Jumat, 17 Februari 2017

Taqlid, Talfiq, Ittiba', dan Ijtihad dalam Ushul Fiqih (PAI C Semester genap 2016/2017)





KONSEP PANDANGAN USHUL FIQH TENTANG TAQLID, TALFIQ, ITTIBA’ DAN IJTIHAD

Siti Zulin Nurfadlilah, Ulin Niam, Mega Susilowati, Karisma Novitasari
Mahasiswa PAI-C Angkatan 2014 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

ABSTRACT
This journal discusses the notion Taqlid, Talfiq, Ittiba 'and Ijtihad in Usul Fiqh. In addition as a guideline for the retrieval of law as well as the knowledge of how the process of making the shape of Law.
The reality of law-making is very diverse so in this case, as a devout Muslim and adherence to religious rules, must know how to follow the law through the science of usul fiqh and then implied as a medium of learning and pray.
So as to know all that must be understood is the Quran and Sunnah. Of course, not only that, as a faithful servant must determines how resources should be in the know other than these two. One of them ijma 'and Qiyas, because of the emergence of consensus' and Qiyas needed Ra'yi then it is very important to know the definition and form Taqlid, talfiq, Ittiba' and Ijtihad.
The author tries contruction between in fact the fourth which is a ratio so that a law that can be enjoyed by all. So with that, the scenario related to the above discussion will be in the language by this article.
ABSTRAK
Jurnal ini membahas tentang pengertian Taqlid, Talfiq, Ittiba’ dan Ijtihad dalam Ushul Fiqh. Selain sebagai pedoman untuk mengambilan hukum juga sebagai pengetahuan tentang proses bagaimana bentuk pengambilan Hukum.
Realitas tentang pengambilan hukum sangat beraneka ragam sehingga dalam hal ini, selaku muslim yang taat dan patuh terhadap aturan agama, harus mengetahui bagaimana tindak lanjut hukum melalui ilmu ushul fiqh dan kemudian di implikasikan sebagai media belajar dan beribada.
Sehingga untuk mengetahui semuanya yang harus dipahami adalah al Quran dan As Sunnah. Tentunya tidak hanya itu saja, selaku hamba yang setia harus mengetahu bagaimana sumber yang harus di ketahui selain kedua tersebut. Salah satunya Ijma’ dan Qiyas, karena munculnya Ijma’ dan Qiyas dibutuhkan Ra’yi maka sangat penting untuk mengetahui pengertian dan bentuk Taqlid, talfiq, Ittiba’ dan Ijtihad.
Penulis mencoba mengkontruksikan antara keematnya yang notabenya bersifat rasio sehingga menjadi hukum yang bisa dinikmati oleh semuanya. Maka dengan hal itu, sekenario terkait pembahasan diatas akan di bahasa oleh artikel ini.

Keyword: Concept Ro'yi, through reasonable proposition, participate and follow the religion


A.           Pendahuluan
Sebelum mengenal pengertian dan lainnya, terlebih dahulu masuk dalam konsep Sumber hukum dalam Islam, kemudian ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.
Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan. Hal ini merupakan faktor harusnya memperlajari pembahasan tersebut. Selanjutnya penulis menyajikan dalam bentuk halnya artikel yang praktis.

B.            Taqlid

1.             Pengertian Taqlid
Taqlid secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti yaitu “mengulangi, meniru, dan mengikuti”.[1] Dapat diartikan pula sebagai mengikuti seseorang secara patuh. Sedangkan secara terminologi ushul fiqh, taqlid berarti mengadopsi pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, atau menirukan orang lain dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu.[2]
التقليد قبول قول القائل وأنت لاتعلم حجته
“Menerima pendapat orang lain padahal tidak mengetahui asalnya.”
Sedangkan orang yang bertaqlid disebut sebagai muqallid. Muqallid adalah orang yang tidak mampu menghasilkan pendapat sendiri menganai hukum, oleh karena itu ia mengikuti saja pendapat orang lain itu tanpa mengetahui alasan dan dalil dari pendapatnya tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa taqlid adalah menerima atau mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan atas dasar apa dia berpendapat demikian dan dari mana dalil yang mendasari pendapatnya tersebut.
Terdapat beberapa definisi mengenai taqlid yang dirumusan sebagai hakikat taqlid, yaitu sebagai berikut :[3]
a.              Taqlid itu adalah beramal berdasarkan ucapan atau pendapat orang lain.
Orang awam yang merujuk pendapat dari mujtahid disebut dengan taqlid. Menerima ucapan Rasulullah saw. disebut juga sebagai taqlid. Karena seseorang tidak akan mengetahui apakah ucapan beliau termasuk dalam wahyu, ijtihad ataupun qiyas. Hal ini didukung pula oleh Imam Al-Haramain dan Imam Al-Mawardi. Sedangkan Imam Al-Syafi’i berpendapat bahwa taqlid kepada Rasulullah-lah yang merupakan taqlid yang benar.
b.             Ucapan atau pendapat orang lain itu bukan bernilai hujah syari’ah.
Taqlid merupakan penerima tanpa hujjah terhadap pendapat seseorang yang tidak mendapatkan legitimasi hujjah. Beberapa ucapan yang bernilai hujjah antara lain ucapan dari Rasulullah saw., Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan ijma’. Akan tetapi ada yang beranggapan bahwa ucapan dari Rasulullah termasuk dalam taqlid, karena taqlid yang benar adalah yang ditujukan kepada Rasulullah saw.
c.              Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui hujah atau dalil dari pendapat yang diikutinya.
Mengetahui dalil suatu hukum berguna untuk mengetahui kebenaran dalil tersebut dan sebagai pembanding dari keseluruhan dalil yang ada agar tidak terbantahkan argumentasinya oleh dalil lain. Akan tetapi kemampuan tersebut hanya dimiliki oleh seorang mujtahid saja. Jika terdapat seseorang yang mengadopsi pendapat orang lain sedang ia mengetahui dalilnya, maka ia tidak dikatakan bertaqlid. Orang awam yang mengikuti pendapat seorang mujtahid maka itulah yang dinamakan bertaqlid.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak mengetahui masalah hukum dan bertanya kepada orang yang lebih tahu dan mengikuti pendapat orang yang tahu tersebut maka dapat dikatakan sebagai pengertian taqlid.
2.             Hukum Taqlid
Hukum taqlid menjadi perdebatan diantara para ulama’ Islam. Diantara mazhab fiqh ada yang melarangnya dengan mengemukakan alasan-alasan Al-Qur’an. Ada juga yang beranggapan apakah orang yang diikutinya itu mempunyai kepastian yang benar atau tidak. Namun dalam Al-Qur’an ada pula perintah terhadap orang yang tidak tahu mengenai hukum syara’ untuk bertanya kepada orang yang lebih tahu, sebagaimana yang dipaparkan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 43
4 (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ  
Artinya : “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan  jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An- Nahl : 43)

Dalam permasalahan hukum taqlid dalam hal ini dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu taqlid dalam permasalahan yang berkaitan dengan aqidah atau dasar-dasar ajaran agama, dan permasalahan yang berkaitan dengan amaliah praktis atau partikular syari’at.
a.              Taqlid dalam permasalahan aqidah
Dalam permasalahan ini mencakup, keyakinan tentang ketuhanan dan sifat-sifat-Nya, tentang kenabian, termasuk pula ajaran-ajaran tentang etika dan hal-hal yang telah diketahui bersama kebenarannya dalam ajaran agama, sebagaimana kewajiban shalat lima waktu, keharaman zina, diperbolehkannya nikah, dan hal-hal lain yang menjadi keniscayaan dari ajaran agama Islam. Mayoritas ulama’ menegaskan, tidak diperkenankannya taqlid dalam permasalahan ini, dan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah mewujudkan aqidah atas dasar analisis berpikir secara global, bukan sekedar meniru-niru orang lain.
Hal-hal yang tidak boleh ditaqlidi dalam masalah aqidah antara lain seperti, wajibnya shalat lima waktu, puasa ramadhan, zakat, haji, dan juga tentang haramnya berzina serta minuman keras karena soal-soal ini semua orang dapat mengetahuinya. Dan hal-hal yang boleh ditaqlidi seperti, menyelidiki dan mencari dalil soal-soal ibadah dan hukum-hukum yang kecil-kecil lainnya.[4]
b.             Taqlid dalam permasalahan syari’at
Para ulama’ masih berselisih pula tentang status taqlid dalam masalah syari’at.[5] Pertama, menurut Jumhur Ulama’ tidak diperbolehkan taqlid secara mutlak. Yang dimaksudkan supaya setiap muslim berijtihad dan berusaha untuk mengetahui hukum Allah beserta dalilnya. Dengan demikian dia dapat beramal atas dasar ilmunya sendiri, bukan sekedar ikut-ikutan saja. Pendapat ini mendapat penolakan karena akan menyulitkan setiap muslim yang harus mempelajari semua dalil hukum dalam agamanya tersebut. Sehingga jika semua muslim dibebankan untuk mempelajarinya maka terbengkalailah bidang-bidang kehidupannya yang juga memerlukan ilmu lainnya.
Kedua, sebagian ulama mewajibkan taqlid secara mutlak dan mengharamkan nazar (berfikir) sendiri. Karena tidaklah dapat dipertanggung jawabkan kalau setiap orang berfikir sendiri dalam masalah-masalah syari’at. Akan tetapi jikalau hal ini terjadi akan mengakibatkan hukum Islam menjadi beku, sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan zaman. Padahal Islam diturunkan untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman. Sehingga Islampun tidak dapat berkembang karena keterbatasan seseorang dalam melakukan ijtihad yang mana dapat memperkuat hukum-hukum Islam secara benar. Dengan mewajibkan taqlid secara mutlak, semua umat tidak akan pernah tahu apakah amalan yang selama ini mereka kerjakan benar menurut hukum Islam atau tidak karena mereka sendiri tidak mengetahui dasar atau dalil dari amalan yang mereka kerjakan tersebut.
Ketiga, sebagian ulama merincikan bahwa bertaqlid itu wajib atas orang awam dan haram untuk mujtahid. Pendapat ini diterima oleh kebanyakan ulama karena mendekati kebenaran, yaitu ulama mujtahid wajib berijtihad untuk menemukan hukum-hukum agama bagi kejadian-kejadian yang terus menerus timbul dalam kehidupan manusia yang senantiasa berkembang. Sebaliknya bagi orang awam yang tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari hukum-hukum agama beserta dalilnya wajib bertaqlid kepada ulama mujtahid dalam bidang hukumnya. Pendapat ini dijadikan pegangan mayoritas ulama’ karena bersifat menengahi diantara kedua pendapat diatas. Sehingga ditariklah kesimpulan bahwa taqlid haram hukumnya bagi seseorang yang telah memiliki kemampuan berijtihad, sedangkan bagi orang-orang awam yang belum memenuhi kriteria untuk berijtihad wajib melakukan taqlid.
3.             Pendapat Ulama-Ulama Besar tentang Taqlid[6]
a)             Imam Abu Hanifah berkata:
إن كان قولى يخالف كتاب الله وخبر رسوله فاتركوا قولى.
“Kalau ucapanku menyalahi Kitab Allah dan Sunnah rasul, maka tinggalkanlah ucapanku.”
b)             Imam Malik berkata:
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا فى رأيى , كل ما وافق اكتاب والسنة فخذوابه , ومالم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه.
“Aku hanya seorang manusia yang (mungkin) salah dan mungkin (pula) benar. Sebab itu perhatikanlah pendapatku itu, setiap yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka peganglah ia dan apa yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.”
Beliau berkata pula:
كلنا راد ومردود إلاصا حب هذا القبر.
“Kita semua menolak (suatu pendapat) dan ditolak (pendapatnya), melainkan yang mempunyai kuburan ini (Nabi Muhammad saw.).”
c)             Imam Syafi’i berkata:
مثل الذى يطلب العلم بلاحجة كمثل حاطب فى ليل يحمل حزمة وفيها أفعى تلدغه وهو لا يدرى.
“Perumpamaan orang yang menuntun ilmu tanpa dalil adalah seperti tukang kayu api yang membawa seberkas kayu di waktu malam dan disalamnya ada ular yang akan mematuknya, sedang dia tiada mengetahuinya.”
Beliau berkata pula:
إذا صح الحديث فهومذهبى.
“Apabila hadits itu shahih maka itulah mazhabku.”
d)            Imam Ahmad Hanbal berkata:
لا تقلدنى ولاتقلد مالكا ولا الثورى ولاالأوزعى وخذ من حيث أخذوا.
“Janganlah kamu bertaqlid kepadaku dan janganlah pula kepada Imam Malik, Imam Tsauri, dan Imam Auza’i, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.”
من قلة فقه الجل أن يقلد دينه الرجال.
“Di antara (tanda) kurang pahamnya seseorang, dia bertaqlid (dalam) agamanya kepala orang lain.”
4.             Klasifikasi Taqlid
Konsep taqlid memiliki batas-batas yang amat relatif, maka dalam hal ini hukum taqlid terbagi menjadi dua bagian, taqlid yang terpuji dan taqlid yang tercela. Taqlid yang terpuji adalah taqlid yang dilakukan orang-orang yang tidak mampu melakukan ijtihad karena keterbatasan pengetahuannya. Secara umum, kelompok ini terbagi menjadi dua klasifikasi. Pertama, orang yang awam sama sekali terhadap hukum-hukum syari’at. Kedua, orang alim yang sedang menekuni sebagian disiplin ilmu yang menjadi persyaratan ijtihad, namun dengan kapasitas keilmuannya, ia belum mampu untuk melakukan ijtihad.
Sedangkan taqlid yang tercela, atau yang diharamkan, terbagi dalam tiga kategori:
a.              Taqlid yang mengandung unsur berpaling dari ajaran-ajaran wahyu. Seperti taqlid pada tradisi batil nenek moyang terdahulu.
b.             Taqlid pada orang yang belum diketahui kapasitas keilmuannya sebagai mujtahid.
c.              Taqlid pada seseorang yang telah terbukti kesalahan argumentasinya.
Ketiga taqlid di atas itulah yang dikecam oleh beberapa ayat dan hadits dan beberapa ulama’ termasuk imam madzhab yang tersebut diatas.[7]

C.           Talfiq

1.             Pengertian Talfiq
Dalam bahasa Arab talfiq berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Menurut peristilah ulama ushul fiqih, talfiq yang di maksudkan sebagai nama dari salah satu sikap beragama yang mengambil atau mengikuti dari suatu hukum dari suatu peristiwa berdasarkan kepada pendapat dari berbagai madzhab.[8] Sedangkan secara definitif, talfiq adalah mengumpulkan dua pendapat atau lebih dalam satu rangkaian hukum (qodliyah) yang menimbulkan suatu tata cara amaliyah yang keberadaannya tidak diakui oleh masing-masing dari pemilik madzhab yang bersangkutan. Qodliyah sendiri berarti sesuatu yang terdiri dari syarat, rukun dan mubthilat (hal-hal yang membatalkan), misalnya dalam permasalahan wudlu saja atau shalat saja. Madzhab Syafi’iyyah, Hanafiyyah dan Hanabilah membolehkan talfiq sebagai pendapat yang menjadi pegangan saja, akan tetapi madzhab Malikiyyah memperbolehkan talfiq dalam hal-hal yang berkaitan dengan ibadah.[9]
Sedangkan contoh dari talfiq sebagai berikut, seorang laki-laki dan perempuan melakukan akad nikah tanpa wali dan saksi, karena pertama, mengikuti madzhab Hanafiyah yang tidak mensyaratkan wali dalam pernikahan dan kedua, mengikuti madzhab Malikiyah yang tidak mensyaratkan saksi dalam pernikahan tersebut. Atau contoh lain, seorang berwudhu dengan memakai air musta’mal dan sholat tidak menggunakan basmalah dalam alfatihah. Karena, pertama, mengikuti pendapat imam Malik yang membolehkan memakai air musta’mal dan yang kedua, mengikuti abu Hanifah yang mengatakan bahwa basmallah bukan bagian dari al-fatihah.[10]
Contoh talfiq selain dalam permasalahan ibadah adalah seseorang yang mentalak istrinya tiga kali. Kemudian sang istritersebut menikah dengan anak berusia sembilan tahun sebagai muhallil (penyela pernikahan, sehingga boleh menikah dengan suami pertama lagi) dengan bertaqlid pada madzhab Syafi’i. Setelah terjadi hubungan badan diantara keduanya, suami kedua menceraikan istrinya dengan bertaqlid kepada madzhab Hanafi dalam keabsahan cerai dengan tanpa masa iddah. Sehingga suami pertama bisa langsung menikahi wanita tersebut.[11]
2.             Kontroversi tentang Pelarangan Talfiq
Ulama’ mutaakhirin melarang tindakan talfiq dalam bertaqlid, beberapa ulama’ menentang keras pendapat ini. Pelarangan talfiq dan pembatalan amaliyah yang dilakukan dengan talfiq itu ditentang dari dua sisi, sisi peniadaan dan sisi pembalikan hukum.
Istilah talfiq dimunculkan oleh ulama’ mutaakhirin tatkala orang-orang lebih cenderung berpola pikir taqlid. Pada masa-masa sebelumnya istilah talfiq sama sekali tidak dikenal, apalagi pada masa-masa Rasulullah saw..di masa-masa sahabat hingga muncul imam empat pun tidak mempersoalkan talfiq dan tidak pernah menyebutkan larangan talfiq. Fakta-fakta diatas melemahkan pendapat mutaakhirin tentang pelarangan talfiq. Karena hal ini akan menimbulkan sebuah pertanyaan jikalau pada masa-masa sahabat dan imam empat tidak pernah melarang talfiq. Pelarangan talfiq juga akan bertentangan dengan dasar-dasar syari’at Islam, yaitu bahwa Islam adalah agama yang mudah dan murah, tidak mempersempit.[12] Sebagai mana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:
Artinya : “Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj : 78).

Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. AL-Baqarah : 185)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa talfiq diperbolehkan dalam Islam selama tujuan melaksanakannya semata-mata mengikuti pendapat yang lebih kuat argumentasinya. Yaitu setelah meneliti dalil-dalil dan analisa masing-masing pendapat tersebut. Namun, bila talfiq dimaksudkan untuk mencari keringanan dan mengumpulkannya dalam suatu perbuatan tertentu, hal itu tidaklah dibenarkan menurut pandangan jumhur ulama. Dan perlu di ingat talfiq dalam masalah ibadah seharusnya dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sikap pertentangan yang ditunaikan untuk mecari keridhaan Allah.
3.             Talfiq yang Dilarang
Para ulama’ memperbolehkan dalam bertalfiq akan tetapi ada batasan-batasan tertentu dalam bertalfiq, antara lain sebagai berikut:[13]
Pertama, talfiq yang secara substansi merupakan perbuatan haram, seperti talfiq yang akan menimbulkan penghalalan hal-hal haram, seperti khamr, zina dan lain sebagainya.
Kedua, talfiq dipandang dari aspek negatif yang muncul kemudian. Dalam hal ini diklasifikasikan menjadi tiga hal:
a)      Talfiq dengan kesengajaan untuk mencari keringanan saja. Artinya memilih pendapat yang ringan-ringan saja tan ada udzur dan dlarurat. Talfiq dalam konteks ini dilarang, dengan menutup dampak negatif dengan anggapan seseorang bahwa dirinya bebas dari tuntunan syara’.
b)      Talfiq yang akan berdampak pembatalan terhadap keputusan hakim, sebab keputusan hakim berfungsi sebagai penyelesai kontroversi pendapat ulama’ untuk meghindarkan terjadinya kekacauan dan ketidakberaturan.
c)      Talfiq yang akan mengakibatkan pencabutan sebuah perbuatan yang telah terlaksana, yang timbul dari taqlid  pada madzhab lain. Atau talfiq yang akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hasil penetapa ijma’. Misalnya adalah sesorang yang berkata kepada istrinya “kamu jelas tertalak”, dan ia berkeyakinan talaknya jatuh tiga kali karena mengikuti ulama’ yang menyatakan semacam itu. Namun setelah terjadi, dan ia anggap istrinya haram atau tidak boleh diruju’, ia berubah keyakinan, bahwa talaknya jatuh satu kali saja sehingga boleh ruju’ kembali karena mengikuti pendapat ulama’ yang mengatakan talaknya jatuh satu kali. Dalam hal ini terdapat unsur pencabutan perbuatan pertama karena mengikuti pendapat kedua.
4.             Hukum-hukum Talfiq dalam Syari’at Islam
Ruang lingkup talfiq hanyalah bermuara pada permasalahan-permasalahan partikular (cabang) syari’at yakni permasalahan-permasalahan ijtihad yang bersifat zhanni. Sedangkan dalam permasalahan teologi, etika dan permasalahan agama yang bersifat qath’i tidak termasuk dalam ruang lingkup talfiq. Permasalahan-permasalahan partikular syari’at dibagi atas tiga bagian:
Pertama, permasalahan-permasalahan cabangan yang berlandaskan atas dasar kemudahan dan toleran. Dalam permasalahan ini, praktik talfiq diperbolehkan bila ada kebutuhan. Karena yang menjadi muara disyari’atkannya ibadah mahdlah adalah kepatuhan pada perintah Allah dan penghambaan pada-Nya, bukan mempersulit. Sedangkan dalam ibadah maliyyah (berkaitan dengan harta benda), haruslah diperketat supaya tidak menyia-nyiakan hak-hak fakir miskin.
Kedua, permasalahan-permasalahan cabangan yang berlandaskan wara’ (kehati-hatian), seperti ketetapan syara’ yang bersifat larangan. Karena Allah tidak melarang sesuatu kecuali di dalamnya terdapat unsur merugikan. Maka dalam hal ini, tidak tepat bila diterapkan talfiq, kecuali dalam keadaan dlarurat.
Ketiga, masalah-masalah cabangan syari’at yang terbangun atas dasar kemaslahatan manusia. Seperti permasalahan-permasalahan sosial yang meliputi mu’amalah, pidana, pernikahan, pengeluaran harta-harta sepuluh persen dan seperlima harta tambang, pernikahan dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti perceraian yang diatur atas dasar pencapaian kebahagiaan dan kesejahteraan suami, istri dan keluarga.
Dengan demikian, hal-hal yang dapat mewujudkanprinsip-prinsip diatas haruslah dilaksanakan, kendati dalam sebagian kasus harus melalui praktik talfiq. Namun, talfiq tersebut tidak boleh dijadikan sebagai perantara mempermainkan ketetapan-ketetapan yang ada dalam pernikahan dan perceraian.[14]

D.           Ittiba’

1.             Pengertian Ittiba’
الاتباع هو قبول قول القاءل وأنت تعلم من اين قاله
ittiba’ ialah menerima(mengikuti) perkataan orang yang mengatakan, sedangkan engkau mengetahui atas dasar apa yang dia berpendapat demikian.”
Jadi ittiba’ itu mengikuti pendapat orang lain serta mengetahui dalil (alasan) yang dijadikan dasar pegangan bagi pendapatnya itu. Rang yang mengikuti pendapat orang lain semacam itu dinamakan muttabi’[15]
2.             Kedudukan hukumnya
الاتباع فى الد ين ماموربه
‘ittiba’ dalam (soal-soal) agama adalah diperintahkan.”
Seorang mukmin wajib mengikuti (ittiba’) kepada Nabi Saw. Supaya setiap perbuatannya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT. Berfirman:
قل ان كنتم تحبون الله فاتبعونى يحببكم الله ويغفرلكم دنوبكم
katanlah (hai Muhammad) : “jika kamu (benar-benar)mencintai Allah, ikutlah aku niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu...
Adapun ittiba’ kepada selain Nabi diperintahkan dalam islam, yaitu ittiba’ kepada para ulama sebagai warasatul anbiya’ (pewaris atau penerus perjuangan nabi-nabi).
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“karena itu bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (surat An-Nahl ayat 43)
Yang dimaksud dengan pengetahuan disini ialah pengetahuan yang berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah, bukan pengetahuan yang berdasarkan akal pikiran mereka semata-mata.[16] Jadi yang dimaksud surat An-nahl ayat 43 diatas adalah pengetahuan yang berlandaskan Al-qur’an dan As-sunnah. Dan apabila kamu menggunakan akal pikiran berarti itu bukan pengetahuan menurut surat An-Nahl ayat 43. Jika yang di maksud orang yang mempuanyai pengetahuaorang yang memahami Al-qur’n ialah orang yang memahami Al-Qur’an dan As-sunnah. Apabila mereka ditanya tentang suatu hukum, tentu mereka akan menjawab : Allah SWT berfirman demikian . . . . . atau rasulullah SAW. Bersabda demikian . . . lalu yang bertanya mengamalkan hukum tersebut.
3.             Tujuannya
Jadi sekarang jelas bagi kita bahwa ittiba’ itu perbuatan yang utama bahkan wajib hukumnya, bagi mereka yang tidak mampu berijtihad sendiri. Tujuannya adalah setiap orang mukmin dapat mengamalkan ajaran-ajaran agama dengan pengertian dan kesadaran. Kita diwajibkan tentang sesuatu yang belum kita mengerti, dan mengetahui dalil dari apa yang kita pertanyakan yang merupakan faktor untuk mendorong kepada amalan yang lebih sempurna. Jadi ketika kita mau mengamalkan amalan-amalan as-sunnah jika kita belum tau alangkah lebih baiknya kita bertanya kepada seseorang yang lebih tau dan berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

E.            Ijtihad

1.             Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut pengertian secara bahasa berasal dari kata al-Jahd dan al-Juhd yang berarti al-Thaaqah yaitu suatu tenaga atau kuasa atau daya, kemudian masuk dalam pengertian Ijtihad yakni pada lafadz al Ijtihad dan al-Tahajud yang diartikan sebagai penumpahan segala kesempatan dan tenaga.[17] Maka, Ijtihad diartikan sebagai implikasi usaha untuk mencurahkan tenaga dan kesempatan meraih apa yang diinginkan berdasarkan Ridha-Nya. Selain itu, Ijtihad berasal pula dari kata jahada kata ini menurut buku karya Amir Mu’alim Yusdani mengandung arti pencurahan segala bentuk kemampuan untuk memperoleh dari suatu pekerjaan atau urusan.[18] Dan juga menggunakan wazan ifti’al  yang berarti bersentuhan dalam pekerjaan. Sehingga, artinyapun mencurahkan segala kemampuan untuk segala perbuatan apapun. Kemudian Ijtihad dan Jihad memiliki arti sama, hanya untuk ijtihad lebih mengarah kepada pemikiran dan intelektual dan Jihad pada lingkup realisasi perbuatan dan tingkah laku.[19] Dengan demikian, tidak dinamakan Ijtihad apabila tidak ada bentuk usaha yang harus di lakukan. Di sisi lain apabila tidak ada kesulitan untuk pekerjaan dan usaha maka tidak dinamakan Ijtihad.
Ijtihad secara istilah juga banyak di kemukakan oleh tokoh-tokoh bahwa Ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang Mujtahid untuk mencari sumber hukum-hukum fiqih.[20] Sehingga, Mujtahid harus menggali hukum untuk menemukan hukum-hukum syariat atau yang mashur di sebut Istimbath. Dari pengertian diatas para Tokoh termasuk Al Ghazali dan Al Amidi menyatakan bahwa dalam memasuki dunia Ijtihad persyaratan kurangmampunya seseorang untuk mencari tambahan kemampuan sangat sulit, karena menyangkut kehati-hatian seseorang dalam melakukan Ijtihad. Selain itu juga karena beratnya persyaratan tersebut sehingga menutup kemungkinan seseorang untuk mengembangkan Ijtihad.[21] Maka dengan hal ini, Ijtihad sangat berat dan hanya orang-orang pilihan yang memenuhi syarat sebagai mujtahid yang akan penulis jelaskan pada syarat-syarat Mujtahid.
Kemudian, apabila ada seorang muslim yang notabenya belum sepenuhnya menemukan hukum-hukum yang tertuang di al Quran dan As Sunnah, maka seseorang tersebut harus meminta tolong kepada Mujtahid untuk mengambil hukum berdasarkan kaedah yang ada.[22] Sehingga, prosesnya pun dalam mencari hukum wajid di tertibkan urutannya dari mulai al Quran, As Sunnah hingga terakhir Ijtihad.
2.             Ruang Lingkup ijtihad
Ruang gerak ijtihad menurut Syaikh Muhammad al Madani ada dua jenis, yang pertama hukum-hukum qat’iat yang ditegaskan oleh dalil kukuhnya dalil qat’at tersebut menjadikan hukum-hukum bersifat mutlak, tidak berubah pada ruang dan waktu. Kedua hukum-hukum yang belum ditetapkan secara jelas baik periwayatannya maupun artinya.[23]
                   Hukum yang Jelas                                Hukum yang Belum Jelas
ILMU KALAM
 
Flowchart: Preparation: USHUL FIQIHOval: ILMU FIQIHFlowchart: Preparation: KAEDAH-KAEDAH UMUMOval: AMALIAH SYARIAT
AQIDAH yang Qad’i
 

3.             Dasar-dasar Penetapan Ijtihad
Dalam lika-liku pendapat tentang syariat Islam, Ijtihad menjadikan permasalahan yang kompleks sehingga menyebabkan ulama berbeda pendapat terkait Ijtihad. Ulama yang sepakat dengan ijtihad dan yang tidak sepakat dengan Ijtihad, mereka memiliki beberapa argumen yang tertuang dalam tabel penulis:[24]

Argumen Kelompok yang mendukung Ijtihad
Argumen kelompok yang anti Ijtihad
Penjelasan
Dalil
Penjelasan
Dalil
Al Quran
Taat Allah, Rasul dan Ulil Amri dipahami sebagai penunjukan kepada penetapan Ijtihad
QS. An Nisa’ Ayat 59
Banyak al Quran yang menunjukan kecukupan nas untuk memenuhi keperluan manusia tanpa melakukan Ijtihad
QS. An Nahl 89
QS. Al An’am 38
QS. Al Baqarah 29
QS. Al Maidah 101
QS. An Nisa’ 59
QS. An Nisa’ 105
As Sunnah
Terkait cerita Mu’ad yang memutuskan hukum pada peradilan ketika Rasululllah mengutus ia ke Yaman, Mu’adz dg tegas menjawab kalau tidak ada di al Quran dan As Sunnah “saya akan mengerahkan kemampuan ro’yiku
Hadis diriwayatkan oleh al-Bagawi
Diceritakan bahwa pernah ada yang mencela orang menggunakan ra’yu. Dengan penjelasan umat nabi Muhammad Akan terpecah menjadi 73 Golongan lebih. Dan ungkapan Sahabat umar terkait ra’yu karena menjadi musuh As Sunnah
Hadis riwayat Malik al Asyja’i
 & Asar sahabat Umar
Dalil Akal
Pertimbangan karena perkembangan zaman semakin pesat sedangkan al Quran dan Sunnah masih bersifat global, maka diperlukannya pemikiran untuk menerjemahkan al Quran dan As Sunnah berdasarkan taraf aturan yang telah di sepakati ulama
Hadis diriwayatkan oleh al-Bagawi
Tentang perkataan sayyidina Ali jika menggunakan ra’yu ibarat mengusap terhadap sepatu (khaf) lebih pantas dari pada bagian atasnya. Sedangkan ibnu Abbas berpendapat masih memberikan keraguan, karena tidak tahu apa itu kebaikan atau tidak
Ungkapan Sayyidina Ali bin Khattab dan Ibnu Abbas

4.             Pola Ijtihad
a.              Pola Bayani
Maksud dari bayani sendiri adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian bahasa (lughoh), seperti suatu lafadz diartikan sebagai majaz, memilih arti dengan lafadz yang ambigu (musytarak), ayat yang umum atau khusus, yang qhat’i dan dzanni, perintah yang wajib dan sunnah atau setertusnya.[25] Inti dari bayani sendiri adalah bentuk kebahasaan, bentuk pengolahannya dan redaksinya, Mujtahid harus mampu mengetahui pola tersebut. Sebagai contohnya seperti ini terkait masa Iddah perempuan yang telah di jima’ dan masih berhaid adalah tiga quru’. Kemudian masa iddah ini dianggap qhot’i (Sesuatu yang menunjuk suatu hukum dan tidak mengandung kemunginan makna selainnya) sehingga ada yang berpendapat hal itu termasuk masa suci dan ada pula yang berpendapat hal itu adalah masa haid. Hal ini yang dinamakan zanni (sesuatu yang tidak pasti).[26]
b.             Pola Qiyasi
Qiyasi di sini adalah semua jenis penalaran yang menjadi hambatan hukum (‘Illad) sebagai titik tolaknya. Sehingga, hambatan tersebut di Nisbatkan kepada suatu hambatan yang baru, contohnya seperti gandum dan kurma dalam zakat kemudian di Indonesia di gantikan dengan Beras dan Jagung.[27]
c.              Pola Istilahi
Pola ini di donimasi dengan ayat-ayat umum yang dikumpulkan guna menciptakan prinsip (umum) yang digunakan dalam rangka sebagai pelindung dan keperluan maslahatan.[28] Dari bentuknya istilahi, maka di simpulkan bahwa dalam merumuskan pola dan mengambil hukum menggunakan prinsip-prinsip umum yang dapat ditarik dari ayat-ayat seperti larangan untuk menelakakan diri sendiri dan lainnya.

5.             Kualifikasi Mujtahid
a.              Pantangan seorang Mujtahid dalam melakukan Ijtihad[29]
1.    Subyektifikasi, mengambil sikap mentah secara terntentu sebelum saatnya diberlakukan hukum terhadap nas, istilah lain adalah prematur hukum.
2.    Manipulasi, menghiraukan dalil syar’i dalam keadaan situasi dan kondisi mendesak.
3.     Justifikasi, membernarkan realita dengan nas nas yang menurut seseorang relavan dan harus di gunakan. Maksudnya bisa seperti layaknya realitas bunga Bank dan lainnya.
4.    Interpolasi, memasukkan dalil kepada pemikiran tertentu. Dalil di sesuaikan dengan ra’yu.
5.    Inakurasi, ketidaktahuan atau ketidak telitiannya dalam berpegang kepada dalil-dalil atau nas-nas yang tidak relavan atau tidak valid. Sehingga, dijadikan sebagai acuan semuanya.
b.             Syarat-syarat Mujtahid
Adapun Yusuf al  Qardhawi dalam bukunya menjelaskan beberapa syarat yang harus di tempuh untuk menjadi Mujtahid yakni:[30]
1.      Wajib mengetahui al Quran dan As Sunnah beserta ilmu untuk memperlajari keduannya.
2.      Wajib mengetahui kaedah bahasa arab
3.      Wajib mengetahui tema-tema yang sudah menjadi kesepakatan (ijma’)
4.      Wajib mengetahui ushul fiqh
5.      Wajib mengetahui sejarah berserta ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sejarah.
6.      Mengenal manusia dan alam sekelilingnya
7.      Bersifat adil dan taqwa.
Selain itu dalam buku Muhammad Amin juga mengutip bahwa ada syarat-syarat tambahan selain syarat diatas, diantaranya:[31]
1.    Mengetahui ilmu Ushuludin
2.    Mengetahui Ilmu Mantik
3.    Dan mengetahui cabang-cabang Fiqh

F.            Kesimpulan
Taqlid secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti yaitu “mengulangi, meniru, dan mengikuti”. Dapat diartikan pula sebagai mengikuti seseorang secara patuh. Sedangkan secara terminologi ushul fiqh, taqlid berarti mengadopsi pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, atau menirukan orang lain dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu.
Talfiq Dalam bahasa Arab talfiq berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda. Menurut peristilah ulama ushul fiqih, talfiq yang di maksudkan sebagai nama dari salah satu sikap beragama yang mengambil atau mengikuti dari suatu hukum dari suatu peristiwa berdasarkan kepada pendapat dari berbagai madzhab.
ittiba’ ialah menerima(mengikuti) perkataan orang yang mengatakan, sedangkan engkau mengetahui atas dasar apa yang dia berpendapat demikian.”
Jadi ittiba’ itu mengikuti pendapat orang lain serta mengetahui dalil (alasan) yang dijadikan dasar pegangan bagi pendapatnya itu. Rang yang mengikuti pendapat orang lain semacam itu dinamakan muttabi’.
Ijtihad menurut pengertian secara bahasa berasal dari kata al-Jahd dan al-Juhd yang berarti al-Thaaqah yaitu suatu tenaga atau kuasa atau daya, kemudian masuk dalam pengertian Ijtihad yakni pada lafadz al Ijtihad dan al-Tahajud yang diartikan sebagai penumpahan segala kesempatan dan tenaga. Maka, Ijtihad diartikan sebagai implikasi usaha untuk mencurahkan tenaga dan kesempatan meraih apa yang diinginkan berdasarkan Ridha-Nya. Selain itu, Ijtihad berasal pula dari kata jahada kata ini menurut buku karya Amir Mu’alim Yusdani mengandung arti pencurahan segala bentuk kemampuan untuk memperoleh dari suatu pekerjaan atau urusan.

G.           Daftar Pustaka

Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Mahfudh, Sahal. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siwa Aliyyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo Kota Kediri.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Rifa’i, Moh. 1973. Ushul Fiqh. Bandung: PT Alma’arif.
Abidin Ahmad, Zainal. 1975. Ushul Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang.
Suyatno. 2011. Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Yusdani, Amir Mu’allim. 2005. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Jogjakarta: UII Press.
Murtadha & M. Baqir, 1993.  Pengantar Ushul Fiqh & Ushul Fiqh Perbandingan. Malang: Pustaka Hidayah.


Catatan:
1. Referensi cuma ada delapan.
2. Perujukan masih perlu diperbaiki. Beberapa tempat yang seharusnya butuh referensi, tapi tidak dicantumkan.
3. Dalam buku Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam, KH. Sahal Mahfudh bukan penulis tapi orang memberikan kata pengantar.
4. Abstrak seharusnya hanya satu paragraf.
5. Kesimpulan bukan pengulangan materi. Ia berisi kesimpulan singkat dari apa yang telah Anda tulis.
6. Pembahasan ini termasuk yang butuh eksplorasi banyak. Lebih dari 15 halaman tidaklah mengapa. Lagipula kelompok ini personelnya empat orang.


[1] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,  (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006), hal. 132.
[2] Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siwa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo Kota Kediri, 2004), hal. 369.
[3] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 163.
[4] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqh, (Bandung: PT Alma’arif, 1973), hal. 150
[5] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 219.
[6] Op, Chit., Moh. Rifa’i, hal. 151-152
[7] Op, Chit., Sahal Mahfudh, hal. 382.
[8] Op, Chit., Alaiddin Koto, hal. 131.
[9] Op, Chit., Sahal Mahfudh, hal. 397.
[10] Op, Chit., Alaiddin Koto, hal. 131.
[11] Op, Chit., Sahal Mahfudh, hal. 398.
[12] Ibid, hal. 399.
[13] Op, Chit., Sahal Mahfudh, hal. 401.
[14] Op, Chit., Sahal Mahfudh, hal. 402-404.
[15] Op. Chit., Abidin Zainal Ahmad, hal 214
[16] ibid, hal 215
[17] Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 172
[18] Amir Mu’allim Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Jogjakarta: UII Press, 2005), hal. 11
[19] Op, Chit., Alaiddin Koto, hal. 127
[20] Op, Chit., Amir Mu’allim Yusdani, hal. 12
[21] Op, Chit., Suyatno, hal. 173
[22] Murtadha & M. Baqir, Pengantar Ushul Fiqh & Ushul Fiqh Perbandingan. (Malang: Pustaka Hidayah, 1993), hal.
[23] Op, Chit., Amir Mu’allim Yusdani, hal. 39-42
[24] Ibid, hal. 43-51
[25] Ibid, hal. 72
[26] Al Yasa Abubakar, Fiqh Islam dan Rekayasa Sosial, di dalam Ari Anshori dan Slamet Warsidi (Editor) Fiqh Indonesia dalam Tantangan, (Surakarta: FIA-UMS, 1991), hal. 13-14
[27] Op, Chit., Amir Mu’allim Yusdani, hal. 87
[28] Op, Chit., Al Yasa Abubakar, hal. 15
[29] Sayyid Baqir Sadr, Iqtisaduna, (Beirut: Dar at Ta’ruf, 1979), hal. 404-415
[30] Muhammad Yusuf al Qardhawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hal 173
[31] Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyyah dalam Bidang Fikih Islam, (Jakarta: INIS, 1991), hal. 39-43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar