Jumat, 24 Februari 2017

Sejarah Peradaban Islam pada Masa Bani Umaiyyah (PBA A Semester Genap 2016/2017)




Sejarah Peradaban Islam pada Masa Bani Umaiyyah

Qorina el sholichah, Mohammad Sofi Anwar,Ainun Rieke Fadhilah, Miladisani Ammar Umah
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UIN Maulana Malik Ibrahim

Abstract
This article talks about the Umayyad dynasty. After the Khulafaur Rasyidin ending, comes a new leadership led by Muawiyah ibn abu sofyan with the name of the Umayyad dynasty. Issues to be discussed in this article is a turn of the head of state system, the development of religious sciences, social and cultural systems, causes deterioration Umayyad dynasty.
System replacement head of state in nature monarci Umayyad dynasty or kingdom, in stark contrast to the leadership of Khulafaur Rasyidin. At this time many  advances in the field of science and religion so many discovered new sciences. There is little difference between the original and mawali Arab nation, the Arab nation and the nation mawali dominate a nation that's number two.

Abstrak
Artikel ini berbicara mengenai Dinasti Umayyah. Setelah masa Khulafaur Rasyidin berakhir muncullah kepemimpinan baru yang dipimpin oleh Muawiyah Bin Abu Sufyan dengan nama Dinasti Umayyah. Permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah Sistem penggantian kepala Negara, Perkembangan ilmu-ilmu keagamaan (Ulum al-Syar’iyah), Sistem sosial budaya  (arab-mawali), Sebab-sebab kemumduran Bani Umayyah.
Sistem penggantian Kepala Negara dalam Dinasti Umayyah lebih bersifat monarci atau kerajaan, berbeda sekali dengan masa kepemimpinan khulafaur rasyidin.Pada masa ini banyak kemajuan-kemajuan dalam bidang keilmuwan dan keagamaan sehingga banyak ditemukan ilmu-ilmu baru.Terdapat sedikit perbedaan antara orang Arab asli dan Mawali, bangsa Arab lebih mendominasi dan bangsa Mawali menjadi bangsa yang nomor dua.

Keywords: Dinasti Umayyah, Monarki, Arab-Mawali
A.    Pendahuluan
Berakhirnya kekuasaan Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasaan baru yang berpola dinasti atau kerajaan. Bentuk dinasti yang cenderung bersifat kekuasaan turun-temurun hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan, mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan nabi Muhammad Saw. untuk bermusyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah Khulafaur rasyidin.
Setelah masa khulafaur rasyidin benar-benar berakhir (dengan terbunuhnya kholifah terakhir, Ali binf Abi Thalib), maka dinasti-dinasti baru pun muncul. Sejak tahun 661 M, kekuasaan politik mulai di pegang oleh dinasti-dinasti tertentu, seperti Dinasti Umayyahdi Damaskus, diikuti Dinasti Abbasiyah di Baghdad, dan sisa-sisa kekhalifahan Umayyah Bara di Kordoba. Pada masa berikutnya, dinasti-dinasti yang ada  antara lain yaitu Fatimiyyah di Kairo (909-1171 M), Al-Murabitun, dan Al-Muwahhidun di barat Laut Afrika serta dinasti-dinasti regional yang memerintah kawasan-kawasan geografis yang lebih kecil. Kebanyakan dari penguasa-penguasa tersebut berasal dari bangsa Arab atau keturunan Arab.
Hampir semua sejarawan membagi Dinasti Umayyah menjadi dua, yaitu yang pertama, Dinasti Umayyah yang dirintis dan didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus (syiria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah system pemerintahan dari system khilafah pada system mamlakat (kerajaan atau monarki) dan kedua, Dinasti Umayyah di Andalusia (Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayyah dibawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid bin Abd Malik, kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas setelah berhasil menaklukkan Dinasti Umayyah di Damaskus.[1]
Dinasti Umayyah merupakan kerajaan islam pertama yang didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi  Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukan dengan cara menolak pembaiatan terhadap Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali bin Abi Thalib, dengan strategi politik yang sangatmenguntungkan baginya. Jatuhnya Ali bin Abi Thalib dan naiknya Mu’awiyah juga disebabkan oleh keberhasilan pihak Khawarij (kelompok yang menentang dari Ali bin Abi Thalib) membunuh Ali bin Abi Thalib. Meskipun kemudian tampak kekuasaan dipegang oleh putranya, Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau, akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan.[2]
Nama “Umayyah”[3] di nisbatkan kepada Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliah. Ia dan pamannya, Hasyim bin Abdi Manaf, selalu bertarung dalam perebutan kekuasaan kedudukan.[4]
Bani Umayyah baru masuk Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad Saw.beserta beribu-ribu pasukannya (yang benar-benar percaya terhadap kerasulan dan kepemimpinan) menyerbu masuk ke dalam kota Makkah.[5]
Kekuasaan Dinasti Umayyah pada masa keemasannya menandingi Alexander Agung.[6]Dinasti ini berdiri di Damaskus, Suriah, setelah masa khulafaur rasyidin berakhir. Pendirinya bernama Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
B.     Sistem Penggantian Kepala Negara
Masa kekuasaan Dinasti Umayyah hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Khalifah yang pertama adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sedangkan khalifah yang terakhir adalah Marwan bin Muhammad. Diantara mereka ada pemimpin yang berjasa di berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patuh dan lemah.Adapun urutan khilafah Bani Umayyah adalah sebagai berikut.
1.      Mu’awiyah bin Abi Sufyan                      41-60 H/661-679 M
2.      Yazid I bin Mu’awiyah                             60-64 H/679-682 M
3.      Mu’awiyah II bin Yazid                           64 H/682 M
4.      Marwan I bin Hakam                                64-65 H/683-684 M
5.      Abdul Malik bin Marwan                         65-86 H/684-705 M
6.      Al-walid bin Abdul Malik                                    86-96 H/705-714 M
7.      Sulaiman bin Abdul Malik                        96-99 H/714-717 M
8.      Umar bin Abdul Aziz                               99-101 H/719-723 M
9.      Yazid II bin abdul Malik                          101-105 H/719-724 M
10.  Hisyam bin Abdul Malik                          105-125 H/723-742 M
11.  Al-Walid II bin Yazid II                          125-126 H/742-743 M
12.  Yazid bin Walid bin Malik                       126 H/743 M
13.  Ibrahim bin Al-Walid II                            126-127 H/743-744 M
14.  Marwan II bin Muhammad                       127-132 H/744-750 M]
Antara tahun 64 hingga tahun 73 H/ 683 hingga 692 M ada masa dimana pemerintahan Bani Umayyah tidak sepenuhnya menguasai semua wilayah Islam. pada saat itu ada pemerintahan Abdullah bin Zubair.
Para sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah terbesar dari daulah Bani Umayyah ialah Mu’awiyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz.[7]
1.      Mua’wiyah Bin abi Sufyan
Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah sebagai upaya untuk menghindari pertumpahan darah kaum muslimin dan untuk menyatupadukan mereka.Akan tetapi Hasan memberikan beberapa syarat kepada Muawiyah bin Abu Sufyan diantara syaratnya adalah pertama, Muawiyah harus berjanji tidak mencaci-maki ayahnya (Ali Bin Abi Thalib) di atas mimbar khutbah. Yang kedua adalah bahwa Muawiyah harus berjanji jabatan khilafah itu tidak diwariskannya sebagai turunan kepada anak-cucunya., tetapi diserahkan kepada keputusan musyawarah kaum Muslimin.[8]Dengan demikian, Mu’awiyah menjadi khalifah yang legal sejak tahun 41 H atau 661M. yang dikenal dengan “Amul Jamaah”. Mu’awiyah di bai’at oleh umat Islam di Kufah, sedangkan Hasan dan Husain dikembalikan ke Madinah.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal pemerintahan Bani Umayyah, Muawiyah mencoba merubah system pemerintahan yang bersifat demokratis, seperti pada masa Khulafaur Rasyidin, menjadi Monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun ditunjukkan ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia (bai’at) terhadap anaknya, Yazid bin Muawiyah.[9]
Pada masa itu, umat Islam telah bersentuhan dengan peradaban Persia dan Bizantium. Oleh karena itu, Mu’awiyah juga bermaksud meniru cara sukses kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium, yaitu monarki (kerajaan). Akan tetapi, gelar pemimpin pusat tidak disebut raja (malik).Mu’awiyah tetap menggunakan gelar khalifah dengan makna konotatif yang diperbaharui.Jika zaman khalaifah (penganti) yang dimaksudkan adalah Khalifah Rasul Saw. (khalifah al-rasul) adalah pemimpin masyarakat, sedangkan pada zaman Bani Umayyah, yang dimaksud adalah khalifah Allah (khalifat Allah) adalah pimpinan yang diangkat oleh Allah. Langkah awal dalam rangka memperlancar pengangkatan Yazid sebagai penggantinya adalah menjadikan Yazid bin Mu’awiyah sebagai putra mahkota (tahun 53 H).[10]
Khalifah Umayyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisasi dengan baik. “Ketika Mu’awiyah menjadi penguasa terjadi banyak kesulitan pemerintahan imperium yang didesentralisasikan itu tampak kacau. Muncul berbagai anarkisme dan ketidakstabilan kaum nomad menyebabkan ketidakstabilan dimana-mana dan hilangnya kesatuan.Ikatan teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang lebih dahulu, tanpa dapat dihindari telah dihancurkan oleh pembunuhan Utsman, oleh perang saudara sebagai akibatnya, dan oleh pemindahan ibukota dari Madinah.Oligarki di Mekah di kalahkan dan dicemarkan.Mu’awiyah mencoba untuk mencari suatu dasar baru bagi kepaduan imperium.Oleh karena itulah, dia mengubah kedaulatan agama menjadi negara sekuler. Sekalipun demikian, unsur agama didalam pemerintahan dan pemerintahan tidak hilang sama sekali. Mu’awiyah tetap mematuhi formalitas agama dan kadang-kadang menunjukkan dirinya sebagai pejuang Islam.[11]
Diantara jasa-jasa Mu’awiyah ialah mengadakan dinas pos kilat dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap di tiap pos. ia juga berjasa mendirikan Kantor Cap (percetakan mata uang dan lain-lain.[12]
2.      Yazid bin Mu’awiyah
Mu’awiyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan di ganti oleh anaknya, Yazid yang telah ditetapkannya sebagai putra mahkota sebelumnya. Diantara orang yang paling tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh Mu’awiyah adalah Husen bin Ali, Abdurrahman bin Abu Bakar, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Zubair.
Seluruh negeri membaiat dirinya pada masa pemerintahan ayahnya kecuali sejumlah kecil orang di Madinah.Yazid berusaha untuk memaksa mereka.  Maka Abdurrahman bin Abu Bakar, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas membaiatnya. Sedangkan Husen dan Abdullah bin Zubair pergi ke Mekah dan tidak membaiatnya. Keduannya menginginkan kekhalifahan berada di tangannya.
 Yazid tidak sekuat ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum Syiah yang telah membaiat Husain sepeninggal Mu’awiyah. Terjadi perang di Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu Nabi Muhammad Saw.Yazid menghadapi para pemberontak Mekah dan Madinah dengan keras.Dinding ka’bah runtuh dikarenakan lemparan munjaniq, alat pelempar batu pada lawan.Peristiwa tersebut merupakan aib besar pada masanya.[13]
Penduduk Madinah memberontak terhadap Yazid dan memecatnya dan kemudian mengangkat Abdullah bin Hanzalah dari kaum Anshor. Mereka memenjarakan kaum Umayyah di Madinah dan mengusirnya dari kota suci kedua bagi umat Islam itu, sehingga terjadilah bentrok fisik antara pasukan yang dikirim oleh Yazid yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah Al-Murri, dan penduduk Madinah. Peperangan antara kedua pasukan itu terjadi di al-Harrah yang dimenangkan olehpasukan Yazid, pada tahun 63 H. sedangkan kaum Quraisy mengangkat Abdullah bin Muti’ sebagai pemimpin mereka tanpa pengakuan terhadap kepemimpinan Yazid.[14]
Lain halnya dengan penduduk Mekah, sebagian dari mereka membaiat Abdullah bin Zubair sebagai khalifah. Maka pasukan Yazid yang telah menundukkan Madinah meneruskan perjalanannya ke Mekah untu menguasainya. Abdullah bin Zubair selamat dari gempuran pasukan yazid karena ada berita bahwa Yazid telah wafat sehingga ditariklah pasukannnya ke Suriah. Akan tetapi, kota Mekah menjadi porak poranda akibat perlakuan pasukanYazid tersebut. Yazid wafat pada tahun 64 H setelah memerintah selama 4 tahun dan digantikan oleh anaknya, Mu’awiyah II.[15]
3.      Mu’awiyah II bin Yazid
Ia hanya memerintah kurang lebih 40 hari dan meletakkan jabatannya sebagai khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab jabatan yang sangat besar tersebut. Dengan wafatnya, maka habislah riwayat keturunan Mu’awiyah dalam melanggengkan kekuasaan dan berganti ke Bani Marwan.
4.      Marwan bin Hakam
Mu’awiyah II diganti oleh Marwan bin Hakam, seorang yang memegang stampel khalifah pada masa Utsman bin Affan. Ia adalah gubernur Madinah di masa Mu’awiyah dan penasihat Yazid di Damaskus di masa pemerintahan putra pendiri daulah Umayyah itu. Ketika Mu’awiyah II wafat dan tidak menunjuk siapa penggantinya, maka keluarga besar Umayyah mengangkatnya sebagai khalifah.Ia dianggap orang yang dapat mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya, sedangkan orang lain yang pantas memegang jabatan khalifah itu tidak didapatkannya. Padahal keadaan itu rawan dengan terjadinya perpecahan di tubuh bangsa Arab sendiri dan ditambah dengaan pemberontakan kaum Khawarij dan Syi’ah yang bertubi-tubi.Khalifahyang baru itu menghadapi segala kesulitah satu demi satu.Ia dapat mengalahkan kabilah Ad-Dahhak bin Qais, kemudian menduduki Mesir dan menetapkan putrannya Abdul Aziz sebagai gubernurnya. Abdul Aziz adalah ayah Umar, seorang khalifah Bani Umayyah yang masyhur itu.Marwan menundukkan Palestina, Hijaz dan Irak. Namun ia cepat pergi dan hanya memerintah selama 1 tahun, ia wafat pada tahun 65 H dan menunjuk anaknya, Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai pengganti sepeninggalnya secara berurutan.[16]
5.      Abdul Malik dan Abdul Aziz
Abdul Malik menjadi khalifah setelah ayahnya Marwan bin Hakam meninggal pada tahun 65 H/ 684 M. Pada saat itu khalifah yang legal adalah Abdurrahman bin Zubair. Kemudian dia berhasil mengambil Irak dari tangan Abdurrahman bin Zubairdan menaklukkan Hijaz secara keseluruhan. Setelah Abdurrahman bin Zubair terbunuh, maka ia dibaiat oleh seluruh masyarakat muslim. Dia menjadi khalifah sejak tahun 73 H/692 M. Keadaan negara aman berada di tangannya.
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua terbesar yang dalam deretan para khalifah Bani Umayyahyang disebut-sebut sebagai “Pendiri kedua” bagi kedaulatan Umayyah.Iadikenal sebagai khalifah dalam ilmu agamanya, terutama dibidang fiqh. Ia telah berhasih mengembalikan sepenuhnya integritas wilayah dan wibawa keluarga Umayyah dari segala pengacau negara pada masa-masa seblumnya. Mulai dari gerakan separatis Abdullah bin Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syi’ah dan khawarij, sampai kepada aksi terror yang dilakukan oleh Al-Mukhtar bin Ubaid as-Saqafy di wilayah Kufah, dan pemberontakan yang dipimpin oleh Mus’ab bin Zubair di Irak. Ia juga menundukkan tentara Romawi yang sengaja membuat kegundahan sendi-sendi pemerintahan Umayyah. Ia memerintah menggunakan bahasa Arab sebgaai bahasa administrasi di wilayah Umayyah, yang sebelumnya masih memakai bahasa yang bermacam-macam, seperti bahasa Yunani di Syam, bahasa Persia di Persia dan bahasa Qibti di Mesir. Ia juga memerintahkan  untuk mencetak uang secara teratur, membangun beberapa gedung dan masjid serta saluran-saluran air.[17]
Khalifah Abdul Malik memerintah paling lama, yakni 21 tahun ditopang oleh para pembantunya yang juga termasuk orang kuat dan menjadi kepercayaannya, seperti al-Hajjaj bin Yusuf yang gagah berani di medan perang dan Abdul Aziz saudaranya yang dipercaya memegang kekuasaan sebagai gubernur Mesir. Al-Hajjaj bin Yusuf menjadi gubernur wilayah Hijaz setelah menundukkan Abdullah bin Zubair yang memberontak di wilayah tersebut. Gubernur itu dipindahkan ke Irak setelah dapat menaklukkan para pembangkang disana.Ia juga menundukkan raja Turki, Ratbil yang berusaha menyerang Sijitstan yang sudah menjadi wilayah Islam dan membunuh gubernurnya, dengan pasukan yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Al-Asy’as. Padahal  telah disepakati perjanjian damai antara kedua belah pihak, sehingga penguasa Turki itu harus membayar jizyah kepada Umayyah. Akan tetpa, pasukan Islam berakhir dengan tragis karena perselisihan intern yang terdapat dalam elite penguasa muslim sendiri, yakni antara al-Hijjaj dengan al-Asy’as. Tidak terelakkan lagi, terjadilahkontak senjata antara keduannya yang akhirnya dimenangkan oleh al-Hijjaj karena dibanu oleh Khalifah Abdul Malik. Disamping Berjaya dimedan perang, al-Hijjaj juga berhasil memperbaiki slauran-saluran air sungai Eufrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki system ukuran timbang, takaran dan keuangan, disamping menyempurnakan tulisan mushaf Al-Qur’an dengan titik pada huruf-huruf tertentu. Khalifah Abdul Malik wafat tahun 86 H dan diganti oleh putranya yang bernama Al-Walid.[18]


6.      Al-Walid bin Abdul Malik
Khalifah al-Walid bin Abdul Malik memerintah sepuluh tahun lamanya (86-96 H). pada masa pemerintahannya, kekayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Kekuasaan Islam melangkah keSpanyol dibawah pimpinan pasukan Thariq bin Ziyad ketika Afrika Utara dipegang oleh gubernur Musa bin Nushair. Karena kekayaan melimpah maka ia sempurnakan pembangunan gedung-gedung, pabrik-pabrik dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para kafilah yang berlalu lalang di jalur tersebut. Ia membangun Masjid al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di Damaskus. Disamping itu, ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat seperti orang lumpuh, buta, dan sakit kusta. Khafilah al-Walid bin Abdul Malik wafat tahun 96 H dan digantikan oleh adiknya, Sulaiman sebagaimana wasiat ayahnya.[19]
7.      Sulaiman bin Abdul Malik
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik tidak sebijak kakaknya, ia kurang bijaksana, suka harta sebagaimana yang diperhatikan ketika ia menginginkan harta rampasan perang (ghanimah) dari spanyolyang dibawa oleh Musa bin Nushair. Ia menginginkan harta itu jatuh ke tangannya, bukan ke tangan kakaknya, al-Walid yang saat itu masih hidup meskipun dalam keadaann sakit.Musa bin Nushair diperintahkan oleh Sulaiman agar memperlambat kedatangannya ke Damaskus dengan harapan harta yang dibawanya itu jatuh ke tangannya. Namun, Musa tidak melaksanakan perintah Sulaiman tersebut, yang mengaibatkan ia disiksa dan dipecat dari jabatannya ketika Sulaiman naik menjadi khalifah menggantikan al-Walid.[20]
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana itu. Para pejabatnya terpecah belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa di masa para pendahulunya disiksanya, seperti keluarga Hajjaj bin Yusuf dan Muhammad bin Qosim yang menundukkan India. Ia menunjuk Umar bi Abdul Aziz sebagai penggantinya sebelum meninggal pada tahun 99 H.[21]
8.      Umar bin Abdul Aziz
Adapun masa ketiga yang besar ialah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun Umar merupakan ‘lembaran putih’ Bani Umayyah dan sebuah periode yang berdri sendiri, mempunyai karakter yang tidak tidak terpengaruhi oleh berbagai kebijaksanaan daulah Bani Umayyah yang banyak disesali. Ia merupakan personifikasi seorang khalifah yang taqwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali di temukan pada sebagian pemimpin Bani Umayyah.[22]
Khalifah yang adil adalah putra Abdul Aziz, gubernur Mesir.Ia lahirdi Hilwan dekat Kairo, atau Madinah menurut sumber yang lain. Rupanya keadilan itu menurun dari khalifah Umar bin Khattab yang menjadi kakeknya dari jalur ibunya. Ia menghabiskan waktu di Madinah untuk mendalami ilmu agama Islam, khususnya ilmu hadits dan ketika menjadi khalifah ia memerintahkan kaum muslimin untuk menuliskan hadits, dan inilah perintah pertama dari penguasa Islam umar adalah orang yang rapi dalam berpakaian, memakai wewangian dengan rambut yang panjang dan cara jalan tersendiri, sehingga mode Umar itu ditiru banyak orang pada masanya.[23]
Ia dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik, kalifah Umayyah yang sekaligus sebagai pamanya. Ia diangkat menjadi gubernur Madinah oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, salah seorang sepupunya, tetapi ia dipecat dari jabatannya itu karena masalah putra mahkota. Berbekal pengalamannya sebagai pejabat, kaya akan ilmu dan hart, serta sebagai bangsawan Arab yang mulia, ia diangkat menjadi khalifah menggantikan Sulaiman, adik al-Walid. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid, sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya yang hanya memerintah kurang lebih dua tahun.[24]
Khalifah yang kaya itu menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaz, Syiria, Mesir, Yaman dan Bahrain yang menghasilka kekayaan 40.000 dinar tiap tahun. Namun setelah menduduki jabatan barunya, khalifah Umar bin Abdul Aziz mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan meninggakan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya untuk diserahkan hasil penjualannya ke baitul mal. Disamping itu, ia mengadakan perdamaian antara Amawiyah dan Syi’ah seta Khawarij, menggantikan peperangan dan mencegah caci maki terhadap Khalifah ali bin Abi Thalib dalam khutbah Jum’at dan diganti dengan bacaan ayat berikut.[25]
Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada dimasa kekhalifahnya, seperti menaikkan gaji para gubernur, memeratakan kemakmuran dengan meberi santunan kepada fakir miskin dan memperbarui dinas pos. Ia juga menyamakan kedudukan orang-orang non-Arab sebagai warga kelas dua dengan orang-orang Arab. Ia mengurang beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah bagi orang-orang Islam baru. [26]
Kekhalifahan Umayyah mulai mundur sepeninggal khalifah Umar bin Abdul Aziz. Meskipun tidak secemerlang tiga khalifah yang masyhur sebagaimana khalifah diatas, khalifah Hisyam bin Abdul Malik perlu dicatat sebagai khalifah yang sukses. Ia memerintah dalam waktu yang panjang, yakni 20 tahun (105-125 H). Ia dapat juga bisa dikategorikan sebagai khalifah Umayyah yang terbaik karena kebersihan pribadinya, pemurah, gemar kepada keindahan, berakhlak mulia dan tergolong teliti terutama dalam soal keuangan, disamping bertaqwa dan berbuat adil. Pada masa pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum Syi’ah yang bersekutu dengan kaum Abbasiyah mereka menjadi kuat karena kebijaksanaan yang diterapkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bertindak yang bertindak lemah lembut terhadap semua kelompok.Dalam diri keluarga Umayyah sendiri terjadi perselisihan tentang putra mahkota yang melemahkan posisi Umayyah.[27]

9.      Yazid II bin Abdul Malik (101-105 H)
Khalifah Umar meninggal pada tahun 101 H dan diganti oleh Yazid II bin Abdul Malik (101-105 H). Pada masa pemerintahannya timbul perselisihan antara kaum Maduriyah dan Yamaniyah. Pemerintahannya yang sangat singkat itu mempercepat proses kemunduran Umayyah. Kemudian diganti oleh khalifah Hisyam bin Abdul Malik.[28]
10.  Hisyam bin Abdul Malik
Hisyam bin Abdul Malik  menjadi khalifah sesuai dengan pesan dan wasiat saudaranya Yazid II bin Abdul Malik . Hisyam dikenal sangat jeli dalam berbagai perkara dan sabar.Dia sangat membenci pertumpahan darah, namun dia dikenal sangat kikir dan pelit.[29]
Ia meninggal pada tahun 124 H/ 741 M yang kemudian digantikan oleh anaknya Ibrahim bin Al-Walid. Pada masa ini muncul gerakan Abu Muslim Khurasani, salah seorang penyeru pendiri pemerintahan bani Abbasiyah.
11.  Walid bin Yazid II
Dia menjadi khalifah berdasarkan wasiat pamannya, Hisyam bin Abdul Malik. Dikenal sebagai sosok yang menuruti hawa nafsunya dan tindakan-tindakan yang tidak pantas.Sehingga, banyak manusia yang jengkel terhadapnya dan secara diam-diam mereka membaiat sepupunya yang bernama Yazid bin Walid yang dikenal sebagai sosok yang sholeh.Maka, Yazid menerukan agar Walid dicopot saat dia tidak berada di tempat. Kemudian dia mengirimkan sejumlah pasukan pada Walid bin Yazid dan membunuhnya pada tahun 126 H/ 743 M. Walid berkuasa selama setahun 3 bulan.
12.  Yazid bin Walid bin Abdul Malik
Dia dilantik sebagai khalifah setelah sepupunya yang bermental rusak Walid bin Yazid terbunu pada tahun 126 H. masa pemerintahannya sangat pendek dan penuh dengan gejolak. Dia sama sekali tidak menikmati masa kekuasaannya walau sehari. [30]
Gejolak dan pemberontakan muncul dimana-mana.Setelah itu muncul konflik antara orang-orang Qaisiyah dan Yamaniyah terutama di Khurasan.Dia meninggal akibat penyakit Tha’un pada tahun 126 H setelah memerintah selama enam bulan.
13.  Ibrahim bin Walid bin Abdul Malik
Dia menjadi khalifah setelah kakaknya Yazid. Saat itulah Marwan bin Muhammad melakukan pemberontakan yang menyatakan akan balas dendam atas kematian Walid bin Yazid dan menyerukan untuk membaiat kedua anak Walid bin Yazid yang kemudian dibunuh oleh Ibrahim di dalam penjara. Marwan sampai ke Damaskus dan Ibrahim melarikan diri.Pemerintahannya hanya berumur 70 hari saja. Setelah itu Marwan bin Muhammad naik tahta.
14.  Marwan bin Muhammad
Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam diberi gelar “Himar” karena sangat aktif dan pemberani dalam berperang. Dia melakukan penyerangan ke negeri Romawi pada tahun 105 H/723 M dan mampu menaklukkan kota Konya saat menjabat sebagai penguasa Armenia dan Azarbaijan. [31]
Masa pemerintahannya ditandai dengan banyaknya konflik dan instabilitas hingga akhirnya pemerintahannya jatuh dan runtuh dan beliau meninggal di tangan Bani Abbasiyah.Maka berakhirlah kepemimpinan Dinasti Umayyah.

C.    Perkembangan Ilmu-Ilmu Keagamaan (Ulûm al-Syar`iyah)
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra-putra  khalifah Bani Umayyah biasanya akan “disekolahkan” ke badiyah, gurun Suriah, untuk mempelajari bahasa Arab murni, dan mendalami puisi. Kesanalah Mu’awiyah mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya, Yazid. Masyarakat luas memandang orang yang dapat membaca dan menulis bahasa aslinya, bisa menggunakan busur dan panah, dan pandai berenang sebagai seorang terpelajar. Orang semacam itu disebut dengan al-Kamil, yang sempurna. Kemampuan berenang sangatlah dihargai terutama bagi mereka yang hidup di daerah pantai Mediterania.[32]
Masyarakat luas yang hendak memperoleh pendidikan, dalam pengertian masa itu, akan menggunakan masjid untuk mempelajari Al-Qur’an dan hadits. Karena itu, guru-guru paling pertama dalam Islam adalah membaca Al-Qur’an (qurra’). Pada awal 17 H/638 M 
Dalam bidang pengetahuan, pada masa Dinasti Umayyah, ilmu pengetahuan terbagi menjadi beberapa bagian, yakni
1.      al-adab al-hadith (ilmu-ilmu baru), yang meliputi al-ulum al-islamiyah (ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh)
2.      al-ulum al-lisaniyah, at-tarikh, dan al-jughrafi);
3.      al-ulum ad-dakhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan islam), yang meliputi ilmu kedokteran, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi; serta
4.      al-adab al-qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah ada pascazaman jahiliyah dan ilmu pada masa khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah, dan amthal.[33]
Pada masa itu Abu Aswad Ad-Duali (wafat 681 M) menyusun gramatika Arab dengan memberikan titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak bertitik.Usaha ini besar artinya dalam mengembangkan dan memperluas bahasa Arab, serta mempermudah orang membaca dan mempelajari dan menjaga barisan yang menentukan gerak kata dan bunyi suara serta ayunan iramanya, sehingga dapat diketahui maknanya.Kerajaan ini pun telah mulai menempatkan dirinya dalam ilmu pengetahuan dengan mementingkan buku-buku bahasa Yunani dan Kopti (Kristen Mesir).[34]
Adapun beberapa kemajuan dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan ialah sebagai berikut:[35]
a.       Pengembangan Bahasa Arab
      Para penguasa dinasti Umayyah telah menjadikan islam sebagai daulah (negara), kemudian  dikuatkan dan dikembangkanlah bahasa Arab dalam wilayah kerajaan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan menjadikan bahasa arab sebagai bahasa resmi dalam tata usaha negara dan pemerintahan, sehingga pembukuan dan surat menyurat harus menggunakan bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan bahasa  Romawi atau bahasa Persia daerah-daerah bekas jajahan mereka dan Persia.
b.      Marbad; Kota Pusat Kegiatan Ilmu
      Dinasti Umayyah juga mendirikan sebuah kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan itu dinamakan marbad, kota satelit dari Damaskus. Di kota Marbad inilah, berkumpul para pujangga, filsuf, ulama, penyair, dan cendekiawan lainnya, sehingga kota ini biberi gelar ukadz-nya Islam.
c.       Ilmu Qira’at
      Ilmu qira’at adalah ilmu seni baca al-Qur’an.Ilmu qira’at merupakan ilmu syariat agam tertua, yang telah dibina sejak zaman khulafaur rasyidin.Kemudian, pada masa dinasti Umayyah, dikembangkan, sehingga menjadi cabang ilmu syariat yang sangat penting. Pada masa ini, lahir para ahli qira’at ternama, seperti Abdullah bin Qusair dan Ashim bin Abi Nujud.
d.      Ilmu Tafsir
      Untuk memahami al-Qur’an sebagai kitab suci, diperlukan interprestasi pemahaman secara komprehensif.Minat menafsirkan al-Qur’an di kalangan umat Islam semakin meningkat.Pada masa perintisan ilmu tafsir, ulama yang membukukan ilmu tafsir adalah Mujahid (wafat pada tahun 104 H).
e.       Ilmu Hadits
      Ketika kaum muslimin telah berusaha memahami al-Qur’an, ternyata ada satu hal yang harus mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi Muhammad Saw.yang dinamakan hadits.Oleh karena itu, muncullah usaha manusia untuk mengumpulkan hadits sekaligus menyelidiki asal usulnya, sehingga menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan ilmu hadits.
Penguasa muslim pertama yang membolehkan penghimpunan hadist adalah khalifah Umar bin Abdul Azis.8 sejak itu hadist mulai dihimpun dan dicatat untuk memelihara keshahihan hadist, munculah metode sanad, yang berarti penyandaran suatu ucapan pada orang yang menyatakanya. Dengan metode sanan munculah beberapa istilah diantaranya;
·         Shahih yaitu hadist yang memeilki kesempurnaan atau tanpa cacat
·         Hasan yaitu hadist yang isnadnya tidak sepenuhnya shahih
·         Dhaif yaitu hadist yang pada matan atau isnad terdapat cacat
·         Gharib yaitu hadist yang didalaya terdapat hal yang asing atau aneh
                  Diantara ilmu hadits yang termasyhur pada masa Dinasti Umayyah adalah al-Jauzi Abdurrahman bin Amru (wafat tahun 110 H), Ibnu Abu Malikah (119 H), dan Asya’bi Abu Amru bin Ayurahbil (wafat tahun 104 H).

f.       Ilmu Fiqh
Setelah menjadi daulah maka para penguasa sangat membutuhkan adanya peraturan-peraturan untuk menjadi pedoman dalam menyelesaikan berbagai masalah.Mereka kembali kepada al-Qur’an dan hadits, sekaligus mengeluarkan syariat dan kedua sumber tersebut untuk mengatur pemerintahan dan memimpin rakyat.
      Al-Qur’an adalah dasar fiqh Islam, dan pada zaman ini, ilmu fiqh telah menjadi satu cabang ilmu syariat yang berdiri sendiri. Diantara para ahli fiqh terkenal adalah Sa’ad bin Musib, Abu Bakar bin Abdurrahman, Qasim ubaidillah, Urwah, dan Kharijah
g.      Ilmu Nahwu
      Pada masa Dinasti Umayyah, Karena wilayahnya berkembang sangat luas, khususnya ke wilayah diluar Arab, maka ilmu nahwu sangat diperlukan.Hal tersebut dikarenakan pula bertambahnya orang-orang Ajam (non-Arab) yang masuk Islam, sehingga keberadaan bahasa Arab sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, dibutuhkanlah ilmu nahwu, dan berkembanglah satu cabang ilmu yang penting untuk memperlajari berbagai ilmu agama islam.
Tokoh tokoh ilmu nahwu adalah Sibawaih, kemudian Al-Farisy selanjutnya Al-Zujaj.[36]
h.      Ilmu Jughrafi dan Tarikh
      Jughrafi pada masa Dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri. Demikian pula ilmu tarikh (ilmu sejarah), baik sejarah umum maupun sejarah islam pada khususnya. Adanya pengembangan dakwah islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh menimbulkan gairah untuk mengarah ilmu jughrafi (ilmu bumi atau geografi), demikian pula ilmu tarikh. Kedua ilmu ini lahir pada masa Dinasti Umayyah, yang berkembang suatu ilmu yang betul-betul berdiri sendiri pada masa ini.
i.        Usaha Penerjemahan
      Untuk kepentingan pembinaan dakwah islamiyah, pada masa Dinasti Umayyah, dimulai pula penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab.Dengan demikian, jelaslah bahwa gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru berkembang pesat pada zaman dinasti ebrikutnya yaitu Dinasti abbasiyah.
Adapun mula-mula yang melakukan usaha penerjemah adalah Khalid bin Yazid, seorang pangeran yang sangat cerdas dan ambisius. Ketika gagal memperoleh kursi kekhalifahan ia focus di bidang ilmu pengertahuan, diantaranya mengusahakan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa lain ke bahasa Arab.
      Para ahlu ilmu pengetahuan yang melakukan penerjemahan dari berbagai bahasa didatangkan dari Damaskus.Maka, diterjemahkan buku-buku tentang ilmu kimia, ilmu astronomi, ilmu falak, ilmu fisika, kedokteran, dan lain-lain. Sedangkan Khalid bin Yazid adalah seorang yang ahli dalam bidang astronomi.
D.    Sistem Sosial Budaya (arab - mawali)
Pada masa Dinasti Umayyah, orang-orang Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (Mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya “Sayyid” atau tuan atas bangsa bukan Arab, dengan negeri taklukannya menjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak negara.
Masyarakat di seluruh kerajaan terbagi ke dalam empat kelas sosial.
1.      Kelas tertinggi kelas tertinggi biasanya di isi oleh para penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga kerajaan dan kaum aristocrat Arab. Berapa banyak jumlah mereka, tidak bisa diketahui dengan pasti.[37]
2.      Kelas sosial berikutnya, yang berada di bawah kelas muslim Arab adalah para muallaf yang masuk Islam melalui pemaksaan sehingga secara teoritis negara mengakui hak penuh mereka sebagai warga muslim.[38]
3.      Kelas sosial ketiga adalah anggota-anggota sekte, dan para pemilik kitab suci yang diakui, yang disebut dengan ahl al-Dzimmahyaitu orang Yahudi, Kristen dan Saba yang telah mengikat perjanjian dengan umat Islam. Dalam status semacam itu, orang dzimmi mendapatkan tingkat toleransi yang tinggi, tentu saja setelah mereka membayar pajak tanah dan pajak kepala.[39]
4.      Kelas paling rendah dalam masyarakat adalah golongan budak.[40]
Mawali berasal dari Maula, budak tawanan perang yang sudah dimerdekakan.Mereka itu mula-mula berasal dari bangsa Persia atau keturunannya, baik kedua orang tuanya berasal dari Persia atau salah satunya dari bangsa Arab.Dalam perkembangan selanjutnya kata Mawali diperuntukkan pula bagi bangsa selain Arab. Istilah itu muncul karena Bani Umayyah berusaha untuk meninggikan derajat bangsa Arab sebagai penguasa diantara bangsa lain yang dikuasai. Karena kefanatikannya kepada bangsa Arab khalifah Abdul Malik bin Marwan mewajibkan bahasa Arab menjadi bahasa resmi negara sehingga semua perintah dan peraturan serta komunikasi secara resmi memakai bahasa Arab. Akibatnya bahasa Arab dipelajari orang. Tumbuhlah ilmu Qowaid dan ilmu lain untuk mempelajari bahasa Arab. Bahasa Arab menjadi bahasa resmi di banyak negara sampai saat ini: Irak, Syiria, Mesir, Libanon, Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, disamping Saudi Arabia,Yaman, Emirat Arab, dan sekitarnya.[41]
Dalam bidang sosial budaya, Bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antarbangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukanyang memiliki tradisi yang luhur, seperti Persia, Mesir, Eropa, dan lain sebagainya. Hubungan tersebut melahirkan kreativitas baru yang menakjubkan di bidang seni dan ilmu pengetahuan.
Di bidang seni, terutama seni bangunan (arsitektur), Bani Umayyah mencatat suatu pencapaian yang gemilang.sepertiDome of the Rock (Qubah ash-Shakira) di Jerusalem menjadi monument terbaik yang hingga kini tak henti-hentinya dikagumi orang.[42]
Kehidupan Keluarga Istana. Ketika malam tiba, para khalifah menikmati hiburan dan jamuan sosial.Muawiyah sangat suka mendengar kisah sejarah, anekdot terutama dari Arab Selatan dan pembacaan puisi. Untuk memuaskan kegemarannya, ia mendatangkan seorang ahli cerita dari Yaman, Abid ibn Syaryah, yang menghibur khalifah sepanjang malam dengan kisah-kisah kepahlawanan masa lalu. Minuman yang paling disukai adalah sirup buah, yang sering menjadi  tema lagu-lagu Arab dan hingga kini masih bisa dinikmati di Damaskus, dan kota-kota lainnya. Minuman itu biasanya sangat diminati oleh kaum wanita.[43]
Diantara aktivitas masa silam yang menarik minat para khalifah dan para pengiringnya adalah berburu, balapan kuda, dan dadu.Polo, yang merupakan olahraga favorit keluarga Abbasiyah, mungkin diperkenalkan oleh orang Persia menjelang akhir pemerintahan Umayyah.Berburu merupakan olahraga yang pertama kali dikembangkan di Arab, dengan menggunakan anjing saluki (saluqi, dari Saluq di Yaman).[44]
Kehidupan Umum Ibukota. Bisa dikatakan bahwa irama kehidupan dan karakteristik Damaskus tidak banyak berubah sejak menjadi ibukota Dinasti Umayyah. Dulu, seperti juga sekarang, di jalan-jalan sempit dan padat, banyak ditemui orang Damaskus, yang mengenakan celana lebar, sepatu dengan ujung berwarna merah, dan sorban besar, terlihat menepu-nepuk pundak orang badui yang berbusana longgar, menggunakan kafiyah (tutup kepala) dan iqal (ikat kepala), atau ada juga orang Ifranji yang berpakaian Eropa.
Seperti halnya di perkotaan, orang Arab dusun tinggal di wilayah mereka yang terpisah sesuai dengan afiliasi kesukuan mereka.Di damaskus, Hims, Aleppo, dan kota-kota lainnya, harah (pemukiman) ini masih bisa dikendali dengan baik.Dinasti Umayyah yang bisa kita saksikan sekarang di Damaskus adalah teknik pengairan yang tak tertandingi padsa masanya di dunia Timur, dan hingga jinni masih berfungsi dengan baik. Nama Yazid diabadikan sebagai nama sebuah kanal, Nahr Yazid, yang digali atau mungkin diperkuas dari Barada, untuk menyempurnakan irigasi di Gutah. Oasis subur di luar Damaskus, serta taman-tamannya yang indah merupakan hasil dari pengairan Barada. Di samping Nahr Yazid, Barada juga terbagi menjadi empat cabang saluran yang menyebarkan kesuburan dan kesegaran ke seluruh kota. [45]
E.     Sebab-sebab Kemunduran Bani Umaiyyah
Keruntuhan daulah Bani Umayah berawal dari diangktnya Hisyam bin Abdul Malik menjadi khalifah atas wasiat dari saudaranya, Yazid bin Abdul Malik bin Marwan. Sedankan Walid bin Abdul Malik dijadikan putra mahkota setelah pemerintahan Hisyam. Dia menerima kepemimpinan dari Hisyam pada bulan Rabiul Akhir tahun 125 H.[46]
Walid bin Abdul Malik adalah seorang yang fasik peminum khamr dan banyak merusak aturan Allah. Satu saat dia ingin menunaikan ibadah haji dengan tujuan minum khamr di atas ka’bah, sehingga banyak orang yang membencinya dan memberontak pada masa pemerintahannya.[47]
Diantara sebab terpenting keruntuhan dinasti umayah dampak pembunuhan Husein, cucu Rasululah SAW yang dilakukan Yazid bin Mua’wiyah. Hal ini yang menanamkan kebencian dalam hati kaum syiah dan bertekad untuk melancarkan pemberontakan  terhadap Bani Umayyah.[48]
Selain daripada itu para penguasa Bani Umayah tidak menghargai jasa pahlawan.Para pahlawan besar yang mengabdikan diri kepada Bani Umayah dan semestinya memperoleh penghargaan dan penghormatan, tetapi malah dijebloskan ke dalam penjara dan dibunuh.Kerajaan Islam pada zaman kekuasaan Bani Umayah semakin luas sehingga sulit untuk mengendalikan dan mengawasinya, terlebih lagi dengan semakin berkurangnya penguasa yang berwibawa untuk mengawasi suatu wilayah.[49]
Sepeninggal Umar bin Abdul Azis kekhalifahan Bani Umayah berada di tangan Yazid bin Abdul Malik. Penguasa yang satu ini terlalu gandrung dengan kemewahan dan kurang memperhatikan kepentingan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga pemerintahan Hisyam bin Abduk Malik. Pada zaman ini muncul kekuatan baru yang berasal dari Bani Hasyim didukung golongan mawali.Kekuatan ini menjadi tantangan berat bagi kaum Pemerintah Bani Umayah. Hisyam bin Abdul Malik sebenarnya khalifah yang kuat dan terampil, tetapi dia muncul ketika pemerintahan diambang kehancuran. Sepeninggal Hisyam khalifah yang tampil bukan hanya lemah, tetapi juga bermoral buruk, Hal ini memperkuat golongan oposisi.Akhirnya pada tahun 750 M, daulah Bani Umayah digulingkan Bani Abbasiyah yang bersekutu dengan Abu Muslim Al Khurasani.[50]
Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Umayah lemah dan membawanya kepada kehancuran, diantaranya:
1.      Ketidakjelasan sistem pergantian Khalifah sehingga menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.
2.      Sisa-sisa Syi’ah dan Khawarij terus menjadi oposisi. Penumpasan pada golongan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.      Ada pertentangan etnis antara suku Arabia utara dan selatan yang semakin meruncing sejak zaman sebelum islam. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa bani Umayah sulit menggalang persatuan.
4.      Sikap hidup mewah di lingkungan istana , sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul tanggung jawab tatkala mereka mewarisi tahta.[51]
5.      Setelah menakhlukkan spanyol penguasa muslim tidak menjalankan kebijakan islamisasinya dengan sempurna. Penduduk Spanyol dibiarkan memeluk agamanya dan mempertahankan tradisi mereka, akibatnya muncul pertentangan antara islam dengan kristen.[52]
6.      Terpecahnya kekuasaan khalifah menjadi dinasti kecil-kecil, dan kekuatanpun terpecah-pecah dan lemah.
7.      Kemerosotan di bidang perekonomian, karena para penguasa mementingkan pembangunan fisik dengan mendirikan bangunan-bangunan megah dan monomental.[53]
8.      Munculnya kelompok khawarij dan syi’ah yang memandang bani Umayah sebagai perampas kekhalifahan.[54]
Suatu kebudayaan tentu akan mengalami pasang surut sebagaimana berputarnya sebuah roda, kadang berada diatas kadang berada di bawah. Demikian juga dengan kekuasaan sebuah imperium, satu saat dia muncul, berkembang pesat, lalu jatuh dan hilang.[55]
Di saat-saat terakhir kekhalifahan bani Umayah dipegang oleh Marwan bin Muhammad, benar-benar dalam keadaan sudah gawat. Marwan berhadapan dengan dengan berbagai persoalan, dia sibuk menutup hutang para pendahulunya, sementara itu pasukan Romawi timur bergerak hingga mampu menguasai pesisir barat asia kecil dengan semenanjung Greek, pantai Levantine, pulau Cyprus, pulau Rodes, dan Aradus. Sementara itu Marwan juga harus menghadapi pemberontakan[56] Sebenarnya dia adalah penguasa yang besar, tapi dia muncul ketika keadaan Bani Umayah benar-benar dalam keadaan merosot.[57]
Di saat terjadi banyak kekacauan itu gerakan Abbasiyah yang selama ini menyusun kekuatan secara rahasia dan mendapat dukungan dukungan dari Bani Hasyim golongan syi’ah dan kaum Mawali, menumpahkan seluruh kekuatannya untuk menggempur habis-habisan Bani Umayah.Gerakan Abbasiyah ini berhasil menguasai seluruh khurasan, dan selanjutnya menuju Irak untuk menghancurkan pasukan Marwan.Khalifah Marwan mlarikan diri ke Mesir dan ditankap di sebuah biara di pelabuhan Abusir, di Muara Sungai Nil.


F.     Penutup
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Dinasti Umayyah lahir dari gejolak politik yang haur akan kekuasaan. Dinasti Umayyah masuk Islam setelah penaklukan kota Mekah, dan hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga kehormatan dan kelanggengan kekuasaan. Akhirnya ambisi Dinasti Umayyah tercapai juga oleh keturunan yang bernama Muawiyah bin Abi Sufyan hingga mencapai masa keemasaaannya. Dan dalam system pergantian pemimpin Dinasti ini menggunakan system turun temurun, sehingga hanya keluarga kerajaanlah yang dapat memimpin kerajaan. Walaupun di permukaan tampak kacau akan tetapi pada masa kejayaannya dinasti ini mampu menghasilkan ilmuwan-ilmuwan serta karya-karya muslim popular.

DAFTAR PUSTAKA
Sunanto, Musyrifah. 2011. Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Kencana.
As Suyuthi, Imam. 2005. Tarikh Khulafa’. Jakarta Timur: Pustaka Al Kausar.
Ahmad Amin. 1987. Islam dari Masa ke Masa. Bandung: CV Rosda Bandung.
Yatim, Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Supriyadi, Dedi. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Aizid, Rizem. 2015.Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern. Yogyakarta: DIVA Pers.
K. Hitti , Philip. 2006.  History of the Arabs (Terj.). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Munir, Samsul Amin. 2006. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Al-Usairy, Ahmad.2010. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX.Jakarta: Akbar Media.
A.N, Firdaus.1997. Kepemimpinan Khalifah Umar Bin Abdilazi.Jakarta: Publicita.

Catatan:
1.      Abstrak seharusnya cuma satu paragraf.
2.      Pendahuluan berisi pengantar untuk masuk pada materi pembahasan, bukan materi pembahasan itu sendiri.
3.      Perujukan masih belum maksimal pada bagian awal.
4.      Berikan kesimpulan mengenai sistem pergantian kepalan negara.
5.      Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof. Dr., Ustadz., dll) dihilangkan.
6.      Penulisan footnote di bagian-bagian akhir banyak yang salah. Tolong lebih diteliti.


[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung: CV Pustaka Setia, 2016), Hlm. 103
[2] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015), hlm. 246.
[3]Pengertian kata “Bani” menurut bahasa berarti anak, anak cucu atau keturunan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Bani Umayyah adalah anak, anak cucu atau keturunan dari Bani Umayyah bin Abdi Syams dari satu keluarga. Sedangkan kata “Dinasti” bermakna raja-raja yang memerintah, dan semuanya berasal dari satu keturunan.Jadi, Dinasti Umayyah adalah keturunan raja-raja yang memerintah, yang berasal dari Bani Umayyah. Adapun istilah lain yang sering digunakan adalah “daulah” yang berarti kekuasaan, pemerintahan, atau negara. Dengan ungkapan lain, Daulah Bani Umayyah adalah negara yang diperintah oleh Dinasti Umayyah yang raja-rajanya berasal dari Bani Umayyah.  
[4] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015) hlm. 246-247.
[5]Ibid, hlm. 247.
[6]Alexander Agung adalah maharaja tersohor dari masa helenisme awal.Penaklukan Athena oelh Philip II dari Makedonia mengakhiri dominasi Athena atas seluruh Yunani.Alexander Agung, Putra Philip II (lahir tahun 356 SM), segera dididik dalam pola Yunani oelh Aristoteles. Ketika Philip II meninggal dunia pada tahun 336, Alexander muda langsung dinobatkan sebagai raja pada tahun yang sama,.Dalam masa Alexander Agung inilah, hampir wilayah sekitar Laut Tengah ditaklukkan dan disatukan sebagai satu imperium. Pada masa pemeintahannya (336-323 SM), proses helenisasi dapat berlangsung secara luas. Namun, Alexander Agung tidak membasmi budaya dan kepercayaan budaya setempat.Ia menghargai dewa-dewa setempat, sebagaimana ia menyembah dewa-dewi Yunani. Ini memberi ciri sinkretis pada agama masa helenisme. Karena keberanian, kepahlawanan, dan keterbukaannya terhadap agama/budaya setempat, ia mendapatkan penghargaan istimewa di seluruh wilayah hellenistik. Ia diakui sebagai raja ilahi, bukan hanya ketika masih hidup, tetapi juga setelah ia meninggal dunia ]. Ia menerima gelar “yang agung”; kuil dibuat di berbagai wilayah untuk menyembahnya; patung dibuat untuk melambangkannya sebagai pahlawan ilahi [Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis; Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Sukarno (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), hlm. 139-140]
[7] Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. 121-122.
[8]K.H Firdaus A.N, Kepemimpinan Khalifah Umar Bin Abdilaziz,(Jakarta: Publicita,1997), hlm.22
[9] Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam(Yogyakarta:Penerbit Teras,2011), hlm.89.
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung: CV Pustaka Setia, 2016), hlm. 104.
[11]Ibid, hlm. 104-105.
[12] Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2006), hlm: 123.
[13] Ibid,.
[14] Ibid,.
[15] Ibid,.
[16] Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2006), hlm: 124.
[17] Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2006), hlm: 124-125.
[18] Ibid,.
[19] Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2006), hlm: 125-126.
[20] Ibid,.
[21] Ibid,.
[22] Ibid,.
[23]Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah, 2006), hlm: 127
[24] Ibid,.
[25] Ibid,.
[26]Ibid, hlm. 128
[27] Ibid,.
[28] Ibid,.
[29] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2010), hlm. 207
[30]Ibid, hlm. 210
[31]Ibid, hlm. 211
[32] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Terj.),(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 316.
[33] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015) hlm. 257.88888
[34] Drs. Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. 132.
[35] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015) hlm. 258-261.
[36] Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 44.
[37] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Terj.),(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 289
[38] Ibid,.
[39]Ibid, hlm 291.
[40]Ibid, hlm 293.
[41] Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 42-43.
[42] Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: DIVA Pers, 2015) hlm. 255.
[43] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Terj.),(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 283-284
[44]Ibid, hlm. 285
[45]Ibid, hlm. 287-289.
[46] Imam As Suyuthi, Tarikh Khulafa’ (Jakarta Timur: Pustaka Al Kausar, 2005), hlm.298.
[47] Ibid
[48] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Bandung: CV Rosda Bandung, 1987), hlm.107.
[49]Ibid, hlm.108.
[50] Dr.Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1993),hlm.47-48.
[51]Ibid, hlm.48-49.
[52] Dedi Supriyadi, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam(Bandung:Pustaka Setia Bandung,2016),hlm.124.
[53] Ibid,125-126.
[54] PROF. DR. Imam Fu’adi, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam(Yogyakarta:Penerbit Teras,2011),hlm.94.
[55] Supriyadi, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam(Bandung:Pustaka Setia Bandung,2016),hlm.123
[56] PROF. DR. Imam Fu’adi, M.Ag., Sejarah Peradaban Islam(Yogyakarta:Penerbit Teras,2011),hlm.102
[57] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Bandung: CV Rosda Bandung, 1987), hlm.106.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar