Selasa, 04 April 2017

Hadis ditinjau dari Segi Kuantitasnya (P-IPS C Semester genap 2016/2017)




Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitasnya

Cahyati Subechiana, Rizka Amelia Wachidah
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas C Angkatan 2015
Universitas Islam Mulana Malik Ibrahim Malang

Abstrack
Hadith is one of the sources of law in Islam after the Qur'an and before ijtihad according for rawi to the terms of the quantity that can be divided into two, namely Mutawatir Hadith and Ahad Hadith, which both have a very noticeable difference in perawiannya. Hadith mutawatir because the origin of rawi will make people confident certainty of the rules of tradition because this tradition comes from a number of narrators of custom does not allow them conspired to lie, while the hadith ahad itself is a tradition that the number of narrators do not reach the hadith mutawatir or can be interpreted anyway Hadith sanadnya valid and continued so until the source is a prophet. Both of these traditions are very important and have their position as mutawatir hadith that it is definitely authentic and shall be carried out without hesitation in terms of aqidah or field that is ubudiyah and muamalah amaliyah. And ahad hadith only discuss amaliyah field, because it is definitive creed faith while is dzanni ahad hadith.
Key Word : Mutawatir, Ahad
Abstrak
Hadis merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam setelah al-qur’an dan sebelum ijtihad menurut para rawinya atau ditinjau dari segi kuantitasnya itu dibedakan menjadi dua, yaitu Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad, dimana keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok dalam perawiannya. Hadis mutawatir karena asal perawiannya akan membuat orang yakin akan kepastian aturan hadis karena hadis ini berasal dari sejumlah perawi yang dari adat tidak memungkinkan mereka bersekongkol dalam berdusta, sedangkan hadis ahad sendiri merupakan hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai hadis mutawatir atau dapat diartikan pula hadis yang sanadnya sah dan tidak bersambung sehingga sampai pada sumbernya yaitu nabi. Kedua hadis ini sangat penting dan memiliki kedudukannya masing-masing seperti hadis mutawatir yang sudah pasti shahih dan wajib diamalkan tanpa ragu dalam hal aqidah keimaan ataupun bidang amaliyah yaitu ubudiyah maupun muamalah. Dan hadis ahad hanya membahas bidang amaliyah saja, karena akidah keimanan itu bersifat qath’I sedangkan hadis ahad bersifat dzanni.
Kata Kunci :Mutawatir, Ahad
A.     Pendahuluan
        Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, tentunya membawa berkah dan aturan tersendiri bagi penganutnya. Segala berkah dan aturan tersebut berasal dari Allah SWT, sebagai suatu dzat yang tidak berawal dan tidak berakhir, sang maha pengasih lagi maha penyayang, tuhan seluruh alam. Oleh karena itu untuk memberikan petunjuk bagi manusia didunia Allah SWT memberikan wahyu berupa al-qur’an sebagai pedoman manusia yang diturunkan dengan bahasa arab kepada nabi Muhammad SAW untuk di amalkan sebagai suatu aturan dan panduan dari allah untuk manusia.
        Seiring berjalannya waktu dan semakin luasnya Islam tersebar diberbagai belahan dunia dan wafatnya nabi Muhammad keilmuan dalam Islam juga turut berkembang, akan tetapi hal ini tidak lepas dari sumber hukum islam itu sendiri yang berupa al-qur’ab, hadis, dan juga ijtihad, yang mana ketiga sumber hukum islam inilah yang turut menjadikan islam agama banyak dianut oleh orang-orang diseluruh dunia.Jika dilihat dari tingkatan sumber hukum Islam yang pertama adalah al-qur’an dimana al-qur’an merupakan wahyu yang langsung allah turunkan kepada nabi Muhammad, diikuti yang kedua adalah hadis, dimana hadis ini merupakan segala bentuk akhlak, perbuatan dan ketetapan nabi yang membantu manusia dalam memahami al-qur’an ataupun hal-hal yang berkaitan tentang peribadahan dan kehidupan. Setelah itu dilanjutkan dengan ijtihad dimana ijtihad ini merupakansuatu jalan tengah yang diambil guna menetapkan suatu hukum yang dalilnya tidak ada dalam al-qur’an ataupun hadis.
        Hadis sendiri peran dan fungsinya sangat penting dalam sejarah umat Islam, guna mengamalkan ajaran baik dalam peribadatan, pemahaman al-qur’’an, ataupun bersikap dalam menghadapi persoalan hidup. Jenis-jenis hadis sendiri ada banyak, dan beberapa golonganpun mengemukakan pendapat yang berbeda mengenai jenis-jenis hadis ini, akan tetapi jika kita melihat pembagian hadis menurut para rawinya atau kuantitasnya maka sebagian besar ulama akan menafsirkan dua hadis yang termasuk didalamnya yaitu; Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad yang mana kedanya ini sangat bertolak belakang. Untuk itu kami menelaan makna, macam, serta distingsi dari pembagian hadis menurut para rawinya atau dari segi kuantitasnya ini.
B.     Hadis Mutawatir
1.      Pengertian Hadis Mutawatir
Secara etimologis atau bahasa, diambil dari kata اَلتَّوَا تِرُ)) yang berari: Terus menerus. Dikatakan: (تَوَا تَرَ تِ الْخَيْلُ) jika kuda-kuda daang secara terus menerus tanpa henti.[1]kata “mutawatir” berbentuk isim fa’il musytaq dari kata “tawatur” yang bermakna “berturut-turut atau berurutan”.[2]
Sedangkan secara terminologis, hadis mutawatir dapat didefinisikan sebagai “hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, hal itu seimbang dari permulaan sanad hingga akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan pada setiap tingkatan (thabaqat)”.[3]
Pengertian hadis mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa formulasi definisi, antara lain sebagai berikut:
ماَرَوَاهُ جَمْعٌ عَنْ جَمْعٍ تُحِيْلُ الْعَا دَ ةُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْكَذِبِ عَنْ مِثْلِهِمْ مِنْ اَوَّلِ السَّنَدِ اِلَى مُنْتَهَا هُ
Artinya:
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad pada setiap tingkat (tabaqat)”.[4]
2.      Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Suatu hadis dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a)      Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat untuk berdusta.[5]Ada perbedaan di kalangan ulama tentang jumlah perawi ini.Ada yang menetapkan dengan jumlah nominal tertentu dan ada yang tidak menentukannya secara tertentu.Ada yang menyebut harus lebih dari 4 orang, ada juga yang menyebut 40 orang, 70 orang, bahkan sampai 313 orang.[6]
Penentuan berapa banyaknya jumlah perawi, sebetulnya bukan merupakan hal yang prinsip.Persoalan pokok yang dijadikan ukuran bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya ilmu daruri.[7]Menurut Ibn Taimiyah bahwa pendapat yang rajih adalah pendapat yang tidak menentukan batasan jumlah secara eksplisit.Artinya, meskipun jumlah perawinya tidak banyak, asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu benar, sudah dapat dimasukkan sebagai hadis mutawatir.[8]
b)      Adanya keseimbangan antar perawi pada Thabaqat (lapisan) pertama dengan Thabaqat berikutnya
Jumlah perawi hadis mutawatir, antara thabaqat dengan thabaqat lainnya harus seimbang.[9]Artinya, jika sanad pada thabaqat pertama ada 10 orang, maka pada thabaqat-thabaqat berikutnya juga harus 10, atau 9, atau 11 orang.[10]
 Jika hadis tersebut diriwayatkan oleh dua puluh orang, dan diterima oleh tabi’in yang jumlah tidak seimbang dengan yang meriwayatkan maka hadis tersebut tidak bisa dikatakan hadis mutawatir, karena jumlah perawi dan tabi’in tidak seimbang, dan mulai dari thabaqat pertama sampai thabaqat-thabaqat berikutnya harus seimbang.
c)      Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra.Artinya, berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.[11]
Jika berita tersebut berdasarkan dari renungan atau pemikiran dari suatu peristiwa, tidak dapat dikatakan sebagai hadis mutawatir.Karena tidak ada bukti yang bisa didapat melalui pancaindra.Misalnya pemikiran para filosof yang mengatakan tentang keesaan Tuhan, hal tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam hadis mutawatir, karena para filosof tidak mempunyai bukti mengenai hal tersebut, melainkan dari pemikiran saja.
3.      Pembagian Hadis Mutawatir
Menurut para ulama hadis mutawatir dibagi menjadi tiga macam,yaitu :
a)      Hadis Mutawatir Lafdzi
Menurut Nur al-Din ‘Itr, yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzi adalah: “ma tawatarat riwayatuhu ‘ala lafdzin wahidin”, yaitu hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafadz.[12]Muhadditsin memberi pengertian hadis Mutawatir Lafdzi adalah suatu hadis yang sama mufakat bunyi lafadz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.[13]
Hadis Mutawatir Lafdzijika dilihat dari segi kuantitasnya, maka jumlahnya sangat sedikit sekali,[14]karena sangat sulit jumlah perawi yang begitu banyak dapat meriwayatkan sebuah hadis dalam satu keseragaman redaksi.[15]
Contoh Hadis Mutawatir Lafdzi:
مَنْ كَذَّبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه البخاري)
Artinya:
“Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, hendak-lah ia bersiap-siap menduduki tempat duduknya di neraka”.(H.R. Al-Bukhari)[16]
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadis tersebut terdapat pada 10 kitab Hadis, Al-Bukhari, Muslim, Ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi, Ath-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Thabrani, Al-Hakim.[17]
b)      Hadis Mutawatir Ma’nawi
Mahmud al-Thahhan mendefinisikan hadis mutawatir ma’nawi dengan “ma tawatara maknahu duna lafdzihi”, yaitu hadis yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak.[18] Hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis mutawatir yang maknanya sama akan tetapi redaksinya berbeda. Perbedaan lafadz itu bisa saja terjadi karena Rasulullah sendiri menyatakan sabdanya dengan bahasa (dialek) yang berbeda-beda, bisa di tingkat sahabat karena kemampuan mereka beragam di dalam menerima hadis Rasulullah, juga bisa pada perawi pada tingkat dan tabaqat setelah sahabat.[19]
Contoh hadis Mutawatir Ma’nawi:
وَقَالَ أَبُوْمُوْسَى الْأَشْعَرِي دَعَاالنَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَ يْهِ وَرَأَيْتُ بَيَا ضَ اِبْطَيْهِ
Artinya:
“Abu Musa Al-Asy’ari berkata, ‘Nabi Muhammad SAW.berdoa kemudian dia mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya”.[20]
          Hadis semacam ini berjumlah sekitar seratus hadis dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yakni keadaan Nabi Muhammad SAW.mengangkat tangan saat berdoa.[21]
c)      Hadis Mutawatir ‘Amali
Hadis Mutawatir ‘Amali adalah sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.[22]
Secara kuantitas, jumlah hadis mutawatir ‘amali ini banyak sekali, seperti hadis yang menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta,[23] hijab perempuan yang bukan mahram, dan segala amal yang telah menjadi kesepakatan, ijma’, dan lain sebagainya.[24]
Contoh hadis Mutawatir ‘Amali:
لاَ صَلاَ ةَ اِلاَّ بِاُ مِّ الْقُرَانِ
Artinya:
“tidak shah shalat itu dengan tidak membaca Fatehah”.[25]

4.      Faedah Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa pada keyakinan yang qathi’i (pasti).[26]
Menurut Ibn Taimiyah bahwa suatu hadis kadang-kadang dianggap mutawatir oleh sebagian golongan tetapi tidak bagi golongan lain, dan kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi suatu golongan tetapi tidak bagi golongan lain. Bagi siapa yang meyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan mengamalkan sesuai dengan tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum mengetahui dan meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan hadis mutawatir yang disepakati oleh para ulama sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli ilmu.[27]
Para perawi hadis mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan maupun kedhabitannya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu kuat, menjadikan mereka tidak mungkin sepakat melakukan dusta.Para ulama ushul dan juga Imam Nawawi dalam Syarah Muslim tidak menetapkan syarat “muslim” bagi para perawi hadis mutawatir.Ada juga yang mengatakan bahwa hadis mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu hadis sebab ilmu hadis membicarakan sahih atau tidaknya suatu hadis dilihat dari para perawi dan cara menyampaikan periwayatannya, sedangkan dalam hadis mutawatir, kualitas para perawinya tidak dijadikan sasaran pembahasan. Yang menjadi titik tekan dalam hadis mutawatir ini adalah kuantitas perawi dan kemungkinan adanya kesepakatan berdusta atau tidak.[28]

C.     Hadis Ahad
1.      Pengertian Hadits Ahad
Ahad menurut bahasa adalah (آحَادٌ)jamak (أَحَدٌ) yang berarti satu.[29]Dengandemikian, khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang saja.[30]
Secara terminologis,hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.[31]Sedangkan menurut al-Buthi, hadis ahad didefinisikan sebagai “hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zanni dan tidak sampai kepada qat’i.[32]
Pengertian Hadis Ahad menurut istilah yang didefinisikan oleh para ulama:
مَالَمْ تَبْلُغْ نَقْلَتُهُ فِى الْكَثْرَةِ مَبْلَغَ الْخَبَرِالْمُتَوَاتِرِسَوَاءٌكَانَ الْمُخْبِرُوَاحِدًاأَوْاِثْنَيْنِ أَوْثَلَاثًا أَوْأَرْبَعَةً أَوْخَمْسَةً أَوْ غَيْرَ ذَالِكَ مِنَ الْأَعْدَادِ الَّتِى لَا تَشْعُرُ بِأَ نَّ الْخَبَرَ دَخَلَ بِهَا فىِ خَبَرِالْمُتَوَاتِرِ
Artinya:
“Khabar yang jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir”.[33]
Jadi, semua hadits yang jumlah perawi yang meriwayatkan tidak mencapai jumlah perawi hadits mutawatir disebut hadits Ahad. Baik perawi itu seorang, dua orang, tiga orang, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian dengan jumlah tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir, baik bilangan-bilangan tersebut terdapat pada semua generasi/thabaqatnya maupun dari sebagian thabaqatnya saja.[34]
Dalam Pengamalan hadis Ahad/khabar menurut Imam Abu Hanifah ini memiliki syarat diantaranya:
1)      Perawinya tidak menyalahi apa yyang diriwayatkannya, teapi kalau menyalahinya, maka yang diturut adalah pendapatnya, bukan riwayatnya. Sebab kalau perawi menyalahi riwayatnya, berarti perawi itu mendapat keterangan bahwa hadis atau keterangan itu sudah mansuh
2)      Hal yang diriwayatkan itu bukan masalah umum balwa, sebab masalah umum balwa seharusnya diriwayatka oleh banyak orang
3)      Riwayat itu tidak bertentangan dengan qiyas[35]

2.      Pembagian Hadits Ahad
a)      Hadis Masyhur
Hadis masyhur bisa juga disebut hadis mustafidh, walaupun terdapat perbedaan, yakni bahwa pada hadis mustafidh,jumlah rawinya tiga orang atau lebih, sejak thabaqah pertama, kedua sampai terakhir. Adapun hadis masyhur, jumlah rawinya untuk tiap thabaqat tidak harus tiga orang.Pada thabaqah pertama atau kedua hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, namun thabaqah selanjutnya diriwayatkan oleh banyak rawi maka hadis itu termasuk juga hadis masyhur.[36]
Secara etimologis, term masyhur berasal dari kata syahara, yasyharu, syahran, yang berarti al-ma’ruf baina al-nas.Masyhur juga berarti al-intisyar wa al-zuyu’, yaitu sesuatu yang sudah tersebar dan popular.Dengan pengertian tersebut, maka hadis masyhur secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “hadis yang terkenal”,[37] hadis-hadis masyhur inicukup terkenal dikalangan kaum muslimin.Baik dengan sanad sahih atau tidak.[38]
Secara terminologis, para ulama berbedapendapat dalam mendefinisikan. Menurut ulama ushul, hadis masyhur didefinisikan sebagai:
مَا رَوَاهُ مِنَ الصَّحَا بَةِ عَدَدٌ لاَ يَبْلُغُ حَدَّ التَّوَا تُرِ ثُمَّ تَوَا تُرَ بَعْدَ الصَّحَا بَةِ وَمَنْ بَعْدَ هُمْ
Artinya:
“hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”.[39]
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa secara kuantitas perawi pada hadis masyhur jumlahnya di bawah hadis mutawatir.Artinya, meskipun jumlah perawi dalam hadis ini banyak, tetapi belum sampai memberikan faidah ilmu dharuri, sehingga kedudukannya menjadi zanni.[40]

Hadis Masyhur ini, jika dilihat dari segi kualitasnya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu ada yang berstatus sahih, hasan, dan dhaif.[41]
Ø  Hadis Sahih
Shahihberasal dari kata shaha.Secara bahasa yaitu, selamat dari penyakit dan bebas dari aib maupun cacat.Secara istilah, ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna hadits shahih. Abu Umar Usman bin Abdurrahman As-Shalah, misalnya, mendefinisikan hadis shahih sebagai hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw., diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanad serta di dalam hadis ini tidak terdapat kejanggalan mapun cacat (syadz wa illat).[42]
Dapat disimpulkan bahwa hadis tersebut dikatakan Shahih apabila memenuhi persyaratan tersebut, yaitu sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw., seluruh perawinya bersifat adil, bersifat dhabit, serta sanad dan matannya tidak mengandung illat (sifat tersembunyi yang mengakibatkan hadis tersebut menjadi cacat dalam penerimaannya).
contohhadis dari Ibnu Umar:
اِذَاجَاءَكُمُ الْجُمْعَةُ فَلْيَغْسِلْ
Artinya:
“Bagi siapa yang hendak melaksanakan salat Jum’at hendaklah ia mandi”.[43]
Ø  Hadis Hasan
Secara bahasa berarti hadits yang baik atau bagus.Sedangkan menurut terminologi, adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil namun rendah daya hafalannya tetapi tidak rancu dan tidak mengandung cacat.[44]
Subhi Shalih mendefinisikan hadis hasan sebagai hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak terlalu kuat ingatan atau hafalannya meski tetap terhindar dari keganjilan dan penyakit.[45]
Dapat disimpulkan bahwa hadis tersebut dikatakan hadis hasan apabila mengandung syarat yang sesuai dengan hadis hasan, yaitu sanadnya bersambung, perawinya bersifat adil, terdapat rawi yang kurang dhabith atau tidak mempunyai daya hafalan yang kuat, serta sanad dan matannya terhindar dari kejanggalan dan illat.
contohnyaseperti sabda Rasulullah SAW:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ
Artinya:
“Menuntut ilmu itu wajib setiap muslim”.[46]
Ø  Hadis Dhaif
HadisDhaif, adalah hadis masyhur yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matan-nya.[47]Hadis ini masyhur di kalangan ahli tasawuf. Hadis ini oleh para ulama dianggap sebagai hadis bathil, karena tidak diketahui sumbernya sama sekali. Bahkan menurut al-Suyuthi, hadis ini sebagai hadis maudhu’ atau hadis palsu.[48]
A’jaj al-Khatib mendefinisikan hadis dhaif sebagai suatu hadis yang di dalamnya tidak terdapat ciri-ciri diterimanya suatu hadis. Suatu hadis dimungkinkan menjadi dhaif kualitasnya apabila perawinya disebut sebagai pendusta, atau pernah dituduh berdusta, banyak membuat kekeliruan, suka lupa atau hafalannya tidak kuat, suka berbuat maksiat, banyak angan-angan, menyalahi perawi terpercaya, tidak banyak dikenal, penganut bid’ah dalam hal akidah.[49]
seperti hadis:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْعَرَفَ رَبُّهُ
Artinya:
“Barang siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh dia telah mengenal Tuhannya”.[50]

b)      Hadis Aziz   
Secara etimologis atau bahasa “Aziz” diambil dari kata (عَزَّيَعِزُّ) yang berarti jarang ditemukan. Atau bisa juga dari kata (عَزَّيَعَزُّ)yang berarti kuat.[51]Term ini juga berarti syarif (mulia) dan mahbub (tercinta).Sehingga, hadis ‘aziz secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “hadis yang mulia, hadis yang kuat, hadis yang sedikit atau jarang sekali”.[52]
Secara terminologis, hadis ‘aziz dapat didefinisikan sebagai “hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi atau lebih dalam satu thabaqatnya”.[53]
Hadis Aziz menurut istilah:
مَاجَاءَفِى طَبَقَةٍ مِنْ طَبَقَاتِ رُوَاتِهِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ طَبَقَةٍ اِثْنَانِ
Artinya:
“Hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad”.[54]
Ahmad Ibn Hanbal mengatakan hadis ‘Aziz adalah “Hadis yang rentetan perawinya terdiri dari dua-dua orang, atau pada suatu tingkat terdiri dari dua-dua orang saja”.[55]
Dapat disimpulkan bahwa hadis ‘Aziz bukan hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqat,yakni sejak darithabaqatpertama sampai thabaqatterakhir, tetapi selagi salah satu thabaqatdidapati dua orang perawi, tetap dapat dikategorikan sebagai hadis ‘Aziz.[56]
Contoh hadis ‘Aziz :
لاَيُؤْمِنُ اَحَدَكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَلِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ
Artinya:
“Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia.(H.R. Bukhari)[57]
Hadis tersebut diterima oleh Anas bin Malik dan Rasulullah saw., kemudian diriwayatkan kepada Qatadah dan Abdul Aziz bin Suhaib. Qatadah meriwayatkan kepada dua orang pula, yaitu Syu’bah dan Husain Al-Muallim. Hadis dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh dua orang, yaitu Abdul Al-Waris dan Ismail bin Ulaiyah. Kemudian, dari hadis Husain diriwayatkan oleh Yahya bin Said dari Syubah diriwayatkan oleh Adam, Muhammad bin Jafa, dan juga oleh Yahya bin Said. Adapun hadis dari Ismail diriwayatkan oleh Zuhair bin Harb dari Abdul Al-Waris diriwayatkan oleh Syaiban bin Abi Syaiban, dari Yahya diriwayatkan oleh Musdad, dan dari Jafar diriwayatkan oleh Ibnu Al-Musana dan Ibnu Basyr, sampai kepada Bukhari dan Muslim.[58]
c)      Hadis Gharib
Secara etimologis, Gharib berasal dari kata Gharaba, yaghribu, yang berarti al-munfarid, yaitu menyendiri atau ba’id ‘an wathanih, jauh dari tanah airnya. Gharib juga berarti “terasing/jauh dari tempat tinggalnya”.[59]Gharib merupakan sifat musyabbahah yang bermakna menyendiri.[60]
Secara terminologis, Nur al-Din ‘Itr mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut: “Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkan, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.[61]Hadis ini disebut gharib karena keadaannya asing menurut pandangan rawi-rawi yang lain, seperti keasingan orang yang jauh dari tempat tinggalnya.[62]
Pembagian Hadis Gharib:
1)      Hadis Gharib dilihat dari Sudut Penyendirian Perawi
a)      Hadis Gharib Muthlaq
Dinamakan hadis gharib muthlaq apabila penyendiriannya itu berkaitan dengan keadaan jumlah personalianya. Artinya, hadis itu tidak ada orang lain yang meriwayatkan hadis tersebut kecuali dirinya sendiri.[63]
Para ulama berbeda pendapat tentang penyendirian perawi dalam hadis gharib muthlaq ini, apakah thabaqah sahabat juga dalam kategori ini atau tidak.Sebagian ulama berpendapat bahwa thabaqah sahabat juga masuk dalam kategori ini.Artinya, jika suatu hadis diterima dari Rasul hanya oleh seorang sahabat, hadis tersebut juga disebut sebagai hadis gharib, meskipun pada thabaqah-thabaqah selanjutnya diterima oleh beberapa orang.[64]
Contoh hadis gharib muthlaq, antara lain:
أَلْوَلاَءُ لَحْمَةٌ كَلَحْمَةِ النَّسَبِ لاَيُبَا عُ وَلاَ يُوْ هَبُ
Artinya:
“Kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.[65]
Contoh hadis gharib tersebut diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar, dan dari Ibnu Umar Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkannya. Abdullah bin Dinar adalah seorang tabiin yang hafidz, kuat ingatannya, dan dapat dipercaya.[66]
b)      Hadis Gharib Nisbi
Yang tergolong pada gharib nisbi adalah apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi.Hadis gharib nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), tetapi di pertengahan sanad-nya terdapat tingkatan yang perawinya hanya sendiri (satu orang).[67]
Contoh Hadis Gharib Nisbi, antara lain:
كَا نَ صَلَي االلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِى الأَضْحَى وَ الْفِطْرِبِ (ق) وَقْتَرَ بَتِ السَّعَةٌ وَانْشَقَّ القَمَرُ
Artinya:
“Dikabarkan bahwa Rasulullah saw., pada hari raya kurban dan hari raya fitrah membaca Surat Qaf dan Surat Al-Qamar (H.R. Muslim dan Daruqutni)”.[68]
Hadis tersebut diriwayatkan melalui dua jalur, yakni jalur Muslim dan jalur Ad-Daruqutni. Melalui jalur Muslim, terdapat rentetan sanad Muslim, Malik Dumrah bin Said, Ubaidillah, dan Abu Waqid Al-Laisi yang menerima langsung dari Rasulullah saw. Adapun melalui jalur Daruqutni, terdapat rentetan sanad; Daruqutni, Ibnu Lahiah, Khalid bin Yazid Urwah, dan Aisyah yang langsung menerima dari Nabi.[69]
2)      Hadis Gharib dilihat dari Sudut Keghariban Sanad dan Matan
a)      Gharib pada Sanad dan Matan secara Bersama-sama
Yang dimaksud dengan gharib pada sanad dan matan adalah hadis yang hanya diriwayatkan melalui satu jalur, seperti sabda Rasulullah saw:[70]
كَلِمَتَانِ حَبِيْبَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ تَقِيْلَتَانِ فِى الْمِيْزَانِ : سُبْحَانَ الله وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ (رواه البحارى و مسلم)
Artinya:
“Ada dua kalimat yang disenangi oleh Allah, ringan diucapkan, dan berat dalam timbangan, yaitu kalimat Subhana Allah wa Bihamdih Subhana Allah il’Azim (H.R. Bukhari dan Muslim).[71]
        Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan sanad Muhammad bin Fudail, Abu Zahrah Umrah, Abu Zurah, dan Abu Hurairah. Imam Turumudzi menyatakan bahwa hadis ini adalah gharib, karena hanya rawi-rawi tersebutlah yang meriwayatkan, tidak ada rawi lainnya.[72]    
b)      Gharib pada Sanad Saja
Yang dimaksud dengan gharib pada sanad saja adalah hadis yang telah popular dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang tidak populer. Periwayatan hadis melalui sahabat yang lain seperti ini disebut sebagai hadis gharib pada sanad.[73]
Contoh hadis gharib pada sanad Saja, antara lain:
الْكَا فِرُيَأْ كُلُ فِى سَبْعَةِ أَمْعَا ءَ وَالْمُؤْمِنُ يَأْ كُلُ فِى مَعْىِ وَاحِدٍ
Artinya:
Orang kafir makan dalam tujuh usus, sedang orang mukmin makan satu usus.”[74]
Menurut Al-Hafizh Ibnu Rajab, matan hadis ini melalui beberapa jalur yang diketahui dari Nabi, Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Umar dari Nabi. Adapun hadis Abu Musa Al-Asy’ari yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Kuraib dianggap gharib sebab Kuraib menyendiri dalam meriwayatkan hadis ini.[75]

D.     Distingsi Hadis Mutawatir dan Ahad           

Aspek
Hadis Mutawatif
Hadis Ahad
Jumlah Perawi
Diriwayatkan sejumlah perawi, (pendapat: 4, 40,70 orang)
Jumlah periwayat tidak mencapai hadis mutawatir, baik itu 1, 2,3,atau 4
Asal Usul Hadis
Didapatkan dari panca indra sendiri (langsung)
Tidak langsung dari nabi tetapi melalui pihak lain, seperti sahabat atau keluarga
Jumlah Hadisnya
Cenderung sedikit
Lebih banyak
Keseimbangan Tabaqat
Seimbang antara tabaqat pertama dengan berikutnya
Jumlah rawi masing-masing tabaqat biasa berbeda
Sifat Periwayatannya
Qathi’I al wurud
Dzani al wurud

Menurut tabel diatas dapat kita simpulkan perbedaan Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad dapat dilihat dari 6 aspek diantaranya dari Jumlah Perawinya, Asal-usul Hadisnya, Jumlah Hadisnya, Keseimbangan Tabaqat, serta Sifat Periwayatannya yang mana keseluruhan perbedaan ini sebenarnya sudah dapat kita kihat dari pengertian masing-masing hadis tersebut. Dimana hadis Mutawatir merupakan hadis yang diriwayatkan sekelompok orang, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta sedangkan Hadis Ahad merupakan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir yaitu hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zanni dan tidak sampai kepada qat’i

E.     Penutup
            Dari pembahasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa hadis menutut para rawinya atau ditinjau dari segi kuantitasnya itu dibagi menjadi dua; yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Dimana hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, hal itu seimbang dari permulaan sanad hingga akhir sanad, dan tidak terdapat kejanggalan pada setiap tingkatan (thabaqat). Hadis mutawatir ini dibagi menjadi tiga, diantaranya; hadis ladzi, ma’nawi dan amali.
Sedangkan hadis ahad merupakan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir yaitu hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zanni dan tidak sampai kepada qat’i. hadis ini dibagi menjadi tiga juga, diantaranya; hadis masyur/mustafid (hadis masyur, shahih,dan dhaif), hadis aziz, dan hadis ghaib (ghaib muthlag, ghaib nisbi).


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moh. 1981. Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al Ikhlas.
Anwar, Rusydie. 2015. Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits. Yogyakarta: IRCiSoD.
Hadi, Saeful. 2008. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Sabda Media.
Ichwan, Mohammad Nor. 2007. Studi Ilmu Hadis. Semarang: RaSAIL Media Group.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Marzuqi, Wafi Ammar. 2012. Ulumul Hadis I. Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika.
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Muhammad, Tengku Hasbi Ash-Shiddieqy. 1991. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: PT Bulan Bintang
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sumbulah, Umi, dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.

Catatan:
1.      Abstrak tolong diperbaiki, jangan hanya copy-paste dari google translate.
2.      Saya mengapresiasi pembuatan tabel, tapi ada satu dua yang perlu diperbaiki. Besok ketika di kelas saya berikan keterangannya.


[1]Wafi Marzuqi Amar, ULUMUL HADIS I(Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika, 2012). Hlm. 56
[2] Umi Sumbulah, dkk, Studi Al-Qur’an dan Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2014), Hlm. 187
[3] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis (Semarang: RaSAIL Media Group, 2007), Hlm. 100
[4] Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), Hlm. 113
[5] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), Hlm. 85
[6] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 101
[7] Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 86
[8] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 102
[9] Mudasir, Op. Cit. Hlm. 118
[10] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 103
[11] Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 87
[12] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 104
[13] Saeful Hadi, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Sabda Media, 2008). Hlm. 163
[14] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 104
[15] Umi Sumbulah, dkk, Op. Cit. Hlm. 189
[16] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010). Hlm. 97; Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 105
[17]Badri Khaeruman,Op. Cit. Hlm. 97
[18] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 106
[19] Umi Sumbulah, dkk, Op. Cit. Hlm. 190
[20] Mudasir, Op. Cit. Hlm. 122
[21]Ibid.
[22] Saeful Hadi, Op. Cit. Hlm. 165
[23] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 106
[24] Badri Khaeruman, Op. Cit. Hlm. 98
[25]Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits (Surabaya: Al Ikhlas, 1981). Hlm. 21
[26] Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 90
[27] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 107
[28] Mudasir, Op. Cit. Hlm. 124
[29] Wafi Marzuqi Amar, Op. Cit. Hlm. 58
[30] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 107
[31] Umi Sumbulah, dkk, Op. Cit. Hlm. 191
[32] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm.108
[33] Mudasir, Op. Cit. Hlm. 124
[34]Moh. Anwar, Op. Cit. Hlm. 22
[35]Ibid. Hlm. 31
[36] Badri Khaeruman, Op. Cit. Hlm. 100
[37] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 110
[38] Wafi Marzuqi Amar, Op. Cit. Hlm. 59
[39] Mudasir, Op. Cit. Hlm. 127
[40]Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 110
[41]Ibid. Hlm. 111
[42] Rusydie Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015). Hlm. 257
[43] Mudasir, Op. Cit. Hlm. 128
[44] Rusydie Anwar, Op. Cit. Hlm. 259
[45]Ibid
[46] Mudasir, Op. Cit. Hlm. 129
[47]Ibid.
[48] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 111
[49] Rusydie Anwar, Op. Cit. Hlm. 260
[50] Mudasir, Op. Cit. Hlm. 129
[51] Wafi Marzuqi Amar. Op. Cit. Hlm. 61
[52] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 111
[53]Ibid. Hlm. 112
[54] Mudasir, Op. Cit. Hlm. 132
[55] T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991). Hlm. 207
[56] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 112
[57] Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 98
[58]Ibid.
[59] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 113
[60] Umi Sumbulah, dkk, Op. Cit. Hlm. 197
[61] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 113
[62]Ibid. Hlm. 114
[63]Ibid.
[64] Ibid.
[65] Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 100
[66]Ibid.
[67]Ibid.
[68]Ibid. Hlm. 101
[69]Ibid.
[70] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 117
[71] Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 102
[72]Ibid. Hlm. 102
[73] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit. Hlm. 117
[74] Sohari Sahrani, Op. Cit. Hlm. 103
[75]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar