HADIS DAN HISTORINYA
Anisa Nur Alviani (18110038) dan Roisatul Muslimah (18110126)
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail :anisanuralviani10@gmail.com
Abstract: Hadith is a legal source
that has the second position after the Koran. Hadith is as an explanation of
the verses of the Koran. Without the Hadith of Muslims the difficulty will be
in the implementation or practice of the Koran. Then what is the Hadith and how
is the history of the development of the Hadith? In this article will explain
what is hadith, also the types of hadith, the development of Hadith and the
differences between Hadith, Sunnah, Khabar and Atsar.
Keywords: Hadith, History of the
development of Hadith
Abstrak: Hadis adalah sumber hukum
yang memiliki kedudukan ke dua setelah Alquran. Hadis adalah sebagai penjelas
dari ayat-ayat Alquran. Tanpa adanya Hadis umat islam akan kesulitan dalam
pelaksanaan atau praktik dalam Alquran. Lalu apakah Hadis itu dan bagaimana
sejarah perkembangan Hadis? Didalam artikel ini akan menjelaskan apa itu hadis,
juga macam-macam hadis, perkembangan Hadis dan perbedaan antara Hadis, Sunnah,
Khabar dan Atsar.
Kata kunci : Hadis, Sejarah
perkembangan Hadis
A.
Pendahuluan
Kita sebagai umat Islam dalam berbuat, beribadah, berperilaku itu
semua diatur dalam sebuah system. Sitem tersebut biasa kita sebut sebagai hukum
Islam. Hukum-hukum Islam juga memiliki berbagai sumber, salah satunya yaitu
hadis. Dalam hukum Islam disebutkan bahwa hadis menempati urutan kedua setelah kitab
suci Alquran, yang selanjutnya yaitu ijma dan qiyas. Secara umum hadis biasa
disebut sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saw.walaupun
pada dasarnya semua yang ada pada diri Nabi berasal dari Allah swt. termasuk
ucapan beliau.
Setiap sesuatu pasti ada sejarah terbentuknya, seperti halnya hadi
itu sendiri. Pada awalnya hadis belum sefenomenal dan sangat mudah kita
dapatkan seperti saat ini, karena sea itu pasti ada prosesnya. Dan di setiap
proses pasti tidak berlangsung secara cepat dan mudah karena pasto ada
rintangan dalam proses itu sendiri, namun di balik rintangan itu pasti ada
saatnya kita menuai keberhasilan atau titik puncak sebelum mencapai garis akhir
dari proses itu sendiri.
Di dalam hadis itu sendiri juga bukan berasal dari perkataan Nabi
saja, namun juga da perbuatan serta ketetapan yang berasal dari Nabi yang
berisi kebaikan yang nati halnya dapat kita jadikan contoh dalam berperilaku
dalam kehidupan sehari-hari. Di hadis juga terdapat beberapa tingkatan.
Tingkatan-tingkatan ini juga dapat kita gunakan sebagai tolak ukur mana hadis
yang baik, hasan atau bahkan hadis dhoif.
B.
Pengertian
Hadis
Hadis secara bahasa dari kata (al-hadits) sesuatu yang baru, bentuk
jamak dari hidats, hudatsa’, dan huduts[1].
Adapun Hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi saw. Baik berupa perkataan,
perbuatan, dan persetujuan. Dalam islam terdapat dua sumber hukum yaitu Alquran
dan Hadis. Kedua sumber hukum tersebut
saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam perannya
memberikan petunjuk makhluk hidup. Jika Alquran merupakan sumber utama yang
berisi prinsip-prinsip pokok kehidupan yang diterangkan secara mujmal, maka Hadis diterangkan secara mubayyin dan tuntunan operasionalnya[2].
ada pernyataan yang mengatakan tanpa adanya Hadis akan banyak menjumpai
kesulitan untuk mempraktikkan Alquran. Terdapat banyak perbedaan pendapat para
ulama dalam memeberi definisi Hadis dapat dilihat dari definisi yang dimajukan
para ahli hadis (muhadditsn), ulama ushul fiqih (ushliyyn) dan para ulama’ fiqh (fuqah’).[3]
Munculnya perbedaan dalam mendefnisikan hal tersebut terjadi adanya
perbedaan tinjauan dan objek dalam kajian yang sessuia dengan keilmuan
masing-masing. Secara bahasa hadts berarti jadd (baru) juga bermakna berita.[4]
Dari pernyataan tersebut Hadis lebih mengacu pada perkataan. Akan tetapi dalam
perkebangan Hadis mengalami perluasan makna Hadis, yang didefinisikan sebagai
segala perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan kepada Rosullullah[5].
Selain itu Hadis juga digunakan untuk sesuatu yang disandarkan kepada Allah
yang dikenal dengan Hadis Qudsi yaitu
Hadis yang disandarkan oleh Nabi kepada Allah. Disebut Hadis karena berasal
dari Rasulullah dan dikatakan Qudsi
sebab disandarkan kepada Allah.[6]
Kadang-kadang Hadis disebut sunnah, khabar dan atsar namun
sebenarnya mereka memiliki perbedaan pengertian, makna Hadis lebih luas dan
didalamnya mencangkup sunnah, khabar dan atsar. Dikalangan ulama hadis, Hadis
merupakan sinonim sunnah, namun Hadis pada umumnya digunakan untuk istilah
segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rosulullah setelah diutus jadi Nabi
(bi’tsah).[7]
Hadis dijadikan sumber hukumdi daalam islam selain Alquran, Qiyas, Ijma’ sedang
kedudukan hadis adalah sumber hukum ke dua setelah Alquran.
C.
Perbedaan
Hadis, Atsar, Khabar, dan Sunah
1.
Hadis
Hadis secara bahasa dari kata (al-hadits) sesuatu yang baru, bentuk
jamak dari hidats, hudatsa’, dan huduts[8].
Adapun Hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi saw. Baik berupa perkataan,
perbuatan, dan persetujuan.
2.
Sunnah
Sunnah menurut bahasa memiliki banyak arti diantaranya “suatu perjalanan yang diikuti, baik dinilai
perjalanan baik atau perjalanan buruk[9]. Sunnah yang baik seperti yang
dicontohkan nabi memang harus diikuti dan sunnah buruk (sunnah yang dilakukan
orang-orang yang tidak bertanggung jawab) harus dijauhi . Makna sunnah yang
lain diartikan sebagai “Tradisi yang
kontinu” [10]misalnya
yang terdapat di firman Allah dalam surah Al- Fath (48):23 yang artinya ”Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku
sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah
itu”
Sunnah menurut istilah , terjadi perbedaan pendapat dikalangan para
ulama, diantaranya adalah
a.
Menurut
ulama hadis, sunnah sinonim hadis sama dengan definisi hadis. Para ulama
mendefinisikan sunnah dengan ungkapan singkat yaitu “segala perkataan Nabi, perbuatannya dan segala tigkah lakunya”.[11]
b.
Menurut
ulama ushul fikih, hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum islam.
c.
Menurut
ulama fikih, sunnah dilihat dari segi hukum sesuatu yang dating dari Nabi
tetapi hukumnya tidak wajib, diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak
disiksa bagi yang meninggalkannya.[12]
3.
Khabar
Menurut bahasa khabar diartikan berita. Dari segi istilah muhadditsn khabar identic dengan Hadis yaitu
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perbuatan, perkataan,
sifat dan persetujuan[13].
Mayoritas ulama melihat Hadis lebih khusus sedangkan khabar sesuatu yang datang
dari padanya (Nabi) dan yang lain (berita-berita umat terdahulu dan yang lain).
Antara sunnah dan khabar jika disandingkan dengan hadis, maka khabar memiliki
kedekatan atau kemiripan dengan hadis. Hal tersebut sesuai tahdis (pembicaraan)
yang meiliki arti semua ikhtibar (pemberitaan). Atau bisa dikatakan bahwa hadis
Nabi adalah segala berita atau ucapan yang berasal dari beliau. Hanya saja,
nama ikhbari lebih dikhususkan kepada orang-orang yang mendalami tarikh-tarikh
dan yang sejenis, sedangkan istilah muhaddits lebih dikhususkan kepada
orang-orang yang menekuni sunnah. Para ulama menyimpulkan bahwa hadis adalah
segala sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi. Hal ini sesuai dengan
ucapan mereka yaitu “Antara khabar dan hadis ada pengertian umum dan khusus.
Setiap hadis adalah khobar, tetapi tidak sebaliknya. ”[14]
4.
Atsar
Dari segi bahasa atsar diartikan “ peninggalan atau bekas sesuatu” maksudnya peninggalan atau bekas
dari Nabi (Hadis). Atau diartikan “yang dipindahkan dari Nabi”. Menurut
istilah ada dua pendapat, yaitu yang pertama atsar sinonim Hadis. Kedua, atsar
dalah sesuatu yang disandarkan kepada pada sahabat dan tabi’in baik perkataan
maupun perbuatan.[15] Antar atsar, khabar, hadis, dan sunah pun
juga memiliki persamaan atau meliki arti yang hamper sama. Atsartu al-hadis
yang artinya Aku (Nabi) meriwayatkan hadis. Jadi, kata hadis tersebut tidaklah
dicantumkan secara spesifik apa itu atsar apakah itu disandarkan kepada sahabat
(mauquf) ataupun kepada tabi’in (maqthu). Karena antara mauquf dan maqthu
sama-sama disandarkan kepada Nabi (marfu). Jadi mudahnya adalah hadis yang
disandarkan kepada nabi (marfu) mencangkup semuanya. Hanya saja, mauquf lebih
khusus kepada sahabt, maqthu lebih khusus kepada tabi’in, seta marfu lebih
khusus kepada Nabi.[16]
D.
Bentuk-Bentuk
Hadis
1)
Hadis
yang berupa ucapan (qawli)
Yaitu hadis yang diperoleh dari segala bentuk perkataan dan ucapan
yanrg disandarkan kepada Nabi. Perkataan itu yang berisi petunjuk syara’ dan
tuntunan, kisah-kisah, peristiwa yang berkaitan dengan aspek akidah, syari’ah,
dan akhlak.
2)
Hadis
yang berupa perbuatan (fi’li)
Segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi, seperti halnya cara
Nabi dalam sholat, wudhu, dan lainnya yang disampaikan untuk umat islam melalui
para sahabat.
3)
Hadis
yang berupa persetujuan (taqriri)
Tidak semua hadis berasal dari Nabi, baik yang berupa perkataan
maupun perbuatan. salah satunya Hadis taqriri
yaitu Hadis yang berupa ketetapan dari Nabi terhadap apapun yang datang
atau yang dilakukan oleh para sahabatnya baik ucapan maupun perbuatan dengan
cara Nabi diam (tanda setuju) , setuju dan menganggapnya bagus.
4)
Hadis
yang berupa Hal Ihwal (Ahwali)
Hadis yang berupa hal ihwal Nabi yang berkenaan dengan dengan
sifat-sifat dan kepribadian serta keadaan fisiknya. Adapun hadi ini adalah
sesuatu yang berasal dari Nabi yang berkenaan dengan kondisi fisik, akhlak, dan
kepribadiannya.
5)
Hadis
yang berupa Cita-cita (Hammi)
Nabi tetap lah Manusia, beliau juga memiliki cita-cita sama sepeti
manusia pada umumnya. Yang sebagian cita-cita itu tercapai dan sebagiannya
tidak. Hadis Himmi ini adalah Hadis
berupa keinginan atau hasrat Nabi yang belum terealisasikan. Hakikatnya hadis
ini bukan kategori perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat-sifat Nabi.
Tetapi, bila dilihat secara realitas, hadis Hammi
ini belum terwujud masih dalam ide dan keinginan yang belum tercapai ketika
Nabi menginginkannya yang pelaksanaannya akan dilakukan pada masa selanjutnya.
E.
Macam-Macam
Hadis
1)
Ditinjau
dari sumber berita
Ø Hadis Qudsi, hadis ini dinamakan suci (al-Qudsi), karena disandarkan pada zat tuhan yang maha esa.
Sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi Hadis, sandaran Hadis
kepada allah tidak menunjukkan kualitas Hadis. Oleh karena itu, Hadis Qudsi
tidak semuanya shahih tetapi ada yang shahih, hasan dan dha’if tergantung
syarat periwayataan yang terpenuhinya, baik segi sanad atau matan.
Ø Hadis marfu’, marfu’
menurut pengertian bahasa artinya “yang diangkat” atau yang “ditinggikan”. Jadi
Hadis marfu’ adalah Hadis yang terangkat sampai kepada rosulullah saw. Atau
menunjukkan ketinggian kedudukan beliau sebagai seoranng rosul.
Ø Hadis mauquf ,mauquf
menurut bahasa waqaf artinya berhenti atau stop. Hadis mauquf adalah sesuatu
yang disandarkan kepada seorang sahabat atau segolongan dengan sahabat baik
dari perkataan, perbuataan, dan persetuujuan baik bersambung sanadnya atau
terputus.
Ø Hadis maqthu’, Hadis maqthu’ adalah sifat matan yang disandarkan
kepada seorang tab’in atau seorang generasi setelahnya baik berupa perkataan,
pperbuatan, dan persetujuan
.
2)
Hadis
dintinjau dari persambungan sanad
Ø Hadis Muttashil / mawshul adalah
Hadis yang bersambung sanadnya, baik periwayatan itu datang dari Nabi ataupun
dari seorang sahabat bukan dari tab’in.
Ø Hadis musnad, adalah
hadis yang bersambung sanad-nya dari awal sampai akhir tetapi sandarannya hanya
kepada Nabi tidak pada sahaabat dan tidak pula pada tab’in.
3)
Hadis
ditinjau dari sifat sanad dan cara penyampaian peristiwanya
Ø Hadis Mu’an’an, adalah
Hadis yang dalam periwayatannya hanya menyebutkan sanad dengan kata ‘an fulan yang artinya dari si fulan, tidak menyebutkan ungkapan
yang tegas menunjukkan bertemu (ittishal).
Ø Hadis Muannan, adaalaah
Hadis yang dikatakan kepada sanad-nya memberitakan kepada kami bahwasannya
si fulan memberitakan kepadanya begini.
Ø Hadis Musalsal, adalah
keikutsertaan para perawi dalam sanad secara berturut-turut pada satu sifat
atau pada satu keadaan, terkadang bagi para perawi dan terkadang bagi
periwayatannya.
Ø Hadis Ali dan Nazil, dalam istilah Hadis ali adalah suatu Hadis yang sedikit jumlah para perawinya sampai
kepada rasulullah saw. Dibandingkan dengan sanad lain. Dan Hadis Nazil menurut
istilah ulama Hadis adalah Hadis yang banyak jumlah perawinya sampai kepada
Rasulullah saw. Dibandingkan dengan sanad lain. [17]
F.
Sejarah
Singkat Perkembangan Hadis
Dalam proses penulisan hadis ini berbeda dengan proses penulisan
Alquran. Hal ini karena setiap setelah wahyu berupa ayat-ayat Alquran
diturunkan, maka Nabi Muhammad menunjuk atau menyuruh beberapa sahabat untuk
menulisnya yang kemudian mereka diangkat sebagai seketaris wahyu. Jumlah dari
mereka tidak kurang dari 40 orang. Sehingga tidak ada tenggang waktu antara
turunnya wahyu dengan penulisannya. Jadi secara tidak langsung penulisan
Alquran ini terjadi pada masa Nabi Muhammad walaupun tulisan ini belum
berbentuk mushaf seperti saat ini. Walaupun begitu penulisan hadis ini ada
beberapa sahabat yang menulisnya menjadikannya sebuah catatan, namun tulisan
tersebut tidak jelas juntrungnya. Jadi ada jeda atau tenggang waktu antara masa
“produksi” hadis dengan penulisan hadis.[18]
Berikut ini pembagian perkembangan hadis :
1.
Hadis
pada Masa Nabi
Pada masa ini belum ada perintah yang secara resmi dari Nabi untuk
menuliskan hadis, hal ini sesuai dengan hadis Nabi yaitu,
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ
الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ
فَلْيَتَبَوَّأْ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ».
Dari Abu Sa'id al-Khudri ra.
Rasulullah saw bersabda: Janganlah kalian menulis
dariku, dan barang siapa yang menulis dariku selain Alquran maka hendaklah dia
menghapusnya. Dan bicarakanlah tentangku tanpa masalah, dan barang siapa yang
berbohong atas namaku maka dia sudah mendudukkan kursinya di Neraka.
(HR. Muslim)
Hal tersebut juga yang menyebabkan adanya perbedaan antara hadis
Nabi yang sesungguhnya dan tradsi di lingkungan Arab. Namun, dari pelarangan
penulisan ini juga terdapat hikmah yang bisa kita ambil, yaitu :
a.
Pada
masa itu keadaan umat Islam masih banyak yang “ummi” (belum bias membaca dan
menulis). Sedangkan pada masa itu juga turun wahyu dari Allah yaitu ayat-ayat
Alquran, sehingga dikhawatirkan umat muslim tidak bias membedakan antar hadis
dan Alquran.
b.
Nabi
telah percaya bahwa para sahabat pasti bisa menghafalkannya demi terpeliharanya
hadis tersebut meskipun tanpa tulisan maupun catatan. Hal ini menunjukkaan
bahwa Nabi menyuruh kita untuk percaya terhadap kemampuan kita sendiri.[19]
c.
Larangan
ini dikhususkan bagi umat Islam yang belum bisa menulis Karen ahal tersebut
dikhawatirkan menulis tulisan yang salah. Sementara umat Islam yang pandai
menuls tidak dilarang untuk menulis hadis tersebut.[20]
Selain larangan tetntang perintah menulis hadis, namun juga
terdapat hadis yang memperbolehkan untuk menulisnya, misalnya terdapat dalam
hadis di bawah ini,
اكتب فو الذى نفسى بيده ما خرج منه
الاالحق
” tulislah!, demi Dzat yang diriku
didalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dariku kecuali yang hak”.(Sunan
al-Darimi)
Namu pada akhirnya para sahabat juga
bannyak yang menerapkan hadis yangn pertama, yatu tentang larangan penulisan
atau membukukan hadis. Hal ini sesuai dalam sebuah qaidah fiqhiyah yaitu,
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَىٰ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak mudharat (bahaya) lebih didahulukan dari mengambil
manfaat”
Namun penerapan hadis di atas hanyalah berlaku pada suatu keadaan
yang resikonya.
2.
Hadis
pada Masa Sahabat
Periode ini
terjadi pada masa Khulafaur rasyidin yang terjadi sekitar tahun 10 H – tahun 40
H. lalu apa itu yang disebut dengan sahabat ?sahabat adalah orang-orang yang
mempunyai unsur bergaul dengan Nabi dan beragama Islam. Periode ini terjadi
setelah Nabi Muhammad saw. telah wafat.[21]
Pada masa periode sahabat ini juga terjadi perbedaan pemahaman antara tetap
menulis hadis atau tidak, alasannya pun juga sama seperti pada periode Nabi
yang telah dijelaskan di atas.
Penyampaian
atau penyiaran hadis pada periode ini biasa terjadi melalui lisan atau ucapan.
Dan itu pun hanya berlaku hanya beberapa peristiwadalam keadaan yang sangatlah
penting dan mendesak serta di saat-saat yang sangat membutuhkan yang sumber
untuk penetapannya tidak ada di Alquran, sehinggaharus mencarinya di
hadis-hadis Nabi. Itu semua terjadi karena tidak semua hadis yang dipahami oleh
para sahabat semuanya benar serta beda kholifah berbeda pula kebijakannya dalam
mengambil sumber dari sebuah hadis.[22]
3.
Hadis
pada Masa Tabi’in atau pada Abad 1 H
Periode ini dimulai sejak berakhirnya masa kepemimpinan Kholifah
Ali bin Abi Tholib yang menjadikan umat muslim terpecah menjadi bebrapa
golongan, diantara golongan-golongan tersebut antara lain adalah :
a.
Khowarij
Golongan ini merupakan suatu golongan yang tidak menyetujui
peristiwa tahkim yang terjadi antara Muawiyah dengan Kholifah Ali bin ABi
Thalib.
b.
Syi’ah
Golongan ini merupakan suatu golongan yang terlalu fanatic atau
kukuh pendirian dan tidak mau berubah yaitu hanya menganut Ali bin Abi Thalib.
c.
Jumhur
Golongan ini sendiri pun juga terbagi lagi menjadi tiga golongan,
yakni :
1.)
Golongan
yang menyetujui pemerintahan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib
2.)
Golongan
yang lebih condong menyetujui pemerintahan muawiyah
3.)
Golongan
dari berbagai umat muslim yang netral atau tidak memihak salah satu dari
Muawiyah maupun Ali bin Abi Thalib.
Dalam segi politik, ketiga gelombang di atas saling menarik umat
muslim untuk masuk ke golongan mereka. Salah satu cara yang di gunakan oleh
golongan ini yaitu dengan menerbitkan atau mengajarkan sebuah hadis atau bahkan
malah membuat hadis yang palsu atau tidak sesuai dengan yang terjadi pada masa
itu. Sebagai imbal balik dari golongan khawarij maka golongan lain atau lebih
tepatnya golongan pro Muawiyah pun juga menanggapi hadis ini juga dengan
membuat hadis palsu lagi. Sehingga hal tersebut juga menjadi salah satu
kesulitan yang dihadapi oleh ulama ahli hadis dalam pembukuan hadis di masa
yang akan datang.
Di akhir periode ini Khalifah Umar bin Abdul Aziz beranggapan bahwa
hadis-hadis yang tersebar di masyarakat perlu untuk dibukukan atau disatukan
menjadi satu, hal ini dikarenakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz merasa khawatir
tentang kelestarian atau pelindungan hadis-hadis di masyarakat akan musnah atau
lenyap sebab para sahabat dan para tabi’in yang menghafal hadis sudah mulai
berkurang sedikit demi sedikit. Maka dari itu, beliau mengutus para pemimpin di
berbagai daerah untuk segera mengumpulkan berbagai hadis di wilayahnya
masing-masing serta dibukukan menjadi sebuah buku hadis-hadis. Pada periode
ini, system pembukuannya difokuskan pada suatu tema. Jadi sebuah buku akan
membahas satu tema yang terdiri dari berbagai hadis, namun dalam buku tersebut
masih terdapat percampuran antara hadis dengan fatwa sahabat dan tabi’in.[23]
4.
Hadis
pada Abad 2 H
Pada periode ini, para ulama hadis meneruskan proses pembukuan dari
periode sebelumnya. Mereka adalah Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab Az-Zuhdi yang
memulai penulisan atau pembukuan sejak tahun 100 H. maka dari itu, periode ini
disebut juga “Ashru at-Tadwin” yang artinya masa pembukuan. Sehingga pada
periode ini muncullah ulam-ulama hadis dalam proses melanjutkan penulisan hadis
ini, diantaranya adalah :
a.
Ibnu
Juraij di Makkah
b.
Al-Auza’i
di Syiria
c.
Syufyan
Ats Tsauri di Kufah
d.
Imam
Malik di Mdinah
System pembukuan hadis dalam periode ini hamper sama seperti di
periode sebelumnya, namun pada periode ini sudah diklasifikasikan menjadi
beberapa bab berdasarkan masalahnya. Selain itu, pada periode ini juga masih
tercampurnya hadis dengan fatwa para sahabat dan tabi’in. [24]
5.
Hadis
pada Abad 3 H
Pada periode ini, pertntangan atau peperangan yang disebabkan oleh
perbedaan penafsiran antara ulama kalam terutama golongan mu’tazilah dengan
ulama hadis mengenai sebuah masalah. Apa masalah tersebut ?masalahnya adalah
Alquran itu makluk atau bukan? Golongan mu’tazilah beranggapan bahwa Alquran
ini adalah sebuah makhluk. Pendapat yang dikemukakan ini pun mendapat dukungan
atau disetujui oleh para kholifah pada zamannya, seperti halnya Kholifah
Ma’mun. karena kedudukannya sebagai kholifah, maka beliau pun menginstruksikan
kepada seluruh rakyatnya untuk mengikuti pendapat tersebut. Jika ada yang tidak
setuju maka ia akan dipenjara, seperti halnya ulama hadis sehingga ia tidak
bisa lagi mengeluarkan fatwanya serta tidak diperbolehkan meriwayatkan
hadis-hadis, salah satu korbannya yakni Ahmad bin Hambal.
Namun hal tersebut tetaplah bisa berubah. Hal tersebut menunjukkan
bahwa jika menghadapi masalah harus dihadapi dengan tenang dan sabar, maka
masalah tersebut akan segera terselesaikan. Masa ini dapat juga disebut atau
dikenal sebagai titik keemasan dalam pembukuan hadis. Hal ini bisa ditunjukkan
dengan usaha para ulama dalam peisahan antara hadis Nabi dan bukan hadis
(berupa fatwa sahabat dan tabi’in) serta ulama hadis berhasil mengklasifikasia
terhadap matan dan sanadnya. Masa-masa ini biasa disebut dengan masa menghimpun
dan mentashih hadis.[25]
6.
Hadis
pada Abad 4 H sampai Tahun 656 H
Menurut salah satu ulama yaitu Adz-Dzahabi, bahwa pada tahun 300 H
ini biasa disebut sebagai tahun pemisah antara Ulam Mutaqaddimin dengan Ulma
Mutaakhirin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan lapangan hadis mereka dalam
karya ilmiah mereka masing-masing.[26]
G. Kesimpulan
1. Hadis adalah sesuatu yang datang dari
Nabi saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan.
2.
Menurut
ulama hadis, sunnah sinonim hadis sama dengan definisi hadis. Para ulama
mendefinisikan sunnah dengan ungkapan singkat yaitu “segala perkataan Nabi, perbuatannya dan segala tigkah lakunya
3.
Menurut
bahasa khabar diartikan berita. Dari segi istilah muhadditsn khabar identic dengan
Hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perbuatan,
perkataan, sifat dan persetujuan. Mayoritas ulama melihat Hadis lebih khusus
4.
Dari
segi bahasa atsar diartikan “ peninggalan
atau bekas sesuatu” maksudnya peninggalan atau bekas dari Nabi (Hadis).
Atau diartikan “yang dipindahkan dari Nabi”.
5.
Perkembangan
hadis dari masa ke masa dibagi menjadi enam masa, yaitu :
a.
Pada
masa Nabi
b.
Pada
masa sahabat
c.
Pada
masa tabi’in
d.
Pada
abad 2 H
e.
Pada
abad 3 H
f.
Pada
abad 4 H sampai 656 H
Umi,
Sumbulah.2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang : UIN Maliki Press
Idri.2010.
Studi Hadis.Jakarta : Prenada Media Grup
Khon,
Majid Abdul. 2008. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah
Zuhdi,
Masjfuk. 1975. Pengantar Ilmu Hukum. Surabaya : Pustaka Progessif
As-Shalih,
Suhdi. 2007. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus
Zuhri,
Muh. 2003. Hadis Nabi Telaah Histori dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara
Wacana Yogya
Catatan:
1. Similarity 8%
2. Seharusnya ada contoh hadis qauli, fi’li, taqriri, ahwali, hammi
3. Referensi masih kurang 10
[1] Idri, Studi Hadis (Jakarta, Prenada Media Grup,2010), hlm. 5
[2] Umi Sumbulah , Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang, UIN-Maliki Press, 2010),
hlm.1
[3] Ibid, hlm 5
[4] Ibid, hlm 9
[5] Ibid, hlm 9
[6] Idri, Studi Hadis (Jakarta, Prenada Media grup,2010), hlm.7
[7] Ibid, hlm 6
[8] Idri, Studi Hadis (Jakarta, Prenada Media grup,2010), hlm. 5
[9] Ibid, hlm. 5
[10] Ibid, hlm. 5
[11] Ibid, hlm 6
[12] Ibid, hlm 6
[13] Ibid, hlm 9
[14] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2007), hlm. 27
[15] Umi Sumbulah, Op.cit, hlm 10
[16] Subhi As-Shahib, op.cit, hlm. 27-28
[17] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah,2008), hlm. 217-246
[18] Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologi (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2003), hlm. 27-28
[19] Masjfuk Zuhdi, Penggantar ilmu Hadis, (Malang: Pustaka Progesif,
1976), hlm. 79
[20] Muh. Zuhri, op.cit hlm. 79
[21] Muh. Zuhri, op.cit hlm. 37
[22] Masjfuk Zuhdi, op.cit hlm 81
[23]Ibid., hlm. 82-84
[24]Ibid., hlm. 85
[25]Ibid., hlm. 87-88
[26]Ibid., hlm. 90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar