Senin, 22 April 2019

Mantuq dan Mafhum, Mujmal dan Mubayyan (PAI F Semester Genap 2018/2019)



MANTHUQ, MAFHUM, MUJMAL, DAN MUBAYYAN
Nur Dhuha Zulfa Aliyya (16110108)  Lu’luil Maknun (16110118)
Mahasiswa PAI F Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email : maknunilmaluluk@gmail.com
ABSTRACT
Language is a tool that can not be separated in daily life, and has a very important role, namely as a communication tool and a means to interact with other humans. So that later among fellow humans can understand each other and understand the intent, feelings, and ideas of the conversation. Language is communication tool between humans and between humans and Alloh, through Kalamullah with his servants. However, to understand Kalamullah is not easy as understanding conversations between humans. Therefore, in terms of language contained in Kalamullah, it needs a deep and specific understanding, so that later it will not be wrong in understanding the meaning or purpose that is in Kalamullah. Because there are many unclear meanings, in this case there is a verse, namely ayat Mujmal and Mubayyan. There is a verse where in terms of its designation in is a good law wich can be understood directly or called the Manthuq verse. On the contrary, there are also veses that can not be understand directly and require a first pointer or can be called the mafhum verse.
Keywords : Manthuq, Mafhum, Mujmal, Mubayyan
ABSTRAK
Bahasa merupakan suatu alat yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari, serta memiliki peran yang sangat penting yaitu sebagai alat komunikasi dan sarana untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Agar nantinya antar sesama manusia bisa saling mengerti dan memahami maksud, perasaan,dan gagasan pembicaraannya. Bahasa merupakan alat komunikasi antar sesama manusia maupun antara manusia dengan Allah, melalui kalamullah dengan para hamba-Nya. Namun, untuk memahami kalamullah tidak semudah memahami percakapan antar manusia. Oleh karena itu, dalam segi bahasa yang terdapat dalam kalamullah perlu pemahaman yang mendalam dan spesifik, agar nantinya tidak salah dalam memahami makna atau maksud yang ada dalam kalamullah. Karena banyaknya makna yang belum jelas, dalam hal ini ada ayat yang belum jelas maknanya yaitu ayat mujmal dan mubayyan. Terdapat ayat dimana jika ditinjau dari segi penunjukannya( dalalah) akan suatu hukum baik yang dapat dipahami secara langsung atau disebut dengan ayat manthuq. Begitu juga sebaliknya, ada juga ayat yang tidak dapat dipahami secara langsung dan membutuhkan penunjuk terlebih dahulu atau bisa disebut dengan ayat mafhum.
Kata Kunci : Manthuq, Mafhum, Mujmal, Mubayyan
A.  PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari- hari Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman bagi umat Islam, yang mana di dalamnya terdapat hukum Islam yang telah ditetapkan oleh Allah.  Setiap tindakan yang dikerjakan oleh umat Islam haruslah sesuai dengan aturan atau ketentuan-ketentuan yang telah disyariatkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Namun, dalam memahami maksud dan kandungan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits tidaklah mudah, ada beberapa makna yang masih samar dan membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Untuk bisa memahami maksud-maksud yang terkandung di dalamnya yaitu dengan menggunakan ilmu ushul fiqh. Dalam ilmu ushul fiqh ada beberapa bab yang menjelaskan secara rinci dan jelas tentang makna yang masih belum jelas di Al-Qur’an dan Hadits.
Beberapa bab yang ada dalam ushul fiqh diantaranya yaitu Manthuq, Mafhum, Mujmal, dan Mubayyan. Pembahasan mengenai ini sangat penting, karena untuk mendapatkan suatu pemahaman yang mantab memerlukan ketelitian dan pengetahuan yang luas agar lebih cepat memahaminya. Dengan mengetahui Manthuq, Mafhum, Mujmal, dan Mubayyan bisa mempermudah dalam mengklasifikasikan yang mana perkataan yang masih memerlukan penjelasan yang lebih lanjut karena masih bersifat umum dan jelas sehingga maksudnya dapat diuraikan dengan jelas.
Oleh karena itu, perlunya mempelajari hal ini, agar nantinya bisa mempermudah dalam mengetahui dan memahami makna yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an, serta mengetahui hukum yang ada di dalamnya. Makalah ini akan membahas tentang jenis-jenis lafadz yang terdiri dari Manthuq, Mafhum, Mujmal, dan Mubayyan.

B.  AL-MANTHUQ(( المنطوق
1.      PENGERTIAN MANTHUQ
Manthuq artinya adalah yang diucapkan, yang tersurat atau teks, dan lain-lain. [1]Manthuq  secara bahasa berarti “ sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah Ushul Fiqh berarti pengertian harfiah dari suatu lafadz yang diucapkan.[2]Para ahli ushul fiqh mendefinisikan manthuq yaitu sebagai berikut :

دلا اللفظ في محل المنطق علي حكم المذ كور
“ Penunjukan lafadz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebut dalam lafadz itu”
Dari definisi di atas mengandung makna bahwasanya dalam memahami suatu hukum menurut segala sesuatu yang tersurat secara jelas dalam lafadz tersebut, pemahaman tersebut dinamakan pemahaman secara “manthuq”.[3]Yakni suatu hukum yang diambil berdasarkan bunyi suatu dalil , maka hal tersebut disebut manthuq, yaitu menurut manthuqnya yang artinya berdasarkan apa adanya.[4]  Contohnya terdapat dalam QS. Al-Maidah : 1 dan QS. Al-Baqarah : 183 sebagai berikut :
-          Ayat tentang anjuran wajib menepati janji
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ 
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, tepatilah janji-janjimu. (QS. Al-Maidah:1)
Makna yang tersirat dalam ayat tersebut  berisi suatu anjuran tentang kewajiban dalam menepati janji. Menepati janji itu berlaku bagi semua orang, baik janji antara sesama manusia atau janji kepada Allah. Oleh karena itu hukum menepati janji itu sesuai denganpernyataan tersebut yang  diambil dari bunyi ayat berdasarkan manthuq-nya.
-          Ayat tentang anjuran berpuasa[5]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa ( QS. Al-Baqarah : 183).
Berdasarkan bunyi ayat tersebut, dapat dikatakan bahwasanya puasa Ramadhan itu hukumnya wajib bagi orang muslim. Dan hukum wajib tersebut berdasarkan manthuqnya.
2.                  KLASIFIKASI MANTHUQ
Menurut Ulama Ushul Fiqh, manthuq dibagi menjadi dua yaitu Manthuq Sharih atau Manthuq An-Nash dan Manthuq Ghairu Sharih atau Az-Zahir, yaitu sebagai berikut :[6]
1.      Manthuq Sharih atau An-Nash
Manthuq sharih menurut bahasa berarti “sesuatu yang diucapkan dengan tegas atau jelas”. Maksudnya ialah lafadz yang tidak memungkinkan untuk di ta’wil. Sedangkan menurut istilah adalah seperti yang dikemukakan oleh Musthafa Sa’id al-Khin sebagai berikut :
ماوضع اللفظ له,فيدل له بالمطابقة اوبالتضمين
Artinya : Makna yang secara tegas ditunjukkan oleh suatu lafadz yang sesuai dengan penciptaannya baik secara penuh atau berupa bagiannya.
Contohnya dalam firman Allah surat An-Nisa’ ayat 3 yang mencantumkan hukum bahwa seorang laki-laki boleh menikahi lebih dari satu orang wanita, asalkan dengan syarat bahwa laki-laki tersebut bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya. Jika tidak bisa berlaku adil, maka wajib membatasi menikahi seorang saja. Manthuq sharih ini di kalangan Hanafiyah dikenal dengan istilah Ibarat al-Nash.
Contoh lain yaitu terdapat dalam firman Allah QS. Al-Maidah : 89 sebagai berikut :
 فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ 
Artinya : Maka hendaklah berpuasa tiga hari (QS. Al-Maidah : 89)
Ayat tersebut sudah menunjukkan dengan tegas dan jelas tentang hukum wajibnya berpuasa tiga hari. Karena sudah jelas maka tidak perlu dita’wilkan.
2.      Manthuq Ghairu Sharih atau Az-Zahir
Zahir artinya yang nampak atau yang nyata. Maksudnya bahwa lafadz tersebut memungkinkan adanya penakwilan. Yang demikian ini juga sering disebut dengan nama ghairu sharih yang memiliki arti tidak jelas maksudnya.
Contohnya terdapat dalam QS. Adz-Zariyat : 47 sebagai berikut [7]:
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
Artinya : dan langit itu kami bangun dengan tangan (QS. Adz-Zariyat :47)
Berdasarkan ayat tersebut arti “tangan” bisa dimaknai atau ditakwilkan, yang memiliki arti “Kekuasaan atau kekuatan”. Karena mustahil bahwa Allah memiliki tangan seperti halnya manusia pada umumnya. Manthuq ghairu sharih dibagi menjadi tiga bagian yaitu sebagai berikut [8]:
1.      Dalalat al-Ima’ yaitu suatu pengertian yang tidak ditunjukkan oleh lafadznya, akan tetapi melalui pengertian logisnya karena menyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebutkan suatu sifat atau peristiwa. Misalnya dalam Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِاللَّه عَنْ النَّبِيُّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ قاَلَ مَنْ اَحْيَ أَرْضاً مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ (رواه الترمذي)

Artinya : Dari jabir bin Abdillah, dari Nabi SAW Bersabda : Barangsiapa yang menghidupkan ( mulai mengolah ) tanah yang sudaah mati, maka tanah itu menjadi miliknya ( HR. At-Tirmidzi )
Ayat tersebut menyebutkan bahwa dalalat al-ima’nya yaitu  aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illat bagi pemilikan tanah untuknya.
2.      Dalalat al-Isyarat,yaitu suatu pengertian yang ditunjukkan oleh adanya suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya. Akan tetapi suatu kepastian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi tersebut. Maka hukum yang ditarik melalui dalalat al- isyarat ini dianggap sebagai hukum yang ditunjuk oleh manthuq secara tidak tegas. Contohnya terdapat dalam QS. Al- Ahqaf yaitu :

وَوَالصَّيْنَا الاِنْساَنَ بِوَالِدَيْهِ إِحْساَناً حَمَلَتْهُ اُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصاَلُهُ ثلاثُوْنَ شَهْراً

Artinya : kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya, ibunya mengandung dengan susah payah. Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan ( QS. Al-Ahqaf : 15)
Dan dalam QS. Luqman : 14 dijelaskan pula

ووالصين الإنسان بوا لديه حملته أمه وهنا علي وهن وفصاله في عامين ان اشكرلي ولوالديك إلي المصير

Artinya : dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun ( QS. Luqman: 4)
            Manthuq pada ayat pertama menunjukkan jumlah masa kandungan dan masa menyusui yaitu selama tiga puluh bulan. Pada ayat kedua dijelaskan bahwa masa menyusui selama dua tahun (dua puluh empat bulan). Itu menunjukkan bahwa sisanya enam bulan, yang artinya itu merupakan batas minimal dalam kandungan. Kesimpulannya adalah masa minimal kandungan adalah enam bulan bukan dimaksud oleh turunnya ayat. Akan tetapi merupakan suatu kepastian dari dua ayat tersebut.
3.      Dalalat al-Iqtida’ adalah menyisipkan kata secara tersirat dalam pemahaman pada redaksi tertentu, karena itu merupakan cara untuk memahaminya. Contohnya terdapat dalam sebuah hadits Rasulullah sebagai berikut :

عَنْ أَبِي ذَرٍّ الغِفاَرِي قاَل قاَلَ رَسُوْلُ اللّه صَلّي اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إنَّ اللّهَ تَجاَوَزَ عَنْ اُمَّتِي الخَطَأ والنِّسْياَنَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (رواه ابن ماجه)
Artinya : dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda : “ sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa, dan keterpaksaan.” (HR Ibnu Majah)
Hadits tersebut sudah menunjukkan makna yang sudah jelas tidak lurus, karena bertentangan dengan kebenaran. Maka dari itu, untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat. Kata al-ism artinya dosa atau al hukm artinya hukum, sehingga menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa dan hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau atau terpaksa.[9]
C.    MAFHUM(المفهوم)
1.      PENGERTIAN MAFHUM
Mafhum menurut bahasa berarti “sesuatu yang dipahami dari suatu teks”, sedangkan menurut istilah ialah “ pengertian tersirat dari suatu lafadz ( mafhum muwafaqoh) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafadz yang diucapkan ( mafhum mukhalafah).[10]Sedangkan mafhum menurut istilah ulama Ushul Fiqh adalah [11]:
دلالة اللفظ لا في محل النطق علا ثبوت حكم ما ذكرلما سكت عليه اوعلي نفي الحكم عنه
Artinya : penunjukan lafadz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan  terhadap apa yang tidak disebutkan, atau tidak berlakunya hukum itu”.
Sedangkan dalam buku karya Ma’sum Zein dijelaskan bahwa pengertian mafhum adalah sebagai berikut[12] :
اَلْمَفْهُوْمُ هُوَ مَادَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ لَافِي مَحَلِّ النُّطْقِ
Artinya : Mafhum adalah suatu hukum yang diterangkan oleh suatu lafadz tidak menurut bunyi lafadz itu sendiri, akan tetapi menurut pembahasannya atau menurut arti yang tersimpan dan terkandung di dalam lafadz tersebut.

Maksudnya adalah hukum yang diambil semata-mata tidak diperoleh hanya dari bunyi suatu dalil, akan tetapi juga berdasarkan arti/ makna yang terkandung  dalam lafadz tersebut. Misalnya tentang ayat yang menjelaskan tentang nafkah istri yang telah di talak oleh suaminya sebagai berikut :
وَاِنْ كُنَّ اُوْلاَتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتَّي يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya : Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil,maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.
Ayat tersebut mengandung pengertian hukum yang tidak tertulis, yaitu perempuan hamil yang ditalak oleh suaminya. Maka dari itu, istri tidak wajib diberi nafkah oleh mantan suaminya, sebab menurut apa yang tertulis dalam ayat tersebut menyebutkan bahwasanya yang harus diberi nafkah ialahapabila wanita tersebut dalam keadaan hamil. Mafhum-nya jika ia tidak hamil maka ia tidak wajib diberi nafkah. Jadi hukum-hukum yang diambil dari hasil pemahaman arti yang tersirat dari dalil-dalil tersebut dinamakan dengan mafhum.

2.    KLASIFIKASI MAFHUM
Mafhum (makna yang difahami) disini dibagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqoh dan mafhum mukhollafah, sebagai berikut :
1.      Mafhum Muwafaqoh
الْمَفْهُوْمُ الْمُوَافَقَة حَيْثُ يَكُوْنُ الْمَسْكُوْتُ عَنْهُ مُوَافِقاً لِلْمَلْفُوْظِ فِيْهِ
Artinya : Mafhum Muwafaqoh adalah mafhum yang mana jika hukum-hukum yang tidak disebutkan dalam lafadz itu cocok ataupun sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam lafadz tersebut tidak berlawanan. Sebagai contohnya tentang hukum haramnya memukul orang tua, sebagaimana itu sesuai dengan ayat yang berbunyi uffin, ayat tersebut terdapat dalam QS. Al-Isro’ :23 sebagai berikut :
فَلاَ تَقُلْ لَهُماَ أُ فٍّ
Artinya : Maka janganlah engkau berkata ah kepada kedua orang tua (QS. A-Isro’ : 23)
Dari ayat tersebut terdapat kesamaan (muwafaqoh) yakni antara “memukul” dengan perkataan “ah” dalam hal ini memiliki kesamaan yakni sama-sama menyakitkan hati dan sama-sama menunjukkan kepada sebuah penghinaan, maka dapat disimpulkan bahwa jika berkata “ah” saja haram apalagi yang memukul. Akan tetapi, jika keadaan yang disebutkan dalam lafadz tersebut lebih berat dari apa yang disebutkan dalam lafadz, maka perkara yang seperti itu disebut dengan fahwa al-khitab, sama seperti memukul dengan berkata “ah”.
Namun, apabila keadaannya menunjukkan sama-sama beratnya, maka perkara tersebut disebut dengan lahwa al-khitab. Contohnya berkata kurang ajar, tidak sopan, atau mengejek dan sebagainya dengan berkata “ah”
Contoh lainnya terdapat dalam (QS. An-Nisa’:10) tentang hukum haramnya membakar harta benda milik anak yatim yaitu sebagai berikut :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا 
Artinya : sesungguhnya orang-orang yang makan harta anak yatim dengan aniaya, maka sesungguhnya mereka itu akan makan api dalam perut mereka dan mereka akan masuk neraka sa’ir. ( QS. An-Nisa’:10)
            Mengingat keadaan memakan harta anak yatim dengan aniaya yang disebutkan oleh lafadz sama persis dengan yang tidak disebutkan lafadz ( misalnya saja membakar hartanya), maka keadan seperti ini disebut dengan istilah lahn al-Khitab dan status hubungannta sama-sama haram, sebab sama-sama menghabiskan hartanya (sama-sama dzalim).[13]
2.      Mafhum Mukhalafah
Mafhum Mukhalafah ialah mafhum yang didapati dengan jalan mengambil kebalikan dari mantuq-nya. Maksudnya, pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapannya atau kebalikan dari bunyi lafadz yang diucapkan. Para ahli Ushul Fiqh memberikan Ta’rif sebagai berikut :
ماَ كاَنَ الْمَسْكُوْتُ عَنْهُ مُخاَلِفاً لِلْمَنْطُوْقِ بِهِ اِثْباَ تاً وَنَفْياً
Artinya : “Apa-apa yang tidak disebut (yakni yang tersirat) kebalikan dari yang tersurat, bentuk positif atau negatif “.[14]
Sebagai contoh firman Allah dalam QS. Al-Jumu’ah : 9 sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli (QS. Al-Jumu’ah : 9)
Mafhum Mukhalafah dari ayat tersebut menunjukkan kebolehan melakukan transaksi  jual beli sebelum adzan shalat jumat. Dan larangan untuk melakukan transaksi jual beli selama shalat jumat berlangsung. Kemudian contoh lainnya terdapat dalam hadits yaitu Nabi sebagai berikut :
فيِ ساَئِمَةٍ الْغَنَمِ زَكاَةٌ (رواه ابو داود)
Artinya : ternak yang dipelihara wajib dikeluarkan zakatnya (HR. Abu Daud).
Mafhum Mukhalafah dari hadits tersebut menunjukkan bahwa yang wajib di zakati adalah ternak yang dipelihara saja, sedangkan tidak wajib zakat bagi ternak yang tidak dipelihara.[15]
Dibawah ini terdapat macam-macam Mafhum Mukhalafah, syarat-syaratnya, serta contoh-contohnya dalam setiap macam Mafhum Mukhalafah yaitu sebagai berikut :
1.    Macam- Macam Mafhum Mukhalafah
a.       Mafhum Al-Washfi ((مفهوم الصفة
Mafhum sifat yaitu hubungan hukum terhadap salah satu sifat dari beberapa sifat tertentu.[16]
Contohnya terdapat dalam firman Allah SWT QS. An-Nisa’ : 23 yang menjelaskan tentang wanita yang haram untuk dinikahi, yaitu sebagai berikut :

وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ ( النساء : 23)
Artinya : ( Dan diharamkan bagimu ) istri-istri anak kandungmu (menantu). QS. An-Nisa’: 23
Jadi, Mafhum Mukhalafahnya adalah istri anak-anak yang bukan kandung, seperti cucu sesusuan. Misalnya sabda Raulullah SAW :
فيِ السَّا ئِمَةِ زَكاَةٌ
Artinya : pada bintang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat.
Mafhum Mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.[17]






b.      Mafhum Illat  ( مفهوم العلّة )
Mafhum Illat[18] yakni hubungan antara hukum dengan illatnya ( sebab hukum). Contohnya terdapat dalam firman Allah QS. Al-Maidah: 90 sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya ; Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorbana untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan –perbuatan itu agar kalian mendapatkan keberuntungan.
             Perintah untuk menjauhi dalam ayat tersebut meruapakan suatu larangan yang mana hukumnya haram, illat haramnya khamr diatas karena memiliki sifat memabukkan menurut sebagian ulama. Jadi Mafhum Mukhalafahnya tidak haram apabila tidak sampai menyebabkan mabuk. Yang diharamkan dari khamr ini adalah dzatnya, bukan sifatnya sebagaimana haramnya minuman keras yang dibuat dari selain peran anggur.
c.    Mafhum Adad ( مفهوم العدد)
Mafhumadad yaitu hubungan hukum dengan bilangan tertentu. Contohnya terdapat dalam firman Allah QS. An-Nur :4) sebagai berikut :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya : dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera (QS. An-Nur :4)
Mafhum Mukhalafah dari ayat tersebut adalah tidak boleh mendera kurang dari delapan puluh kali dan tidak boleh mendera lebih dari delapan puluh kali. Dan disini golongan yang menolak mafhum mukhalaf tidak membolehkan mendera yang tidak sesuai dengan ketentuan dan beralasan bahwahal tersebut tidak ada dalam perintah, bukan karena Mafhum Mukhalafah.
d.      Mafhum Ghayah   ( مفهوم الغاية )
Mafhum Ghayah yaitu batas yang dijangkau oleh hukum. Contohnya terdapat dalam firman Allah QS. Al-Maidah : 6 sebagai berikut :
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Artinya : apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-sikumu ( QS. Al-Maidah : 6)
Mafhum mukhalafah dari ayat tersebut adalah tidak sempurnanya wudhu seseorang, jika tidak menyapu tangan sampai ke siku.
e.       Mafhum Hashar[19] ( مفهوم الحسر)
Mafhum Hashar yaitu pengkhususan hukum dengan memakai alat pengkhusus. Alat pengkhusus tersebut ialah satu kalimat nafi atau memindahkan diiringi dengan istisna’ atau pengecualian. Contohnya terdapat dalam firman Allah QS. Al-An’am :145) sebagai berikut :

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ
Artinya : katakanlah “ Aku tidak peroleh dari wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi ( QS. Al-An’am : 145)
Mafhum Mukhalafahnya ialah selain dari bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi dihukumi halal atau tidak haram. Bagi golongan yang menolak Mafhum Mukhalafah halalnya selain bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi. Semua di hukumi halal karena hukum asal sesuatu itu memang aslinya halal, bukan karena Mafhum Mukhalafah, tetapi karena memang tidak ada larangan (Artinya kembali lagi ke hukum asalnya), kecuali memang terdapat dalil yang mengharamkannya, jadi bukan karena Mafhum Mukhalafahnya.
f.        Mafhum Laqab[20]( مفهوم اللّقب )
Mafhum laqab adalah menggantungkan  hukum kepada isim alam atau isim fi’il, atau mafhum yang dipahami dari makna nama orang atau barang. Seperti yang terdapat dalam sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :

اَبُوْ بَكْرٍ فيِ الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فيِ الجَنَّةِ وَ عُثْماَنَ فيِ الْجَنّةِ وَ عَليُّ فيْ الجَنَّةِ الي عِدَّةِ العَشْرَةِ

g.      Mafhum syarat ( مفهوم الشّرط )[21]
Mafhum syarat adalah menghubungkan suatu hukum dengan syaratnya. Seperti yang terdapat dalam ayat tersebut :
فلاجناح عليكم اذا سلّمتم ما اتيتم با لمعروف

h.      Mafhum Hal( مفهوم الحال ) [22]
Mafhum hal adalah mafhum yang menunjukkan kepada keadaan  sesuatu.
Seperti yang terdapat dalam ayat tersebut :

وَلاَ تَمْشِ فيِ اْلاَرْضِ مَرْحاً
Artinya : janganlah sekali-kali kamu berjalan diatas permukaan bumi dengan keadaan sombong.
i.        Mafhum Zaman( مفهوم الزّمان )
Mafhum zaman adalah makna hukum yang melihat zamannya/ waktunya.
Seperti yang terdapat dalam ayat tersebut :
الحَجُّ اشْهَرُ مَعْلُوْماَتـٌ
Artinya : ibadah haji itu adalah pada bulan-bulan dimaklumi atau tertentu.
j.        Mafhum Makan( مفهوم المكان )
Mafhum makan adalah makna hukum yang melihat kepada tempat tertentu.
Seperti yang terdapat dalam ayat tersebut :
تَجْرِي مِنْ تَحْتِهاَ اْلاَنْهاَرُ

2.      Syarat – syarat Mafhum Mukhalafah[23]
a.         Hendaknya manthuq-nya tidak menentang atau bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, termasuk Mafhum Muwafaqoh. Jadi, apabila manthuqnya bertentangan dengan dalil yang lebih kuat maka tidak boleh di mafhum Mukhalafah kan. Dan disini mafhum mukhalafah tidak berlaku kepadanya.

وَلاَ تَقْتُلُوْا اَوْلاَ دَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلاَقٍ
Artinya : Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. (QS. Al-Isra’ : 31).
Mafhumnya, kalau bukan karena takut akan kemiskinan di bunuh, tetapi mafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil manthuq, ialah :
وَلاَتَقْتُلُوْ النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّه الاّ باِالْحَقِّ
Artinya : Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang oleh Allah kecuali dengan kebenaran ( QS. Al-Isra’ : 33)
b.        Yang disebutkan Manthuq bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Contohnya terdapat dalam QS. An-Nisa’ : 23) sebagai berikut :
وَرَباَ ئِبُكُمُ الَّتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ
Artinya : dan anak tirimu yang ada dalam pemeliharaanmu” (QS. An-Nisa’ : 23)
Kata “ pemeliharaan” disini tidak boleh dipahami bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaan boleh dinikahi. Perkataan itu disebutkan karena  biasanya seorang anak tiri dirawat oleh ayah tiri karena sang anak mengikuti ibunya.
c.         Yang disebutkan manthuq bukan dimaksudkan untuk menguatkan suatu keadaan. Contohnya terdapat dalam Hadits sebagai berikut :
الْمُسْلِم ُمَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ يَدِيْهِ وَ لِساَنِهِ
Artinya : orang Islam ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya.
Disini maksud dari “orang-orang Islam ( Muslim)” tidak diartikan bahwa orang yang selain Islam boleh diganggu, hal ini berlaku untuk semua orang. Karena dengan dimaksudkannya seperti itu harapannya agar manusia bisa hidup rukun dan damai, tanpa adanya pertengkaran antar sesama manusia.
d.      Manthuq harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada orang lain. Contohnya terdapat dalam QS. Al-Baqarah : 187 sebagai berikut :
وَلاَ تُباَ شِرُوْ هُنَّ وَ اَنْتُمْ عاَ كِفوُنَ فيِ المَسجِدِ
Artinya : janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beri’tikaf di masjid ( QS. Al-Baqarah : 187).

3.    Kehujjahan Mafhum Mukholafah[24]
Dari penjelasan diatas tentang mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah, disini para ahli ushul fiqh berpendapat bahwa berhujjah pada mafhum muawafaqah itu boleh, akan tetapi jika berhujjah dengan mafhum mukhakafah masih terjadi diperselisihkan diantara mereka. Diantaranya adalah :
a.         Jumhur ulama dan Imam Abu Bakar al-Daqqad berpendapat bahwa berhujjah dengan mafhum mukhalafah selain mafhum laqab itu boleh. Hal ini dikemukakan oleh al-Qadli Abu Bakar al-Baqilaniy sebagai berikut :

الْقَوْلُ بِمَفْهُوْمِ الْمُوَافَقَةِ مِنْ حَيْثُ الجُمْلَةِ مُجْمَعٌ عَلَيْهِ
Artinya : presepsi mengenai mafhum muwafaqah secara keseluruhan telah disepakati oleh mayoritas ulama.
b.         Imam Abu Hanifah dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa berhujjah dengan mafhum mukhalafah tidak boleh. Adapun syarat-syarat diperbolehkannya berhujjah dengan mahfum mukhalafah ialah sebagai berikut :
1.    Tidak bertentangan dengan dalil yang kualitasnya lebih kuat dari     mafhum mukhalafah. Jika ternyata mafhum mukhalafah bertentangan dengan dalil yang statusnya lebih kuat, maka ia tidak berlaku, seperti yang dijelaskan dalam hadits sebagai berikut :
اِنَّماَ الماَءُ مِنَ الماَءِ (رواه البخار)
Artinya : Sesungguhnya wajib mandi jika ada air ( mengeluarkan air sperma). HR Bukhari
Mafhum mukhalafahnya ialah jika tidak ada air ( tidak mengeluarkan air) maka tidak diwajibkan untuk mandi, sekalipun sudah berkumpul( melakukan hubungan intim). Mafhum ini tidak berlaku, karena bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, yaitu hadits riwayat Imam Bukhari :
اِذاَ التَقَي الْخِتاَناَنِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلَ وَاِنْ لَمْ يَنْزِلُ
Artinya : jika sudah bertemu dua jenis anggota manusia yang bisa di khitan, maka baginya wajib mandi meskipun tidak mengeluarkan air.
Dari hadits ini dapat diambil pemahaman bahwa jika dua alat kelamin laki-laki dan perempuan sudah bertemu, baik mengeluarkan air atau tidak maka wajib bagi keduanya untuk mandi.
2.    Yang ditunjuk oleh dalil itu tidak untuk menunjukkan kenikmatan nya sesuatu (Imtinan). Jika dalam suatu dalil terdapat kata-kata yang menunjukkan nikmatnya anugrah Allah, maka mafhum mukhalafah tidak berlaku disini. Seperti yang terdapat dalam ayat tersebut :
لِتَأْ كُلُوْا مِنْهُ لَحْماً طَرِياًّ
Dalam ayat tersebut terdapat kata thariyyan, yang artinya lembut dan itu menunjukkan adanya kenikmatan yang sifatnya lunak, jadi hal tersebut menunjukkan bahwa  yang boleh dimakan hanya yang lunak- atau yang lembut saja. Karena disebutkannya kata tersebut hanya memberikan pengertian bahwa yang lunak itu merupakan yang lebih baik.
Oleh sebab itu, semua daging yang ada dilaut, baik yang bersifat lunak maupun tidak hukumnya halal untuk dimakan. Jadi, mafhum mukhalafah ayat tersebut tidak boleh dijadikan hujjah.
3.      Lafadz nya harus berdiri sendiri dan tidak mengikuti lafadz  yang lain. Jika mengikuti lafadz yang lain, maka mafhumnya tidak boleh dipakai untuk berhujjah. Contohnya dalam kata “ fi al-masajid”  yang terdapat dalam ayat tersebut :
وَلاًتُباَ شِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عاَ كِفُوْنَ فيْ الْمَساَجِدِ
Artinya : Dan janganlah kamu mengumpuli istrimu sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid ( QS. Al-Baqarah: 187)
Kata fi al-masjid dalam ayat ini statusnya  mengikuti lafadz sebelumnya , sehingga larangan menggauli istri itu  tidak tergantung pada masjid. Oleh karena itu, mafhum mukhalafahnya tidak boleh dipakai untuk berhujjah, sebab larangan tersebut pada hakikatnya adalah larangan mengumpuli istri pada waktu suami sedang beri’tikaf.[25]

D.       MUJMAL
1.         PENGERTIAN MUJMAL
Menurut bahasa, mujmal artinya kabur atau tidak jelas (samar-samar). Maksudnya ialah lafadz yang tidak jelas atau masih memerlukan suatu penjelasan. Mujmal ialah suatu hal atau perkataan yang belum jelas maksudnya. Ketidakjelasan ini disebut ijmal,dan untuk mengetahui maksud yang sebenarnya maka diperlukan suata penjelasan (bayyan).
المجمل هو اللفظ الذي لا يفهم المعنى المراد منه إلا بلإستفسار من الجمل
“Mujmal adalah lafal yang belum jelas artinya yang tidak dapat menunjukkan makna yang sesungguhnya jika tidak ada keterangan lain yang menentukannya”
Mujmal merupakan lafal yang mengandung dua makna atau lebih, atau sejumlah pilihan yang beragam serta memerlukan penjelasan tentang maksud yang dituju. Contohnya pada kalimat “Dirikanlah sholat” sedangkan solat mana yang dimaksud? Solat wajib ataukah sunnah? Lalu kapan waktu pelaksanaannya?[26]

2.         MACAM-MACAM MUJMAL
Bila dilihat dari segi bentuknya lafadz-lafadz mujmal ada dua yaitu lafadz mufrad dan lafadz murakkab :
1.    Lafadz mufrad (المفرت)yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari satu kalimat. Lafadz-lafadz mufrad juga dilihat dari segi jenisnya dibagi menjadi tiga yaitu sebagai berikut :
a.    Isim (اسم)  artinya nama atau nama benda
Contohnya (مختار)  boleh sebagai pelaku atau fa’il dalam hal ini diartikan dengan orang yang memilih, dan boleh juga sebagai maf’ul ( tujuan) atau penderita, yang dalam hal ini diartikan dengan orang yang dipilih.
b.    Fi’il artinya kata kerja
Contohnya (عسعس) boleh diartikan dengan datang. Dan boleh diartikan juga dengan kembali atau pulang.باع boleh diartikan dengan menjual dan boleh juga diartikan membeli.
c.    Huruf (حرف) artinya kalimat yang terdiri dari satu huruf, atau kalimat yang tidak akan berarti apabila tidak di sambung dengan yang lainnya.
Contohnya وartinya dan kedudukannya boleh sebagai ataf (العطف)artinya penyambung, tetapi boleh juga sebagai Al-Ibtida’(الابتداء) artinya kata awal atau permulaan.
2.    Lafadz – lafadz Murakkabartinya lafadz-lafadz yang terdiri dari beberapa kalimat. Contohnya terdapat dalam QS. Al-Baqarah : 237) sebagai berikut :

او يعفو الذي بيده عقدة النكاح
"....atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah ...”
Dalam kalimat tersebut mengandung ijmal tentang siapa yang memegang ikatan pernikahan, apakah suaminya ataukah walinya. Maka untuk menentukannya diperlukanlah bayyan sebagai penjelas.
Dilihat dari segi penyebab kemujmalan, mujmal dibagi menjadi 3 macam. Yaitu[27]:
1.                   Lafal itu musytarak, mengandung makna lebih dari satu dan tidak menentu apa yang dituju pada lafadz itu. Contohnya yaitu pada surat Al Baqoroh ayat 228 tentang quru’. Kata quru dalam ayat tersebut bersifat mujmal, makan untuk memilih salah satu makna harus didukung oleh dalil yang lain, baik dari Al Qur’an, Hadis maupun ijtihad.
2.                   Lafal yang dinukilkan oleh syar’i yang bersifat umum kemudian dikhususkan dengan teknis dalam hukum yang dikehendaki syar’i. Contohnya ialah perintah sholat, dalam perintah ini bersifat umum sehingga tidak diketahui penjelasan melalui syar’i. Karenanya, sunnah Nabi baik yang berupa perkataan maupun perbuatan berfungsi untuk menafsirkan / menjelaskan kata tersebut.
3.                   Lafal yang asing ketika digunakan. Contohnya ialah kata “haluu’aa” pada surat Al Ma’arij ayat 19. Kata ini tidak umum digunakankecuali oleh syar’i sendiri, mengingat syar’i sendirilah yang mensifati manusia dengan kata haluu’a yang artinya sangat berkeluh kesah dan sedikit sabarnya.

E.  BAYAN
Mubayyan menurut bahasa ialah menjelaskan, sedangkan menurut istilah ushul fiqh mubayyan ialah mengeluarkan dari bentuk musykil (kabur) kepada bentuk yang terang (jelas). Mubayyan itu jelas maksudnya tanpa memerlukan penjelasan yang lain
ما يفهم المراد منه, إما بأصل الوضع أو بعد اتبيين
“apa yang dapat dipahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah adanya penjelasan lagi”
Jadi, kesimpulannya bahwa bayan adalah penjelasan atau yang menjelaskan, sedangkan mujmal adalah yang dijelaskan.[28]
Macam macam bayyan yaitu[29]:
1.      Bayyan bil Qoul (Penjelasan dengan ucapan)
Bayyan dalam bentuk ini adalah yang paling banyak dijumpai didalam Al Quir’an dan Hadits. Contohnya pada surat Al Baqoroh ayat 196 yang menerangkan tentang dam atau hadyu pada haji tamattu’. Dalam bahasa Arab kata sab’ah sering diartiakan sebagai kata banyak (lebih dari 7). Lalu kemudian dijelaskan pada kalimat selanjutnya yaitu “itu sepuluh hari yang sempurna”. Perkataan “sepuluh yang sempurna” pada ayat tersebut adalah sebagai penjelasan dari tiga dan tujuh hari yang disebutkan sebelum itu.
2.      Bayyan bil Fi’li[30]
Contohnya yaitu tata cara sholat yang langsung dipraktekkan rosulullah, yang harus diikuti sebagaimana yang diterangkan dengan perbuatan beliau sendiri, sebagaimana sabdanya yang berbunyi :
صلوا كما رأيتموني أصلي

Artinya : Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku melakukan shalat.
3.      Bayyan bil Kutub (Tulisan)
Contohnya seperti ukuran zakat dan ukuran diyat anggota-anggota badan , banyak nabi melakukan surat-menyurat untuk dikirim ke daerah-daerah Islam pada waktu itu.
4.      Bayyan bil Isyaroh (Isyarat)
Seperti penjelasan tentang jumlah hari puasa di bulan Romadhon beliau mengangkat kesepuluh jarinya sebanyak 3 kali
الشهر هكذا و هكذا و هكذا[31]
Sewaktu nabi mengucapkan “sekian” pertama dan kedua adalah dengan mengangkat semua jari tangannya, sedangkan untuk pengucapan yang ketiga, Nabi melipatkan satu ibu jarinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah dua puluh sembilan hari. Itulah yang dinamakan penjelasan dengan syarat.
5.      Bayyan bil Iqror (Pengakuan/Ketetapan)
Contohnya ketika Nabi melihat Qayis melaksanakan sholat sunnah 2 rokaat, kemudian Nabi menanyainya sholat apakah itu, dan Qayis menjawab bahwa itu adalah sholat sunnah fajar. Nabipun tidak melarangnya dan ini menunjukkah bahwa shalat fajar diperbolehklan.

6.      Bayyan bil Qiyas
Yakni ketika Rosulullah melaksanakan ibadah haji untuk ibundanya yang telah meninggal, sahabatpun bertanya apa diperbolehkan lalu Rosulullah pun menjawab “Lalu bagaimana jika ibumu mempunyai hutang, apakah engkaun akan membayarnya?” dalam hadis ini Rosulullah mengqiyaskan mengganti haji dengan membayar hutang seseorang yang telah meninggal duina.


Hukum beramal dengan dalil yang mujmal
Hukum beramal dengan dalil yang mujmal ialah wajib jika sudah datang dalil penjelasnya. Nabi Muhammad SAW telah menjelaskan seluruh syariat Islam kepada ummatnya, baik yang pokok maupun yang cabang, dan beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan penjelasan terhadap syariat ketika dibutuhkan. Seperti pada Al Qur’an Allah memerintahkan untuk sholat, kemudian nabi menjelaskannya melalui perbuatan beliau. Serta perintah untuk menunaikan zakat, kemudian Nabi bersabda tentang “apa aoa hasil pertanian yang dialiri oleh air hujan, maka zakatnya 1/10 (10 persen)”[32]

Penutup
Manthuq secara bahasa adalah sesuatu yang diucapkan sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Manthuq sendiri dibagi menjadi dua yaitu manthuq sharih dan manthuq ghairu sharih.
 Mafhum secara bahasa ialah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah ialah pengertian tersirat dari suatu lafadz ( mafhum muafaqoh) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafadz yang diucapkan ( mmafhum mukhalafah). Mafhum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat fahwal khitab dan lahnal khitab. Sedangkan dalam mahfhum muhkalafah terdapat  mafhum al-wasfhi, illat, ghayah, makan, zaman, hal, laqab, hasyr, syarat, dan adad.
Mujmal adalah lafadz yang terdiri dari satu atau dua kata yang tidak jelas atau suatu kata yang di dalam artinya tersimpan banyak ketentuan dan keadaan yang tidak mungkin diketahui secara pasti, dan membutuhkan penjelasan (bayan). Sedangkan mubayyan adalah suatu perkataan yang jelas atau sudah tidak memerlukan penjelasan lagi. Mubayyan adalah yang menjelaskan, maksudnya adalah suatu lafadz yang mengandung penjelasan. Jadi kesimpulannya yaitu bayan adalah penjelasan atau yang menjelaskan, sedangkan mujmal adalah yang dijelaskan.

DAFTAR PUSTAKA
Djalil. Basiq, 2010. Ilmu Ushul Fiqh ( Satu dan Dua) Edisi Revisi. Jakarta : Kencana
Effendi. Satria, 2005. Ushul Fiqh. Jakarta : Prenada Media
Syarifuddin. Amir, 2012. Garis- Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Zein. M Ma’sum, 2013. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh : Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber- Sumbernya. Yogyakarta : Pustaka Pesantren
Khallaf. Abdul Wahhab, 2005. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : PT Rineka Cipta
Bakry. Nazar, 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada      
Sieny. Saeed Ismaeel, 2017. Ushul Fiqh Aplikatif. Malang : Darul Ukhuwwah Publisher
Shilah, Abu. 2007. Prinsip Ilmu Ushul Fiqh. Jogjakarta : Tholib Press
Khoiruddin, Sukanan. 2009. Ushul Fiqh terjemah Mabadiul Awwaliyah. Tangerang : CV Megah Jaya
Naya. Farid, 2013.  Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam kajian Ushul Fiqh”. Vol.9 No.2

Catatan:
1.      Similarity 22%
2.      Nama jurnal perlu disebutkan dalam perujukan



[1]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua) Edisi Revisi, ( Jakarta : Kencana, 2010), Cet Ke-1, Hlm. 99.
[2]Satria Effendi, Ushul Fiqh ( Jakarta : Prenada Media, 2005), Hlm. 210-211
[3]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), Hlm. 121-122.
[4]Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh : Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan Dari Sumber- Sumbernya, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren,2013), Hlm.353
[5]Ibid, Hlm. 354
[6]Op. Cit,Basiq Djalil, Hlm. 100
[7]Ibid, Hlm. 101
[8]Op. Cit, Satria Effendi, Hlm. 211
[9]Ibid, Hlm. 212-214
[10]Op.Cit, Satria Effendi, Hlm.214
[11]Op.Cit, Amir Syarifuddin, Hlm. 123
[12]Op.Cit, Ma’sum Zein, Hlm. 355
[13]Ibid, Hlm.356-357
[14]Op. Cit, Basiq Djalil, Hlm. 102
[15]Ibid, Hlm. 103
[16]Ibid, Hlm. 104
[17]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Amani,2003), Hlm. 220
[18]Ibid, Hlm. 105-106
[19]Ibid, Hlm. 106-107
[20]Op. Cit, Ma’sum Zein, Hlm 363
[21]Ibid, Hlm. 362
[22]Ibid, Hlm. 363
[23]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993), Hlm. 173-174
[24]Op. Cit, Ma’sum Zein, Hlm. 358
[25]Ibid, Hlm. 359-361
[26]Op. Cit, Saeed Ismail, hlm 214
[27]Farid Naya “ Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dala Kajian Ushul Fiqh.” Vol. 9 No. 2, 2013, Hlm. 190
[28]Op.Cit, Basiq Djalil, Hlm. 109
[29]Abdul WahhabKhallaf, Kaidah-KaidahHukum Islam,( Jakarta : Raja GrafindoPersada, 1998)
[30]Ibid, hlm. 113
[31]Sukanan Khoiruddin, Ushul Fiqh terjemah Mabadiul Awwaliyah ( Tangerang : Cv Megah Jaya,2009 ) hlm 18
[32]Abu Shilah, Prinsip Ilmu Ushul Fiqh,  ( Jogjakarta : Tholib Press, 2007) hlm 75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar