Senin, 13 Maret 2017

Integrasi Ilmu Sosial dan al-Qur'an (P-IPS C Semester Genap 2016/2017)




Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial dan al-Qur’an
(Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo)

Sayu Darmayanti, Ferdha Indra Prasetya, dan Istianah
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas C Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang


Abstract

This article discusses the matters relating to the integration of social science and the Qur’an or socialprophetic science by Kuntowijoyo. Starting from a position of social science and the Qur’an, the biography of Kuntowijoyo, and the social propheticsciences according Kuntowijoyo. One of his thinking is the socialprophetic science. For him, the social sciences should not be complacent in an attempt to explain or understand the reality and then forgive him for granted but more than that, the social sciences also should to assume the task of transformation towards the ideals of idealized society. Then, he formulated three basic values as the basis of socialprophetic science, namely: humanization, liberation and transcendence. Thus, this prophetic knowledge is presenting Islam as a science with the natural way of thinking of the Qur'an. Moslem not only thinking rationally and left ways of thinking myth, but also thinking empirically in understanding the Qur'an.

Keywords: Kuntowijoyo, Social Sciences Prophetic, Al-Qur’an, Integration


Abstrak
Artikel ini membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan integrasi ilmu sosial dan Al-quran atau ilmu sosial profetik menurut Kuntowijoyo. Mulai dari posisi ilmu sosial dan Al-Qur’an, biografi Kuntowijoyo, serta ilmu sosial profetik menurut Kuntowijoyo. Yang mana pemikirannya yaitu tentang ilmu sosial profetik. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian  memanfaatkannya begitu saja tetapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu : humanisasi, liberasi dan transendensi. Dengan demikian, dengan adanya ilmu sosial profetik ini menghadirkan islam sebagai ilmu dengan cara berpikir alamiah terhadap Al-Qur’an. Selain berpikir secara rasional dan meninggalkan cara-cara berpikir mitos, umat islam harus juga berpikir secara empiris dalam memahami Al-Qur’an.
Keywords: Kuntowijoyo, Ilmu Sosial Profetik, Al-Qur’an, Integrasi

A.    Pendahuluan
      Kehidupan manusia saat ini hanya sekedar memenuhi kebutuhannya tanpa memperhatikan berbagai batasan yang ada, baik batasan sosial, moral maupun ketuhanan. Jika hal itu terus dibiarkan akan semakin menunjukkan kemunduran di segala bidang kehidupan. Oleh karena itu kita harus membutuhkan sebuah perubahan. Untuk mewujudkan perubahan tersebut kita harus mulai mengevaluasi dan mengembangkan perubahan di segala hal. Salah satunya adalah bidang sosial, dengan mempelajari ilmu sosial kita diajarkan mengenai cara atau metode yang tepat dalam melakukan transformasi.
      Menurut pandangan Kuntowijoyo berkaitan dengan persoalan tersebut, beliau merumuskan sebuah kajian tentang ilmu sosial yang menekan pada penggabungan antara ilmu sosial dan agama dalam kerangka pemikiran profetik dikalangan masyarakat yang kemudian disebut sebagai Ilmu Sosial Profetik. Kuntowijoyo juga mengemukakan perlunya islam sebagai teks (al-Qur’an dan al-Sunnah) dihadapkan kepada realitas, baik realitas sehari-hari maupun realitas ilmiah. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu humanisasi, liberasi dan transedensi. Dalam tulisan ini penulis akan menguraikan pemikiran Kuntowijoyo tentang integrasi ilmu sosial dan al-Qur’an atau ilmu sosial profetik.


B.     Posisi Ilmu Sosial dan al-Qur’an

Ilmu sosial, selama ini telah terlanjur dikembangkan dengan satu asumsi yang sangat kuat mempengaruhi perkembangan ilmu sosial, bahwa ilmu dan agama adalah dua hal yang terpisah. Ilmu berada di satu wilayah, agama di wilayah yang lain lagi. Asumsi inilah yang hingga saat ini masih dengan begitu fanatik dipegang oleh para ilmuwan sosial, terutama yang berhaluan positivis. Walaupun tentu saja di sana-sini terdengar gugatan-gugatan terhadapnya, yang tidak saja berasal dari para ilmuwan sosial muslim tapi juga dari para ilmuwan sosial Barat yang menyadari arti penting integrasi agama dan ilmu sosial.[1]
Secara kebahasaan ilmu sosial terdiri atas dua suku kata, yaitu ilmu dan sosial. Ilmu dalam bahasa Inggris diredaksikan dengan science yang berasal dari bahasa Latin scientia mempunyai arti pengetahuan. Sementara itu sosial yang dalam bahasa Inggris dikatakan dengan social memiliki banyak arti. Soekanto menuturkan bahwa istilah sosial dalam ilmu sosial sendiri merujuk pada objeknya, yaitu masyarakat. Dengan demikian dari pemaknaan secara leksikal tersebut, bisa disederhanakan bahwa ilmu sosial merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang masyarakat.[2]
Ilmu-Ilmu sosial (social sciences) tidak pernah mengenal kebenaran pasti. Hal ini jugalah yang membedakannya dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences). llmu-ilmu alam menuntut ukuran matematis yang pasti untuk menghasilkan sebuah pengetahuan objektif sebagai kebenaran tunggal. Ilmu-ilmu alam lebih melihat dunia berdasarkan kacamata oposisi biner; hitam-putih, atau benar-salah. Namun, ilmu-ilmu sosial tidak pernah mengenal kebenaran tunggal. Ia melihat dunia dengan kacamata yang berwarna-warni; merah, putih, hitam, hijau, kuning, biru, dan berbagai warna lainnya.[3]
Ismail Raji al-Faruqi mengemukakan juga pentingnya relevansi ilmu-ilmu Islam dengan ilmu modern dan sintesa kreatif keduanya, tetapi ia tidak mengemukakan tentang bagaimana proses relevansi ilmu-ilmu modern dengan teks al-Qur’an termasuk tidak diungkapkan tentang proses penilaian kritis dan sintesa kreatifnya dalam penafsiran teks al-Qur’an.[4]
Al-Quran merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan (fisik, sosial , budaya). Kitab yang diturunkan merupakan petunjuk etika,kebijaksanaan, dan dapat menjadi Grand Theory.[5] Menurut Hamdi, al-Qur’an bisa menjadi sumber inspirasi atau sumber ilmu pengetahuan tanpa harus terjebak pada penciptaan dinding pemisah antara ilmu Islami dan non-Islami. Mungkin saja ada satu disiplin ilmu yang bisa diturunkan secara langsung maupun terinspirasi dari ayat-ayat al-Qur’an, tetapi itu tidak kemudian menjadikan al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan.[6]
Kuntowijoyo (2005: 24) mengusulkan apa yang disebut dengan pengilmuan Islam, bukan islamisasi pengetahuan. Dengan pemahaman mengenai adanya struktur transendental al-Qur’an, yaitu gambaran kita mengenai sebuah bengunan ide yang sempurna mengenai kehidupan, suatu ide murni yang bersifat metahistoris, Al-Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Premis-premis normatif al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional.[7]
Ayat-ayat Al-Quran sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis uantuk diterjemahkan pada level yang objektif, bukan subjektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis. Sebagaimana kegiatan analisis data akan menghasilkan konstruk, maka demikian pula analisis terhadap pernyataan-pernyataan al-Qur’an akan meghasilkan konstruk-konstruk teoretis al-Qur’an.[8]
Ilmu Integralistik adalah ilmu yang menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ilmu ini tidak akan mengucilkan Tuhan (sekulerisme) atau mengucilkan manusia (other wordly asceticisme) (Kuntowijoyo, 2005: 54-58). Keinginan untuk integrasi ilmu ini telah umum di dunia Islam, baik Sunni maupun Syi’ah (Amin Abdullah,2002).[9]
Dari konsep Alquran, menurut Kuntowijoyo dapat diciptakan teori-teori ilmu sosial. Dalam beberapa tulisan dan artikelnya dia telah memberikan contoh penerapan metode penafsirannya, seperti teori humanisme, emansipasi, liberalisme dan transedental, dengan berpegang ayat 110 surat Ali Imran. Dia juga memberikan penafsiran tentang kaidah-kaidah demokrasi: ta’aruf, syura, ta’awun, maslahah dan ‘adl, teori ekonomi dalam konsep zakat dan sebagainya.[10]
Untuk bisa memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an secara lebih memadai, maka Kuntowijoyo menganjurkan umat Islam untuk kembali kepada misi rasional dan empiris Islam. Upaya ini diperlukan guna mewujudkan program pembaharuan pemikiran untuk reaktualisasi Islam. Adapun program pembaharuan pemikiran yang ia maksudkan adalah: Program pertama, adalah perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih dari pada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu di dalam Al-Qur’an. Program kedua, adalah mengubah cara berpikir subyektif ke cara berpikir obyektif. Program ketiga, adalah mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis. Program keempat, adalah mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis. Dan program yang terakhir adalah bagaimana merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum (general) menjadi formulasi-formulasi yang bersifat spesifik dan empiris”[11]

C.    Biografi Kuntowijoyo

Sebagai salah seorang cendekiawan muslim yang khas, Kuntowijoyo atau yang akrab disapa dengan Kunto, juga dikenal sebagai sejarawan, sastrawan dan budayawan. la dilahirkan di utara pesisir pantaiselatan DIY, tepatnya di desa yang bernama Sorobayan, Sanden, Bantul Yogyakarta pada tanggal 18 September 1943. Kunto adalah anak kedua dari sembilan bersaudara2 dari pasangan suami-istri H.Abdul WahidSosromartojo dan Hj. Warasti.[12] Ayahnya seorang dalang dan pembaca macapat, sedang eyang buyut nya sebagai seorang khathath (penulis mushaf Al-Qur’an dengan tangan). Posisi ayahnya sebagai dalang dan eyang buyut sebagai penulis mushaf Al-Qur’an agaknya berpengaruh terhadap perkembangan pribadinya, khususnya perkembangan sastrawannya. Karyanya yang kental dengan budaya jawa, khususnya dalang dan Islam, bukan tidak mungkin merupakan endapan pengalaman yang semakin lama bersemayam di dalam dirinya. Kuntowijoyo sendiri mengaku banyak dari karyanya merupakan endapan pengalaman sendiri, entah itu pengalaman berpindah-pindah tempat tinggal, kedekatannya dengan surau, persentuhannya dengan pasar, selain pengalaman bacanya. [13]
Kegemaran Kuntowijoyo membaca karya sastra semakin matang semasa ia kuliah di UGM. Selain menulis, semasa mahasiswa Kuntowijoyo mendirikan Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam (Leksi) dan Studi Grup Mantika (bersama dawan Rahardjo, Sju’bahAsa, Chaerul Umam, Arifin C, Noer, Amri Yahya, Ikranagara, dan Abdul Hadi W.M.) Kematangannya sebagai sastrawan dan intelektual semakin terbukti dengan beberapa karya semasa dan setelah ia menyelesaikan studi S- (University of Connecticut, 197) dan S-3 (Columbia University, 1980) di Amerika Serikat. Tidak banyak sastrawan Indonesia yang “sukses” sebagai sastrawan sekaligus sebagai intelektual dan akademisi. Kualitas dan produktifitas Kuntowijoyo menulis karya sastra sebanding dengan kekuatannya menulis karya ilmiah dalam bidang sejarah atau pemikiran sosial berbasis Islam.[14]
Pemikiran keislamannya digodok dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya. Ia pernah aktif di PII dan kelompok diskusi Limited Group. Selama menjadi mahasiswa, ia banyak aktif dalam bidang kesenian dan kebudayaan sehingga dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karya sastranya banyak yang diterbitkan dan mendapat penghargaan. Perhatiannya yang sangat besar terhadap masalah sosial umat Islam juga dilatarbelakangi oleh bidang keilmuan yang ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Ia menyelesaikan sarjananya pada tahun 1969 di UGM Fakultas Sastra Jurusan Sejarah. Gelar Master-nya diperoleh dari University of Connecticut, USA. Gelar Ph.D. dalam study sejarah dari University of Columbia pada tahun 1980 dengan disertasi berjudul “Social Change in an Agrarian Society Madura 1850-1940”. (Kuntowijoyo, 1991).[15] Kuntowijoyo mencapai puncak karir akademik sebagai dosenyaitu pada 21 Juli 2001. la dikukuhkan sebagai guru besar ilmu sejarahpada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakartadengan membawakan pidato pengukuhan berjudul “Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam di Indonesia yang Meliputi Mitos,Idiologi, dan Ilmu”.[16]
Selain latar belakang di atas, ada dua hal penting yang melatarbelakangi pemikirannya tentang transformasi sosial. Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang hanya sampai pada tingkat ideologi. Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami agrarisasi. Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata rantai penting peradaban dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya lokal. Untuk itu ia melakukan analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat perkembangan umat Islam Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan-gagasan transformasi sosial melalui reinterpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia untuk berpikir secara rasional dan empiris. (Kuntowijoyo, 1984); kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan menekankan sekularisasi dan teknokratisasi yang akan melahirkan moralitas baru yang menekankan rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan. (Kuntowijoyo, 1994) Inilah yang mendorong Kuntowijoyo untuk melontarkan Sidik, Paradigma Islam & Transformasi Sosial. pemikirannya tentang paradigma Islam untuk melakukan rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam. Sampai pada tahap ini, iabanyakmelakukananalisissosiologistentangstrukturbudaya, struktur sosial dan struktur teknik.[17]
Kendati menjalani hidup dalam keadaan sakit, semenjakmengalami serangan virus meningo enchepalitis pada 6 Januari 1992, diaterus berkarya sampai detik-detik akhir hayatnya. Prof Dr Kuntowijoyomeninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit sesak napas, diaredan ginjal.Kuntowijoyo merupakan sosok yang produktif dan begitukonsisten dalam melahirkan karya-karya berbobot. Salah satu karyamonomentalnya yaitu Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi (1991) yangmenjadi magnum opusnya. Buku-buku Dinamika Sejarah Umat IslamIndonesia (1985); Budaya dan Masyarakat (1987); Identitas Politik Umat Islam(1987); Muslim Tanpa Masjid (2001); dan Selamat Tinggal Mitos, SelamatDatang Realitas (2002). Karya-karya ini dapat pengakuan luas dariberbagai kalangan media masa, perorangan dan masyarakat muslim lebihluas.[18]
Mengenai corak pemikiran Kuntowijoyo, Syafi’i Anwar menulisdi dalam bukunya yang berjudul Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia,memasukkan Kuntowijoyo dalam kelompok cendikiawan muslimdengan pemikiran transformatif.7 Pada sisi ini pemikiran Kuntowijoyobanyak didasarkan pada analisis sejarah sosial.Menurut M. Dawam Raharjo, sebagai seorang cendekiawanmuslim, pemikiran-pemikiran sosial-keagamaan Kuntowijoyo bertolakdari usaha pemahaman langsung terhadap ajaran-ajaran Islam, terutamaAl-Qur’an, tanpa lewat tafsir-formal Al-Qur’an. Dalam hal ini diaberusaha menangkap makna-makna dalam Al-Qur’an dengan memakaikerangka ilmu.Fahri All dan Bahtiar Efendi menyatakan bahwa “GagasangagasanKuntowijoyo mewakili pandangan kekinian berdasarkan evolusisejarah”.9 Itu berarti gagasan-gagasannya telah memberikan kontribusidalam memperkaya khazanah pemikiran Islam dan menjadi variantersendiri spektrum intelektual Islam Indonesia.Bahkan sebagaimana yang dikatakan M. Azhar, gagasanKuntowijoyo sangat unik dan genuine yang tiada padanya denganintelektual lainnya, di mana ia dapat mensintesiskan antara paradigmaIslam maupun pendekatan ilmu-ilmu sosial Barat secara genuine.[19]


D.    Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo
Ilmu-ilmu sosial profetik yang ditawarkan Kuntowijoyo, pada mulanya lebih bersifat tawaran alternatif, karena dia kurang sependapat dengan istilah teologi transpormatifnya Abdurrahman. Dia mengatakan bahwa di lingkungan kita, gagasan mengenai pembaruan teologi dan sejenisnya tampak belum dapat diterima. Ini terjadi karena beberapa alasan, terutama berkenaan dengan konsep teologi itu sendiri. Umat Islam memahami teologi dengan persepsi yang berbeda-beda, sebagian besar mengartikan konsep tersebut sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan (tauhid). Mereka menganggap masalah teologis sudah selesai dan tidak perlu dirombak. (Kuntowijoyo, 1994)[20]
Ilmu Sosial Profetik. Kritik – kritik terhadap ilmu sosial akademis (value-free, empiris analitis, liberal) semuanya merujuk kepada ilmu yang memperhatikan nilai (perfeksionis, berpihak). Disusulkannya ilmu – ilmu yang communitarian ialah supaya demokrasi bener – bener terwujud. Maka sebuah ilmu yang mengandung nilai – nilai Islam dan berpihak kepada umat adalah sah sebagai ilmu.[21]
Dalam pandangan Kuntowijoyo, ilmu-ilmu sosial sekarang sedang mengalami kemandekan, fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala saja. Ini menurutnya tidak cukup. Ilmu-ilmu sosial di samping menjelaskan, juga harus dapat memberi petunjuk ke arah transpormasi, sesuai dengan cita-cita profetiknya, yaitu humanisasi atau emansipasi, liberalisasi dan transedental. (Raharjo, 1994).[22]
Ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan cita – cita etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita – cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya.[23] Bagi kita itu berarti perubahan yang di dasarkan pada cita – cita humaniasi / emansipasi, liberasi, dan transedensi, suatu cita – cita profetik yang di derrivikasikan dari misi historis islam sebagai mana terkandung dalam ayat 110, surat Ali – Imron : [24]
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.[25]
Ilmu Sosial Profetik atau biasa disingkat ISP adalah salah satu gagasan penting Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan memahaminya begitu saja tapi lebih dari itu. Secara substansial kata “Profetik” dipakai sebagai kategori etis yang mengarah pada kesadaran para nabi (prophet) yang terlibat dalam sejarah 1) memanusiakan manusia, 2) membebaskan manusia, dan 3) membawa manusia berjalan menuju Tuhan. Dengan kata lain, upaya profetik mencoba menyatukan wahyu Tuhan dengan temuan pikiran manusia. la kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi. Upaya para nabi untuk memanusiakan manusia kemudian disebut humanisme/emansipasi, membebaskan manusia disebut liberasi, dan membawa manusia berjalan menuju Tuhan disebut transendensi.[26]
1.      Humanisasi
      Humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar ma’ruf yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.[27]
      Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia.13 Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusi (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi.[28]
      Dalam tema umum humanisasi dapat dilakukan penelitian tentang berbagai gejala sosial dan pemecahannya, yaitu dehumanisasi (obejktivitas teknologis, ekonomis, budaya, atau negara), agresivitas (agresivitas kolektif, dan kriminalitas), dan loneliness (privatisasi, individuasi). Ketiganya perlu penelitian teoritis, historis, dan kasus.[29]
      Pilar humanisasi atau amar ma’ruf. Individu yang terinternalisasi oleh nilai ini akan memiliki karakter seperti: (1) menjaga persaudaraan sesama meski berbeda agama, keyakinan, status sosial-ekonomi, dan tradisi, (2) memandang seseorang secara total meliputi aspek fisik dan psikisnya atau raga dan jiwanya, (3) menghindarkan berbagai bentuk kekerasan terhadap siapa pun dan di mana pun termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan (4) membuang jauh sifat kebencian. Setiap orang memiliki keterbatasan sehingga dimungkinkan melakukan kesalahan atau ketidaksempurnaan. Menerima kekurangan orang lain akan menghilangkan kebencian yang terkadang mendera jiwa seseorang.[30]

2.      Liberasi
      Liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik adalah definisi teoritis dari Nahiy Mungkar yang diterjemahkan secara operasional menjadi membebaskan manusia dari perbudakan.[31] Liberasi di sini sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan). Hanya saja Ilmu Sosial Profetik tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai ideology sebagaimana komunisme. Liberasi Ilmu Sosial Profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu.[32]
      Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.[33]
      Pilar liberasi atau nahi munkar. Individu yang terinternalisasi nilai ini akan memiliki karakter di antaranya: 1) memihak kepada kepentingan rakyat (wong cilik), tidak membebani rakyat dengan prosedur yang rumit atau biaya tinggi, 2) menegakkan keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan, dengan membuat program dan sistem yang mampu menjaga diri dan lingkungan sosialnya untuk mendukung dan berpartisipasi, dan 3) memberantas kebodohan dan keterbelakangan sosial-ekonomi (kemiskinan) melalui pendidikan yang membebaskan dan pengembangan ekonomi kerakyatan.[34]

3.      Transendensi
      Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi adalah konsep yang diderivasikan dari tu’minuna bi Allah (beriman kepada Allah). Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.[35]
      Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya.[36]
      Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transedental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus di lakukkan, yaitu membersihkan diri dengan mengingat kembali dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.[37]

      Dari gagasan mengenai ilmu sosial profetik ini, sesungguhnya kita tak perlu mengidap kekhawatiran yang berlebihan terhadap dominasi sains Barat dewasa ini.[38] Dalam bidang ilmu dan teknologi, kita tidak boleh bersikap tertutup. Sekalipun kita yakin bahwa islam itu bukan timur dan bukan barat. Dalam sejarah kita melihat islam mewarisi peradaban Yunani – Romawi di barat, dan peradaban, Persia, India, dan Cina di timur.[39] Selama abad VII sampai abad XV, ketika peradaban – peradaban besar di barat dan timur tenggelam dan mengalami kemerosotan, Islam bertindak sebagai pewaris umatnya untuk kemudian di ambil alih oleh peradaban barat sekarang melalu Renaisme. Jadi islam menjadi mata rantai yang penting dalam sejarah peradaban dunia. Dalam kurun selama delapan abad itu, Islam bahkan mengembangkan warisan – warisan ilmu pengetahuan dan teknologi dari peradaban – peradaban tersebut.[40]

E.     Penutup
      Ilmu sosial merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang masyarakat. Ilmu-Ilmu sosial (social sciences) tidak pernah mengenal kebenaran pasti. Sedangkan Al-Quran merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan (fisik, sosial , budaya). Kitab yang diturunkan merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan, dan dapat menjadi Grand Theory. Dari konsep Al-quran, menurut Kuntowijoyo dapat diciptakan teori-teori ilmu sosial. Dalam beberapa tulisan dan artikelnya dia telah memberikan contoh penerapan metode penafsirannya, seperti teori humanisme, liberalisme dan transedental, dengan berpegang ayat 110 surat Ali Imran.
      Kuntowijoyo lahir di Yogyakarta pada tanggal 18 September 1943, ia merupakan seseorang yang menggemari membaca dan menulis. Selain menulis, semasa mahasiswa Kuntowijoyo mendirikan Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam dan Studi Grup Mantika berbagai aktivitas sosial dan budaya. Perhatiannya yang sangat besar terhadap masalah sosial umat Islam juga dilatarbelakangi oleh bidang keilmuan yang ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Ia menyelesaikan sarjananya pada tahun 1969 di UGM Fakultas Sastra Jurusan Sejarah. S-2 di University of Connecticut, USA. S-3 di University of Columbia (1980). Hal yang melatar belakangi pemikirannya tentang transformasi sosial. Menurutnya, pertama; Islam yang masuk ke Indonesia bersifat terbuka, global dan kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan transformasi sosial melalui reinterpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia untuk berpikir secara rasional dan empiris. Kedua; adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan menekankan sekularisasi dan teknokratisasi yang akan melahirkan moralitas baru yang menekankan rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan pemikirannya tentang paradigma Islam untuk melakukan rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam.
      Dalam Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo, menawarkan adanya cara pandang baru terhadap Al-Qur’an dilihat dari segi ilmu sosial. Dengan ilmu sosial profetik, kita juga akan melakukan reorientasi terhadap epistimologi, yaitu berorientasi terhadap mode oh thought and made of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiri, tapi juga dari wahyu. Dengan kata lain, upaya profetik mencoba menyatukan wahyu Tuhan dengan temuan pikiran manusia yang kemudian akan memunculkan penafsiran baru yang nantinya akan merujuk pada perubahan atau transformasi sosial. la kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi.


Daftar Pustaka

Afwadzi, Benny. Membangun Integrasi Ilmu-ilmu Sosial dan Hadis Nabi. Jurnal Living Hadis, Volume 1, no. 1, Mei 2016.
Anwar, Wan. 2016. Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya. Jakarta : PT. Grasindo.
Bisyri, M. Hasan. Mengakhiri Dikotomi Ilmu Dalam Dunia Pendidikan. Forum Tarbiyah Vol. 7, no. 2, Desember 2009.
Irwanto. Pendektan Ilmu Sosial Profetik Dalam Memahami Makna Ayat-ayat Al-Qur’an. Literasi, Volume. V, no. 1 Juni 2014.
Kuntowijoyo. Ilmu Sosial Profetik : Etika Perkembangan Ilmu-Ilmu Sosial. Al-Jami’ah, no. 61/1998.
Kuntowijoyo. 2004. Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi, dan Etika. Jakarta : Teraju.
Kuntowijoyo. 2008. Paradigma Islam : Interprestasi Untuk Aksi. Bandung : PT Mizan Pustaka.
Muttaqin, Husnul. Menuju Sosiologi Profetik. Sosiologi Reflektif, Volume 10, no. 1 Oktober 2015.
Roqib, Moh. Pendidikan Karakter Dalam Prespektif Profetik. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, no. 3, Oktober 2013.
Rosadisastra, Andi. Integrasi Ilmu Sosial Dengan Teks Agama Dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an. Mutawatir : Jurnal Ilmu Keilmuan Tafsir Hadis Volime. 4, no. 1, Juni 2014.
Sidik. Paradigma Islam dan Transformasi Sosial (Studi Pemikiran Kuntowijoyo). Jurnal   Hunafa Vol. 2 no. 3 Desember 2005: 243-250.

Catatan:
1.      Makalah ini tolong diperbaiki, sebab banyak yang hanya copy-paste dari jurnal ilmiah apa adanya, dan tidak melihat logika kalimat/paragraf/bahasan yang dibangun.
2.      Berikan cakupan yang jelas di masing-masing pembahasan, jangan tumpang tindih.
3.      Cara penulisan penutup salah.




[1] Husnul Muttaqin, Menuju Sosiologi Profetik, Sosiologi Reflektif, Volume 10, no. 1 Oktober  2015, hlm. 222.
[2] Benny Afwadzi, Membangun Integrasi Ilmu-ilmu Sosial dan Hadis Nabi, Jurnal Living Hadis, Volume 1, no. 1, Mei 2016, hlm. 103.
[3] Ibid, hlm. 104.
[4] Andi Rosadisastra, Integrasi Ilmu Sosial Dengan Teks Agama Dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Mutawatir : Jurnal Ilmu Keilmuan Tafsir Hadis Volime. 4, no. 1, Juni 2014, hlm. 92.
[5] M. Hasan Bisyri, Mengakhiri Dikotomi Ilmu Dalam Dunia Pendidikan,  Forum Tarbiyah Vol. 7, no. 2, Desember 2009, hlm. 190.
[6] Andi Rosadisastra, Integrasi Ilmu Sosial, Op.cit, hlm. 93.
[7] M. Hasan Bisyri, Mengakhiri Dikotomi, Op.cit, hlm. 190.
[8] Ibid.
[9] Ibid, hlm. 191.
[10] Sidik, Paradigma Islam dan Transformasi Sosial (Studi Pemikiran Kuntowijoyo), Jurnal   Hunafa Vol. 2 no. 3 Desember 2005: 243-250, hlm. 248.
[11] Irwanto, Pendektan Ilmu Sosial Profetik Dalam Memahami Makna Ayat-ayat Al-Qur’an, Literasi, Volume. V, no. 1 Juni 2014, hlm. 8
[12] Ibid, hlm. 2-3.
[13] Wan Anwar, Kuntowijoyo :Karya dan Dunianya. Jakarta : PT. Grasindo. 2016, hlm. 3.
[14]Ibid, hlm. 4.
[15]Sidik, Paradigma Islam, Op.cit, hlm. 244.
[16]Irwanto. Pendektan Ilmu Sosial, Op.cit, hlm. 3.
[17]Sidik, Paradigma Islam, hlm. 244.
[18]Irwanto, Pendektan Ilmu Sosial, Op.cit, hlm. 3
[19]Ibid, hlm. 4.
[20] Sidik, Paradigma Islam, Op.cit, hlm. 248.
[21]Kuntowijoyo, Ilmu Sosial Profetik : Etika Perkembangan Ilmu-Ilmu Sosial, Al-Jami’ah, no. 61/1998, hlm. 68

[22] Sidik, Paradigma Islam, Op.cit, hlm. 249.
[23] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi, dan Etika, (Jakarta : Teraju, 2004), hlm. 91.
[24] Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interprestasi Untuk Aksi, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2008), hlm. 483.
[25] Al-Qur’an Al-Karim surat Ali Imran ayat 110
[26] Irwanto, Pendekatan Ilmu, Op.cit, hlm. 4-5.
[27] Husnul Muttaqin, Menuju Sosiologi, Op.cit, hlm. 225.
[28] Irwanto, Pendektan Ilmu, Op.cit, hlm. 5.
[29] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Op.cit, hlm. 105
[30] Moh Roqib, Pendidikan Karakter Dalam Prespektif Profetik, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, no. 3, Oktober 2013, hlm. 245.
[31] Irwanto, Pendektan Ilmu, Op.cit, hlm. 5
[32] Husnul Muttaqin, Menuju Sosiologi Profetik, Op.cit, hlm. 226.
[33] Irwanto, Pendektan Ilmu, Op.cit, hlm. 6
[34] Moh Roqib, Pendidikan Karakter, Op.cit, hlm. 245.
[35] Irwanto, Pendektan Ilmu, Op.cit, hlm. 6
[36] Husnul Muttaqin, Menuju Sosiologi Profetik, Op.cit, hlm. 228.
[37] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Op.cit, hlm. 92.
[38] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Op.cit, hlm. 484
[39] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Op.cit, hlm. 94.
[40] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Op.cit, hlm. 486

Tidak ada komentar:

Posting Komentar