Senin, 06 Maret 2017

Ijma' dan Qiyas dalam Ushul Fiqih (PAI C Semester Genap 2016/2017)




SUMBER HUKUM IJMA’ DAN QIYAS

M. Asny Fajri Ulama’i, Fela Ayu Ambarwati, Luthfi Elviana Zahroin
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail : fajrey12@gmail.com
Abstract
Sources of law approved the Ulama' was there 4 that is Al-Quran, As-Sunna, Ijma and Qiyas. Ijma 'and Qiyas is part of the source of Islamic law which answer the problems that occur when these are not stated in the Qur'an and As-Sunna. Ijma and Qiyas is ijtihad derived from human (ulama ') in determining whether a legal case. The existence of ijma 'and qiyas easier for Muslims to find a law that is not contained in the Qur'an and Sunna. So ijma 'and Qiyas agreed by the mujtahid. In use, many of which responded positively and some negatively to use the ijma 'and qiyas as a source of Islamic law with the opinions of the background for the response. In this paper will discuss the ijma' and qiyas in more detail as a source of law in Islam.
Keywords: Resources of Law, ijma ', Qiyas

Abstrak
Sumber hukum yang disetujui para Ulama’ itu ada 4 yaitu Al-Quran, As-Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Ijma’ dan Qiyas merupakan bagian dari sumber  hukum islam yang mana menjawab persoalan-persoalan yang terjadi saat ini yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ijma’ dan Qiyas berasal dari ijtihad manusia (para ulama’) dalam menentukan suatu hukum perkara. Adanya ijma’ dan qiyas memudahkan umat Islam dalam menemukan hukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Sehingga ijma’ dan Qiyas disepakati oleh para mujtahid. Dalam penggunaannya, banyak yang menanggapi positif dan ada pula yang negatif terhadap penggunaan ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum Islam dengan berbagai pendapat yang melatar belakangi tanggapan tersebut. Dalam jurnal ini akan dibahas mengenai ijma’ dan qiyas secara lebih detail sebagai sumber hukum yang ada dalam Islam.
Kata Kunci : Sumber Hukum, Ijma’, Qiyas,

A.    Pendahuluan
Sepeninggalnya Rasulullah SAW kepemimpinan umat Islam digantikan oleh para khalifah. Setelah berlalunya kepemimpinan para khalifah, banyak permasalahan-permasalahan yang timbul dalam umat Islam yang berkaitan dengan hukum syara’. Perbedaan pandangan terhadap suatu hukum itulah yang memunculkan perselisihan dalam umat Islam sehingga umat Islam terpecah-pecah dalam beberapa madzhab teologis. Hal inilah yang memicu timbulnya ijma’(kesepakatan) para mujtahid dalam menentukan suatu hukum perkara yang menjadi jalan tengah dalam menjalankan kehidupan.
Selain adanya ijma’, dalam Islam juga ada qiyas yang juga menjadi sumber hukum setelah Al-Quran, hadits dan ijma’. Seiring berkembangnya zaman banyak pula permasalahan-permasalahan baru yang dahulu tidak ada pada zaman Rasulullah ataupun para sahabat. Banyak permasalahan yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW membuat umat Islam bingung dalam menyikapi suatu perkara sehingga, muncullah qiyas yang menjadi tolak ukur masyarakat dalam menyikapi permasalahan-permasalahan baru yang marak terjadi. Seperti dalam firman Allah  Qur’an surah An Nahl : 43
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Artinya : “Bertanyalah kepada Ahli Zikir (Ulama) jika kamu tidak mengetahui” (An Nahl : 43).
Ijma’ dan qiyas dijadikan sumber hukum setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan berdasarkan hadits berikut :
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya :
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi SAW ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah SAW”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah SAW”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
B.     Pembahasan Sumber Hukum Ijma’
A.    Pengertian Ijma’
1.      Definisi secara Bahasa
Secara bahasa ijma’ berarti sepakat, consensus.[1] (  إجماع) mengandung dua arti[2]:
a.       Ijma’ dengan arti العزم عل الشيئ atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma’ dalam artian pengambilan keputusan itu dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Yunus : 71 :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلا تُنْظِرُونِ
" Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku".
b.      Ijma’ dengan arti “ sepakat”, ijma’ dalam artian ini dapat dilihat dalam Q.S. Yusuf : 15:
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ
“ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkanya  kedalam sumur”
2.      Definisi secara istilah
Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa pendapat yang dikemukakan para ulama’ adalah seperti yang dipaparkan oleh:
a.       Al-Ghazali yang dinyatakan dalam kitab al-Mustasfa.[3]Kesepakatan umat Muhammad SAW atas satu perkara yang berhubungan dengan urusan agama. Jadi,  Ijma’ adalah kesepakatan atau persetujuan para mujtahid dalam penetapkan suatu hokum syara’ tentang suatu perkara atau peristiwa setelah wafatnya Rasulullah SAW.
b.      Menurut dari kelompok ahli sunnah adalah apa yang dikemukakan Abdul Wahab Khallaf, yang juga dikutip oleh ulama’ lainya, yaitu :
اتّفاق جميع المجتهد ين من المسلمين في عصرمن المصور بعد ؤفاةارسول عل حكم شرعيّ في واقعة الوقائع

Konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus”
Dari rumusan itu jelaslah bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah semua mujtahid muslim berlaku dalam satu masa tertentu sesudah wafatnya nabi. Di sini ditentukan “ sesudah masa Nabi”, karena selama nabi masih hidup, Al-Qura’an lah yang menjawab persoalan hukum karena ayat Al-Qur’an kemungkinan masih turun dan nabi sendiri sebagai tempat bertanyanya tentang hukum syara’, sehingga tidak diperlukan adanya ijma’. Ijma’ itu berlaku dalam setiap masa oleh seluruh mujtahid semua masa sampai hari kiamat.[4] Disebutkan secaara jelas juga definisi ijma’ berarti kesepakatan yang hanya terdapat dalam masalah hukum amaliyah bukan maslah akidah. Jadi, Ijma’ adalah suatu kesepakatan atau persetujuan dari para mujtahid setelah meninggalnya Rasulullah Saw yang berkaitan dengan penetapan suatu hukum perkara, yang mana hukum tersebut dapat menjadi patokan bagi umat Islam  dalam menjalankan kehidupannya.

3.      Kedudukan Ijma’
Dalam penetapan ijma’ sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, banyak dari berbagai golongan yang berbeda pendapat mengenai boleh dipakai atau tidak  ijma’ dalam penetapan hukun agama.
Golongan yang menerima ijma’ selain ijma’ sahabat mengajukan banyak syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk dapat menerimanya sebagai hujjah.[5] Disamping itu dalam menerima ijma’ mereka memberikan beberapa syarat:[6]
1.    Bila yang disepakati (ijma’) adalah satu hukum agama, maka oleh keseluruhan mujtahid, persepakatan kebanyakan ulama tidak dianggap ijma’ dan tidak bisa dipakai sebagai hujjah.
2.    Harus ada dalil syara yang memperkuat hukum yang di ijma’ itu. Sebagian mereka mensyaratkan dalil syara tersebut haruslah nash yang qathi dan zahir, tidak boleh dalil yang lain, seperti qiyas misalnya.
3.    Sebagian mensyaratkan bahwa ijma’ harus didapat dengan jalan mutawattir, jika didapat dengan Khabar Ahad tidak dapat berhujah dengannya. Yang demikian karena menurut mereka berita ahad juga boleh dijadikan hujjah.
Golongan yang menolak adanya ijma’ (selain ijma’ sahabat ) beralasan dengan beberapa alasan:[7]
1.    Kemungkinan mengetahui hal-hal mana saja yang telah di ijma’kan adalah tidak mungkin
2.    Tidak mungkin mengetahui seluruh ulama yang bertaraf mujtahid di negeri Barat dan Timur. Kemungkinan untuk menemui semua mujtahid saja tidak mungkin karena terbatasnya umur, lagipula tidak ada ketentuan seseorang untuk diberi gelar mujtahid.
4.      Unsur-unsur Ijma’
Tentang rukun atau unsur ijma’ ini, dikalangan ulama ushul ada yang mengatakan empat unsur dan ada pula yang menyebutkan lima unsur. Abdul Wahab Khalaf dan Safi Hasan Abu Tholib misalnya menyebutkan bahwa rukun atau unsur ijma’ ada empat, yaitu:[8]
1. Adanya kesepakatan sejumlah mujtahid pada suatu masa tentang suatu peristiwa yang terjadi, kesepakatan ini harus dari sejumlah mujtahid dan tidak dipandang ijma’ jika hanya ada seorang mujtahid. Dalam pengambilan suatu keputusan memerlukan banyak orang untuk mengkolaborasikan pandangan-pandangan yang akan menghasilkan kesepakatan yang falid dan dapat diterima oleh semua kalangan, sehingga semakin banyaknya mujtahid akan menghasilkan keputusan yang mufakat
2. Kesepakatan para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan golongan. Tidak dipandang ijma’ jika kesepakatan tersebut hanya berasal dari satu tempat saja. Pengambilan suatu keputusan harus dari segala sudut, tidak pandang golongan, ras, suku atau apapun karena hasil keputusan tersebut akan digunakan oleh semua ummat.

3. Kesepakatan para mujtahid itu harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan maupun dapat dilihat dalam perbuatan.
4. Kesepakatan itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dipandang ijma’, jika kesepakatan itu hanya berasal dari sebagian besar mujtahid saja sedangkan sebagian kecil lainnya menyalahinya.

5.      Macam-macam Ijma’
Ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum itu, ijma’ dibagi menjadi dua macam:[9]
Pertama, ijma’ sharih (bersih atau murni) yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hokum mengenai suatu peristiwa. Masing-masing bebas mengeluarkan pendapat. Jelas terlihat dalam fatwa dan dalam memutuskan suatu peristiwa. Tiap-tiap mujtahid itu merupakan sumber hukum. Jelas terlihat dari pendapat mereka.
Kedua, ijma’ sukuti, sebagian mujtahid itu terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa, atau memutuskan suatu perkara. Dan sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia mnyetujui, atau berbeda pendapat terhadap yang dikemukakan itu dalam mengupas suatu masalah.
6.      Sandaran Ijma’ (Sanad)
Yang dimaksud sandaran di sini adalah dalil yang kuat dalam bentuk nash Al-Qur’an atau As-Sunnah, baik secara langsung maupun tidak. Dalil itu dapat dijadikan rujukan bagi keputusan ijma’. Apakah adanya sandaran itu merupakan syarat bagi kekuatan ijma’. [10]
Jumhur ulama’ mengatakan, ijma’ harus ada sanad yang dijadikan dalil sebagai rujukan oleh para mujthidin dalam menetukan hukum syar’i  bagi masalah yang mereka hadapi sehingga jauh dari noda berbicara agama tanpa ilmu, dorongan hawa nafsu, atau motif inkonstitusional. Dan ini sama artinya dengan membuat syari’at  baru yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Sanad ijma’ dapat berupa nash Al-Qur’an, As-sunnah, atau qiyas. Contoh ijma’ yang sandaranya adalah Al-Qur’an adalah kesepakatan para mujtahid  tentang haramnya menikahi nenek, sebab sandaranya adalah Allah : Telah diharamkan bagi kalian ibu-ibu kalian “ karena maksud dari kata ibu adalah yang asal secara mutlak, yaitu setiap orang yang dinasabkan kepadanya dan nenek masuk dalam kategori ini ( ibunya ibu)[11]
7.      Contoh Ijma’
Mengangkat seorang imam Besar atau seorang pemimpin. Dalam proses pemilihannya masyarakat ijma’ untuk menentukan siapa yang berhak menduduki singgah sana seorang pemimpin namun, dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Cara ijma’ merupakan cara yang terbaik untuk menyatukan semua suara masyarakat dalam mengemukakan pendapat melalui perwakilan rakyat dengan cara pemilu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin(mu), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (Q.S Al-Maidah : 51)
C.    Sumber Hukum Qiyas
A.    Pengertian Qiyas
Secara etimologis qiyas berasal dari bahasa Arab, qiyas merupakan bentuk masdar dari qasa - yaqisu (قاس - يقيس) yang berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Atau dapat diartikan dengan تقدير شيء بشيء آخر yaitu mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.[12] Juga dapat diartikan mengukur dan menyamakan antara dua hal, baik yang kongkret, seperti benda-benda yang dapat dipegang, diukur, dan sebagainya, maupun yang abstrak, seperti kebahagiaan, kepribadian, dan sebagainya.[13] Misal "fulan mengukur baju dengan hasta”. Jadi, jika seseorang menemukan masalah yang tidak terdapat dalam A-Qur’an dan As-Sunnah, lalu menemukan masalah yang serupa dan menyamakannya dengan masalah tersebut, maka secara etimologi hal ini dinamakan dengan qiyas.
Sedangkan secara terminologis, qiyas ialah menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh nash, disebabkan adanya persamaan diantara keduanya.[14]
Menurut ulama ushul fiqih adalah :
هُوَ اِلحَاقُ وَا قِعَةٍ لاَ نَصَّ عَلَى حُكْمِهَا بِوَا قِعَةٍ وَرَدَ نَصٌّ بِحُكْمِهَا فِى الْحُكْمِ الَّذِى وَرَدَبِهِ النَّصُّ, لِتَسَا وِى الوَا قِعَتَيْنِ فِى عِلَّةِ هذَالحُكْمِ
menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash tentang hukumnya, dalam hukum yang tersebut dalam nash, karena sama dua kejadian itu dalam ‘illat hukum ini”.[15]
Menurut Syaikh Khudari Beik yaitu :
هُوَ تَعْدِيَةُ حُكْمٍ مِنَ الأ صْلِ اِلَى الْفَرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ
"Qiyas adalah memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok (asal) kepada cabang (persoalan pokok baru yang tidak disebut dalam nash) karena adanya pertautan ‘illat keduanya”.[16]
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan : “Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.[17]
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih di atas tentang qiyas, tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal melainkan hanya menjelaskan hukum apa pada suatu kasus belum jelas hukumnya. Penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu masalah yang sedang dihadapi. Apabila ‘illatnya sama dengan ‘illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.
Dengan demikian, qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seseorang yang akan melakukan qiyas adalah mencari apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar-benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas.
B.     Rukun Qiyas
Ulama ushul sepakat bahwa qiyas harus berpijak pada empat rukun yaitu :[18]
a.       Pokok (Ashl)
Sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash, ini disebut dengan ashal atau maqis alaih atau musyabbah bih yang artinya “diserupai/disamai/tempat menyerupakan”
b.      Cabang (Furu’)
Sesuatu yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash, ini disebut dengan furu’ atau maqis atau musyabbah, yang artinya “yang disamakan/yang diserupkan).
c.       Hukum Pokok (Hukum Ashl)
Hukum yang telah disebutkan dalam nash pada ashal, disebut dengan hukum ashal, dan dikehendaki hukumnya berlaku untuk cabang.
d.      ‘Illat
‘Illat, adalah alasan hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula pada furu’. Alyasa Abu Bakar menjelaskan bahwa ‘illat itu merupakan sesuatu yang harus jelas, relatif dapat diukur, mengandung relevansi sehingga kuat dan dialah yang menjadi alasan penetapan suatu ketentuan hukum.[19]
Keempat rukun inilah yang menjadi dasar untuk melakukan qiyas. Misalnya : Minum khamr adalah Ashl yang terdapat dalam nash QS. Al-Maidah ayat 91 “maka jauhilah khamr”, hukumnya haram karena menunjukkan ‘illatmemabukkan”, memakai Ganja adalah furu’ yang tidak terdapat dalam nash, tetapi sifatnya disamakan dengan khamr karema memabukkan (merusak akal). Maka disamakanlah hukum memakai Ganja dengan hukum meminum khamr.
C.     Syarat Qiyas
Syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam menentukan suatu masalah, jika tidak diperhatikan syarat-syaratnya maka hasil qiyas dipandang tidak sah. Syarat disini merupakan hal yang berkenaan dengan rukun qiyas.
a.       Syarat Pokok[20]
Imam Ghazali menyebutkan yang menjadi syarat ashl adalah sebagai berikut :
1)      Ashl hendaklah merupakan ketentuan yang tidak boleh berubah. Maksudnya sebagai tempat melakukan qiyas sudah jelas dan pasti dari nash dan tidak termasuk kepada kemungkinan dinasakh.
2)      Ashl hendaklah mempunyai ‘illat yang menjelaskan hukum syara’. Artinya, ‘illat hukum pada pokok dapat diketahui dan dipahami dengan jelas bahwa ketentuan hukum pada pokok memang didasarkan pada ‘illat tersebut.
3)      Ashl bukan menjadi cabang dari pokok yang lain. Maksudnya, tidak boleh terjadi bahwa pokok juga menjadi cabang bagi pokok yang lainnya.
4)      Hendaklah ada dalil yang memastikan ‘illat pada pokok tidak mencakup ‘illat pada cabang secara langsung. Maksudnya ‘illat pada pokok dapat dibuktikan secara jelas.
5)      Hukum pokok tidak boleh berubah dengan penentuan ‘illat. Maksudnya, pokok setelah dilakukan qiyas tidak boleh berubah.
6)      Ashl  tidak boleh keluar dari ketentuan qiyas. Maksudnya, pokok bukanlah dalil yang berlaku khusus bagi suatu persoalan. Dalil yang berlaku khusus tidak boleh dijadikan pokok sebagai tempat qiyas, sebab akan membatalkan kekhususannya. Contoh nash yang berkaitan dengan Nabi, seperti mempunyai istri sembilan orang, menikahi wanita dengan hibah (tanpa mahar).
b.      Syarat Cabang
Agar furu’ dapat dialihkan hukum ashl kepadanya, maka harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :[21]
1)      Hendaklah terdapat ‘illat pada ashl.  Karena prinsip dasarnya, qiyas adalah memberlakukan hukum pokok kepada cabang dan bisa terjadi bila terdapat kesamaan ‘illat antara keduanya.
2)      Jangan lebih dahulu ada furu’ daripada ashl. Misalnya mengqiyaskan wudhu pada tayamum dalam hal “wajib niat” dengan ‘illat sama-sama beribadah. Padahal wudhu lebih diutamakan daripada tayamum.
3)      Hukum yang dialihkan pada furu’ harus sama dengan hukum ashl.
4)      Pada furu’ tidak ada sifat yang lebih kuat yang bertentangan dengan ‘illat ashl.
c.       Syarat Hukum Pokok[22]
Hukum pokok adalah ketentuan hukum yang sudah tetap didalam nash dan ketentuan hukum inilah yang akan diberlakukan kepada cabang. Adapaun syarat-syarat hukum pokok adalah sebagai berikut :
1)      Hukum pokok hendaklah ketentuan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, ketentuan hukum pokok merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh nash, bukan merupakan hasil ijtihad. Terdapat perbedaan pendapat dalam menentukan syarat ini. Golongan pertama, mengatakan bahwa hukum pokok yang didasarkan pada ijma’ tidak dapat digunakan sebagai sandaran qiyas. Gololangan kedua, mengatakan bahwa pemberlakuan  hukum pada cabang dengan qiyas, meskipun ia merupakan hasil ketetapan ijma’ adalah dapat digunakan.
2)      Hukum pokok hendaklah berdasarkan ‘illat yang bisa diketahui oleh akal. Artinya, akal mampu mendeteksi keberadaan ‘illat tersebut, sehingga memungkinkan memberlakukan hukum pokok pada cabang. Contoh, hukum haram khamr, bahwa akal mampu mengetahui ‘illat yaitu memabukkan. Dan karena ‘illat dapat diketahui maka qiyas dapat dilakukan atasnya. Akan tetapi, jika ‘illat hukum itu tidak ada jalan untuk mengetahuinya maka, ia digolongkan pada urusan yang tidak dapat dijadikan sandaran qiyas seperti jumlah rakaat shalat, mencium Hajar Aswad, dll.
3)      Hukum pokok hendaklah hukum yang mempunyai ‘illat yang dapat diberlakukan dan dijangkau oleh cabang. Jika ‘illat hukum hanya berlaku pada pokok saja, maka qiyas tidak dapat diberlakukan, karena qiyas itu adalah terdapatnya persamaan ‘illat antara pokok dan cabang. Contoh seperti kebolehan mengqashar shalat dan berbuka puasa karena dalam perjalanan. ‘Illat dari kedua hukum ini adalah dalam perjalanan (safar). Dibolehkannya adalah untuk rukhsah seorang musafir. Akan tetapi, ‘illat ini tidak berlaku bagi pekerja berat yang ingin mengqashar shalatnya.
4)      Hukum pokok bukan ketentuan hukum yang berlaku khusus. Karena ketentuan yang berlaku secara khusus tidak dapat diterapkan atau diperlakukan ke cabang. Contoh kekhususan Rasulullah SAW, bahwa beliau boleh beristri lebih dari empat orang, dan haram menikahi istri beliau setelah sepeninggalnya.
d.      Syarat ‘Illat[23]
1)      Sifatnya harus jelas. Arti jelas disini adalah dapat dirasakan dengan indera. Misalnya, khamr rasanya adalah memabukkan, dibenarkan wujudnya dalam air buah lain yang dapat memabukkan. Maka dibenarkan dengan perasaan yang pada keduanya menurut kadarnya adalah memabukkan.
2)      Adanya sifat terkuat. Arti terkuat disini yaitu mempunyai hakikat nyata membatasi kemungkinan membenarkan adanya pada furu’. Misalnya, pembunuhan yang direncanakan oelh dua phak yang bermusuhan dan dalam masalah hak waris. Hakikatnya itu ditekankan pada kemungkinan untuk membenarkan terjadi pembunuhan terhadap orang yang berwasiat kepada penerima wasiat. Pembunuhan yang terjadi dalam hal memperjualbelikan barang yang diperjualbelikan oleh saudaranya. Pada hakikatnya ditekankan ada kemungkinan membenarkan dalam perkara seseorang menyewa atau disewa saudaranya.
3)      Sifatnya itu sesuai. Sesuai disni artinya ada perkiraan untuk membenarkan hikmah hukum. Hukum itu mengikat “ada dan tidaknya” tentang keadaanya itu dan membenarkan apa yang ada dalam nash, mendatangkan manfaat dan membuang mudharat. Contoh, hal yang memabukkan itu cocok untuk mengahramkan khamr, dibina diatasnya guna memelihara akal. Pembunuhan yang direncanakan itu cocok untuk diwajibkannya qishas. Qishas dilakukan guna memelihara kehidupan masyarakat. Mencuri itu cocok untuk diwajibkan potong tangan, guna memelihara harta benda orang lain.
4)      Yang disifatkan kepada ashl itu tidak boleh pendek. Maksudnya, yang disifatkan itu memungkinkan untuk menetapkan sebab yang terdapat pada ashl.  Hendaklah sifat terdapat pada cabang. Karena ‘illat merupakan dasar qiyas, ia tidak boleh hanya terbatas pada ashl saja, karena qiyas menyamakan antara cabang dengan pokok atas dasar ‘illat hukum. Jika ‘illat hanya terbatas pada pokok saja dan tidak terdapat pada cabang, maka qiyas tidak dapat dilakukan.
D.    Macam-macam Qiyas
1.      Qiyas Aulaa
مَاكَانَتْ الْعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ وَكَانَ الْفَرْعُ أَوْلَى بِاالْحُكْمِ فِيْهِ مِنَ الْأَصْلِ
“yaitu apa-apa yang ‘illat padanya mewajibkan adanya hukum dan keadaan far’un lebih utama mendapatkan hukum (tersebut) daripada ashl.”[24]
Contoh mengqiyaskan memukul orang tua dengan mengatakan “cis”, kedua perbuatan tersebut haram hukumnya karena mempunya ‘illat “menyakiti”.
Allah SWT berfirman :
....فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا....
Artinya : “....Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘cis’ dan janganlah kamu membentak mereka....” (QS. Al-Isra’: 23).
2.      Qiyas Musawi
مَاكَانَتْ الْعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ وَكَانَ الْفَرْعُ مُسَاوِيًا بِاالْحُكْمِ فِيْهِ لِلْأصْلِ
“yaitu apa-apa yang ‘illat padanya mewajibkan adanya hukum dan keadaan far’un sama dengan ashl untuk mendapatkan hukum”.[25]
Contoh mengqiyaskan seseorang yang membakar harta anak yatim dengan memakan harta anak yatim, yang hukumnya adalah haram, dengan ‘illat harta tersebut akan lenyap, habis, dan tidak bisa dimanfaatkan.
Allah SWT berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Qiyas Aulaa dan Musawi bisa disebut sebagai Qiyas ‘Illat karena qiyas ini mempunyai kesamaan furu’ dengan ashl karena adanya persamaan ‘illat.
3.      Qiyas Dilalah
مَاكَانَتْ الْعِلَّةُ فِيْهِ دَالَةً عَلَى الْحُكْمِ وَلكِنْ لاَ تَكُوْنُ مُوْجِبَةً لَهُ
“yaitu apa-apa yang ‘illat padanya, menunjukkan kepada hukum, tetapi tidak mewajibkannya.”[26]
Menurut Ibn Qoyyim Al-Jauziyah, yang dimaksud dengan qiyas dilalah adalah mengumpulkan antara sumber (pangkal) dengan cabangnya berdasarkan petunjuk ‘illat dan kemestiannya.[27]
Contoh mengqiyaskan wajibnya zakat pada harta anak kecil dengan orang dewasa, dengan ‘illat keduanya merupakan harta yang dapat berkembang dan bertambah.
4.      Qiyas Syabah
قِيَاسٌ كَانَ الْفَرْعُ فِيْهِ مُتَرَدِّ دًابَيْنَ أصْلَيْنِ فَيُلْحَقُ بِأكْثَرِهِمَا شِبْهًا
“yaitu qiyas yang keadaan furu’ padanya bolak-balik antara kedua ashl lalu ia dihubungkan dengan ashl yang lebih banyak persamaan dengannya.”[28]
Contoh seorang hamba yang cacat karena kejahatan orang lain, apakah dalam masalah ganti rugi (dhaman), ia diqiyaskan kepada orang yang merdeka karena sama-sama anak Adam, atau diqyaskan kepada benda karena ia harta milik. Persamaanya dengan harta lebih banyak daripada persamaanya dengan orang merdeka, karena dapat dijual, dihibahkan, dan diwaqafkan.
Allah SWT berfirman :
قَالُوا إِنْ يَسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ أَخٌ لَهُ مِنْ قَبْلُ فَأَسَرَّهَا يُوسُفُ فِي نَفْسِهِ وَلَمْ يُبْدِهَا لَهُمْ قَالَ أَنْتُمْ شَرٌّ مَكَانًا وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَصِفُونَ
Artinya : ” Mereka berkata: "Jika ia mencuri, maka sesungguhnya, telah pernah mencuri pula saudaranya sebelum itu". Maka Yusuf menyembunyikan kejengkelan itu pada dirinya dan tidak menampakkannya kepada mereka. Dia berkata : "Kamu lebih buruk kedudukanmu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu terangkan itu". (QS. Yusuf : 77).
Ini adalah kisah tentang saudara-saudara Nabi Yusuf, dimana mereka berkata ketika menemukan minuman gelas ditempat tinggal saudaranya.
Mereka tidak mengumpulkan sumber ashl dengan furu’ dan dengan ‘illat, dan tidak ada dalil yang menunjukkan padanya ‘illat tersebut, tetapi mereka menghubungkan salah satunya dengan yang lain tanpa adanya dalil yang mempertemukan persamaannya selain persamaan itu sendiri yang mengumpulkan antara dia dengan Yusuf. Mereka berkata, ini adalah qiyas kepada saudaranya, dimana keduanya terdapat persamaan dari segi perhitunyan. Hal ini dikarenakan dia telah mencuri, demikian juga dengan yang dilakukan oleh satunya lagi.[29]
5.      Qiyas Adwan
قِيَاسٌ كَانَ الْفَرْعُ أدْوَنَ بِا الْحُكْمِ فِيْهِ مِنَ الْلأصْلِ
“yaitu qiyas yang furu’nya lebih rendah kedudukannya daripada ashl untuk mendapatkan hukum yang sama”.[30]
Contoh menqiyaskan perhiasan perak bagi laki-laki dengan perhiasan emas, yang hukumnya adalah haram, dengan ‘illat berbangga-bangga, sombong, riya, dll.
D.    Kesimpulan
ijma’ berarti sepakat, (  إجماع) mengandung dua arti
Ijma’ dengan arti العزم عل الشيئ atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma’ dalam artian pengambilan keputusan. Sedangkan menurut istlah dari Al-Ghazali yang dinyatakan dalam kitab al-Mustasfa. Kesepakatan umat Muhammad SAW atas satu perkara yang berhubungan dengan urusan agama. Jadi,  Ijma’ adalah kesepakatan atau persetujuan para mujtahid dalam penetapkan suatu hokum syara’ tentang suatu perkara atau peristiwa setelah wafatnya Rasulullah SAW.
                        Tentang rukun atau unsur ijma’ ini, dikalangan ulama ushul ada yang mengatakan empat unsur dan ada pula yang menyebutkan lima unsur yitu:
1.      Adanya kesepakatan sejumlah mujtahid pada suatu masa tentang suatu peristiwa yang terjadi, kesepakatan ini harus dari sejumlah mujtahid dan tidak dipandang ijma’ jika hanya ada seorang mujtahid.
2.      Kesepakatan para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan golongan. Tidak dipandang ijma’ jika kesepakatan tersebut hanya berasal dari satu tempat saja. Pengambilan suatu keputusan harus dari segala sudut, tidak pandang golongan, ras, suku atau apapun karena hasil keputusan tersebut akan digunakan oleh semua ummat.
3.      Kesepakatan para mujtahid itu harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan maupun dapat dilihat dalam perbuatan.
4.       Kesepakatan itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dipandang ijma’, jika kesepakatan itu hanya berasal dari sebagian besar mujtahid saja sedangkan sebagian kecil lainnya menyalahinya.
Secara etimologis qiyas berasal dari bahasa Arab, qiyas merupakan bentuk masdar dari qasa - yaqisu (قاس - يقيس) yang berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Atau dapat diartikan dengan تقدير شيء بشيء آخر yaitu mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lainnya
Macam-macam Qiyas
Qiyas Aulaa
مَاكَانَتْ الْعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ وَكَانَ الْفَرْعُ أَوْلَى بِاالْحُكْمِ فِيْهِ مِنَ الْأَصْلِ
“yaitu apa-apa yang ‘illat padanya mewajibkan adanya hukum dan keadaan far’un lebih utama mendapatkan hukum (tersebut) daripada ashl.”[31]
Contoh mengqiyaskan memukul orang tua dengan mengatakan “cis”, kedua perbuatan tersebut haram hukumnya karena mempunya ‘illat “menyakiti”.
Allah SWT berfirman :
....فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا....
Artinya : “....Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘cis’ dan janganlah kamu membentak mereka....” (QS. Al-Isra’: 23).
Qiyas Musawi
مَاكَانَتْ الْعِلَّةُ فِيْهِ مُوْجِبَةً لِلْحُكْمِ وَكَانَ الْفَرْعُ مُسَاوِيًا بِاالْحُكْمِ فِيْهِ لِلْأصْلِ
“yaitu apa-apa yang ‘illat padanya mewajibkan adanya hukum dan keadaan far’un sama dengan ashl untuk mendapatkan hukum”.[32]
Contoh mengqiyaskan seseorang yang membakar harta anak yatim dengan memakan harta anak yatim, yang hukumnya adalah haram, dengan ‘illat harta tersebut akan lenyap, habis, dan tidak bisa dimanfaatkan.
Qiyas Dilalah
مَاكَانَتْ الْعِلَّةُ فِيْهِ دَالَةً عَلَى الْحُكْمِ وَلكِنْ لاَ تَكُوْنُ مُوْجِبَةً لَهُ
“yaitu apa-apa yang ‘illat padanya, menunjukkan kepada hukum, tetapi tidak mewajibkannya.”[33]
Menurut Ibn Qoyyim Al-Jauziyah, yang dimaksud dengan qiyas dilalah adalah mengumpulkan antara sumber (pangkal) dengan cabangnya berdasarkan petunjuk ‘illat dan kemestiannya.[34]
Contoh mengqiyaskan wajibnya zakat pada harta anak kecil dengan orang dewasa, dengan ‘illat keduanya merupakan harta yang dapat berkembang dan bertambah.
Qiyas Syabah
قِيَاسٌ كَانَ الْفَرْعُ فِيْهِ مُتَرَدِّ دًابَيْنَ أصْلَيْنِ فَيُلْحَقُ بِأكْثَرِهِمَا شِبْهًا
“yaitu qiyas yang keadaan furu’ padanya bolak-balik antara kedua ashl lalu ia dihubungkan dengan ashl yang lebih banyak persamaan dengannya.”[35]
Contoh seorang hamba yang cacat karena kejahatan orang lain, apakah dalam masalah ganti rugi (dhaman), ia diqiyaskan kepada orang yang merdeka karena sama-sama anak Adam, atau diqyaskan kepada benda karena ia harta milik. Persamaanya dengan harta lebih banyak daripada persamaanya dengan orang merdeka, karena dapat dijual, dihibahkan, dan diwaqafkan.
Qiyas Adwan
قِيَاسٌ كَانَ الْفَرْعُ أدْوَنَ بِا الْحُكْمِ فِيْهِ مِنَ الْلأصْلِ
“yaitu qiyas yang furu’nya lebih rendah kedudukannya daripada ashl untuk mendapatkan hukum yang sama”.[36]





















Daftar Pustaka
Ahmad, Zainal Abidin, 1981,  Ushul Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang.
Al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim, I’lamul Muwaqi’in, diterjemahkan oleh Asep Saefullah dan Kamaluddim, 2007, Panduan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Azzam.
Amir, 2008, Ushul Fiqih, Jakarta : Prenada Media Group.
Basiq, Djalil, 2010, Ilmu Ushul Fiqih,  Jakarta : Kencana.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Halimuddin,  2005, Jakarta : PT. RINEKA CIPTA.
Rasyad, Hasan, 2009, Tarikh Tasyri’, Jakarta : HAMZAH.
Rifa’i, Moh., 1973, Ushul Fiqih, Bandung : PT. Al-Ma’arif.
Romli, 2014, Studi Perbandingan Ushul Fiqih, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Syarufudin, Amir, 2008, Ushul Fiqih jilid 1, Jakarta : Prenada Media Group
Zuhdi, Masjfuk, 1987, Pengantar Hukum Syariah, Jakarta : CV. Haji Masagung.

Sumber Jurnal
Haika, Ratu, 2012, Konsep Qiyas dan Ad-Dalil dalam Istimbath Hukum Ibn Hazm (Studi Komparatif), Jurnal FENOMENA Vol. IV No. 1, STAIN Samarinda.

Catatan:
1.      Pendahuluan itu bukan seperti yang ada dalam makalah ini. Ia adalah pengantar untuk memahami materi, dan bukan materi itu sendiri.
2.      Penulisan kesimpulan bukan dengan pengulangan materi, tetapi dengan kata-kata singkat yang menyimpulkan materi.
3.      Penulisan footnote tolong memakai format: Nama Penulis, Judul Buku (Kota terbit: Penerbit, tahun), hlm. (..).
4.      Pergunakan kata ibid. Dalam footnote.  



[1] Romli, 2014, Studi Perbandingan Ushul Fiqih, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal. 105.
[2] Amir, 2008, Ushul Fiqih, Jakarta : Prenada Media Group, hal. 131.
[3] Ibid, hal. 105.
[4] Amir, 2008, Ushul Fiqih, Jakarta : Prenada Media Group, hal. 135.
[5] Djalil Basiq, 2010, Ilmu Ushul Fiqih,  Jakarta : Kencana, hal. 152.
[6] Ibid, hal. 184.
[7] Ibid, hal. 185.
[8] Romli, 2014, Studi Perbandingan Ushul Fiqih, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal. 108.
[9] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Halimuddin,  2005, Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, hal. 56.
[10] Syarufudin.Amir, 2008, Ushul Fiqih jilid 1, Jakarta : Prenada Media Group, hal. 154.
[11] Hasan Rasyad, 2009, Tarikh Tasyri’, Jakarta : HAMZAH, hal. 158
[12] Romli, 1999, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, hal. 100.
[13] Masjfuk Zuhdi, 1987, Pengantar Hukum Syariah, Jakarta : CV. Haji Masagung, hal. 75.
[14] Moh. Rifa’i, 1973, Ushul Fiqih, Bandung : PT. Al-Ma’arif, hal. 133.
[15] Zainal Abidin Ahmad, 1981,  Ushul Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang, hal. 175.
[16] Romli, 1999, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, hal. 101.
[17] Ratu Haika, 2012, Konsep Qiyas dan Ad-Dalil dalam Istimbath Hukum Ibn Hazm (Studi Komparatif), Jurnal FENOMENA Vol. IV No. 1, STAIN Samarinda, hal. 94.
[18] Masjfuk Zuhdi, 1987, Pengantar Hukum Syariah, Jakarta : CV. Haji Masagung, hal. 76.
[19] Romli, 1999, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, hal. 104.
[20] Ibid, hal. 106.
[21] Zainal Abidin Ahmad, 1981,  Ushul Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang, hal. 180.
[22] Romli, 1999, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, hal. 108-109.
[23] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Halimuddin,  2005, Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, hal. 79-81.
[24] Zainal Abidin Ahmad, 1981,  Ushul Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang, hal. 182-183.
[25] Ibid,.
[26] Ibid,.
[27] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in, diterjemahkan oleh Asep Saefullah dan Kamaluddim, 2007, Panduan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Azzam, hal. 121.
[28] Zainal Abidin Ahmad, 1981,  Ushul Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang, hal. 184.
[29] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in, diterjemahkan oleh Asep Saefullah dan Kamaluddim, 2007, Panduan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Azzam, hal. 126.
[30] Zainal Abidin Ahmad, 1981,  Ushul Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang, hal. 184.
[31] Zainal Abidin Ahmad, 1981,  Ushul Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang, hal. 182-183.
[32] Ibid,.
[33] Ibid,.
[34] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in, diterjemahkan oleh Asep Saefullah dan Kamaluddim, 2007, Panduan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Azzam, hal. 121.
[35] Zainal Abidin Ahmad, 1981,  Ushul Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang, hal. 184.
[36] Zainal Abidin Ahmad, 1981,  Ushul Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang, hal. 184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar