Senin, 20 Februari 2017

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqih (PAI C Semester Genap 2016/2017)




SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Fatkhurrozi, Nurma Aini, Fajri Fuadah Mazamy
Mahasiswa PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Angkatan 2014
e-mail : fajrymazamy.17@gmail.com

Abstract
Study of Ushul Fiqh is the very basic studies in Islam. This study used to know the basics of the existence of the law in the science of Fiqh. To find out about Usul Fiqh, we can't escape from growth and development. Usul Fiqh of its own seed had existed at the time of the Prophet, but was still not there are statutes or the constraints of the rule language. Due at the time of the Messenger of the determination of the law determined by the Prophet and the companions and if failure then God himself will bring revelation to correct the mistake. The death of the Prophet and his companions, the science of Ushul fiqh also stiil able to thrive with the constraints of the rule language, due to the large difference in the style of the language among the mujtahid himself. And from this comes up a lot of difference in the law of Islam.Therefore, here the author try to discuss about how the growth and development of Ushul Fiqh, ranging from the birth of the science of Ushul Fiqh, Ushul Fiqh up to the development of Science and any books that discuss the science of Ushul Fiqh.

Keyword : Ushul Fiqh, science of Ushul Fiqh, law of Islam,
Abstrak
Kajian Ushul Fiqh merupakan kajian yang sangat mendasar dalam agama Islam. Kajian ini digunakan untuk mengetahui dasar-dasar adanya hukum dalam Ilmu Fiqh. Untuk mengetahui tentang Ushul Fiqh, kita tidak dapat lepas dari pertumbuhan dan perkembangannya. Ushul Fiqh sendiri bibit-bibitnya telah ada sejak pada zaman Rasulullah SAW, akan tetapi masih belum terdapat ketetapan atau batasan-batasan kaidah bahasa. Dikarenakan pada zaman Rasulullah penentuan hukum tersebut ditentukan oleh Rasulullah dan para sahabat dan jika terjadi kekeliruan maka Allah sendiri akan menurunkan wahyu untuk memperbaiki kekeliruan tersebut. Sepeninggal Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya, ilmu ushul fiqh juga masih tetap dapat berkembang dengan batasan-batasan kaidah bahasa, karena banyaknya perbedaan gaya bahasa dikalangan mujtahid sendiri. Dan dari sinilah muncul banyak perbedaan hukum di dalam agama Islam. Oleh karena itu, disini penulis mencoba membahas tentang bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Ushul Fiqh, mulai dari lahirnya Ilmu Ushul Fiqh, hingga berkembangnya Ilmu Ushul Fiqh dan kitab-kitab apa saja yang membahas tentang Ilmu Ushul Fiqh.
Kata Kunci: Ushul Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh, Hukum dasar Islam


A.      Pendahuluan
Ushul fiqh adalah sautu ilmu yang mengungkap tentang berbagai metode yang dipergunakan oleh para Mujtahid dalam menggali dan menapak suatu hukum syari’at dari sumbernya yang telah dinashkan dalam Al-qur’an dan Al-sunnah.[1]Atau bisa saja disebut sebagai kaidah penggalian hukum yang bersumber langsung dari Al qur’an dan hadist.
Dalam kehidupan sehari-hari secara sadar atau tidak, kita pasti melakukan berbuatan yang berhubungan dengan ilmu-ilmu ushul fiqih. Karena ilmu ushul fiqih adalah salah satu cabang dari ilmu keagamaan dalam islam. Tentunya untuk memahami ilmu tersebut kita harus sering belajar atau membacanya. Pijakan atau dasar Ilmu Ushul Fiqh tidaklah berbeda dengan ilmu keagamaan dalam Islam, yakni berpijak pada Al-Qur’an dan Al-hadist. Ilmu ushul Fiqh merupakan ilmu tentang cara atau metode untuk mengeluarkan fiqh dari sumbernya.
Untuk mengetahui suatu kekuatan dan kelemahan dalam suatu pendapat sejalan dengan dalil yang telah digunakan dalam berijtihad, maka di perlukan untuk memelihara agama dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi dalam pembahasan ushul fiqh, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, hal ini statusnya tetap mendapat pengakuan syara’. Melalui ushul fiqh juga para peminat hukum Islam agar mengetahui mana sumber hukum Islam yang asli kemudian yang harus dipedomani dan mana yang merupakan sumber hukum islam yang bersifat sekunder yang nantinya akan berfungsi untuk mengembangkan syariat sesuai dengan kebutuhan masyarakat Islam.
Ushul Fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat, Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih seperti ijtihad, qiyas,nasakh dan takhsis sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat.[2]
Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu Ushul Fiqih hampir sama dengan berkembangnya Ilmu Fiqh sendiri, dengan perbedaan yaitu Ilmu Fiqih mempelajari tentang hukum perbuatan yang dilakukan dalam ibadah sedangkan Ilmu Ushul Fiqih mempelajari dasar dari hukum ibadah itu sendiri.

B.       Pembukuan ushul fiqih
Salah satu pendorong diperlukannya pembukaan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah Islam semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu para ulama islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.[3]
Sebelum dibukukannya ilmu ushul fiqih, sebenarnya para ulama-ulama terdahulu juga sudah membuat kaidah-kaidah ushul fiqih yang disampaikan atau dipegang oleh pengikutnya masing-masing. Maka dari itu, tak heran kalau gurunya itu disebut sebagai penyusun pertama dalam kaidah-kaidah itu.
Dalam golongan Hanafiah misalnya, mereka mengklaim bahwa imam Abu Hanifah, Abu yusuf dan Muhammad ibnu Ali Al-Hasan adalah ulama yang pertama kali menyusun ilmu Ushul Fiqih. Mereka beralasan bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertamakali menjelaskan metode istinbath dalam bukunya ar-ra’y. Dan abu yusuf orang yang pertama kali menyusun Ushul fiqih dalam madzab Hanafi, demikian juga Muhammad ibnu al-hasan telah menyusun ushul fiqih sebelum syafi’i, dan bahkan Asy-syafi’i berguru kepadanya.[4]
Akan tetapi, Musthafa Abdul Ar-Raziq tidak setuju dan mengkritik pernyataan diatas, Dia berkata bahwa jika dianggap benar Abu yusuf dan Muhammad Ibnu hasan mempunyai kitab Ushul fiqih, hal itu tidak lain hanyalah berdasarkan kitab yang mendukung metode istihsan Hanafiyah yang sangat ditentang oleh para ahli hadis. Dan kalaupun Abu yusuf diakui sebagai orang yang pertama yang berbicara Ushul fiqih, tidaklah salah jika dikatakan bahwa Asy-syafi’i adalah orang yang pertama menyusun menjadi disiplin ilmu tersendiri, yang dijadikan rujukan oleh orang-orang untuk menentukan sebuah hukum.
Golongan Malikiyah juga mengklaim bahwa Imam Malik adalah orang yang pertamakali berbicara ilmu Ushul fiqih, akan tetapi mereka tidak mengklaim bahwa imam Malik adalah oarang yang pertama kali menyusun kitab Ushul fiqih.
Golongan Syafi’iyah pun mengklaim bahwa Imam syafi’i adalah orang yang pertamakali menyusun kitab Ushul Fiqih. Hal ini menurut pendapat Al-Allamah Jamal Ad-din Abd Ar-rahman ibnu Hasan Al-asnawi. Menurutnya, “tidak diperseleisihkan lagi, imam syafi’i adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-risalah[5]
Kalau kita kembalikan pada sejarah, sebelum dibukukanya ilmu Ushul Fiqih yang pertama kali berbicara tentang Ushul fiqih  adalah para sahabat dan tabi’in, pendapat ini adalah yang paling kuat dan tidak diperselisihkan lagi.  Akan tetapi yang menjadi perselesihan adalah orang yang pertama kali mengarang kitab Ushul Fiqih sebagai disiplin ilmu tersendiri dan mencakup semua aspeknya. Maka dari itu, kita sangat perlu untuk mengetahui teori-teori penulisan dalam ilmu Ushul fiqih. Secara garis besarteori-teori penulisan dalam ilmu Ushul fiqih ada, yaitu :
Pertama, merumuskan  kaidah-kaidah fiqhiyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Misalnya kaidah-kaidah jual beli secara umum, atau kaidah-kaidah perburuhan. Kemudian menetapkan batasan-batasanya  dan menjelaskan cara-cara mengaplikasikanya dalam kaidah-kaidah teori tersebut. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.[6]
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid yang ingin mengambil  sebuah hukum tanpa terikat dengan pendapat orang lain atau suatu pemahaman yang sejalan atau yang bertentangan denganya.

C.      Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ushul Fiqih
Pertumbuhan Ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai pada masa tersusun-nya ushul fiqih sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 hijriyah.[7] Ilmu tersebut pada abad pertama hijriyah memang tidak diperlukan lantaran keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Al-qur’an dan As-sunnah yang diilhamkan kepada beliau.[8]
Ilmu ushul fiqih termasuk salah satu cabang dari ilmu keagamaan dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang berpedoman pada Al-qur’an dan hadist. Ilmu ushul fiqih muncul tidak dengan sendirinya, melainkan sudah ada benih-benihnya sejak zaman Rasulullah Saw dan para sahabatnya yang sumber hukumnya tidak terlepas dari Al Qur’an dan Hadist[9]. Selain bersumber utam dari Al Qur’an dan Hadist kajian Ushul Fiqh juga tidak terlepas dari Ijtihad dan Qiyas juga filsafat ilmu[10].Dari Al Qur’an dan Hadist ini kemudian para Mujtahid perlu merumuskankaidah-kaidah pengambilan kesimpulan hukum (istinbath) untukmenetapkan hukum-hukum operasional yang sesuai dengan kondisi sosial saat ini agar dapat mengimplementasikan prinsip dan tujuan tasyri’.[11]
Ketika para sahabat bertanya kepada Rasulullah mengenai suatu permasalahan dan tidak ada di dalam Al-qur’an dan Hadits, maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah mengenai permasalahan tersebut kemudian Rasulullah menyampaikan kepada para sahabatnya. Begitulah salah satu cara ketika ditetapkannya suatu hukum.
Mengenai sejarah pertumbuhan dan berkembangan Ushul Fiqih Terdapat empat periode, yakni periode Sahabat Rasulullah, periode Tabi’in, periode Imam-imam Mujtahidin dan periode sesudah imam-imam mujtahidin. Pada masa sahabat rasulullah untuk menentukan hukum tidaklah diperlukan sesuatu batasan kaidah bahasa, akan tetapi setelah masa tabi’in, karena banyaknya perbedaan gaya bahasa diperlukan batasan kaidah bahasa untuk menentukan suatu hukum, agar tidak ada kesalahpahaman dalam mempelajari ilmu Ushul Fiqh.
Pada zaman Rasulullah, ketika terdapat masalah yang solusinya tidak terdapat dalam Al Qur’an atau Hadits maka para sahabat atau Ulama Ushul akan langsung bertanya kepada Rasulullah, yang mana Rasulullah akan menetapkan hukum dari hasil ijtihadnya sendiri.
Dalam menentukan hukum dari berbagai kasus dizaman Rasulullah SAW yang tidak ada ketentuanya dalam Al-qur.an, para ulama Ushul fiqih menyimpulkan bahwa ada isyarat Rasulullah Saw menetapkannya melalui ijtihad. Hal ini dapat diketahui melalui sabda Rasulullah SAW[12]:
إنما أنا بشر، إذا امرتكم بشيء من دينكم فخذوا به واذا امرتكم بشيء من رأ ي فانما انا بشر ( رواه مسلم عن را فع بن خديج )

“sesungguhnya saya adalah manusia (biasa), apabila saya perintahkan kepadamu sesuatu yang menyangkut agamamu, maka ambillah dia. Dan apabila aku perintahkan kepadamu sesuatu yang berasal dari pendapatku,  maka sesunggunya aku adalah manusia biasa. (H.R. Muslim dari Rafi’ ibn Khudaij).
Secara otomatis hasil ijtihad Rasulullah tersebut kemudian dijadikan sebagai sumber hukum dan dalil bagi umat islam karena itu adalah termasuk sunnah.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah Saw juga pernah menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan sahabat, misalnya beliau menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan “Umar Ibn Khattab” tentang batal tidaknya puas seseorang yang mencium isterinya.[13] Rasulullah Saw ketika itu bersabda yang artinya:“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?”. “Umar menjawab tidak apa-apa”(tidak batal). Rasulullah SAW bersabda, “maka teruskanlah puasamu.” (HR.  Bukhori muslim, dan Abu Daud.
Peristiwa Umar dan jawaban dari Nabi Muhammad tersebut menetapkan tidak batalnya seorang berpuasa karena mencium istrinya dengan meng-qiyaskan tidak batalnya  berpuasa karena berkumur-kumur.[14]Dari beberapa hadist tersebutlah yang menjadi bibit munculnya Ushul Fiqh. Beberapa ulama juga menyebutkan bahwa munculnya Ushul Fiqh juga bersamaan dengan munculnya fiqh itu sendiri yaitu sejak zaman Rasulullah.
Ketika para sahabat Rasulullah Saw saat berijtihad mereka tidak memerlukan kaidah bahasa sebagai batasannya, karena pergaulan mereka dengan Rasulullah dan juga karena mereka telah memahami tujuan-tujuan pembuat hukum syariat dan dasar-dasar pembentukannya. Akan tetapi, ketika Islam bertambah luas dan pergaulannya dengan bangsa-bangsa lain, masuklah gaya bahasa baru yang bukan bahasa Arab sehingga terjadilah kesamaran alam memahami nash dan dibutuhkanlah penyusunan batasan-batasan dan kaidah-kaidah bahasa, yang kemudian menjelma sebagai Ilmu Ushulul Fiqh[15].
Orang yang pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan bahasan ilmu ini[16], sehingga merupakan kumpulan tersendiri secara tertib (sistematis), dan masing-masing kaidah itu dikuatkan dengn dalil dan keterangan atau uraian yang mendalam (serius), Ialah Imam Muhammad bin Idris al Syafi’i yang meninggal pada tahun 204 H[17]. Hal tersebut telah diriwayatkan dalam kitab Al Risalah Ushuliyah karya Imam Al Syafi’i yang merupakan kitab kodifikasi pertama dan satu-satunya kitab yang sampai pada kita. Dan dipopulerkan oleh Ulama bahwa pendasar Ilmu Ushul Fiqih adalah Imam Syafi’i.
Berikut merupakan penjelasan tentang empat periode perkembangan Ushul fiqh :
1.    PadaMasaSahabat
Pada masa sahabat, para sahabat nabi telah menggunakan cara-cara penggalian hukum fiqh, akan tetapi penggalian hukum ini masih belum disebut sebagai ushul fiqh. Terdapat beberapa contoh tentang penggunaan ushul fiqh dalam hal mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yangdilakukan oleh para sahabat, yakni :
a.       Pemberian sanksi oleh Ali bin Abi Thalib kepada peminum khamr menyamakan dengan sanksi bagi penuduh zina, dengan alasan :

إنه إذا شرب هذى وإذا هذى قد ف

Sesungguhnya apabila orang itu minum khamr dia mengigau, dan apabila mengigau dia menuduh”.[18]
       Atas dasar tersebut sehingga Ali bin Abi Thalib menjatuhkan sanksi bagi orang yang meminum khamr dengan 80 kali jilid yang disamakan sanksinya dengan penuduh zina. Dalam hal tersebut Ali bin Abi Thalib menggunakan qiyas dalam menentukan hukum.

b.      Ibn Mas’ud menetapkan ‘iddah wanita hamil yang ditinggalkan mati suaminya sampai melahirkan, dengan dasar :

àM»s9'ré&urÉA$uH÷qF{$#£`ßgè=y_r&br&z`÷èŸÒtƒ£`ßgn=÷Hxq4

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya (Al-Thalaq:4)”[19]

Sedang surat al-Baqarah ayat 234, menyatakan:
tûïÏ%©!$#urtböq©ùuqtFãƒöNä3ZÏBtbrâxtƒur%[`ºurør&z`óÁ­/uŽtItƒ£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/spyèt/ör&9åkô­r&#ZŽô³tãur(

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri, hendaklah para istri itu ber’idah empat bulan sepuluh hari (Al-Baqarah:234).[20]
Disini ibn mas’ud menetapkan hukum dengan menggunakan nask mansukh, karena menurutnya Surat Al Baqarah ayat 234 turun terlebih dahulu daripada surat Ath-thalaq ayat 4, sehingga menurutnya ayat yang telah di naskhlah yang lebih dapat dijadikan hukum daripada ayat sebelumnya.

2.      Pada Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in terdapat dua penggunaan cara atau metode dalam menentukan hukum, yakni dengan menggunakan maslahah dan yang lainnya menggunakan qiyas. Sebagai contoh, Sa’ad ibn Al-Musayyad di madinah atau Al-Qamah dan Ibrahim al-Nakha’iy di irak.[21] Ulama yang menggunakan qiyas lebih menggunakan raa’yu dan mencari illat sehingga dapat disamakan dengan nashnya. Sedangkan ulama yang menggunakan maslahah lebih menggunakan hadist-hadist rasulullah dalam menentukan suatu hukum. Sehingga dari sinilah awal munculnya perbedaan dalam mengistinbathkan hukum di kalangan ulama fiqh. Dan akibatnya muncul tiga kelompok ulama, yaitu madrasah al iraq, madrasah al kufah dan madrasah al madinah.[22]

3.      Pada Masa Imam-imam Mujtahidin
Pada masa ini, telah ditetapkanbatasan-batasan masalah dan aturan-aturan istinbath.Misalnya Abu Hanifah yang menggunakan sumber Al-kitab, al-sunnah dan fatwa shahabat. Sekalipun demikian dia tidak mau menggunakan fatwa tabi’insebagaimana dikatakanya, “mereka laki-laki dan kitapun laki-laki (manusia biasa)”.[23] Ia menggunakan qiyas dan istihsan.
Pada kurun waktu berikutnya terdapat ulama besar, Muhammad ibn Idris al Syafi’i yang membukukan masalah Ushulfiqh dalam kitab Ar Risalah[24]. Dalam kitab tersebut, beliau menggambarkan cara-cara beristinbath dan juga menjabarkan kekayaan pendapat para sahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahid sebelumnya. Beliau juga mengemukakan perbedaan pendapat antara fiqh Madinah dan fiqh Irak. Sehingga pendapatnya dapatdijadikan alat ukur dalam kajian Ushul Fiqh.
4.      Pada masa sesudah imam-imam mujtahidin
Sesudah imam Syafi’i para ulama hanya memberikan Syarh atau menjelaskan yang mujmal dari kitab Ushul Al-fiqh karya imam Syafi’i. Dan juga terdapat ualama yang mengambil hukum dari kitab Al Syafi’i tetapi secara tidak keseluruhn, hanya sebagiannnya saja. Dikalangan ahli-ahli Ushul Fiqh pada masa ini,  terdapat dua aliran yang berbeda.[25] Yakni:
Pertama, ushul al-mutakallimin. Dalam menentukan dasar, golongan ini tidak terlalu memperhatikan tentang kaidah tersebut cocok atau tidak dengan furu’. Mereka menetapkakan ukuran-ukutran tanpa dikaitkan dengan furu’. Bagi mereka menguatkan atau melemahkan furu’ tidak menjadi masalah.
Kedua, ushul Al-ahnaf, pembahasan dalam ushul al-ahnaf selalu menjaga furu’. Mereka membuat ukuran-ukuran yang menguatkan madzhabnya[26].
Kitab-kitab yang ditulis dengan cara yang pertama di antaranya:
a.         Al-Mu’tamad karangan Muhammad Husyn ibn Ali Bashriy (wafat463H).
b.        Al-Burhan karangan Imam al-Haramayn (wafat 487 H).
c.         Al-Musthfa karangan al-Ghazaliy (wafat 505 H)
Adapun di antara kitab-kitab yang ditulis dengan cara yang kedua adalah:
a.         Kitab Ushul Abu Bakar Ahmad al-Jashash (wafat 370H).
b.        Kitab Zayd ‘Ubayd Allah ibn ‘Umar (wafat 430H).
c.         Kitab Syams al-A’immah ibn Ahmad al-Sarkhasyiy (wafat 483H)
Selain itu, ada pula kitab-kitab yang ditulis dengan cara mengumpulkan kedua macam aliran, diantaranya:
a.         Badi’ al-Nidham karangan Ahmad bin Ali al-Baghdadi (wafat 694H). Yang mengumpulkan kitab Al-Badawiy dan al-Ihkam fiy Ushul al-Ahkam karangan al-‘Amidiy.
b.        Tanqih al-Ushul karangan Shadr al-Syari’at ‘Abd al-wahhab ibn Mas’ud al-bukhariy (wafat 747 H)
c.         Kitab al tahrir karangan Kamal al din ibn Hammam (wafat 861 H)
d.        Kitab Jam Al Jawami karangan Taj Al din Abd Al Wahhab Al Subky (wafat 771 H).
Kitab-kitab Ushul Fiqh yang terakhir di antaranya:
a.         Irsyad Al Fuhul karangan Imam Al Syawkaniy (wafat 1250 H)
b.        Ushul Al Fiqh karangan Syaikh Muhammad Khudlariy Bayk.
c.         Ilmu Ushul Al Fiqh karangan Al-Ustadz Abd al-Wahhab Kallaf.
d.        Ushul Al Fiqh karangan Muhammad Abu Zahrah.
e.         Ushul Al Tasyri’ Al Islamiy fiy Thuruq al Istinbath karangan al-ustadz Ali Hasb Allah.
f.         Mabahits Al hukmiy ‘Inda al Ushuliyyin karangan Abd Salam Madzkur.
g.        Al Madhkal ila Ilm Ushul Al Fiqh karangan Dr. Muhammad Ma’ruf.

D.      Tahapan-Tahapan Perkembangan Ushul Fiqih
Secara garis besar, perkembangan Ushul fiqh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap awal (abad 3 H), tahap perkembangan (abad 4 H), dan tahap penyempurnaan (abad 5 H). Masing-masing tahapan akan diuraikan sebagai berikut :[27]
1)        Tahap Awal (Abad 3 H)
Pada abad 3 H, di bawah pemerintahan Abbasiyiah wilayah Islam semakin meluas ke bagian Timur. Khalifah-kalifah Abbasiyah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-ma’mun (w. 218 H), Al-mu’tashim (w. 227), Al-wasiq (w.232 H), dan Al-mutawakkil (w. 247 H).[28]Ini salah satu hasil dari kebangkitan berpikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang Fiqih, yang pada gilirannya mendorong untuk disusunnya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqih.
Pada abad ini lahirnya ulama-ulama besar yang meletakkan dasar berdirinya madhzab-madhzab fiqih. Para pengikut merekasemakin menunjukkan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran ushul fiqih dari para imamnya. Asy-Syafi’i misalnya tidak menerima cara penggunaan istihsan yang masyhur dikalangan Hanafiyah, sebaliknya Hanafiyah tidak menggunkan cara-cara pengambilan hukum berdasarkan hadis-hadis yang dipegang oleh Asy-Syafi’i. Sementara itu, kaum Ahl Al-hadis pada umumnya dan kaum zhariyah pengikut Daud Azh-Zhahiri pada khususnya, tidak menyetujui metode-metode dari kedua golongan tersebut, namun  golongan terakhir mempunyai metode tersendiri dalam qiyas dan ta’wil.[29]
Hal semacam itulah perbedaan pendapat dan metode yang dimiliki masing-masing aliran yang menjadi pendorong semangat pengkajian ilmiah di kalangan ulama pada abad 3H dan berlanjut terus dan semakin berkembang pada abad 4 H.
2)        Tahap perkembangan (Abad 4 H)
Dalam abad 4 H. ada beberapa hal yang perlu dicatat dan di jadikan sebagai ciri khas perkembangan ilmu Ushul Fiqih pada masa ini, yaitu: munculnya kitab-kitab Ushul Fiqih yang membahas ushul fiqih secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya yaitu abad 3 H. Dalam abad 4 H ini mulai tampak adanya pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya metode berpikir menurut ilmu Manthiq dalam ilmu Ushul Fiqih. Ini terlihat dari masalah mencari makna dan pengertian sesuatu, yang dalam ilmu ushul fiqih Al-hudud merupakan sesuatu hal yang tidak pernah dijumpai dalam perkembangan kitab-kitab sebelumnya.[30]

3)        Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6 H)
Pada abad penyempurnaan 5 dan 6 H ini merupakan periode penulisan kitab Ushul fiqih terpesat, yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih selanjutnya. Kitab-kitab Ushul fiqih yang paling penting antara lain sebagai berikut[31] : 
1.        Al-mughni fi abwab wa At-tauhid karangan Al-qadhi Abd. Jabbar (wafat. 415 H),
2.        Al-Mu’amad fi Al-Ushil fiqhkarangan Abu Al-HusainAl-Bashri (wafat 436 H),
3.        Al-iddaf fi Ushul fiqh karangan Abu Al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad Al-Husain Ibn Muhammad Ibnu Khalf Al-farra (wafat 458 H),
4.        Al-Burhan fi Ushul fiqhkarangan Imam al-Haramayn (wafat 487 H),
5.        Al-Musthafa Min Ilm Al-Ushulkarangan al-Ghazaliy (wafat 505 H.

E.       Kesimpulan
Ushul fiqh adalah suatu ilmu yang mengungkap tentang berbagai metode yang dipergunakan oleh para Mujtahid dalam menggali dan menapak suatu hukum syari’at dari sumbernya yang telah dinashkan dalam Al-qur’an dan Al-sunnah.
Salah satu pendorong diperlukannya pembukaan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah Islam semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu para ulama islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Ada empat periode dalam perkembangan Ushul fiqh yaitu, pada masa sahabat, pada masa Tabi’in, pada masa Imam-imam Mujtahid dan pada masa sesudah Imam-imam Mujtahid. Kemudian Secara garis besar, perkembangan Ushul fiqh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap awal (abad 3 H), tahap perkembangan (abad 4 H), dan tahap penyempurnaan (abad 5 H).
Orang yang pertama kali mengadakan kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan bahasan ilmu ini, sehingga merupakan kumpulan tersendiri secara tertib (sistematis), dan masing-masing kaidah itu dikuatkan dengn dalil dan keterangan atau uraian yang mendalam (serius), Ialah Imam Muhammad bin Idris al Syafi’i yang meninggal pada tahun 204 H.

DAFTARPUSTAKA
Djazuli, dan Nurol Aen. 2000. “Ushul Fiqh MetodologiHukum Islam”. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Haroen, Nasrun. 1997.Ushul Fiqh 1.Jakarta.PT Logos Wacana Ilmu .
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushulul fiq. terj. Moch Mansoer Tolchah dan Iskandar Al Barsany. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Koto, Alaiddin. 2006.Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqih. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Syafe’I, Rachmat. 2010.Ilmu Ushul Fiqh. Bandung. CV Pustaka Setia.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta. Pustaka Amani.
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta. Kencana.
Fanani, Muhyar. “Kajian Ontologis dan Aksiologis”. dalam Ilmu Ushul Fiqh. vol IV no.2. 2009.
Khallaf, Abdul Wahhab.2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ushul Fiqh). Jakarta:Rajawali pers
Yasid, H. A. “MENDIALOGKAN DIMENSI KEILMUAN USHUL FIQH”. Volume 7. 2015.

Catatan:
1.      Penulisan konten abstrak salah.
2.      Cara penulisan footnote banyak yang salah, tolong lebih diperbaiki.
3.      Perujukan masih belum maksimal. Setiap keterangan yang diambil dari buku/jurnal harus diberikan keterangan rujukan.
4.      Penulisan referensi dari jurnal harus dituliskan lengkap: nama penulis, artikel, nama jurnal, volume, nomor, tahun, halaman.
5.      Kelompok ini terdiri atas tiga orang. Seharusnya makalahnya bisa lebih dari tiga orang. 


[1]Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushulul fiq. terj. Moch.Mansoer Tolchah dan Iskandar Al Barsany. Kaidah-kaidah Hukum Islam,(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,2002),
[2] Prof. Dr. Rachmat syafi’i. “Ilmu Ushul Fiqih”. (Bandung:pustaka setia,2010). hlm,26
[3]ibid, hlm,27
[4]ibid, hlm,27
[5] Ibid, hlm, 29
[6] Ibid, hlm, 28-29
[7] Hasrun Naroen, “Ushul fiqih”. (jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm,6
[8]Opcit, Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushulul fiq. terj. Moch.Mansoer Tolchah dan Iskandar Al Barsany. hlm,9
[9]H. Rachmat syafe’I, Ilmu ushul Fiqh,(Bandung :Pustaka setia), hlm. 26
[10] MuhyarFanani,“Kajian Ontologis dan Aksiologis”, dalam Ilmu Ushul Fiqh, vol IV no.2, 2009, hlm. 203
[11]H. A. Yasid, “MENDIALOGKAN DIMENSI KEILMUAN USHUL FIQH”, Volume 7,2015, hlm 22
[12] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 7
[13] Ibid, hlm, 7
[14]Alaiddin Koto,  Ilmu fiqh dan Ushul fiqh, ( jakarta:PT  RajaGrafindo Persada. 2006), hlm 27
[15]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Amani), hlm. 8
[16]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ushul Fiqh), (Jakarta:Rajawali pers), hlm. 8
[17] Opcit, Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushulul fiq. terj. Moch.Mansoer Tolchah dan Iskandar Al Barsany.hlm,11
[18] Prof, Drs. H.A Djazuli dan Dr. Nurol Aen, MA. “Ushul fiqih metodologi hukum islam”( jakarta:PT  RajaGrafindo Persada. 2000), hlm 8
[19] QS. At-thalaq ayat 4
[20] Qs. Al-baqarah ayat 234
[21] Opcit, Nasrun Haroen, hlm. 9
[22] Opcit, Nasrun Haroen, hlm. 9
[23]Opcit, Prof, Drs. H.A Djazuli dan Dr. Nurol Aen, MA, hlm, 9
[24]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencan), hlm. 21
[25] Opcit, Prof, Drs. H.A Djazuli dan Dr. Nurol Aen, MA. hlm, 10
[26] Opcit, Prof, Drs. H.A Djazuli dan Dr. Nurol Aen, MA. hlm, 10
[27] Opcit, Rachmat syafi’i, hlm,30
[28] Opcit, Rachmat syafi’i, hlm,30
[29] Opcit, Rachmat syafi’i, hlm,32
[30] Opcit, Rachmat syafi’i, hlm,36
[31] Opcit, Rahmat syafi’i, hlm, 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar