ILMU
JARH WA AL-TA’DIL
Hana Malihatul
Azizah
e-mail: hanashomar1999@gmail.com
Mahasiswa
PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This
article talks about a science used by a hadith expert to assess the quality of
the hadith in terms of the characters of the Sanad by referring to the origin
of narrators, assessing the narrator of his justice or kadhabitan. This science
is also used to provide information on the level or dignity of a hadith with
the lafadz-lafadz according to the narrator's condition which shows an
assessment of the hadith whether the hadith can be used or not. A narrator if
known as someone who is fair, of course his message will be accepted. However,
if a narrator is known as someone who is damaged, for various reasons, his
narration will be rejected, if this knowledge is not seriously discussed,
surely all those who narrate the hadith will be judged to be commensurate with
the good and bad qualities possessed by narrators. Of course if you do not dig
deeper into the truth or the fault of a narrator of your hadith, we will make
one unknowable which hadith can be used as proof, and which is the hadith which
is maudhu '.
Abstrak
Artikel
ini berbicara mengenai suatu ilmu yang digunakan oleh seorang ahli hadis untuk
menilai kualitas hadis dari segi tokoh-tokoh sanad dengan mengacu kepada
asal-usul perawi, menilai perawi keadilannya atau kadhabitannya. Ilmu ini juga
digunakan untuk memberikan keterangan tingkatan atau martabat suatu hadis
dengan lafadz-lafadz sesuai dengan keadaan perawi yang menunjukkan penilaian
kepada hadis apakah hadis tersebut bisa dipakai pegangan ataukah tidak. Seorang
perawi jika dikenal sebagai seseorang yang adil tentu periwayatannya akan
diterima. Namun,jika seorang perawi dikenal sebagai seseorang yang rusak,
dengan berbagai alasan tentu periwayatannya akan ditolak, jika ilmu ini tidak
dibahas dengan serius tentu semua orang yang meriwayatkan hadis akan dinilai
sepadan dalam sifat baik buruk yang dimiliki perawi. Tentu jika tidak menggali
lebih dalam benar atau salahnya suatu periwayat hadis kita akan menjadikan satu
tanpa bisa diketahui mana hadis yang bisa dijadikan hujjah, dan mana hadis yang
maudhu’.
Keywords: Pengertian,
latar belakang, tingkatan, kitab Jarh wa Ta’dil
A. Pendahuluan
Hadis
merupakan sumber hukum islam yang sangat penting setelah alquran. Keotentikan
atau keaslian suatu hadis sangat perlu diperhatikan, karena hadis tersebut akan
dijadikan sebagai sumber pegangan umat islam. Berbagai cabang ilmu hadis muncul
dikalangan perawi hadis pada masa itu. Salah satu aspek penting dari hadis
adalah sanad hadis. Perludiketahui sanad adalah jalan yang dilalui oleh hadis
mulai dari Nabi sampai kepada periwayat.
Sanad berhubungan dengan seseorang periwayat maka perlu kita ketahui
kondisi-kondisi periwayat tersebut sebagai bahan pijakan dalam penilaian hadis
bisa diterima atau ditolak.
Ditinjau
dari segi sejarah, hadis sejak nabi Muhammad SAW sampai di dokumenkan mengalami
lika-liku yang panjang dan dihiasi oleh keadaan dan musim yang tidak menentu.
Semenjak Wafatnya Nabi Muhammad keaslian hadis perlu adanya suatu penelitian
yang mendalam karena hal-hal yang terjadi seperti pertikaian politik, faktor
ekonomi, dan faktor-faktor lainnya. Melihat sejarah masa lalu, diperkirakan
tahun 150 H yakni akhir masa tabi’in, cukup banyak ulama yang membahas
hal-ikhwal dan kualitas para periwayat hadis. Pada masa itu ulama ahli yang
masyhur antara lain : Yahya bin sa’id Al-Qathtan (189 H) dan Abdurrahman bin
Mahdi (198 H). Hasil dari mereka dapat diterima oleh orang Islam karena diketahui
dua ulama ini adalah orang yang ahli dalam menilai dan bersifat obyektif tanpa
memberatkan sebelah, dan terlepas dari ikatan-ikatan yang dapat membuat rancu
dalam penilaian.[1]
Dalam
pembahasan ulumul hadis, kajian mengenai kondisi pribadi perawi hadis, baik
mengenai kondisi pribadinya maupun keintelektualannya, merupakan fokus bahasan
ilmu jarh wa ta’dil.[2]
Sehubungan dengan itu, dalam artikel ini penulis akan berusaha menjabarkan
pembahasan-pembahasan dari jarh wa ta’dil.
B. Pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil
Ilmu
Jarh Wa Ta’dil terdiri dari dua kata yakni Jarh dan Ta’dil, al-jarh secara
bahasa adalah bentuk mashdar, dari kata جرح – يجرح yang berarti “seseorang membuat luka pada
tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu”.[3]
Secara teerminologi, al-jarh adalah adanya suatu sifat dari dalam individu rawi
yang mengakibatkan sifat adil perawi ternodai atau mencacatkan kedhabitan
perawi, sehingga mengakibatkan gugur atau lemah periwayatannya atau bahkan
periwayatan tersebut tertolak.[4]
Para ahli hadis mendefinisikan al-jarh dengan:
الجَرْحُ عِنْدَ المُحَدِّثِيْنَ الطَعْنُ فِى رَاوِى الحَدِيْثِ
بِمَا يَسْلُبُ اَوْ يُخِلُّ بِعَدَالَتِهِ اَوْ ضَبْطِهِ
“Jarh
menurut muhadditsin adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga
mengangkat atau mencacatkan adalah atau kedhabitannnya”[5]
Sedangkan
pengertian ta’dil atau al-adl secara bahasa adalah bentuk mashdar dari kata addala
yu’addilu yang bermaksud menampakkan sifat adil seseorang. Dalam istilah ilmu
hadis Ta’dil berarti upaya menjelaskan sifat-sifat baik dari perawi hadis sehingga
terlihat keadilan (‘adalah)-nya yang menjadi sebab diterimanya suatu riwayat
yang disampaikannya.[6]Selain
itu Ta’dilsecara istilah adalah:
التَعْدِيْلُ عَكْسُهُ وَهُوَ تَزْكِيَةُ الرَاوِى وَلْحُكْمُ
عَلَيْهِ بِأَنَّهُ عَدْلٌ اَوْ ضَابِطٌ
"Ta’dil adalah
kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukuminya
bahwa ia adil atau dhabith”[7]
Dr. Shubhi
Ash-Shalih memeberikan definisi ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil yakni:
وَهُوَ عِلْمٌ يَبْحَثُ عَنِ الرُّوَاةِ مِنْ حَيْثُ مَا وَرَدَ فِي
شَأْنِهِمْ مِمَّا يُشِيْنُهُمْ أَوْ يُزَكّيْهِمْ بِأَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ
“Adalah ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi apa
yang datang dari keadaan mereka, dari apa yang mencela mereka, atau yang memuji
mereka dengan menggunakan kata-kata khusus”
Adil
disini bukanlah pengertian adil seperti konteks umum pada suatu hukum jika
orang melakukan suatu kesalahan maka akan dihukum dengan hukuman yang setimpal
dengan perbuatan yang telah dilakukannya, namun adil disini adalah adil yang
berupa penilaian konteks perilaku perawi hadis.Seorang perawi bisa dikatakan
adil jika ia mampu terlepas dari sifat-sifat yang dapat menodai agama dan
keperawiannya. Mengutarakan sifat-sifat baik dan terpuji dari perawi hadis,
hingga yang diriwayatkannnya dapat diterima disebut menta’dilnya.[8]
Jadi,
ilmu ini membahas mengenai nilai kecacatan seorang perawi hadis dengan
menggunakan kalam-kalam tertentu yang memiliki makna tertentu.[9]
Selain kecacatan di dalam ilmu ini juga menggunakan kata-kata tertentu untuk
menunjukkan nilai keadilan perawi sesuai dengan kaidah-kaidah dan
batasan-batasan pentajrih dan penta’dil rawi sehingga periwayatan seorang
perawi dapat dikelompokkan diterima atau tidak. Kecacatan rawi itu bisa
ditinjau dari aspek perbuatan-perbuatan yang dikerjakannya.[10]
C. Sejarah Ilmu Jarh wa At-Ta’dil
Ilmu
Jarh wa Ta’dil sebagai kegiatan kritik hadis sudah ada benih-benihnya sejak
pada zaman Nabi Muhammad, namun pada saat itu hanya sebatas pada kritik matan
saja (al-naqd ad-dakhili) kritik pada masa Nabi ini dilakukan dengan cara
sahabat yang telah menerima hadis dari sahabat lain mengkonfirmasikan langsung
kepada Nabi apakah yang ungkapan hadis yang diterima benar atau tidak. Selain
itu, bisa juga dengan cara membandingkannya dengan hadis lain atau dengan ayat
alquran. Selanjutnya pada masa sahabat kegiatan kritik hadis tidak berhenti
disitu saja namun pada masa ini para sahabat sudah mulai kritik sanad hadis
(an-naqd al-khariji) tokoh-tokoh peerintis sanad hadis pada masa Sahabat ini
diantaranya adalah Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah,
Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit. Kritik hadis terhadap
sanad hadis ini sangat berkembang dan menjadi suatu kebutuhan terutama setelah
terjadinya peristiwa fitnatul kubra dengan wafatnya khalifah Utsman bin Affan
(61 H) karena terbunuh dan terjadinya peperangan Ali dan Muawiyah yang
memunculkan peristiwa tahkim sehingga menimbulkan perpecahan dikalangan kaum
muslimin.[11]
Yakni terdapat golongan yang setia menjadi pengikut Ali yang dikenal dengan
sebutan kaum Syiah, dan golongan yang keluar dari barisan Ali yang dikenal
dengan sebutan kaum Khawarij dan juga terdapat golongan yang netral tdak
memihak pada siapapun.
Pada
masa inilah ditetapkan asas-asas dan kaidah-kaidah ilmu jarh wa ta’dil sebagai
ilmu yang pokok pembahasannya adalah kritik sanad. Mengenai hal ini, Ibnu
Sirrin mengatakan bahwa pada mulanya sebelum terjadi fitnatul kubra ini kaum
muslimin tidak menanyakan permasalahan isnad, namun setelah terjadi fitnah kaum
muslimin lebih selektif dalam menerima suatu ahdis sehingga perlu adanya kritik
hadis dari segi isnadnya. Kemudian, sikap mengkritisi hadis dari segi isnadnya
ini kemudian berlanjut pada masa tabi’in. Tokoh-tokoh yang ahli di bidang
karakteristik hadis pada masa ini adalah Said bin Musayyab (w. 93 H), Amir al-Sya’labi
(w.103 H), Muhammad bin Sirrin (W.110 H), Syu’bah bin Hajjaj (82-160 H),
al-Awza’i (88-158 H), Malik bin Anas (93-179 H), Yahya bin Sa’id al-Qathan
(w.198 H), dan Abdurrahman bin al-Mahdi (135-198 H). Pembicaraan tentang jarh
wa ta’dil pertama dihimpun oleh Yahya bin Sa’id al-Qattan.
Kemudian,
pada abad ke dua hijriah ilmu jarh wa ta’dil belum dibukukan, namun pada masa
ini dilakukan penyempurnaan asas-asas dasar jarh wa ta’dil yang telah
diletakkan pada masa sebelumnya. Kemudian ulama-ulama diatas telah menghasilkan
sejumlah besar murid yang ahli di bidang kritik hadis diantaranya adalah Yahya
bin Ma’in (w.223 H), murid dari yahya bin al-Qattan, Ali bin al-Madini (w. 234
H), Ahmad bin Hanbal (w. 241). Kemudian di abad ketiga inilah muncul
kitab-kitab yang secara khusus membicarakan jarh wa ta’dil seperti Ma’rifat
ar-Rijal karya Yahya bin Ma’in, at-Tarikh al-Kabir karya Imam Bukhari, dan
Kitab al-Jarh wa Ta’dil karya Abu Hatim ar-Razi.[12]
Selain
itu pada masa Nabi , Nabi Muhammmad pernah bersabda yang menunjukkan bahwa
sabda dari beliau juga termasuk dalam kategori jarh wa ta’dil.
Pada
sat itu Nabi Saw bersabda :
بئس أخو العشيرة
“betapa
buruk saudaranya al-Asyirah”
Dalam konteks ta’dil Nabi Saw pernah bersabda :
نعم عبدالله خالد بن الوليد سيف من سيوف الله
"Hamba
Allah yang paling baik adalah Khalid bin Walid, dialah salah satu dari
pedang-pedang Allah”[13]
.
D. Tingkatan-tingkatan jarh wa ta’dil
Abu
Muhammad Abdur Rahman bin Abu Hatim ar-Rozy dalam mukaddimah kitabnya “al-jarh
wa at-ta’dil” membagi kedalam empat tingkatan kemudian dijelaskan hkum dari
masing-masing tingkatan tersebut. Selanjutnya, Adz-Dzahabi dan setelahnya
Al-‘Iroqy menambah satu tingkatan pada martabat ta’dil yang merupakan tingkatan
tertinggi dari tingkat pertama pada Ibnu Abi Hatim. Ungkapan penguat (tautsiq)
padanya diulang. Seperti: ثِقَةٌ ثِقَةٌ atau
ثِقَةٌ حُجَّةٌ selanjutnya, Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolany menambah satu
tingkatan tertinggi dari tingkatan yang sudah ditambah oleh Al-Dzahaby dan
Al-Iroqy. Tambahan tersebut adalah shighot tafdlil (kata-kata yang menunjukkan
lebih diunggulkan). Seperti: اَثْبُتُ النَاسْ atau
اَوْثَقُ النَّاسِ sejak saat itu
tingkatan-tingkatan ta’dil menjadi enam. Begitupula ulama juga menambahkan dua
tingkatan pada jarh, hingga jarh memiliki enam tingkatan.[14]
Di
dalam ilmu jarh wa ta’dil terdapat tingkatan-tingkatan lafadz yangdikelompokkan
sesuai dengan kadar penilaian terhadap seorang perawi hadis.
Tingkatan-tingkatan lafadz ini memiliki kriteria boleh atau tidaknya suatu
hadis yang diriwayatkan oleh perawi digunakan sebagai hujah.
Tingkatan-tingkatan
lafadz ta’dil adalah:
1.
Tingkatan
pertama, ungkapan yang menunjukkan sighot mubalaghoh (paling puncak) atas dasar
wazan اَفْعَلَyang merupakan shighot paling
tinggi. Seperti:
فُلَانٌ اِلَيْهِ المُنْتَهى فِى التَّثْبِيْثِ
لاَ اَعْرِفُ لَهُ نَظِيْرًا فَى الدُّنْيَا
فُلَانٌ اَثْبَتُ النَاسِ
اَوْثَقُ الخَلْقِ
اَوْثَقُ مَنْ اَدْرَكْتُ
Tingkatan pertama ini rawinya boleh dijadikan hujjah, meski
adakalanya sebagian dari mereka ada yang lebih kuat dari sebagian lainnnya.
2.
Tingkatan
kedua, adalah ungkapan yang dikuatkan dengan satu sifat atau dua sifat dari
sifat-sifat tautsiq. Seperti:
ثِقَةٌ ثِقَةٌ
ثِقَةٌ ثَبْتٌ
ثَبْتٌ حُجّةٌ
ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ
ثِقَةٌ حَافِظٌ
Tingkatan ini sama seperti dengan tingkatan pertama yakni boleh dijadikan
hujjah.
3.
Tingkatan
ketiga, ungkapan yang menunjukan tautsiq tanpa penguat (ta’kid). Seperti:
ثِقَةٌ
حُجَّةٌ
ثَبْتٌ
كَاَنّهُ مُصْحَفٌ
عَدْلٌ ضَابِطٌ
Tingkatan ketiga ini hukumnya masih sama seperti pertama dan kedua
yakni periwayatan rawi ini masih bisa
digunakan hujjah
4.
Tingkatan
keempat, ungkapan yang menunjukkan ta’dil tanpa dikesankan dengan dhobith.
Seperti:
صَدُوْقٌ
مَحَلُّ الصِدْقُ
لَا بَأْسَ بِه
Tingkatan keempat ini rawinya tidak boleh dijadikan hujjah, namun
terkadang hadis mereka ditulis untuk
diuji.
5.
Tingkatan
kelima, ungkapan yang tidak terkesan lebih dekat kepada tajrih. Seperti:
فُلَانٌ شَيْخٌ
رَوَى عَنْهُ النَاسُ
اِلَى صِدْقِ مَاهُوَ
وَسَطٌ
شَيْخٌ وَسَطٌ
Tingkatan kelima ini sama seperti tingkatan keempat, yakni rawinya
tidak bvoleh dijadikan hujjah
6.
Tingkatan
keenam, ungkapan yang terkesan lebih dekat kepada tajrih. Seperti:
فُلَانٌ صَالِحٌ الحَدِيْثِ
يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ
يُعْتَبَرُ بِه
مُقَارِبُ الحَدِيْثِ اَوْ صَالِحٌ
Adapun ungkapan keenam ini rawi tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah, hadis ditulis hanya sebagai kepentingan perbendaharaan saja, tidak
untuk diuji karena sudah jelas mengkatan mereka tidak memiliki dhabith
Tingkatan-tingkatan lafadz al-jarh:
1.
Tingkatan
pertama, ungkapan yang menunjukkan Talyin, yakni suatu tingkatan al-jarh paling
mudah, atau paling lunak. Seperti:
فُلَانٌ لَيِّنُ الحَدِيْثِ
فِيْهِ مَقَالُ
فِى حَدِيْثِه ضَعْفٌ
لَيْسَ بِذَاكَ
لَيْسَ بِمَأْمُوْنٍ
Adapun pada tingkatan pertama ini sudah jelas hadis ini yidak dapat
dijadikan hujjah, hadis-hadis dari perawi ini ditulis hanya untuk i’tibar (semacam
laboratorium) saja.
2.
Tingkatan
kedua, yakni ungkapan yang terang-terangan melarang tidak berhujjah padanya.
Seprti:
فلَانٌ لَا يُحْتَجُّ بِه
ضَعِيْفٌ
لَهُ مَنَاكِرٌ
وَاهٍ
ضَعَّفُوْهُ
Pada tingkatan kedua ini, sama seperti tingkatan pertama, namun
rawi pada tingkatan kedua ini masih dibawah rawi nomor satu
3.
Tingkatan
ketiga, yakni ungkapan yang terang-terangan melarang hadisnya ditulis atau
lainnya. Seperti:
فُلَانٌ لَايُكْتَبُ حَدِيْثُهُ
لَا تَحِلُّ الرِّوَايَةُ عَنْهُ
ضَعِيْفٌ جِدًّا
وَاهٍ بِمَرَّةٍ
طَرَحُوْا حَدِيْثُهُ
Ditingkatan ketiga ini, hadis tidak dapat dijadikan hujjah, tidak
ditulis, dan juga tidak di laboratoriumkan, karena jelas hadis jenis ini tidak
bisa kuat dan tidak dapat menguatkan hadis lainnnya, ini berlaku juga pada
hadis perawi tingkatan keempat, kelima dan keenam
4.
Tingkatan
keempat, ungkapan yang menunjukan perawi dituduh dusta atau sejenisnya.
Seperti:
فُلَانٌ مُتَّهَمٌ بِلْكَذِبِ
مُتَّهَمٌ بِلْوَضْعِ
يَسْرُقُ الحَدِيْثُ
سَاقِطٌ
لَيْسَ بِثِقَةٍ
5.
Tingkatan
kelima, yakni ungkapan yang menunjuki disifatkan rawi dusta atau semacamnya.
Seperti:
فُلَانٌ كَذَّبابٌ
دَجَّالٌ
وَضَّاعٌ
يضكْذِبُ
يَضَعُ
6.
Tingkatan
keenam, yakni ungkapan yang menunjukkan puncak keterlaluan berdusta dan
sejenisnya. Seperti:
فُلَانٌ اَكْذَبُ النَّاسِ
اِلَيْهِ المُنْتَهَى فِى الكَذِبِ
هُوَ رُكْنُ الكَذِبِ
هُوَ مَعْدِنُ الكَذِبِ
اِلَيْهِ المُنْتَهَى فِى الوَضْعِ
Tingkatan-tingkatan diatas adalah ungkapan-ungkapan yang digunakan
dalam jarh wa ta’dil sesuai dengan aib atau keadilan perawi[15]
E. Manfaat Ilmu jarh wa Ta’dil
Ilmu
ini sangatlah penting sekali dipelajari dengan seksama, karena hadi itu terdiri
dari sanad dan matan, dengan demikian mengetahui keadaan perawi yang menjadi
sanad mmerupakan separuh dari pengetahuan.[16]
Ilmu
jarh wa ta’dil ini dibutuhkan untuk melakukan penilaian terhadap tokoh-tokoh
isnad dan martabat hadis. Karena tidak mungkin jika kita memeplajari
tokoh-tokoh isnad tanpa mengetahui dasar-dasar ilmu ini yang telah dapat
dijadikan pegangan oleh para tokoh disiplin ilmu, mengenai bagaimana
syarat-syarat rawi yang diterima,
bagaimana aturan-aturan mendapatkan ‘adalah dan kedhabitannya.[17]
Ketika seorang peneliti isnad mengetahui terdapat tingkatan-tingkatan yang ada
pada ilmu ini secara langsung akan lebih mudah dalam menilai suatu hadis. Dalam
ilmu ini juga disebutkan syarat-syarat penjarh dan penta’dil sehingga dalam
menilai suatu perawi tentu tidaklah sembarang orang bisa melakukannnya.
F. Cara melakukan Jarh dan Ta’dil
Banyak
ulama dan imam-imam ahli hadis dan fiqih sepakat bahwa rawi harus memenuhi
syarat-syarat diterimanya rawi yakni:
1.
Keadilan,
maksudnya rawi tersebut haruslah seseorang yang muslim, baligh, berakal,
selamat dari sebab-sebab kefasikan dan selamat dari cacat[18]
2.
Sebelum
seseorang melakukan jarh dan ta’dil perlu diketahui kecacatanyang terdapat pada
rawi yang biasanya dikategorikan dalam lingkup perbuatan yakni:
1)
Bid’ah yakni
seseorang yang melakukan tindakan tercela dan keluar atau menyimpang dari
ketentuan-ketentuan syari’at islam
2)
Mukhalafah
yakni berbdedanya periwayatan dengan rawi yang lebih tsiqah
3)
Ghalat yakni
rawi banyak melakukan kekeliruan ataupun banyak kesalahan dalam meriwayatkan
hadis
4)
Jahalah al hal
yakni perawi tidak terdeteksi identitasnya secara lengkap
5)
Da’wa al
inqitha yakni diduga penyandaran sanad rawi tidak bersambung
Selain
itu informasi mengenai jarh dan ta’dilnya seorang perawi dapat diketahui
melalui dua jalan yakni:
1.
Melalui
popularitas atau kemasyhuran perawi di kalangan ahli ilmu bahwa mereka dikenal
sebagai orang yang adil atau orang yang memiliki kecacatan. Apabila rawi
tersebut sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang hal keadilannnya maka
tidak perlu lagi di bicarakan keadilannya, begitupula jika perawi dikenal
sebagai orang yang cacat dalam artian ia adalah seorang yang suka berbohong
dengan kefasikannya maka tidakmperlu lagi dipermasalahkan
2.
Berdasarkan
pentajrihan perawi lain, jadi apabila terdapat rawi yang adil menilai rawi lain
yang belum dikenal keadilannya maka pentajrihan rawi yang adil tersebut
dianggap sudah cukup dan perawi tersebut sudah menyandang gelar adil dan
periwayatannnya bisa diterima, kemudian jika terdapat perawi yang belum dikenal
identitas keadilannya jika dinilai jarh oleh perawi yang adil maka periwayatan
dari perawi tersebut tidak dapat diterima.
Selanjutnya,
orang yang melakukan tajrih dan juga ta’dil juga harus memenuhi kriteria dan
persyaratan yakni:
1.
Berilmu
pengetahuan
2.
Taqwa
3.
Wara’
4.
Jujur
5.
Menjauhi sikap
fanatik terhadap golongan tertentu
6.
Mengetahui
ruanglingkup hal-hal mengenai jarh dan ta’dil.[19]
Kemudian
terdapat juga tata tertib ulama’ jarh wa ta’dil terdapat beberapa poin yang
perlu diperhatikan oleh ulama dalam menjarh dan menta’dilkan yakni diantaranya:
1.
Bersikap
obyyektif dalam tazkiyah sehingga ia tidak meninggalkan martabat seorang rawi
namun juga tidak merendahkannnya sebagaimana yang terjadi pada manusia akhir
ini yang hanya memandang dan menilai orang sebelah mata saja
2.
Seorang dalam
menjarh tidak diperbolehkan menjarh dengan sesuati kadarnya dan tidakboleh
melebihi kebutuhan, karena jarh sendiri disyariatkan lantaran darurat karena
kebutuhan ummat dalam menilai kehujjahan hadis, sementara tingkat darurat itu
tetap pada batasannya
3.
Tidak boleh
mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian
kritikus, namun dinilai adil oleh sebagian kegiatan yang demikian dikategorikan
termasuk merampas hak rawi yang bersangkutan dalam dinilai jarh ta’dilnya dan
juga muhaddissin sangat membenci sikap yang demikian
4.
Tidak
diperbolehkan menjarh kepada arwi yang tidak perlu di jarh, karena hukum dari
jarh sendiri adalah darurat maka apabila dalam suatu kondisi tidak darurat maka
jarh tidak dapat dilaksanakan. Banyak ulama yang membenci kegiatan yang
demikian dan mereka menilai bahwa kegiatan semacam ini adalah sebuah bentuk
kesalahan. Sayangnya dewasa ini hal seperti itu kerap terjadi banyak orang
beranggapan bahwa menjatuhkan lawan dengan menuduh dan mencela adalah tanda kesempurnaan
pengetahuan dan pemahaman mereka, sehingga muncullah tradisi yang jelek apabila
suatu perkumpulan yang di dalamnya terdapat orang yang alim namun banyak juga
diantara mereka menyanggah pendapat orang lain dengan cara menyangkal dan
mencari kesalahan-kesalahan yang sedikit kemudian dibesarkan sehingga membuat
orang lain tercengang dan akibatnya ia merasa telah memenangkan kegeiatan itu
dan menganggap musuhnya telah terbungkam oleh kata-kata yang ia lontarkan.[20]
G. Pertentangan Jarh wa ta’dil
Didalam
menilai jarh dan ta’dil tentu terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ulama. Terdapat pendapat yang shahih yang dikutip oleh Al-Khatib Al-Baghdadi
dari jumhur ulama yang di shahihkan oleh Ibnu Al-Shalah dan muhaddis lain serta
sebagian ulama ushul. Mereka berkata bahwa apabila terdapat pertentangan antara
jarh dan ta’dil maka yang didahulukan adalah aspek jarh meskipun yang
menta’dilkan ini banyak, karena bagi orang yang menta’dil hanya memaparkan
karakteristik yang tampak baginya sedangkan bagi orang yang menjarh mereka
lebih melihat kepada yang tidak tampak dan samar bagi yang menta’dil. Akan
tetapi, aturan ini tidak menunjukan kemutlakan mendahulukan jarh. Kita kadang
mendapatkan banyak mereka yang mendahulukan ta’dil atas jarh dalam banyak
kesempatan. Dapatlah diketahui bahwa kaidah terbatas dengan syarat-syarat,
yakni:
1.
Jarh harus
dijelaskan dan dengan memenuhi syarat-syarta jarh
2.
Orang yang
menjarh tidak sentimen terhadap perawi yang dijarh dan tidak memeprsulit dalam
menjarh. Oleh karenanya, jarh An-Nasa’i kepada Ahmad bin Shalih Al-Mishri
dikarenakan keduanya saling membenci.
3.
Penta’dil tidak
menjelaskan bahwa jarh yang ada tidak dapat diterima bagi rawi yang
bersangkutan. Oleh karena itu, ia harus mengemukakan, alasan yang jelas dan
kuat, seperti kasus Tsabit bin ‘Ajlan Al-Anshari, dimana dijelaskan oleh
Al-Uqaili bahwa “hadisnya tidak dapat diikuti”. Pernyataan ini diralat oleh Abu
Al-Hasan bin Al-Qathan bahwa hal itu tidak mencacatkannya kecuali bila ia
banyak meriwayatkan hadis-hadis munkar dan menyalahi para periwayat yang
tsiqat. Ralat ini disetujui oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan mengatakan hal yang
sama.
Hal
ini menunjukkan bahwa setiap para kritikus hadis memiliki sudut pandang yang
berbeda-beda. Karena hal itu, Al-Dzahabi salah seorang ahli kritik rijal
berkata: “Tidak pernah terjadi kesepakatan dua orang ulama hadis untuk
men-tsiqat-kan seorang rawi yang dha’if atau sebaliknya” ini tidak lain apabila
ada rawi yang tsiqat kemudian ada yang mendhaifkannya ini dikarenakan dilihat
dari sebab yang menjadikan cacat. Kemudian jika ada rawi yang dhaif kemudian
ada yang menghukumi dia adil maka tidak lain ini berpegang pada apa yang terlihat
secara lahiriah semata-mata.[21]
H. Kitab-kitab Jarh wa Ta’dil
1.
Kitab Jarh wa
Ta’dil secara umum
Kitab-kitab
dalam kategori ini adalah kitab-kitab yang menjelaskan keadaan perawi secara
umum baik yang tsiqah maupun yang dhaif. Kitab-kitab yang dimaksud adalah:
a.
Al-Tarikh
Al-Kabir
Kitab
ini merupakan kitab karya Imam Al-Bukhari (194-256 H) yang disusun dalam kitab
format besar, memuat 12.305 periwayat hadis. Kitab ini disusun berdasarkan
urutan huruf mu’jam dengan berurutan huruf pertama dari nama periwayat dan nama
bapaknya. Imam Bukhari memulai memulai pembahasannya dengan nama Muhammad
karena menunjukkan betapa mulianya nama Muhammad. Seperti halnya beliau
mendahulukan nama-nama sahabat dalam setiap nama periwayat dengan tanpa
memperhatikan nama bapaknya, selanjutnya baru menyebutkan seluruh nama
periwayat dengan memeperhatikan nama bapaknya dengan berurutan. Selain itu,
Imam Bukhari juga menyebutkan istilah-istilah jarh, istilah yang dipakai dengan
istilah halus seperti: fihi nazhrun atau sakatu ‘anhu. Kebalikan dari istilah
ini adalah munkir al-hadis. Istilah fulan fihi nazhrun atrau fulanun
sakatu’anhu digunakan untuk menilai periwayatan yang ditangguhkan hadisnya.
Sadangkan istilah fulanun munkir al-hadis ditunjukkkan kepada periwayat yang
tidak boleh diriwayatkan hadisnya. Kemudian, jika Imam Bukhari tidak menilai
suatu perawi dan dia tidak memberikan penilaian perawi tersebut tsiqah atau
tidak, berarti dia menilai perawi tersebut tsiqah
b.
Kitab al-Jarh
wa Ta’dil
Kitab
ini merupakan kitab karya Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi (240-377 H) bisa
dibilang kitab ini cukup luas isinya, kitab ini memuat 18.050 periwayat hadis
terdiri atas delapan jilid beserta mukaddimahnya. Dalam kitab ini, biografi periwayat hadis
hanya ditulis secara singkat, hanya mencapai satu sampai 15 baris dan disusun
sama seperti kitab tarikh al-kabir yakni sesuai dengan huruf hijaiyah dengan
memperhatikan huruf pertama dari periwayat dan nama bapaknya. Kitab ini
dikategorikan lebih rinci yakni disebutkan pula nama kunyah (panggilan) dan
nisbahnya, negara asal, tempat tinggal, akidah serta kadang-kadang disebutkan
juga tahun wafatnya.
2.
Kitab tentang
jarh wa ta’dil tentang periwayat-periwayat tsiqah
Kitab-kitab
ini hanya membicarakan biografi periwayat yang tsiqah saja. Diantara kitab yang
terkenal adalah:
a.
Kitab as-Tsiqah
Kitab karya
Muhammad bin Ahmad bin Hibban al-Busti (w, 354 H) yang disusun sesuai dengan
huruf hijaiyah, dalam kitab ini banyak disebutkan periwayat majhul yang hanya
dikenal keadaannnya. Kemudian penilaian tsiqah dalam kitab ini adalah menempati
urutan paling rendah.
b.
Tarikh Asma
as-Tsiqat min Nuqila Anhum al-Ilm
Pengarang kitab
ini adalah Umar bin Ahmad bin Syahin (w. 385 H) didasarkan ada urutan huruf
mu’jam dengan hanya menyebutkan nama periwayat dan nama bapaknya serta pendapat
ahli kritik hadis. Namun terkadang juga disebutkan nama murid atau guruya.
3.
Kitab jarh dan
ta’dil tentang periwayat dhaif
Kitab-kitab
ini hanya membahas periwayat-periwayat yang dhaif saja dan periwayat yang masih
bisa dibicarakan kualitasnya, meski periwayat tersebut tidak terlalu dhaif.
Diantara kitab-kitab ini adalah:
a.
Kitab
Ad-Dhuafa’ al-Kabir dan Ad-Dhu’afa As-Shaghir
Kitab ini
merupakan kitab karangan Imam Bukhari yang merupakan termasuk kedalam kategori
kitab yang paling tua.
b.
Ad-Dhu’afa wa
Al-Matrukin
Kitab ini
merupakan karangan Imam an-Nasa’i (215-303 H) yang disusun menggunakan susunan
mu’jam dengan memperhatikan huruf pertama dari periwayat
c.
Ma’rifat
Al-Majruhin min Al-Muhaddisin
Pengarang kitab
ini adalah Ibnu Hibban yang disusun menggunakan susunan mu’jam, diawali dengan
pembukaan kitab yang menjelaskan betapa pentingnya mengetahui periwayat dhaif,
dan hal-hal yang berkaitan dengan itu
d.
Al-Kamil li
Ad-Du’afa Ar-Rijal
Kitab ini
dususun oleh Imam Abu Ahmad Abdullah bin Adi al-Jurjani (w.356 H). Kitab ini,
merupakan kitab yang terbilang besar dan luas. Kitab ini memuat biografi
periwayat yang perlu dibicarakan kualitasnya, tipe penyusunan kitab ini
menggunakan mu’jam serta dimulai dengan mukaddimah kitab yang panjang dan luas
e.
Mizan
Al-I’tidal fi Naqd Ar-Rijal
Kitab ini
merupakan karya Abu Abdullah ahmad bin Usman az-Zahabi (w.748 H). Kitab ini
memuat 11.053 biografi periwayat yang menggunakan metode penyusunan mu’jam
dengan memperhatikan nama periwayat dan bapaknya. Dalam kitab ini disebutkan
periwayat laki-laki terlebih dahulu kemudian periwayat perempuan, nama kunyah
laki-laki, periwayat yang terkenal dengan nama bapaknya, nisbah atau laqabnya,
periwayat laki-laki yang tidak dikenal namanya, periwayat perempuan yang tidak
diketahui nama aslinya, periwayat perempuan yang disebut nama aslinya, nama
kunyah perempuan
f.
Lisan Al-Mizan
Kitab ini
merupakan karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang menggunakan metode penyusunan
mu’jam yang dimulai dari nama asli, nama kunyah, periwayat yang mubham. Kitab
ini menggunakan pembagian dalam pasal-pasal, yakni terdapat tiga pasal, pasal
pertama membahas periwayat yang menggunakan nasab, pasal kedua membahas
periwayat yang terkenal dengan nama kabilah atau pekerjaannnya, pasal ketiga
memuat periwayat yang disandarkan kepada periwayat lain.[22]
Itulah
tadi pembahasan mengenai kitab-kitab jarh wa ta’dil dengan berbagai aspek
metode penyusunan dan isi yang berbeda-beda. Dengan adanya kitab-kitab ini akan
memudahkan bagi ulama kritik sanad hadis dalam menilai jarh ta’dilnya perawi
hadis.
I.
Penutup
Setelah
mempelajari pembahasan-pembahasan Ilmu Jarh wa Ta’dil dapat diketahui bahwa
ilmu jarh wa ta’dil merupakan suatu ilmu yang sangat penting dikaji karena
dengan ilmu ini kita dapat mengetahui bagaimana menilai suatu perawi hadis
dengan men jarhnya atau menta’dilnya. Sehingga mengakibatkan periwayatannnya
diterima jika perawi tidak memiliki aib dan akan ditolak jika perawi memiliki
aib yang sangat parah, perlu adanya penelitian mengenai perawi karena hadis
sebagai sumber hukum yang ke dua setelah alquran dan banyak menjadi
rujukan-rujukan hukum bagi kaum muslimin.
Sejarah
jarh wa ta’dil menyebutkan bahwa ilmu ini sudah muncul pada zaman Nabi namun
belum begitu berkembang, hingga mengalami perkembangan di masa-masa berikutnya.
Didalam ilmu ini terdapat syarat-syarat perawi, adab-adab menjarh,dan
batasan-batasannya. Di dalam ilmu ini terdapat-tingkatan-tingkatan yang
membedakan adalah kadar cacat atau tidaknya perawi, hafalannnya kuat atau
tidak, dengan tingkatan ini kritik hadis akan lebih mudah.
Setelah , mempelajari ilmu ini kita juga
mengetahui bahwa ilmu ini halnya adalah darurat sebagai penilaian terhadap
perawi hadis. Islam yang sebenarnya tidak mengajarkan menilai seseorang,
terlebih menampakkkan Aibnya.
Demikian
pembahasan yang telah penulis uraikan, semoga bermanfaat dan apabila ada
kekurangan atau kesalahan dalam materi ini penulis mohonkritik dan salamnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Zuhdi, Masfuk. Pengantar Ilmu
Hadits. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk, Ulumul
Hadis. Yogyakarta: Teras, 2010.
Solahudin, M Agus dan Suyadi, Agus. Ulumul Hadi. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulum Al-Hadits.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994.
Jumantoro, Totok. Kamus Ilmu
Hadis. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis.
Jakarta: Amzah, 2013.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Imron, Ali. Mukaddimah:
Jurnal Studi Islam, Dasar-dasar Ilmu Jarh wa Ta’dil, No. 2 Vol. 2
Desember 2017
Al Thohhan, Mahmud. Dasar-dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad.
Semarang: Dina Utama, 1978.
Ahmad, Muhammad
dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis: Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK. Bandung:
Pustaka Setia, 2004.
Thahhan, Mahmud.
Ulumul Hadis : Studi Kompleksitas Hadis Nabi . Yogyakarta: Titian
Ilahi, 1997.
Catatan:
1.
Similarity 29%,
cukup tinggi.
2.
Tidak perlu ada
gelar dalam tulisan ilmiah.
3.
Perlu diberikan
arti dalam tingkatan-tingkatan al-jarh wa ta’dil.
[1] Masfuk
zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm. 105
[2] M.
Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm.
155
[3] M. Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
hlm.157
[4] Ibid.
[5] Nuruddin
‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 77
[6] M.
Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, hlm. 156
[7] Nuruddin
‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits, hlm. 78
[8] Totok
Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002), hlm. 97
[9] Abdul
Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 95
[10] Munzier
Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 32
[11] M
Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, hlm. 158
[12] Ibid
158-159
[13]Ali
Imron, Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, Dasar-dasar Ilmu Jarh wa Ta’dil, No.
2 Vol. 2 Desember 2017
[14] Mahmud
Al Thohhan, Dasar-dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad (Semarang: Dina
Utama, 1978), hlm. 147
[15] Mahmud
Al Thohhan, Dasar-dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad, hlm. 147-151
[16]
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis: Untuk Fakultas Tarbiyah
Komponen MKDK (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 58
[17] Ibid.,
hlm. 143
[18] Mahmud
Thahhan, Ulumul Hadis : Studi Kompleksitas Hadis Nabi (Yogyakarta: Titian
Ilahi, 1997), hlm. 150
[19] Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, hlm. 32-33
[20]
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits, hlm. 80-81
[21] Ibid.,
hlm 86-87
[22] M
Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, hlm. 161-165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar