Senin, 28 November 2016

Ilmu Jarh wa Ta'dil (PAI D Semester III)




ILMU JARH WA TA’DIL
M Hanif Alaudin dan Debi Ayu Puspitasari
PAI D Semester III
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract:Considering that the establishment of a hadith based on fairness and a strong memory.Science al Jarh wa al ta'dil is the branch of science which concerned the behavior of the narrators who can meet the requirements to be accepted then attached transmitters of hadith, or vice versa. And it may be noted that this science is the science that focuses on the identity of the narrators, whether physical or natural, or others associated with narration. this knowledge has grow and develop accompaniying with periwayatan for determine the integrity and quality of hadith. Hadith become a significant knowledge for determine base foundation of al Jahr wa al Ta'diil. Knowledge of al Jahr wa al Ta'diil basicly determine on activities of law syariah decision in Islam way. Studying al jahr wa Al Ta'diil will be also explained about characteristis, standart class level, along with holy books which compilated on Ilmu Jarh wa al Ta'dil.
Keywords: Hadith,Knowledge, Science, Al Jarh wa al Ta’dil, Narrators

Pendahuluan
Perowi dalam suatu hadits itu berpengaruh pada kualitas dan kuantitas hadits tersebut.Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap perowi, seperti yang telah diterangkan oleh bab-bab sebelumnya. Di dalam Ilmu Al-Jarh wa al-Ta'dil memiliki karakteristik dengan memberikan cap kepada para perowi hadits tersebut. Apakah dia (perowi) termasuk dari orang yang jarh atau ta'dil.Karena terkadang ada seorang gerombolan masyarakat yang mencap atau mendakwah bahwa seorang perowi itu adalah orang yang memiliki keadilan yang tidak benar.Maksudnya disini adalah perowi pernah melakukan hal atau keadaan yang dapat membuatnya di anggap tidak adil.Sehingga periwayatanya di tolak atau dho'if. Perowi tersebut ada juga yang mengatakan bahwa ia pernah melakukan kesaksian yang tidak adil, pernah berbohong, dan lain sebagainya. Yang pernah diucapkan oleh masyarakat setempat.
Dan sari situlah pembahasan atau inti dari pembahasan dari Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil berlaku. Yaitu mengklasifikasikan para perowi dengan cara berbagai hukum-hukum atau sifat-sifat yang jatuh pada para perowi. Dan terdapat syarat-syarat perowi itu termasuk orang yang adil atau sebaliknya.
Syarat – syarat Diterimanya Rawi:
Kebanyakan imam – imam ahli hadits dan Fiqih sepakat mensyaratkan rawi hadits dengan dua syarat pokok yaitu :
a.       Keadilan: maksudnya bahwa rawi itu hendaklah orang muslim – baligh – berakal selamat dari sebab kefasikan – selamat dari noda – noda kesopanan.
b.      Dhabit : maksudnya bahwa rawi itu tidak menyalahi orang – orang kepercayaan dan tidak jelek hafalannya – tidak pelupa dan tidak banyak persangkaan.[1]
Dengan Apa Penetapan Adil?
Keadilan dapat ditetapkan dengan salah satu dua perkara:
a.       Dengan penentuan dua orang yang adil, artinya bahwa ulama menentukan ia sebagai orang adil atau salah satu ulama menentukan adil kepadanya.
b.      Adakalanya dengan pemberitahuan dan kemasyhuran, maka barangsiapa yang telah terkenal keadilannya diantara para  ahli ilmu dan telah banyak yang memujinya maka telah cukup dan tidak perlu lagi penenetuan orang adil, hal itu seperti para imam yang terkenal yaitu imam empat dan dua sufyan dan Al – Auza’I dan lainnya.[2]

Bagaimanakah kedhabitan rawi dapat diketahui?
Kedhabitan rawi dapat diketahui dengan persesuaian riwayatnya dengan riwayat – riwayat rawi rawi tsiqat lagi meyakinkan.Maka jika riwayatnya itu lebih banyak sesuai dengan riwayat mereka maka dia adalah seseorang yang dhabit, dan tidak merusak bilamana menyelisihinya hanya sedikit, karena jika mereka maka hilanglah sifat kedhabitannya, dan tidak dapat dijadikan hujjah.[3]
Pengertian Al-Jarh Wa al-Ta’dil
Menurut bahasa al Jarh dalam bahasa adalah جرح يجرح جرحا yang berarti melukai atau luka.Menurut istilah al Jarh adalah penjelasan tentang sifat yang dimiliki para perowi yang membahas tentang keadilannya, menjaganya, serta hafalannya.Baik dalam berhentinya periwayatan atau adanya cacatnya riwayat ataupun ditolaknya riwayat. Adapun al Tajriih adalah menyifati perowi dengan cara apakah ada hadits yang dho’ifnya riwayat atau tidak dapat diterimanya riwayat.[4]
Sedangkan al ‘Adl menurut bahasa adalah segala sesuatu yang berada di dalam setiap jiwa yaitu adanya mustaqiim atau lurus.Dan itu merupakan kebalikan dari al Jarh.Dan al ‘Adl dari manusia adalah dapat diterimanya perkataan beserta hukumnya.Dan ada yang mengatakan bahwa seseorang yang adil itu adalah adil dalam kesaksiannya. Dan al Adl  adalah lurusnya serta kokohnya dalam memegang kebenaran.[5]
Menurut istilah al ‘Adl adalah tidak adanya hal yang ditemukan dalam diri manusia adanya sesuatu yang dapat menjelekkan atau melukai dalam bidang agama, serta kewibawaan, jika sudah seperti itu maka hadits yang disampaikan serta kesaksiaannya dapat memenuhi criteria yang dibutuhkan oleh perowi.Dan al Ta’dil merupakan sifat perowi yang bersandar dalam kecerdasannya yang mana dapat di perlihatkan adanya keadilan dalam diri perowi, maka hadits yang disampaikan dapat diterima.[6]
Maka dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa Ilmu al Jarh wa al Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang tingkah dari perowi yang mana dapat memenuhi syarat-syarat menjadi perowi yang mana jika dapat memenuhi syarat-syarat menjadi perowi sudah dipenuhi maka dapat diterima hadits yang disampaikannya atau sebaliknya. Dan dapat diketahui pula bahwa ilmu ini merupakan ilmu yang terfokus pada jati diri seorang perowi, baik fisik atau sifatnya, atau yang lainnya yang berhubungan dengan perowi.[7]

Pertumbuhan Ilmu Al – Jarh wa al Ta’dil
Ilmu jarh wa al ta’dil tumbuh bersama – sama dengan tumbuhnya periwayatan hadits dalam Islam karena untuk mengetahui hadis yang shahih dan keadaan para perawinya sehingga dengan ilmu ini memungkinkan menetapkan kebenaran seorang perawi atau kedustaannya sampai mereka bisa membedakan antara yang diterima dan yang ditolak. (maqbul dan mardud). Karena itu, para ulama menanyakan pertama kali tentang keadaan para perawi, meneliti kehidupannya, dan mengetahui segala keadaan mereka setiap yang lebih half, lebih kuat ingatannya, dan lebih lama menyertai gurunya.
Demikianlah ilmu ini tumbuh dan berkembang bersama – sama dengan tumbuh periwayatan, untuk menetukan bobot dan kualitas dari pada suatu hadis. Sejak dahulu para ulama menerangkan tentang cacat atau tidaknya seorang rawi hadis, sehingga membuka tabir kegelapan dalam menentukan nilai atau kualitas hadis bagi ulama berikutnya.

Pentingnya Mempelajari Ilmu al Jahr wa al Ta’diil
Sesungguhnya bahwa sunnah nabi yang murni adalah murninya suatu syariat kedua setelah Al-Qur’an yang mana ini merupakan salah satu kemurnian yang dibutuhkan dalam suatu syariat aama islam. Dan oleh sebab itu wajib untuk menetapkan apa itu pengetahuan tentang Ilmu al Jahr wa al Ta’diil. Ilmu ini adalah imu yang bersandar pada kegiatan penetapan hukum syariat dalam agama Islam.Dan ilmu ini pula termasuk dalam ilmu-ilmu yang membahas tentang usul hadits.[8]

Sifat – sifat yang Menyebabkan Seorang Perawi Dinilai Jarh
Seorang perowi dapat tidak diterima periwayatannya manakala terdapat suatu sifat yang dapat menggugurkan keadilannya, yang memiliki efek tidak dapat diterimanya periwayatan. Sifat-sifat tersebut antara lain[9] :
1.     Dusta
Yang dimaksud dengan dusta dalam hal ini ialah bahwa orang itu pernah berbuat dusta terhadap sesuat atau beberapa hadits. Maksudnya, seorang perowi yang berbuat dusta terhadap Rosulullah SAW, seperti membuat hadits palsu, pernah menjadi saksi palsu, kecuali ia sudah bertaubat.[10]Menetapkan kepalsuan suatu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang pernah berbuat dusta adalah berdasarkan keyakinan yang kuat, bukan atas sangkaan, sehingga mungkin pada suatu saat, ia berbuat dusta dan dalam keadaan lain, ia berkata sebenarnya.


2.     Tertuduh Berbuat Dusta
Yang dimaksud dengan tertuduh berbuat dusta adalah seorang perowi sudah tenar di kalangan masyarakat sebagai orang yang berdusta.Periwayatan orang yang tertuduh dusta dapa diterima apabila dia betul-betul tela bertaubat sehingga masyarakat tidak lagi menuduh pendusta.[11]
3.     Fasik (Melanggar Ketentuan Syarak)
Yang dimaksud dengan fasik ialah fasik dalam perbuatan yang tampak secara lahiriah, bukan dalam hal I’tiqiyah, nama tetap periwayatannya ditolak.[12]Sebagaimana keterangan dalam firman Allah SWT (QS. Al-Hujurat : 7)
واعلموا أن فيكم رسول الله لو يطيعكم في كثير من الأمرِلعنتم ولكن الله حبب اليكم الإيمان وزينه في قلوبكم وكره إليكم الكفر والفسوق والعصيان أولئك هم الراشدون
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rosulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Meka iulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.[13]
4.     Jahalah
Yang dimaksud dengan jahalah adalah perawi hadis itu tidak diketahui kepribadiannya, apakah dia sebagai orang yang tercatat (Jarih).Dengan tidak dikeyahuinya itu, menjadi alasan untuk tidak diterima riwayatnya, kecuali dari golongan sahabat atau orang yang disebut dengan lafal yang menyebutkan atau menunjukkan kepada kepercayaan, seperti dengan lafal hadatsan, tsiqan, atau akhbar-nya ‘adlun, dan sebagainya.[14]
5.     Ahli Bid’ah
Yang dimaksud dengan ahli bid’ah, yaitu perawi yang tergolong melakukan bid’ah, dalam hal I’tikadi yang menyebabkan ia kufur, maka riwayatnya ditolak.[15]
6.     Hukum Men-jarh Seorang Perawi
Imam Nawawi dalam muqoddimah Sahih Muslim mengatakan, bahwa ulama telah sepakat memperbolehkan seseorang untuk mencatat (men-jarh) orang lain. Hal ini berdasarkan karena memelihara agama sehingga terhindar dari ketidak benaran dalam menentukan kualitas suatu hadis (Muslim Jil.I), mencatat atau men-jarh seperti tidaklah termasuk mengumpat atau mencela orang lain, melainkan dianggap sebagai nasihat yang harus diterima dengan lapang dada dan sesuatu yang kita lakukan demi kepentingan agama.[16]
Martabat jarh dan ta’dilserta  lafal-lafal yang digunakan adalah sebagai berikut[17] :
a.       Dengan kata-kata yang menunjukkan tercelanya seseorang perawi, yakni mensifati perawi dengan suatu sifat yang menunjukkan sangat dusta atau menuduh memalsukan suatu hadis, misalnya dengan ungkapan berikut
·         “Si fulan orang yang paling dusta.”
(فلان أكد الناس)
·         “Si fulan yang paling banyak membuat atau memalsukan hadis”
(فلان اوضع اناس)
·         “Dia sumber dusta”
(هو ضع الكذب)
            Dengan kata-kata sebagai berikut.
·         Dia dajjal atau perusak.
·         Dia orang yang banyak memalsukan hadis.
·         Dia orang yang sangat dusta.
b.      Me-nafsihi perawi dengan salah satu sifat dan memalsukan hadis, tetapi tidak terlalu menekankan atau berifat dengan yang agak kurang atau ringan keburukannya dari dusta dan memalsukan hadis, seperti :
·         Fulan tertuduh berdusta.
(فلان متهم بالكذاب)
·         Fulan memalsukan hadis.
(فلان متهم بالوضع)
·         Fulan seorang yang gugur.
(فلان ساقط)
Sebagaimana pada jarh, maka di dalam ta’dil terdapat pula martabat pada lafat-lafal yang digunakan dalam menilai seorang perawi hadis. Untuk menentukan martabat dalam ta’dil, para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan ada empat (pendapat Abu Hatim, Ibnu Soleh, dan Imam Nawawi), sedangkan Imam al- Dzahabi dan Iraq  mengatakan ada lima martabat dan menurut pendapat al-Hafidz Ibnu Hajar adalah sebagai berikut.[18]
a.       Ibarat yang menunjukkan kepada derajat perawi dengan sifat yang member pengertian, bahwa ia kuat ingatan dan amanahnya, misalnya seperti ungkapan berikut.
·         Fulan adalah orang yang dapat dipandang benar.
(فلان محله الصدق)
·         Fulan orang yang suka pertengahan.
(فلان وسط)
·         Fulan orang yang pertengahan dan syekh.
(فلان وسط شيخ)
b.      Ibarat yang masuk pada fi’il tafdil serta menyerupakan fi’il tafdil, yang menunjukkan pada mubaligh, seperti
·         Fulan orang yang paling dipercaya
(فلان اوثق الناس)
·         Fulan orang yang paling kuat hafalannya
(فلان اثبت الناس)
·         Kepadanyalah segala kesudahan
(اليه المنتهى)
Tingkatan – tingkatan Jarh  dan Ta’dil
 Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya “Al – Jarh wa At – Ta’dil” membagi semua tingkatan jarh dan ta’dil kepada empat macam dan telah menjelaskan hukum masing – masing tingkatan tersebut, kemudian para ulama menambah lagi dua tingkatan, maka akhirnya semua tingkatan jarh wa ta’dil menjadi enam macam dan inilah tingkatan – tingkatannya sekaligus lafadz – lafadznya :
a.       Tingkatan – tingkatan ta’dil dan lafad – lafadznya:
1.    Sesuatu yang menunjukan kelebihan dalam kekokohannya atau keteguhannya atau dengan lafadz yang mengikuti wazan “af ala”, dan inilah yang paling tinggi seperti ungkapan “Fulanun ilaihi al-Muntaha fi at-Tatsabbuti” Si Fulan adalah orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya, atau dengan ungkapan “Fulanun atsbata an – Nasu” Si Fulan adalah orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya.
2.      Sesuatu yang diperkuat dengan sifat tertentu atau dua sifat dari sifat – sifat tsiqah, seperti “Tsiqatun – tsiqatun” orang yang tsiqah lagi tsiqah, atau ungkapan “Tsaqatun tsabitun” orang tsiqah lagi teguh.
3.      Sesuatu yang dinyatakan dengan satu sifat yang menunjukan tsiqah tetapi tanpa ada penguatnya, seperti “Tsiqatun” orang yang tsiqah, atau dengan kata “Khujjatun” orang yang ahli kagi ppetah lidahnya.
4.      Sesutuatu yang menunjukan keadilan tetapi tanpa mengandung makan kuat ingatan (dhabbit), seperti “Makhalluhu ash – Shidqi” orang yang berstatus jujur, atau dengan ungkapan “la ba’sa bih”, orang yang tidak cacat. Menujut Ibnu Mu’in, karena ungkapan la ba’sa bih apabila dinyatakan oleh Ibnu Mu’in, maka menurut beliau berarti tsiqah.
5.      Sesuatu yang tidak ada petunjuk atas ketsiqahannya, seperti “Fulannun syaikhun” Si Fulan adalah seorang Syaikh) atau ungkapan ruwiya anhu an – nas (orang yang meriwayatkan daripadanya).
6.      Sesuatu yang mendekati jarh (cacat) seperti “Fulannun shalihu al – haditsi” (Si Fulan orang yang shalih hadisnya atau dengan “Yaktabu haditsuhu” (orang yang ditulis hadisnya).[19]
b.      Hukum tingkatan – tingkatan ini:
1.      Mengenai tiga tingakatan yang pertama, maka dengan dijadikan hujjah orang yang memiliki sifat tersebut, sekalipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian lainnya.
2.      Adapun tingkatan yang keempat dan kelima, maka tidak dapat dijadikan hhujjah bagi yang mempunyai sifat tersebut, akan tetapi hadisnya tetap ditulis dan diberitakan, sekalipun ia berada pada tingkatan kelima, bukan termasuk pada tingkatan keempat.
3.      Adapun yang berada pada tingkatan keenam, maka tidak dapat dijadikan hujjah, akan tetapi hadisnya tetap ditulis sekedar untuk pelajaran saja, bukan untuk patokan, hal itu karena nampaknya kondisi mereka yang tidak dhabit.[20]
c.       Tingkatan – tingakatan jarh dan lafad – lafadnya
1.      Yang menunjukan kelunakan: yaitu paling mudahnya tanpa jarh, seperti “Fulannun layyinu al – haditsi” Si Fulan orang yang lunak hadisnya, atau dengan ungkapan “fihi maqalun” (dia orang yang diperbincangkan).
2.      Yang secara jelas tidak dapat dijadikan hujjah atau yang menyerupainya, seperti “Fulanun la yuhtajjubih” (Si Fulan tidak bisa dijadikan dasar) atau “dha ifun” (orang yang lemah), atau “Lahu manakir” (dia adalah haditsnya mungkar).
3.      Yang jelas tidak boleh ditulis hadisnya, atau yang seperti, “Fulanun la yuktabu haditsuh” (Hadisnya si Fulan tidak boleh ditulis), atau “latahillu ar – riwayatu anh” (tidak halal meriwayatkan hadis dari dia), atau “dha ifun jiddan” (Ia amat dhaif) atau “wahim bimarratin” (orang yang berkali – kali menduga – duga).
4.      Yang tertuduh dusta atau yang sepertinya, seperti “Fulanun muhtammun bil kadzib” Si Fulan adalah orang yang tertuduh dusta), atau “muhtammun bil wadl’I (orang yang tertuduh palsu), atau “yasriqu al – haditsi (orang yang mencuri hadis), atau “saqithun” (orang yang gugur), atau “matrukun” (orang yang hadisnya ditinggalkan), atau “laisa bitsiqatin” (tidak tsiqat).
5.      Yang menunjukan sifat dusta dan yang sepertinya, contohnya “kadzdzab” (pendusta), atau “dajjal” (dajjal), atau “wadla” (pemalsu), atau “yukadzzibu” (berdusta), atau “yadla’u” (orang yang mebuat hadis dhaif).
6.      Yang menunjukan sangat dusta (yang paling jelek). Seperti “Fulannun akdzabu an – nasu” (Si Fula adalah orang yang paling dusta), atau ilaihi al muntaha fi al kadzibi” (orang yang paling dusta), atau “huwa ruknu al – kadzibi” (orang yang cenderung dusta). [21]
d.      Hukum tingkatan – tingkatan ini:
1.      Mengenai orang yang berstatus pada dua tingkatan utama, maka hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah, akan tetapi hadisnya dapat ditulis hanya untuk pelajaran saja, sekalipun ia berada pada tingkatan kedua, bukan pada tingkatan yang pertama.
2.      Adapun orang yang berada pada tingakatan – tingkatan t=yang keempat terakhir, maka hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak boleh ditulis dan tidak boleh dianggap adanya.[22]

Syarat Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil.
Seorang ulama al jarh wa al ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya obyektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat – syaratnya adalah:
a.       Berilmu, bertaqwa, wara’, dan jujur. Karena bila ia tidak memiliki sifat – sifat ini, mavka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al jarh wa al ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya.
Al-Hafidz berkata, seyogyanya al jarh wa al ta’dil tidak diterimanya kecuali dari orang yang adil dan kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengan tepat terhadap hadits yang ia ucapkan.
b.      Ia mengetahui sebab – sebab al jarh wa al ta’dil. Al – Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarh al-Nukhbah, Tazkiyah(pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab – sebabnya, bukan dari orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa.
c.       Kebanyakan hadis-hadisnya marfu’
d.      Kualitas hadisnya kebanyakan sahih
e.       Memuat hadis-hadis berbagai masalah keagamaan seperti akidah, hukum, perbudakan, tata cara makan dan minum, safar dan berada di rumah, tafsir, sejarah, kebiasaan hidup, perbuatan baik dan buruk, dan sebagainya.

Beberapa Hal yang Tidak Disyaratkan bagi Ulama al – Jarh wa al – Ta’dil.
1 dan 2 Tidak disyaratkan bagi ulama al jarh wa al – dil harus laki – laki dan merdeka. Yang penting dalam melakukan tazkiyah dan jarh, orang tersebut hendaklah orang yang adil, laki – laki maupun perempuan, orang merdeka atau hamba.
3. Suatu pendapat menyatakan bahwa tidak dapat diterima al jarh wa al – ta’dil kecuali dengan pertanyaan dua orang, seperti dalam kasus kesaksian lainnya.[23]
Namun, kebanyakan ulama menganggap cukup penilaian seorang ulama dalam al jarh wa al – ta’dil apabila memenuhi syarat sebagaimana diriwayatan oleh Al – Amidi dan Ibnu al – Hajib serta lainnya. Ibnu ash – Shalah berkata “Itu adalah pendapat yang benar yang dipilih oleh al – Khathib dan lainnya.Karena dalam hal diterimanya suatu hadist tidak disyaratkan harus oleh sejumlah orang.Lain halnya adilnya rawi tidak disyaratkan dengan hukum syahadah atau kesaksian.[24]

Tata tertib Ulama al jarh wa al – ta’dil
Ada beberapa point tata tertib yang perlu diperhatikan oleh ulama al jarh wa al – ta’dil. Diantaranya adalah :
1.      Bersifat Objektif dalam tazkiyah, sehingga ia tidak meninggikan seorang rawi dari martabat yang sebenarnya atau merendahkannya. Sebagaimana yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini.
2.      Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu disyari’atkan lantaran darurat, sementara darurat itu ada batasnya.
3.      Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus, tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya. Karena sikap yang demikian berarti telah merampas hak rawi yang bersangkutan dan para muhadditsin mencela sikap yang demikian.
4.      Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu dijarh, karena hukumnya disyari’atkan lantaran darurat. Maka dalam kondisi tidak adanya daruratnya jarh tidak dapat dilaksanakan. Para ulama mencela perbuatan yang berlebihan dan melarang keras serta memperingatkan bahwa perbuatan itu adalah suatu kesalahan.[25]
Syarat Diterimanya al – Jarh wa al – Ta’dil
Syarat pertama, al – jarh wa al – ta’dil diucapkan oleh ulama yang telah memenuhi segala syarat sebagai ulama al jarh wa al – ta’dil.
Syarat kedua, jarh tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab – sebab.[26]
Apakah dapat diterima jarh dan ta’dil tanpa dengan penjelasan?
a.       Mengenai ta’dil maka dapat diterima sekalipun tanpa disebutkan sebabnya, menurut pendapat yang masyhur, karena sebab – sebabnya banyak sekali sulit
untuk dibatasi, sebab orang yag menta’dil akan harus menyatakan misalnya: “lam yaf al kadza” ia tidak dapat melakukan perbuatan begini, dan “huwa yaf alu kadza wa yaf alu kadza wa hakadza” ia selalu mengerjakan begini, dll.
b.      Adapun mengenai jarh maka tidak boleh diterima kecuali dijelaskan sebabnya, karena hal itu tidak sulit untuk disebutkan, disamping para ulama sendiri berbeda pendapat mengenai sebab – sebab kejarhannya, kadang seorang menjarh dengan sesuatu yang tidak beralasan, Ibnu Shalah berkata “dan ini telah nampak jelas disepakati dalam ilmu Fiqh dan Ushulnya. “Al – Chatib Al – Hafidz menyebutkan bahwa itu adalah pendapat para imam Huffadzul Hadits, sedang orang yang menanggapinya adalah Imam Bukhari dan Imam Muslim serta imam – imam lainnya, karenanya beliau tetp berhujjah dengan segolongan terdahulu yang tidak menjarh terhadap mereka, seperti hal Ikrimah dan Amru bin Marzuq, sementara Imam Muslim berhujjah dengan Suwaib bin Sa’id dan segolongan yang terkenal cacatnya, dan seperti beginilah yang dilakukan oleh Abu Dawud. Dan demikian itu merupakan indikasi bahwa mereka itu berpendapat bahwa sesungguhnya jarh itu tidak dapat tetap kecuali apabila dijelaskan atau disebutkan sebab – sebabnya.[27]
Apakah dapat ditetapkan jarh dan ta’dil dengan seorang saja?
a.       Yang benar bahwa jarh dan ta’dil dapat ditetapkan dengan seorang saja.
b.      Ada pendapat yang menyatakan bahwa jarh harus dari dua orang.[28]
Berkumpulnya jarh dan ta’dil dengan seorang rawi:
Apabila berkumpul dalam satu rawi jarh dan ta’dil maka:
a.       Yang dipengangi adalah mendahulukan jarh apabila disebutkan sebab jarhnya.
b.      Ada yang mengatakan, jika bertambah bilangan orang yang menta’dilkan dari pada orang – orang yang menjarh maka didahulukan ta’dilnya, pendapat ini lemah tidak dapat dipengangi.[29]
Kitab-kitab yang disusun mengenai jarh dan ta’dil ialah:
1.      At – Tarikh al – Kabir karya Imam Bukhari, sebuah kitab umum mengenai rawi – rawi tsiqatdan dla’if.
2.      Al – Jarh wa al – Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim, juga merupakan kitab umum tentang rawi rawi tsiqat, dla’if, menyerupai kitab yang sebelumnya.
3.      Ats – Tsiqat karya Ibnu Hibban, sebuah kitab khusus tentang rawi – rawi.
4.      Al – Kamil fi al – Dlu’afa karya Ibnu A’dy, sebuah kitab khusus tentang biografi rawi – rawi dla’if, sebagaimana nampak dari namanya.
5.      Al – Kamal fi Asma’ir Rijal karya Abdul Ghani al – Maqdisi, sebuah kitab umum tapi hanya khusus tentang rijal dan kutubus sittah.
6.      Mizanul I’tidal karya Al – Dzahaby, sebuah kitab khusus rawi – rawi dla’if dan matruk (tiap – tiap rawi yang dijarh sekalipun jarhnya tidak dapat diterima).
7.      Tahdzibu al – Tahdzib karya Ibnu Hajar, merupakan tahdzibat dan ringkasan kitab Al – Kamal fi Asma’ir Rijal.[30]
Kesimpulan
            Ilmu al Jarh wa al Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang tingkah dari perowi yang mana dapat memenuhi syarat-syarat menjadi perowi maka dapat diterima hadits yang disampaikannya atau sebaliknya. Dan dapat diketahui pula bahwa ilmu ini merupakan ilmu yang terfokus pada jati diri seorang perowi, baik fisik atau sifatnya, atau yang lainnya yang berhubungan dengan perowi. Ilmu ini tumbuh dan berkembang bersama – sama dengan tumbuh periwayatan, untuk menetukan bobot dan kualitas dari pada suatu hadis. Pentingnya mempelajari ilmu ini wajib untuk menetapkan apa itu pengetahuan tentang Ilmu al Jahr wa al Ta’diil. Ilmu ini adalah imu yang bersandar pada kegiatan penetapan hukum syariat dalam agama Islam. Dalam ilmu jarh wa al Ta’dil dijelaskan sifat – sifat, tingkatan – tingkatan serta kitab – kitab yang disusun mengenai llmu jarh wa al Ta’dil.
            Ibnu Abi Hatim dalam kitabnya “Al – Jarh wa At – Ta’dil” membagi semua tingkatan jarh dan ta’dil kepada empat macam dan telah menjelaskan hukum masing – masing tingkatan tersebut, kemudian para ulama menambah lagi dua tingkatan, maka akhirnya semua tingkatan jarh wa ta’dil menjadi enam macam.

Daftar Rujukan
Ahad , Muhammad, 1989, Ushulul Hadits. Bayrut: Daar al Fikr.
Al-Qur’an Al-Kariim, Jakarta : Kemenag
Ajaj Muhammad Al Khotib,2006, Ushulul Hadits, Kuala Lumpur:IIUM.
Nuruddin, 1938, Ulum Al- Hadis I. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sahrani,Sohari,2010, Ulumul Hadits,Bogor: Ghalia Indonesia
Thahlan, Mahmud, 2003, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi. Yogjakarta: Titian Ilahi Press.

Revisi:
1.      Pendahuluan tidak berisi materi pembahasan.
2.      Materinya lumayan bagus, tetapi tidak rapi. Tolong dirapikan sesuai sengan yang tertulis di SAP.
3.      Manfaat dan pentingnya ilmu jarh wa ta’dil tolong lebih dielaborasi lagi, sebab masih sangat minim.




[1] Mahmud Thahlan, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi,(Yogjakarta: Titian Ilahi Press, 2003). hml 158
[2]Ibid, hlm. 158
[3]Ibid, hlm. 159
[4] Muhammad ‘Ahad, Ushulul Hadits, (Bayrut: Daar al Fikr, 1989). hlm. 309
[5]Ibid, hlm. 112
[6]Muhammad Ijaj Al Khotib, Ushulul Hadits,(Kuala Lumpur; IIUM, 2006).hlm. 310
[7]Ibid, hlm. 308
[8]Ibid hlm. 311
[9] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 152
[10]Ibid hlm. 152
[11]Ibid hlm. 153
[12]Ibid hlm. 153
[13] Al-Qur’an Al-Kariim, (Jakarta : Kemenag RI)
[14]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 153
[15]Ibid hlm. 153
[16]Ibid hlm. 154
[17]Ibid hlm. 155-157
[18]Ibid hlm. 158                         
[19] Mahmud Thahlan, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi. Yogjakarta: Titian Ilahi Press, 2003. hml 170
[20]Ibid, hlm.171
[21]Ibid, hlm. 171
[22]Ibid, hlm. 172
[23] Nuruddin, Ulum Al- Hadis I. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1938. hml 80
[24]Ibid, hlm 80
[25]Ibid, hlm 80
[26]Ibid, hlm 82
[27]Mahmud Thahlan, Ulumul Hadis Studi Kompleksitas Hadis Nabi, (Yogjakarta: Titian Ilahi Press, 2003). hml 159
[28]Ibid, hlm. 160
[29]Ibid, hlm. 160
[30]Ibid, Hlm. 166

Tidak ada komentar:

Posting Komentar