Hadis
Ditinjau dari Segi Kuantitasnya
Cahyati Subechiana,
Rizka Amelia Wachidah
Mahasiswa
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas C Angkatan 2015
Universitas
Islam Mulana Malik Ibrahim Malang
e-mail Anhahana41@gmail.com
Abstrack
Hadith is one of the sources of law in Islam after the
Qur'an and before ijtihad according for rawi to the terms of the quantity that
can be divided into two, namely Mutawatir Hadith and Ahad Hadith, which both
have a very noticeable difference in perawiannya. Hadith mutawatir because the
origin of rawi will make people confident certainty of the rules of tradition
because this tradition comes from a number of narrators of custom does not
allow them conspired to lie, while the hadith ahad itself is a tradition that
the number of narrators do not reach the hadith mutawatir or can be interpreted
anyway Hadith sanadnya valid and continued so until the source is a prophet.
Both of these traditions are very important and have their position as
mutawatir hadith that it is definitely authentic and shall be carried out
without hesitation in terms of aqidah or field that is ubudiyah and muamalah
amaliyah. And ahad hadith only discuss amaliyah field, because it is definitive
creed faith while is dzanni ahad hadith.
Key Word :
Mutawatir, Ahad
Abstrak
Hadis merupakan salah satu sumber hukum
dalam Islam setelah al-qur’an dan sebelum ijtihad menurut para rawinya atau
ditinjau dari segi kuantitasnya itu dibedakan menjadi dua, yaitu Hadis Mutawatir
dan Hadis Ahad, dimana keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok dalam
perawiannya. Hadis mutawatir karena asal perawiannya akan membuat orang yakin
akan kepastian aturan hadis karena hadis ini berasal dari sejumlah perawi yang
dari adat tidak memungkinkan mereka bersekongkol dalam berdusta, sedangkan
hadis ahad sendiri merupakan hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai hadis
mutawatir atau dapat diartikan pula hadis yang sanadnya sah dan tidak
bersambung sehingga sampai pada sumbernya yaitu nabi. Kedua hadis ini sangat
penting dan memiliki kedudukannya masing-masing seperti hadis mutawatir yang
sudah pasti shahih dan wajib diamalkan tanpa ragu dalam hal aqidah keimaan
ataupun bidang amaliyah yaitu ubudiyah maupun muamalah. Dan hadis ahad hanya
membahas bidang amaliyah saja, karena akidah keimanan itu bersifat qath’I
sedangkan hadis ahad bersifat dzanni.
Kata Kunci :Mutawatir,
Ahad
A. Pendahuluan
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, tentunya
membawa berkah dan aturan tersendiri bagi penganutnya. Segala berkah dan aturan
tersebut berasal dari Allah SWT, sebagai suatu dzat yang tidak berawal dan
tidak berakhir, sang maha pengasih lagi maha penyayang, tuhan seluruh alam.
Oleh karena itu untuk memberikan petunjuk bagi manusia didunia Allah SWT
memberikan wahyu berupa al-qur’an sebagai pedoman manusia yang diturunkan
dengan bahasa arab kepada nabi Muhammad SAW untuk di amalkan sebagai suatu
aturan dan panduan dari allah untuk manusia.
Seiring berjalannya waktu dan semakin luasnya Islam tersebar
diberbagai belahan dunia dan wafatnya nabi Muhammad keilmuan dalam Islam juga
turut berkembang, akan tetapi hal ini tidak lepas dari sumber hukum islam itu
sendiri yang berupa al-qur’ab, hadis, dan juga ijtihad, yang mana ketiga sumber
hukum islam inilah yang turut menjadikan islam agama banyak dianut oleh
orang-orang diseluruh dunia.Jika dilihat dari tingkatan sumber hukum Islam yang
pertama adalah al-qur’an dimana al-qur’an merupakan wahyu yang langsung allah
turunkan kepada nabi Muhammad, diikuti yang kedua adalah hadis, dimana hadis
ini merupakan segala bentuk akhlak, perbuatan dan ketetapan nabi yang membantu
manusia dalam memahami al-qur’an ataupun hal-hal yang berkaitan tentang
peribadahan dan kehidupan. Setelah itu dilanjutkan dengan ijtihad dimana ijtihad
ini merupakansuatu jalan tengah yang diambil guna menetapkan suatu hukum yang
dalilnya tidak ada dalam al-qur’an ataupun hadis.
Hadis sendiri peran dan fungsinya sangat penting dalam
sejarah umat Islam, guna mengamalkan ajaran baik dalam peribadatan, pemahaman
al-qur’’an, ataupun bersikap dalam menghadapi persoalan hidup. Jenis-jenis
hadis sendiri ada banyak, dan beberapa golonganpun mengemukakan pendapat yang
berbeda mengenai jenis-jenis hadis ini, akan tetapi jika kita melihat pembagian
hadis menurut para rawinya atau kuantitasnya maka sebagian besar ulama akan
menafsirkan dua hadis yang termasuk didalamnya yaitu; Hadis Mutawatir dan Hadis
Ahad yang mana kedanya ini sangat bertolak belakang. Untuk itu kami menelaan
makna, macam, serta distingsi dari pembagian hadis menurut para rawinya atau
dari segi kuantitasnya ini.
B. Hadis Mutawatir
1.
Pengertian
Hadis Mutawatir
Secara
etimologis atau bahasa, diambil dari kata اَلتَّوَا تِرُ)) yang berari: Terus menerus.
Dikatakan: (تَوَا تَرَ تِ الْخَيْلُ) jika kuda-kuda daang secara terus
menerus tanpa henti.[1]kata
“mutawatir” berbentuk isim fa’il musytaq dari kata “tawatur” yang bermakna “berturut-turut
atau berurutan”.[2]
Sedangkan secara terminologis, hadis mutawatir dapat didefinisikan sebagai
“hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat untuk berdusta, hal itu seimbang dari permulaan sanad hingga
akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan pada setiap tingkatan (thabaqat)”.[3]
Pengertian hadis mutawatir menurut istilah,
terdapat beberapa formulasi definisi, antara lain sebagai berikut:
ماَرَوَاهُ جَمْعٌ عَنْ جَمْعٍ تُحِيْلُ الْعَا
دَ ةُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ مِنْ اَوَّلِ السَّنَدِ
اِلَى مُنْتَهَا هُ
Artinya:
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk
berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad pada setiap tingkat (tabaqat)”.[4]
2.
Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Suatu hadis dapat dikatakan mutawatir
apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Hadis
mutawatir harus diriwayatkan oleh
sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat
untuk berdusta.[5]Ada
perbedaan di kalangan ulama tentang jumlah perawi ini.Ada yang menetapkan
dengan jumlah nominal tertentu dan ada yang tidak menentukannya secara
tertentu.Ada yang menyebut harus lebih dari 4 orang, ada juga yang menyebut 40
orang, 70 orang, bahkan sampai 313 orang.[6]
Penentuan
berapa banyaknya jumlah perawi, sebetulnya bukan merupakan hal yang
prinsip.Persoalan pokok yang dijadikan ukuran bukan terbatas pada jumlah,
tetapi diukur pada tercapainya ilmu daruri.[7]Menurut
Ibn Taimiyah bahwa pendapat yang rajih adalah
pendapat yang tidak menentukan batasan jumlah secara eksplisit.Artinya,
meskipun jumlah perawinya tidak banyak, asalkan telah memberikan keyakinan
bahwa berita yang mereka sampaikan itu benar, sudah dapat dimasukkan sebagai
hadis mutawatir.[8]
b) Adanya
keseimbangan antar perawi pada Thabaqat (lapisan) pertama dengan Thabaqat
berikutnya
Jumlah
perawi hadis mutawatir, antara thabaqat dengan thabaqat lainnya harus seimbang.[9]Artinya,
jika sanad pada thabaqat pertama ada
10 orang, maka pada thabaqat-thabaqat berikutnya
juga harus 10, atau 9, atau 11 orang.[10]
Jika hadis tersebut diriwayatkan
oleh dua puluh orang, dan diterima oleh tabi’in yang jumlah tidak seimbang
dengan yang meriwayatkan maka hadis tersebut tidak bisa dikatakan hadis mutawatir, karena jumlah perawi
dan tabi’in tidak seimbang, dan mulai dari thabaqat
pertama sampai thabaqat-thabaqat berikutnya
harus seimbang.
c) Berdasarkan
tanggapan pancaindra
Berita
yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
pancaindra.Artinya, berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar merupakan
hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.[11]
Jika
berita tersebut berdasarkan dari renungan atau pemikiran dari suatu peristiwa,
tidak dapat dikatakan sebagai hadis
mutawatir.Karena tidak ada bukti yang bisa didapat melalui
pancaindra.Misalnya pemikiran para filosof yang mengatakan tentang keesaan
Tuhan, hal tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam hadis mutawatir, karena para filosof tidak mempunyai bukti mengenai
hal tersebut, melainkan dari pemikiran saja.
3.
Pembagian
Hadis Mutawatir
Menurut para ulama hadis
mutawatir dibagi menjadi tiga macam,yaitu :
a) Hadis
Mutawatir Lafdzi
Menurut
Nur al-Din ‘Itr, yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzi adalah: “ma tawatarat riwayatuhu ‘ala lafdzin
wahidin”, yaitu hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafadz.[12]Muhadditsin
memberi pengertian hadis Mutawatir Lafdzi adalah suatu hadis yang sama mufakat
bunyi lafadz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.[13]
Hadis Mutawatir Lafdzijika dilihat dari segi
kuantitasnya, maka jumlahnya sangat sedikit sekali,[14]karena
sangat sulit jumlah perawi yang begitu banyak dapat meriwayatkan sebuah hadis
dalam satu keseragaman redaksi.[15]
Contoh Hadis
Mutawatir Lafdzi:
مَنْ
كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه
البخاري)
Artinya:
“Barang
siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendak-lah ia bersiap-siap menduduki
tempat duduknya di neraka”.(H.R. Al-Bukhari)[16]
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang
sahabat, dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh
62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadis tersebut
terdapat pada 10 kitab Hadis, Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn
Majah, At-Tirmidzi, Ath-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Thabrani, Al-Hakim.[17]
b) Hadis
Mutawatir Ma’nawi
Mahmud
al-Thahhan mendefinisikan hadis mutawatir ma’nawi dengan “ma tawatara maknahu duna lafdzihi”, yaitu hadis yang maknanya
mutawatir, tetapi lafaznya tidak.[18]
Hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis mutawatir yang maknanya sama akan tetapi
redaksinya berbeda. Perbedaan lafadz itu bisa saja terjadi karena Rasulullah
sendiri menyatakan sabdanya dengan bahasa (dialek) yang berbeda-beda, bisa di
tingkat sahabat karena kemampuan mereka beragam di dalam menerima hadis
Rasulullah, juga bisa pada perawi pada tingkat dan tabaqat setelah sahabat.[19]
Contoh hadis Mutawatir Ma’nawi:
وَقَالَ
أَبُوْمُوْسَى الْأَشْعَرِي دَعَاالنَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ
رَفَعَ يَدَ يْهِ وَرَأَيْتُ بَيَا ضَ اِبْطَيْهِ
Artinya:
“Abu
Musa Al-Asy’ari berkata, ‘Nabi Muhammad SAW.berdoa kemudian dia mengangkat
kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya”.[20]
Hadis
semacam ini berjumlah sekitar seratus hadis dengan redaksi yang berbeda-beda,
tetapi mempunyai titik persamaan, yakni keadaan Nabi Muhammad SAW.mengangkat
tangan saat berdoa.[21]
c) Hadis
Mutawatir ‘Amali
Hadis
Mutawatir ‘Amali adalah sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu
berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi
melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.[22]
Secara
kuantitas, jumlah hadis mutawatir ‘amali ini banyak sekali, seperti hadis yang
menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara
shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta,[23]
hijab perempuan yang bukan mahram, dan
segala amal yang telah menjadi kesepakatan, ijma’,
dan lain sebagainya.[24]
Contoh hadis Mutawatir ‘Amali:
لاَ صَلاَ ةَ
اِلاَّ بِاُ مِّ الْقُرَانِ
Artinya:
“tidak shah shalat itu dengan tidak membaca Fatehah”.[25]
4.
Faedah
Hadis Mutawatir
Hadis
mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk
menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa pada
keyakinan yang qathi’i (pasti).[26]
Menurut
Ibn Taimiyah bahwa suatu hadis kadang-kadang dianggap mutawatir oleh sebagian
golongan tetapi tidak bagi golongan lain, dan kadang-kadang telah membawa
keyakinan bagi suatu golongan tetapi tidak bagi golongan lain. Bagi siapa yang
meyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai kebenarannya
dan mengamalkan sesuai dengan tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum
mengetahui dan meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan
mengamalkan hadis mutawatir yang disepakati oleh para ulama sebagaimana
kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli
ilmu.[27]
Para
perawi hadis mutawatir tidak perlu
dipersoalkan, baik mengenai keadilan maupun kedhabitannya, sebab dengan adanya
persyaratan yang begitu kuat, menjadikan mereka tidak mungkin sepakat melakukan
dusta.Para ulama ushul dan juga Imam Nawawi dalam Syarah Muslim tidak menetapkan syarat “muslim” bagi para perawi hadis mutawatir.Ada juga yang mengatakan
bahwa hadis mutawatir tidak termasuk
dalam pembahasan ilmu hadis sebab ilmu hadis membicarakan sahih atau tidaknya
suatu hadis dilihat dari para perawi dan cara menyampaikan periwayatannya,
sedangkan dalam hadis mutawatir, kualitas
para perawinya tidak dijadikan sasaran pembahasan. Yang menjadi titik tekan
dalam hadis mutawatir ini adalah
kuantitas perawi dan kemungkinan adanya kesepakatan berdusta atau tidak.[28]
C. Hadis Ahad
1.
Pengertian
Hadits Ahad
Ahad
menurut bahasa adalah (آحَادٌ)jamak
(أَحَدٌ) yang berarti satu.[29]Dengandemikian,
khabar wahid adalah suatu berita yang
disampaikan oleh satu orang saja.[30]
Secara
terminologis,hadis ahad adalah hadis
yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.[31]Sedangkan
menurut al-Buthi, hadis ahad didefinisikan sebagai “hadis yang sanadnya sah dan
bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan
pengertian zanni dan tidak sampai
kepada qat’i.[32]
Pengertian Hadis Ahad menurut istilah yang didefinisikan oleh para ulama:
مَالَمْ تَبْلُغْ نَقْلَتُهُ فِى الْكَثْرَةِ
مَبْلَغَ الْخَبَرِالْمُتَوَاتِرِسَوَاءٌكَانَ الْمُخْبِرُوَاحِدًاأَوْاِثْنَيْنِ
أَوْثَلَاثًا أَوْأَرْبَعَةً أَوْخَمْسَةً أَوْ غَيْرَ ذَالِكَ مِنَ الْأَعْدَادِ
الَّتِى لَا تَشْعُرُ بِأَ نَّ الْخَبَرَ دَخَلَ بِهَا فىِ خَبَرِالْمُتَوَاتِرِ
Artinya:
“Khabar yang jumlah
perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya itu
satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa
jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir”.[33]
Jadi, semua
hadits yang jumlah perawi yang meriwayatkan tidak mencapai jumlah perawi hadits
mutawatir disebut hadits Ahad. Baik perawi itu seorang, dua orang, tiga orang,
empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian dengan jumlah
tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir, baik bilangan-bilangan tersebut
terdapat pada semua generasi/thabaqatnya maupun dari sebagian thabaqatnya saja.[34]
Dalam
Pengamalan hadis Ahad/khabar menurut Imam Abu Hanifah ini memiliki syarat
diantaranya:
1) Perawinya
tidak menyalahi apa yyang diriwayatkannya, teapi kalau menyalahinya, maka yang
diturut adalah pendapatnya, bukan riwayatnya. Sebab kalau perawi menyalahi
riwayatnya, berarti perawi itu mendapat keterangan bahwa hadis atau keterangan
itu sudah mansuh
2) Hal
yang diriwayatkan itu bukan masalah umum balwa, sebab masalah umum balwa
seharusnya diriwayatka oleh banyak orang
3) Riwayat
itu tidak bertentangan dengan qiyas[35]
2.
Pembagian
Hadits Ahad
a) Hadis
Masyhur
Hadis
masyhur bisa juga disebut hadis mustafidh, walaupun terdapat
perbedaan, yakni bahwa pada hadis mustafidh,jumlah
rawinya tiga orang atau lebih, sejak thabaqah
pertama, kedua sampai terakhir. Adapun hadis masyhur, jumlah rawinya untuk tiap thabaqat tidak harus tiga orang.Pada thabaqah pertama atau kedua hanya diriwayatkan oleh seorang rawi,
namun thabaqah selanjutnya
diriwayatkan oleh banyak rawi maka hadis itu termasuk juga hadis masyhur.[36]
Secara
etimologis, term masyhur berasal dari
kata syahara, yasyharu, syahran, yang
berarti al-ma’ruf baina al-nas.Masyhur
juga berarti al-intisyar wa al-zuyu’, yaitu
sesuatu yang sudah tersebar dan popular.Dengan pengertian tersebut, maka hadis
masyhur secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “hadis yang terkenal”,[37]
hadis-hadis masyhur inicukup terkenal dikalangan kaum muslimin.Baik dengan
sanad sahih atau tidak.[38]
Secara
terminologis, para ulama berbedapendapat dalam mendefinisikan. Menurut ulama
ushul, hadis masyhur didefinisikan sebagai:
مَا رَوَاهُ
مِنَ الصَّحَا بَةِ عَدَدٌ لاَ يَبْلُغُ حَدَّ التَّوَا تُرِ ثُمَّ تَوَا تُرَ
بَعْدَ الصَّحَا بَةِ وَمَنْ بَعْدَ هُمْ
Artinya:
“hadis
yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilangan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah
mereka”.[39]
Berdasarkan
beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa secara kuantitas perawi pada
hadis masyhur jumlahnya di bawah hadis mutawatir.Artinya, meskipun jumlah
perawi dalam hadis ini banyak, tetapi belum sampai memberikan faidah ilmu
dharuri, sehingga kedudukannya menjadi zanni.[40]
Hadis Masyhur ini, jika dilihat
dari segi kualitasnya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu ada yang
berstatus sahih, hasan, dan dhaif.[41]
Ø Hadis
Sahih
Shahihberasal dari
kata shaha.Secara bahasa yaitu,
selamat dari penyakit dan bebas dari aib maupun cacat.Secara istilah, ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna hadits shahih. Abu Umar Usman bin
Abdurrahman As-Shalah, misalnya, mendefinisikan hadis shahih sebagai hadis yang
sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw., diriwayatkan oleh perawi
yang adil dan dhabit sampai akhir sanad serta di dalam hadis ini tidak terdapat
kejanggalan mapun cacat (syadz wa illat).[42]
Dapat
disimpulkan bahwa hadis tersebut dikatakan Shahih apabila memenuhi persyaratan
tersebut, yaitu sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw., seluruh
perawinya bersifat adil, bersifat dhabit,
serta sanad dan matannya tidak mengandung illat (sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadis tersebut menjadi
cacat dalam penerimaannya).
contohhadis dari Ibnu Umar:
اِذَاجَاءَكُمُ
الْجُمْعَةُ فَلْيَغْسِلْ
Artinya:
“Bagi siapa yang
hendak melaksanakan salat Jum’at hendaklah ia mandi”.[43]
Ø Hadis
Hasan
Secara
bahasa berarti hadits yang baik atau bagus.Sedangkan menurut terminologi,
adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil namun
rendah daya hafalannya tetapi tidak rancu dan tidak mengandung cacat.[44]
Subhi
Shalih mendefinisikan hadis hasan sebagai hadis yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak terlalu kuat ingatan atau
hafalannya meski tetap terhindar dari keganjilan dan penyakit.[45]
Dapat
disimpulkan bahwa hadis tersebut dikatakan hadis hasan apabila mengandung
syarat yang sesuai dengan hadis hasan, yaitu sanadnya bersambung, perawinya
bersifat adil, terdapat rawi yang kurang dhabith
atau tidak mempunyai daya hafalan yang kuat, serta sanad dan matannya
terhindar dari kejanggalan dan illat.
contohnyaseperti sabda Rasulullah SAW:
طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ
Artinya:
“Menuntut ilmu
itu wajib setiap muslim”.[46]
Ø Hadis
Dhaif
HadisDhaif, adalah hadis masyhur yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadis sahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matan-nya.[47]Hadis
ini masyhur di kalangan ahli tasawuf. Hadis ini oleh para ulama dianggap
sebagai hadis bathil, karena tidak diketahui sumbernya sama sekali. Bahkan
menurut al-Suyuthi, hadis ini sebagai hadis maudhu’
atau hadis palsu.[48]
A’jaj
al-Khatib mendefinisikan hadis dhaif sebagai
suatu hadis yang di dalamnya tidak terdapat ciri-ciri diterimanya suatu hadis.
Suatu hadis dimungkinkan menjadi dhaif kualitasnya
apabila perawinya disebut sebagai pendusta, atau pernah dituduh berdusta,
banyak membuat kekeliruan, suka lupa atau hafalannya tidak kuat, suka berbuat
maksiat, banyak angan-angan, menyalahi perawi terpercaya, tidak banyak dikenal,
penganut bid’ah dalam hal akidah.[49]
seperti hadis:
مَنْ
عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْعَرَفَ رَبُّهُ
Artinya:
“Barang siapa
yang mengenal dirinya, maka sungguh dia telah mengenal Tuhannya”.[50]
b) Hadis
Aziz
Secara
etimologis atau bahasa “Aziz” diambil dari kata (عَزَّيَعِزُّ)
yang berarti jarang ditemukan. Atau bisa juga dari kata (عَزَّيَعَزُّ)yang berarti kuat.[51]Term
ini juga berarti syarif (mulia) dan mahbub (tercinta).Sehingga, hadis ‘aziz
secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “hadis yang mulia, hadis yang
kuat, hadis yang sedikit atau jarang sekali”.[52]
Secara
terminologis, hadis ‘aziz dapat
didefinisikan sebagai “hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi atau lebih
dalam satu thabaqatnya”.[53]
Hadis
Aziz
menurut istilah:
مَاجَاءَفِى
طَبَقَةٍ مِنْ طَبَقَاتِ رُوَاتِهِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ طَبَقَةٍ اِثْنَانِ
Artinya:
“Hadis
yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad”.[54]
Ahmad
Ibn Hanbal mengatakan hadis ‘Aziz adalah “Hadis yang rentetan perawinya terdiri
dari dua-dua orang, atau pada suatu tingkat terdiri dari dua-dua orang saja”.[55]
Dapat
disimpulkan bahwa hadis ‘Aziz bukan hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi pada
setiap thabaqat,yakni sejak darithabaqatpertama sampai thabaqatterakhir, tetapi selagi salah
satu thabaqatdidapati dua orang
perawi, tetap dapat dikategorikan sebagai hadis ‘Aziz.[56]
Contoh hadis ‘Aziz :
لاَيُؤْمِنُ
اَحَدَكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَلِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ
اَجْمَعِيْنَ
Artinya:
“Tidaklah
beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai dari pada dirinya,
orang tuanya, anaknya, dan semua manusia.(H.R. Bukhari)[57]
Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik dan
Rasulullah saw., kemudian diriwayatkan kepada Qatadah dan Abdul Aziz bin
Suhaib. Qatadah meriwayatkan kepada dua orang pula, yaitu Syu’bah dan Husain
Al-Muallim. Hadis dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh dua orang, yaitu Abdul
Al-Waris dan Ismail bin Ulaiyah. Kemudian, dari hadis Husain diriwayatkan oleh
Yahya bin Said dari Syubah diriwayatkan oleh Adam, Muhammad bin Jafa, dan juga
oleh Yahya bin Said. Adapun hadis dari Ismail diriwayatkan oleh Zuhair bin Harb
dari Abdul Al-Waris diriwayatkan oleh Syaiban bin Abi Syaiban, dari Yahya
diriwayatkan oleh Musdad, dan dari Jafar diriwayatkan oleh Ibnu Al-Musana dan
Ibnu Basyr, sampai kepada Bukhari dan Muslim.[58]
c) Hadis
Gharib
Secara
etimologis, Gharib berasal dari kata Gharaba, yaghribu, yang berarti al-munfarid, yaitu menyendiri atau ba’id ‘an wathanih, jauh dari tanah
airnya. Gharib juga berarti “terasing/jauh dari tempat tinggalnya”.[59]Gharib merupakan sifat musyabbahah yang bermakna menyendiri.[60]
Secara
terminologis, Nur al-Din ‘Itr mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut:
“Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkan, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.[61]Hadis
ini disebut gharib karena keadaannya asing menurut pandangan rawi-rawi yang
lain, seperti keasingan orang yang jauh dari tempat tinggalnya.[62]
Pembagian Hadis Gharib:
1) Hadis
Gharib dilihat dari Sudut Penyendirian Perawi
a) Hadis
Gharib Muthlaq
Dinamakan
hadis gharib muthlaq apabila
penyendiriannya itu berkaitan dengan keadaan jumlah personalianya. Artinya,
hadis itu tidak ada orang lain yang meriwayatkan hadis tersebut kecuali dirinya
sendiri.[63]
Para
ulama berbeda pendapat tentang penyendirian perawi dalam hadis gharib muthlaq ini, apakah thabaqah sahabat juga dalam kategori ini
atau tidak.Sebagian ulama berpendapat bahwa thabaqah
sahabat juga masuk dalam kategori ini.Artinya, jika suatu hadis diterima
dari Rasul hanya oleh seorang sahabat, hadis tersebut juga disebut sebagai hadis
gharib, meskipun pada thabaqah-thabaqah selanjutnya
diterima oleh beberapa orang.[64]
Contoh
hadis gharib muthlaq, antara lain:
أَلْوَلاَءُ
لَحْمَةٌ كَلَحْمَةِ النَّسَبِ لاَيُبَا عُ وَلاَ يُوْ هَبُ
Artinya:
“Kekerabatan dengan jalan memerdekakan,
sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh
dihibahkan”.[65]
Contoh
hadis gharib tersebut diterima dari
Nabi oleh Ibnu Umar, dan dari Ibnu Umar Abdullah bin Dinar saja yang
meriwayatkannya. Abdullah bin Dinar adalah seorang tabiin yang hafidz, kuat
ingatannya, dan dapat dipercaya.[66]
b) Hadis
Gharib Nisbi
Yang
tergolong pada gharib nisbi adalah
apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang
perawi.Hadis gharib nisbi ini adalah
hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat),
tetapi di pertengahan sanad-nya terdapat
tingkatan yang perawinya hanya sendiri (satu orang).[67]
Contoh
Hadis Gharib Nisbi, antara lain:
كَا نَ صَلَي االلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقْرَأُ فِى الأَضْحَى وَ الْفِطْرِبِ (ق) وَقْتَرَ بَتِ السَّعَةٌ وَانْشَقَّ
القَمَرُ
Artinya:
“Dikabarkan
bahwa Rasulullah saw., pada hari raya kurban dan hari raya fitrah membaca Surat
Qaf dan Surat Al-Qamar (H.R. Muslim dan Daruqutni)”.[68]
Hadis
tersebut diriwayatkan melalui dua jalur, yakni jalur Muslim dan jalur
Ad-Daruqutni. Melalui jalur Muslim, terdapat rentetan sanad Muslim, Malik Dumrah bin Said, Ubaidillah, dan Abu Waqid
Al-Laisi yang menerima langsung dari Rasulullah saw. Adapun melalui jalur
Daruqutni, terdapat rentetan sanad; Daruqutni,
Ibnu Lahiah, Khalid bin Yazid Urwah, dan Aisyah yang langsung menerima dari
Nabi.[69]
2) Hadis
Gharib dilihat dari Sudut Keghariban Sanad dan Matan
a) Gharib
pada Sanad dan Matan secara Bersama-sama
Yang
dimaksud dengan gharib pada sanad dan matan adalah hadis yang hanya
diriwayatkan melalui satu jalur, seperti sabda Rasulullah saw:[70]
كَلِمَتَانِ حَبِيْبَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ
تَقِيْلَتَانِ فِى الْمِيْزَانِ : سُبْحَانَ الله وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ
الْعَظِيْمِ (رواه البحارى و مسلم)
Artinya:
“Ada dua kalimat yang disenangi oleh Allah, ringan diucapkan, dan berat
dalam timbangan, yaitu kalimat Subhana Allah wa
Bihamdih Subhana Allah il’Azim (H.R. Bukhari dan Muslim).[71]
Hadis ini
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan sanad
Muhammad bin Fudail, Abu Zahrah Umrah, Abu Zurah, dan Abu Hurairah. Imam
Turumudzi menyatakan bahwa hadis ini adalah gharib,
karena hanya rawi-rawi tersebutlah yang meriwayatkan, tidak ada rawi
lainnya.[72]
b) Gharib
pada Sanad Saja
Yang
dimaksud dengan gharib pada sanad saja adalah hadis yang telah popular dan
diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi yang meriwayatkannya
dari salah seorang sahabat yang lain yang tidak populer. Periwayatan hadis melalui sahabat yang lain seperti ini disebut sebagai
hadis gharib pada sanad.[73]
Contoh hadis gharib pada sanad Saja, antara lain:
الْكَا
فِرُيَأْ كُلُ فِى سَبْعَةِ أَمْعَا ءَ وَالْمُؤْمِنُ يَأْ كُلُ فِى مَعْىِ
وَاحِدٍ
Artinya:
Menurut Al-Hafizh Ibnu Rajab, matan hadis
ini melalui beberapa jalur yang diketahui dari Nabi, Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Umar dari Nabi. Adapun hadis Abu
Musa Al-Asy’ari yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Kuraib dianggap gharib sebab Kuraib menyendiri dalam
meriwayatkan hadis ini.[75]
D. Distingsi Hadis Mutawatir dan Ahad
Aspek
|
Hadis Mutawatif
|
Hadis Ahad
|
Jumlah
Perawi
|
Diriwayatkan
sejumlah perawi, (pendapat: 4, 40,70 orang)
|
Jumlah
periwayat tidak mencapai hadis mutawatir, baik itu 1, 2,3,atau 4
|
Asal
Usul Hadis
|
Didapatkan
dari panca indra sendiri (langsung)
|
Tidak
langsung dari nabi tetapi melalui pihak lain, seperti sahabat atau keluarga
|
Jumlah
Hadisnya
|
Cenderung
sedikit
|
Lebih
banyak
|
Keseimbangan
Tabaqat
|
Seimbang
antara tabaqat pertama dengan berikutnya
|
Jumlah
rawi masing-masing tabaqat biasa berbeda
|
Sifat
Periwayatannya
|
Qathi’I
al wurud
|
Dzani
al wurud
|
Menurut tabel diatas dapat kita simpulkan
perbedaan Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad dapat dilihat dari 6 aspek diantaranya
dari Jumlah Perawinya, Asal-usul Hadisnya, Jumlah Hadisnya, Keseimbangan
Tabaqat, serta Sifat Periwayatannya yang mana keseluruhan perbedaan ini
sebenarnya sudah dapat kita kihat dari pengertian masing-masing hadis tersebut.
Dimana hadis Mutawatir merupakan hadis yang diriwayatkan sekelompok
orang, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta sedangkan
Hadis Ahad merupakan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir
yaitu hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya
(Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zanni dan tidak sampai kepada qat’i
E. Penutup
Dari pembahasan tersebut dapat kita
simpulkan bahwa hadis menutut para rawinya atau ditinjau dari segi kuantitasnya
itu dibagi menjadi dua; yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Dimana hadis
mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, hal itu seimbang dari
permulaan sanad hingga akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan pada setiap
tingkatan (thabaqat). Hadis
mutawatir ini dibagi menjadi tiga, diantaranya; hadis ladzi, ma’nawi dan amali.
Sedangkan
hadis ahad merupakan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir
yaitu hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya
(Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zanni dan tidak sampai kepada qat’i.
hadis ini dibagi menjadi tiga juga, diantaranya; hadis masyur/mustafid
(hadis masyur, shahih,dan dhaif), hadis aziz, dan hadis ghaib (ghaib muthlag,
ghaib nisbi).
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Moh. 1981. Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al Ikhlas.
Anwar, Rusydie. 2015. Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits. Yogyakarta: IRCiSoD.
Hadi,
Saeful. 2008. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Sabda Media.
Ichwan, Mohammad Nor. 2007. Studi
Ilmu Hadis. Semarang: RaSAIL Media Group.
Khaeruman,
Badri. 2010. Ulum Al-Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Marzuqi, Wafi Ammar. 2012. Ulumul
Hadis I. Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika.
Mudasir.
1999. Ilmu Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Muhammad,
Tengku Hasbi Ash-Shiddieqy. 1991. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: PT Bulan Bintang
Sahrani,
Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sumbulah, Umi,
dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis.
Malang: UIN-Maliki Press.
Catatan:
1.
Abstrak tolong diperbaiki, jangan hanya copy-paste dari google translate.
2.
Saya mengapresiasi pembuatan tabel, tapi ada satu dua yang perlu
diperbaiki. Besok ketika di kelas saya berikan keterangannya.
[3]
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis (Semarang:
RaSAIL Media Group, 2007), Hlm. 100
[4]
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: CV
Pustaka Setia, 1999), Hlm. 113
[5]
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), Hlm. 85
[6]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
101
[7]
Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 86
[8]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
102
[9]
Mudasir, Op. Cit. Hlm. 118
[10]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
103
[11]
Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 87
[12]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
104
[14]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
104
[15] Umi
Sumbulah, dkk, Op. Cit. Hlm. 189
[16]
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2010). Hlm. 97; Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 105
[18]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
106
[19] Umi
Sumbulah, dkk, Op. Cit. Hlm. 190
[20]
Mudasir, Op. Cit. Hlm. 122
[21]Ibid.
[22]
Saeful Hadi, Op. Cit. Hlm. 165
[23]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
106
[24]
Badri Khaeruman, Op. Cit. Hlm. 98
[25]Moh.
Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits (Surabaya:
Al Ikhlas, 1981). Hlm. 21
[26]
Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 90
[27]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
107
[28]
Mudasir, Op. Cit. Hlm. 124
[30]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
107
[31] Umi
Sumbulah, dkk, Op. Cit. Hlm. 191
[32]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.108
[33]
Mudasir, Op. Cit. Hlm. 124
[34]Moh.
Anwar, Op. Cit. Hlm. 22
[35]Ibid.
Hlm. 31
[36]
Badri Khaeruman, Op. Cit. Hlm. 100
[37]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
110
[38]
Wafi Marzuqi Amar, Op. Cit. Hlm. 59
[39]
Mudasir, Op. Cit. Hlm. 127
[40]Mohammad
Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 110
[42]
Rusydie Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an
dan Ulumul Hadits (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015). Hlm. 257
[43]
Mudasir, Op. Cit. Hlm. 128
[44]
Rusydie Anwar, Op. Cit. Hlm. 259
[46]
Mudasir, Op. Cit. Hlm. 129
[47]Ibid.
[48]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
111
[50]
Mudasir, Op. Cit. Hlm. 129
[51]
Wafi Marzuqi Amar. Op. Cit. Hlm. 61
[52]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
111
[54]
Mudasir, Op. Cit. Hlm. 132
[55]
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991). Hlm. 207
[56]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
112
[58]Ibid.
[59]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
113
[60] Umi
Sumbulah, dkk, Op. Cit. Hlm. 197
[61]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
113
[64]
Ibid.
[65]
Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 100
[66]Ibid.
[67]Ibid.
[69]Ibid.
[73]
Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.
117
[74]
Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 103
[75]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar