Selasa, 29 November 2016

Ilmu Jarh wa Ta'dil (PAI B Semester III)





ILMU JARH WA TA’DIL
NALA KHOIRAN, MUZAYYANAH
PAI-B SEMESTER 3
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam
           
ABSTRACT: The science Jarh and Ta’dil is science which deals narrators of hadisth by emphasized piety and ugliness, thus the result can be accepted or rejected their history. This science problems arise because of the transmitters of hadith, such as counterfeiting hadith, addition or subtraction of a tradition that the original tradition. Science Jarh and Ta’dil has a very important position in the disciplines of hadith. It is based on the fact that this science is one part that can not be sparated from the other hadith sciences in determining the acceptance or rejection of a tradition. If a transmitter of hadith otherwise flawed the result memoirs will be rejected, and vice versa if a transmitter of hadith lauded with praise fair or good, then  the result  will be accepted history, as long as the requirements of other requirements to receive hadith fulfilled.  This science was originally a two  science are each running on ttrack alone and mutually exclusive. But then both of these disciplines into one unified collaboration. By looking at the relation both were so tightly thst give confidence to researchers hadith regarding the quality of the transmitter of hadith, both related to personal qualities as well as his intellectual capacity, the merger of the two sciences thet it actually adds breadth of the science of hadith criticism.

KEYWORD: Jarh, ta’dil

PENDAHULUAN
Ilmu al-jarh wa ta’dil merupakan buah manis dari jerih  payah para ulama hadits yang telah maksimal berupa menjaga dan membersihkan hadits-hadits Nabi saw dari tangan-tangan kotor yang hendak merusak dan memalsukan hadits-hadits beliau. Al-jarh wa at-ta’dil merupakan ilmu yang dapat digunakan sebagai timbangan dalam melihat kualitas para perowi. Dengan ilmu ini dapat diketahuinantinya siapa diantara para perowi yang dapat diterima riwayatnya dan siapa pula yang harus ditolak. Bahkan, ilmu ini merupakan ilmu yang tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain.
Proses untuk mendeteksi kebenaran suatu berita yang disampaikan oleh seseorang oleh seseorang melalui pelacakan dan kredibilitas penunturnya. Sifat, karakter, dan kepribadian pembawa berita sangat dipertimbangkan bahkan dijadikan sebagai landasan dalam menentukan layak tidaknya berita tersebut untuk diterima.
Proses penyampaian berita semacam ini diistilahkan adalah ilmu hadits dengan riwayat. Riwayat sangat terkait dengan sanad, dan sanad adalah tumpuan para ahli hadits dalam menilai sebuah hadits.Dari sinilah sanad menjadi sangat vital untuk menetukan status sebuah hadits.

Pengertian Jarh wa Ta’dil
            Secara etimologis, kata al-jarh merupakan mashdar dari kata jaraha-yajrahu yang berarti luka atau melukai dan dapat juga diartikan sebagai aib atau mengaibkan, sedangkan ta’di berarti lurus, meluruskan; ta’dil berarti pula tazkiyyah yaitu membersihkan dan menganggap bersih.[1]
            Sedangkan menurut istilah Jarh berarti tersifatinya seorang perowi denga sifat tercela, seperti kadzab, su’ al-hifzh, mukhtalath, ghair maa’mun, dan lain-lain, sehingga tertolak riwayatnya.Ajaj al-Khatib dalam karyanya Ushul al Hadits, mendefinisikan Jarh  sebagai sifat lahiriah seorang perowi yang keadilannya cacaat, seperti lemah ingatan, sehingga riwayatnya jatuh atau tertolak dengan tajrih ini.
Sedangkan ta’dil secara istilah berarti tersifatinya seorang perowi yang mengarah pada diterimanya periwayatannya, orang yang dinilai adil adalah orang yang tidak cacat urursan agama dan muru’ahnya, sehingga kabar dan persaksiannya dapat diterima sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi.Menurut keterangan tersebut, yang dinamakan adil adalah orang yang tidak ada ketercelaan pada dirinya, sehinggga tidak ditolak riwayatnya dan khabar yang disampaikannya.Jadi, orang yang di ta’dil atau yang dinilai adil adalah orang yang dirinya selamat dari segala celaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang perowi agar riwayatnya tidak ditolak. Seorang yang dinilai adil dalam periwayatan hadits, harus seorang muslim, mukallaf, dhabith, tsiqoh dan selamat dari kefasikan.[2]
            Al-Jarh wa al-Ta’dil pada awalnya merupakan dua ilmu yang masing-masing berjalan sendiri-sendiri dan saling berdiri sendiri. Namun kemudian kedua ilmu tersebut dikolaborasikan.Tidak diketahui secara pasti mengapa dalam perkembangan selanjutnya kedua Ilmu tersebut bergabung. Tetapi, melihat bentuk relasi keduanya yang begitu erat sehingga memberikan keyakinan kepada peneliti hadits mengenai kualitas seorang perowi, baik menyangkut kualitas  pribadi maupun kapasitas intelektualnya, penggabungan kedua ilmu tersebut justru malah menambah keluasan tentang ilmu kritik hadits.[3]
            Ilmu jarh wa ta’dil merupakan buah manis dari jerih payah para ulama’ hadits yang telah maksimal berusaha menjaga dan membersihkan hadits-hadits Nabi saw  dari tangan-tangan otor yang hendak merusak dan memalsukan hadits-hadits beliau. Al-jarh waa at-ta’dil merupakan ilmu yang dapat digunakan sebagai timbangan dalam melihat kualitas para perowi. Dengan ilmu ini dapat diketahui nantinya siapa diantara para perowi yang dapat diterima riwayatnya  dan siapa pula yang ditolak riwayatnya. Bahkan, ilmu ini merupakan ilmu yang tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain.
            Proses untuk mendeteksi kebenaran suatu berita yang disampaikan oleh seseorang melalui pelacakan dan kredibilitas penuturnya. Sifat, karakter, dan kepribadian pembawa hadits berita sangat dipertimbangkan bahkan dijadikan sebagai landasan dalam menentukan layak tidaknya berita tersebut untuk diterima. Proses penyampaian berita semacam ini diistilahkan dalam ilmu hadits dengan riwayat. Riwayat sangat terkait dengan sanad, dan sanad adalah tumpuan para ahli hadits dalam menilai sebuah hadits.Dari sinilah kemudian sanad menjadi sangat vital untuk menentukan status sebuah hadits.[4]
Penetapan Syariat tentang Jarh dan Ta’dil
            Bagi sebagian orang, tidak memahami tujuan dan maksud dilakukannya jarh dan ta’dil oleh ulama’ ahli ktitik hadist dianggap sebagai sesuatu yang tercela.Padahal bagi ahli kritik hadist, penelitian tentang keadaan periwayat-periwayat hadist dengan membersihkan orang-orang yang yang ‘adil dan mencatat orang-orang yang cacat merupakan sikap hati-hati dalam urusan agama untuk menjaga undang-undangnya, membedakan letak kekeliruan yang terjadi poada sumber asal yang menjadi bangunan islam dan asas syariah.Mereka tidak bermaksud mencela manusia, mengumpat, dan memfitnah.Tetapi mereka sekedar meneranhgkan kelemahan orang yang lemah untuk diketahui sehingga dapat dihindari periwayatann dan pengambilan hadist darinya.Menerangkan keadaan periwayat-periwayat adalah jalan yang tepat untuk memelihara hadist/Sunnah Rasulullah SAW.
            Penyampaian dan periwayatan hadist bukanlah suatu perkara yang kecil dibandingkan persaksian.Karena itu, tidaklah dditerima suatu hadist kecuali diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya (tsiqoh).Karena kesaksian dalam urusan agama lebih utama dan lebih berhak untuk dikukuhkan daripada kesaksian dalam urusa harta benda dan hak-hak manusia.
            Dalam hal ta’dil, Rasulullah bersabda :…..na’am ‘abdullah ibn  khalid ibn al-walid sayfun min suyufillahdan juga : inna ‘abdallah rajulun shalihun. Sedang mengenai Jarh, beliau bersabda: bi’sa akhu al-asyirah. Karena itu, menurut Imam Nawawi, Jarh dan Ta’dil itu sebagai upaya pemeliharaan syariat islam bukanlah ghibah ataupun umpatan. Akan tetapi, ia merupakan nasehat karena Allah, Rasulullah, dan kaum muslimin. Dengan demikian, Jarh dan Ta’dil hukumnya boleh, bahkan secara sepakat dihukumi sebagai kewajiban.[5]
Tingkatan Jarh wa Ta’dil
            Dalam muqoddimah kitab al-jarh wa al-ta’dil, Ibnu Abu Hatim membagi Jarh dan Ta’dil masing-masing menjadi 4 tingkatan, kemudian para ulama’ menambahkan masing-masing 2 tingkatan.Jadi keseluruhannya masing-masing menjadi 6 tingkatan, berikut pembahasannya.
1.      Tingkatan TA’dil dan Lafal-lafalnya
a.       Dengan lafal yang menunjukkan arti lebih atau paling atau yang berbentuk Af’al al-tafdhil. Tingkatan ini yang paling tinggi kualitasnya seperti :

فلان إليه منتهى فى التثبيت
“ si fulan adalah orang yang paling top ketguhan hati dan hafalannya”.

فلان أثيت الناس
“ si fulan adalah orang yang mantap hafalan dan keadilannya “.

b.      Dengan lafal yang menta’qidkan ketsiqohan perowi dengan membubuhi satu sifat atau beberapa sifat yang menunjukkan keadilan dan kedhabitannya, baik sifat yang dibubuhkan itu dengan mengulangnya atau semakna, seperti:
" ثقة ثقة "     : dia betul-betul tsiqoh
" ثقة ثبت "    : dia adalah orang yang tsiqoh lagi teguh

c.       Dengan lafal yang menunjukkan arti tsiqoh tanpa ta’qid, seperti contoh:
" ثقة "          : dia orang yang tsiqoh
" حجة "       : dia orang yang petah lidahnya

d.      Dengan lafal lain yang menunjukkan arti adil atau dhabith, seperti:
" صدق "                  : dia orang yang sangat jujur
" محل الصدق "          : dia orang yang berstatus jujur
" لا بأس به "             : dia orang yang tidak cacat menurut sebagian ulama’

e.       Dengan lafal yang tidak menunjukkan tsiqoh dan jarh
" فلان شيخ "             : si fulan adalah seorang guru
" روى عنه الناس "      : orang yang meriwayatkan hadits darinya

f.        Dengan lafal yang mendekati arti jarh, seperti
" فلان صالح الحديث "  : si fulan itu pantas meriwayatkan hadits
" بكتب حدبثه "           : haditsnya bisa cacat[6]

Hukum tingkatan ta’dil iatas tersebut adalah :
-          Perowi yang dita’dil dengan 3 tingkatan yang pertama hadistnya dapat dipakai sebagi hujjah, apabila masing-masing saling menguatkan.
-          Perowi yang dita’dil dengan tingkatan yang keempat dan kelima haditsnya tidak dapat dipakai sebagai hujjah, bisa dicatat dan di-ikhtibar ( dapat dipertimbangkan )
-          Perowi yang dita’dil dengan tingkatan yang keenam hadistnya tidak dapat dipaki sebgi hujjah, namun bisa dicatat untuk di-i’tibar ( sebagai pertimbangan ) tidak untuk diiktibarkan, karena jelas tidak menunjukkan arti dhabith.

2.      Tingkatan Jarh dan lafal-lafalnya
a.       Dengan lafal yang menunjukkan arti lemah, ini adalah tingkata yng paling rendah adalah Jarh, seperti :
" فلان لين الحديث "     : si fulan adalah orang yang lunak hadistnya
" فيه مقال "               : si fulan adalah orang yang diperbincangkan (kualitasnya).

b.      Dengan lafal yang menjelaskan bahwa hadistnya tidak dapt dipakai sebagai hujjah atau sejenisnya, seperti :
" فلان لا يحتج به "      : si fulan hadistnya tidak dapt dipakai hujjah
" ضعيف "                : dia adalah perowi lemah
" له مناكر "               : mulanya dia adalah perowi yang munkar
c.       Dengan lafal yang menjelaskan bahwa hadistnya tidak ditulis atu sejenisnya, seperti :
" فلان لا يكتب حديثه " : si fulan hadistnya tidak ditulis
" لا تحل روايته "        : tidak halal riwayat hadist darinya
" ضعيف جدا "           : dia adalah orang yang sangat lemah
" واه بمرة "               : dia adalh orang yang sering menduga
d.      Dengan lafal yang mengandung arti dugaan dusta atau sejenisnya, seperti :
" فلان متهم بالكذب "    : si fulan adalah orang yang diduga dusta
" متهم بالوضيع "        : si fulan adalah orang yang diduga bohong
" يسرق الحديث "        : dia adalah orang yang mencuri hadist
" ساقط "                   : dia adalah orng yang gugur
"متروك "                 : dia adalah orang yang ditingal hadistnya
" ليس بثقة "               : dia adalah orang yang tidak tsiqoh
e.       Dengan lafal yang menunjukkan sifat bohong atau sejenisnya, seperti :
" ذاب "                    : dia adalh pembohong
" دجال "                   : dia adalah penipu
" وضاع "                 : dia adlah pendusta
" يكذب "                   : dia dusta
" يضع "                   : dia bohong[7]
f.        Dengan lafl yang menunjukkan arti sangat dusta atau lafl yang berbentuk af’al al-tafdhil, seperti :
" فلان أكذب الناس "     : dia adalah orang yang paling bohong
" المنتهى فى الكذب "s  : dia adalah orang yang pling top kebohongannya
" هو ركن الكذب "       :dia adalah orang yang termasuk bohong
      Hukum tingkatan diatas tersebut adalah :
-          Perowi yang di jarh dengan 2 tingkatan yang pertama, hadistnya tidak dapat dipakai sebagai hujjah, namun hadistnya bisa dicatat sebgai i’tibar
-          Perowi yang di jarh dengan 4 tingkatan terakhir, hadistnya tidak dapat dipaki sebagai hujjah, tidak dapat dicatat dan tidak dapat diambl sebagai i’tibar.[8]




KESIMPULAN
Menurut istilah Jarh berarti tersifatinya seorang perowi denga sifat tercela, seperti kadzab, su’ al-hifzh, mukhtalath, ghair maa’mun, dan lain-lain, sehingga tertolak riwayatnya.Ajaj al-Khatib dalam karyanya Ushul al Hadits, mendefinisikan Jarh  sebagai sifat lahiriah seorang perowi yang keadilannya cacaat, seperti lemah ingatan, sehingga riwayatnya jatuh atau tertolak dengan tajrih ini.
Sedangkan ta’dil secara istilah berarti tersifatinya seorang perowi yang mengarah pada diterimanya periwayatannya, orang yang dinilai adil adalah orang yang tidak cacat urursan agama dan muru’ahnya, sehingga kabar dan persaksiannya dapat diterima sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi.Menurut keterangan tersebut, yang dinamakan adil adalah orang yang tidak ada ketercelaan pada dirinya, sehinggga tidak ditolak riwayatnya dan khabar yang disampaikannya.
Ibnu Abu Hatim membagi Jarh dan Ta’dil masing-masing menjadi 4 tingkatan, kemudian para ulama’ menambahkan masing-masing 2 tingkatan. Jadi keseluruhannya masing-masing menjadi 6 tingkatan,








DAFTAR RUJUKAN

Dr.MahmudThahhan.2007.IntisariIlmuHadits.Malang:UIN-MalangPress
Dr.UmiSumbulahM.Ag.2008.KritikHadits.Malang:UIN-MalangPress
Drs.MasjfukZuhdi.1985.PengantarIlmuHadits.Surabaya:PTBinaIlmu
H.ZeidB.Smeer,Lc,M.A.2008.UlumulHadits.Malang:UIn-MalangPress
KH.Prof.Dr.M.Abdurrahman,M.AdanElanSumarna,M.Ag.2011.MetodeKritikHadits.Bandung:PTRemajaRosdakarya
Dr.M.AlfatihSuryadilaga,dkk.2010.UlumulHadits.Yogyakarta:PenerbitTERAS

Makalah ini perlu banyak diperbaiki. Saya kira makalah terakhir dalam ditulis dengan baik, tapi ternyata masih jauh dari harapan. Beberapa perbaikan yang dapat dilakukan:
1.      Jumlah halaman yang masih sangat minimalis. Perlu diperbanyak lagi. Lihat materi pembahasan yang sudah saya cantumkan dalam SAP atau bisa berkreasi sendiri.
2.      Penulisan footnote masih salah.
3.      Penulisan gelar dalam tulisan ilmiah dihilangkan.
4.      Yang kira-kira perlu perujukan, tolong diberikan rujukan.

Namun penataan format makalah saya lihat cukup sesuai.





[1]H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. 2008. Ulumul Hadits. Malang: UIn-Malang Press. 132
[2]KH. Prof. Dr. M. Abdurrahman, M.A dan Elan Sumarna, M.Ag. 2011. Metode Kritik Hadits. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 56

[3]Dr. Umi Sumbulah M.Ag. 2008. Kritik Hadits. Malang: UIN-Malang Press. 77
[4]H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. 2008. Ulumul Hadits. Malang: UIn-Malang Press. 129
[5]Dr. M. Alfatih Suryadilaga, dkk. 2010. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Penerbit TERAS. 156

[6]H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. 2008. Ulumul Hadits.Malang: UIn-Malang Press. 169
[7]H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. 2008. Ulumul Hadits.Malang: UIn-Malang Press. 170
[8]H. Zeid B. Smeer, Lc, M.A. 2008. Ulumul Hadits.Malang: UIn-Malang Press. 171

Tidak ada komentar:

Posting Komentar