Selasa, 14 Februari 2017

al-Qur'an dan Historisitasnya (P-IPS D Semester Genap 2016/2017)





AL-QUR’AN DAN HISTORISITASNYA

Khoiriyatul Muallifa dan Risky Nur Indahsari
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas D Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
This article discusses about Al-Qur’an and its historicity, where Al-Qur’an is as a guide for muslim, descended to our prophet Muhammad SAW by Jibril. Furthermore, Al-Qur’an completes other earlier holy books and was descended gradually based on people’s need at previous time. The codification of Al-Qur’an had been there since Muhammad’s period, yet the codification at that time was done when Muhammad SAW received a vision from Allah and was spread to his close friends. Then, he asked one of his close friends to write down the vision or the verse on any things possible. Besides that, they also memorized those verses. After the death of Muhammad SAW, the Islamic government was taken over by Abu Bakar as-Siddiq, where there was a war that killed many hafidz. That incident moved Umar ibn al-Khathab to deliver his idea to Abu Bakar as-Siddiq to collect Al-Qur’an verses and turn it into mushaf. While the codification done in KhalifahUstmanibnAffan period, there were some problems related to Al-Qur’an. At that period, khalifah focused more on the expansion of some districts and give less attention on Al-Qur’an. One of the problems occurred related to it was when some people spread their knowledge about Al-Qur’an, yet with their own various accents. When khalifahUstman bin Affan knew there were various ways of reading Al-Qur’an in society as it has spread around places, he took a decision to unite all of the mushafs in his fellows, so that Islam would have the same way of reading Al-Qur’an and avoid disunity among muslims.

Abstrak
Artikel ini membahas tentang kitab suci Al-Qur’an beserta historisitasnya, dimana Al-Qur’an merupakan pedoman umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Selain itu, Al-Qur’an merupakan penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya dan Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir atau berangsur-angsur sesuai kebutuhan. Kodifikasi Al-Qur’an sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, namun pada masa Nabi Muhammad beberapa kodifikasi yang dilakukan yaitu ketika nabi menerima wahyu beliau langsung menyampaikannya kepada sahabat-sahabatnya. Kemudian beliau mengutus kepada salah satu sahabatnya untuk menuliskan wahyu atau ayat yang baru diterima nabi untuk ditulis ke benda apa saja yang bisa ditulis. Selain menulisnya, mereka juga menghafalkan apa yang telah ia tulis. Setelah nabi wafat, pemerintahan Islam digantikan oleh khalifah Abu Bakar as-Siddiq, dimana pada masa itu terjadi peperangan yang menewaskan banyak sahabat penghafal Qur’an. Kejadian tersebut medorong Umar ibn al-Kaththab untuk menyalurkan inspirasinya kepada khalifah Abu Bakar as-Siddiq untuk mengumpulkan ayat-ayat suci Al-Qur’an kedalam satu mushaf. Sedangkan kodifikasi yang dilakukan pada masa Khalifah Ustman ibn Affan terjadi berbagai permasalahan mengenai al-Qur’an. Dimana pada saat itu khalifah lebih fokus pada perluasan wilayah dan kurangnya perhatian terhadap Al-Qur’an. Salah satu permasalahan yang timbul berkaitan dengan masalah tersebut ialah, banyaknya sahabat yang berbondong-bondong untuk mengajarkan Al-Qur’an keseluruh wilayah dengan logat mereka masing-masing. Ketika melihat terjadinya perbedaan bacaan di kalangan umat Islam, karena berkembangnya mushaf-mushaf yang telah ada pada para sahabat. Maka langkah yang diambil oleh khalifah Ustman bin Affan yaitu beliau memerintahkan untuk menyatukan mushaf-mushaf yang ada pada para sahabat, tujuannya agar umat Islam tidak mengalami perbedaan dalam membaca Al-Qur’an yang nantinya bisa menimbulkan perpecahan.

Keywords: Al-Qur’an, Nabi Muhammad, Khalifah
A.    Pendahuluan
Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin, seseorang bisa dikatakan sudah masuk Islam apabila ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat yakni kalimat yang meyakini bahwa Tuhan hanya satu, dan Nabi Muhammad adalah utusannya. Pada dasarnya Islam juga mengharuskan (wajib) bagi penganutnya untuk mempelajari dan meyakini rukun Islam dan rukun iman, dan mengamalkannya. Dimana isi dari salah satu rukun tersebut yaitu iman kepada kitab-kitab Allah, salah satunya adalah kitab Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril, dan menjadi pedoman untuk umat Islam. Al-Qur’an juga merupakan kitab terakhir dan penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an menjadi sumber pengetahuan bagi umat Islam, baik itu tentang cara berperilaku, berbicara, maupun lainnya. Selain sebagai sumber pengetahuan, Al-Qur’an juga mengandung ajaran-ajaran yang diyakini oleh penganutnya mampu memberikan solusi maupun kontribusi dalam memecahkan berbagai permasalahan. Baik tentang permasalahan hukum, politik, sosial dan lain sebagainya.
Sedangkan kesadaran umat islam untuk berusaha lebih dekat dengan Al-Qur’an terdengar semakin kuat. Hal tersebut terbukti dari banyaknya Al-Qur’an dan Sunnah yang terdengar kapanpun dan dimanapun kita berada di media cetak maupun elektronik, didalam khotbah-khotbah dan lain sebagainya. Namun, menempatkan Al-Qur’an sebagai petunjuk tidak semudah ketika kita menyampaikan informasi kepada orang lain.
Al-Qur’an merupakan kitab suci agama islam yang berisi pedoman untuk bertindak bagi seluruh umat islam, sehingga mencapai kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhira, lahir dan batin. Kemudian untuk menuju kehidupan yang bahagia tersebut harus memenuhi ketentuan dan tuntutan tertentu seperti harus berakidah yang benar, tata aturan yang baik dalam bermasyarakat dan lain sebagainya. Oleh karena itu, penulis berupaya menjabarkan tentang definisi Al-Qur’an secara rinci serta historisitasnya dari Al-Qur’an tersebut.

B.     Pengertian Al-Qur’an
1.      Pengertian Secara Etimologi (Bahasa)
Secara etimologis Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan, atau qur’anan” yang artinya mengumpulkan atau menghimpun dari satu kata atau huruf bagian satu ke bagian lain, yang dilakukan secara teratur.[1]
Selain itu, beberapa ulama ada yang berpendapat bahwa dalam pengucapan kata al-Qur’an tanpa menggunakan huruf hamzah, hal itu merupakan pendapat dari al-Syafi’i, al-Farra, dan al-Asy’ari. Sedangkan beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa dalam pengucapan kata al-Qur’an harus menggunakan huruf hamzah, diantaranya yaitu al-Zajjaj dan al-Lihyani. Berikut definisi dari para ulama-ulama tersebut:[2]
a.       Al-Syafi’i , kata Al-Qur’an merupakan nama asli yang telah tercantum dalam Al-Qu’ran itu sendiri dan tidak diambil dari kata lain. Hal itudisebabkankarena kata tersebut merupakan nama khusus yang diberikan Allah SWT sebagaimana nama kitab Injil dan Taurat.
b.      Sedangkan menurut al-Farra kata Al-Qur’an merupakan jamak dari qarinah yaitu al-qara’in yang berarti petunjuk, hal itu terlihat dari ayat-ayat Al-Qur’an yang serupa antara satu sama lainnya, maksudnya sebagian ayat-ayatnya merupakan petunjuk atau penjelasan dari ayat yang serupa dengan itu.
c.       Menurut al-Asy’ari, kata Al-Qur’an berasal dari kata qarana yang artinya menggabungkan, hal itu disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat yang terdapat di dalamAl-Qur’an dihimpun dan digabungkan menjadi satu mushaf. 
d.      Sedangkan pendapat dari al-Zajjaj kata Al-Qur’an berasal dari kata al-qar’u yang berarti penghimpunan, hal itu disebabkan karena Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari dari ajaran kitab-kitab suci sebelumnya.
e.       Menurut al-Lihyani kata Al-Qur’an berasal dari kata qara’a yang berarti membaca, namun kata Al-Qur’an menurut al-Lihyani merupakan masdar bima’na ismil maf’ul namun dengan arti maqru’ yang artinya dibaca.[3]

2.      Pengertian Secara Terminologi (Istilahi)
Sedangkan pengertian Al-.Qur’an secara terminologis juga terdiri dari beberapa pendapat para ulama di antaranya yaitu:
a.       Menurut Manna’ Al-Qaththan:
كَلَامُ اللهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَدٍ ص.م.اَلْمُتَعبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ.
Artinya:
“Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan membancanya memperoleh pahala.”
b.      Menurut Al-Jurjani:
هُوَالْمُنَزَّلُ عَلَى الرَّسُوْلِ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ عَنْهُ نَقْلًا مُتَوَاتِرًا بِلَاشُبْهَةٍ.
Artinya:
“Yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, yang ditulis di dalam mushaf dan yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan.”
c.       Menurut Abu Syahbah:
هُوَ كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ المُنَزَّلُ على خَاتَمِ أَنْبِيَائِهِ مُحَمَّدٍ ص.م. بِلَفْظِهِ وَمَعْنَاهُ. المَنْقُوْلُ بِالتَّوَاُّترِ المُفِيْدُ لِلْقَطْعِ وَاليَقِيْنِ المَكْتُوبُ فى المَصَاحِفِ مِنْ اَوَّلِ سُورَةِ الفَاتِحَةِ الى اَخِرِ سُورَةِ النَّاسِ.
Artinya:
“Kitab Allah yang diturunkan baik lafadz maupun maknanya kepada nabi terakhir, Muhammad SAW, yang diriwayatkan secara mutawatir, yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan (akan kesesuaiannya dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad) yang ditulis pada mushaf mulai dari awal surat Al-Fatihah (1) sampai akhir surat An-Nas (114).”
d.      Menurut kalangan ushul fiqih, fiqih, dan bahasa arab:
كَلَامُ اللهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى ،َبِيِّهِ (محمد)ص.م.اَلْمُعْجِزُ بِتِلَاوَتِهِ اَلْمَنْقُوْلُ بِالتَّوَاتُرِ, اَلْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ مِنْ أَوَّلِ سُوْرَةِ الْفَاتِحَةِ إِلَى سُوْرَةِ النَّاسِ
Artinya:
“Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad, yang lafadz-lafadznya mengandung mu’jizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat al-fatihah sampai akhir surat an-nas.[4]
Dari beberapa definisi tersebut, masih terdapat banyak lagi definisi-definisi lainnya. Meskipun semua definisi tersebut berbeda, definisi-definisi tersebut masih bisa diterima untuk dijadikan acuan bagi kita untuk mengetahui tentang pengertian Al-Qur’an, yang selama itu tidak keluar dari syariat Islam.[5]
Akan tetapi, definisi Al-Qur’an yang dianggap sebagai definisi yang dapat diterima oleh para Ulama terutama ahli Bahasa, ahli Fiqh dan ahli Ushul Fiqh ialah pendapat dari Dr. Muhammad Shubhi Shalih yang berpendapat bahwa Al-Qur’an yaitu “Kalam yang mu’jiz (dapat melemahkan orang yang menentangnya) yang diturunkan kepada Nabi (Muhammad) saw, yang tertulis dalam mushaf, yang disampaikan (kepada kita) secara mutawatir dan membacanya dianggap ibadah”.[6]
Setiap orang muslim diwajibkan untuk memperbanyak membaca al-qur’an karena membaca al-qur’an dapat mengangkat derajat, menghapus segala kejelekan, mendidik akhlak untuk menjadi terpuji karena dalam al-quran selalu mengajarkan kebaikan dan melarang hal-hal yang buruk, serta mencerahkan jiwa seseorang yang membacanya. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ وَأَقَامُ الصَّلواةَ وَأَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُوْنَ تِجَارَةً لَّنْ تَبُوْرَ
“sesungguhnya, orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan dim-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Faathir ayat 29).[7]
Rasulullah SAW juga bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ, وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا, وَلَامٌ حَرْفٌ, وَمِيْمٌ حَرْفٌ (رواه البخاري والترمذي والحاكم).
“Barang siapa membaca satu huruf dari al-qur’an, maka ia akan mendapatkan sebuah kebaikan. Dan satu kebaikan tersebut dilipatgandakan menjadi sepuluh. Aku tidak pernah berkata alif laam miim itu satu huruf, akan tetapi alif itu satu uruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan Hakim).[8]

C.    Bukti-Bukti Al-Qur’an sebagai Wahyu Allah
Wahyu adalah isyarat yang cepat. Terjadinya terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melaluiisyarat dengan sebagian anggota badan. Nabi Muhammad SAW sangat yakin terhadap wahyu-wahyu Tuhan karena “wahyu adalah informasi yang diyakini dengan sebenarnya bersumber dari Tuhan”.[9]
Ada tiga aspek yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus menjadi bukti bahwa seluruh isi Al-qur’an itu bersumber dari Tuhan, yaitu:
1.      Aspek keindahan dan ketelitian redaksi-redaksinya
Seringkali al-quran turun secara spontan, untuk menjawab pertanyaan atau mengomentari suatu peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh. Pertanyaan ini dijawab secara spontan atau langsung sehingga tidak memberi peluang untuk berfikir dan menyusun dengan redaksi yang indah apalagi teliti.[10]
2.      Pemberitaan-pemberitaan gaibnya
Seperti berita tentang firaun yang mengejar-ngejar Nabi Musa dan ditolong oleh Allah untuk menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Jasadnya yang masih utuh seperti yang diberitakan melalui al-qur’an melalui Nabi yang ummiy (tidak bisa membaca dan menulis).[11]
3.      Isyarat-isyarat ilmiahnya
Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam al-qur’an. Misalnya “cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari), dan masih banyak lagi yang kesemuanya belum diketahui manusia. Dari manakah beliau mengetahui kalau bukan dari Allah.[12]
Al-Qur’an merupakan kalam Allah swt yang telah dijelaskan dalam surat (as-Syuara’ 26:192-195):
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ, نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ, عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ, بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
“Dan sungguh, (al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam)”
“Yang dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril)”
“ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan”
“dengan bahasa Arab yang jelas”
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ayat tersebut, bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Dimana ayat-ayat tersebut akan turun atau langsung masuk ke dalam hati Nabi, yang disebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, alasannya karena Nabi berasal dari bangsa Arab. Di sisi lain, penyampaian ayat-ayat al-Qur’an melalui malaikat Jibril merupakan salah satu dari tiga cara Allah swt dalam berkomunikasi dengan manusia diantaranya yaitu: (1) melalui wahyu (ilham langsung), (2) dari balik hijab, (3) mengutus malaikat Jibril, kemudian Dia mewahyukan kepadanya (manusia) dengan seizin-Nya apa yang dikehendakinya.[13] Seperti firman Allah di dalam surah Al-Syura, ayat 51 sebagai berikut:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍاَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ اِلَّا وَحْيًا اَوْمِنْ وَرَآئِ حِجَابً اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحَى بِاِذْنِهِ...
“Dan tidak (terdapat) bagi seorang manusia bahwa Allah bercakap-cakap kepadanya, kecuali dengan wahyu, atau dari balik hijab atau dia mengirim utusan lalu mewahyukan dengan izinnya.” (Al-Syura, ayat 51)[14]
D.    Sejarah Penulisan dan Kodifikasi Al-Qur’an
1.      Masa Nabi Muhammad SAW
Ketika ayat-ayat suci Al-Qur’an diturunkan kapada Rasulullah saw, beliau segera menyampaikannya kepada para sahabatnya tanpa merubah, mengurangi maupun menambah ayat-ayat tersebut sebagaimana beliau menerima dari malaikat jibril. Dimana pada saat itu Rasulullah saw menganjurkan kepada sahabat-sahabatnya untuk menyampaikannya lagi kepada sahabat lainnya, terutama kepada anggota keluarga, tetangga dan hamba yang telah masuk Islam.
Selain itu, semua ayat Al-Qur’an yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw mendorong minat sahabat-sahabatnya untuk menghafal Al-Qur’an. Beliau juga menyuruh para sahabatnya untuk menuliskan ayat-ayat suciAl-Qur’an di atas benda-benda yang bisa ditulis diantaranya adalah pelepah tamar, kepingan batu, potongan kayu, kain, keratan  tulang dan kulit binatang yang sudahdisamak.[15]
Jumlah sahabat yang pernah menuliskan ayat-ayat suci Al-Qur’an kurang lebih 43 orang diantaranya yaitu Abu Bakar, Umar ibn al-Khaththab, ‘Ustman ibn ‘Affan, Ali ibn Abi Thalib, Abu Sufyan, dsb.Kegiatan menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu sebagaimana yang telah didasarkan kepada sebuah hadist Nabi, yang telah diriwayatkan dalam hadist Muslim sebagai berikut:

Artinya:
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an, Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (H.R. Muslim)[16]
Akan tetapi dari 43 sahabat tadi, yang paling sering menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah adalah Zaid ibn Tsabit, dimana ia adalah sekretaris pribadi Rasulullah saw.[17]
Rasulullah saw tidakhanyamemperhatikanayat-ayatsuciAl-Qur’an yang beliauterimasetelahberada di Madinah, melainkanketikabeliaujugamasihberada di Mekkah. Meskipun, padasaat di Mekkahjumlahumat Muslim masihsedikitdanterbatasnyasarana yang digunakanuntukmenuliskanayat-ayatsuciAl-Qur’an.[18]
Selainitu, untuktetapterjaganyaayat-ayatsuciAl-Qur’an Rasulullah saw tidakhanyamenyuruhparasahabatnyamenghafaldanmenuliskanayat-ayatAl-Qur’an secarautuh. Melainkanjugamenempatkanayat-ayatAl-Qur’an padasuratnyamasing-masing.[19]

2.      Masa Khalifah Abu Bakar
Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, khalifah pertama yang menggantikan beliau sebagai pemimpin dan memerintah umat Islam pada saat itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq ra. Dimana Abu Bakar melakukan upaya untuk pemeliharaan keautentikan teks Al-Qur’an yang lebih maju, yaitu dengan terlaksananya pengumpulan ayat-ayat suci Al-Qur’an ke dalam sebuah mushaf.
Latar belakang pengumpulan ayat-ayat suci Al-Qur’an ke dalam sebuah mushaf yaitu, setelah terjadinya peperangan antara kaum muslimin dan pengikut Musailamah al-Kayyab yang terjadi di Yamamah. Dimanadalampeperangantersebutmenurutsebuahriwayatsebanyak 1200 kaummuslimin yang syahiddiantaramerekaterdapatkuranglebih 360 orang darikaumMuhajirindankaumAnshar. Selainitu, jugaterdapat 70 orang dariqaridanhafizhAl-Qur’an. Hal tersebutlah yang menimbulkankekhawatiranpada Umar ibn al-KhaththabbahwaakanbanyaklagiqaridanhafizhAl-Qur’an yang akansyahid, baikdalampeperanganmaupunhallainnya yang akanmenyebabkanbanyaknyaAl-Qur’an akanhilang.[20]
Kemudian Umar ibn al-Khaththab menyampaikan ide kepada khalifah Abu Bakar agar  berkenan mengumpulkan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik yang sudah tersimpan dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Dimana Zaid bin Tsabit merupakan salah satu “juru tulis” Nabi Muhammad.[21]
Menurut Zaid tugas yang telah dipercayakan khalifah Abu Bakar kepadanya bukanlah hal yang ringan, sebagaimana kalimat yang pernah terlontar dari mulutnya “Demi Allah, jika sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung, hal itu bagiku tidak lebih berat daripada apa yang kau perintahkan kepadaku untuk menghimpun Al-Qur’an.” Hal tersebut sudahlah wajar mengingat tanggung jawab Zaid yang harus menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai tempat yakni, yang tertulis di kayu, pelepah kurma, tulang hewan, dan di batu, yang kemudian harus mencocokkan catatan-catatannya dengan catatan-catatan yang dimiliki oleh para sahabat lainnya. Serta mencocokkannya lagi dengan hafalan-hafalan yang dimiliki para sahabatnya tadi. Alasan khalifah Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit, karena ia mempunyai kecakapan untuk melaksanakan tugas, meskipun ia masih muda.[22]
Khalifah Abu Bakar memilih Zaid bin Thabit juga karena sejak usianya diawal dua puluh tahunan, Zaid diberi keistimewaan tinggal berjiran atau bersebelahan dengan Nabi Muhammad dan bertindak sebagai salah seorang penulis wahyu yang amat cemerlang. Abu bakar mencatat kualifikasi Zaid sebagai berikut:
1.      Masa muda Zaid menunjukkan vitalitas dan kekuatan energinya.
2.      Akhlak yang tak pernah tercemar menyebabkan Abu Bakar memberi pengakuan secara khusus dengan kata-kata, “Kami tak pernah memiliki prasangka negatif pada anda”.
3.      Kecerdasannya menunjukkan pentingnya kompetensi dan kesadaran.
4.      Pengalamannya dimasa lampau sebagai penulis wahyu.[23]
Melalui kesunguhannya tersebut dalam waktu kurang dari satu tahun, Zaid yang dengan dibantu Umar ibn Khattab berhasil menyelesaikan mushaf yang isinya masih murni, tanpa ada tambahan maupun pengurangan satu ayat, dan telah sesuai dengan yang dibacakan oleh Rasulullah saw.[24]

3.      Masa Khalifah Utsman
Setelah wafatnya Khalifah Umar ibn al-Khattab, maka pemeritahan umat Islam dipimpin oleh Khalifah Utsman ibn Affan. Dimana pada masa kepemimpinannyaditandai dengan berbagai penaklukan. Kurang lebih enam tahun lamanya masa penaklukan tersebut. Oleh karena itu, perhatian pemerintah dan kaum muslim saat itu banyak tercurah pada penaklukan dan perluasan daerah kekuasaan islam.Sedangkan  masalah yang terkait dengan pengajaran al-qu’an diserahkan sepenuhnya kepada penghafal al-qur’an dan mereka sanggup untuk itu. Disamping negara memiliki mushaf resmi, beberapa sahabat lain juga memiliki mushaf pribadi yang dikumpulkannya atas inisiatif dan usaha sendiri, diantara bacaan dan susunannyapun berbeda dengan yang terdapat dalam mushaf resmi.
Para sahabat yang memiliki mushaf pribadi itu ada yang menetap di luar madinah dan menjadi guru-guru al-qur’an disana dan mushaf-mushaf pribadi itu menjadi pegangan bagi kaum muslimin setempat. Mushaf-mushaf tersebut tidak seragam, terutama dalam hal bacaannya. Kelompok-kelompok kaum muslim yang memperpegangi mushaf-mushaf tersebut fanatik terhadap kebenaran mushaf yang mereka perpegangi. Akibat dari perbedaan logat bacaan yang selama ini tidak  terawasi oleh pemerintah sebagaimana yang dilakukan pada masa Khalifah Umar ibn Al-Khattab, telah menimbulkan pertikaian yang tajam sesama kaum Muslim.[25]
Kasus perbedaan bacaan yang sangat memprihatinkan itu telah disaksikan pula oleh Huzaifah ibn al-Yamami, yang kemudian melhirkan gagasan dalam dirinya untuk mengusulkan kepada khalifah Utsman agar segera mungkin bertindak untuk menyeragamkan mushaf al-qur’an kepada satu qira’at atau bacaan saja. Dan khalifah Utsman menerima laporan yang serupa dari sahabat-sahabat yang lain.Dengan inilah terjadilah pengumpulan al-quran untuk menghilagkan perselisihan dan untuk menyeragamkan pembacaan al-qur’an di kalangan kaum muslim pada satu harf.[26]
Beberapa langkah yang ditempuh oleh khalifah Utsman untuk merealisasikan ide penyeragaman mushaf al-qur’an:
1.      Meminjma mushaf resmi yang telah dikerjakan oleh Zaid pada masa Abu Bakar kepada Hafshah untuk disalin ke dalam beberapa mushaf.
2.      Membentuk sebuah panitia yang terdiri atas empat orang, yaitu ketua Zaid ibn Tsabit dan anggota-anggotanya sebanyak tiga orang. Pada mulanya jumlah anggota panitia itu hanya empat orang. Namun setelah meliahat jumlah mushaf yang dibutuhkan untuk dikirim ke berbagai negeri islam itu lebih banyak daripada rencana semula, jumlah anggota panitia juga harus ditambah menjadi 12 orang. Tugas yang harus dilaksanakan panitia tersebut adalah:
a.       Menyalin kembali mushaf resmi yang telah dipinjam dari Hafshah ke dalam beberapa buah mushaf.
b.      Sebelum penyalinan dimulai, panitia terlebih dahulu meneliti kelengkapan dan isi mushaf itu, kalau ada ayat yang tercecer dan sudah hilang atau yang tidak sesuai dengan logat atau dialek Quraisy, mengingat tujuan mengumpulkan al-quran pada masa Abu Bakar bukan untuk menyeragamkan bacaan al-qur’an, melainkan untuk memelihara autensitas teksnya saja.
c.       Apabila terjadi perselisihan pendapat diantara para anggota panitia tentang bacaan suatu kata atau ayat al-qur’an. Rujukannya haruslah logat Quraisy. Mengingat al-qur’an diturunkan adalah dalam logat tersebut.
3.      Setelah panitia selesai melaksanakan tugas-tugasnya, maka mushaf-mushaf yang telah diselesaikan oleh panitia itu, dikirim ke berbagai pusat negeri islam.
4.      Memerintahkan kepada kaum muslim di seluruh negeri islam untuk membakar semua mushaf dan catatan-catatan al-qur’an yang tidak sesuai dengan mushaf imam yang telah mereka terima.

E.     Penutup
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir berdasarkan kebutuhan makhluk. Selain itu Al-Qur’an merupakan wahyu yang langsung dari Allah SWT, bukan dibuat oleh siapapun baik itu para malaikat maupun nabi dan rosul.
Pengkodifikasian Al-Qur’an dibagi menjadi tiga masa, diantaranya yaitu pada masa Nabi Muhammad SAW, masa Khalifah Abu Bakar As-Siddiq dan masa Khalifah Ustman ibn Affan. Dimana pada masa Nabi Muhammad SAW, ketika wahyu diturunkan kepada Nabi beliau langsung menyampaikan kepada sahabat-sahabatnya dan ditulis di berbagai tempat tanpa menambah maupun mengurangi sedikitpun dari apa yang telah dibacakan oleh nabi. Setelah Rasulullah wafat kepemimpinan digantikan oleh Abu Bakar As-Siddiq, dimana pada saat kepemimpinan beliau terjadi perang Yamamah yang banyak menewaskan para sahabat penghafal Al-Qur’an. Hal tersebut mendorong Umar ibn Al-Khathab untuk memberikan ide kepada Khalifah Abu Bakar agar mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur,an dalam satu mushaf.Sedangkan pada masa Khalifah Ustman ibn Affan hanya menyamakan bacaan karena sebelumnya, banyak sahabat yang mengajarkan al-Qur’an dengan logat bacaan mereka masing-masing agar tidak terjadi perpecahan dan kesalahpahaman antar umat Islam














Daftar Pustaka
Al-Azami, M.2005.The History of The Qur’anic Text.Jakarta:Gema Insani
Anwar, Rosihon.2015.Ulum Al-Qur’an.Bandung:CV Pustaka Setia
Athailah.2010.Sejarah Al-Qur’an.Yogyakarta: PustakaPelajar
Hermawan,Acep.2011.Ulumul Qur’an.Bandung: PT RemajaRosdakarya Offset
Hitami, Munzir.2012.PengantarStudi Al-Qur’an.Yogyakarta: LKiS
Marzuki, Kamaluddin.1994.’Ulum Al-Quran.Bandung:PT Rosda Karya
Muhaimin dkk.2005.KawasandanWawasanStudi Islam.Jakarta: Kencana
Quraish, M. Shihab.1994.Membumikan Al-Qur’an.Bandung:Mizan Media Utama
Quraisy, M. Shihab.2007.Membumikan Al-Quran:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat.Bandung:Mizan Media Utama
Sayyid, Muhammad Thanthawi.2013.Ulumul Qur’an TeoridanMetodologi.
Yogyakarta:IRCiSoD
Zuhdi, Masjfuk.1993.Pengantar Ulumul Qur’an.Surabaya: PT Bina Ilmu

Catatan-catatan:
1.      Penulisan footnote masih ada beberapa yang salah, jadi tolong diperbaiki.
2.      Bukti-bukti al-Qur’an adalah wahyu tolong lebih diuraikan lagi.
3.      Jika buku yang dirujuk adalah buku terjemahan, tolong disebutkan nama penerjemahnya.

Secara umum, makalah ini bagus karena pembahasannya padat dan sesuai dengan format makalah yang menjadi acuan. Saya sangat mengapresiasi. Selamat!!!!


[1]Muhaimin dkk,KawasandanWawasanStudi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 81
[2]Athailah, Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010), hlm. 11
[3]MasjfukZuhdi, PengantarUlumul Qur’an, (Surabaya: PT BinaIlmu, 1993), hlm. 2
[4] Rosihon Anwar,Ulum Al-Qur’an,(Bandung:CV Pustaka Setia,2015), hlm. 33
[5]Athailah, Sejarah Al-Qur’an,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hlm. 16
[6]MasjfukZuhdi, PengantarUlumul Qur’an,(Surabaya: PT Bina Ilmu,1993), hlm. 1
[7]Muhammad SayyidThanthawi, Ulumul Qur’an TeoridanMetodologi, (Yogyakarta:IRCiSoD,2013), hlm. 28
[8] Ibid.,hlm. 29
[9]M. Quraisy Shihab,Membumikan Al-Quran:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,(Bandung:Mizan Media Utama,2007),hlm. 37
[10]Ibid.,hlm. 39
[11] Ibid.,hlm. 43
[12] Ibid.,hlm. 44
[13]MunzirHitami,PengantarStudi Al-Qur’an,(Yogyakarta: LKiS, 2012),hlm.17
[14] Kamaluddin Marzuki,’Ulum Al-Quran,(Bandung:PT Rosda Karya,1994),hlm. 10
[15]Athailah, Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010), hlm. 180
[16] Rosihon Anwar.,op.cit.,hlm. 39
[17]Athailah, Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 2010), hlm. 196
[18] Ibid.,hlm. 197
[19] M. Quraish Shihab,Membumikan Al-Qur’an, (Bandung:Mizan Media Utama,1994),hlm. 24
[20]Athaillah,op.cit.,hlm.214
[21]AcepHermawan, Ulumul Qur’an, (Bandung: PT RemajaRosdakarya Offset, 2011), hlm. 71
[22] Ibid.,hlm. 72
[23] M. Al-Azami, The History of The Qur’anic Text,(Jakarta:Gema Insani,2005),hlm. 85
[24]Athailah,op.cit.,hlm. 228
[25] Athaillah.,op.cit.,hlm. 236
[26] Ibid.,hlm. 240

Tidak ada komentar:

Posting Komentar