Selasa, 26 April 2016

Mengapa Tidak Ditemukan Eksistensi Malaikat dalam al-Dzariyat: 56?



Tersebutlah sebuah ayat yang sangat popular dan barangkali setiap dari kita telah hafal di luar kepala meskipun tidak diniati untuk menghafalkannya. Ayat tersebut adalah QS. al-Dzariyat [51]: 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu”

Bagi kita yang berpikirnya serba sederhana ini, makna ayat di atas terasa jelas sekali, bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk menyembah pada-Nya. Artinya, kita sebagai manusia yang hidup di atas muka bumi ini diwajibkan untuk selalu beribadah dan taat pada Allah swt. Nuansa normatifnya terasa gamblang agar ibadah kepada Sang Pencipta menjadi rutinitas yang harus dilakukan oleh manusia setiap saat. Eksistensi manusia adalah sebagai hamba dan Allah sebagai Tuhan yang telah menciptakan hamba.
Namun bila sedikit nakal, mungkin timbul pertanyaan, mengapa dalam ayat tersebut tidak ditemukan kata malaikat. Apakah malaikat diciptakan tidak untuk menyembah pada-Nya? Apakah hanya jin dan manusia saja seperti pesan secara tekstual ayat tersebut? Padahal dalam berbagai ayat lainnya, Allah secara jelas telah menyebut banyak keistimewaan malaikat dan secara eksplisit mengatakan keberadaan mereka sebagai hamba seperti QS. al-Anbiya’: 26 “Bal ‘ibaadun mukramuun” (Sebenarnya malaikat-malaikat itu adalah hamba-hamba yang dimuliakan) dan para malaikat selalu beribadah pada Allah seperti QS. al-A’raf: 206 “laa yastakbiruuna ‘an ‘ibaadatihi” (para malaikat tidak merasa enggan untuk menyembah Allah).
Lantas, yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa eksistensi malaikat tidak disebutkan dalam QS. al-Dzariyat ayat 56? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu untuk menelisik bagaimana jawaban dari ahli tafsir terkait adanya ganjalan dalam pikiran tersebut. Berikut beberapa jawaban yang bisa diketengahkan berbekal eksplorasi dari kitab tafsir Mafatih al-Ghaib karya seorang pemikir besar abad pertengahan, Fakhruddin al-Razi:
Pertama, ayat-ayat yang ada sebelumnya berbicara mengenai kekafiran, sehingga korelasi yang dibangun oleh ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya adalah keburukan yang diakibatkan perilaku kekafiran karena meninggalkan tujuan diciptakannya hamba. Jika dipahami, jin dan manusia merupakan dua makhluk yang melakukan perilaku yang buruk ini dan bukannya malaikat. Oleh sebab itulah, dalam ayat ini hanya jin dan manusia saja yang eksis dan tidak disebutkan kata malaikat. Secara kuantitas, perilaku kafir dari kalangan jin lebih banyak dibandingkan dengan manusia, dan hal tersebut berimplikasi pada kata jin dalam ayat ini lebih didahulukan daripada manusia.
Kedua, selain manusia, Nabi juga diutus untuk bangsa jin. Ayat popular ini mengingatkan pada bangsa jin tersebut mengenai keberadaan dari makhluk (ciptaan) adalah untuk beribadah pada Sang Pencipta. Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah ketuhanan pun mengkhususkan hal ini pada makhluk-makhluk yang memang menjadi umatnya, baik dari kalangan bangsa jin maupun manusia. Dengan demikian, ayat ini terkait dengan dua golongan audiens yang menjadi umat Nabi Muhammad saw., yakni jin dan manusia, sehingga di dalamnya tidak mencantumkan kata malaikat.
Ketiga, para penyembah berhala lebih memilih untuk menyembah malaikat daripada menyembah Allah. Mereka merasa bahwa tidak pantas rasanya apabila harus menyembah Allah secara langsung, sehingga mereka pun menyembah malaikat yang notabebenya diciptakan dan dijadikan untuk dekat dengan-Nya. Bagi para penyembah berhala ini, malaikat menyembah Allah dan dijadikan untuk beribadah kepada-Nya. Maka dari ini, penyembahan pada malaikat pun dilakukan dengan asumsi bahwa mereka sama seperti beribadah kepada Allah. QS. al-Dzariyat ayat 56 pun turun untuk membantah perilaku menyimpang ini.  Ayat ini menegaskan bahwa pengetahuan adanya malaikat yang menyembah Allah adalah benar adanya, tetapi perilaku penyembahan terhadap malaikat merupakan hal yang terlarang. Seharusnya hanya kepada Allahlah penyembahan itu dilakukan. Karena faktor inilah perintah malaikat untuk beribadah pada Allah tidak tercakup dalam ayat ini, sebab telah diketahui dalam pengetahuan yang tertanam dalam benak para penyembah berhala sebelumnya dan tidak termasuk pengetahuan yang perlu disanggah. Dengan demikian, maka kata malaikat pun tidak muncul dalam ayat yang popular ini.   
Keempat, dalam kata jin tercakup juga kata malaikat, sebab jin termasuk makhluk yang tertutup atau tidak terlihat oleh makhluk. Karakter ini serupa dengan karakter yang menempel pada malaikat. Terkait dengan hal ini, dalam ayat ke 56 dari surat al-Dzariyat, kata jin lebih didahulukan daripada manusia dikarenakan masuknya malaikat dalam kata jin tersebut, yang mereka termasuk makhluk yang lebih banyak ibadah dan lebih ikhlas. Jadi, tidak disebutkannya kata malaikat dalam ayat ini bukan berarti mereka tidak ada. Mereka memang tidak ada secara eksplisit, tetapi secara implisit mereka ada lewat kata jin.      
Kelima, dalam al-Qur’an, kata “khalq” mempunyai relasi langsung dengan penuturan masa dan anggota badan seperti Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa (al-Furqan: 59) dan Allah menciptakan dengan “kedua tangan-Nya” (Shad: 75), sedangkan kata “amr” tidak terdapat hal-hal yang seperti disematkan pada kata khalq. Bahkan dalam QS. al-A’raf: 54 ditegaskan bahwa keduanya merupakan dua entitas yang berbeda “alaa lahu al-khalq wa al-amr.” Malaikat bisa dikatakan seperti ruh yang termasuk “alam amr” (qul al-ruuhu min amri rabbii, QS. al-Isra: 85) yang tidak memerlukan berlalunya masa. Dalam al-Dzariyat: 56 disebutkan dengan kata “wa maa kholaqtu” yang berarti hanya mencakup “alam khalq” semata sehingga malaikat tidak masuk di dalamnya. Namun, pendapat ini dianggap batil oleh Fakhruddin al-Razi, karena semua hal yang eksis nyata diciptakan oleh Allah swt tanpa terkecuali (QS. Ghafir: 69). Alam sendiri merupakan sesuatu yang ada selain Allah, yang biasa disebutkan dengan “kullu maa siwa Allahi ‘aalam” (segala sesuatu yang ada selain Allah disebut sebagai alam).
Itulah lima jawaban yang dapat ditawarkan untuk menjawab pertanyaan mengapa dalam ayat yang popular itu tidak disebutkan kata malaikat juga. Jawaban-jawaban yang muncul berasal dari kitab tafsir Mafatih al-Ghaib yang terkenal sebagai kitab tafsir dengan corak bil ra’yi, yakni corak tafsir yang mengedepankan akal pikiran mufassir. Hal yang diharapkan bukan hanya ditemukannya jawaban, melainkan juga terpuaskannya akal pikiran seseorang dalam memahami jawaban-jawaban yang disampaikan. Itulah yang menjadi salah satu kelebihan tafsir bil ra’yi.


Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad


Tidak ada komentar:

Posting Komentar