Sabtu, 09 September 2017

Sumber-Sumber dan Dalil Fiqih yang Mukhtalaf (PAI E Semester Ganjil 2017/2018)




 Nur Rofiqoh dan Hidhayatul Hilmiah
PAI E 2016 UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Abstract
This article tells about the method of ijtihad which is involving several resourcers and debated argumentation divided into 6 parts those are, istihsan, istishab, maslahah mursalah, ‘urf and qoul shahabah. Each part has different devinition for mujtahid. Event, several mujtahid are disagree and rejecting the source of this postulate, so it’s still debated until now. For example istihsan which is agred by Imam Hanafi, Hambali and maliki. Where as Imam Syafi’i tended to reject and said that who embrace istihsan has made the new religion. As we remember that problems and challenges are developed and occured because of the progress of science and technology which tend to be incomplete. So, with the existence of this postulate it can adapt the problems and challenges happened nowaday. However, the debates between the postulates and other sources are still exist. Basically, this different thought of mujtahid happened because of the different of their basic thought, which they think is more acceptable, in order to make moslem people more aware to do everything related with the islamic law.
Abstrak
Artikel ini berbicara mengenai metode ijtihat yang berupa sumber-sumber dan dalil fiqih yang mukhtalaf (diperdebatkan) yang terbagi menjadi 6 bagian diantaranya ihtisan, istishab, mashlahah mursalah, urf, qoul shohabi. Dari bagian-bagian tersebut memiliki definisi yang berbedapendapat dari para mujtahid. Bahkan diantara mujtahid ada yang menyetujui dan ada yang menolak akan adanya sumber dalil ini,sehingga sampai saat ini masih diperdebatkan. Seperti halnya ihtisan yang disetujui oleh imam hanafi, hambali, dan maliki. Sedangkan imam syafi’i cenderung menolaknya dan mengatakan bahwa yang menganut ihtisan ini telah membuat syari’at baru. Mengingat semakin berkembangnya problem dan masalah-masalah baru yang muncul atas tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cenderung belum tertampung secara memadai. Jadi, adanya sumber-sumber dalil ini dapat menyesuaikan dengan problem dan masalah-masalah yang terjadi di zaman yang semakin berkembang ini. Namun masih ada perdebatan antara sumber-sumber dan dalil fiqih. Pada dasarnya perbedaan pemikiran para mujtahid ini, berbeda karena landasan-landasan tertentu yang dianggapnya lebih syari’at. Supaya umat islam lebih berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum.
Keywords : Istihsan, Maslahah mursalah, Istishab, ‘Urf, Qoul sohabi, Syar’u man qoblan
A.    Pendahuluan
Meskipun ada beberapa metode ijtihad dalam menetapkan hukum fiqih, namun tidak semua metode itu di sepakati oleh para ulama. Oleh karena itu, munculnya kaidah-kaidah baru merupakan kelanjutan dari kerja keras yang dilakukan ulama’ dalam mengembangkan ilmu kaidah fiqih. Hampir semua kitab ushul fiqih metode ijtihad disebut sebagai dalil-dalil syara’ yang penggunaannya tidak disepakati oleh ulama’ sebagai pelengkap dari empat dalil syara’ yang disepakati yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiayas. Namun ada sumber-sumber dalil syara’ yang mukhtalaf (diperdebatkan) seperti: Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishhab, Urf, Qoul shohabi, dan Syar’u man Qoblana.

B.     Istihsan
Dikalangan ulama’ushul fiqih, istihsanmerupakan suatu metode pemutus hukum yang menjadi bahan perdebatan diantara mereka. Mulai dari perdebatan seputar pendefinisiannya, sampai legalitasnya sebagai salah satu sumber hukum syari’at. Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya sering menggunakan metode istihsan ini. Selain kalangan Hanafiyyah, para ulama’ dari kalangan Malikiyyah dan Hanabiyyah juga termasuk pengguna istihsan bahkan Imam Malik berkata: “Istihsan adalah sembilan puluh persen ilmu”.[1]
Dipihak lain, Imam Al-Syafi’i keras mengcounter para pengguna istihsan. Dalam pernyataan yang populer beliau berkata: “Man istihsana faqad syarra’a” (barang siapa yang ber-istihsan, maka ia telah membuat syari’at baru).
Alasan-alasan Al-Syafi’i menolak istihsan, salah satunya adalah melakukan istihsan berarti menentang ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar mengikuti wahyu dan menetapkan hukum sesuai dengan kebenaran (Al-Haqq) yang diturunkan Allah dan melarang mengikuti hawa nafsu manusia. Untuk dapat menetapkan hukum sesuai dengan kebenaran itu, tentu seseorang harus mengetahuinya lebih dahulu, melalui nash atau petunjuk (dilalah)Nya. Allah telah menerangkan kebenaran itu dengan kitabnya melalui sunnah nabi SAW. sehingga setiap peristiwa yang terjadi atas seseorang pasti ada petunjuk mengenainya di dalam Al-Kitab bisa secara terperinci atau hanya secara global. Oleh karena itu, kenyataan bahwa istihsan diterima dan digunakan oleh sebagian ulama’ mujtahid terkemuka, menimbulkan permasalahan yang cukup penting.[2]
Ditetapkan dalam Risalah Ushuliyahnya: perumpamaan orang yang menetapkan hukum dengan ihtisan adalah seperti orang yang shalat menghadap kearah yang dianggapnya baik itu adalah ka’bah, tanpa menggunakan dalil-dalil yang telah ditetapkan syar’i dalam menentukan arah ka’bah. Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa ihtisan adalah berenak-enak, seandainya melakukan ihtisan dalam agama itu diperbolehkan, niscaya boleh juga dilakukan oleh orang-orang yang punya akal meskipun bukan ahli ilmu. Dan niscaya boleh menciptakan syari’atdalam agama disetiap permasalahan, serta setiap orang boleh membuat syari’at untuk dirinya sendiri.[3]


1.      Istihsan secara harfiah
Menganggap baik sesuatu dan meyakininya. Hal ini tidak ada pertentangan sedikitpun mengenai penggunaan kosakata istihsan karena terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Allah berfirman:
الذِينَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَولَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ (الزمور18)
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. (QS: Az-Zumar 18)”.

وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوْا بِأَحْسَنِهَا (الأعراف 145 )
Artinya: “Dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintah taurat) yang terbaik. (QS: Al-A’raf 145)”.[4]
Rasulullah SAW. bersabda:
مَا رَأهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللّهِ حَسَنٌ (رؤاه أحمد)
Artinya:”Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka ia adalah baik disisi Allah. (HR. Ahmad)”.[5]
2.      Ihtisan secara etimologis (lughawi/bahasa)
Istihsan(استحسان) berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik” atau, “mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu”. Dari arti lughawi tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorong untuk meninggalkan.[6]
Ada beberapa pendapat ulama’ mengenai istihsan diantaranya: mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikanlandasan dalam menetapkan hukum dengan beberapa alasan antara lain firman Allah SWT:
الَذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنُهُ أُوْلئِكَ الَّذِيْنَ هَدَاهُمُ اللّهُ وَأُلَئِكَ هُمْ أُولُوالْأَلْبَابْ {الزمر/٣٩ : ١٨}
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar/39:18).”[7]
Dari ayat diatas menurut mereka, memuji orang-orang orang yang mengikuti perkataan (pendapat) yang baik, sedangkan mengikuti istihsan berarti mengikuti sesuatu yang dianggap baik, dan oleh karena itu saja dijadikan landasan hukum.
Saperti halnya transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan. Semestinya hal ini tidak perlu dipermasalahkan lagi. Meskipun ada ketentuan umum yang melarang menyakiti tubuh seseorang, termasuk jenazah, namun dalil yang menyarankan manusia untuk berobat itu lebih baik diikuti. Dalam hal inipun pendekatan Istihsan lebih tepat untuk dilaksanakan.[8]
Tampak jelas bahwa permasalahan fiqih akan semakin banyak bermunculan dalam pesatnya perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia. Tidak bisa bersikap seenaknya dalam solusi hukumnya, karena hal demikian menyalahi prinsip umum dalam mengamalkan hukum, meskipun agama tidak memberatkan manusia dalam beramal. Menggunakan istihsan bukan berarti berbuat seenaknya sebagaimana yang telah dikemukakan para pengguna istihsan dari kalangan ulama’ mazhab Maliki, asalkan betul-betul mengikuti kaidah istihsan.[9]

C.  Maslahah Mursalah

Mashlahah mursalah adalah metode pengambilan hukum dengan prinsip kemaslahatan secara bebas, mutlak atau absolut dengan sekedar persyaratan tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at secara spesifik. Mashlahah ((مصلحه berasal dari kata shalaha ((صلح dengan menambah alif di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau”rusak”. Masdar dari kata صلاح, yaitu “manfaat” atau “terlepas dari kerusakan”. Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah  itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan menjauhkan mudharat (kerusakan), hakikat dari mashlalah adalah:
الْمُحَافَظَةُ عَلَى مَقْصُوْدِالشَّرْعِ
Artinya: “Memelihara tujuan syara’(dalam menetapkan hukum)”.
Sedangkan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu ada lima yaitu: Memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[10]
Dr Muhammad Muslehuddin mengatakan bahwa keadaan darurat membolehkan hal yang terlarang, adalah sudah menjadi kaidah umum dalam syari’at islam. Menurut al-Ghazali, semua yang terlarang menjadi boleh ketika darurat. Contohnya dalam keadaan dibawah umur, sakit ingatan, sakit keadaan terpaksa, lupa, dan tidak tidur. Contoh lain yang menjelaskan keadaan darurat membuat hal yang terlarang dibolehkan ialah memakan bangkai oleh orang yang akan mati kelaparan, minum-minuman keras oleh orang yang kehausan, atau menurut sebagian ahli hukum, oleh orang sakit sebagai obat.
Hukum islamcukup menaruh perhatian terhadap keadaan khusus, yang kesukarannya perlu dikurangi guna memberikan kemudahan bagi orang-orang yang terpaksa. “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah:185)[11]
Sedangkan, Al-mursalah (المرسلة) adalah isim maf’ul, objek dari fi’il madhi dalam bentuk tsulasi, yaitu  رسل, dengan penambahan huruf “alif” di pangkalnya, sehingga menjadi ارسل. Al-Ghazali dalam kitab al-mustasyfa merumuskan mashlahah mursalah sebagai berikut:
مَالَمْ يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْبُطْلَانِ وَلاَبِالاِعْتِبَارِنَصُّمُعَيَّنُ
Apa-apa (mashlahah) yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu yang membatalkan dan tidak ada yang memperhatikannya.[12]
Secara istilah mashlahah mursalah terdiri dari dua kata. Yaitu mashlahah dan  mursalah. Kata mashlahah menurut bahasa berarti “manfaat”, dan kata mursalah berarti “lepas”. Jadi secara istilah seperti yang dikemukakan Abdul-Wahhab Khallaf, berarti “sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolak”. Sehingga disebut mashlahah mursalah (maslahah yang lepas dari dalil secara khusus).[13]
Jadi, bisa disimpulkan bahwa maslahah mursalah adalah maslahat maslahat dimana syari’ (pembuat syari’at) tidak mensyari’atkan hukum-hukum untuk mewujudkanya, tidak ada dalil tertentu yang mempertimbangkan atau mengabaikanya.[14]
Pada dasarnya mayoritas ahli ushul fiqih menerima metode maslahatul mursalah untuk menerima metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Berdasarkan persyaratan maslahat yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh dapat dipahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode maslahat mursalah dan maqosit al-syari’at.[15]
Maslahah Mursalah dibagi menjadi 3:
1.      Maslahah dhoririyah, yaitu kemaslahatan yang harus dipenuhi, apabila tidak dipenuhi maka kehidupan akan rusak.
حفظ الدين, menjaga agama. Hidup tanpa agama akan hancur, maka dari itu ada syara’ yaitu jihad.
حفظ النفس, menjaga diri agar hidup. Contohnya adalah qishos, jikalau tidak ada hukuman qishos maka umat manusia tidak bisa menjaga dirinya dari perbuatan mencuri.
حفظ العقل menjaga akal. Contohnya adalah larangan meminum khomr, jikalau tidak ada larangan meminum khomr maka kehidupan di dunia akan rusak karena akal manusia yang terganggu.
حفظ انساب menjaga keturunan. Contohnya adalah larangan berzina, jikalau tidak ada larangan berzina maka umat manusia tidak mempunyai keluarga dan nasab yang jelas.
حفظ المالmenjaga harta, sesuatu yang merusak harta maka dilarang Allah, contohnya adalah larangan mencuri.
2.      Maslahah Hajiyah adalah sesuatu yang bila tidak dipenuhi maka menimbulkan gangguan/kesukaran. Contohnya adalah membunuh lebih dari satu orang maka harus membayar diyah, jika tidak ada denda maka ditakutkan akan terjadi pembunuhan berantai.
3.      Maslahah Tahsiniyah adalah sesuatu yang bila tidak dipenuhi maka tidak menimbulkan gangguan. Contohnya adalah tidak boleh membunuh perempuan didalam perang.[16]
Diantara contoh hukum-hukum yang disyari’atkan berdasarkan kemaslahatan adalah pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf oleh Abu Bakar, pembuatan administrasi oleh Umar, penggunaan penjara oleh sahabat, hukum qishos atau sekelompok orang karena membunuh satu jiwa, jaminan pekerja atas harta orang lain yang rusak ditanganya, hak waliyul amri mewajibkan pajak atas orang-orang kaya dalam keadaan darurat dan semisalnya.[17]

D.    Istishab
Istishbab (استصحاب) termasuk dalam dalil hukum Islam yang disepakati penggunaanya dikalangan ulama’ ushul. Metode istishab digunakan oleh ulama’ yang menggunakanya setelah mereka tidak dapat menyelesaikan masalah hukum melalui 4 dalil hukum yang disepakati, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Perbedaan pendapat dalam penggunaanya, bukan disebabkan oleh perbedaan dalam mengartikan istishab tersebut, tetapi memang berbeda dalam menempatkanya sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri.[18]
Ishtishab menurut bahasa berarti muhasabah, atau terus-menerus menyertai. Menurut istilah ulama’, istishab adalah hukum berdasarkan berlangsungnya sesuatu pada kondisinya di masa lampau sehingga ada dalil yang mengubahnya. Atau dari kata lain, tetapnya hukum yang ada di masa lampau hingga ada dalil yang mengubahnya.[19]
Berikut ini akan diuraikan tentang perbedaan pendapat ulama’ mengenai beberapa bentuk istishbab tersebut.
1.                  Istishab al-bara’ah al-ashliyah
Ibnu subki menyebutnya sebagai hujah secara pasti tanpa terdapat perbedaan pendapat. Akan tetapi Ibnu Qayyim menolak adanya ijma’ dalam hal penggunan istishab ini, alasanya karena ada sebagian ulama’ Hanafiyah yang membatasi penggunaan istishab ini hanya untuk menetapkan hukum pada masalah yang telah ada hukumnya, tidak (berlaku) digunakan untuk masalah yang belum ada hukumnya.
2.                  Istishab hukum akal
Istishab hukum akal (dalam arti hukum yang ditetapkan oleh akal sebelum datangnya wahyu) dapat digunakan sebagai dalil atau petunjuk sampai datang dalil syara’ yang menyatakan hukumnya. Cara seperti ini berlaku di kalangan ulama’ Mu’tazilah akan tetapi ulama’ Ahlu Sunnah tidak dapat menerima cara penetapan hukum oleh akal tersebut. Alasanya karena satu satunya yang berhak menetapkan beban hukum itu hanya Allah.
3.                  Istishab dalil umum atau nash
Di kalangan ulama’ Hanafiyah terdapat dua pendapat dalam hal mengamalkanya. Begitu juga di kalangan Syafi’iyah terpecah dalam dua pendapat. Hal yang sama berlaku di kalangan ulama’ Hambali. Dari perbedan pendapat itu, dapat disimpulkan pada tiga kelompok yang berbeda:

a. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak dapat beramal dengan dalil umum secara langsung, tetapi harus mencari dan mendapatkan dahulu dalil yang akan men-takhsis-kanya. Dalam hal ini, golongan ini tidak mengamalkan istishbab dalil umum tersebut.
b. Pendapat kedua justru mengharuskan mengamalkan dalil umum sebelum menemukan dalil lain yang men-takhsis-kanya agar hukum yang umum tidak sampai terbengkalai karena dibayangi oleh kemungkinan adanya takhsis. Dengan demikian, menurut golongan ini istishab umum dapat dijadikan hujjah.
c. Pendapat ketiga yang merupakan jalan tengah dikemukakan kalangan ulama’ “muta’akhirin” yang berpendapat bila bertemu lafadz umum dan belum masuk waktu pelaksanaan hukum menurut petunjuk umum itu. Dalam pandangan ini istishab dalil umum dapat dijadikan hujjah (pegangan).

4.                  Istishab al-hal (istishab atas adanya petunjuk syara’, istishab hukum dan istishab sifat).
Pendapat jumhur yang pada dasarnya menjadikan istishab al-hal itu sebagai salah satu metode dalam ijtihad dan menjadikanya sebagai hujjah. Akan tetapi pada kalangan Hanafiyah menolak istishab al-hal dalam metode ijtihad. Alasanya kaena untuk menetapkanay diperlukan dalil dari masa lalu.
5.                  Istishab hukum ijma’
Kalangan yang berpendapat bahwa istishab ijma’ ini dapat dijadikan pegangan dalam ijtihad dan punya kekuatan hujjah. Diantara penganut agama ini adalah: Al-Muzani, Al-Sairafi, Ya’la, Ibn Aqil, Abu Khatab, Ibn- Zaghuni, dan Al-Hulwani, Abu tsaur, Daud Al-Zhahiri, Ibn Sureij, Ibn Khairan, Abu Husein Ibn Qathan. Pendapat ini paling kuat menurut Al-Syaukani dan dianggap terpilih menurut Al-Amidi.
Kalangan ulama’ yang mengatakan bahwa istishab ijma’ tidak dapat dijadikan hujjah dan metode dalam ijtihad. Diantara penganut agama ini adalah: Al-Qadhi Abu Ishaq Al-Syairazi, Ibn Sabbaq dan Al-Ghazali. Diantara argumen yang mereka kemukakan adalah: Yang pertama, ijma’ adalah hujjah syar’iyah sebagaimana juga dalil syara’ lainya. Adapun yang kedua adalah ijma’ itu menjadi hujjah sebelum muncul perbedaan pendapat. Menurutnya, tidak ada lagi yang perlu di-istishab-kan, karena sudah terjadi perbedaan pendapat (tidak ada lagi ijma’).[20]
Berikut ini adalah contoh istishab dalam bentuk tsubut (pernah ada), yakni bila tadi pagi seseorang berwudhu’ untuk melalukan sholat subuh, maka keadaan telah berwudhu’ itu masih diperhitungkan keberadaanya pada waktu ia melaksanakan sholat dhuha, selama tidak ada bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya yang dilakukan pada waktu subuh itu tidak batal. Akan tetapi Imam Malik berpendapat bahwa ia tidak boleh sholat kecuali setelah ia berwudhu’ dengan wudhu’ yang baru. Alasanya karena hal ini terbenturan karena ada dua prisip yang pertama yaitu, tidak berlakunya sifat suci karena meragukanya. Kedua, orang itu masih terbebani adanya tanggungan sholat. Dalam rangka tindakan  berhati-hati dalam pelaksanaan ibadah, maka pendapat Imam Malik lebih kuat.
Adapun contoh istishab dalam bentuk nafi (tidak pernah ada), yakni di masa lalu tidak pernah ada hukum tentang wajibnya puasa di bulan syawal, karena memang tidak ada dalil syara’ yang mewajibkanya. Keadaan tidak adanya hukum wajib itu tetap berlaku sampai masa kini dan mendatang karena memang dalil syara’ yang akan mengubahnya, untyuk itu tidak akan pernah ada lagi setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW..[21]

E.       Adat atau ‘Urf
Kata ‘urf berasal dari عرف يعرف yang sering diartikan dengan kata المعرف dengan arti “sesuatu yang dikenal”. Kalau dikatakan فلان اولى فلانا عرفا (Si Fulan lebih dari yang lain dari segi urfnya) maksudnya adalah si Fulan lebih dikenal daripada yang lain. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat dengan pengertian “diakui oleh orang lain”. Kata ‘urf juga terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “ma’ruf” yang artinya kebijakan (berbuat baik), seperti dalam surat Al-A’raf (7): 199:
خذ العفو و امر بالعرف
Artinya: “ Maafkanlah dia dan suruhlah berbuat ma’ruf”.[22]
            ‘Urf yang tidak bertentangan dengan hukum ilsam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Adat istiadat ini tentu saja yang berkenaan dengan soal muamalah. Menurut kaidah hukum islam yang menyatakan “adat dapat dikukuhkan menjadi hukum” (Al- ‘adatu mahakkamah) hukum adat yang demikian dapat berlaku bagi umat islam.[23]
‘Urf adalah hal-hal yang dibiasakan dan menjadi acuan manusia dalam perkara kehidupan dan mu’amalah mereka, berupa ucapan atau perbuatan, atau pantangan. ‘Urf juga disebut adat menurut banyak ulama’ fiqih. Dan sebagian ulama’ fiqih mendefinikan adat sebagai perkara yang diulang-ulang, lebih umum dari urf, dimana setiap urf adalah adat, namun tidak setiap adat adalah’urf. Sebagian ulama’ yang lain menilai urf lebih umum dari adat.[24] Kata urf selalu digunakan jama’ah atau golongan, sedangkan kata adat dapat dijadikan untuk sebagian orang disamping berlaku pula untuk golongan.
Adapun pembagian ‘urf, ditinjau dari bentuknya terdapat ‘urf amali (praktek) dan ‘urf qauli (lingual). Berdasarkan objek cakupanya, terdapat urf amm (umum) dan ‘urf khash (khusus). Dari segi legalitasnya di hadapan syara’, terdapat ‘urf shahih (legal) dan ‘urf fasid (ilegal). Dan dari sudut pandang kontinuitas keberlangsunganya, terdapat ‘urf tsabit (berkesinambungan, statis) dan ‘urf mutabaddil (dinamis).
a.       ‘Urf qauli adalah suatu ungkapan yang digunakan untuk sebuah komunitas untuk mengungkapkan makna tertentu, sehingga tatkala ungkapan tersebut terlontar, orang akan memahaminya dengan makna tersebut. Sedangkan ‘urf amali adalah setiap tindakan yang biasa dilakukan oleh sekumpulan manusia dan telah lazim dikenal diantara mereka dalam melakukan aktivitas keseharian.
b.      ‘Urf amm adalah tradisi yang telah dikenal umum oleh suatu kalangan. Sedangkan ‘urf khash adalah kebiasaan yang tidak dikenal oleh semua kalangan, namun hanya sekelompok tertentu.
c.       ‘Urf shahih adalah hal-hal yang telah lazim dikenal dan tidak bertentangan dengan nash syari’at tidak mengandung pengabaian terhadap kemaslahatan, serta tidak berimplikasi pada kerusakan. Sedangkan ‘urf fasid adalah tradisi yang bertentangan dengan sebagian garis ketentuan syara’ atau kaidah-kaidahnya. Sebagaimana tradisi transaksi yang mengandung riba.
d.      ‘Urf tsabit adalah tradisi yang statis, tidak berubah karena perbedaan ruang dan waktu atau karena berubahnya kondisi. Sedangkan ‘Urf mutabaddil adalah tradisi yang dinamis, dapat berubah karena ruang, waktu, bahkan kondisi.[25]
Disamping pembagian di atas, ‘urf dibagi pula menjadi dua, yakni adat kebiasaan yang benar, dan adat kebiasaan yang fasid (tidak benar).
a.       Adat kebiasan yang shohih(benar), yaitu suatu hal baik ynag menjadi kebiasaan suatu masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya.
b.      Adat kebiasaan yang fasid (tidak benar), yaitu sesuatu yang menjadi adat masyarakat sampai menghalalkan yang haram.[26] Misalnya, upacara yang dimana kepala kerbau untuk dijadikan sesajen yang diyakini untuk menghormati ruh-ruh yang telah tiada.
Para ulama’ sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan landasan hukum. ‘urf shohih banyak dijadikan landasan di kalangan madzhab hanafiyah dan malikiyah dan selanjutnya oleh kalangan hanabilah dan syafi’iyah. ‘Urf mereka terima dengan landasan hukum dengan beberapa alasan, antara lain:
Ayat 199 surat al-A’raf:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْن (الأعرف /7:199)
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-urfi), serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS.al-A’raf/7:199)
Kata al-urfi dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakan, oleh para ulama’ Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Hukum-hukum yang dibagun berdasarkan ‘urf dan adat bisa berubah. Mengenai perbedaan pendapat para fuqaha’ ini dikarenakan perbedaan zaman, bukan perbedaan hujjah dan dalil. Imam Al-Qarafi yang menjelaskan makna ini: “Hukum-hukum yang ditentukan berdasarkan adat-istiadat itu berputar bersama adat kemanapun ia berputar, dan batal bersama adat jika ia juga batal...”. dengan undang-undang seperti inilah seluruh hukum syari’at yang dibangun di atas adat dijadikan acuan. ‘Urf merupakan tahqiq (verifikasi) yang disepakati di kalangan ulama’.[27]
‘Urf sering dianggap membingungkan karena ada dua sisi yang berbeda: pada sisi pertama, hukum dapat berubah karena perubahan perkembangan manusia. Oleh karena itu, hukum islam bersifat dinamis (tidak anti perubahan). Pada sisi lain, hukum islam jumud (statis) karena ulama’ menyadarkan diri kepada aliran hukum tertentu sehingga mereka agak sulit menerima perubahan.[28]

F.     Syar’u Man Qoblana
Yang di maksud Syar'u Man Qablana ialah syari'at atau ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari'at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, as. Para ulama' Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang hukum syari'at Nabi terdahulu yang tercantum dalam Al-Qur'an, namun tidak ada ketegasan mengenai hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan yang membatalkannya.[29]
a)      Syar'u man qoblana  pra kenabian
Para ulama' berbeda pendapat, secara garis besar terdapat tiga versi pendapat.Pertama , sebelum diangkat menjadi utusan, Nabi Muhammad saw. Dituntut untuk menjalankan syari'at terdahulu.Pendapat ini di kemukakan oleh ulam' madzhab Hanafi, Hanbali, IBN al-Hajib dan Al-Baidlawi.
Kedua, tidak ada tuntutan atas Nabi Muhammad saw. Sebelum menjadi Rasul untuk menjalankan syari'at terdahulu.Pendapat ini di kemukakan oleh ulama' kalangan Malikiyyah dan mayoritas ulama' ahli Kalam (teologi).Pendapat ini lah menurut Al-Ghazali dijadikan kesepakatan kelompok Mu'tazilah.Mereka beranggapan bahwasanya saat itu tidak ada syari'at, dan semua hukum dikembalikan kepada akal untuk menilai baik buruknya, halal haramnya dan lain-lain.Dan pendapat ini oleh Ibnu al-Qusyairy divonis sebagai pendapat yang batal dan salah.Karena tidak ada hukum syari'at yang didasarkan pada akal.
Ketiga, menangguhkan permasalahan tersebut, dalam artian tidak ada keputusan yang pasti. Disebabkan karena tidak adanya petunjuk yang jelas, baik dari nash, ijma' maupun secara rasional. Pendapat ini sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qusyairy dalam kitab Al-Mursyid.Yang berkomentar  bahwa"semua pendapat yang ada saling bertentangan, dan di antara kesekian pendapat tersebut, tidak ada satupun yang menyuguhkan dalil-dalil yang pasti (qath'i). Rasio sebenarnya membenarkan pendapat-pendapat ini, akan tetapi hingga kini, kita belum Pernah mendapat kejelasan atau dalilnya".

b)   Syar'u man qoblana pasca kenabian
Dalam prinsip-prinsip dasar agama, syari'at  pasca kenabian bukanlah menghapus secara total terhadap syari'at-syari'at sebelumnya. Terbukti dengan adanya diwajibkannya iman, keharaman berbuat kufur, membunuh, zina dan mencuri, dan semua itu diperlukan pemilihan secara mendetail yakni seperti halnya hukum yang ditetapkan ulang oleh syari'at kita.Dalam hal ini pun juga tidak ada perbedaan diantara para ulama', bahwa hukum ini merupakan bagian dari syari'at kita. Seperti kewajiban berpuasa yang di jelaskan dalam Al-Qur'an:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ (البقر1831)
Artinya: Telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS: Al-Baqarah 183).[30]
Para ulama' Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang hukum-hukum syari'at Nabi terdahulu yang tercantum dalam Al-Qur'an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan yang membatalkan.
Contohnya hukuman qishash (hukuman setimpal) dalam syari'at Nabi yang diceritakan dalam Al-Qur'an ayat 45 surat Al-Maidah:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَا أّنَّ الَّنفسَ بِالّنَّفْسِ وَالعَيْنَ بِالعَيْنِ وَالأَنْفَ بِالْأنف والأذن بالأذن والسن بالسن والجروح قصاص فمن تصدق به فهو كفارة له ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك همالظالمون
Artinya: Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (AtTaurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka- luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS.al-Maidah/5:45).[31]
Para ulama' sepakat menjadikannya dalil kewajiban hukum qishash maka andai kata Nabi Muhammad saw. tidak diperintahkan untuk mengikuti Nabi sebelumnya, maka bagaimana bisa dibenarkan menjadikan qishash yang​ diwajibkan terhadap Bani Israil sebagaimana kewajiban sekarang.

G.    Qoul Sohabi
Qoul shohabi merupakan pendapat sahabat Rasulullah SAW.tentang sesuatu yang khusus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara mendetail dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah.[32]Dalam artian lain qoul shohabi adalah perkataan, tindakan dan keputusan shahabat dalam meriwayatkan dan menyikapi suatu permasalahan. Shahabat, menurut mayoritas ulama' Ushul Fiqh adalah orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah saw. disertai keimanannya, dan semasa dengan beliau dalam jangka masa yang panjang. Sedangkan mayoritas ulama' hadits mendefinisikannya sebagai seseorang yang bertatap muka dengan Rasulullah saw. dalam keadaan muslim dan meninggal dunia dengan keislamannya, panjang atau pendek masa kebersamaannya dengan beliau.[33]
Dalam hal permasalahan yang dibahas dalam Ushul Fiqh mengenai fatwa-fatwa yang harus diikuti para Mujtahid. Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat kedalam empat kategori:
1.      Fatwa shohabat yang bukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya, fatwa Ibnu Mas'ud, bahwa batas minimal waktu haid tiga hari, dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka terima dari Rasulullah. Oleh karena itu, fatwa-fatwa semacam ini disepakati menjadi landasan hukum bagi generasi sesudahnya.
2.      Fatwa shahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka kenal dengan 'ijma' sahabat. Fatwa seperti inilah yang menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
3.      Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain. Para Mujtahid dikalangan sahabat memang sering berbeda pendapat dalam satu masalah, namun dalam hal ini fatwa seorang sahabat tidak mengikat (diikuti) Sahabat yang lain.
4.      Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan oleh ra'yu dan ijtihad.[34]
Adapun pendapat Al-Syafi'i mengenai qoul shohabi, bahwa qoul shohabi adalah hujjah yang mendapat prioritas lebih dari qiyas.Itu pun pemikiran Al-Syafi'i dalam qoul qadim-nya. Namun dalam qoul jadid-nya, ia juga melansir pendapat ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, dan tercantum dalam manuskrip karyanya, Al-Umm yang​ diperdebatkan dengan Imam Malik. Dalam Al-Umm-nya Al-Syafi'i menuturkan bahwa:
Selama terdapat keterangan dalam Al-Kitab dan Al-Sunnah, maka tidak ada alasan kecuali keharusan mengikutinya.Bila Al-Kitab dan Al-Sunnah tidak menjelaskannya, maka kami beralih pada perkataan para shahabat Rasulullah atau per-individu dari mereka.Dan perkataan para imam - Abu Bakar, 'Umar, Ustman dan Ali ra. - lebih dipilih dalam bertaqlid. Hal ini bila dalam perbedaan pendapat diantara shahabat tidak ditemukan petunjuk yang mengarah pada pendapat yang mendekati pada Al-Kitab dan Al-Sunnah.Karena perkataan imam (Khalifah) adalah perkataan masyhur yang mengarahkan ketundukan rakyat. Karenanya, ia lebih zhahir dari pada fatwa orang per-orang atau sekelompok orang, karena bisa jadi seseorang mengambil atau meninggalkan fatwanya. Hal ini karena kebanyakan mufti memberikan fatwa dikediaman mereka atau dimajelis pengajaran.[35]
Menurut kalangan Hanafiyah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan pendapat terkuat dari Ahmad bin Hambal, bahwa fatwa shahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi sesudahnya. Alasannya:
Firman Allah:
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ولو ءامن أهل الكتب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون
Artinya:kamuadalahumatyangterbaikyangdilahirkanuntukmanusia, menyuruhkepadayangma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS.Ali Imran/3:110).
Ayat tersebut menurut mereka ditujukan kepada para sahabat dan menunjukkan bahwa apa yang mereka sampaikan adalah ma'ruf (kebaikan), dan oleh karena itu harus diikuti.
Sabda Rasulullah:
أصحاپى والنجوم بأي اقدتديتم اهتديتم (الحديث)
Parasahabatku bagaikan bintang-bintang, siapa pun diantara mereka yang kalian ikuti, maka kalian akan mendapat petunjuk.
Hadits tersebut menurut penganut aliran ini menunjukkan wajib hukumnya mengikuti fatwa sahabat.Tetapi menurut Ibnu Hazm, hadits ini termasuk hadits maudhu' yang tidak bisa dijadikan sandaran hukum.
Contoh fatwa sahabat adalah:
Ø  Menurut Aisyah, batas maksimal kehamilan seorang perempuan selama dua tahun dengan mengatakan: "Anak tidak berada dalam perut ibunya lebih dari dua tahun",
Ø  Menurut Anas bin Malik, batas minimal waktu haid seorang wanita adalah tiga hari, dan
Ø  Menurut Umar bin Khattab, lelaki yang menikahi seorang wanita yang sedang dalam 'iddah harus dipisahkan dan diharamkan baginya menikahinya untuk selamanya.

H.    Penutup
Segala puji bagi Allah yang telah meberikan pertolongan atas proses pembuatan artikel ini. Dalam artikel ini telah dijelaskan tentang definisi-definisi yang terkait dengan dalil-dalil dan sumber hukum yang mukhtalaf (diperdebatkan). Apabila terjadi sesuatu peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya, sebagian mujtahid ada yang menggunakan dalil-dalil yang masih diperdebatkan ini. Sebagian ulama’ ada yang menggunakan dan ada sebagian yang menolak. Tujuan dari adanya dalil-dalil ini tak lain hanya untuk umat islam jika dalam keadaan darurat, yang tidak ditemukan pemecah dari suatu persoalan.
Artikel ini juga memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘urf, qoul sohabi dan syar’u man qoblana. Yang terpenting dalam artikel ini adalah memperhatikan bahwa penjelasan dalil-dalil dan sumber hukum yang mukhtalaf ini bukan bersifat ibadah murni, tetapi hanya merupakan alat dan sarana bagi pelaksanaan hukum syara’ dalam memelihara kemaslahatan umum dan tunduk kepada Allah SWT. dalam pelaksanaanya.




















Daftar Pustaka
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Nasution, Lahmuddin. Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’i, Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Syarifuddin, Amir.  Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011.
Mahfudh, Sahal.  Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-in, 2004.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh, Jakarta: kencana, 2005.
Zaidan, Abdul Karim.  Pengantar Studi Syari’ah, Jakarta: Robbani Press, 2008.
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Mu’allim Amir, Yusdani. Jogjakarta: UII Press Indonesia, 11998
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Kuwait: Darul Qalam, 1977.
Sula Muhammad Syakir. Asuransi Syari’ah. Jakarta: Gema Insani Press, 2004
Catatan:
1.      Pendahuluan tolong ditambahi lagi.
2.      Penulisan keterangan buku di footnote tidak lengkap.
3.      Tulisan yang dibuat hendaknya terstruktur rapi: pengertian, contoh, perdebatan ulama.
4.      Penutup diperbaiki lagi.


[1] Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, hlm 225.
[2]Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Madzhab Syafi’i, hlm. 108-112
[3]Abdul wahhab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 108
[4]Ibid., hlm 226
[5]Satria Effendi, Ushul Fiqh, hlm146
[6]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm 324-325.
[7]Satria Effendi, Op.cit., hlm 145-146
[8]Amir Syarifuddin, Op.cit., hlm 342
[9]Ibid., hlm. 342-343
[10]Ibid., hlm. 345-346
[11]Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syari’ah, hlm. 734
[12]Ibid.,hlm. 354-355
[13]Satria Effendi, op.cit., hlm 148-149
[14]Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah, hlm. 255-256
[15]Amir Mu’allim dan Yuzdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, hlm. 69.
[16]Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 84
[17]Ibid., hlm. 256
[18]Amir Syarifuddin, Op.cit., hlm 364
[19]Abdul Karim Zaidan, op.cit., hlm. 268
[20]Amir Syarifuddin, Op.cit., hlm. 376-385
[21]Ibid., hlm.367
[22]Ibid., hlm. 386-387
[23]Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, hlm. 123-123
[24]Abdul Karim Zaidan, op.cit., hlm. 258-259
[25]Sahal Mahfudz, op.cit., hlm. 217-219
[26]Satria Effendi, op.cit., hlm. 154-155
[27]Abdul Karim Zaidan, op.cit., hlm. 261
[28]Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, hlm.156
[29]Satria Effendi,op.cit, hlm. 162
[30]Sahlan Mahfudh, op.cit, hlm.286-290
[31]Satria Effendi, op.cit, hlm. 163-164
[32]Ibid; hlm. 169
[33]Sahlan mahfudh, op.cit, hlm. 271-272
[34]Satria Efendi, op.cit, hlm. 169
[35]Sahlan Mahfudz, op.cit, hkm. 278-279

Tidak ada komentar:

Posting Komentar