Selasa, 29 November 2016

Penelitian Sanad dan Matan Hadis (PBA D Semester III)



PENELITIAN SANAD DAN MATAN HADIS
Lutfiana Syaidatul Aliyah, Roichatul Mabruroh, Nizar Aulia Rahman Wahid
Pendidikan Bahasa Arab Kelas D, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract:This article discusses about criticism  of  hadith. Criticism of hadith is connecting structure of  research hadith prophet Muhammad[1]. We already know that hadith is one of sources of Islamic law which guiding Muslims. Hadith prophet Muhammad is second of Islamic sources law after the holy Qur’an[2]. This criticisms are about criticism of sanad and matan hadith. Criticism of sanad is research, assessment, and tracking of individual sanad hadith narrators and acceptance hadith process of their each teachers. The purpose of this criticism is trying to find errors to find the truth. Sanad is authentic if the five elements are met, there are  connection of sanad, narrator fair, dhabit, avoid ofsyuzuz, and ‘illah. And criticism of  matan is research  to take responsibility for the content of  hadith news which coming from the prophet. And criteria of matan criticism, they are avoidance of syuzuz and avoid of ‘illah.[3]
Keyword: criticism, hadith, sanad,  matan.
Pendahuluan
Hadis merupakan sualah salah satu sumber hukum yang dijadikan manusia sebagai pedoman hidup. Kumpulan-kumpulan hadis terdapat pada kitab-kitab hadis karya para mukharrij al-hadis[4]. Dalam kitab-kitab tersebut sangatlah beragam baik dilihat dari sistematika, metode, topik penghimpunan maupun kualitas hadis yang dikandungnya. Dengan adanya keberagaman kitab hadis terutama dari segi kualitas hadis yang dikandungnya, upaya meneliti validitas hadis-hadis yang yang termuat didalamnya menjadi urgen dilakukan. [5]
Aktivitas kritik dalam ilmu hadis adalah upaya menyeleksi hadis, sehingga dapat diketahui hadis yang shahih dan tidak shahih. Dengan adanya aktivitas kritik hadis, akan memberikan keyakinan pada umat Islam untuk merealisasikan serangkaian ajaran agama dengan berpegang teguh pada hadis-hadis yang sudah terbukti keshahihannya dan meninggalkan hadis-hadis yang tidak bisa diterima sebagai dasar agama. Dengan demikian, dapat diminimalisir adanya kekhawatiran terjadi penyimpangan dalam realisasi ajaran agama yang telah diajarkan dan dicontohkan Rasulullah. Kritik hadis berorientasi pada dua aspek, yaitu kritik sanad (kredibilitas rawi) dan kritik matan (orisinalitas teks hadis).[6]
Pengertian Kritik Sanad dan Matan Hadis
Pengertian kritik sanad
Kritik merupakan alih bahasa dari kata نقد  atau dari kata تمييز. Kritik menurut istilah yaitu berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangka menemukan kebenaran. Kritik ini sebagai upaya mengkaji hadis Nabi untuk hadis yang benar benar berasal dari Nabi bukan hadis palsu.[7]Sanad menurut bahasa adalah المعتمد yaitu sesuatu yang dijadikan sandaran, pegangan, dan pedoman. [8] Sedangkan menurut istilah hadis, sanad yaitu jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis. Hadis berasal dari bahasa arab الحديث yang artinya baru. Hadis secara istilah, menurut Ibn Al Subki adalah segala sabda dan perbuatan Nabi Muhammad. Sedangkan menurut pendapat masyhur ulama, hadis adalah segala sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.[9]
Jadi, kritik sanad hadis adalah penelitian, penilaian dan penelusuran sanad hadis tentang individu perowi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (shahih, hasan dan dhaif).
Kritik atau penelitian hadis bertujuan untuk mengetahui kualitas hadis yang terdapat dalam rangkaian sanad hadis yang diteliti. Apabila dalam hadis yang diteliti terdapat keshahihan sanad hadis, hadis tersebut digolongkan hadis shahih. Kritik sanad hadis pada masa Rasulullah dan Khulafaur rosyidin memang tidak ada, karena pada dua masa ini disepakati muhadditsin sebagai masa berkumpulnya periwayatan hadis yang adil. الصحابة كلهم عدل  (semua sahabat Nabi Muhammad Saw. adalah adil).
Perhatian ulama terhadap sanad hadis muncul karenaditemukannya hadis palsu yang diciptakan oleh orang-orang zindik dan orang yang mempunyai kepentingan khusus, baik karena kepentingan politis, bisnis, maupun karena kefanatikan paham, aliran, dan mazhab.Perhatian muhaddisin terhadap sanad hadis sangat besar, diantaranya : pertama, mereka menyatakan bahwa sanad merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadis. Berikut ini pendapat para muhaddisin[10] :
1.        Muhammad bin Sirin (w. 110 H = 728 M) menyatakan :
انّ هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“sesungguhnya pengetahuan (hadis) ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu”.
2.        Abu ‘Amr Al Awza’iy (w. 157 H = 774 M)
ماذهاب العلم إلاذهاب الإسناد
“hilangnya pengetahuan (hadis) tidak akan terjadi kecuali bila sanad hadis telah hilang”
Apabila sanad suatu hadis benar-benar telah dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya, pastilah hadis itu berkualitas shahih. Analoginya, jika ada berita yang dibawa oleh orang-orang yang dapat dipercaya, penerima berita tidak memiliki alasan untuk menolak kebenaran berita itu.
Kedua, muhaddisin mempunyai banyak karya tulis yang berkenaan dengan sanad hadis. Seperti munculnya kitab-kitab tentang rijal al-hadis, diantanya Siyar A’lam al Nubala’  karya Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Usma Al-Zahabiy, al-Tarikh al-Kabir karya Al-Bukhori, dan al-Jarh wa al-Ta’dil karya Imam Ibnu Abu Khatim Al-Razi.Ketiga, ketika mereka menghadapi hadis, maka sanad hadis merupakan salah satu bagian yang mendapat perhatian khusus. Faktor-faktor penyebab kajian sanad hadis menjadi penting, pertama, tidak seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi Muhammad Saw. kedua, sering terjadi pemalsuan hadis sesudah zaman Nabi Muhammad Saw. dan ketiga, pen-tadwin-an hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan hadis.
Ulama hadis telah menetapkan syarat keshahihan hadis untuk membersihkan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. dari hadis palsu, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Al-Shalah.
أما الحديث الصحيح فهو الحديث المسند الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط إلى منتهاه ولا يكون شاذاولامعللا
“hadis shahih adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dabit sampai akhir sanadnya, tidak terdapat kejanggalan (syad) dan cacat (illat)”[11]
Pengertian kritik matan
Menurut bahasa, matan berasal dari bahasa Arab متن  artinya punggung jalan (muka jalan), tanah yang tinggi dankeras. Menurut ilmu hadis,matan adalah penghujung sanad, yaitu sabda Nabi Muhammad Saw., yang disebut sesudah habis disebutkan sanad. Matan hadis adalah isi hadis. [12] Definisi lain menyebutkan :
ألفاظ الحديث التى تقوم بها معانيه
Beberapa lafal hadis yang membentuk beberapa makna.
Dari berbagai definisi matan, intinya sama yaitu materi atau isi berita hadis itu sendiri yang datang dari Nabi. Matan hadis dibagi menjadi tiga, yaitu ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad Saw.
Kritik matan hadis merupakan kajian yang jarang dilakukan oleh muhaddisin, jika dibandingkan dengan kritik sanad hadis. Menurut mereka bukan hadis Nabi apabila tidak ada silsilah yang menghubungkan kita sampai kepada sumber hadis (Nabi Muhammad Saw.). Kalimat yang susunan kata dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum dapat dikatakan sebagai hadis, apabila tidak ditemukan  rangkaian perawi sampai kepada Rasulullah. Sebaliknya, tidak bernilai sanad hadis yang baik, apabila matannya tidak dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Kajian kitab-kitab kritik matan
Kitab yang membahas matan hadis, pertama muncul dalam bentuk penyelesaian hadis-hadis kontroversi, baik kontroversi hadis denghan hadis shahih, hadis dengan akal, maupun dengan al-Qur’an. Kitab Ikhtlaf al-Hadits yang ditulis Imam Muhammad Ibn Idris Al-Syafi’i digunakan untuk menyelesaikan hadis yang kelihatannya saling bertentangan terutama yang menyangkut hukum. Imam Ibn Qutaybah Al-Dinuri menulis kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadits, kitab ini senada dengan karya Imam Al-Syafi’i namun lebih banyak membahas hadits hadits tentang aqidah. Kitab tentang Gharib al-Hadits, Asbab al-Wurud al-Hadits dengan berbagai versinya juga termasuk kajian matan hadis.
Di zaman modern ini, perhatian ulama terhadap matan hadis lebih menonjol, sejalan dengan semakin besarnya perhatian umat terhadap hadis.[13]
Mekanisme Kritik Sanad dan Matan Hadis
Mekanisme kritik sanad
Kaidah yang digunakan dalam penelitian hadis sebenarnya sudah ada sejak lahrnya hadis itu sendiri. Hal itu terbukti dengan adanya upaya selektivitas para sahabat atas informasi-informasi tentang hadis yang tidak di dapat langsung dari Nabi, yaitu dengan mengecek ulang informasi-informasi langsung kepada Nabi. Dan berkutnya diperjelas oleh para ulama seperti Imam Syafii, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain. Abu Amr Usman ibn Abd al-Rahman bn al-Salah al-Syahrazuri merupakan salah satu ulama yang berhasil menyusun rumusan kaidah ke-shahih-an hadis. Menurutnya, bisa dikatakan hadis shahih jika hadis tersebut bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dabit sampai akhir sanad, (didalam hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syad) dan cacat (illat).Dengan mengacu pada unsur-unsur kaidah ke-shahih-an hadis tersebut, maka ulama menilai bahwa hadis yang memenuhi semua unsur itu dinyatakan sebagai hadis shahih, yaitu shahih sanad dan shahih matannya. Dalam hubungannya dengan penelitian sanad, maka unsur-unsur kaidah ke-shahih-an yang berlaku untuk sanad dijadikan sebagai acuan. [14]
1.        Aspek kebersambungan sanad
Menurut al-Bukhari, sebuah sanad dikatakan bersambung apabila memenuhi kriteria berikut : pertama al-liqa’ yaitu adanya pertautan langsung antara satu perawi dengan perawi berikutnya yang ditandai dengan adanya sebuah aksi pertemuan antara murid yang mendengar secara langsung suatu hadis dari gurunya. Kedua al-mu’asharahyaitu sanad dikatakan bersambung apabila terjadi persamaan masa hidup antara seorang guru dengan muridnya. Menurut muslim, sebuah sanad dikatakan bersambung apabila antara satu perawi dan perawi berikutnya begitu seterusnya ada kemungkinan bertemu, karena keduanya hidup dalam kurun waktu yang sama sementara tempat tinggal mereka tidaklah jauh bila diukur dengan kondisi saat itu dengan demikian Muslim hanya menekankan kebersambungan sanad pada aspek al mu’asharah semata.
Berdasarkan kedua pendapat yang berbeda, meskipun Muslim tidak seketat al-Bukhari ia juga memperhatikan adanya kemungkinan pertemuan antara jajaran perawinya meski tidak secara jelas ditegaskan. Berdasarkan istilah kebersambungan dan tidakbersambungan sanad ini kemudian muncul istilah yaitu muttasil[15], munqathi’[16], musnad, marfu’.
2.        Aspek keadilan perawi
Secara etimologi term 'adalah (adil)  memiliki arti  pertengahan,  lurus,  condong kepada kebenaran. Secara terminologi terdapat beberapa rumusan  definisi yang dikemukakan para ulama,  diantaranya al-Hakim dan al-Naisaburi yang menyatakan bahwa 'adalah seorang muhaddith dipahami sebagai seorang muslim, tidak  berbuat bid'ah,  dan maksiat yang dapat meruntuhkan moralitasnya. IbnShalah menyatakan bahwa seorang perawi disebut memiliki sifat adil jika dia seorang yang  muslim,  baligh, berakal, memelihara moralitas (muru’ah) dan tidak berbuat fasiq. Kemudian Ahmad M.Syakir menambahkan satu unsur lagi,  yaitu dapat dipercaya beritanya. Berdasarkan pendapat ulama di atas dapat di pahami bahwa seseorang di katakan adil atau bersifat 'adalahjika pada dirinya terkumpul kriteria muslim, baligh, berakal, memelihara muru’ah,  tidak berbuat bid’ah, tidak berbuat maksiat dan dapat dipercaya beritanya.
Muslim adalah unsur utama yang terkandung dalam cakupan makna adil, hal ini di haruskan bagi seseorang yang menyampaikan riwayat hadis.Sedangkan bagi kegiatan menerima hadis tidak disyaratkan.Oleh karena itu,orang kafir boleh menerima suatu hadis.[17]
3.        Aspek intelektualitas perawi
Aspek intelektualitas (dhabit) perawi dalam ilmu hadis dipahami sebagai kapasitas kecerdasan perawi hadis.Secara etimologi istilahdhabit berarti menjaga sesuatu. Aspek ini merupakan salah satu persyaratan dasar yang harus ada pada seorang perawi hadis,  agar riwayat yang di sampaikanya dapat diterima.
Secara terminologi ilmu hadis, terdapat beberapa definisi dhabit yang di kemukakan para ulama, di antaranya:al-Sarkhasi mengemukakan bahwa dhabit mengandung makna sebagai tingkat kemampuan dan kesempurnaan intelektualitas seseorang dalam proses penerimaan hadis, mampu memahami secara mendalam makna yang di kandungnya, menjaga dan menghafalnya semaksimal mungkin hingga pada waktu penyebaran dan periwayatan hadis yang di dengarnya tersebut kepada orang lain,  yaitu hingga proses penyampaian hadis tersebut kepada orang lain(ada'al-hadith).Dengan demikian, di tuntut adanya konsistensi mulai dari proses tahammul hingga proses ada'-nya.Artinya hadis yang di sebarkan itu sama persis namun tidak harus secara redaksional- dengan hadis yang diterimanya dahulu.'Ajjaj al-Khatib menyajikan formulasi dhabit sebagai intensitas intelektual seorang rawi ketika menerima sebuah hadis dan memahaminya sebagai yang di dengarnya,  selalu menjaganya hingga saat periwayatannya, yaitu hafal dengan sempurna jika ia meriwayatkannya berdasarkan hafalanya, paham dengan baik makna yang di kandungnya, hafal benar terhadap tulisannya, dan paham  betul adanya kemungkinan perubahan (tahrif) penggantian (tabdil) maupun pengurangan (tanqis)  jika ia meriwayatkan hadis tersebut berdasarkan tulisannya. Berdasarkan dua definisi di atas dapat di simpulkan bahwa aspek dhabit memeliki beberapa unsur yaitu pendengaran, pemahaman, penjagaan, dan penyampaian secara sempurna .
Ibn al-Athir al-Jazari mengukakan klasifikasi lain tentang dhabit yaitu dhabit zhahir dan dhabit batin. Dhabit zhahir diartikan sebagai kemampuan intelektual seorang perawi dilihat dari sisi makna kebahasaan,  sedangkan dhabit batin diartikan sebagai kemampuan intelektual seorang perawi dalam mengungkap hukum syara' yang di kandung oleh sebuah teks hadis yang diriwayatkanya yakni berupa fiqh. Namun demikian, yang dimaksud dengan dhabit dalam ilmu hadis menurut pendapat mayoritas ulama adalah dhabit zhahir.
Berdasarkan formulasi di atas, dapat dipahami bahwa seorang perawi layak disebut dhabit apabila dalam dirinya terdapat sifat-sifat berikut : pertama, perawi itu memahami dengan baik riwayat yang telah di dengarnya dan diterimanya.  Kedua, perawi itu hafal dengan baik atau mencatat dengan baik riwayat yang telah di dengarnya (diterimanya). Ketiga, perawi itu mamapu menyampaikan riwayat hadis yang telah di dengarnya dengan baik, kapanpun di perlukan terutama hingga saat perawi tersebut menyampaikan riwayat hadisnya kepada orang lain.
Terdapat beberapa metode yang digunakan para ulama untuk mengetahui ke-dhabit-an seorang perawi. Ibn al-shalah menyatakan bahwa ke-dhabit-an seorang perawi hadis di ketahui dengan mengkomparasikanya dengan riwayat hadis dari sejumlah perawi yang thiqah dan terkenal dhabit-nya. Apabila riwayat seorang perawi memiliki kesesuaian dengan riwayat sejumlah perawi lain, meski secara makna maka riwayatnya dapat di jadikan sebagai dalil keagamaan, namun bila menyalahi, dapat dijadikan indikasi bahwa seorang perawi tersebut tidak dhabit, dan oleh karena itu, riwayatnya tertolak untuk di jadikan hujjah. Syuhudi Ismail berpendapat bahwa ke-dhabit-an seorang perawi dapat di ketahui dengan beberapa cara : pertama, kesaksian para ulama dan popularitasnya di mata para muhaddisun.  Kedua, kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh perawi lain yang telah dikenal kedhabitanya . Kesesuaian yang di maksud boleh jadi hanya secara maknawi atau mungkin hingga secara redaksional.  Ketiga, apabila seorang perawi sesekali mengalami kekeliruan maka kelaim dhabit masih layak di pakaikan padanya namun apabila kekeliruan yang di maksud sering terjadi maka klaim dhabit yang di sandangnya tanggal dengan sendirinya.
Ada dua term yang biasa di gunakan menyangkut dhabit ini yang melambangkan tipologinya , yaitu dhabit (dhabit biasa) dan tamm al-dhabit (dhabit sempurna)  kedua bentuk tesebut apabila di nilai bobot kualifikasinya  maka dhabit tamm yang lebih bisadijadikan jaminan bahwa kesahihan hadis yang bersangkutan lebih unggu di bandingkan dhabit biasa. Terlebih apabila periwayatan hadis dilakukan secara makna maka adanya kedalaman pemahaman hadis bagi seorang perawi merupakan sebuah kemutlakan.[18]
4.        Terhindar dari syudzudz
Para ulama mengakui bahwa penelitian terhadap syadz lebih sulit jika dibandingkan dengan penelitian terhadap 'illat.Hal ini dikarenakan belum ada ulama yang membahas tentang aspek tersebut dalam bentuk sebuah kitab yang ditulis secara khusus.Sedangkan aspek 'illat, banyak ulama yang memonumentalkan karyanya dalam sebuah kitab.Sehingga, mereka bersepakat bahwa dibutuhkan pengetahuan yang luas, mendalam dan telah terbiasa melakukan penelitian hadis untuk mengetahui aspek syadz khususnya aspek 'illatdalam hadis.
Dalam terminologi ilmu hadis, terdapat tiga pendapat tentang definisi syadz, yaitu :pertama, al-Syafi'i mengatakan bahwa hadis dapat dinyatakan mengandung syadz apabila hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi thiqah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang juga bersifat thiqah. Dengan demikian, hadis syadz bukan disebabkan oleh kesendirian individu perawi dalam sanad hadis(fard mutlaq), dan juga bukan disebabkan perawi yang tidak thiqah. Kedua, al-Hafidz Abu Ya'la al-Khalili mengatakan bahwa hadis dapat dinyatakan mengandung syadz apabila hanya memiliki satu jalur saja, baik diriwayatkan oleh perawi yang thiqah maupun yang tidak, baik bertentangan atau tidak. Dengan demikian, hadis syadz sama dengan hadis yang berstatus fard mutlaq. Hal ini dikarenakan hadis yang berstatus fard mutlaq tidak memiliki syahid, yang memunculkan kesan bahwa perawinya syadz, bahkan matruk. Menurut pandangan penulis, pandangan al-Khalili akan berimplikasi pada dua hal, yaitu kehati-hatian dalam menerima riwayat hadis, di satu sisi sebagai sebuah sikap yang dituntut dalam rangka menjaga orisinalitas dan otentitas sebuah hadis. Namun, disisi lain, sikap tersebut menimbulkan implikasi negatif, yaitu adanya "pembuangan" hadis yang berstatus fard mutlaq yang mungkin berkualitas shahih atau hasan, sedangkan hadis yang berkualitas dha'if memang harus ditolak.Ketiga, al-Naisaburi mengatakan bahwa hadis dinyatakan syadz apabila hadis tersebut diriwayatkan oleh seorang perawi yang thiqah, namun tidak terdapat perawi thiqah lainnya yang juga meriwayatkan hadis tersebut.Dengan demikian, kerancuan (syadz) dalam sanad hadis disebabkan oleh kesendirian perawi, dan bukan disebabkan oleh tidak thiqahnya seorang perawi hadis.
Menurut Ismail, pada umumnya ulama lebih menukil pendapat yang dikemukakan oleh kelompok al-Syafi'i. Hal ini dikarenakan konsep al-Syafi'i tentang syadz mengandung implikasi praktis agar para ulama tidak terjebak pada kecerobohan dalam menyikapi sebuah hadis, yang dapat berakibat adanya marginalisasi(pembatasan) hadis sebagai hujjah. Menurut pandangan penulis, sikap yang diambil al-Syafi'i dilatarbelakangi oleh konstruksi tentang hadis-hadis Rasulullah. Karena dengan mengklaim hadis yang berstatus fard mutlaq sebagai hadis yang mengandung syadz, akan memberikan legitimasi (pengesahan) bagi pengeyampingan hadis Rasulullah, khususnya yang berkualitas maqbul (diterima sebagai hujjah). Dengan tidak menyimpulkan bahwa seorang yang thiqah dianggap hadisnya mengandung syadz jika hadis yang diriwayatkannya bertentangan dengan sejumlah perawi yang thiqah, hal ini sebagai upaya menjaga dan mempertahankan eksistensi hadis sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam.[19]
5.        Terhindar dari 'illat
Secara bahasa, 'illat berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebagai sebab dan kesibukan.Dalam terminologi ilmu hadis, 'illat didefinisikan sebagai sebuah hadis yang didalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadis yang secara lahir tampak shahih.Ibn Shalah mendefinisikan 'illat sebagai tempat tersembunyi yang merusak kualitas hadis, karena keberadaannya menyebabkan hadis yang lahirnya berkualitas shahih menjadi tidak shahih. Sedangkan Ibn Taimiyah mengatakan bahwa hadis yang mengadung 'illat adalah hadis yang secara lahir sanadnya tampak baik, namun ternyata setelah diteliti lebih lanjut, didalamnya terdapat perawi yang ghalt ( banyak melakukan kesalahan), sanadnya mauquf atau mursal, bahkan mungkin ada hadis lain yang masuk pada hadis tersebut.Untuk penjelasan lebih lanjut, al-Suyuthi mdngklasifikasikan menjdi 3 bagian :
1)   Sanad tersebut secara lahir tampak shahih, namun ternyata di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak mendengar sendiri dari gurunya.
2)   Sana hadis termasuk mursal dari seorang perawi yang siqah dan hafidz, padahal secara lahir nampak sahih
3)   Hadis tersebut mahfudz dari sahabat, dimana sahabat ini meriwayatkan dari perawi yang berlainan negeri.[20]
Contoh kritik sanad :
Dalam kegiatan ini, mengambil sanad Imam al-Tirmidzi yang melalui sahabat Abu Hurairah. Bunyi riwayat hadis berdasarkan sanad al-Tirmidzi adalah :
حدّثنا أبو كريب حدثنا أبو معاوية عن الأمش عن أبي صالح عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لكّل نبي دعوة مستجابة وإنّي اختبأت دوتي شفاعة لإمتي وهي نائلة إن شاء الله من مات منهم لا يشرك بالله شيئا
Urutan nama periwayat hadis         riwayat al-Tirmidzi di atas adalah : 1) periwayat I : Abu Hurairah; 2) periwayat II : Abu Salih; 3) periwayat III : al-Amasy; 4) Periwayat IV : Abu Muawiyah; 5) periwayat V : Abu Kuraib; 6) periwayat VI : at-Tirmidzi.[21]
Langkah-langkah meneliti sanad :
a.    Meneliti kualitas periwayat dan persambungan sanad
Penelitian dapat dimulai pada periwayat pertama ataupun periwayat terakhir.
1.    Al-Tirmidzi (Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn al-Dahhak atau Ibn al-Sakkan al-Sulami, atau Abu Isa al-Tirmidzi)
·         Guru al-Tirmidzi sangat banyak, diantaranya : Qutaibah Ibn Said, Ishaq bin Musa, Mahmud Ibn Gailan, Ali bin Hajar, Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Muridnya antara lain : al-Hasim ibn Kalib al-Syasi, Muhammad ibn Mahbub, Mahmud ibn Numair.
·         Pernyataan para kritikus hadis tentang al-Tirmidzi
1)     Al-Khalili : siqah muttafaqalaih
2)     Ibn Hibban : pengumpul hadis, penyusun kitab, penghafal hadis
3)     Al-Hakim Abu Abd Allah : kuat hafalannya, wara, zuhud
4)     al-Zahabi pengarang kitab al-Jami siqah mengatakan bahwa al-Tirmidzi adalah perawi terakhirdan sekaligus sebagai mukharrij yang menerima hadis dari Abu Kuraib. al-Tirmidzi adalah perawi siqah.
al-Tirmidzi adalah periwayat siqah, tidak seorang pun dari ulama kritikus hadis yang mencela pribadinya dalam hal periwayatan hadis. Dengan demikian, sigah tahammul wa al-ada haddasana yang dikemukakannya ketika menyandarkan riwayatnya dapat dipercaya. Berarti antara al-Tirmidzi dengan Abu Kuraib bersambung sanadnya.
2.    Abu Kuraib (Muhammad ibn Ala ibn Kuraib al-Hamdani, atau Abu Kuraib al-Kufi al-Hafiz)
·         Guru-gurunya antara lain : Abd Allah ibn Idris, Hafs ibn Qiyas, Abu Bakar ibn Ayyas. Murid-muridnya antara lain : Abu Hatim, Abu Zurah, Abdullah ibn Ahmad ibn Hambal.
·         Pernyataan para kritikus hadis tentang Abu Kuraib
1)     Ibn Abi Hatim : saduq
2)     Marrah : siqah
3)     Abu Amr : ahfaz
4)     Abu Amr Ahmad ibn Nasr al-Khaffaf : kuat hafalannya
Tidak seorang pun kritikus hadis yang mencela pribadi Abu Kuraib, karena beliau adalah periwayat yang siqah. Dalam periwayatannya Abu Kuraib memakai lambang sigah tahammul wa al-ada haddasana. Dengan demikian beliau telah menerima riwayat hadis dari Abu Muawiyah dapat dipercaya. Hal ini berarti antara keduanya sanadnya bersambung.[22]

3.    Abu Muawiyah (Muhammad ibn Khazim al-Tamimi al-Sadi, Abu Muawiyah al-Darir al-Kufi)
·         Guru-gurunya antara lain : Asim al-Ahwal, Abu Malik al-Asyjai, Said, al-Amasy, Dawud ibn Abi Hindi, Jafar ibn Barqain. Murid-muridnya antara lain : Ibrahim, Ibn Juraji, Yahya al-Qattan, Abu Kuraib.
·         Penyataan para kritikus hadis tentang dirinya :
1)     Muawiyah ibn Salih : sahabat yang paling kokoh
2)     Ibn al-Kharasy : saduq
3)     Ibn Hibban : hafidz dan teliti
4)     Ibn Abi Hatim : paling kokoh ingatannya
Telah disepakati bahwa Abu Muawiyah adalah siqah. Walaupun beliau menggunakan lambang al-tahammul wa al-ada an dalam menerima hadis dari al-Amasy, namun beliau adalah oerawi yang siqah dan salah seorang murid al-Amasy, dengan demikian sanad antara Muawiyah dengan al-Amasy adalah bersambung.
4.    Al-Amasy (Sulaiman ibn Mahran al-Asadi al-Kalili)
·      Guru-gurunya antara lain : Anas, Abd Allah ibn Abi Uf, Zaid ibn Wahb, Abu Wail, Qais ibn Abi Hazm. Murid-muridnya antara lain : al-hakim ibn Utaibah, Zubaid al-Yami, Abu Ishaq al-Sabi, Aulaiman al-Taimi.
·      Penyataan para kritikus hadis tentang dirinya :
1)     Al-Ajli : siqah, kokoh ingatannya
2)     Ibn Main : siqah
3)     Al-Nasai : siqah sabt
Para kritikus sepakat menyatakan bahwa al-Amasy adalah periwayat hadis yang siqah walaupun beliau menggunakan lambang al-tahammul wa al-adaan dalam menerima riwayat hadis Abu Salih, namun beliau adalah seorang perawi yang dapat dipercaya dan muridnya Abu Salih, sehingga al-Amasy dan Abu Salih ada persambungan sanad hadis.[23]
5.    Abu Salih (Zakwan, Abu Salih al-Saman al-Zayyat al-Madani)
·      Guru-gurunya antara lain : Abu Hurairah, Abu al-Darda, Abu Said al-Khurdi, Uqail ibn Abi Talib, Jabir. Murid-muridnya antara lain : Suhail, Salih, Abd Allah, Ata ibn Abi Rubah.
·      Pernyataan para kritikus
1)     Abdullah ibn Muhammad : siqah
2)     Ibn Main : siqah
3)     Abu Hatim : siqah, salih al hadis
4)     Al-Saj’i : siqah saduq
5)     Al-ijli : siqah
6)     Ibn Sad : siqah
Abu Salih merupakan periwayatan hadis yang berperingkat tinggi tadil-nya, para kritikus hadis sepakat dalam memberikan pujian kepada beliau yaitu siqah. Meskipun dalam periwayatan hadisnya menggunakan lambang al-tahammul wa al-adaan, namun beliau adalah periwayat hadis yang dapat dipercaya maka sanad antara dirinya dengan Abu Hurairah adalah bersambung.
6.    Abu Hurairah (‘Abd al-Rahman ibn Sakhr)
·         Guru-gurunya antara lain : Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar, Fadl ibn Abbas ibn Abd Muthallib, Ubay ibn Kab. Murid-muridnya antara lain : Ibn Abbas, Ibn Umar, Anas, Jabir, Abu Salih.
·         Pernyataan para kritikus :
1)     Al-Bukhari : ada kurang lebih 800 orang yang mengambil riwayat darinya.
2)     Al-Araj : Abu Hurairah paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah
3)     Talhah ibn Ubaidillah : ia adalah seorang yang begitu dekat dengan Nabi saw. dan tidak diragukan lagi bahwa ia mendengar dari Nabi saw. sesuatu yang tidak kita dengar.
Lambang al-tahammul wa al-ada yang beliau gunakan adalah qala. Menurut sebagian ulama, kata qala merupakan salah satu bentuk berita yang menggunakan bahwa hadis yang disampaikan oleh seorang sahabat diterima dari Nabi dengan cara al-sama. Dengan demikian antara Abu Hurairah dengan Nabi bersambung.[24]
b.    Meneliti kemungkinan adanya syuzuz dan ‘illah
Kekuatan sanad al-Tirmidzi ini makin meningkat jika dikaitkan dengan adanya pendukung berupa mutabi. Sanad yang memiliki mutabi terletak pada sanad-sanad pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima. Dengan demikian, semua sanad memiliki mutabi. Hanya sanad terakhir, yaitu sahabat Abu Hurairah yang tidak memiliki syahid. Ketiadaan syahid periwayat Abu Hurairah itu tidak mengurangi kekuatan periwayat yang bersangkutan karena Abu Hurairah adalah orang yang siqah tanpa syarat. Dengan alasan-alasan tersebut, sangat kecil kemungkinannya bahwa sanad al-Tirmidzi yang diteliti ini mengandung syuzuz dan illah. Karenanya, telah memenuhi syarat apabila sanad al-Tirmidzi yang diteliti ini dinyatakan terhindar dari syuzuz dan illah.[25]
c.     Mengambil Kesimpulan
Berdasarkan analisa sanad hadis, dapat dilihat bahwa seluruh periwayat hadis dalam sanad al-Tirmidzi di atas bersifat siqah dan sanadnya bersambung dari sumber hadis yakni Nabi sampai kepada periwayat terakhir al-Tirmidzi yang sekaligus sebagai mukharrijal-hadis. Hal ini berarti sanad hadis yang diteliti, sanad hadis tentang syafaat Nabi kepada umatnya yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi berkualitas sahih al-sanad.[26]

Mekanisme kritik matan hadis
Metode penelitian matan hadis berbeda dengan penelitian sanad hadis. Sehingga kriteria dan cara penilaiannya juga berbeda. Jika dalam kritik sanad hasil penilaiannya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu shahih, hasan dan dha’if, sedangkan dalam kritik matan dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu maqbul dan mardud. Dalam sejarah perkembangan hadis, penelitian sanad hadis sering dilakukan ulama, karena data dan literatur yang ada dan mendukung, sedangkan penelitian atas matan tidak begitu dilakukan. Jika kedua unsur hadis disatukan yakni sanad dan matan, kemungkinan hasil penelitian menjadi empat macam, yaitu :
1.      Hadis sanadnya shahih matannya maqbul
2.       Hadis sanadnya dha’if matannya maqbul
3.       Hadis sanadnya shahih matannya mardud
4.       Hadis sanadnya dha’if matannya mardud[27]
Hal-hal yang berkaitan erat dengan penelitian matan adalah :
a.       Unsur unsur kaedah ke-shahih-an matan
Hal yang harus diperhatikan adalah meneliti matan dengan kualitas sanadnya. Maksudnya adalah meneliti matan sesudah meneliti sanadnya, setiap matan harus bersanad dan kualitas matan tidak harus sejalan dengan kualitas sanad. Adapun unsur-unsurnya adalah tidak ada syuzuz dan ‘illah. Dalam menjabarkan dua kriteria tersebut ulama berbeda pendapat. Menuru al-Khatib al-Baghdadi yaitu : 1) tidak bertentangan dengan akal sehat; 2) Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an; 3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawattir; 4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan; 5) Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti; 6) Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitasnya lebih kuat.
Sedangkan Salah al-Din al-Idlibi menunjuk kriteria : 1) Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an; 2) Tidak bertentangan dengan hadis yang kuat; 3) Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah; 4) Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
b.      Aplikasi kaedah ke-shahih-an
berdasarkan pernyataan sebelumnya telah dijelaskan bahwa untuk meneliti matan yaitu tidak mengandung syaz dan illah. Kedua syarat tersebut dapat dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :
1.      Meneliti susunan redaksi matan yang semakna
Bentuk-bentuk dari adanya perbedaan struktur matan hadis dapat digambarkan melalui ziyadah (tambahan lafadz atau kalimat oleh periwayat tertentu sedangkan periwayat lain tidak). Bentuk dan macam-macam ziyadah periwayat siqah, bertentangan dengan kebanyakan periwayat siqah, ziyadah periwayat siqah , tidak bertentangan (ditolak), ziyadah periwayat siqah terhadap lafadz tertentu, periwayat siqah lainnya tidak.
Bentuk lain dari adanya perbedaan matan hadis adalah disebabkan adanya idraj, memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam suatu matan hadis yang diriwayatkan sehingga mengenaskan sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw. dan tidak ada penjelasan.
Selain dengan kedua cara diatas, dapat juga dilakukan dengan cara : 1) Melihat adanya perubahan bentuk kata (tashif) dan pergeseran cara baca hadis (tahrif); 2) perpindahan tata letak kata atau kalimat (taqlib/maqbul). Ada suatu hadis yang terkadang terbalik atau tertukar letak penggalan kalimatnya, bagian yang seharusnya di depan menjadi di belakang; 3) kacau atau goncang (idtirab/mudtarib). Ini terjadi jika suatu hadis diriwayatkan dengan tema tertentu dari berbagai jalur sanad melalui satu sahabat; dan 4) ‘illah al-hadis merupakan fakta penyebab yang tersembunyi keberadaannya dan tidak transparan.[28]
2.      Meneliti kandungan matn
Dengan membandingkan kandungan matn yang sejalan, yakni melalui takhrij bi al-maudu dan membandingkan kandungan matn yang tidak sejalan. Jika terjadi demikian, maka dilakukan penyelesaian dengan cara:
a.       Al-Qarafi: al-tarjih ( al-nasikh wa al-mansukh dan al-jam).
b.      Al- Tahawani: al-nasikh wa al-mansukh dan al-tarjih.
c.       Ibn Hajar al-Asqalani: al-jam, al-nasikh waal-mansukh, al-tarjih, al-tauqif.
d.      Adib Salih: al-jamu, al-tarjih dan al-nasikh wa al-mansukh.
Setelah diketahui tidak ada perbedaan yang mendalam, maka perlu pembahasan matn hadis sesuai dengan kriteria ulama hadis yang jumlahnya sebanyak dua puluh satu item dan yang disepakati sebanyak tujuh buah. Untuk memperkaya khazanah penelitianmatn diperlukan pertimbangan pengadopsian keilmuan lain dalam konteks kekinian.
3.      Menyimpulkan hasil penelitian matn
Kesimpulan yang diperoleh adalah hadis tersebut maqbul(diterima) atau mardud (ditolak).
Penelitian terhadap aspek matan hadis mengacu kepada kaedah kesahihan matan hadis ini sebagai tolok ukur, yakni terhindar dari syadz dan ‘illah.[29]
1)  Terhindar dari syad
Dibawah ini berbagai macam bentuk syad yang harus dihindari :
1.      Sisipan teks hadis (al-idraf fi al-matn)
Yaitu ucapan sebagian perawi dari kalangan sahabat atau generasi sebsudahnya, dimana ucapan tersebut kemudian bersambung dengan matan hadis yang asli, sehingga sangat sulit untuk dibedakan antara matan yang asli dengan yang telah disisipi.
2.      Pembalikan teks hadis (al-qalb fi al-matn)
Yaitu hadis jenis ini diapahami sebagai hadis yang perawinya menggantikan suatu bagian darinya dengan orang lain dalam sebuah matan hadis, baik karena sengaja maupun lupa.
3.      Memiliki kualitas sama dan tidak bisa diunggulkan salah satunya (idhtirab fi al-matn)
Yaitu hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi atau lebih dengan beberapa redaksi yang berbeda dengan kualitas yang sama.
4.      Kesalahan ejaan (al-tashif wa al tahrif fi al-matn)
Tashif kesalahan terletak pada syakalnya, sedangkan tahrif kesalahan terletak pada hurufnya.[30]
2)  Terhindar dari ‘illah
Kriteria dan tata cara mengungkapkan ‘illah pada matan, sebagaimana dikemukakan oleh al-Salafi adalah :
1.      Mengumpulkan hadis yang semakna serta mengkomparasikan sanad dan matannya sehingga diketahui ‘illat yang terdapat di dalamnya
2.      Jika seorang perawi bertentangan riwayatnya dengan seorang perawi yang lebih siqah darinya, maka riwayat perawi tersebut dinilai ma’lul
3.      Jika hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi bertentangan dengan hadis yang terdapatdalam kitabnya, atau bahkan hadis yang diriwayatkannya itu ternyata tidak terdapat dalam kitab-kitabnya sehingga oleh karenanya riwayat yang bertentangan tersebut dianggap ma’lul.
4.      Melalui penyeleksian seorang syaikh bahwa dia tidak pernah menerima hadis yang diriwayatkannya itu, atau dengan kata lain hadis yang diriwayatkannya itu sebenarnya tidak pernah sampai kepadanya.
5.      Seorang perawi tidak mendengar hadis dari gurunya secara langsung
6.      Hadis tersebut bertentangan denga hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang siqah
7.      Hadis yang telah umum dikenal oleh sekelompok orang (kaum), namun kemudian datang seorang perawi yang hadisnya menyalahi hadis yang telah mereka kenal itu, maka hadis yang dikemukakan itu dianggap memiliki cacat
8.      Adanya keraguan bahwa tema inti hadis tersebut berasal dari Rasulullah[31]


Kesimpulan
Kritik sanad hadis adalah penelitian, penilaian dan penelusuran sanad hadis tentang individu perowi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (shahih, hasan dan dhaif).[32]Kritik matan hadis merupakan kajian yang jarang dilakukan oleh muhaddisin, jika dibandingkan dengan kritik sanad hadis. Menurut mereka bukan hadis Nabi apabila tidak ada silsilah yang menghubungkan kita sampai kepada sumber hadis (Nabi Muhammad Saw.). Kalimat yang susunan kata dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum dapat dikatakan sebagai hadis, apabila tidak ditemukan  rangkaian perawi sampai kepada Rasulullah. Sebaliknya, tidak bernilai sanad hadis yang baik, apabila matannya tidak dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Bisa dikatakan hadis shahih jika hadis tersebut bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dabit sampai akhir sanad, (didalam hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syad) dan cacat (illat).[33]Penelitian terhadap aspek matan hadis mengacu kepada kaedah kesahihan matan hadis sebagai tolok ukur, yakni terhindar dari syadz dan ‘illah.[34]
Secara umum, makalah ini cukup bagus. Namun ada beberapa revisi yang harus dilakukan:
1.      Dalam kesimpulan itu tidak ada footnote.
2.      Ada beberapa keterangan yang perujukan, tetapi tidak ada.
3.      Aplikasi kritik matan pada hadis yang dibahas kok tidak ada?








Daftar Pustaka

Bustamin dan M. Isa. 2004.Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suryadi. 2009. Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta: TH-Press.
Sumbulah, Umi. 2008. Kritik Hadis. Malang: UIN-Malang Press.
Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Khon, Abdul Majid. 2008. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadis. Bogor: Ghalia Indonesia.


[1] Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: TH-Press, 2009), hlm. 5.
[2] Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 1.
[3]Umi Sumbulah, Kritik hadis,( Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 103.
[4]Mukharrij al-hadis yang dimaksudkan adalah ulama yang meriwayatkan hadis dan sekaligus melakukan pengumpulan atau penghimpunan hadis dalam kitab hadis yang ditulisnya. Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hlm. 18.
[5]Umi Sumbulah, Kritik hadis, hlm. 3-4.
[6]Umi Sumbulah, Kritik hadis,), hlm.  26.
[7] Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 99.
[8]Abdul Majid, Ulumul hadis, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 40.
[9] Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, hlm. 6.
[10] Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, hlm. 8.
[11]Bustamin, M. Isa,  Metodologi Kritik Hadis, hlm. 10.
[12] Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, hlm. 59.
[13]Bustamin, M. Isa,  Metodologi Kritik Hadis, hlm. 62.
[14]Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 101-102.
[15]Istilah muttasil dimaksudkan sebagai hadis yang bersambung sanadnya. Namun demikian istilah tersebut belum menjamin bahwa kebersambungan sanad tersebut pasti hingga Rasulullah, bisa saja hingga sahabat atau bahkan hingga tabiin saja. Oleh karena itu kemudian muncul istilah muttasil marfu’ jika kebersambungan dengan Rasulullah, muttasil mauquf  jika hingga sahabat dan muttaqil maqthu’ jika sampai ketingkat tabiin. 
[16]Tidak keseragaman pendapat ulama tatkala mereka dihadapkan pada munqathi’. Sebagian berpendapat bahwa hadis munqathi’ adalah hadis yang sanadnya tidak bersambung ditingkat manapun, baik satu tingakatan, dua tingakatan, sanad pertama, pertangahan maupun terakhir. Dengan logika demikian istilah tersebut berarti mencakup seluruh bentuk hadis munqathi’ yaitu murshol, mu’dhal, dan juga mu’allaq.Namun pada umumnya termtersebut dipakaikan pada hadis yang diriwayatkan oleh Thabaqat bawah tabiin dari seorang sahabat. Sebagai contoh adalah Malik meriwayatkan hadis dari Ibnu Umar padahal Malik tidak pernah bertemu dengannya karena dia seorang Tabi’in.
[17]Umi Sumbulah, Kritik hadis, hlm. 64.

[18]Umi Sumbulah, Kritik hadis, hlm. 69.
[19] Umi Sumbulah, Kritik hadis, hlm. 69-73.
[20] Umi Sumbulah, Kritik hadis, hlm. 73-75.
[21] Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 124.
[22] Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 127.
[23] Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 129.
[24] Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 131.
[25] Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 131.
[26] Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 132.
[27] Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 147.
[28] Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 150.
[29]Umi Sumbulah, Kritik hadis, hlm. 103.
[30]Umi Sumbulah, Kritik hadis, hlm. 104-108.
[31]Umi Sumbulah, Kritik hadis, hlm. 108-109.
[32]Bustamin, M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, hlm. 8.
[33]Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis, hlm. 101-102.
[34]Umi Sumbulah, Kritik hadis, hlm. 103.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar