TA’ARUDH,
TARJIH, AL-AMRU, DAN AL-NAHYU
Savina
Ila Rahma dan Slamet Waluyo
Mahasiswa
Pendidikan Agama Islam Kelas F Angkatan 2016
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail:
s.waluyo1997@gmail.com
Abstrak
Dalam artikel ini, membahas tentang beberapa cara untuk mengambil suatu
menarik suatu keputusan dan menetapkan hukum islam. Untuk mengambil suatu
keputusan, dalam dilakukan dengan cara ta’arudl, tarjih, amr dan nahyu.
Ta’arudl sendiri adalah pertentangan antara dua dalil, sedangkan tarjih adalah
salah satu dalil zhanni yang dikukuhkan dengan dalil yang lain. Amr adalah
lafad yg menunjukkan perintah untuk melakukan sesuatu sedangkan nahyu adalah
larangan untuk melakukan sesuatu.
Kata kunci: ta’arudl, tarjih, amr, nahyu
Abstract
In a this article, discuss about several ways for take a some
judgment and assign a islamic law. To tak a judgement, can do with ta’arudl,
tarjih, amr and nahyu. Ta’arudl is opposition two argument, tarjih is dalil
dzanni be reinforce with other dalil. Amr is lafad showing a intstruction to do
something and nahyu is prohibiton to do something.
Keyword:
ta’arudl, tarjih, amr, nahyu
A.
Pendahuluan
Banyak cara
kita untuk mendalami ilmu ushul fiqh, bermacam-macamnya pemecahan permasalahan
ditawarkan bila seseorang tertarik dengan ilmu tersebut. Kemampuan setaip
manusia untuk berfikir adalah anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT. Bila,
seseorang hanya paham ilmu agama dengan pemahaman langsung dalil naqli atau
al-Qur’an dan Sunnah tidaklah semudah seperti membalikkan kedua telapak tangan.
Banyak sekali yang perlu dipahami sebelum seseorang memahami dari induknya
segala hukum islam. Maka, diperlukan ilmu-ilmu yang lain, untuk dapat menguasai
al-Qur’an dan Sunnah secara utuh dan memudahkan pemahaman dari kandungan-kandungan
ataupun maksud dari dalil naqli. Ta’arudh, tarjih, amr, dan nahyu dari keempat
hal tersebut, merupakan cabang dari ilmu ushul fiqh. Penggunaan pemahaman akal
merupakan hal penting, untuk memahami ushul fiqh diperlukan dan menjadi peran
penting seseorang ingin mehamai kandungan atau maksud dari al-Qur’an dan
Sunnah.
B.
Pengertian
Amr
Menurut Imam Al Ghazali dalam kitabnya al Mustafa, mengatakan bahwa
al amr (perintah) adalah lawan dari an Nahy (larangan). Al Ghazali memberikan
pengertian:
الامر انه القول المقتضى طاعة المأمور بفعل المأموربه
“Amar itu ialah atau tuntunan secara
substansial mematuhi perintah dengan atau melaksanakan apa yang diperintahkan
disebut. memberikan pengertian bahwa Al Amar merupakan perintah yang menuntut
untuk dipenuhi sesuai dengan apa yang kandungan dari perintah
tersebut.
Menurut Abdul Karim Zaidan, al Amr suatu
lafadz yang digunakan sebagai tuntutan untuk melakukan perbuatan yang hadir
dari tingkatan yang lebih tinggi.[1]
Menurut ulama ushul fiqh, amr adalah
القول المقظي طاعة المامور بفعل الماوربه
"suaru ucapan yang menghendaki kepatuhan seseotang untuk melakukan suatu
perbuatan"
Atau menurut istilah adalah
طلب القعل من الاعلى الى الادفى
"tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dari pihak yang lebih
tinggi kepada pihak yang lebih rendah."
Terdapat
dalam al quran surat al baqarah ayat 110 yang ditujukan kepada orang orang yang
beriman:
واقيم الصلاة وءاتوا الزكاة
Artinya: dirikanlah sholat dan bayarlah zakat
Dari pengertian diatas ditemukan bahwa amar itu
sebenarnya adalah
1. Bahwa ia adalah perkataan yang berbentuk perintah,
seperti al baqarah ayat 110
2. Perkataan dari pihak yang lebih tinggi
3. Ada perbuatan yang diuntut, seperti sholat dan
zakat
4. Ayat yang diperintah yang kedudukannya lebih rendah[2]
Amr dalam
Bahasa Arab artinya “perintah”, menurut istilah, amr adalah lafad yang
menunjukkan perintah untuk mengerjakan sesuatu dari atasan kepada bawahan.
Dari pengertian diatas, dapat dilihat bahwa
amr bukan hanya ditunjukkan oleh lafad yang menggunakan sighat amr, tetapi
ditunjukkan pula dalam semua bentuk kata yang mengandung makna perintah, karena
perintah itu terkadang memakai kata kata samar.
Shigat amar
Amar yang diketahui melalui tanda atau
shigat yang menunjukkan ia adalah amar.
1. Shigat yang shahih, adalah shigat yang
khusus digunakan untuk amr, dan tidak digunakan untuk maksud yang lain. Shigat
shahih ada 2 macam, yaitu
a. Fi’l amri seperti dalam firman Allah Q.S al
Baqarah ayat 110
b. Fi’l mudhari, yang diawali dengan lam al
amr, seperti dalam Q.S al baqaeah ayat 282
وليكتب بينكم كاتب بالعدل
(seorang penulis yang adil
diantaramu hendaknya menuliskannya)
2. Shigat yang zhahir, yaitu tanda atau shigat
yang bermakna untuk amar, namun juga digunakan untuk kepentingan lain.
a. Isim fi'l al amr, terdapat dalan surat al
baqarah ayat 180
كتب عليكم اذا حضر احد كم الموت ان
Diwajibkan atas kamu apa bila seorang diantara kamu Kedatangan
tanda tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu
bapak dan kerabat karibnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang
orang yang bertakwa
b. Masdar pengganti fi'l al amr, seperti dalam Q. S al baqarah ayat
83:
وبالو لدين احسانا
Artinya: Berbuat baiklah kamu kepada orang
tuamu
c. Lafaz berita yang berarti perintah,
umpamanya firman Allah dalam Q. S al Baqarah ayat 228
والمطلقا يتربصن بانفسهن ثلاثة فروء
Wanita wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali quru'
d. Menggunakan kata امر
, seperti firman Allah dalam surat an Nahl ayat
90
ان الله بامربا لعدل و الاحسان وايتاء ذي القربئ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat
e.
Adanya pujian
yang melakukan perbuatan, seperti pada Q. S An Nisa: 13
تلك حدود الله ومن يطع الله ورسوله يدخله جنات تجر من تحتها الانهر
خالدين فيها وذالك الفوز العظيم
(hukum hukum tersebut itu adalah ketentuan dari Allah, barangsiapa
taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang
mengalir di dalam sungai sungai, sedang mereka kekeal di dalamnya dan itulah
kemenangan yang besar
f.
Adanya ancaman
bagi yang tidak melakukannya, seperti ancaman Allah terhadap yang tidak
melaksanakan ketemtuan Allah tentang pembagian warisan. Sebgaimana dalam firman
Allah pada Q. S an Nisa: 14
ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده يدخله نارا
خالدا فيها وله عذاب مهين
Artinya:
dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan
ketentuan Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedangkan ia
kekal didalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.[3]
3.
Kaidah kaidah
yang berhubungan dengan Amr
Apabila didalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk amr,
maka menurut Muhammad Adib Shaleh, ada beberapa kaidah yang mungkin bisa
dilakukan
1.
Kaidah pertama
“الا صل فى الامر للرجوب” pada dasarnya, perintah itu
wajib dilaksanakan, kecuali ada dalil yang menyimpang dari hukum tersebut.
Contoh perintah yang terlepas dari petunjuk yang
menyimpang dari hukum wajib adalah Q.S an Nisa ayat 77
.....واقيموا الصلاة وءاتو
الزكاة........
Artinya: ..... dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah
zakat...
2. Kaidah kedua
“دلالة الامر على التكرار او
الوحدة” apakah suatu perintah
harus dilakukan berulang kali?. Menurut Jumhur Ulama fiqh, sebenarnya tidak ada
perintah untuk melakukannya berulang kali kecuali ada dalil untuk itu.
Contohnya, pada Q.S al Baqarah ayat 196
واتموا الحخ والعمرة لله...
Artinya: dan sempurnakanlah haji dan umroh karena
Allah...
Perintah melaksanakan haji dalam ayat tersebut sudah
dapat terpenuhi dengan melaksanakan haji sekali dalam seumur hidup.
3. Kaidah ketiga
“دلالة الامر على الفور او
التراخى” adalah suatu
perintah, apakah harus dilaksanakan secepat mungkin atau bisa ditunda?
Sebenarnya,perintah yang tidak menghendaki untuk cepat
dilakukan selama tidak ada dalil lain untuk menunjukkan waktu itu, karena
maksud dari suatu perintaah itu hanya untuk menciptakan perbuatan yang
diperintahkan. Menurut para jumhur ulama, suatu ajaran kebaikan harus segera
dilakukan, bukan ditarik dari perintah itu sendiri. Seperti dalam Q.S al
Baqarah: 148
.....زفا ستبقوا الخيرات.....
Artinya: ...maka berlomba lombalah dalam membuat
kebaikan....
Menurut sebagian ulama, Abu al Hasan al Karkhi,
dinukil Muhammad Adib Shahih, bahwa suatu perintah yang menampilkan hukum wajib
harus segera dilakukan.[4]
C.
Pengertian
Nahyu
1.
Pengertian
nahy menurut etimologi berasal dari
bahasa Arab yang berarti larangan atau mencegah, ada beberapa pengertian dari
pendapat ulama mengenai nahy menurut Zaky al-Din Sya’ban dalam bukunya
menjelaskan bahwa
هو ما دل على طلب
الامىناع الفعل
Nahy ialah tuntunan yang menunjukkan
larangan untuk berbuat.
Selain itu menurut Zaky al Din sya’ban ada
juga pendapat dari syaikh al-khudari Beik. Beliau menyebutkan nahy sebagai
berikut
النهي هو طلب الكف عن فعل
Al-nahy ialah tuntutan yang
mengandung larangan untuk melakukan perbuatan yang datang dari yang lebih
tinggi kedudukannya.[5]
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa
nahy menurut istilah adalah suatu larangan untuk melakukan perbuatan, dari
atasan kepada bawahan atau bisa juga dari allah SWT kepada hambanya maksudnya
adalah Suatu bentuk larangan atau cegahan agar tidak melakukan perbuatan yang
dilarang yang datangnya dari syar'i yang telah ditetapkan dalam Nash yaitu
al-qur'an dan Sunnah. Sebenarnya nahi merupakan kebalikan dari Amr Jika amr
adalah suatu perintah yang wajib dilaksanakan maka Nahi dapat diartikan sebagai
suatu larangan yang wajib ditinggalkan.oleh karena itu jika terdapat lafal yang
mengandung kata nahi atau larangan maka lafal itu bisa menimbulkan hukum haram.
2. Karakteristik
Ada beberapa karakter yang tergolong
dalam bentuk nahy menurut Mustafa said Al-khin beliau berpendapat bahwa ada 4
macam karakteristik yang bisa digolongkan kepada nahy
a)
Fiil mudhari’ yang digabungkan dengan لا ناهية yang menunjukan makna
larangan yang tidak boleh dilakukan seperti dalam firman allah di dalam surat
Al-Isra’ ayat 32
وَلَاتَقْرَبُواالزِّنَاۖإِنَّهُكَانَفَاحِشَةًوَسَاءَسَبِيلًا
artinya “Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
b)
Kata yang bentuknya perintah yang menuntut menjauhi atau
meninggalkan suatu perbuatan seperti firman allah dalam surat al-Hajj ayat 30
فَاجْتَنِبُواالرِّجْسَمِنَالْأَوْثَانِوَاجْتَنِبُواقَوْلَالزُّورِ
Artinya “maka
jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta.”
c)
Menggunakan lafal nahyi itu sendiri seperti dalam surat
An-Nahl ayat 90
إِنَّاللَّهَيَأْمُرُبِالْعَدْلِوَالْإِحْسَانِوَإِيتَاءِذِيالْقُرْبَىٰوَيَنْهَىٰعَنِالْفَحْشَاءِوَالْمُنْكَرِوَالْبَغْيِۚيَعِظُكُمْلَعَلَّكُمْتَذَكَّرُونَ
Artinya “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
d)
Jumlah khabariyah, yang dimaksud dengan jumlah khabariyah
adalah kalimat berita yang menunjukkan sebuah larangan dengan menyatakan tidak
halalnya sesuatu atau haramnya sesuatu seperti firman allah dalam surat An-Nisa
ayat 19
لا يحل لكم ان ترثوا النساء كرها
Artinya “ tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa.”[6]
3.
Penggunaan Shigat an Nahy
a)
Untuk menjelaskan haramnya sesuatu misalnya dalam al-quran
surat Al-Isra ayat 32
ولا تقربوا الزنا...
Artinya: dan janganlah kamu mendekati zina
b)
Untuk menunjukkan doa atau permohonan misalnya dalam Q.S ali
Imran : 8
ربنت لا تزغ قلوبنا بعد اذ هدينا
Artinya:
wahai tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kejahatan
setelah beri petunjuk kepada kami.
c)
Untuk menunjukkan bimbingan atau arahan seperti dalam firman
allah dalam Q.S Al-maidah : 101
يايها الذين امنو لا تسالو عن اشياء ان
تبد بكم تسوكم
Artinya: hai
orang orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal hal
yang jika diterangkan kepada kamu, niscaya akan menyusahkan kamu
d)
Menunjukkan ancaman , ancaman ini dimaksudkan agar menakuti
supaya tidak berbuat
e)
Menunjukkan hinaan atau merendahkan seperti dalam Q.S Thaha :
131
ولا تمدن عينيك ما متعنا به ازواجا
منهم زهرة الحياة الدنيا
Artinya: dan
janganlah kamu menunjukkan mata kamu kepada apa yang telah kami berikan kepada
golongan golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia
f)
Menjelaskan suatu akibat dari suatu perbuatan seperti
ditunjukkan dalam Q.S Ibrahim : 42
ولا تحسبن الله غافلا عما يعمل
الظالمون
Artinya: dan
janganlah sekali kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat
oleh orang orang zalim[7]
4. Penunjukan (Dalalah) lafadz nahyi
terhadap hukum
Dalam kaidah ushuk fiqh yang berbunyi الأصل فى
النهى للتحري (hukum asal bagi larangan itu adalah
haram) hukum ini bisa tdak haram jikalau ada dalil lain yang mengeluarkanya
dari asal haram tersebut seperti
a)
Untuk hukum Makruh للكراهة
لا يمسن احد كم ذكره وهو يبول
“jangan lah orang menyentuh zakarnya ketika sedang kencing”
b)
Untuk mendidik, misalnya dalam firman allah surat al maidah
ayat 101
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالَاتَسْأَلُواعَنْأَشْيَاءَإِنْتُبْدَلَكُمْتَسُؤْكُمْ
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan
(kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu”
c)
Untuk merendahkan sebagaimana yang ditunjukkan dalam Q.S al
Hijr ayat 88
لاتمدن عينيك الى ما متعنا به ازواجا منهم ولا تحزن عليهم
Artinya “Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu
kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di
antara mereka (orang-orang kafir itu)”
d)
Untuk menerangkan akibat, sebagaimana yang di jelaskan dalam
Q.S Ibrahim ayat 42
ولا تحسبن الله
غافلا عما يعمل الظالمون انما يؤخرهم ليوم تشخص فيه الا بصار
Artinya “Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira,
bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim.
Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu
itu mata (mereka) terbelalak,”
e)
Untuk menyatakan keputusan, sebagaimana dalam firman allah
surat at-tahrim ayat : 7
ياأيها اللذين
كفروا لا تعتذروا اليوم انما تجزون ماكنتم تعملون
Artinya “Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan
uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang
kamu kerjakan.[8]
D.
Pengertian
Ta’arudh al-Adillah
Ta’arudh adalah
istilah bahasa arab (التعارض) yang
diartikan “pertentangan”, adapun al-Adillah
juga merupakan kata serapan dari bahasa arab (الادلة) yang merupakan jamak dari kata dalil (الدليل)
yang diartikan “alasan”. Ta’arudh al-Adillah termasuk pembahasan penting oleh
para ulama di dalam persoalan ilmu ushul fiqih, saat terjadi perbedaan diantara
para ulama tentang satu dalil dengan dalil lainnya memiliki kedudukan yang
sama.
Pada dasarnya,
seperti ditegaskan Wahbah Zuhaili, tidak ada pertentangan dalam kalam Allah dan
Rasulnya.[9]
Pertentangan antara dalil satu dengan dalil yang lain, hal itu bukanlah
kebenaran yang nyata atau ketetapan nash. Tetapi, pertentangan yang dimaksudkan
adalah pandangan dari para mujtahid untuk mengkategorikan dalil yang qot’i
ataupun dalil yang dzanni.
Dengan beberapa
pendapat para ulama kita dapat mendifinisikan bahwa ta’arudh ialah menentutukan
salah satu hukum suatu peristiwa pada waktu tertentu terhaap hukum yang kontradiktif
dengan hukum yang telah ditentukan dalil lain.
Pembagian Ta’arudh al-Adillah
Terdapat
4 macam pembagian Ta’arudh al-Adillah, yaitu:[10]
a.
(Ta‘ārudh)
al-Qur’an dengan al-Qur’an
Contohnya
ada di dalam QS. al-Māidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ
إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا
بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ
دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak
panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Pada ayat diatas menyebutkan, darah haram untuk di konsumsi.
Ketetapan yang ada di ayat tersebut masih umum, bisa diambil kesimpulan bahwa
semua bentuk darah diharamkan.
Dalam QS. al-An’ām ayat 145:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ
طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ
لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Tiadalah aku
peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Berbeda dengan maksud ayat di
surah al-maidah yang disebutkan tadi. Ayat diatas memiliki makna mengecualikan
darah yang boleh di konsumsi asal darah tersebut tidak mengalir, contohnya
hati, limpa, sumsum dan darah pada daging yang melekat.
b.
Ta‘arudh antara
al-Qur’an dengan Sunnah
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ
Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan (al-Nisā’ [4]: 11)
Dalam sebuah hadist riwayat
imam al-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah:
" القاتل لا يرث "
Artinya: “orang yang membunuh tidak bisa mewarisi”(HR. al-Tirmidzi)
Pada ayat diatas diterangkan, bahwa seorang anak laki-laki
mendapatkan dua dari bagian harta waris. Tetapi di dalam matan hadist
menerangkan untuk anak yang menghabiskan nyawa orang tua kandungnya tidak bisa
menerima harta waris.
Keterangan
jelas pada kedua dalil antara ayat dan matan hadist sangat bertentangan/ta’arudh
mengenai hukum pembagian harta waris. Dan kalau dipahami lebih mendalam lagi
mengenai kedua dalil diatas tidak ada pertentangan, karena isi dalam hadist
hanya menerangkan pengecualian dari yang berhak mendapat waris, istilah
tersebut lebih dikenal disebut takhshish (تخصيص), semua anak laki-laki perempuan berhak
mendapatkan bagian harta wari dengan perbandingan 1:2, namun dikecualikan bagi
mereka yang membunuh orang tuanya.
c.
Ta‘arudh antara
Sunnah dengan Sunnah
Rasulullah saw bersabda:
لا ربا في النسيئة (رواه اليخاري ومسلم)
Artinya: “Tidak ada riba kecuali nasi’ah (riba yang muncul dari
utang piutang)”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadist menjelaskan bahwa suatu perkara dikatakan riba,
apabila riba tersebut muncul dari utang piutang atau riba nasi’ah.
Rasulullah menyatakan:
لا تبيعواالذهب
بالذهب الا مثلا بمثل (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Jangan kamu jual
emas dengan emas kecuali dalam jumlah yang sama”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun hadist ini
diartikan bahwa riba dari proses transaksi diharamkan/riba al-fadl. Dari
kedua hadits di atas mengandung keterangan yang bertentangan. Hadist pertama
diperkenankan dan yang hadits kedua diharamkan.
d.
Ta’arudh antara
Sunnah Dan Qiyas
Dikalangan
masyarakat sudah saling memahami, bahwasannya perintah menyembelih hewan aqiqah
untuk laki-laki 2 ekor dan bagi perempuan 1 ekor, apabila hal tersebut di
qiyaskan maka 2 ekor kambing disamakan dengan seekor sapi.
1.
Pengertian
Tarjih
Tarjih (الترجيح) dalam bahasa adalah تغليب, menguatkan, atau التميل, kecenderungan.[11]
Dari arti tersebut memberikan pengertian, bahwa tarjih adalah menguatkan dalil
agar tidak menjadi keraguan kepada dari yang dikuatkan. Menurut Muḥammad Wafâ,
tarjîḥ secara bahasa adalah mengunggulkan sesuatu dengan lebih condong padanya
dan memenangkannya.[12]
Dari penjelasan tersebut tarjih lebih kepada penguatan salah satu dari dua
dalil, untuk diambil salah satu satu dalil atau pendapat yang lebih kuat untuk
bisa diamalkan, dan yang lain selain itu tidak dipakai.
Dalil pada dasarnya saling bertentangan yang satu dengan yang lain,
diperlukan penguatan karena pengambilan hukum atau dasar tidak bisa begitu saja
diambil. Kesesuaian amaliah dan dasar keilmuan merupakan hal penting agar
memperkecil resiko yang di dapat atau malah sebaliknya malah menambah keuntungan
karena yang dilakukan sesuai dengan prosedur/dalil/pendapat. Apalagi
pengambilan hukum atau dalil berkaitan dengan persoalan agama, yang merupakan
hal yang sakral karena bukan dampak nanti (akhirat) yang dirasakan, tetapi juga
berhubungan dengan maslahat orang banyak. Dengan kondisi sekarang ini atau di
masa ini, yang sudah berkembang informasi yang begitu cepat, campur aduk antara
informasi yang benar atau salah, dan kondisi masyarakat yang mudah menerima
karena keterbatasan pengetahuan yang sudah hampir merata. Maka, sangat
diperlukan pemikiran kritis. Tarjih sendiri sudah digunakan oleh banyak
kalangan ulama salaf sejak dahulu.
Tarjih ialah menguatkan salah satu dalil yang (berkualitas) dhanniy
dari yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.[13]
Dari definisi diatas bisa dipahami bahwasannya tarjih pada obyeknya mengandung
kualitas dalil yang dhanniyyatud dalalah, karena itu tarjih juga tidak
tergolong persoalan kotegori qot’i maupun dzonni. Di dalam penentuan tarjih
digunakan dua istilah yaitu rojih dan marju’ adapun penggunaannya, rajih
dipakai apabila dalil tersebut tergolong kuat dan bisa langsung diamalkan dan
adapun marju’. Sebutan marju’ digunakan apabila dalil tersebut lemah dan tidak
boleh diamalkan.
2.
Pengaplikasian
Tarjih
Banyak sumber yang mengatakan bahwa teori dalam pengaplikasian tarjih
terdapat banyak cara tidak hanya satu dan dua saja tetapi lebih dari itu.
Secara garis besar metode tarjih ialah di permasalahan dua dalil yang saling
bertentangan lahiriah dan dua dalil tersebut tidak dapat dicari penyelesaiannya
dengan menggunakan teori nasakh dan teori al-jam’u wa al-taufiq,
maka teori lain yang bisa dipakai adalah al-tarjih baina al-qiyas dan al-tarjih
baina al-nushush.
Para ulama yang ahli dalam ushul fiqh mengkonsepkan dalam
pembahasan tarjih al-adillah terbagi 2 cara sudut pandang atau teori,
yaitu al-tarjih bayn al-nushush (menguatkan salah satu nash al-Qur’an
atau Hadits yang saling bertentangan) dan al-tarjih bayn al-aqyisah
(menguatkan salah satu qiyas yang saling bertentangan).[14]
Terdapat dua sudut pandang dalam pengaplikasian teori ini yaitu[15]:
a).
Teori Tarjih Baina al-Nushush
1)
Dari sisi
sanad.
I.
Meneliti
kualitas perawi yang berada pada jalur periwayatan sanad hadist, dengan cara
melakukan penilitian tentang biografi ataupun sepak terjang setiap perawi
kuhususnya kemampuan intelektual hadis mereka pada masa hidupnya agar bisa
dicari yang kuat dengan yang lemah kemampuan masing-masing para perawi.
II.
Menganalisis
para periwayat hadits maksudnya melihat banyaknya atau sedikitnya yang
meriwayat hadits tersebut, nantinya bisa dikategorikan mana mutawatir, ahad,
shohih dsb.
III.
Melihat proses
pertama penerimaan hadits yang bersumber langsung dari Rasulullah SAW.
2)
Dari sisi
matan.
I.
Mendahulukan
hadits yang mengandung larangan daripada hadits yang mengandung makna perintah.
II.
Mendahulukan
hadits yang mangandung makna perintah dan seyogyanya hadits yang mengandung
kebolehan tidak didahulukan.
III.
Mendahulukan
isi hadits yang berlafal hakiki dan yang berarti majazi untuk diakhirkan.
3)
3) Dari sisi
kandungan hukum
I.
Mendahulukan
kandungan hadits yang berbahaya dari pada yang mentakrikkan/membolehkan.
II.
Mendahulukan
matan yang mengandung makna meniadakan dari pada yang menetapkan.
III.
Mendahulukan
kandungan matan yang menghindarkan kemudhorotan dari pada yang mengajak ke
manfaatan.
b). Teori Tarjih Baina al-Qiyas
1)
Dari sisi hukum
asal
I.
Qiyas yang
dikuatkan karena asal hukumnya berkedudukan qath’iy.
II.
Qiyas yang
dikuatkan karena dasar dari ijma’ dan berdasarkan ketetapan nash.
III.
Qiyas yang
dikuatkan karena pendukungnya dari kaidah-kaidah yang khusus.
2)
Dari sisi hukum
cabang
I.
Cabang hukum
yang dikuatkan karena kemasukan setelahnya dari bandingan asal hukumnya.
II.
Cabang hukum
yang dikuatkan dan illatnya tergolong qoth’iy.
III.
Penetapan
cabang hukum yang dikuatkan dengan sejumlah penalaran akal pikiran.
Catatan:
1.
Similarity 8%
2.
Mana
penutu/kesimpulannya?
3.
Mana daftar
pustakanya?
4.
Footnote bagian
amr dan nahy salah penulisannya, malah membuat kacau
Makalah
ini sepertinya belum siap untuk dikirimkan.
[1]
Zein,Ma’shum, 2016, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, Yogyakarta: Pustaka Pesantren
[2]Syarifuddin,
Amir, 2012, Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana
[3]Syarifuddin,
Amir, 2012, Garis Besar ushul Fiqh, jakarta: Kencana Group
[4]Romli,
2014, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, Yogyakarta, Pustaka Pelajar hal 184-187
[5]Zeid,
ma’sum, 2016, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, Yogyakarta, bantul hal 316
[6]Romli,
2014, Studi Perbandingan Ilmu Fiqh, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
[7]Ibid, hal
260-263
[8]Syarifuddin,
Amie, 2012, Garis Garis BesarbbUshul Fiqh, Jakarta, Kencana hal 131
[9]Satria
Efendi, “Ushul Fiqh” Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 239
[10]Dosen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,"Ta'arudh Al-Adillah". ISSN:
2085-6792, al-Mizan, Vol.2, No. 2, Hlm. 114
[11]M.
Ma'shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh Apa dan Bagaimana Hukum Islam
Disarikan dari Sumber-Sumbernya, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2013, hlm.
393
[12]Imron
Rosyidi,“Tarjih Sebagai Metode: Perspektif Usul Fiqh”. ISSN: 1412-5722.
Vol. 1 No. 1, ishroqi 20017, hal. 12
[13]
Op.cit., hlm. 393
[14] Ainol Yaqin,”Urgensias
Tarjih Dalam Istinbath Hukum Islam”.
al-Hikam. Vol. 10 No. 1 2015, hlm. 117.
[15]M.
Ma'shum Zein, op.cit., hlm. 394-403
Tidak ada komentar:
Posting Komentar