana
1.
Pengertian
Syar’u Man Qablana
Pembicaraan
ulama’ tentang kemungkinan Nabi Muhammad SAW. mengikuti syariat sebelumnya
setelah beliau menerima risalah seperti di jelaskan di atas, berkembang pada
pembicaraan tentang apa sebenarnya yang disebut syari’at sebelum kita itu.
Dimana hal itu dapat ditemukan dan apakah umat Islam wajib mengikutinya ?
Para Ulama’
menjelaskan bahwa syari’at sebelum kita atau syar’u man qablana ialah
hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh
para nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat
sebelum adanya syari’at Nabi Muhammad SAW.[13]
2.
Hukum
Syari’at Sebelum Kita
Jika Al Qur’an
atau sunnah yang shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyari’atkan pada
umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan
kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi
bahwa syari’at tersebut ditujukan kepada kita. Dengan kata lain, wajib untuk
diikuti, seperti firman Allah SWT. dalam surat Al Baqarah : 183
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman telah diwajibkan pada kamu semua berpuasa sebagaimana
diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu”. (Al Baqarah :
183)
Sebaliknya,
bila dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan kepada orang-orang
terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama’ sepakat bahwa hukum
tersebut tidak disyari’atkan kepada kita, seperti syari’at Nabi Musa AS. Bahwa
seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan
membunuh dirinya, dan jika ada najis yang menempel pada tubuh, tidak akan suci
kecuali dengan memotong anggota badan tersebut dan lain sebagainya.
3.
Pendapat
Para Ulama’ Tentang Syari’at Sebelum Kita
Telah
diterangkan di atas bahwa syari’at terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa
penetapan atau penghapusan telah disepakati para ulama’. Namun, yang
diperselisihkan adalah apabila pada syari’at terdahulu tidak terdapat dalil
yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan pada
mereka. Seperti firman Allah SWT, dalam surat Al Maidah ayat : 32
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ
كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ
أَوْ فَسَادٍ فِي الأرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
Artinya :
“Oleh karena itu, kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil
bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh
orang lain) atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi maka seakan-akan
dia telah membunuh seluruh manusia.” ( QS. Al Maidah
:32 )
Jumhur Ulama’
Hanafiyah, sebagian Ulama’ Malikiah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum
tersebut disyari’atkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan
menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak
terdapat hukum yang menasahnya. Alasannya, mereka menganggap bahwa hal itu
termasuk diantara hukum-hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para
Rosul-Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orang Mukallaf wajib
mengikutinya. Lebih jauh, Ulama’ Hanafiyah mengambil dalil bahwa yang dinamakan
pembunuhan itu adalah umum dan tidak memandang apakah yang dibunuh itu muslim
atau kafir dzimmi, laki-laki ataupun perempuan, berdasarkan kemutlakan firman
Allah SWT.
Sebagian Ulama’
mengatakan bahwaa syaria’t kita itu menasakh atau menghapus syari’at terdahulu,
kecuali apabila dalam syariat terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun,
pendapat yang benar adalah pendapat pertama karena syari’at kita hanya menasakh
syari’at terdahulu yang bertentangan dengan syari’at kita saja.[14]
4.
Pengelompokan
Syar’u Man Qablana
Syari’at
sebelum kita dapat dibagi ke dalam tiga kelompok :
1.
Syariat
terdahulu yang terdapat dalam Al qur’an atau penjelasan Nabi yang disyari’atkan
untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Al qur’an atau
Hadits Nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi
umat Nabi Muhammad. Seperti Firman Allah
SWT. dalam surat Al An’am (6) : 146 :
وَعَلَى
الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ
حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا
“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap (binatang) yang punya
kuku dan dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya.”
Ayat ini
mengisahkan apa yang diharamkan Allah SWT. untuk orang Yahudi dahulu. Kemudian
dijelaskan pula dalam Al qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat
Nabi Muhammad SAW. sebagaimana disebutkan dalam surat al An’am (6) : 145 :
قُلْ لَا أَجِدُ
فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ
“Katakanlah aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku
sesuatu yang haram terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai atau darah yang
mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah..”
Sedangkan di
dalam Hadits Nabi mengatakan bahwa :
“Dihalalkan
untukmu harta rampasan yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku.”
Hadits Nabi ini menjelaskan bahwa
ghanimah (harta rampasan) itu tidak halal untuk umat terdahulu, namun kemudian
dihalalkan untuk umat Nabi Muhammad SAW. Ulama’ telah sepakat menyatakan bahwa
syari’at terdahulu yang dalam bentu ini (yang telah di nashkan) tidak berlaku
untuk umat Nabi Muhammad SAW.
2.
Hukum-hukum
dijelaskan dalam Al qur’an maupun Hadits Nabi disyari’atkan untuk umat
sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan
berlaku untuk selanjutnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat al baqarah (2) :
183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas
umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa.”
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa
puasa disyari’atkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi
Muhammad. Contohnya dalam Hadits Nabi tentang berkurban yang dijelaskan
disyari’atkan untuk Nabi Ibrahim, juga disyari’atkan untuk umat Nabi Muhammad
SAW. Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi yang mengatakan bahwa : “Berkurbanlah
karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu , Ibrahim.”
Hukum-hukum dalam bentuk ini berlaku
untuk umat Nabi Muhammad SAW. Hal ini
telah disepakati oleh semua ulama’. Pemberlakuan hukum untuk umat Nabi Muhammad
SAW bukan karena ia adalah “syara’ sebelum kita” yang harus berlaku
untuk kita, tetapi karena kewajiban tersebut ditetapkan pemberlakuannya untuk
kita dalam Al qur’an atau Hadits Nabi.
3.
Hukum-hukum
yang disebutkan dalam Al qur’an atau Hadits Nabi, dijelaskan berlaku untuk umat
sebelum Nabi Muhammad SAW, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk
kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakhkan.
Dari ketiga
kelompok syari’at sebelum kita, bentuk pertama sudah jelas kedudukannya yaitu
tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad SAW. Demikian juga dengan bentuk
kedua yang disepakati telah menjadi hukum islam. Bentuk ketiga inilah
sebenarnya yang disebut “syariat sebelum kita” yang menjadi bahan kajian ulama
ushul pada waktu membicarakan dalil-dalil syara’ atau metode ijtihad.
Pembahasan
tentang “syariat sebelum kita “ ini muncul karena disatu sisi ia terdapat dalam Al qur’an yang tentu dengan
sendirinya mengikat untuk Umat Nabi Muhammad SAW. Ayat Al qur’an dalam hal ini
mengisahkan tentang isi sebuah kitab suci terdahulu yang menetapkan hukum bagi
umatnya. Seperti firman Allah SWT. dalam surat al maidah (5) : 45:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ
“Kami telah tetapkan terhadap mereka (kaum Yahudi) di dalamnya
(kitab Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa: mata dengan mata...” (QS.Al
Maidah : 45)
Ayat ini
mengisahkan hukum yang berlaku pada orang Yahudi di masa dahulu kala.
5.
Kehujahan
Syar’u Man Qablana
Para ulama
berbeda pendapat mengenai apakah syariat
sebelum kita itu menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad
SAW. Pendapat mereka adalah sebagai berikut :
1.
Jumhur ulama’
Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam
Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebelum kita
dalam bentuk ketiga tersebut tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad SAW)
selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi Muhammad SAW. Alasannya
adalah bahwa syari’at sebelum kita itu berlaku secara umum. Lain halnya
syari’at yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang berlaku secara
umum dan menasakh syari’at sebelumnya.
2.
Sebagian
sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama’ Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang
disebutkan dalam Al qur’an dan Hadits meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi
Muhammad SAW. selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula
untuk Umat Nabi Muhammad SAW. Dari sinilah muncul kaidah :
شرع من قبلنا
شرع لنا
“syariat untuk umat sebelum kita berlaku untuk syari’at kita
Surat an Nahl (16) : 123 :
ثُمَّ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama nabi ibrahim
yang lurus”
Sehubungan dengan
pendapat tersebut, ulama Hanafiyah memberlakukan hukum qisash yang seimbang
sebagimana sebagaimana tersebut dalam surat al Maidah (5) : 45, bagi umat
Islam, meskipun ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi. Berdasarkan
pendapat ini, orang muslim yang membunuh kafir dzimmi (yang dalam perlindungan)
dikenai qishas sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang Islam. Sedangkan
kalangan ulama’ Syafi’iyah yang tidak memberlakukan syari’at umat Yahudi itu
untuk umat Islam memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada keseimbangan
dalam pelaksanaan qishash antara muslim dan non muslim sebagaimana yang
diberlakukan terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim membunuh
kafir dzimmi yang membunuh orang islam, maka diberlakukan qisash.
Sebenarnya
perbedaan pendapat dalam soal qishash itu tidak semata disebabkan oleh
perbedaan pendapat dalam hal pemberlakuan syari’at sebelum kita tersebut,
tetapi ada beberapa faktor pertimbangan lainnya. Meskipun dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat, namun yang berpendapat bahwa syari’at sebelum kita
itu dapat menjadi syari’at kita (umat Muhammad SAW) adalah bukan karena ia
adalah syari’at sebelum kita tetapi karena ia terdapat dalam Al qur’an dan
Sunnah Nabi yang harus dijadikan pedoman. Dengan demikian, kedudukannya sebagai
salah satu sumber hukum Islam tidaklah berdiri sendiri.[15]
E.
Saddudzara’i
atau Sadd Adz-Dzari’ah
1.
Latar
Belakang
Sadd
adz-Dzari’ah merupakan cabang dari Adz-Dzari’ah. Dalam
segi bahasa, adz-dzari’ah (jamak : adz-zara’i) berarti media yang
menyampaikan kepada sesuatu. Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, yang
dimaksud adz-dzari’ah adalah sesuatu yang merupakan media dan jalan
untuk sampai kepada sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’, baik yang halal
maupun yang haram (yang dibenarkan atau terlarang) dan yang menuju ketaatan
atau kemaksiatan. Oleh karena itu, dalam kajian ushul fiqh, adz-dzari’ah dibagi
menjadi dua yaitu Sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah.
Meskipun adz-dzari’ah dapat berarti sadd adz-dzari’ah dan fath
adz-dzari’ah, namun dikalangan ulama ushul fiqh, jika kata adz-dzariah
disebut secara sendiri, tidak dalam bentuk kalimat majemuk, maka kata itu
selalu digunakan untuk menunjukkan pengertian sadd adz-dzari’ah.
Sadd
adz-dzara’i (makna umum : menutup jalan) adalah mencegah sesuatu perbuatan agar
tidak sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan
menimbulkan mafsaddah. Pencegahan terhadap mafsadah dilakukan
karena ia bersifat terlarang. Sebagai contohnya, pada dasarnya menjual anggur
adalah mubah (boleh), karena anggur adalah buah-buahan yang yang halal dimakan.
Akan tetapi jika menjual anggur kepada orang yang mengolahnya menjadi muniman
keras menjadi terlarang. Perbuatan terlarang, karena akan menimbulkan mafsadah.
Larangan tersebut untuk mencegah agar orang jangan membuat minuman keras, dan
agar orang terhindar dari meminum minuman yang memabukan, dimana keduanya
merupakan mafsadah.
Sedangkan,
Fath adz-dzari’ah (makna generik : membuka jalan) adalah kebalikan dari Sadd
adz-dzari’ah yaitu, menganjurkan media atau jalan yang menyampaikan kepada
sesuatu yang dapat menimbulkan al-maslahah (manfaat atau kebaikan), jika
ia akan menghasilkan kebaikan. Penggunaan media akan melahirkan kemaslahatan
harus didorong dan dianjurkan, karena menghasilkan kemaslahatan adalah sesuatu
yang diperintahkan dalam Islam. Contohnya, dianjurkan membangun industri
tekstil, karena hal itu akan menghasilkan kebaikan, yaitu berguna membantu
orang menutup aurat.[16]
2.
Pengertian
Sadd adz-Dzari’ah
Kata
sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata adz-dzari’ah
berarti “wasilah” atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd
adz-dzari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”.
Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, sadd adz-dzari’ah
berarti :
انه من باب منع الوسا ئل المؤديةإلى الفا سد
“Menutup
jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan”.[17]
Sedangkan
Saddu Adz-Dzara’i atau Dzari’ah yang dimaksudkan dalam Ilmu Ushul
Fiqih adalah :
هي المسئلة التى ظاهرها الاباحة ويتوصل بها الى فعل المحظور
“satu
masalah yang tampaknya mubah, tetapi (kemungkinan) bisa menyampaikan kepada
perkara yang terlarang”
Sebagai contoh
misalnya, masalah berteman dengan orang jahat. Ada dua kemungkinan yang bisa
terjadi. Pertama, orang-orang jahat tersebut akan menjadi orang baik
karena berteman dengan kita. tetapi kedua, sebaliknya mungkin pula
terjadi bahwa kita akan menjadi orang jahat akibat persahabatan itu, sedang
masalah bersahabat adalah mubah hukumnya.[18]
Lain
halnya dengan Imam Asy Syatibi, menurut beliau Saddu adz-dzara’i adalah
التَّوَصُّلُ بِمَا هُوَمَصْلَحَةٌ اِلَى مَفْسَدَة
“Melaksanakan
suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada kerusakan
(kemafsadatan).” (Asy-Syatibi, IV : 198)
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd adz-dzarai’ah
adalah perbuatan yang dilakuakan seseorang yang sebelumnya mengandung
kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan. Contohnya, seseorang
yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia
menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban
zakat.[19]
3.
Pembagian
Perbuatan-perbuatan yang menjadi wasilah kepada kebinasaan
Perbuatan-perbuatan
yang menjadi wasilah kepada kebinasaan menurut Abdul Karim Zaidan, terbagi
kepada dua macam :
1)
Perbuatan yang
keharamannya bukan saja karena ia sebagai wasilah bagi sesuatu yang diharamkan,
tetapi esensi perbuatan itu sendiri adalah haram. Oleh karena itu, keharaman
perbuatan seperti itu bukan termasuk ke dalam kajian Sadd adz-dzari’ah.
2)
Perbuatan yang
secara esensial diperbolehkan (mubah), namun perbuatan itu memungkinkan untuk
digunakan sebagai wasilah kepada sesuatu yang diharamkan. Perbuatan seperti ini
dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili terbagi kepada empat macam :
a.
Perbuatan itu
dapat dipastikan akan mengakibatkan kebinasaan. Misalnya menggali lubang di
tempat yang gelap di depan pintu gerbang tempat lalu lintas orang umum yang
dapat diastikan akan menjebak siapa yang melaluinya. Perbuatan seperti ini, menurut Wahbah
az-Zuhaili adalah perbuatan terlarang dan jika ada orang yang cedera
disebabkannya, pelakunya dapat dituntut dan diminta pertanggung jawabannya.
b.
Perbuatan itu
mengandung kemungkinan, meskipun kecil, akan membawa kepada sesuatu yang
dilarang. Misalnya, menggali sumur di tempat yang tidak biasa dilalui orang
atau menjual buah anggur kepada orang yang tidak terkenal sebagai produsen
khamr atau minuman keras. Perbuatan seperti ini, demikian dijelaskan Wahbah
az-Zuhaili, boleh dilakukan karena kemungkinan akan membawa kepada kebinasaan
sangat sedikit dibandingkan dengan manfaat yang akan dirah. Sedangkan Syariat
islam dalam menetapkan hukum selalu mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih
besar dan dalam kondisi yang demikian kemudaratan yang ringan tidak lagi
menjadi pertimbangan.
c.
Perbuatan yang
pada dasarnya adalah mubah namun kemungkinannya akan membawa kepada kebinasaan
lebih besar dibandingkan dengan kemashlahatan lebih besar dibandingkan dengan
kemaslahatan yang akan diraih. Contohnya, menjual senjata kepada musuh pada
waktu perang, menyewakan rumah kepada pihak yang dikenal bandar judi atau
kepada germo, mencaci-maki atau mengejek sesembahan orang-orang musyrik daan
menjual buah anggur kepada pihak produsen minuman keras. Perbuatan seperti itu,
sebagaimana dikemukakan Wahbah Zuhaili, dilarang sama hukumnya dengan jenis
pertama di atas, karena keras dugaan akan digunakan untuk sesuatu yang
diharamkan agama.
d.
Perbuatan yang
pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi di samping itu
dilihat kepada pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang
dilarang. Misalnya semacam akad jual beli yang mungkin digunakan sebagai upaya
mengelak dari riba, dengancara si A menjual suatu benda dengan harga satu juta
rupiah dengan cara berutang kepada si B, dan ketika itu benda tersebut dibeli
kembali oleh si A seharga delapan ratus ribu rupiah dengan cara tunai, sehingga
hasilnya dengan perantaraan jual beli arloji, pihak B mengantongi uang delapan
ratus ribu rupiah dan nanti pada waktu yang telah ditentukan harus dibayar
sejuta rupiah. Jual beli seperti ini dikenal dengan ba’i al-‘ainah.
Menurut Wahbah az-Zuhaili, para ulama sepakat tentang dilarangnya
perbuatan seperti ini jika kelihatan tanda-tanda bahwa mereka berniat untuk
melakukan riba, dan mereka berbeda pendapat dalam hal tidak kelihatan jelas
tanda-tanda bahwa maksud kedua belah pihak melakukan jual beli tersebut sebagai
helah untuk mengelak dari perbuatan riba.[20]
4.
Kedudukan
Sadd adz-Dzari’ah
Telah
dikemukakan bahwa para Ulama’ berbeda pendapat mengenai Sadd adz dzari’ah.
Imam Malik dan Ahmad Hambal menjadikan adz-dzari’ah sebagai hujjah
syar’iyyah. Sedangkan Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah terkadang menjadikan adz-dzari’ah
sebagai dalil, tetapi pada waktu yang lain menolaknya sebagai dalil. Contohnya,
Imam Syafi’i membolehkan seseorang yang karena uzur (seperti sakit dan musafir)
meninggalkan shalat jum’at dan menggantikannya dengan shalat dhuhur, namun
hendaknya ia mengerjakan shalat dhuhur tersebut secara tersembunyi dan
diam-diam agar tidak dituduh orang sengaja meninggalkan shalat jumat. Demikian
juga oarang yang tidak berpuasa karena uzur, agar tidak makan dihadapan orang
yang tidak mengetahui uzurnya, sehingga ia terhindr dari fitnah. Akan tetapi,
golongan ulama Zahiriyyah terutama Ibnu Hazm, menolak sama sekali Sadd adz-dzari’ah,
artinya ia bukanlah hujjah syar’iyyah.
Secara
global, sikap pandang para ulama terhadap posisi Sadd adz dzari’ah,
dapat dibedakan menjadi dua kubu, yaitu kubu penerima dan kubu penolak. Adapun
kubu penerima mengemukakan argumentasinya sebagai berikut :
a.
Di dalam QS. Al
Baqarah (2) : 104, dinyatakan bahwa orang mukmin dilarang mengucapkan kata “ra’ina”
yakni suatu ucapan yang biasa digunakan oleh orang Yahudi untuk mengejek Nabi
Muhammad SAW. Larangan ini didasarkan atas keyakinan bahwa pengucapan kata itu
akan membawa kepada mafsadah yakni tindakan mencela Nabi Muhammad SAW.
Pesan ayat ini mengisyaratkan urgensi Sadd adz dzari’ah.
b.
Di dalam Hadits
Nabi mengatakan :“Beralihlah dari hal yang meragukan kepada hal yang tidak
meragukan” (HR. Al Nasa’i, al- Turmudzi dan al Hakim)
Sedangkan
pada kubu penolak mengemukakan argumentasi sebagai berikut :
a.
Aplikasi Sadd
al-Dzari’ah sebagai dalil penetapan
hukum ijtihadiy, merupakan bentuk ijtihad bi al ra’yi yang
tercela
b.
Penetapan hukum
kehalalan atau keharaman ssuatu harus didasarkan atas dalil qat’i, tidak
bisa dengan dalil zanni,i, sedangkan penetapan hukum atas dasar Sadd
al-Dzari’ah merupakan satu bentuk penetapan hukum berdasarkan dalil zanniy.
Sehubungan dengan ini, Allah berfirman dalam Surat Al Najm (53): 28 :
وَإِنَّ
الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“sesungguhnya,
zanni itu tidak memadai bagi kebenaran sedikitpun”[21]
F.
Kesimpulan
Dari penjelasan
terkait penetapan hukum “’urf, Madzab Shahabi, Syar’u Man Qablana dan Saddudzara’i”
dapat disimpulkan sebagaimana berikut : Menurut bahasa, kata ‘urf berarti
mengenal. Sedangkan secara etimologi, ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal
manusia dan menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, perbuatan atau dalam
kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.‘Urf juga disebut dengan adat.
Macam-macam ‘urf dapat di bagi menjadi tiga, diantaranya dari segi materi,
ruang lingkup penggunaannya dan dari segi penilaian baik dan buruk. Menurut Al
Syuyuti ada perbenturan yang terjadi di dalam ‘urf dan berhubungan dengan
syara’, beberapa diantaranya perbenturan ‘urf yang berhubungan dengan materi
hukum dan perbenturan ‘urf yang tidak berhubungan dengan materi hukum.
Sedangkan hukum dari penetapan ‘urf adalah ‘urf yang shohih itu wajib
dipelihara dengan baik, sedangkan hukum dari ‘urf yang fasid itu tidak wajib
dipelihara.
Sedangkan, Madzab
sahabi atau disebut dengan qoul shahabi merupakan segala peristiwa atau
kejadian yang muncul dalam masyarakat langsung ditanyakan sahabat kepada beliau
dan diselesaikan oleh beliau dengan baik. Ada tiga unsur di dalam madzab
shahabi, diantaranya yaitu hasil ijtihadnya sendiri, yang menyampaikan adalah
yang berkualitas sebagai sahabat Nabi, dan disampaikan secara perseorangan.
Para ulama’ menempatkan kedudukan dari madzab shahabi ini sebagai ijma’ ulama dalam
bentuk sukuti.
Berbeda halnya
dengan Syar’u Man Qablana yang merupakan hukum-hukum yang telah
disyari’atkan untuk umat sebelum Islam yang dibawa oleh para nabi dan Rasul
terdahulu yang menjadikan beban bagi umat terdahulu. Hukum dari Syar’u Man
Qablana ini adalah jika Al qur’an atau sunnah yang shahih mengisahkan suatu
hukum yang telah disyari’atkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul,
kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan
kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syari’at tersebut ditujukan
kepada kita namun, jika sebaliknya maka syari’at ini tidak berlaku pada kita
(umat Nabi Muhammad SAW). Kehujjahan dari syar’u man qablana ini terjadi
perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ terkait penerimaan maupun penolakan,
seperti ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah
serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum
syara’ sebelum kita dalam bentuk ketiga tersebut tidak berlaku untuk kita (umat
Nabi Muhammad SAW) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama’
Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu
riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam Al qur’an dan Hadits
meskipun tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad SAW. selama tidak ada
penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk Umat Nabi Muhammad SAW.
Pembahasan yang
terakhir adalah terkait Saddudzara’i yang berarti perbuatan yang dilakuakan
seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan
suatu kerusakan. Kedudukan dari Saddudzara’i ini para Ulama’ berbeda pendapat
mengenai Sadd Al Dzari’ah. Imam Malik dan Ahmad Hambal menjadikan Adz-Dzari’ah
sebagai hujjah syar’iyyah. Sedangkan Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah terkadang
menjadikan Adz-Dzari’ah sebagai dalil, tetapi pada waktu yang lain menolaknya
sebagai dalil.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi.2007.Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah
Dahlan, Abd. Rahman.2013.Ushul Fiqih.Jakarta: Amzah
Djalil,A.Basiq.2010.Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua.Jakarta:Kencana
Djazuli dan Nurol Aen.2000.Ushul Fiqh Metodologi.Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada.
Effendi,Satria.2011.Ushul Fiqih.Jakarta:Grafindo Persada
Koto,Alaiddin.2006.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.Jakarta:PT
Grafindo Persada
Syarifuddin,Amir.2012.Garis-garis Besar Ushul Fiqh.Jakarta:
Kencana
Syarifuddin,Amir.2014.Ushul Fiqh.Jakarta:Kencana
Syafe’i,Rahmat.2010.Ilmu Ushul Fiqih.Bandung:CV Pustaka
Setia
Syafe’i,Rahmat.2015.Ilmu Ushul Fiqih.Bandung:CV Pustaka
Setia
Tharaba,Fahim.2016.Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’i.
Malang: CV Dream Litera Buana
Wahhab Khallaf,Abdul.2014.Ilmu Ushul Fiqih.Semarang:Dina
Utama
Ibrahim,Sidik,Maret 2006,”Aspek Hukum ‘Urf dalam
Bermuamalah”. Jurnal Hunafa Volume 3, No. 1
Catatan:
1.
Berikan
contoh produk madzhab shahabat.
2.
Perujukan
dalam data yang ditulis hendaknya dihapuskan.
[1]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), hal.410
[2]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri. (Semarang: PT
Karya Toha Putra, 2014), hal. 148
[3]
Alaidin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2006),hal.110
[4] Op,Chit.,
Amir Syarifuddin, hal. 413-416
[5] Ibid,
hal. 420-421
[6] Op,
Chit., Abdul Wahhab Khallaf, hal. 149
[7] Ibrahim,
Sidik, Maret 2006, “Aspek Hukum ‘Urf dalam Bermuamalah”. Jurnal Hunafa
Volume 3, No. 1.hal.4
[8] Op.
Chit.Amir Syarifuddin, hal. 151-152
[9]
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul
Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hal.75
[11] Op,
Chit., Amir Syarifuddin, 2012, hal. 75-76
[12] Djazuli
dan Nurol Aen,Ushul Fiqh Metodologi,(Jakarta:PT Grafindo
Persada,2000),hal.212-213
[13] Op,
Chit., Amir Syarifuddin, 2014, hal. 441
[14]
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010),
hal. 143-145)
[15] Op,
Chit., Amir Syarifuddin, 2014, hal. 442-446
[16]
Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah, 2013), hal.236-237
[17]
Satria Effendi,Ushul Fiqih,(Jakarta:Grafindo Persada,2011), hal.172
[18]
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2010), hal. 165-166
[19]
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,terj.Maman Abd.
Djaliel.(Bandung:Pustaka Setia,2015), hal.132
[20]
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta : Grafindo Persada,2011),
hal.173-174
[21]
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta : Amzah, 2007), hal. 143-146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar