HERMENEUTIKA
DOUBLE MOVEMENT FAZLURRAHMAN SEPUTAR AYAT POLIGAMI
Aprilina
Wulandari (16110126)
Qurrotu Aini (16110114)
Ratryana Dewi (16110091)
Mahasiswa Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibraham Malang
e-mail: aprilinawulan11@gmail.com
Abstract
This article discusses the double movement on the issue
of polygamy according to Fazlur Rahman. Double movement is a theory that
appears alongside the hermeneutical theory. Hermeneutics theory or method is
one of the methods of interpretation used by Fazlur Rahman. If talking about
interpretations, each speaker has a style and purpose for each interpretation,
as well as Fazlur Rahman. The double movement method is an interpretation
method that tends to use critical reasoning in interpreting the Qur'an. The
hermeneutic theory or double movement method uses a two-way 'double movement'
way of interpreting. Interpretation of the meaning of a verse can be seen from
the interrelation of the verses of the Qur'an in its socio-historical terms by
referring to the current events towards the event when the Qur'an was revealed,
then returned to the current situation. This is based on dissatisfaction with
the method of the previous interpreter. From here, Fazlur Rahman considers them
too dogmatic and literalist. So that the results of the interpretation are
considered to be unable to continue to be relevant in this ever-expanding era.
As with the issue of polygamy, most interpreters interpret this verse about
polygamy on the assumption that polygamy is permissible. While Fazlur Rahman is
more likely to argue that polygamy is haram. This illegitimate statement from
Fazlur Rahman is not unfounded. It is precisely here that lies the role of the double
movement hermeneutical method itself
Keywords: Fazlur
Rahman, Hermeneutic, Double Movement, Polygamy
Abstrak
Artikel ini membahas mengenai double movement dalam isu
poligami menurut Fazlur Rahman. Double movement merupakan teori yang
muncul di samping teori hermeneutika. Teori atau metode hermenutika merupakan
salah satu metode penafsiran yang digunakan oleh Fazlur Rahman. Jika
membicarakan mengenai penafsiran maka setiap mufassir memiliki gaya dan tujuan
penafsiran masing masing, begitupun dengan Fazlur Rahman. Metode double
movement merupakan metode penafsiran yang cenderung menggunkan nalar kritis
dalam menafsirkan Al-Qur’an. Teori atau metode hermeneutika double movement
ini menggunakan cara penafsiran dua arah ‘gerakan ganda’. Penafsiran makna terhadap suatu ayat dapat dilihat dari keterkaitan ayat Al-Qur’an dari segi sosio-historisnya dengan mengacu pada kejadian saat ini menuju kejadian ketika al-Qur’an
diturunkan, kemudian dikembalikan lagi kepada situasi saat ini. Hal ini
didasarkan pada ketidakpuasan terhadap metode penafsir terdahulu. Dari sini, Fazlur Rahman menganggap
mereka terlalu dogmatis dan literalis. Sehingga hasil tafsirannya dianggap
tidak bisa terus relevan di zaman yang terus berkembang ini. Seperti halnya
mengenai isu poligami, sebagian besar mufassir menafsirkan ayat tentang
poligami ini dengan asumsi bahwa poligami itu boleh. Sedangkan Fazlur Rahman
lebih cenderung berpendapat bahwa poligami itu haram. Pernyataan haram dari
Fazlur Rahman ini bukan tidak berdasar. Justru disinilah letak peran dari
metode hermeneutika double movement itu sendiri.
Kata Kunci:Fazlur
Rahman, Hermeneutika,Double Movement, Poligami
A.
Pendahuluan
Poligami merupakan persoalan yang
sering menjadi isu dalam konteks sosial-keagaman. Isu seputar poligami sering
dijadikan perdebatan di antara masyarakat. Banyak masyarakat yang salah paham
tentang poligami sehingga mengira poligami dikenal setelah adanya Islam. Banyak
di antara mereka yang beranggapan bahwa poligami merupakan ajaran yang dibawa
oleh Islam.[1]Sebenarnya
poligami bukanlah persoalan baru, melainkan sudah ada sejak zaman dahulu,
bahkan sebelum Islam diwahyukan. Praktik poligami di zaman dahulu sudah menjadi
suatu kebiasaan yang dilakukan oleh para raja yakni dengan banyaknya selir yang
dinikahinya. Bahkan, sebelum Islam datang di jazirah Arab, praktik poligami
dilakukan tak terbatas.
Kedatangan Islam justru memperbaiki
kebiasaan buruk yang dilakukan oleh orang-orang terutama di jazirah Arab. Pada
masa jahiliyah, rata-rata pemimpin suku memiliki banyak istri tanpa
memperhatikan kesejahteraannya, berbuat sewenang-wenang, tidak memberi mahar
maupun nafkah yang layak, diperlakukan layaknya barang yang bisa dipakai dan
dibuang kapan saja.Harkat dan martabat perempuan begitu direndahkan. Kemudian
Islam datang dengan membawa ajaran yangdamai, menghormati, menghargai, serta
memuliakan perempuan. Kedatangan Islam tidak serta merta menghapuskan praktik
poligami, hanya saja memberikan batasan-batasan yang disinggung dalam al-Qur’an.[2]
Poligami telah menjadi pokok
bahasan yang terdapat dalam al-Qur’an yakni QS. An-Nisa’ [4]: 3 dan QS.
An-Nisa’ [4]: 129. Ayat tersebut tidak melarang secara mutlak maupun
menganjurkan (wajib) praktik poligami. Di dalam ayat-ayat tersebut terdapat
persyaratan-persyaratan tertentu perihal poligami yang kemudian berhubungan
dengan ayat lainnya. Sedangkan dalam praktiknya, masyarakat seringkali
menyalahgunakan dengan mengesampingkan persyaratan yang ada. Hal inilah yang
kemudian menjadikan perdebatan yang tidak pernah usai.
Dalam artikel ini, penulis akan
memaparkan pandangan seorang tokoh intelektual, Fazlur Rahman mengenai hukum
poligami ditinjau dari ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an. Penafsiran
ayat-ayat poligami yang dilakukan oleh Fazlur Rahman ini berbeda dengan
mayoritas ulama muslim lainnya. Fazlur Rahman telah mengembangkan pemikiran
Islam secara komprehensif yang mencakup seluruh aspek pemikiran Islam, teologi,
filsafat, solusi metodologi dari teoritis hingga aplikatif.[3]Fazlur
Rahman menggunakan hermeneutika double movement dalam menafsiri
ayat-ayat tentang poligami. Dengan demikian, Fazlur Rahman berupaya memberikan
solusi terhadap persoalan poligami yang selama ini diperdebatkan di kalangan
masyarakat, bahkan dianggap sebagai ajaran Islam.
B.
Biografi Fazlurrahman
Fazlur
Rahman merupakan seorang pemikir neomodernis yang produktif. Beliau dilahirkan
pada 21 September 1919 di kawasan Barat Laut Pakistan yakni daerah Hazara.
Rahman tumbuh di keluarga yang menganut mazhab Hanafi.[4]
Rahman adalah putra dari seorang alim terkenal lulusan Deoband yakni Maulana
Sahab Al Din. Rahman mendapat pelajaran agama yang kuat dari sang ayah. Oleh
karena itu, pemikiran keagamaannya sudah terbentuk sejak kecil dengan tradisi
Hanafi yang mana lebih banyak menggunakan rasio (ra’yu).[5]
Berbeda dengan mayoritas ulama tradisional pada masanya yang memandang
pendidikan modern sebagai racun, sang ayah justru memandang modernitas sebagai
suatu tantangan sekaligus kesempatan. Hal ini juga yang diyakini oleh Fazlur
Rahman.[6]
Pada
1933 Rahman memasuki sekolah modern dan melanjutkan studinya ke Lahore. Beliau
berhasil memperoleh gelar B.A. dalam bidang studi Bahasa Arab pada tahun 1940 di
Punjab University. Dua tahun kemudian, beliau berhasilmendapat gelar M.A. dibidang
studi Sastra Arab.[7]Pada
saat itu, beliau juga mendalami bahasa-bahasa Barat sehingga mempermudahnya
dalam menelusuri literatur-literatur keislaman karya orientalis.
Rahman
melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University di Inggris pada 1946. Keputusan
tersebut dianggap sangat berani, sebab dengan langkah dipilihnya tersebut
menutup kemungkinanbeliau bisa diterima kembali di negara asalnya. Kebanyakan
dari mereka yang belajar di Barat akan dikucilkan bahkan mengalami penindasan.
Akan tetapi, beliau berani melawan arus untuk menggapai cita-citanya.[8]
Rahman akhirnya berhasil meraih gelar doktor filsafat pada 1951. Kemudian ia
melanjutkan karirnya dengan mengajar di Durham University, Institute of Islamic
Studies, McGill University, serta menjabat sebagai Associate Professor of
Philosophy.[9]
Di
awal 1960-an, Rahman pulang ke negara asalnya, Pakistan. Beliau menjabat
sebagai staf senior di Institute of Islamic Research. Dua tahun kemudian,
beliau menjadi direktur lembaga riset tersebut. Selain itu, Rahman pernah
diangkat menjadi anggota dewan penasehat ideologi Islam pemerintah Pakistan
pada 1964. Namun, gagasan-gagasan pembaruan yang disampaikan Rahman guna
menjawab problematika masa kini banyak mendapat tantangan keras dari kalangan
ulama tradisionalis maupun fundamentalis di Pakistan.[10] .
Tidak hanya berupa penolakan terhadap gagasan pemikirannya, beliau bahkan
hampir dibunuh oleh kalangan ulama konservatif.[11]
Kemudian
Fazlur Rahman melepaskan jabatannya yang ada di Pakistan dan hijrah ke Barat
pada 1969. Rahman memutuskan hijrah ke Chicago, disana beliau menjabat sebagai
Guru Besar Kajian Islam dalam Berbagai Aspeknya pada Department of Near Eastern
Languages and Civilization, University of Chicagosejak tahun 1970.[12]
Beliau menetap di Chicago selama 18 tahun, sampai akhir hayatnya pada 26 Juli
1988.[13]
C.
HermeneutikaDouble Movement
Hermeneutika merupakan
suatu metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Metode ini pada awalnya digunakan untuk menafsirkan Bibel. Sebab, pada saat itu masyarakat
Eropa menganggap tek-teks didalam Bibel
bermasalah.[14]
Logikanya, ketika teksnya bermasalah maka tafsirannya-pun akan demikian. Metode hermeneutika
ini merupakan metode yang banyak digunakan oleh para mufassir kotemporer. Metode
hermeneutika ini dianggap menyeluruh dalam manafsirkan sebuah ayat, sehingga ayat
tersebut benar-benar tergali dengan baik dari segi makna.
Metode ini
menjadi sangat penting di masa setelah
nabi wafat. Semasa
nabi hidup, metode hermeneutika tidak begitu diperlukan. Pada masa itu, ketika ada
wahyu turun para sahabat bisa dengan mudah menghafal kemudian mengamalkan. Jika ada kesulitan
atau kekurang-fahaman
terhadap wahyu tersebut, mereka bisa langsung bertanya kepada Nabi
SAW. Berbeda di masa setelah Nabi SAW wafat, metode hermeneutika menjadi
sangat penting
kaitannya guna menguraikan,
membedah dan memaknai dari sebuah teks atau ayat. Seorangmusffasir
mengaitkan antara ayat atau teks dengan kejadian yang sifatnya sosio-historis
pada masa itu, serta mengaitkan kejadian pada saat itu dengan keadaan di era
modern-kotemporer.
Hermeneutika
sebagai sebuah
teori penafsiran yang ditujukan untuk proses penggalian makna. Maka
hermeneutika dianggap sangat diperlukan dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab
tujuan dari menafsirkan adalah untuk menjadikan sebuah ayat atau teks menjadi
hidup dalam kejadian apapun. Tanpa adanya hermenutika dalam penafsiran maka,
seseorang akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari dan menemukan makna baru
didalam sebuah ayat. Selain itu, seseorang akan kehilangan daya kritisnya dalam
menyikapi penafsiran dari orang lain.[15]
Berkaitan
dengan hermenutika ini, Fazlur Rahman lebih cenderung pada aliran objektivitas.
Aliran objektivitas adalah aliran dimana setiap ayat sejatinya memiliki sebuah makna
yang masih bersifat asli. Fazlur Rahman berpendapat bahwasannya sebuah teks
atau ayat pasti memiliki makna asli yang mana bisa dipahami melalui kejadian
dimana ayat atau teks tersebut diturunkan. Sehingga tidak mungkin dalam sebuah
makna dari ayat atau teks seorangmufassir bisa mencampuri maksud (makna) dari Tuhan.[16]
Jika dilihat dari sudut pandang hermeneutik, perbedaan karya yang
dihasilkan oleh masing-masing tokoh juga dipengaruhi oleh latar belakang
pendidikan pengarang, lingkungan kerja dan konteks penulisannya. Fazlur Rahman merupakan sarjana Muslim yang berasal dari Pakistan
dan juga seorag profesor filsafat Islam di Universitas Chicago. Tentunya,
lingkungan universitasnya juga ikut mempengaruhi metode dan hasil yang ingin
dicapai oleh karya-karya tulisnya.
Bagi Fazlur
Rahman, pendekatan sosio-historis sebenarnya akan lebih memudahkan seorang
mufassir dalam menafsirkan teks atau ayat. Pendekatan sosio-historis ini
berkaitan dengan berbagai aspek latar belakang. Hal yang termasuk
didalam latar belakang ini adalah bagaimana nabi dan al-Qur’an pada
masa itu. Kemudian pula bagaimana nabi dan bangsa Arab pada saat itu. Sebab
bagaiamana nabi, al-Qur’an dan bangsa Arab memiliki keterkaitan.
Dengan
demikian, sangat
penting mengetahui bagaimana perjuangan nabi pada saat membenahi bangsa arab
dan dalam waktu bersamaan dinaungi oleh al-Qur’an.
Sehingga seorang mufassir menurut Fazlur Rahaman harus memahami bagaimana
sebenarnya masyarakat Arab. Sebab
semua yang berkaitan dengan bangsa arab akan sangat berpengaruh terhadap nabi
dan ayat yang kemudian turun. Sehingga seorang mufassirpun perlu memahami
kepercayaan, kebiasaan, sosial, politik dan bahkan ekonomi dari bangsa Arab.[17]
Fazlur Rahman
menawarkan metode penafsiaran al-Qur’an yang sistematis sebagai berikut: 1)
menemukan arti dari teks al-Qur’an dengan pendekatan sejarah secara jujur dan
bijaksana, 2) membedakan ketetapan legal al-Qur’an dengan tujuan yang ingin
dicapainya, 3) memahami sasaran-sasaran al-Qur’an dengan memperhatikan latar
belakang sosiologis diturunkannya al-Qur’an.[18]Hal
ini guna meminimalisir penafsiran-penafsiran al-Qur’an secara subyektif di
kalangan mufasir.[19]
Tema
pembahasan yang diangkat oleh Fazlur Rahman ialah dari pesan dasar al-Qur’an
dalam sudut pandang metafisis-ontologis dan etis-teologis. Fazlur Rahman
mendalami pesan al-Qur’an yang bersifat perennial-universal dimana masih
terbungkus oleh budaya dan peristiwa historis yang bersifat lokal dan
kontemporer. Kemudian dalam hal penafsiran Fazlur Rahman yang awalnya hanya menggunakan
teori atau metode hermenutika akhirnya
menambahkannya dengan istilah “double movement”.[20]
Double
movement adalah suatu proses interpretasi dengan melibatkan
“gerakan ganda”. Penggalianmakna yang dilakukan oleh mufassir tersebut mengacu
pada kejadian saat ini menuju di mana ketika al-Qur’an diturunkan kemudian
dikembalikan lagi kepada keadaan saat ini untuk melakukan kontekstualisasi
terhadap pesan-pesan eksternal-universal al-Qur’an yang hendak diaplikasikan di
masa sekarang. Dengan demikian satu hal yang perlu digarisbawahi bahwasannya
metode penafsiran hermeneutika double mevoment ini hanya dapat digunakan
untuk ayat yang bersifat “hukum” bukan untuk ayat yang bersifat metafisik.Sedangkan
untuk ayat yang bersifat metafisik Fazlur Rahman cenderung menggunakan metode
tematik.[21]
Rahman sendiri
mengatakan bahwa setiap ayat yang turun tidak mungkin kemudian berdiri sendiri.
Pasti ada sesuatu yang mendukung mengapa ayat tersebut ada dan diturunkan.
Sehingga jika dilihat bagaimana kondisi masyarakat Arab pada masa itu, maka
tidak mungkin tidak ada ayat yang turun kemudian seputar kepercayaan, moral dan
sosial. Selain itu, kadang-kadangal-Qur’an turun sebagai jawaban dari
suatu pertanyaan.[22]
Fazlur Rahman memandang sejarah adalah sebuah rangkaian peristiwa yang tak
pernah terputus, sebab pemaknaan sejarah selalu mengarah ke depan meskipun
terjadi pada hari ini. Dengan merujuk pada al-Qur’an, Fazlur Rahman memaknai masa
lalu manusia bukan hanya sekadar masa yang sifatnya historis-empiris tetapi
juga secara ontologis keberadaan manusia berawal dari ciptaan Tuhan. Begitu
juga dengan konsep pertanggungjawaban etis di akhirat nanti. Itulah mengapa
dalam al-Qur’an tema eskatologi (hari akhir) mempunyai posisi yang sangat
penting karena membuat manusia mejadi lebih taqwa.
Fazlur Rahman tidak mencari hubungan kronologis berdasarkan asbab
al-nuzul dalam menghubungkan ayat-ayat tentang suatu tema atau pokok
bahasan, tetapi dengan mensitesakan
ayat-ayat dan tema berdasarkan penalaran logis-filosofis dimana paham
monoteisme menjadi poros serta rujukan etis dari seluruh pembahasan.[23]Pendekatan
bersifat filosofis yang dipilih Fazlur Rahman ini mengandung resiko dikecam
oleh penganut madzhab tradisional karena dinilai lebih memilih signifikansi
makna yag bersifat umum daripada makna tekstual yang terikat dengan peristiwa
lokal-historis. Menurutnya, ini harus ditempuh jika
ingin mengaktualisasikan pesan-pesan dasar al-Qur’an untuk masyarakat modern.
Mengenai
bagaimana sebenarnya dari teori hermeneutika double movement ini Fazlur
Rahman memberikan langkah kerja sebagai berikut:
1.
Mengkaji problem historis suatu
ayat guna memahami makna dari pernyataan (ayat) tersebut. Sebelum melakukan
pengkajian terhadap ayat-ayat spesifik (mikro), seorang musaffir terlebih dulu
harus mengetahui kondisi makro masyarakat serta aspek kehidupannya khususnya di
wilayah Makkah dan sekitarnya.Dengan kata lain, memahami konteks mikro maupun
makro ketika al-Qur’an diturunkan.[24]
2.
Menyimpulkan jawaban-jawaban
tersebut serta menentukan tujuan moral-sosial yang disaring dari ayat-ayat
tersebut berdasar latar belakang sosio-historis.[25]
Dalam proses bolak-balik gerakan
ganda tersebut, seorang mufassir harus tetap memperhatikan ajaran dari
keseluruhan al-Qur’an sehingga antara satu dengan yang lainnya saling
berhubungan.Metode hermeneutika double
movementtidak
menampik adanya pendekatan linguistik, seperti nahwu-sharaf, filologis, dan
balaghah. Namun, Rahman berpendapat bahwasanya pendekatan linguistik menduduki
tempat kedua dan penafsiran terhadap suatu makna dari ayat al-Qur’an tidak
boleh terlepas dari konteks internal al-Qur’an itu sendiri.[26]
Secara
tematis, Fazlur Rahman memberikan pandangan dunia (world view) al-Qur’an
yang berbicara bukan hanya kepada umat Islam tetapi juga menawarkan suatu
ideologi kehidupan yang bersumber dari Tuhan, dimana pesan al-Qur’an ini
sejalan dengan akal sehat dan fitrah manusia.[27]
Dengan demikian legitimasi dari klaim kebenaran bukan hanya dari wahyu Tuhan
tetapi juga dari rasionalitas manusia sendiri sebab adanya titik temu antara
logika manusia dan logika al-Qur’an. Disini, Fazlur Rahman ingin menunjukkan
bahwa apa yang dianggap benar oleh Tuhan, juga apa yang dianggap baik oleh
nalar sehat dan fitrah manusia.
D.
Poligami Perspektif Fazlur Rahman
a.
Pengertian
Poligami
Poligami adalah ikatan atau hubungan perkawinan lebih dari satu
yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan.[28]Dalam
antropologi sosial, poligami dapat dikatakan sebagai praktik pernikahan yang
mana melibatkan lebih dari satu suami atau istri (berdasarkan jenis kelamin
orang yang bersangkutan). Poligami sendiri terdiri dari dua macam, yakni
poligini dan poliandri. Poligini adalah perkawinan yang membolehkan bagi
seorang laki-laki memiliki beberapa istri dalam waktu yang bersamaan.
Sedangkan, poliandri adalah perkawinan yang membolehkan seorang wanita memiliki
beberapa suami dalam waktu yang bersamaan.[29]
Kebalikan dari poligami adalah monogami. Monogami yakni ikatan atau
hubungan perkawinan yang hanya membolehkan seseorang memiliki satu pasangan
dalam kurun waktu tertentu. Istilah lain dari monogami adalah monogini, yakni laki-laki
hanya boleh memiliki satu istri.[30]
b.
Poligami
dalam Prespektif Fazlur Rahman
Isu gender yang sampai saat ini masih menjadi masalah yang hangat
adalah poligami. Padahal di dalam Islam permasalahan poligami telah disebutkan
didalam QS. An-Nisa’ [4] ayat 3. Namun yang menjadi masalah adalah dalam kaitan
penafsiran dari QS. An-Nisa’ yang sangat beragam. Dari keberagaman penafsiran
ini terdapat tiga aliran yang berbicara menegenai hukum dari poligami.
1.
Aliran
yang menyatakan hukum poligami boleh secara mutlak.
Aliran ini
menyatakan kebolehan poligami secara mutlak dengan syarat maksimal empat.
Aliran yang berpendapat demikian adalah aliran dari golongan mufassir klasik
dan pertengahan.[31]
2.
Aliran
yang menyatakan hukum poligami boleh namun dalam keadaan darurat dan disertai
syarat yang ketat.[32]
Keadaan darurat dalam konteks ini yakni:
-
Istri
yang mandul sehingga tidak dapat melahirkan keturunan.
-
Suami
memiliki overseks, sedangkan istrinya memiliki kelemahan seks, memiliki
permasalahan terhadap masa haidnya sehingga seorang istri tidak mampu
memberikan hak suami secara penuh.
-
Perbandingan
jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki.[33]
Dalam hal tersebut, seorang laki-laki diperbolehkan menikah lagi,
namun tetap dengan persyaratan yang ketat. Aliran yang berpendapat demikian
adalah aliran dari golongan mufassir modern kontemporer.
3.
Aliran
yang melarang mutlak.
Aliran yang
melarang mutlak akan praktik poligami ini berasal dari kaum aktifis feminis
liberal. Mereka beranggapan bahwa praktik poligami adalah sesuatu yang
bertentangan dengan kesetaraan gender. Sebab poligami dianggap sebagai sesuatu
yang mendiskriminasi wanita.[34]
Secara tekstual, al-Qur’an telah menyinggung tentang adanya sistem
poligami. Namun, di sisi lain al-Qur’an juga memberikan poin-poin penting
terkait poligami, yakni: 1) pemberian batas maksimal mengenai jumlah pasangan,
2) mengenai tuntutan keadilan dari perempuan terhadap laki-laki, 3) peningkatan
nasib perempuan.
Menurut Fazlur Rahman ayat yang berkaitan dengan poligami tersebut
merupakan jawaban dari masalah sosial yang terjadi pada saat itu. Rahman juga
berpandangan bahwasanya al-Qur’an bukan semata-mata produk hukum, melainkan sebuah
prinsip dan seruan moral. Kemudian poin penting dari ketetapan al-Qur’an yakni
mengenai perempuan dan perbudakan, salah satunya mengenai poligami.[35]
Sebagaimana di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 187 mengkiaskan pasangan
suami istri seperti hanya libas atau pakaian. Dinyatakan pula bahwasanya
seorang perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, kecuali terhadap
masalah mencari nafkah yang mana dibebankan kepada kaum laki-laki.[36]
Poligami telah disinggung dalam QS. An-Nisa’ [4] ayat 3:
وَإِنۡ
خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ
ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ
فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا
تَعُولُواْ ٣
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Permasalahan dari ayat di atas adalah terkait penafsirannya,
sehingga tidak jarang orang melakukan praktik poligami karena menganggapnya
‘boleh’. Mereka yang beranggapan demikian, secara tidak langsung tidak
memperhatikan bagaimana asbabul nuzul dari ayat serta pesan moral yang
terkandung dalam praktik poligami tersebut. Seperti halnya di dalam QS.
An-Nisa’[4] ayat 2:
وَءَاتُواْ
ٱلۡيَتَٰمَىٰٓ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَتَبَدَّلُواْ ٱلۡخَبِيثَ بِٱلطَّيِّبِۖ
وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَهُمۡ إِلَىٰٓ أَمۡوَٰلِكُمۡۚ إِنَّهُۥ كَانَ حُوبٗا
كَبِيرٗا ٢
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”
Ayat tersebut diturunkan setelah terjadi Perang Uhud.Di dalam Perang
Uhud banyak tentara muslim yang mati syahid sehingga berimbas kepada keluarga
yang ditinggalkan. Terdapat dua permasalahan yang muncul setelah peperangan,
yakni: 1) mengenai anak yang kemudian menjadi yatim; 2) mengenai istri yang
kemudian menjadi janda.
Dengan adanya permasalahan yang demikian,
Rasulullah menugaskan para sahabat yang masih hidup untuk mengelola harta anak
yatim, namun kenyataannya tidak semua sahabat menjalankan amanah dengan baik.Di antara bentuk penyalahgunaan harta tersebut yakni menukar harta
anak yatim yang baik dengan harta sahabat yang buruk, serta memakannya secara
batil. Sehingga, turunlah teguran dari Allah dalam QS. An-Nisa’ [4]: 2. Setelah
adanya ayat tersebut, mereka justru memilih mengawini para gadis yatim
tersebut. Kemudian disinggung di QS. N-Nisa’ [4]: 127.
وَيَسۡتَفۡتُونَكَ
فِي ٱلنِّسَآءِۖ قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيكُمۡ فِيهِنَّ وَمَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ
فِي ٱلۡكِتَٰبِ فِي يَتَٰمَى ٱلنِّسَآءِ ٱلَّٰتِي لَا تُؤۡتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ
لَهُنَّ وَتَرۡغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ وَٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلۡوِلۡدَٰنِ
وَأَن تَقُومُواْ لِلۡيَتَٰمَىٰ بِٱلۡقِسۡطِۚ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ
فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِهِۦ عَلِيمٗا ١٢٧
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para
wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa
yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita
yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk
mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih
dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim
secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahuinya.”
Di dalam QS. An-Nisa’ [4]:3, apabila ditakutkan tidak bisa berlaku
adil terhadap harta dari gadis yatim yang mereka nikahi, maka diperbolehkan
menikahi gadis lain yang mereka senangi, dan apabila khawatir tidak bisa
berlaku adil, maka menikah dengan seorang saja. Penekanan konteks adil QS. An-Nisa’
[4]:3 ditegaskan kembali dalam QS. A-Nisa’ [4]:129.
Menurut Fazlur Rahman, ayat-ayat di atas
terkesan bertentangan, yakni antara diperbolehkannya poligami dengan maksimal
empat, kemudian tuntutan untuk berbuat adil, dan pernyataan yang tegas
bahwasanya tuntutan untuk berbuat adil adalah mustahil.[37]Mengenai pendapat bahwasanya poligami adalah legal menurut kaum
tradisionalis adalah mutlak,
sedangkan mengenai tuntutan keadilan didasarkan pada kesadaran suami. Pendapat
yang demikian ini sangat bertentangan dengan kaum modernis. Pandangan kaum
modernis yakni lebih menekankan pada tuntutan keadilan dan ketidakmungkinan
berbuat adil. Oleh karena itu, menurut modernis poligami tidaklah mutlak,
melainkan bersifat sementara dan dalam keadaan yang sangat darurat.[38]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya
di dalam QS. An-Nisa’ [4]: 3 dan QS. An-Nisa’ [4]: 129, secara tidak langsung memberikan rambu-rambu bahwasanya al-Qur’an
melarang poligami bagi mereka yang
khawatir tidak
bisa berlaku adil. Maka dapat
dikatakan pula bahwasanya prinsip sebenarnya dalam pernikahan adalah monogami.
Jika seseorang terpaksa berpoligami, maka tujuannya adalah tujuan sosial.
Secara emplisit bahwasanya poligami yang diterangkan dalam ayat
al-Qur’an tersebut berkaitan dengan penyantunan anak-anak yatim, orang-orang
terlantar, dan orang-orang miskin. Maka dari itu, ayat tentang poligami tidak
lantas dimaknai semata-mata untuk kepentingan pribadi. Setidaknya, apabila
masyarakat tidak mampu meninggalkan poligami, maka poligami dijadikan jalan
perbaikan struktur sosial. Secara hukum, boleh berpoligami dengan pembatasan
maksimal empat perempuan, namun secara moral di balik pembatasan tersebut
terdapat usaha untuk memperbaiki struktur sosial.[39]
E.
PENUTUP
Demikianlah
pemaparan penulis mengenai hukum poligami perspektif Fazlur Rahman. Fazlur
Rahman dalam menanggapi isu poligami melihat bagaimana konteks ayat-ayat dalam
al-Qur’an terkait poligami tersebut. Beliau menafsirkan ayat-ayat poligami
menggunakan hermeneutika double movement yakni melibatkan ‘gerakan
ganda’ yang mengacu pada kejadian saat ini menuju kejadian ketika al-Qur’an
diturunkan, kemudian dikembalikan lagi kepada situasi saat ini. Penafsiran
tersebut menggunakan pendekatan sosio-historis yang berkaitan
dengan berbagai aspek latar belakang.Metode
penafsiran hermeneutika double mevoment ini hanya dapat digunakan untuk
ayat yang bersifat “hukum” bukan untuk ayat yang bersifat metafisik.
Berdasarkan penafsiran dari
ayat-ayat terkait poligami di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam QS. An-Nisa’ [4]: 3 dan QS. An-Nisa’ [4]: 129, secara tidak langsung memberikan
rambu-rambu bahwasanya al-Qur’an melarang poligami bagi mereka yang khawatir tidak bisa berlaku adil. Maka dapat dikatakan pula bahwasanya prinsip sebenarnya dalam pernikahan
adalah monogami. Jika seseorang terpaksa berpoligami, maka tujuannya adalah
tujuan sosial, melihat sosio-historis bagaimana ayat tersebut diturunkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiarti. “Studi Metode Ijtihad Double Movement Fazlur Rahman
Terhadap Pembaruan Hukum Islam.” Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam.Vol.3,
no. 1 (Juli 2017). http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=809907&val=13227&title=STUDI%20METODE%20IJTIHAD%20DOUBLE%20MOVEMENT%20FAZLUR%20RAHMAN%20TERHADAP%20PEMBARUAN%20HUKUM%20ISLAM,
diakses 02 Mei 2019.
Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta:
Paramadina, 1996.
Iqbal, Abu Muhammad. Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015.
Khalil, Umi Azizah. Percayalah, Perempuan Itu Lebih Gampang
Masuk Surga. Yogyakarta: Araska, 2018.
Mulia, Musdah. Pandangan Islam Tentang Poligami. Jakarta:
Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer.
Yogyakarta: LKiS Group, 2012.
Nadia, Zunly. “Membaca Ayat Poligami Bersama Fazlur Rahman.” Jurnal
Studi Islam.Vol.2, no. 1 (Desember 2017).
http://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/mukaddimah/article/download/1369/1185,
diakses 27 April 2019.
Rahman, Fazlur. Metode dan Alternatif Neomodernisasi Islam.
Bandung: Mizan, 1993.
———. Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Pustaka, 1996.
Shidiq, Sapiudin. Fikih Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia
Group, 2016.
Catatan:
Makalah sudah bagus, similarity 4%.
[1]Musdah Mulia, Pandangan
Islam Tentang Poligami (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), hlm.
3.
[2]Ibid., hlm. 4.
[3]Budiarti, “Studi
Metode Ijtihad Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Pembaruan Hukum Islam,” Zawiyah
Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 3, no. 1 (Juli 2017): 22,
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=809907&val=13227&title=STUDI%20METODE%20IJTIHAD%20DOUBLE%20MOVEMENT%20FAZLUR%20RAHMAN%20TERHADAP%20PEMBARUAN%20HUKUM%20ISLAM.
[4]Fazlur Rahman, Metode
dan Alternatif Neomodernisasi Islam, Terj. Taufik Adnan Amal (Bandung:
Mizan, 1993), hlm. 13.
[5]Zunly Nadia,
“Membaca Ayat Poligami Bersama Fazlur Rahman,” Jurnal Studi Islam,Vol.2,
no. 1 (Desember 2017): 205,
http://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/mukaddimah/article/download/1369/1185.
[6]Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS Group, 2012), hlm. 88.
[8]Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, hlm. 90.
[9]Rahman, Metode
dan Alternatif Neomodernisasi Islam, hlm. 13.
[10]Ibid., hlm. 13–14.
[11]Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, hlm. 90.
[13]Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, hlm. 92
[14]Ibid.,hlm. 174.
[15]Ibid., hlm. 175.
[16]Ibid., hlm. 175–176.
[17]Ibid., hlm. 178.
[18]Abu Muhammad Iqbal,
Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 629–630.
[19]Rahman, Metode
dan Alternatif Neomodernisasi Islam, hlm. 24.
[20]Komarudin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 195.
[21]Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, hlm. 178.
[22]Ibid., hlm. 178–179.
[23]Hidayat, Memahami
Bahasa Agama, hlm. 196.
[24]Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, hlm. 180.
[25]Ibid., hlm. 181
[26]Ibid., hlm. 183.
[27]Hidayat, Memahami
Bahasa Agama, hlm. 197.
[28]Mulia, Pandangan
Islam Tentang Poligami, hlm. 2.
[29]Umi Azizah Khalil, Percayalah,
Perempuan Itu Lebih Gampang Masuk Surga (Yogyakarta: Araska, 2018), hlm. 119.
[30]Mulia, Pandangan
Islam Tentang Poligami, hlm. 2.
[31]Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, hlm. 257–258.
[32]Ibid., hlm. 258.
[33]Sapiudin Shidiq, Fikih
Kontemporer (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hlm. 63.
[34]Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, hlm. 258.
[35]Ibid., hlm. 258.
[36]Ibid., hlm. 259.
[37]Fazlur Rahman, Tema
Pokok Al-Qur’an (Bandung: Pustaka, 1996), hlm. 69.
[39]Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, 262.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar