Kamis, 21 April 2016

Antara Seorang Guru dan Seorang Pemikir



Guru merupakan sosok yang mendidik manusia agar menjadi pribadi yang lebih baik dari sisi intelektual maupun spiritual. Tanpa adanya guru, kehidupan manusia tidak akan pernah bisa berkembang, dan transfer keilmuan tidak akan pernah terjadi. Kaitannya dengan ini, guru hendaknya dipahami bukan hanya dalam wilayah formal saja seperti di sekolah-sekolah, tetapi juga dalam wilayah-wilayah informal sehingga cakupannya luas. Eksistensi guru sangat urgen dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Bahkan, sahabat Ali bin Abi Thalib, sebagaimana dilansir oleh Burhanuddin al-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim, pernah mencantumkan statemen yang luar biasa dan barangkali cukup kontroversial bila dipandang secara sempit bahwa beliau (sahabat Ali) merupakan budak orang yang pernah mengajarinya meskipun hanya satu huruf saja. Dalam konteks ini, orang yang mengajarinya tersebut dapat berbuat apapun sesuka hatinya kepada sahabat Ali bin Abi Thalib, baik menjual, memerdekakan, maupun juga tetap menjadikannya sebagai budak. Inilah yang mendasari sikap seorang murid yang benar-benar patuh pada guru yang telah mengajarinya, sebab diyakini bahwa guru tidak mungkin menggelincirkan murid dalam kehancuran.
Dalam tataran realitas, guru akan menegur muridnya yang melakukan kesalahan atau berada dalam rambu-rambu yang menurutnya kurang tepat. Apabila terdapat kesalahan, maka guru akan membenarkan dan memberinya saran apa saja yang seyogyanya dilakukan. Dengan penuh kasih sayang, ia mengingatkan murid-muridnya akan jalan yang “lurus” dalam sebuah kehidupan. Namun sebelum mengingatkan anak-anak didiknya, ia terlebih dahulu memberikan contoh suri tauladan terkait apa yang hendak disampaikannya, paling tidak hal ini tergambarkan seperti kepanjangan dari kata guru yang sangat populer di masyarakat, yakni diGUgu dan ditiRU (walaupun tidak semua seperti itu).
Para guru lebih banyak bergerak pada aspek normativitas, sehingga gaya berpikir yang terlalu mendalam atau njelimet pun agaknya ditinggalkan. Hal-hal yang dianggap tidak berguna – meskipun bagi orang lain berguna – dan sepertinya hanya menghabiskan waktu diacuhkan begitu saja, terlebih lagi pada hal-hal yang berpotensi “menggoyang” pemikiran anak-anak didikannya. Bagi para guru, aspek yang paling penting dalam kehidupan adalah bagaimana berbagai ilmu yang disampaikan bisa diserap dengan mudah oleh para murid, juga anak didik bisa mengamalkan kebaikan-kebaikan dalam hidupnya sehingga hidup mereka menjadi kehidupan yang berkah dan juga selamat di dunia dan akhirat. Pengetahuan yang ditransfer pada murid pun bukan pengetahuan yang membuat “aneh” lingkungan sekitar, tetapi pengetahuan yang sudah sesuai dengan mainstream yang berkembang.
Di sisi yang lain, muncul pemikir yang merupakan sosok dengan kemampuan nalar tinggi. Mereka menggunakan potensi akal pikiran dengan cukup radikal, mirip seperti kalangan Mu’tazilah atau filosuf muslim dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman. Hal-hal yang tidak terpikirkan dan tidak dipikirkan oleh orang pada umumnya dibahas oleh mereka secara menyeluruh. Bagi mereka, manusia diberikan akal oleh Allah, dan sudah sewajarnya dipergunakan secara maksimal oleh manusia untuk berpikir, memikirkan segala hal yang ada tanpa terkecuali. Dalam banyak ayat, Allah pun telah secara eksplisit memerintahkan manusia untuk berpikir dengan segala macam redaksi yang sangat popular, baik “afalaa ta’qiluun”, “afalaa tatafakkaruun” maupun kata-kata lainnya.
Produk pemikiran yang dihasilkan oleh seorang pemikir pun terkadang bertabrakan atau berseberangan dengan apa yang telah diyakini oleh masyarakat pada umumnya. Mainstream yang telah tertanam dalam pengetahuan yang mengkristal di masyarakat agaknya digoyang-goyang oleh produk pemikiran yang dihasilkan. Masyarakat meyakini kasus A harus “begini” misalnya, namun bagi si pemikir malah berkata harus “begitu.” Cara berpkir yang berbeda menyebabkan adanya perbedaan dalam pengetahuan yang dihasilkan. Satunya memakai pola pikir standart, tetapi yang satunya menggunakan pola pikir yang njelimet. Jika coba disatukan, maka tidak akan bisa bertemu kecuali orang yang berpikir standart bekerja keras memahami jalan pikiran orang yang berpikir njelimet.
Dalam melihat sesuatu, pemikir lebih cenderung melihat sesuatu itu dari sisi historisitasnya dan bukan normativitasnya belaka. Historisitas menentukan wujud realisasi di lapangan, sehingga tinjauan pada historisitas menempati posisi yang sangat urgen. Tidak hanya itu saja, setelah melihat aspek historisitasnya, para pemikir juga mulai mengkajinya dalam berbegai perspektif yang ada dan dengan jalan berpikir yang mendalam. Bisa juga, tatkala muncul hal-hal yang “salah” dalam kacamata umum, maka tidak langsung disalahkan oleh pemikir. Mereka harus berpikir terlebih dahulu, apakah memang perbuatan itu benar-benar salah atau hanya karena memang akal si pemikir tidak mampu memahami jalan pikiran orang tersebut. Di sinilah barangkali muncul hal-hal yang tidak terpikirkan dan dipikirkan oleh masyarakat, dan ternyata dihasilkan oleh jalan pemikiran para pemikir.
Itulah kiranya telaah singkat dan mungkin agak subjektif mengenai perbedaan antara seorang guru (teacher) dan seorang pemikir (thinker), yang jika ditarik dalam tataran yang lebih luas adalah perbedaan antara Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin meskipun disadari bahwa masing-masing fakultas memiliki berbagai jurusan dengan karakteristik-karakteristik sendiri-sendiri, dan tidak mesti juga harus sebagaimana yang diceritakan sebelumnya. Tinggal yang menjadi pertanyaan, Anda mau pilih yang mana? Apakah menjadi seorang guru atau seorang pemikir, atau barangkali menjadi orang yang mampu mengkombinasikan keduanya? Itu semua terserah pribadi Anda. Yang jelas, bagi saya, keduanya merupakan sosok penting dalam kehidupan agar kehidupan semakin indah krena tidak dihegemoni oleh satu corak warna kehidupan saja. Masak hidup kok semua isinya guru saja atau pemikir saja, ya bosen to? Iya nggak? Hehe..  
          
          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar