Selasa, 14 Maret 2017

Sumber Fiqih yang Tidak Disepakati (PAI C Semester Genap 2016/2017)





SUMBER HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI (ISTIHSAN, ISTISHAB, DAN MASLAHAH MURSALAH)

Fina Idamatus Silmi, Haris Abdurrahman, Fitratunnisa, Mohumudzakee Darh Salaeh
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
                                    e-mail: finaachmad42@gmail.com

Abstract
In usul fiqh sources of law are not agreed upon which includes istihsan, istishab, and maslahah mursalah. The three sources of this law still refers to the Qur'an and the Sunnah of the Prophet, but here too there are elements Mujtahids ratios and also in terms of the kemadharatan (good and bad) to be received by a man of the law set forth above him. Of the three sources of this law in practice there mujtahid imams who use as evidence and some are refusing to make the three sources of this law as evidence in determining the laws of Personality '. Why the need for sources of Islamic law, namely as a means Muslims to determine a law that is not in the Qur'an and Sunnah, so it is necessary to use these laws to facilitate applying the laws, with due regard to the provisions of the terms may dijadikannya as evidence. Thus, in this paper will explain what it istihsan, istishab, mursalah beneficiaries along with requisite conditions, kehujahan position.

Abstrak
   Dalam ushul fiqih terdapat sumber hukum yang tidak disepakati yang meliputi istihsan, istishab, dan maslahah mursalah. Ke tiga sumber hukum ini tetap mengacu kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tapi disini juga terdapat unsur-unsur rasio para mujtahid dan juga melihat dari segi kemadharatan (baik-buruk) yang akan diterima oleh manusia atas hukum yang ditetapkan atas dirinya. Dari ketiga sumber hukum ini dalam prakteknya para imam mujtahid ada yang memakai sebagai hujjah dan ada pula yang menolak menjadikan ketiga sumber hukum ini sebagai hujjah dalam menentukan hukum syara’. Mengapa perlu adanya sumber-sumber hukum islam ini, yaitu sebagai alat umat islam untuk menentukan suatu hukum yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, sehingga perlu digunakan sumber hukum tersebut untuk memudahkan menetapkan hukum, dengan memperhatikan syarat ketentuan boleh dijadikannya sebagai hujjah. Sehingga dalam makalah ini akan dipaparkan apa itu istihsan, istishab, maslahat mursalah beserta syarat ketentuan, kedudukan kehujahan.

Kata kunci : Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah.

A.  Pendahuluan
          ushul fikih merupakan salah satu instrumen yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan ijtihad dan istinbath hukum islam. Oleh sebab itu penguasaan ilmu yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid merupakan syarat mutlak untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada aturan dan tatanan yang semestinya. Meskipun demikian, tidak daapat dipungkiri dan dijamin bahwa keputusan atau hasil dari ijtihad para ulama ini sama. Karena pada hakikatnya setiap manusia memliki pemahaman yang berbeda-beda misalnya, pada penentuan ke-shahiahan sebuah hadits yang akan dijadikan sebagai hujjah dari sebuah hukum dan banyak mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para ushuliyyun.
          Dalam ilmu ushul fiqih Dalam menentukan sumber hukum sendiri ada 2 macam yaitu sumber hukum yang dipsepakatiyaitu ijma’ dan qiyas serta sumber hukum islam yang tdak diseakati yang meliputi istishan, istishab, san masalahah mursalah. Dengan perkembangan zaman permasalahan-permasalahan yang harus dipecahkan juga semakin banyak dan kesemuanya itu harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, dan dengan perkembangan zaman itu pula banyak permasalahan-permasalahan yang ada belum dibahas secara gamblang di zaman Rasulullah, sehingga para ulama harus berijtihad dengan menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan dan dengan bantuan beberapa sumber hukum seperti yang sudah disebut diatas.
          Sehingga para mujtahid juga harus memahami apa saja sumber hukum yang disetujui dan mana sumber hukum yang tidak disepakati, sehingga dalam memutuskan suatu hukum mujtahid tetap ada pada tatanan syariat islam. Sebagai seorang muslim sepatutnya kita mengetahui tentang ilmu ushul fikih agar kita tahu bagaimana suatu hukum itu dibuat dan diputuskan sehingga dijadikan sebagai panutan atau tuntunan seorang muslim dalam beribadah. Sehingga disini akan diulas sedikit tentang sumber hukum islam yang tidak disepakati yaitu istihsan, istishab, dan maslahah mursalah.
B.  Pembahasan sumber hukum istihsan
a.      Pengertian Istihsan

          Secara etimologi istihsan ialah “mengatakan dan meyakini baiknya sesuatu”. Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan dalam pengertian etimologi karena lafal yang seakar dengan istihsan banyak dijumpai dalam al-qur’an dan sunnah rasulullah saw. Misalnya dalam surat al-zumar ayat 18 Allah berfirman:[1]
Artinya:Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
          Secara terminologi Imam Al-Bazdawi (400-482 H/1010-1079 M: Ahli Ushul Fiqih Hanafi) mendefinisikan istihsan dengan:[2]
“Berpaling dari kehendak qiyas kepada yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat”.
          Menurutnya dalam kasus-kasus metode qiyas sulit untuk diterapkan, karena ‘illat yang ada pada qiyas amat lemah. Oleh sebab itu perlu dicarikan metode lain yang mengandung motivasi hukum yang lebih kuat sehingga hukum yang diterapkan pada kasus tersebut lebih tepat dan sejalan dengan tujuan-tujuan syara’.[3]
          Imam Al-Sarakhsi (w. 483 H/1090 M, Ahli Fiqih Hanafi), mengatakan:“Istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia”.
          Imam Malik sebagai dinukilkan Imam Syathibi (w. 790 H, Ahli Ushul Fiqih Maliki), mendefinisikan istihsan dengan:“Memberlakukan kemaslahatan jui’z ketika berhadapan dengan kaidah umum”.
          Kemudian ia menambahkan bahwa hakikat istihsan adalah mendahulukan mashlahah al-mursalah dari qiyas. Artinya apabila terjadi pebenturan antara qiyas dengan mashlalah al-mursalah, maka yang diambil adalah mashlahah al-mursalah, dan qiyas ditinggalkan karena apabila qiyas tetap digunakan dalam kasus seperti ini maka tujuan syara’ dalam pensyariatan hukum tidak tercapai. Oleh sebab itu bagi ulama Malikiyyah teori istihsan merupakan salah satu teori dalam mencapai kemaslahatan yang merupakan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.[4]
          Al-Syathibi mengatakan bahwa istihsan tidak semata-mata didasrkan kepada logika dan hawa nafsu, tetapi didasarkan kepada dalil yang lebih kuat. Dalil yang menyebabkan pemalingan ini adalah nash (ayat atau hadits), ijma, ‘urf (adat  kebiasaan yang berlaku umum), dan ada kalanya melalui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan menghilangkan kesulitan. Dikalangan ulama Hanabilah terdapat definisi istihsan. Ibn Qudamah (541-620 H/1147-1223 M), Ahli Ushul Fiqih Hanbali mendefinisikannya dengan:[5]
Berpaling dari hukum dalam suatu masalahdisebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan baik dari ayat al-qur’an maupun sunnah rasul.
          Imam Al-Ghazali secara tegas memang menolak istilah istihsan tetapi secara substansial ia menerima konsep istihsan yang dikemukakan imam al-karakhi (tokoh ushul fiqih hanafiyyah) ada empat bentuk yaitu:
1.      Meninggalkan qiyas al-jaliy dan mengambil giyas al-khafiy karena ada indikasi yang menguatkanya.
2.      Meninggalkan qiyas karena mengikuti pendabat sahabat.
3.      Meninggalkan qiyas karena ada hadits yang lebih tepat
4.      Meninggalkan qiyas karena adat kebiasaan (‘urf) menghendakinya.[6]
          Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa tiga bentuk pertama dapat diterima, tetapi bentuk terakhir termasuk istihsan al-bathil (istihsan yang batal). Dengan demikian istihsan yang ditolak imam al-ghazali adalah istihsan al-‘urfi.Dari berbagai definisi istihsan yang dikemukakan ulama mazhab di atas maka dapat disimpulkan bahwa esensi dari istihsan yaitu:
1.      Mentarjih qiyas al-khafiy dari pada qiyas al-jaliy karena ada dalil yang mendukungnya.
2.      Memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli atau kaidah umum, didasarkan kepada dalil khusus yang mendukungnya.
b.      Kehujjahan Istihsan
        Sebagaimana telah dijelaskan, istihsan berarti berpalingnya seorang mujtahid dari suatu hukum pada suatu masalah dari yang sebandingnya kepada hukum yang lain karena ada dasar pertimbangan yag lebih pendting yang menghendaki perpaligan.Adapun dasar pertimbangan ulama dalam menetapkan hukum dengan istihsan adalah terwujudnya tujuan hukum yang hendak dicapai untuk kepentingan umat, atau dengan perketaan lain yang menjadi dasar pertimbangan istihsan adalah realisasi dan terpeliharanya kemaslahatan dan kepentingan umat sebagai tujuan syari’at atau maqasid al-syar’i.[7]
Maqasid adalah bentuk jamak dari maqshid, artinya tujuan kehendak, atau rahasia. Untuk menjelaskan tentang tujuan dan rahasia syari’at, para ulama ushul fikih sering menggunakan bentuk jamaknya, yaitu maqashid al-syari’at. Untuk menjelaskan tentang tujuan dan rahasia syari’at itu, kata maqashid kadang-kadang digabungkan dengan al-syari’at dan kadang-kadang digabungkan dengan al-syar’i dengan maksud dan pengertian yang sama.
             Pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan istihsan. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara’ yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, dan Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua yang menolak penggunaan isthihsan sebagai dalil syara’ yaitu Asy-Syafi’i, Zahriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah.[8]
             Para ulama yang menggunakan istihsan sebagai dalil syara’ mengemukakan banyak argumen diantaranya[9]:
·         Menggunakan istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai dengan firman Allah SWT pada Surah Al-Baqarah 185:
Artinya:Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
·         Firman Allah SWT Pada Surah Az-Zumar 55:
Artinya: Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.
·         Ucapan Abdullah bin Mas’ud
فمارآه المسلمون حسنا فهوعند ا للله حسن
Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah SWT.
          Sementara itu, kelompok ulama yang menolak kehujjahan istihsan mengemukakan dalil antara lain:
a.       Firman Allah SWT Pada Surah Al-Maidah 49:
Artinya:Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengiku      hawa nafsu mereka.
b.      Firman Allah SWT Pada Surah An-Nahl 44:
Artinya: Dan kami turunkan kepada al-qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
c.       Rasulullah SWT tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan yang dasarnya adalah nalar murni, melainkan menunggu turunya wahyu. Setiap orang boleh menetapkan hukum baru untuk kepentingan dirinya.
c.       Macam-macam Istihsan
          Para Ulama Hanafiyyah membagi istihsan beberapa macam yaitu[10]:
·         Istihsan Bi Al-Nash
          Yaitu berpindahnya dari satu penerapan hukum berdasarkan prinsip dasar universal yang ditetapkan dengan dalil dengan cakupan umum karena secara spesifik terdapat nash dari Al-Qur’an atau Al-Sunnah yang menyalahi kaidah umum.[11]
                        Contoh Istihsan dari Al-Qur’an adalah diperbolehkan wasiat. Karena dengan penerapan qiyas, maksudnya kaidah umum. Seharusnya hal ini tidak diperbolehkan, karena dalam wasiat terdapat pengalihan hak milik setelah status kepemilikannya hilang, yakni dengan meninggalnya pemilik hak. Namun kaidah umum ini mengalami pengencualian dengan adanya nash Al-Qur’an yakni:
            Artinya :Pembagian-pembagiantersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat dan sesudah dibayar hutangnya (QS: An-Nisa 11).
                        Atau juga dalam kasus ketika seseorang bernadzar untuk menyedekahkan hartanya.Dengan penerapan qiyas, seharusnya ia menyedekahkan seluruh hartanya. Namun dengan istishan, ungkapan harta diarahkan pada hal yang menjadi kewajiban zakatnya berdasarkan firmal allah:
          Artinya:Ambillah zakat dari harta mereka (QS: At-Taubah 103)
          Sedangkan contoh istihsan dengan Al-Sunnah adalah keabsahan puasa dari orang yang makan atau minum karena lupa. Berdasarkan kaidah umum seharusnya puasa orang tersebut adalah batal. Akan tetapi hukum ini dikecualikan oleh hadits Rasulullah saw yang mengatakan:“siapa yang makan atau minum karena lupa tidak batal puasannya karena hal itu merupakan rezeki yang diturunkan allah kepadanya. (H.R. Al-Tirmidzi).
·         Istihsan Bi Al-Ijmah (istihsan yang didasarkan ke pada ijma)
                        Misalnya dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan beberapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi  hal ini dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.
·         Istihsan Bi Al-Qiyas al-Khofi (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi)
                        Misalnya dalam masalah wakaf lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas jaliy (qiyas yang nyata), wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggudurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu hak orang lain untuk melewati tanah tersebut hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termaksud dalam akad wakaf, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Menurut qiyas al-kahafiy (qiyas yang tersembunyi) wakaf ini sama dengan sewa menyewa karena dari wakaf ini memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan. Apabila seorang mujtahid mengambil hukum kedua qiyas al-khafiy maka ia disebut berdalil dengan istihsan.
·         Istihsan Bi Al-Mashlahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan)
                        Misalnya ketentuan umum menetapkan bahwa buruh di suatu pabrik tidak bertanggungjawab atas kerusakan hasil komoditi yang diproduk pabrik, kecuali atas kalaian dan kengesengajaan mereka karena mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Maka ulama Hanafiyyah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus bertanggungjawab atas kerusakan setiap produk pabrik iru, baik disengaja maupun tidak.
                        Ulama Malikiyyah mencontohkan dengan kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam berobat. Menurut kaidah umum (qiyas) seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya, maka untuk kemaslahatan diri orang itu, menurut kiadah istihsan seorang dokter boleh melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
·         Istihsan Bi Al-‘Urfl (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum) Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma no kedua di atas tadi yaitu dalam masalah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak air dan lama pemandian itu digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam menentukan lama dan jumlah yang terpakai.
·         Istihsan Bi Al-Dharurah ( istihsan berdasarkan keadaan darurat)
                        Artinya keadaan-keadaan darurat yng menyebabkan seseorang mujthhid tidak memberlakukan kaidah umum qiyas. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari air mata air, sulit untuk dikeringkan. Akan tetapi ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini untuk menghilangkan najis cukup dengan memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur itu karena keadaan drurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan hidupnya.
Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istishan ada 3 macam, Yaitu :[12]
a.       Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas-dhahir kepada yang dikehendaki oleh qiyas-Khafi. Dalam hal ini si mujtahid tidak menggunakan qiyas dhahir dalam menetapkan hukumnya, tetapi menggunakan qiyas khafi, karena menurut perhitunggannya cara itulah yang paling kuat (tepat).
b.      Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum itu tidak digunakan, dan sebagai gantinya digunakan dalil khusus.
c.       Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian.
C.      Pembahasan sumber hukum istishab
a.      Pengertian Istishhab
          Menurut Istilah Ushul istisab yaitu hukum terhadap sesuatu dengan keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil untuk mengubah keadaan. Atau menjadikan hukum yang tetap dimasa yang lalu, tetapi tetap dipakai sampai sekarang dan sampai ada dalilnya untuk mengubahnya[13].
          Secara Istilah ada beberapa definisi istishhab yang dikemukakan para ahli ushul fiqih. Imam Al-Ghazali mendefinisikan istishhab yaitu berpegang teguh pada dalil akal atau syara’, bukan didasarkana karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian, serta diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. Ibn Hazm (384-456 H/994-1064 M/Tokoh Ushul Fiqh Zhahiriyah) mendefinisihkan istishhab dengan berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (ayat dan hadits) sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan[14]. Kedua definisi ini mengandung pengertian bahwa hukum-hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang, selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu. Misalnya seorang membeli seekor kuda pacuan yang menurut penjualnya kuda tersebut telah terlatih untuk berpacu dan telah sering ikut pacuan. Akan tetapi setelah dibeli ternyata kuda tersebut belum terlatih untuk berrpacu, karena pada dasarnya karena pada dasarnya seekor kuda belum terlatih untuk berpacu, kecuali ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kuda itu telah sering ikut pacuan[15].
          Dari segi etimologi istishhab berarti meminta kebersamaan (thalab al-mushahabah), atau berlanjutnya kebersamaan (istimrar ash-shuhbah). Sedangkan dari segi terminologi terdapat beberapa definisi istishhab yang dikemukakan ulama antara lain[16].
1.      Menurut Asy-Syaukani
بقاءالامرمالم يوجدمايغيره
Tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang mengubahnya. Maksudnya yaitu hukum suatu masalah di masa lalu tetap berlaku di masa kini dan di masa yang akan datang, dengan syarat tidak terdapat perubahan pada masalah tersebut.
2.      Menurut Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (w. 715 H)
إستد ا مة ما كا ن ث بتا ونفي ماكان منفيا حتى يقوم دليل على تغيرالحال
Mengukuhkan berlakunya suatu hukum yang telah ada, atau menegaskan suatu  uhukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut. Maksudnya ialah suatu hukum baik dalam bentuk positif atau negatif, tetap berlaku selama belum ada yang mengubahnya, dan status keberlakuan hukum tersebut tidak memerlukan dalil lain untuk tetap terus berlaku.
3.      Menurut Ibnu Hazm
بقاءحكم الاصل الثابت بالنصو ص حتى يقوم الدليل منهاعلى التغير
Tetap berlakunya suatu hukum didasrkan atas nashsh, sampai ada dalil yang menyatakan berubahnya hukum tersebut. Maksudnya ialah suatu hukum dinyatakan tetap berlaku jika landasannya adalah nashsh.
          Dari ketiga definisi yang dilakukan ulama di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istishhab memiliki beberapa unsur ketentuan sebagai berikut.
1.      Setiap hukum yang telah ada pada masa lalu, baik dalam bentuk itsbat (pengukuhan suatu hukum) maupun dalam bentuk nafy (penegasian hukum), maka hukum tersebut dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang.
2.      Perubahan hukum yang ada hanya dapat terjadi, jika terdapat dalil yang mengubahnya.
3.      Berbeda dengan ulama lainya, Ibnu Hazm menegaskan pengakuan terhadap berlakunya hukum di masa lalu harus berdasarkan dalil nashsh.
b.      Macam-Macam Istishhab disepakati
              Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa istishhab ada 5 macam, yang sebagiannya disepakati dan sebagian lainnya diperselisihkan yaitu[17]:
1.                                استصحاب حكم الاباحة الأصلية (Tetap berlakunya hukum mubah yang dasar)
       Yaitu pada dasarnya seseorang boleh melakukan atau menggunakan segala sesuatu yang bermanfaat, selama tidak ada dalil syara’ yang menegaskan hukum tertentu. Istishhab yang pertama ini hanya berlaku dalam bidang muamalah, tidak dalam bidang ibadah dan akidah. Contohnya semua jenis makanan dan minuman yang tidak ada larangan syara’ terhadapnya, maka ia boleh dimakan, selama ia bermanfaat. Istishhab dalam bentuk pertama ini terdapat dalam surat al-baqarah ayat 29 yang berfirman:[18]
     Artinya: Dia (Allah) yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kamu.
Demikian juga firman allah pada surah al-a’raf 32:
Artinya: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari allah yang telah dikeluarkan untuk hambanya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezekiyang baik-baik ?” Katakanlah semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.   
   Dan firman allah pada surah Al-Maidah 87:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan sesuatu yang baik yang telah allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
2. Istishhab menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.Contohnya seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau telah batal, maka berdasarkan istishhab, wudhunya itu dianggap masih ada karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu tersebut, tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu.
3.Istishhab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishhab dengan nash selama tidak ada dalil naskh (yang membatalkannya). Contohnya kewajiban berpuasa yang dicantumkan allah dalam surat Al-Baqarah Ayat 183 yang Berfirman:
Artinya :Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan bagi umat sebelum kamu bertaqwah.
4.    Istishhab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i Maksudnya umat manusia tidak dikenalkan hukum-hukum syar’i sebelum datangnya syara’, seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia sampai datangnya dalil syara’ yang  menentukan hukum. Misalnya seseorang menggugat (penggugat) orang lain (tergugat) bahwa ia berhutang kepada penggugat sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan alat-alat bukti atas tuduhannya
5.    Istishhab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ Tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan. Istishhab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang kehujjahannya[19]. Misalnya para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayammum untuk mengerjakan shalat. Apabila shalatnya selesai ia kerjakan, maka shalatnya dinyatakan sah. Akan tetapi apabila dalam keadaan shalat ia melihat ada air apakah shalatnya harus di batalkan untuk kemudian berwudhu’ atau shalat itu ia teruskan?
              Menurut ulama Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya karena adanya ijma’ yang menyatakan bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukum ijma’ itu tetap berlaku sampai adanya dalil yang menenjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang kembali shalatnya.
              Akan tetapi ulama Hanafiyyah dan Hanabilah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya, untuk kemudian berwudhu’ dan mengulangi shalatnya. Mereka tidak menerima ijma’ tentang sahnya shalat orang yang bertayammum sebelum melihat air karena ijma’ menurut mereka hanya terkait dengan hukum sahnya shalat bagi orang dalam keadaan ketiadaan air, bukan dalam keadaan tersedianya air.
c.    Kehujjahan Istishhab
              Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan istishhab ketika tidak ada dalil syara’ yang menjelaskan suatu yang dihadapi[20].
1.  Menurut Mayoritas Mutakallimin (ahli kalam)
Yaitu istishhab tidak bisa dijadikan dalil karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Alasan mereka bahwa istishhab merupakan penentapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, namun untuk memberlakukan itu untuk masa yang akan datang diperlukan dalil lain. Istishhab menurut mereka bukan dalil. Karena menetapkan hukum yang ada di masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.
2.  Menurut Mayoritas Ulama Hanafiyyah, khususnya muta’akhkhirin (generasi belakangan), istishab bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum itu tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang. Alasannya seorang mujtahid meneliti suatu masalah yang sudah ada dan mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah dibatalkan. Akan tetapi ia tidak mengetahui atau tidak menemukan dalil yang menyatakan bahwa hukum itu telah dibatalkan.
3.  Menurut Ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyyah dan Syi’ah Berpendapat bahwa Istishhab bisa menjadi hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasannya mereka yaitu sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i (pasti) maupun zhanni (relatif) bisa dijadikan landassan hukum.
d.        Kaidah-Kaidah Istishhab
          Para Ulama Fiqih menetapkan beberapa kaidah umum yang didasarkan kepada istishhab yaitu sebagai berikut[21]:
1.  Al-ashl Baqa’ ma’ ka’na ala’ ma’ ka’na h atta yutsbita ma yughayyiruhYaitu seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi.
2.  Al-ashl fi’ al-asyya’ al-ibahah Yaitu hal-hal yang bersifat bermanfaat bagi manusia hukumnya boleh dimanfaatkan.
3.  Al-ashl la yuzal bi al-syakkYaitu suatu keyakinan tidak bisa dibatalkan oleh sesuatu yang diragukan akan
D.       Pembahasan sumber hukum maslahat mursalah
a.      Pengertian maslahah muursalah
     Secara etimologis, kata اَلْمَصْلَحَةْ  jamak المصا لح berarti sesuatu yang baik. Yang bermanfaat dan ia merupakan lawan dari keburukan atau kerusakan dan didalam bahasa Arab sering pula disebut dengan الخير والوصب yaitu yang baik dan benar.[22]
     Jalaludin abdurrahman secara tegas menyebutkan bahwa maslahat dengan pengertian yang lebih umum dan yang dibutuhkan itu ialah semua apa yang bermanfaat bagi manusia baik yang bermanfaat untuk meraih kebaikan dan kesenangan maupun yang bersifat untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan[23] Dalam buku lain disebutkan bahwa, Maslahah mursalah (kesejahteraan umum) yakni yang di mutlakkan (masalah bersifat umum) menurut istilah ulama ushul yaitu, maslahah dimana syar’i tidak mensyari’atkan hukum untuk mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya. Maslahah itu disebut mutlak, karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil pembatalan.[24]
     Penjelasan definisi ini, yaitu bahwa pembentukan hukum itu tidak dimaksudkan, kecuali merealisir kemaslahatam umat manusia. Artinya mendatangkan keuntungan bagi mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan daripadanya. Dan bahwasannya kemaslahatan umat manusia itu tidak terungakap bagian-bagiannya, tidak terhingga pula individu-individunya. Maslahah itu jadi baru menurut barunya eadaan umat manusia, dan berkembang menurut perkembangan lingkungan. Sedangkan pemebentukan hukum itu, terkadang mendatagkan keuntungan pada suatu zaman dan mendatangkan madharat pada zaman yang lain. Pada suatu zaman, hukum itu terkadang mendatangkan keuntungan bagi suatu lingkungan dan bisa mendatangkan madharat bagi lingkungan yang lain.
     Dengan kata lain dapat difahami bahwa maslahah mursalah adalah suatu hukum yang ditetapkan sesuai dengan kebaikan yang akan didapat oleh seseorang yang menjalankan hukum tersebut. Dan maslahah disini tidak hanya untuk perseorangan melainkan mencakup banyak umat muslim.
     Kemudian maslahat menurut pengertian syara’ pada dasarnya di kalangan ulama ushul mempunyai pandangan yang sama, meskipun berbeda dalam memberikan definisi. Jalaludin Abdurrahman misalnya menyebutkan sebagai berikut:
maslahat ialah memelihara maksud hukum syara’ terhadap berbagai kebaikan yang telah digariskan dan ditetapkan batas-batasnya, bukan berdasarkan keinginan dan hawa nafsu manusia belaka.”[25]
    Selanjutnya, imam ghazali, mendefinisikan maslahat sebagai berikut:
المصلحة فهي عبارة فى الأصل عن جلب منفعة أو دفع مرة                                                               Maslahat pada dasarnya ialah berusaha meraih dan mewujudkan manfaat atau menolak kemudaratan.
       Sementara itu menurut Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh abu zahrah, bahwa yang dimaksud dengan maslahat ialah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan  dengan hukum syara’.[26]
       Untuk menghukumi sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syariat perlu dipertimbangkan faktor manfaat dan madharatnya. Bila madharatynya lebih banyak maka dilarang oleh agama, atau sebaliknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan ibnu taimiyah:[27]
حكم شيء هو حرام أومباح فلينظر الى مفسدة ومصلحة                                                                         
Artinya: “berubahnya suatu hukum menjadi haram atau mubah bergantung kepada mafsadatan atau maslahahnya.”
     Contoh maslah mursalah sendiri diantaranya, dalam al-Quran tidak ada perintah pengumpulan al-Quran dari hafalan da tulisan, tapi para sahabat melakukannya. Kemudian masalah mensyaratkan adanya surat kawin, untk syahnya gugatan dalam soal perkawinan, nafkah, waris dll.[28]
b.        Dalil-dalil ulama yang menjadikan hujjah maslahah mursalah
   Jumhur ulama umat islam berpendapat, bahwa maslahah mursalah itu adalah hujjah syari’at yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash dan ijma’ atau Qiyas atau istihsan itu disyari’atkan padanya hukum yang dikehendaki oleh maslahah umum, dan tidaklah berhenti pembentukan hukum atas dasar maslahah ini karena adanya saksi syar’i yang mengakuinya.[29]Dalil mereka mengenai hal ini ada dua hal:   
   Pertama, yaitu bahwa maslahah umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya. Maka seandainya tidak disyariatkan hukum mengenai kemaslahatan manusia yang baru dan mengenai sesuatu yang dikehendaki oleh perkembangan mereka, serta pembentukan hukum itu hanya berkisar atas masalah yang diakui oleh syar’i saja, maka berarti telah ditinggalkan beberapa kemaslahatan umat manusia pada berbagai zaman dan tempat. Dan pembentukan hukum itu tidak termakudkan merealisir kemaslahatan ummat manusia.[30]
Kedua, bahwasannya orang yang meneliti pembentukan hukum para sahabat, tabi’in dan para mujtahid, maka jadi jelas, bahwa mereka telah mensyariatkan beberapa hukum untuk merealisir maslahah secara umum,bukan karena adanya saksi yang mengakuinya. Maka: Abu Bakar telah menghimpun beberapa lembaran yang cerai-berai, yang telah ditulis di dalamnya Al-Qur’an dan menerangi para penghalang zakat. Kemudian mengangkat khalifah Umar bin Khattab sebagai gantinya.[31]
Berdasarkan penelitian para ulama jelas bahwa syari’ah islamiyah mengandung kemaslahatan bagi manusia di dalam mengatur hidup dan kehidupannya di dunia, hal ini ditegaskan di dalam al-qur’an[32]:

Artinya: Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai (pembawa) rahmat bagi sekalian alam (Al-Anbiya:107).
Artinya: Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari tuhan kamu dan penawar bagi (penyakit) yang ada pada dada-dada (kamu) dan (telah datang) petunjuk serta rahmat bagi orang-orang mukmin (Yunus:57).
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang anak-anak yatim, katakanlah: “Berbuat kebaikan kepada mereka adalah lebih baik, dan jika kamu .bercampu (urusan) dengan mereka, maka mereka itu saudara-saudara kamu. Dan Allah mengetahui orang-orang yang berbuat jahat (mafsadat) daripada orang yang berbuat baik (maslahah) (Al-Baqarah:220).
c.         Syarat-syarat menjadikan hujjah maslahah mursalah
     Para ulama yang menjadikan hujjah maslahah mursalah, mereka berhati-hati dalam hal itu, sehingga tidak menjadi pintu bagi pembentukan hukum syari’at menurut hawa nafsu dan keinginan perorangan. Karena itu mereka mensyaratkan dalam maslahah mursalah yang dijadikan dasar pembentukan hukum itu tiga syarat sebagai berikut:[33]
1.      Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan. Yang imaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisir pembentukan hukum itu mendatangkan keuntungan atau menolak madharat. Adapun dugaan semata bahwa pembentukan hukum itu mendatangakan keuntungan-keuntungan tanpa pertimbangan diantara maslahah yang dapat didatangkan oleh pembentukan hukum itu, maka ini berarti adalah didasarkan atas masalah yang bersifat dugaan, contoh maslahah ini ialah maslaha yang didengar dalam hal merampas hak suami untuk menceraikan istrinya, dan menjadikan hak menjatuhkan talak itu bagi hakim (qadhi) saja dalam segala keadaan.
2.      Berupa maslahah yang umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan. Yang dimaksud dengan ini, yaitu agar dapat direalisir bahwa dalam pembentukan hukum suatu keajadian dapat mendatangkan keuntungan kepada kebanyakan ummat manusia, atau dapat menolak madharat dari mereka, dan bukan mendatangkan keuntungan kepada seseorang atau beberapa orang saja diantara mereka . kalau begitu, maka tidak dapat disyariatkan sebuah hukum, karena ia hanya dapat merealisir maslahah  secara khusus kepada amir, atau kepada kalangan elit saja, tanpa memperlihatkan mayoritas umat dan kemaslahatannya. Jadi maslahah harus menguntungkan (manfaat) bagi mayoritas umat manusia.
3.      Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengn hukum atau prinsip yang telah ditetapkan oleh nash atau ijma’. Jadi tidak sah mengakui maslahah yang menuntut adanya kesamaan hak diantara anak laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian harta pusaka, karena masalah ini adalah masalah yang dibatallkan. oleh karena itu fatwa Yahya Ibnu Yahya al-Laits al-Maliki, ulama fikih andalus berbuka secara sengaja pada siang bulan ramadlan, kemudian Imam Yahya memberi fatwa bahwa tidak ada denda, tebusan bagi perbuatan berbuka raja itu, kecuali berpuasa dua bulan berturut-turut. Dia mendasarkan fatwanya, bahwa maslahah mengehendaki ini, karena yang dimaksud dengan kafarat ialah melarang orang yang berbuat dosa dan menahannya sehingga tidak kembali kepada perbuatan semisal dosanya, dan tidak bisa menahan kepada raja ini kecuali ini. Adapun keadaan memerdekakan budak maka hal ini mudah sekali bagi raja, namun tidak bisa menghajar kepadanya. Fatw didasarkan kepada maslahah, namun fatwa itu bertentngan dengan nash, karena dalam nash telah jelas, bahwa kafarat orang yang berbuka pada siang hari di bulan ramadhan secara sengaja adalah memerdekakan budak, maka siapa yang tidak mendapat budak harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Sedangkan yang tidak mampu mengerjakan puasa dua bulan berturut-turut harus memberi makan kepada 60 orang miskin, dengan tanpa membedakan antara raja yang berbuka atau fakir yang berbuka jadi maslahah yang diakui oleh mufti karena menetapkan raja dengan kafarat puasa dua bulan secara khusus, adalah bukanlah maslahah yang umum, bahkan maslahah yang dibatalkan.
Tentang persyaratan untuk menggunakan maslahat mursalah ini, dikalan ulama ushul memang terdapat perbedaan baik dari segi istilah maupun jumlahnya. Zaky al-Din Sya’ban, misalnya meyebutkan tiga syarat yang harus diperhatikan bila menggunakan maslahat mursalah dalam menetapkan hukum. Ketiga syarat itu adalah sebagai berikut:[34]
1.  Kemaslahatan itu hendaknya kemaslahatan yang memang tidak terdapat dalil yang menolaknya. Dengan kata lain, jika terdapat dalil yang menolaknya tidak dapat diamalkan. Misalnya, menyamakan anak laki-laki dan anak perempuandalam pembagian harta warisan. Sebab ketentuan pembagian warisan telah diatur dalam nash secara tegas. Hal seperti ini tidak dinamakan dengan maslahat mursalah. Hakekakt maslahat mursalah itu sama sekali tidak ada dalil dalam nash baik yang menolak maupun yang mengakuinya, tetapi terdapat kemalshatan yang dihajatkan oleh manusia yang keberadaannya  sejalan dengan tujuan syara’.
2.  Maslahat mursalah itu hendaknyaa maslahat yang dapat dipastikan bukan hal yang samar-samar atau perkiraan dan rekayasa saja. Menurut Zaky al-Din sya’ban, disyaratkan bahwa maslahat mursalah itu berdasarkan keinginan saja, karena hal yang demikian tidak dapat diamalkan.
3.  Maslahat mursalah hendaklah maslahat yang bersifat umum. Yang dimaksud dengan maslahat yang bersifat umum ini adalah kemaslahatan yang memang terkait dengan kepentingan orang banyak.
d. Pembagian Maslahat
     Dilihat dari segi pembagian maslahat ini, dapat dibedakan kepada dua macam yaitu, dilihat dari segi tingkatannya dan eksistensinya.[35]
a.  Maslahat dari segi tingakatannya
Yang dimaksud dengan macam maslahat dari segi tingkatannya ini ialah berkaitan dengan kepentingan yang menjadi hajat hidup manusia. Menurut mustafa said al-kind. Maslaha dilihat dari segi martabatnya ini dapat dibedakan menjadi tiga macam.
1.      Disebut dengan maslahat dharuriyat
  Yang dimaksud dengan maslahat dharuriyat pada tingkatan ini ialah kemaslahatan yag menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika ia luput dalam kehidupan manusia maka mengakibatkan rusakya tatanan kehidupan manusia tersebut.Zakaria al-Biri menyebutkan bahwa maslahat daruriyat ini merupakandasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak, maka akan muncullah fitnah dan bencana yang besar.
     Lebih lanjut zakaria al-Birimenjelaskan bahwa yang termasuk dalam lingkup maslahat doruriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya para pakar ushul fiqh, seperti jalaludin Abdurrahman Muhammad Said Ali Rabuh, Muhammad Abu Zahrah dan Mustafa Said al-Kind berpendapat sama dengan Zakariyya al-Biri bahwa kelima macam aspek yang termasuk dalam lingkup maslahat daruriyat yang disebutkan diatas tadi, merupakan maslahat yang paling asasi. Kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi. Karena jika terganggu akan mengakibatkan rusaknya sendi-sendi kehidupan.
2.      Disebut dengan maslahat hajiyyat
  Yang dimaksud dengan maslahat hajiyyat jenis ini ialah persoalan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. Dengan kata lain, dilihat dari segi kepentingannya, maka maslahat ini lebih rendah tingkatannya dari maslahat daruriyat. Diantara ketentuan hukum yang disyariatkan untuk meringankan dan memudahkan kepentingan manusia ialah semua keringanan yang dibawa oleh ajaran islam, seperti boleh berbuka puasa bagi musafir, dan orang yang sedang sakit, mengqasar shalat ketika dalam perjalanan. Contoh yang disebutkan ini merupakan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia. Sekiranya tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah akan mengakibatkan kegoncangan dan kerusakan, tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan saja.
3.    Disebut dengan maslahat tahsiniyyah
Maslahat ini sering pula disebut dengan maslahat takmiliyyah yang dimaksud dengan maslahat jenis ini adalah sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya, kemaslahatan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain kemaslahatan ini hanya mementingkan keindahan saja. Misalnya, seperti disebutkan oleh Muhammad al-Said Ali Abd Rabuh bahwa dalam urusan ibadat Allah telah mensyariatkan berbagai bentuk kesucian, menutup aurat dan berpakaian yang indah dan begitu pula dalam hadits Nabi diajarkan untuk memakai harum-haruman yang pada dasarnya menjadi kesenangan manusia. Dan termasuk pula, misalnya yang berkenan dengan adab dan tata cara makan-minum serta membersihkan diri. Kesemua maslahat yang dikategorikan kepada maslahat tahsiniyyat ini, sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan dan dicapai tidak sampai menyulitkan dan merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan.
b.  Maslahat dilihat dari segi eksitensinya
     Jika maslahat dilihat dari segi ekdidtensi atau wujudnya para ulama ushul, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan, membaginya kepada tiga macam.
1.    Disebut dengan maslahat mu’tabarah
Yang dimaksud dengan maslahat jenis ini adalah kemaslahatan yang terdapat nash secara tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya. Dengan kata lain, seperti disebutkan oleh muhammad al-Said Ali Abd. Rabuh, kemaslahatan yang diakui oleh syar’i yang terdapatnya dalil yang jelas untuk memelihara dan melindunginya.
         Jika syar’i menyebutkn dalam nash tentang hukum suatu peristiwa dan menyebutkan nilai maslahat yang dikandungnya, maka hal tersebut disebut dengan maslahat mu’tabarah. Yang termasuk kedalam maslahat ini adalah semua kemaslahatan yang dijelaskan dan disebukan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa, keturunan, dan harta benda. Oleh karena itu, Allah SWT. Telah menetapkan agar berusaha dengan jihad untuk melindungi agama, melakukan qisas bagi pembunuhan, menghukum pelaku pemabuk demi memelihara akal, menghukum pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian
2.    Disebut dengan maslahah mulgah
         Yang dimaksud dengan maslahah ini ialah maslahat yang berlawanan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas.
         Contoh yang sering dirujuk dan ditampilkan oleh ulama ushul ialah menyamakan pembagian harta warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamaan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya tentang warisan memang terlihat ada kemaslahatannya, tetapi berlawanan dengan ketentuan dalil nash yang jelas dan rinci dalam QS an-Nisa’: 11
3.    Disebut dengan maslahat mursalah
         Yang dimaksud dengan maslahat mursalah ini ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya. secara lebih tegas maslahat mursalah ini termasuk jenis maslahat yang didiamkan oleh nash, Abdul Karim Zaidan meneyebutkan yang dimaksud dengan maslahat mursalah ialah “ maslahat yang tidak disebutkan oleh nash baik penolakannya maupun pengakuannya.”.
         Dengan demikian maslahat mursalah ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudaratan. Diakui hanya dalam kenyataannya jenis maslahat yang disebut terakhir ini terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat islam yang dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat.

E.  Kesimpulan
   Istihsan Secara etimologi istihsan ialah “mengatakan dan meyakini baiknya sesuatu”. Secara terminologi Imam Al-Bazdawi (400-482 H/1010-1079 M: Ahli Ushul Fiqih Hanafi) mendefinisikan istihsan dengan: “Berpaling dari kehendak qiyas kepada yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat”.
     Para ulama yang menggunakan istihsan sebagai dalil syara’ mengemukakan banyak argumen diantaranya[36]:
·              Menggunakan istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai dengan firman Allah SWT pada Surah Al-Baqarah 185:
Artinya:Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
·         Firman Allah SWT Pada Surah Az-Zumar 55:
Artinya: Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.
·         Ucapan Abdullah bin Mas’ud
فمارآه المسلمون حسنا فهوعند ا للله حسن
Sesuatu yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah SWT.
Istishab merupakan hukum yang sudah ada sampai adanya hukum lain yang mengubahnya, bila hukum yang sudah ada menyatakan hukum ithbat (penetapan), maka hukum ithbat itu tetap berlaku sampai adanya dalil yang merubahnya. Begitu pula bila hukum yang sudah ada menetapkan hukum Nafy (peniadaan), maka hukum nafy itu tetap berlaku sampai dengan adanya dalil yang merubahnya. Istishab terdiri dari beberapa macam yaitu: Istishhab menurut akal dan syara’, Istishhab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya, Istishhab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i, Istishhab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ Tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan dan Al-ashl baqa’ ma kana ala ma kana batta yutsbita ma yughayyiruh. Terdapat beberapa kaidah yang dapat dikatakan muncul berdasarkan istishab seperti: Al-ashl Baqa’ ma’ ka’na ala’ ma’ ka’na h atta yutsbita ma yughayyiruh, Al-ashl fi’ al-asyya’ al-ibahah, dan Al-ashl la yuzal bi al-syakk.
maslahah mursalah adalah suatu hukum yang ditetapkan sesuai dengan kebaikanyang akan didapat oleh seseorang yang menjalankan hukum tersebut. Dan maslahah disini tidak hanya untuk perseorangan melainkan mencakup banyak umat muslim.Berdasarkan penelitian para ulama jelas bahwa syari’ah islamiyah mengandung kemaslahatan bagi manusia di dalam mengatur hidup dan kehidupannya di dunia, hal ini ditegaskan di dalam al-qur’an[37]:

Artinya: Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai (pembawa) rahmat bagi sekalian alam (Al-Anbiya:107).
Artinya: Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat dari tuhan kamu dan penawar bagi (penyakit) yang ada pada dada-dada (kamu) dan (telah datang) petunjuk serta rahmat bagi orang-orang mukmin (Yunus:57).
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang anak-anak yatim, katakanlah: “Berbuat kebaikan kepada mereka adalah lebih baik, dan jika kamu .bercampu (urusan) dengan mereka, maka mereka itu saudara-saudara kamu. Dan Allah mengetahui orang-orang yang berbuat jahat (mafsadat) daripada orang yang berbuat baik (maslahah) (Al-Baqarah:220).






















DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd Rahman. 2011.Ushul fikih. Jakarta: Amzah
Djazuli, Nurol Aen. 2000. Ushul Fiqh Metode Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Forum karya ilmiah. 2004. Kilas balik teoritis fikih islam. Kediri: PP Lirboyo
Haroen, Nasrun.1997. Ilmu suhul fiqih 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih-shul fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia
Romli. 1999. Muqaranah mazahib fil ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama
Syafe’i, Rachmat. 2010 . ilimu ushul fikih. Bandung: Pustaka Setia
Usman, Iskandar. 1994. Istihsan dan pembaharuan hukum islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Wahab, Abdul Khallaf. 2002.Kaidah-kaidah hukum islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Wahab, Abdul khallaf. 1999. Ilmu ushul fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta


Catatan:
1.      Perujukan masih belum maksimal.
2.      Cara penulisan kesimpulan salah.





[1]Op, Chit,Nasrun Haroen, hal. 102
[2]Op, Chit,Nasrun Haroen, hal. 103
[3]Op,Chit, Nasrun Haroen, hal. 103
[4]Op, Chit,Nasrun Haroen, hal. 104
[5]Op, Chit,Nasrun Haroen, hal. 104
[6]Op, Chit,Nasrun Haroen, hal 105
[7] Usman.1994. istihsan dan pembaharuan hukum islam. Jakarta: RaJa Grafindo Prasada. Hal:67
[8]ibid
[9]Op, Chit, Abd Rahman Dahlan, hal. 203-205
[10]Op, Chit,Nasrun Haroen, hal. 105-107
[11]Op, Chit,Forum Karya Ilmiah, hal. 233
[12] Syafe’i. 2010.Ilmu Ushul Fikih. Bandung: Pustaka Setia. Hal:111
[13] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta:PT Rineka Cipta, 2005), hal. 107
[14] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 128
[15]Op, Chit, Nasrun Haroen, hal.129
[16] Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqih., (Jakarta:AMZAH, 2011), hal. 217-218
[17]Op, Chit, Nasrun Haroen, hal.129
[18]Op, Chit, Abd. Rahman Dahlan, hal.219-220
[19] Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri Jawa Timur: PP. Lirboyo Kediri Jawa Timur, 2004), hal. 202
[20]Op,Chit, Nasrun Haroen, hal.129-133
[21]Op, Chit,Nasrun Haroen, hal.136-137
[22] Romli. muqaranah mazahib fil ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999), Hal. 159
[23] Ibid
[24] Wahab  Kaidah-kaidah hukum islam. (Jakarta:Raja Grafindo Persada.2002),  Hal. 123
[25] Ibid
[26] Ibid
[27] Karim. Fiqih-ushul fikih. (Bandung: CV Pustaka Setia.2001), Hal:84
[28] ibid
[29] Wahab. Kaidah-kaidah hukum islam. (Jakarta:Raja Grafindo Persada. 2002), Hal. 125
[30] Wahab  Kaidah-kaidah hukum islam. Jakarta:Raja Grafindo Persada.2002), hal:127-128
[31] Ibid
[32]Op,Chit,Djazuli, Nurol Aen, hal. 173
[33] Ibid
[34] Romli. muqaranah mazahib fil ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999),Hal: 165-166
[35] Romli. Muqaranah mazahib fil ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999), Hal: 159-165
[36]Op, Chit, Abd Rahman Dahlan, hal. 203-205
[37]Op,Chit,Djazuli, Nurol Aen, hal. 173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar