Jumat, 03 Maret 2017

Asbabun Nuzul (P-IPS E Semester genap 2016/2017)




Asbabun Nuzul  

Robby Arief Hadirizky Perwira
Umi Anisa
Mahasiswa/i Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial kelas E angkatan 2015

Abstract
As the primary basis of Islamic law, Al-Quran be understood by every Muslim as a way of life. As the Syariat of Allah, Al-Quran was revealed gradually does not necessarily go down one full volume. Behind release of Al-Quran that gradually these are important events that go with it, whether it was based on the conflict or merely a process of socialization of the Muhammad SAW with his companions (micro), and includes the historical circumstances that the real case as the social, political, science, psychology Prophet, economic etc. (macro), causes what is called asbab al-nuzul. By looking back in the context of the revelation of the Al-Quran (Asbab Nuzul) we can easily understand what is contained in it.
Keyword : Al-Quran, Asbabun Nuzul, Micro, Macro
Abstrak
Sebagai landasan utama hukum Islam, Al-Quran wajib dipahami oleh setiap muslim sebagai pedoman hidup. Sebagai syariat dari Allah SWT, Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur  tidak serta-merta turun satu jilid penuh. Dibalik turunnya Al-Quran yang berangsur-angsur tersebut terdapat peristiwa-peristiwa penting yang mengiringinya, baik  itu dilandasi oleh konflik atau sekedar proses sosialisasi Rasulullah SAW dengan para sahabatnya (mikro), maupun mencakup situasi dan kondisi historis yang riil terjadi  seperti sosial, politik, iptek, psikologi Nabi, ekonomi dan lain sebagainya (makro), penyebab-penyebab itulah yang disebut Asbabun Nuzul. Dengan melihat kembali konteks diturunkannya Al-Quran (Asbabun Nuzul) kita bisa dengan mudah memahami apa yang terkandung di dalamnya.
Kata Kunci : Al-Quran, Asbabun Nuzul, Mikro, Makro

A.    Pendahuluan
Al-Quran adalah perkataan (kalam) Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya melalui Malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Quran sebagai kitab Allah menempati posisi sebagai sumber hukum pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam serta berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Al-Quran diturunkan untuk menuntun manusia kedalam jalan yang terang benderang yaitu Islam dan mengeluarkan mereka dari jeratan Jahiliyah. Juga menyimpan jejak rekam petualangan para nabi terdahulu dengan para sahabatnya dan bahkan menguraikan apa yang akan terjadi di masa depan. Al-Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih menjadi hal tabu bagi mereka untuk memutuskan tindakan yang akan diambil, kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu, maka Al-Qur’ān turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbabun Nuzul.
        Dalam karya tulis ini penulis mencoba untuk mengulas apa itu yang dinamakan Asbabun Nuzul beserta macam-macamnya dan apa manfaat kita mempelajarinya, sehingga pengetahuan mengenai asbabun nuzul besar sekali manfaatnya bagi setiap orang yang hendak menafsirkan Al Qur’an, selain membantu mempermudah menghafalkan dan memahami maksud dari isi kandungan tersebut, banyak sekali sejarah yang terukir di dalam Al-Quran. Dengan mempelajari Asbabun Nuzul seseorang dapat mengetahui kandungan makna Al Qur’an secara tepat sekaligus dapat menghindarkan seseorang dari pemahaman yang salah.

B.     Pengertian Asbabun Nuzul
A.    Definisi Secara Etimologi (Bahasa Harfiah)
   Asbāb an-Nuzūl secara etimologi terdiri dari kata asbāb dan an-nuzūl. Asbāb dapat berarti كل شيئ يتوصل الى غيره (sesuatu yang menyampaikan kepada sesuatu yang lain), الحبل (tali, tambang), dan كل حبل حدرته من فوق (tiap tali yang kamu turunkan dari atas), sedang An-nuzūl artinya نزلهم و نزل عليهم و نزل بهم  قد و الحلول (menempati dan menempati tempat mereka). [1]
B.     Definisi Secara Terminologi (Istilah-Syara')
   Secara terminologi menurut Az-Zarqani dalam bukunya Manāhil al-‘Urfān fī ‘Ulūm Al-Qur’ān, pengertian asbāb an-nuzūl adalah sesuatu yang menyebabkan satu ayat atau beberapa ayat diturunkan untuk membicarakan sebab atau menjelaskan hukum sebab tersebut pada masa terjadinya sebab itu.[2] Hal yang sama juga diungkapkan Sedangkan menurut Subhi As-Salih Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.oleh T.H. Thalhas bahwa Asbabun Nuzul adalah semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, atau memberi jawaban terhadap sebabnya, serta menerangkan hukumnya pada saat terjadinya peristiwa itu.[3]
C.    Asbabun Nuzul Mikro dan Makro
Untuk memahami Asbabun Nuzul diperlukan pemahaman tentang sejarah pengertian (definisi) Asbabun Nuzul. Pengertian Asbabun Nuzul dalam kesejarahan ilmu tafsir dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu Asbabun Nuzul mikro dan Asbabun Nuzul makro.
Asbabun Nuzul mikro adalah Asbabun Nuzul yang sering diketemukan dalam khazanah ilmu tafsir tradisional yang berkembang sejak abad 2 H. Ulama-ulama tafsir tradisonal memberikan batasan peristiwa dan pertanyaan kasuistik yang melatarbelakangi turunnya ayat sebagai Asbabun Nuzul (yang kemudian dikenal dengan Asbabun Nuzul mikro). Pendekatan tradisional konvensional ini dapat dilacak dalam sejarah ilmu tafsir generasi awal. Setelah diadakan eksplorasi terhadap beberapa kitab 'Ulumul Qur’an, definisi  Asbabun Nuzul adalah semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, atau memberi jawaban terhadap sebabnya, serta menerangkan hukumnya pada saat terjadinya peristiwa tersebut.
   Pengertian Asbabun Nuzul kemudian berkembang menjadi pengertian yang bersifat makro yaitu bahwa Asbabun Nuzul bukan hanya berupa peristiwa dan pertanyaan yang melatarbelakangi turunnya ayat tetapi  juga menyangkut kondisi sosio-historis yang melatarbelakngi turunnya ayat. Perkembangan pengertian ini terjadi pada abad 8 H seiring kritik-kritik yang muncul atas pengertian Asbabun Nuzul mikro. Bahkan kritik tajam Asbabun Nuzul mikro muncul dari al-Dahlawi yang menganggap bahwa Asbabun Nuzul yang tercantum dalam kitab-kitab tafsir yang berdasarkan riwayat adalah rekaan (zanni). Berbeda dengan definisi-definisi tradisional konvensional, Asbabun Nuzul makro lebih bersifat formil untuk membedakan Asbabun Nuzul mikro yang bersifat materiil. Ulama yang mendefinisikan Asbabun Nuzul makro ini antara lain Al-Syatibi yang menjelaskan bahwa memahami Asbabun Nuzul adalah memahami konteks (situasi dan kondisi) yang melingkupi turunnya ayat. Konteks itu meliputi al-Mukhatib (Allah swt), al -Mukhatab dan al-Mukhatab fiih. Al-Qasimi menambahkan bahwa pengetahuan Asbabun Nuzul itu tidak bisa dipahami essensinya kecuali juga harus mengetahui situasi dan kondisi ketika ayat itu turun. Pendapat ini kemudian diikuti Fazlur Rahman dengan definisi yang dikemukakannya yaitu bahwa Asbabun Nuzul mencakup situasi dan kondisi historis yang riil terjadi (sosial, politik, iptek, psikologi Nabi, ekonomi dan sebagainya).[4]

D.    Definisi Sebab Nuzul
Menurut Al Ja’bari Al qur’an diturunkan dalam dua kategori yaitu:   
A.    Turunnya diawali oleh suatu sebab
Ayat-ayat Al qur’an turun  karena sebab-sebab tertentu, misalnya:
a)      Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Al Qur’an mengenai peristiwa itu. Hal itu seperti diriwayatkan oleh Ibn Abbas, yang mengatakan:
لما نزلت ( وانذر عشيرتك الاقربين) خرج النبي صلى الله عليه وسلم حتى صعد الصفا, ياصباحاه فاجتمعوا اليه , فقال: ارايتم لو اخبرتم ان خيلا تخرج بسفح هذ الجبل اكننتم مصدقي؟ قالو : ما جربنا علييك كذبا , قال : فاني نذير لكم بين يدي عذاب شديد, فقال ابو لهب :تبا لك ما جمعتنا لهذا ؟ ثم قام, فنزلت هذه السورة ( تبت يدا ابي لهب و تب)
Ketika turun : Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat, Nabi pergi dan naik ke bukit safa, lalu berseru: “ wahai kaumku!” Maka mereka berkumpul ke dekat Nabi, Ia berkata lagi : “bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu bahwa dibalik gunung ini ada pasukan berkuda yang hendak menyerangmu, percayakah kamu apa yang kukatakan?” mereka menjawab : “ kami belum pernah melihat engkau berdusta . Dan Nabi melanjutkan ; “ Aku memperingatkan kamu tentang siksa yang pedih “. Ketika itu Abu Lahab lalu berkata : “celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?” lalu ia berdiri, maka turunlah ayat ini Binasalah kedua tangan Abu Lahab.[5]
Adapun ayat yang diturunkan karena suatu peristiwa menurut Az-Zarqani ada tiga bentuk yaitu:
Pertama, peristiwa khushūmah (pertengkaran) yang sedang berlangsung, semisal perselisihan antara kelompok Aus dan Khazraj yang disebabkan oleh rekayasa kaum Yahudi sampai mereka berteriak: “as-silāh, as-silāh” (senjata, senjata). Dari kejadian ini turunlah beberapa ayat dari surat Ali ‘Imrān yang di mulai dari ayat 100 hingga beberapa ayat berikutnya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman” (Ali ‘Imrān: 100).
Kedua, peristiwa berupa kesalahan seseorang yang tidak dapat di terima akal sehat. Seperti orang yang masih mabuk mengimami shalat sehingga ia salah dalam membaca surat al-Kāfirūn. Kemudian turunlah ayat dari surat an-Nisā.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (An-Nisā: 43).
Ketiga, peristiwa mengenai cita-cita dan harapan, seperti muwāfaqāt (persesuaian, kecocokan) Umar RA. Aku ada persesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara. Aku katakan kepada Rasulullah bagaimana kalau Maqām Ibrahim kita jadikan tempat shalat, maka turunlah ayat :
وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
Artinya : “Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat salat” (Al-Baqarah: 125).
Dan aku berkata wahai Rasulullah: “Sesungguhnya di antara orang-orang yang menemui istri-istrimu ada yang baik (al-barru) dan ada yang jahat (al-fājir), bagaimana kalau anda memerintahkan kepada mereka untuk membuat hijāb (tabir). Kemudian turunlah ayat hijāb, yakni ayat dari surat al-Ahzāb ayat 53.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ ۚ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ ۚ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.”[6]
b)      Rasulullah SAW ditanyai
Bila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Al Qur’an yang menerangkan hukumnya. Hal itu seperti ketika Khaulah binti Sa’labah dikenakan zihar oleh suaminya, Aus bin Samit. Lalu ia datang kepada Rasulullah mengadukan hal itu. Aisyah berkata: “Mahasuci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segalanya, Aku mendengar ucapan Khaulah binti Sa’labah itu, sekalipun tidak seluruhnya. Ia mengadukan suaminya kepada Rasululah. Katanya: “Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi, ia menjatuhkan zihar kepadaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu”. Aisyah berkata :” Tiba-tiba Jibril turun membawa ayat-ayat ini:  “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya....., yakni Aus bin Samit.”[7]
Ayat-ayat yang diturunkan karena ada pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW juga ada tiga bentuk, yaitu :
Pertama, pertanyaan tentang peristiwa yang sudah lampau, semisal firman Allah SWT. dalam surat al-Kahfi ayat 83.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ ۖ قُلْ سَأَتْلُو عَلَيْكُمْ مِنْهُ ذِكْر
 Artinya :“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya.”
Kedua, pertanyaan tentang peristiwa yang sedang berlangsung, semisal firman Allah SWT. dalam surat al-Isrā ayat 85.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
Ketiga, pertanyaan tentang peristiwa yang akan datang, semisal firman Allah SWT. dalam surat an-Nāzi‘āt ayat 42.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا
Artinya : “(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”[8]

B.     Ayat-ayat yang turunnya tidak awali oleh sebab
            Ayat-ayat semacam ini banyak terdapat di dalam Al Qur’an dan jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat hukum yang mempunyai Asbabun Nuzul. Seperti ayat-ayat yang menceritakan tentang umat terdahulu beserta para Nabinya, menceritakan hal-hal yang gaib yang akan terjadi dan menggambarkan keadaan hari kiamat beserta nikmat surga dan siksaan neraka. Ayat-ayat yang demikian itu diturunkan Allah bukan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu pertanyaan dari suatu peristiwa yang terjadi pada waktu itu, melainkan semata-mata untuk memberi petunjuk kepada manusia agar menempuh jalan yang lurus. Dan Allah menjadikan ayat-ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan kontek Al Qur’an dengan ayat-ayat sebelumnya dan ayat-ayat sesudahnya.[9]
            Memang demikianlah ayat-ayat Al-Quran. Ada yang diturunkan tanpa didahului sebab dan ada yang diturunkan sesudah didahului oleh suatu sebab. Menurut Az-Zarqani tidak semua ayat atau beberapa ayat mempunyai asbāb an-nuzūl, diantaranya ayat yang berbicara mengenai kejadian atau keadaan yang telah lampau dan akan datang, semisal kisah nabi-nabi dan umat terdahulu, kejadian tentang as-sā‘ah (kiamat) dan yang berhubungan dengannya. Ayat-ayat seperti ini banyak terdapat dalam Al-Quran Al-Karim.
E.     Ayat-ayat Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur
Orang-orang kafir mempertanyakan, ‘Mengapa Al-Quran tidak diturunkan sekaligus?’ Oleh Allah, Al-Quran dirinci untuk dibacakan kepada manusia dengan sabar. Al-Quran mengandung berbagai macam perumpamaan yang disajikan secara berangsur-angsur. Maka, dengan maksud untuk meneguhkan hati manusia, Al-Quran pun harus dibacakan berangsur-angsur, dan ayat-ayat pun diturunkan secara berangsur-angsur pula. Namun, manusia memang sejenis makhluk yang paling banyak bantahannya. Perhatikan ayat suci dibawah ini :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلًا
Artinya :
Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu berangsur-angsur (Al-Insaan : 23) 
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
Artinya :
Dan Al-Quran itu Kami perinci agar engkau bacakan kepada manusia dengan sabar dan Kami menurunkannya berangsur-angsur (Al-Israa’ : 106)
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
Artinya :
Orang-orang kafir itu berkata ,’Mengapa tidak diturunkan Al-Quran kepadanya sekaligus ?’ demikianlah supaya Kami meneguhkan hatimu dengan Al-Quran dan Kami membacakannya berangsur-angsur (Al-Quran : 32).[10]  

Pertanyaan “mengapa teks diturunkan secara bertahap?” merupakan pertanyaan yang wajar sekali dalam suatu peradaban pada umumnya, dan bagi ulama Al-Quran khususnya. Pertanyaan ini sudah pernah digulirkan sebagai bentuk penolakan oleh orang-orang musyrik Makkah. Mereka meminta Muhammad agar menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit, selain mukjizat-mukjizat lainnya yang mereka minta. Pertanyaan ini muncul dari kalangan kaum musyrik karena mereka memiliki konsep mengenai kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan kepada para nabi Yahudi, bahwa kitab-kitab tersebut diturunkan secara lengkap dan terbukukan sebagaimana diturunkannya “lauh/papan” kepada Musa. Oleh karena itu, sikap mereka menolak model penurunan Al-Quran secara bertahap tersebut merupakan semacam sikap meragukan sumber (munculnya) teks.
Akan tetapi, pemahaman ulama Al-Quran terhadap alasan mengapa Al-Quran diturunkan secara bertahap melampaui bingkai kondisi penerima pertama sebagai dasar pertimbangan, justru mengindikasikan adanya dialektika antara teks dan realitas. Pertanyaan yang muncul dalam hati dari sudut pandang agama adalah: mengapa harus mengembangkan realitas dan sebab dalam menurunkan secara bertahap, padahal Allah SWT mengetahui seluruh realitas, baik secara global maupun detilnya, sebelum realitas terjadi? Tentunya, pertanyaan semacam ini mengabaikan kenyataan bahwa tindakan Tuhan dalam dunia adalah tindakan dalam waktu dan ruang, tindakan yang terjadi melalui hukum-hukum alam itu sendiri, baik itu alam fisik maupun alam sosial. Jika hukum-hukum itu sendiri dari sudut pandang agama merupakan ciptaan Allah maka pertanyaan itu sebenarnya kehilangan legalitasnya untuk dilontarkan. Akan tetapi, yang melegitimasi pertanyaan ini menurut ulama adalah konsepsi mereka sendiri yang mengatakan bahwa mempertimbangkan hukum-hukum waktu dan ruang untuk tindakan Tuhan mengandung semacam penghinaan terhadap “kekuasaan Tuhan” yang mutlak. Jawaban ulama Al-Quran terhadap pertanyaan-pertanyaan ini menyingkapkan sebuah kesadaraan yang sayangnya tidak menjalar ke dalam semua ilmu Al-Quran. Pertanyaan yang dilontarkan adalah : bukankah masih dalam jangkauan kekuasaan Allah yang mutlak untuk menurunkan Al-Quran sekaligus, bukankah Ia mampu menjadikan Nabi SAW menghafalnya sekaligus? Jawaban yang diberikan :
“Tidaklah semua yang mungkin terjadi harus terjadi. Dan, di dalam Al-Quran sendiri terdapat banyak jawaban mengenai berbagai pertanyaan. Inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa diturunkan bertahap. Sebab lain karena sebagian ada yang me-naskh dan sebagian ada yang di-naskh. Alasan-alasan inilah yang tidak memungkinkan untuk diturunkan kecuali dengan cara bertahap.”[11]
Paling tidak ada empat hikmah atau tujuan kenapa Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur, yaitu :
·         Menetapkan atau menguatkan hati Nabi Muhammad SAW, seperti yang digambarkan dalam ayat Al-Furqon ayat 32
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا
Artinya :
“Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al-Furqan 32) 
Dengan turunnya Al-Quran secara berangsur-angsur, maka berarti Nabi Muhammad SAW akan selalu berjumpa Jibril dan menerima Al-Quran. Hal itu secara psikologis akan berpengaruh kepada Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah ilahi; dia akan menjadi tegar dan kuat. Berbeda dengan turunnya secara sekaligus, berjumpa dan mendapatkan seluruh ayat kemudian tidak muncul lagi.
·         Berangsur-angsur dalam mendidik umat, yang sedang tumbuh ini, untuk menanamkan ilmu dan amal. Hal ini dapat memberikan kemudahan kepada para sahabat memahami dan menghafal setiap ayat yang diturunkan, terlebih lagi mengamalkannya. Betapa sulitnya memahami dan menghafal setiap ayat yang diturunkan, terlebih lagi mengamalkannya. Betapa sulitnya memahami dan menghafal ayat-ayat yang begitu banyak jika ia diturunkan sekaligus. Dan bahkan lebih sulit lagi mengamalkannya, karena perintah dan larangan yang begitu banyak muncul secara bersamaan. Maka untuk itulah Allah menurunkan ayat-ayat tersebut dengan berangsur-angsur.
·         Menyesuaikan dengan kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa itu. Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan perlunya penyesuaian penurunan ayat dengan peristiwa yang sedang terjadi; pertama akan menimbulkan kesan yang mendalam sehingga umat Islam benar-benar merasakan butuhnya mereka kepada Al-Quran. Bagaikan orang yang sedang sakit, kemudian diberikan obat yang langsung menyembuhkannya. Dan kedua adalah berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para sahabat secara langsung dengan wahyu yang diturunkan ketika itu juga atau menunggu beberapa lama. Hal ini selain menimbulkan kesan yang yang dalam kepada para penanya, juga dapat menambah keyainan mereka bahwa Al-Quran benar-benar datang dari Allah, sehingga Nabi harus menunggu turunnya ayat berkenaan.
·         Memberikan isyarat yang nyata kepada musuh-musuh Islam, bahwa Al-Quran adalah Kalam Tuhan yang datang dari Allah bukan perkataan Nabi. Jika ia kalam Muhamad SAW, maka dia dapat mengungkapkannya kapan dan di mana saja, tidak perlu menunggu.[12]

F.     Faedah Mengetahui Asbab Nuzul
Beberapa pakar ‘Ulum Al-Quran misalnya Al-Zarqani dan Al-Suyuthi mensinyalir adanya sementara kalangan yang beranggapan bahwa mengetahui Asbab Nuzul tidak ada gunanya. Hal itu dianggapnya tidak lebih daripada sejarah turunnya ayat yang tidak ada kaitannya dengan pemahaman Al-Quran. Anggapan semacam ini, oleh kebanyakan ulama termasuk diantaranya Ibnu Taimiyah yang mendalami ilmu-ilmu Al-Quran, dinilai sebagai pandangan yang keliru. Karena banyak sekali hal yang dapat dibantu oleh pemahaman Asbab Nuzul di dalam upaya memahami Al-Quran. Faedah-faedah itu diantaranya adalah :
1.      Membantu di dalam memahami, sekaligus mengatasi ketidakpastian di dalam menangkap ayat-ayat Al-Quran. Untuk ini simaklah firman Allah berikut :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya :
“Dan kepunyaan Allah SWT, lah timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah 115).
Menurut zahir ayat ini, orang yang shalat, boleh menghadap kea rah mana saja, sesuai kehendak hatinya. Ia seakan-akan tidak berkewajiban menghadap Ka’bah di dalam shalat. Dan zahir ayat itu, membolehkan orang menghadap kearah mana saja dalam shalat, baik ketika bermukin maupun tidak dalam berpergian. Akan tetapi setelah memahami Asbabun Nuzul ayat di atas, ternyata tidak demikian. Orang yang di dalam shalatnya dibenarkan menghadap arah mana saja, hanyalah orang yag tidak tahu arah kiblat dan kemudian dia berijtihad.
2.      Mengatasi keraguan terhadap ayat yang diduga mengandung pengertian umum. Misalnya firman Allah SWT yang berbunyi:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ
Artinya :
Katakanlah: “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu (berupa) bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. . . . “ (Al-An’am, ayat 145)
Menurut Imam al-Syafi’i, bahwa pengertian yang dimaksud ayat ini tidaklah umum (hashr). Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan di dalam memahami ayat di atas, Imam Syafi’i menggunakan “alat bantu” Sebab Nuzul” ayat. Ayat ini, seperti diturunkan Al-Zarqaniy, menurut Syafi’i diturunkan sehubugan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu yang telah mereka halalkan. Karena menjadi kebiasaan orang-orang kafir, terutama Yahudi, mengharamkan apa saja yang dihalalkan Allah SWT dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT. Maka turunlah ayat 145 Surah Al-An’am di atas untuk menetapkan pengharaman dan bukan untuk menetapkan penghalalan makanan yang tidak disebut ayat tersebut.[13]  
Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa, karena sayangnya kepada ummat.
3.      Mengkhususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus dan bukannya lafal yang umum, sebagai contoh dapat dikemukakan dalam firman Allah berikut:
لا تحسبن الذين يفرحون بما اتو ويحبون ان يحمدوا بما لم يفعلوا فلا تحسبنهم بمفازة من العذاب ولهم عذاب اليم.
“ jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan , jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang pedih.” (Ali Imran/3: 188)
            Diriwayatkan bahwa Marwan berkata kepada penjaga pintunya : “ pergilah hai Rafi’ kepada Ibn Abbas dan katakan kepadanya : sekiranya setiap orang diantara kita bergembira dengan apa yang telah dikerjakan dan ingin dipuji dengan perbuatan yang belum dikerjakannya itu akan disiksa, tentulah kita semua akan disiksa. “ Ibn Abbas  menjawab : “mengapa kamu berpendapat demikian mengenai ayat ini? Ayat ini turun berkenaan dengan ahli kitab. Kemudian ia membaca ayat : Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (Ali ‘Imran/3:187).” Kata Ibn Abbas: “Raslullah menanyakan kepada mereka tentang sesuatu , mereka meyembunyikannya, lalu mengambil persoalan lain dan itu yang mereka tunjukkan kepadanya. Setelah itu mereka pergi, dan menganggap bahwa mereka telah memberitahukan kepada Rasulullah apa yang ditanyakannya kepada mereka. Dengan perbuatan ini mereka ingin dipuji oleh Rasulullah dan mereka bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, yaitu menyembunyikan apa yang ditanyakan kepada mereka itu.
4.      Apabila lafal yang diturunkan itu lafal yang umum dan terdapat dalil atas pengkhususannya, maka pengetahuan mengenai Asbabun Nuzul membatasi pengkhususan itu hanya terdapat selain bentuk sebab.
5.      Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna al qur’am dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya
6.      Asbabun Nuzul dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan.[14]
G.    Kesimpulan
Pertama, Asbāb an-Nuzūl secara etimologi terdiri dari kata asbāb dan an-nuzūl. Asbāb dapat berarti كل شيئ يتوصل الى غيره (sesuatu yang menyampaikan kepada sesuatu yang lain), sedang An-nuzūl artinya نزلهم و نزل عليهم و نزل بهم  قد و الحلول (menempati dan menempati tempat mereka), Sedangkan secara terminologi menurut Subhi As-Salih, Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.
Kedua, Asbabun Nuzul terbagi menjadi dua, yaitu Asbabun Nuzul mikro dan makro. Asbabun Nuzul mikro adalah Asbabun Nuzul yang sering diketemukan dalam khazanah ilmu tafsir tradisional yang berkembang sejak abad 2 H. Ulama-ulama tafsir tradisonal memberikan batasan peristiwa dan pertanyaan kasuistik yang melatarbelakangi turunnya ayat sebagai Asbabun Nuzul (yang kemudian dikenal dengan Asbabun Nuzul mikro), sedangkan Asbabun Nuzul makro yaitu bahwa Asbabun Nuzul bukan hanya berupa peristiwa dan pertanyaan yang melatarbelakangi turunnya ayat tetapi  juga menyangkut kondisi sosio-historis yang melatarbelakngi turunnya ayat.
Ketiga, Menurut Al Ja’bari Al qur’an diturunkan dalam dua kategori yaitu turunnya diawali oleh suatu sebab (apabila terjadi suatu peristiwa dan apabila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal) dan Ayat-ayat yang turunnya tidak awali oleh sebab.
Keempat, Ayat-ayat Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur karena Al-Quran dirinci untuk dibacakan kepada manusia dengan sabar. Al-Quran mengandung berbagai macam perumpamaan yang disajikan secara berangsur-angsur. Maka, dengan maksud untuk meneguhkan hati manusia, Al-Quran pun harus dibacakan berangsur-angsur, dan ayat-ayat pun diturunkan secara berangsur-angsur pula.
Kelima, hikmah mempelajari Asbabun Nuzul adalah :
a)      Membantu di dalam memahami, sekaligus mengatasi ketidakpastian di dalam menangkap ayat-ayat Al-Quran
b)      Mengatasi keraguan terhadap ayat yang diduga mengandung pengertian umum. Misalnya firman Allah SWT yang berbunyi:
c)      Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa
d)     Mengkhususkan (membatasi) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum
e)      Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna al qur’an
f)       Asbabun Nuzul dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat itu diturunkan.




Daftar Pustaka 

Marzuki, Kamaluddin. (1994). Ulum Al-Quran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Yusuf, Kadar M.. (2009). Studi Al Quran. Jakarta: AMZAH
Ash Shiddieqy, T.M.H. (2002). Ilmu-ilmu Al Qur-an. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra
Zaid, Nasr Hamid Abu. (2003). Tekstualitas Al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS
Mimbar, Saubari M.. (2006). Rangkuman Firman Allah. Malang: Departemen Pendidikan Nasional Universitas Brawijaya
Al-Qattan, Manna’ Khalil. (2015). Studi Ilmu-ilmu Quran Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
Thabathaba’I, S.M.H. (2000). Memahami Essensi Al-Quran. Jakarta: Lentera
Thalhas, T.H. (2008). Fokus Isi & Makna Al-Quran, Jakarta: Galura Pase
Bakri, Syamsul. (2016). “Asbabun Nuzul: Dialog Antara Teks dan Realitas Kesejarahan”. At-Tibyan. 1. 1-18
Zaini, Ahmad. (2014). “Asbab An-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami Makna Al-Qur’an”. Hermeneutik. 8. 1-20
Alifuddin, Muhammad. (2012). “Asbabun Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami Makna Qur’an”. Shautut Tarbiyah : Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman. 26. 115-123.

Catatan:
1.      Makalah ini belum sesuai dengan format artikel yang menjadi acuan.
2.      Perujukan masih sangat minimalis, perlu ditambahi.
3.      Penulisan footnote dan daftar pustaka masih salah.
4.      Menulis bukan hanya memindah data. Jangan karena diperbolehkan mengambil referensi dari jurnal ilmiah yang online kemudian langsung copy-paste. Seharusnya tulisan dalam jurnal tersebut diparafrase.
5.      Sistematika makalah ini masih belum baik. Perlu pembenahan dari aspek sistematika agar pembaca dalam memahami dengan baik.


[1] Ahmad Zaini, 2014, “Asbab An-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami Makna Al-Qur’an”, Hermeneutik, Vol 8, 2014, 4
[2] Ahmad Zaini, 2014, “Asbab An-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami Makna Al-Qur’an”, Hermeneutik, Vol 8, 2014, 4-5
[3] T.H. Thalhas, Fokus Isi & Makna Al-Quran, Jalan Pintas Memahami Substansi Global Al-Qur’an, (Jakarta: Galura Pase, 2008), hlm. 39
[4] Syamsul Bakri, 2016, “Asbabun Nuzul:
Dialog Antara Teks dan Realitas Kesejarahan”, At-Tibyan, Vol. 1 No. 1, Januari 2016, hlm. 3
[5] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), hlm. 105
[6] Ahmad Zaini, 2014, “Asbab An-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami Makna Al-Qur’an”, Hermeneutik, Vol 8, 2014, 5-6
[7] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), hlm. 105
[8] Ahmad Zaini, 2014, “Asbab An-Nuzul dan Urgensinya dalam Memahami Makna Al-Qur’an”, Hermeneutik, Vol 8, 2014, 5-7
[9] Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’I, Memahami Essensi Al-Quran, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm. 134
[10] Saubari M. Mimbar, Rangkuman Firman Allah, (Malang: Departemen Pendidikan Nasional Universitas Brawijaya, 2006), Hal 115-116
[11] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Quran, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 116-118
[12] Kadar M. Yusuf, Study Al-Quran, (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 19-20]
[13] Kamaluddin Marzuki, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 32-34
[14]Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), hlm. 108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar