Senin, 22 April 2019

Ta'arudh dan Tarjih, Amr dan Nahy (PAI F Semester Genap 2018/2019)



TA’ARUDH, TARJIH, AL-AMRU, DAN AL-NAHYU
Savina Ila Rahma dan Slamet Waluyo
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Kelas F Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: s.waluyo1997@gmail.com

Abstrak
Dalam artikel ini, membahas tentang beberapa cara untuk mengambil suatu menarik suatu keputusan dan menetapkan hukum islam. Untuk mengambil suatu keputusan, dalam dilakukan dengan cara ta’arudl, tarjih, amr dan nahyu. Ta’arudl sendiri adalah pertentangan antara dua dalil, sedangkan tarjih adalah salah satu dalil zhanni yang dikukuhkan dengan dalil yang lain. Amr adalah lafad yg menunjukkan perintah untuk melakukan sesuatu sedangkan nahyu adalah larangan untuk melakukan sesuatu.
Kata kunci: ta’arudl, tarjih, amr, nahyu
Abstract
In a this article, discuss about several ways for take a some judgment and assign a islamic law. To tak a judgement, can do with ta’arudl, tarjih, amr and nahyu. Ta’arudl is opposition two argument, tarjih is dalil dzanni be reinforce with other dalil. Amr is lafad showing a intstruction to do something and nahyu is prohibiton to do something.
Keyword: ta’arudl, tarjih, amr, nahyu
A.    Pendahuluan
Banyak cara kita untuk mendalami ilmu ushul fiqh, bermacam-macamnya pemecahan permasalahan ditawarkan bila seseorang tertarik dengan ilmu tersebut. Kemampuan setaip manusia untuk berfikir adalah anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT. Bila, seseorang hanya paham ilmu agama dengan pemahaman langsung dalil naqli atau al-Qur’an dan Sunnah tidaklah semudah seperti membalikkan kedua telapak tangan. Banyak sekali yang perlu dipahami sebelum seseorang memahami dari induknya segala hukum islam. Maka, diperlukan ilmu-ilmu yang lain, untuk dapat menguasai al-Qur’an dan Sunnah secara utuh dan memudahkan pemahaman dari kandungan-kandungan ataupun maksud dari dalil naqli. Ta’arudh, tarjih, amr, dan nahyu dari keempat hal tersebut, merupakan cabang dari ilmu ushul fiqh. Penggunaan pemahaman akal merupakan hal penting, untuk memahami ushul fiqh diperlukan dan menjadi peran penting seseorang ingin mehamai kandungan atau maksud dari al-Qur’an dan Sunnah.

B.     Pengertian Amr
Menurut Imam Al Ghazali dalam kitabnya al Mustafa, mengatakan bahwa al amr (perintah) adalah lawan dari an Nahy (larangan). Al Ghazali memberikan pengertian:
الامر انه القول المقتضى طاعة  المأمور بفعل المأموربه
“Amar itu ialah atau tuntunan secara substansial mematuhi perintah dengan atau melaksanakan apa yang diperintahkan disebut. memberikan pengertian bahwa Al Amar merupakan perintah yang menuntut untuk dipenuhi sesuai dengan apa yang kandungan dari perintah tersebut.
Menurut Abdul Karim Zaidan, al Amr suatu lafadz yang digunakan sebagai tuntutan untuk melakukan perbuatan yang hadir dari tingkatan yang lebih tinggi.[1]
Menurut ulama ushul fiqh, amr adalah
القول المقظي طاعة المامور بفعل الماوربه
"suaru ucapan yang menghendaki kepatuhan seseotang untuk melakukan suatu perbuatan"
Atau menurut istilah adalah
طلب القعل من الاعلى الى الادفى
"tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah."
Terdapat dalam al quran surat al baqarah ayat 110 yang ditujukan kepada orang orang yang beriman:
واقيم الصلاة وءاتوا الزكاة
Artinya: dirikanlah sholat dan bayarlah zakat
Dari pengertian diatas ditemukan bahwa amar itu sebenarnya adalah
1. Bahwa ia adalah perkataan yang berbentuk perintah, seperti al baqarah ayat 110
2. Perkataan dari pihak yang lebih tinggi
3. Ada perbuatan yang diuntut, seperti sholat dan zakat
4. Ayat yang diperintah yang kedudukannya lebih rendah[2]
 Amr dalam Bahasa Arab artinya “perintah”, menurut istilah, amr adalah lafad yang menunjukkan perintah untuk mengerjakan sesuatu dari atasan kepada bawahan.
Dari pengertian diatas, dapat dilihat bahwa amr bukan hanya ditunjukkan oleh lafad yang menggunakan sighat amr, tetapi ditunjukkan pula dalam semua bentuk kata yang mengandung makna perintah, karena perintah itu terkadang memakai kata kata samar.
Shigat amar
Amar yang diketahui melalui tanda atau shigat yang menunjukkan ia adalah amar.
1.      Shigat yang shahih, adalah shigat yang khusus digunakan untuk amr, dan tidak digunakan untuk maksud yang lain. Shigat shahih ada 2 macam, yaitu
a.       Fi’l amri seperti dalam firman Allah Q.S al Baqarah ayat 110
b.      Fi’l mudhari, yang diawali dengan lam al amr, seperti dalam Q.S al baqaeah ayat 282
وليكتب بينكم كاتب بالعدل
(seorang penulis yang adil diantaramu hendaknya menuliskannya)
2.      Shigat yang zhahir, yaitu tanda atau shigat yang bermakna untuk amar, namun juga digunakan untuk kepentingan lain.
a.       Isim fi'l al amr, terdapat dalan surat al baqarah ayat 180
كتب عليكم اذا حضر احد كم الموت ان
Diwajibkan atas kamu apa bila seorang diantara kamu Kedatangan tanda tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan kerabat karibnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang orang yang bertakwa
b.      Masdar pengganti fi'l al amr, seperti dalam Q. S al baqarah ayat 83:
وبالو لدين احسانا
Artinya: Berbuat baiklah kamu kepada orang tuamu
c.       Lafaz berita yang berarti perintah, umpamanya firman Allah dalam Q. S al Baqarah ayat 228
والمطلقا يتربصن بانفسهن ثلاثة فروء
Wanita wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
d.       Menggunakan kata امر ,  seperti firman Allah dalam surat an Nahl ayat 90
ان الله بامربا لعدل و الاحسان وايتاء ذي القربئ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat
e.       Adanya pujian yang melakukan perbuatan, seperti pada Q. S An Nisa: 13
تلك حدود الله ومن يطع الله ورسوله يدخله جنات تجر من تحتها الانهر خالدين فيها وذالك الفوز العظيم
(hukum hukum tersebut itu adalah ketentuan dari Allah, barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalam sungai sungai, sedang mereka kekeal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar
f.       Adanya ancaman bagi yang tidak melakukannya, seperti ancaman Allah terhadap yang tidak melaksanakan ketemtuan Allah tentang pembagian warisan. Sebgaimana dalam firman Allah pada Q. S an Nisa: 14
ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده يدخله نارا خالدا فيها وله عذاب مهين
            Artinya: dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan ketentuan Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedangkan ia kekal didalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.[3]
3.      Kaidah kaidah yang berhubungan dengan Amr
Apabila didalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk amr, maka menurut Muhammad Adib Shaleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa dilakukan
1.      Kaidah pertama
الا صل فى الامر للرجوب” pada dasarnya, perintah itu wajib dilaksanakan, kecuali ada dalil yang menyimpang dari hukum tersebut.
Contoh perintah yang terlepas dari petunjuk yang menyimpang dari hukum wajib adalah Q.S an Nisa ayat 77
.....واقيموا الصلاة وءاتو الزكاة........
Artinya: ..... dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat...

2.      Kaidah kedua
دلالة الامر على التكرار او الوحدة” apakah suatu perintah harus dilakukan berulang kali?. Menurut Jumhur Ulama fiqh, sebenarnya tidak ada perintah untuk melakukannya berulang kali kecuali ada dalil untuk itu.
Contohnya, pada Q.S al Baqarah ayat 196
واتموا الحخ والعمرة لله...
Artinya: dan sempurnakanlah haji dan umroh karena Allah...
Perintah melaksanakan haji dalam ayat tersebut sudah dapat terpenuhi dengan melaksanakan haji sekali dalam seumur hidup.
3.      Kaidah ketiga
دلالة الامر على الفور او التراخى” adalah suatu perintah, apakah harus dilaksanakan secepat mungkin atau bisa ditunda?
Sebenarnya,perintah yang tidak menghendaki untuk cepat dilakukan selama tidak ada dalil lain untuk menunjukkan waktu itu, karena maksud dari suatu perintaah itu hanya untuk menciptakan perbuatan yang diperintahkan. Menurut para jumhur ulama, suatu ajaran kebaikan harus segera dilakukan, bukan ditarik dari perintah itu sendiri. Seperti dalam Q.S al Baqarah: 148
.....زفا ستبقوا الخيرات.....
Artinya: ...maka berlomba lombalah dalam membuat kebaikan....
Menurut sebagian ulama, Abu al Hasan al Karkhi, dinukil Muhammad Adib Shahih, bahwa suatu perintah yang menampilkan hukum wajib harus segera dilakukan.[4]

C.    Pengertian Nahyu
1.      Pengertian
nahy menurut etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti larangan atau mencegah, ada beberapa pengertian dari pendapat ulama mengenai nahy menurut Zaky al-Din Sya’ban dalam bukunya menjelaskan bahwa
هو ما دل على طلب الامىناع الفعل
Nahy ialah tuntunan yang menunjukkan larangan untuk berbuat.
 Selain itu menurut Zaky al Din sya’ban ada juga pendapat dari syaikh al-khudari Beik. Beliau menyebutkan nahy sebagai berikut
النهي هو طلب الكف عن فعل
Al-nahy ialah tuntutan yang mengandung larangan untuk melakukan perbuatan yang datang dari yang lebih tinggi  kedudukannya.[5]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa nahy menurut istilah adalah suatu larangan untuk melakukan perbuatan, dari atasan kepada bawahan atau bisa juga dari allah SWT kepada hambanya maksudnya adalah Suatu bentuk larangan atau cegahan agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang yang datangnya dari syar'i yang telah ditetapkan dalam Nash yaitu al-qur'an dan Sunnah. Sebenarnya nahi merupakan kebalikan dari Amr Jika amr adalah suatu perintah yang wajib dilaksanakan maka Nahi dapat diartikan sebagai suatu larangan yang wajib ditinggalkan.oleh karena itu jika terdapat lafal yang mengandung kata nahi atau larangan maka lafal itu bisa menimbulkan hukum haram.
2.      Karakteristik
Ada beberapa karakter yang tergolong dalam bentuk nahy menurut Mustafa said Al-khin beliau berpendapat bahwa ada 4 macam karakteristik yang bisa digolongkan kepada nahy
a)      Fiil mudhari’ yang digabungkan dengan لا ناهية  yang menunjukan makna larangan yang tidak boleh dilakukan seperti dalam firman allah di dalam surat Al-Isra’ ayat 32
وَلَاتَقْرَبُواالزِّنَاۖإِنَّهُكَانَفَاحِشَةًوَسَاءَسَبِيلًا
artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
b)      Kata yang bentuknya perintah yang menuntut menjauhi atau meninggalkan suatu perbuatan seperti firman allah dalam surat al-Hajj ayat 30
فَاجْتَنِبُواالرِّجْسَمِنَالْأَوْثَانِوَاجْتَنِبُواقَوْلَالزُّورِ
Artinya “maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”
c)      Menggunakan lafal nahyi itu sendiri seperti dalam surat An-Nahl ayat 90
إِنَّاللَّهَيَأْمُرُبِالْعَدْلِوَالْإِحْسَانِوَإِيتَاءِذِيالْقُرْبَىٰوَيَنْهَىٰعَنِالْفَحْشَاءِوَالْمُنْكَرِوَالْبَغْيِۚيَعِظُكُمْلَعَلَّكُمْتَذَكَّرُونَ
Artinya “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
d)     Jumlah khabariyah, yang dimaksud dengan jumlah khabariyah adalah kalimat berita yang menunjukkan sebuah larangan dengan menyatakan tidak halalnya sesuatu atau haramnya sesuatu seperti firman allah dalam surat An-Nisa ayat 19
لا يحل لكم ان ترثوا النساء كرها
Artinya “ tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa.”[6]
3.      Penggunaan Shigat an Nahy
a)    Untuk menjelaskan haramnya sesuatu misalnya dalam al-quran surat Al-Isra ayat 32
ولا تقربوا الزنا...
Artinya: dan janganlah kamu mendekati zina
b)    Untuk menunjukkan doa atau permohonan misalnya dalam Q.S ali Imran : 8
ربنت لا تزغ قلوبنا بعد اذ هدينا
Artinya: wahai tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kejahatan setelah beri petunjuk kepada kami.
c)    Untuk menunjukkan bimbingan atau arahan seperti dalam firman allah dalam Q.S Al-maidah : 101
يايها الذين امنو لا تسالو عن اشياء ان تبد بكم تسوكم
Artinya: hai orang orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal hal yang jika diterangkan kepada kamu, niscaya akan menyusahkan kamu
d)    Menunjukkan ancaman , ancaman ini dimaksudkan agar menakuti supaya tidak berbuat
e)    Menunjukkan hinaan atau merendahkan seperti dalam Q.S Thaha : 131
ولا تمدن عينيك ما متعنا به ازواجا منهم زهرة الحياة الدنيا
Artinya: dan janganlah kamu menunjukkan mata kamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia
f)     Menjelaskan suatu akibat dari suatu perbuatan seperti ditunjukkan dalam Q.S Ibrahim : 42
ولا تحسبن الله غافلا عما يعمل الظالمون
Artinya: dan janganlah sekali kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang orang zalim[7]
4.    Penunjukan (Dalalah) lafadz nahyi terhadap hukum
Dalam kaidah ushuk fiqh yang berbunyi الأصل فى النهى للتحري (hukum asal bagi larangan itu adalah haram) hukum ini bisa tdak haram jikalau ada dalil lain yang mengeluarkanya dari asal haram tersebut seperti
a)    Untuk hukum Makruh  للكراهة

لا يمسن احد كم ذكره وهو يبول
“jangan lah orang menyentuh zakarnya ketika sedang kencing”
b)    Untuk mendidik, misalnya dalam firman allah surat al maidah ayat 101
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالَاتَسْأَلُواعَنْأَشْيَاءَإِنْتُبْدَلَكُمْتَسُؤْكُمْ
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu”
c)    Untuk merendahkan sebagaimana yang ditunjukkan dalam Q.S al Hijr ayat 88
لاتمدن عينيك الى ما متعنا به ازواجا منهم ولا تحزن عليهم
Artinya “Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu)”
d)    Untuk menerangkan akibat, sebagaimana yang di jelaskan dalam Q.S Ibrahim ayat 42
ولا تحسبن الله غافلا عما يعمل الظالمون انما يؤخرهم ليوم تشخص فيه الا بصار
Artinya “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak,”
e)    Untuk menyatakan keputusan, sebagaimana dalam firman allah surat at-tahrim ayat : 7
ياأيها اللذين كفروا لا تعتذروا اليوم انما تجزون ماكنتم تعملون
Artinya “Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.[8]

D.    Pengertian Ta’arudh al-Adillah
Ta’arudh adalah istilah bahasa arab  (التعارض) yang diartikan “pertentangan”,  adapun al-Adillah juga merupakan kata serapan dari bahasa arab (الادلة) yang merupakan jamak dari kata dalil (الدليل) yang diartikan “alasan”. Ta’arudh al-Adillah termasuk pembahasan penting oleh para ulama di dalam persoalan ilmu ushul fiqih, saat terjadi perbedaan diantara para ulama tentang satu dalil dengan dalil lainnya memiliki kedudukan yang sama.
Pada dasarnya, seperti ditegaskan Wahbah Zuhaili, tidak ada pertentangan dalam kalam Allah dan Rasulnya.[9] Pertentangan antara dalil satu dengan dalil yang lain, hal itu bukanlah kebenaran yang nyata atau ketetapan nash. Tetapi, pertentangan yang dimaksudkan adalah pandangan dari para mujtahid untuk mengkategorikan dalil yang qot’i ataupun dalil yang dzanni.
Dengan beberapa pendapat para ulama kita dapat mendifinisikan bahwa ta’arudh ialah menentutukan salah satu hukum suatu peristiwa pada waktu tertentu terhaap hukum yang kontradiktif dengan hukum yang telah ditentukan dalil lain.

Pembagian Ta’arudh al-Adillah
Terdapat 4 macam pembagian Ta’arudh al-Adillah, yaitu:[10]
a.       (Ta‘ārudh) al-Qur’an dengan al-Qur’an
Contohnya ada di dalam QS. al-Māidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pada ayat diatas menyebutkan, darah haram untuk di konsumsi. Ketetapan yang ada di ayat tersebut masih umum, bisa diambil kesimpulan bahwa semua bentuk darah diharamkan.

Dalam QS. al-An’ām ayat 145:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Berbeda dengan maksud ayat di surah al-maidah yang disebutkan tadi. Ayat diatas memiliki makna mengecualikan darah yang boleh di konsumsi asal darah tersebut tidak mengalir, contohnya hati, limpa, sumsum dan darah pada daging yang melekat.
b.      Ta‘arudh antara al-Qur’an dengan Sunnah
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (al-Nisā’ [4]: 11)
Dalam sebuah  hadist riwayat imam al-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah:
" القاتل لا يرث "
Artinya: “orang yang membunuh tidak bisa mewarisi”(HR. al-Tirmidzi)
Pada ayat diatas diterangkan, bahwa seorang anak laki-laki mendapatkan dua dari bagian harta waris. Tetapi di dalam matan hadist menerangkan untuk anak yang menghabiskan nyawa orang tua kandungnya tidak bisa menerima harta waris.
Keterangan jelas pada kedua dalil antara ayat dan matan hadist sangat bertentangan/ta’arudh mengenai hukum pembagian harta waris. Dan kalau dipahami lebih mendalam lagi mengenai kedua dalil diatas tidak ada pertentangan, karena isi dalam hadist hanya menerangkan pengecualian dari yang berhak mendapat waris, istilah tersebut lebih dikenal disebut takhshish (تخصيص), semua anak laki-laki perempuan berhak mendapatkan bagian harta wari dengan perbandingan 1:2, namun dikecualikan bagi mereka yang membunuh orang tuanya.
c.       Ta‘arudh antara Sunnah dengan Sunnah
Rasulullah saw bersabda:
لا ربا في النسيئة (رواه اليخاري ومسلم)
Artinya: “Tidak ada riba kecuali nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang)”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadist menjelaskan bahwa suatu perkara dikatakan riba, apabila riba tersebut muncul dari utang piutang atau riba nasi’ah.
Rasulullah menyatakan:
لا تبيعواالذهب بالذهب الا مثلا بمثل (رواه البخاري ومسلم)
Artinya:  “Jangan kamu jual emas dengan emas kecuali dalam jumlah yang sama”. (HR. Bukhari dan Muslim)
            Adapun hadist ini diartikan bahwa riba dari proses transaksi diharamkan/riba al-fadl. Dari kedua hadits di atas mengandung keterangan yang bertentangan. Hadist pertama diperkenankan dan yang hadits kedua diharamkan.
d.      Ta’arudh antara Sunnah Dan Qiyas
Dikalangan masyarakat sudah saling memahami, bahwasannya perintah menyembelih hewan aqiqah untuk laki-laki 2 ekor dan bagi perempuan 1 ekor, apabila hal tersebut di qiyaskan maka 2 ekor kambing disamakan dengan seekor sapi.

1.      Pengertian Tarjih
Tarjih (الترجيح) dalam bahasa adalah تغليب, menguatkan, atau التميل, kecenderungan.[11] Dari arti tersebut memberikan pengertian, bahwa tarjih adalah menguatkan dalil agar tidak menjadi keraguan kepada dari yang dikuatkan. Menurut Muḥammad Wafâ, tarjîḥ secara bahasa adalah mengunggulkan sesuatu dengan lebih condong padanya dan memenangkannya.[12] Dari penjelasan tersebut tarjih lebih kepada penguatan salah satu dari dua dalil, untuk diambil salah satu satu dalil atau pendapat yang lebih kuat untuk bisa diamalkan, dan yang lain selain itu tidak dipakai.
Dalil pada dasarnya saling bertentangan yang satu dengan yang lain, diperlukan penguatan karena pengambilan hukum atau dasar tidak bisa begitu saja diambil. Kesesuaian amaliah dan dasar keilmuan merupakan hal penting agar memperkecil resiko yang di dapat atau malah sebaliknya malah menambah keuntungan karena yang dilakukan sesuai dengan prosedur/dalil/pendapat. Apalagi pengambilan hukum atau dalil berkaitan dengan persoalan agama, yang merupakan hal yang sakral karena bukan dampak nanti (akhirat) yang dirasakan, tetapi juga berhubungan dengan maslahat orang banyak. Dengan kondisi sekarang ini atau di masa ini, yang sudah berkembang informasi yang begitu cepat, campur aduk antara informasi yang benar atau salah, dan kondisi masyarakat yang mudah menerima karena keterbatasan pengetahuan yang sudah hampir merata. Maka, sangat diperlukan pemikiran kritis. Tarjih sendiri sudah digunakan oleh banyak kalangan ulama salaf sejak dahulu.
Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil yang (berkualitas) dhanniy dari yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.[13] Dari definisi diatas bisa dipahami bahwasannya tarjih pada obyeknya mengandung kualitas dalil yang dhanniyyatud dalalah, karena itu tarjih juga tidak tergolong persoalan kotegori qot’i maupun dzonni. Di dalam penentuan tarjih digunakan dua istilah yaitu rojih dan marju’ adapun penggunaannya, rajih dipakai apabila dalil tersebut tergolong kuat dan bisa langsung diamalkan dan adapun marju’. Sebutan marju’ digunakan apabila dalil tersebut lemah dan tidak boleh diamalkan.
2.      Pengaplikasian Tarjih
Banyak sumber yang mengatakan bahwa teori dalam pengaplikasian tarjih terdapat banyak cara tidak hanya satu dan dua saja tetapi lebih dari itu. Secara garis besar metode tarjih ialah di permasalahan dua dalil yang saling bertentangan lahiriah dan dua dalil tersebut tidak dapat dicari penyelesaiannya dengan menggunakan teori nasakh dan teori al-jam’u wa al-taufiq, maka teori lain yang bisa dipakai adalah al-tarjih baina al-qiyas dan al-tarjih baina al-nushush.
Para ulama yang ahli dalam ushul fiqh mengkonsepkan dalam pembahasan tarjih al-adillah terbagi 2 cara sudut pandang atau teori, yaitu al-tarjih bayn al-nushush (menguatkan salah satu nash al-Qur’an atau Hadits yang saling bertentangan) dan al-tarjih bayn al-aqyisah (menguatkan salah satu qiyas yang saling bertentangan).[14]
Terdapat dua sudut pandang dalam pengaplikasian teori ini yaitu[15]:
a). Teori Tarjih Baina al-Nushush
1)    Dari sisi sanad.
                               I.            Meneliti kualitas perawi yang berada pada jalur periwayatan sanad hadist, dengan cara melakukan penilitian tentang biografi ataupun sepak terjang setiap perawi kuhususnya kemampuan intelektual hadis mereka pada masa hidupnya agar bisa dicari yang kuat dengan yang lemah kemampuan masing-masing para perawi.
                            II.            Menganalisis para periwayat hadits maksudnya melihat banyaknya atau sedikitnya yang meriwayat hadits tersebut, nantinya bisa dikategorikan mana mutawatir, ahad, shohih dsb.
                         III.            Melihat proses pertama penerimaan hadits yang bersumber langsung dari Rasulullah SAW.
2)   Dari sisi matan.
                            I.               Mendahulukan hadits yang mengandung larangan daripada hadits yang mengandung makna perintah.
                         II.               Mendahulukan hadits yang mangandung makna perintah dan seyogyanya hadits yang mengandung kebolehan tidak didahulukan.
                      III.               Mendahulukan isi hadits yang berlafal hakiki dan yang berarti majazi untuk diakhirkan.
3)                                                                                                                    3) Dari sisi kandungan hukum
                        I.                    Mendahulukan kandungan hadits yang berbahaya dari pada yang mentakrikkan/membolehkan.
                     II.                   Mendahulukan matan yang mengandung makna meniadakan dari pada yang menetapkan.
                  III.                   Mendahulukan kandungan matan yang menghindarkan kemudhorotan dari pada yang mengajak ke manfaatan.
b). Teori Tarjih Baina al-Qiyas
1)      Dari sisi hukum asal
                               I.            Qiyas yang dikuatkan karena asal hukumnya berkedudukan qath’iy.
                            II.            Qiyas yang dikuatkan karena dasar dari ijma’ dan berdasarkan ketetapan nash.
                         III.            Qiyas yang dikuatkan karena pendukungnya dari kaidah-kaidah yang khusus.
2)      Dari sisi hukum cabang
                            I.               Cabang hukum yang dikuatkan karena kemasukan setelahnya dari bandingan asal hukumnya.
                         II.               Cabang hukum yang dikuatkan dan illatnya tergolong qoth’iy.
                      III.               Penetapan cabang hukum yang dikuatkan dengan sejumlah penalaran akal pikiran.


Catatan:
1.      Similarity 8%
2.      Mana penutu/kesimpulannya?
3.      Mana daftar pustakanya?
4.      Footnote bagian amr dan nahy salah penulisannya, malah membuat kacau

Makalah ini sepertinya belum siap untuk dikirimkan.


[1] Zein,Ma’shum, 2016, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, Yogyakarta: Pustaka Pesantren
[2]Syarifuddin, Amir, 2012, Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana
[3]Syarifuddin, Amir, 2012, Garis Besar ushul Fiqh, jakarta: Kencana Group
[4]Romli, 2014, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, Yogyakarta, Pustaka Pelajar hal 184-187
[5]Zeid, ma’sum, 2016, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, Yogyakarta, bantul hal 316
[6]Romli, 2014, Studi Perbandingan Ilmu Fiqh, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
[7]Ibid, hal 260-263
[8]Syarifuddin, Amie, 2012, Garis Garis BesarbbUshul Fiqh, Jakarta, Kencana hal 131
[9]Satria Efendi, “Ushul Fiqh” Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 239
[10]Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,"Ta'arudh Al-Adillah". ISSN: 2085-6792, al-Mizan, Vol.2, No. 2, Hlm. 114
[11]M. Ma'shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-Sumbernya, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2013, hlm. 393
[12]Imron Rosyidi,“Tarjih Sebagai Metode: Perspektif Usul Fiqh”. ISSN: 1412-5722. Vol. 1 No. 1, ishroqi 20017, hal. 12
[13] Op.cit., hlm. 393
[14] Ainol Yaqin,”Urgensias Tarjih Dalam Istinbath Hukum Islam”.  al-Hikam. Vol. 10 No. 1 2015, hlm. 117.
[15]M. Ma'shum Zein, op.cit., hlm. 394-403

Tidak ada komentar:

Posting Komentar