Senin, 06 Mei 2019

Double Movement Fazlurrahman (PAI C Semester Genap 2018/2019)



HERMENEUTIKA DOUBLE MOVEMENT FAZLURRAHMAN SEPUTAR AYAT POLIGAMI


Aprilina Wulandari  (16110126)
Qurrotu Aini              (16110114)
Ratryana Dewi          (16110091)

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibraham Malang


Abstract
This article discusses the double movement on the issue of polygamy according to Fazlur Rahman. Double movement is a theory that appears alongside the hermeneutical theory. Hermeneutics theory or method is one of the methods of interpretation used by Fazlur Rahman. If talking about interpretations, each speaker has a style and purpose for each interpretation, as well as Fazlur Rahman. The double movement method is an interpretation method that tends to use critical reasoning in interpreting the Qur'an. The hermeneutic theory or double movement method uses a two-way 'double movement' way of interpreting. Interpretation of the meaning of a verse can be seen from the interrelation of the verses of the Qur'an in its socio-historical terms by referring to the current events towards the event when the Qur'an was revealed, then returned to the current situation. This is based on dissatisfaction with the method of the previous interpreter. From here, Fazlur Rahman considers them too dogmatic and literalist. So that the results of the interpretation are considered to be unable to continue to be relevant in this ever-expanding era. As with the issue of polygamy, most interpreters interpret this verse about polygamy on the assumption that polygamy is permissible. While Fazlur Rahman is more likely to argue that polygamy is haram. This illegitimate statement from Fazlur Rahman is not unfounded. It is precisely here that lies the role of the double movement hermeneutical method itself
Keywords: Fazlur Rahman, Hermeneutic, Double Movement, Polygamy


Abstrak
Artikel ini membahas mengenai double movement dalam isu poligami menurut Fazlur Rahman. Double movement merupakan teori yang muncul di samping teori hermeneutika. Teori atau metode hermenutika merupakan salah satu metode penafsiran yang digunakan oleh Fazlur Rahman. Jika membicarakan mengenai penafsiran maka setiap mufassir memiliki gaya dan tujuan penafsiran masing masing, begitupun dengan Fazlur Rahman. Metode double movement merupakan metode penafsiran yang cenderung menggunkan nalar kritis dalam menafsirkan Al-Qur’an. Teori atau metode hermeneutika double movement ini menggunakan cara penafsiran dua arah ‘gerakan ganda’. Penafsiran makna terhadap suatu ayat dapat dilihat dari keterkaitan ayat Al-Qur’an dari segi sosio-historisnya dengan mengacu pada kejadian saat ini menuju kejadian ketika al-Qur’an diturunkan, kemudian dikembalikan lagi kepada situasi saat ini. Hal ini didasarkan pada ketidakpuasan terhadap metode penafsir terdahulu. Dari sini, Fazlur Rahman menganggap mereka terlalu dogmatis dan literalis. Sehingga hasil tafsirannya dianggap tidak bisa terus relevan di zaman yang terus berkembang ini. Seperti halnya mengenai isu poligami, sebagian besar mufassir menafsirkan ayat tentang poligami ini dengan asumsi bahwa poligami itu boleh. Sedangkan Fazlur Rahman lebih cenderung berpendapat bahwa poligami itu haram. Pernyataan haram dari Fazlur Rahman ini bukan tidak berdasar. Justru disinilah letak peran dari metode hermeneutika double movement itu sendiri.
Kata Kunci:Fazlur Rahman, Hermeneutika,Double Movement, Poligami


A.      Pendahuluan
Poligami merupakan persoalan yang sering menjadi isu dalam konteks sosial-keagaman. Isu seputar poligami sering dijadikan perdebatan di antara masyarakat. Banyak masyarakat yang salah paham tentang poligami sehingga mengira poligami dikenal setelah adanya Islam. Banyak di antara mereka yang beranggapan bahwa poligami merupakan ajaran yang dibawa oleh Islam.[1]Sebenarnya poligami bukanlah persoalan baru, melainkan sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan sebelum Islam diwahyukan. Praktik poligami di zaman dahulu sudah menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan oleh para raja yakni dengan banyaknya selir yang dinikahinya. Bahkan, sebelum Islam datang di jazirah Arab, praktik poligami dilakukan tak terbatas.
Kedatangan Islam justru memperbaiki kebiasaan buruk yang dilakukan oleh orang-orang terutama di jazirah Arab. Pada masa jahiliyah, rata-rata pemimpin suku memiliki banyak istri tanpa memperhatikan kesejahteraannya, berbuat sewenang-wenang, tidak memberi mahar maupun nafkah yang layak, diperlakukan layaknya barang yang bisa dipakai dan dibuang kapan saja.Harkat dan martabat perempuan begitu direndahkan. Kemudian Islam datang dengan membawa ajaran yangdamai, menghormati, menghargai, serta memuliakan perempuan. Kedatangan Islam tidak serta merta menghapuskan praktik poligami, hanya saja memberikan batasan-batasan yang disinggung dalam al-Qur’an.[2]
Poligami telah menjadi pokok bahasan yang terdapat dalam al-Qur’an yakni QS. An-Nisa’ [4]: 3 dan QS. An-Nisa’ [4]: 129. Ayat tersebut tidak melarang secara mutlak maupun menganjurkan (wajib) praktik poligami. Di dalam ayat-ayat tersebut terdapat persyaratan-persyaratan tertentu perihal poligami yang kemudian berhubungan dengan ayat lainnya. Sedangkan dalam praktiknya, masyarakat seringkali menyalahgunakan dengan mengesampingkan persyaratan yang ada. Hal inilah yang kemudian menjadikan perdebatan yang tidak pernah usai.
Dalam artikel ini, penulis akan memaparkan pandangan seorang tokoh intelektual, Fazlur Rahman mengenai hukum poligami ditinjau dari ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an. Penafsiran ayat-ayat poligami yang dilakukan oleh Fazlur Rahman ini berbeda dengan mayoritas ulama muslim lainnya. Fazlur Rahman telah mengembangkan pemikiran Islam secara komprehensif yang mencakup seluruh aspek pemikiran Islam, teologi, filsafat, solusi metodologi dari teoritis hingga aplikatif.[3]Fazlur Rahman menggunakan hermeneutika double movement dalam menafsiri ayat-ayat tentang poligami. Dengan demikian, Fazlur Rahman berupaya memberikan solusi terhadap persoalan poligami yang selama ini diperdebatkan di kalangan masyarakat, bahkan dianggap sebagai ajaran Islam.


B.       Biografi Fazlurrahman
Fazlur Rahman merupakan seorang pemikir neomodernis yang produktif. Beliau dilahirkan pada 21 September 1919 di kawasan Barat Laut Pakistan yakni daerah Hazara. Rahman tumbuh di keluarga yang menganut mazhab Hanafi.[4] Rahman adalah putra dari seorang alim terkenal lulusan Deoband yakni Maulana Sahab Al Din. Rahman mendapat pelajaran agama yang kuat dari sang ayah. Oleh karena itu, pemikiran keagamaannya sudah terbentuk sejak kecil dengan tradisi Hanafi yang mana lebih banyak menggunakan rasio (ra’yu).[5] Berbeda dengan mayoritas ulama tradisional pada masanya yang memandang pendidikan modern sebagai racun, sang ayah justru memandang modernitas sebagai suatu tantangan sekaligus kesempatan. Hal ini juga yang diyakini oleh Fazlur Rahman.[6]
Pada 1933 Rahman memasuki sekolah modern dan melanjutkan studinya ke Lahore. Beliau berhasil memperoleh gelar B.A. dalam bidang studi Bahasa Arab pada tahun 1940 di Punjab University. Dua tahun kemudian, beliau berhasilmendapat gelar M.A. dibidang studi Sastra Arab.[7]Pada saat itu, beliau juga mendalami bahasa-bahasa Barat sehingga mempermudahnya dalam menelusuri literatur-literatur keislaman karya orientalis.
Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University di Inggris pada 1946. Keputusan tersebut dianggap sangat berani, sebab dengan langkah dipilihnya tersebut menutup kemungkinanbeliau bisa diterima kembali di negara asalnya. Kebanyakan dari mereka yang belajar di Barat akan dikucilkan bahkan mengalami penindasan. Akan tetapi, beliau berani melawan arus untuk menggapai cita-citanya.[8] Rahman akhirnya berhasil meraih gelar doktor filsafat pada 1951. Kemudian ia melanjutkan karirnya dengan mengajar di Durham University, Institute of Islamic Studies, McGill University, serta menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy.[9]
Di awal 1960-an, Rahman pulang ke negara asalnya, Pakistan. Beliau menjabat sebagai staf senior di Institute of Islamic Research. Dua tahun kemudian, beliau menjadi direktur lembaga riset tersebut. Selain itu, Rahman pernah diangkat menjadi anggota dewan penasehat ideologi Islam pemerintah Pakistan pada 1964. Namun, gagasan-gagasan pembaruan yang disampaikan Rahman guna menjawab problematika masa kini banyak mendapat tantangan keras dari kalangan ulama tradisionalis maupun fundamentalis di Pakistan.[10] . Tidak hanya berupa penolakan terhadap gagasan pemikirannya, beliau bahkan hampir dibunuh oleh kalangan ulama konservatif.[11]
Kemudian Fazlur Rahman melepaskan jabatannya yang ada di Pakistan dan hijrah ke Barat pada 1969. Rahman memutuskan hijrah ke Chicago, disana beliau menjabat sebagai Guru Besar Kajian Islam dalam Berbagai Aspeknya pada Department of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicagosejak tahun 1970.[12] Beliau menetap di Chicago selama 18 tahun, sampai akhir hayatnya pada 26 Juli 1988.[13]


C.      HermeneutikaDouble Movement
Hermeneutika merupakan suatu metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Metode ini pada awalnya digunakan untuk menafsirkan Bibel. Sebab, pada saat itu masyarakat Eropa menganggap tek-teks didalam Bibel bermasalah.[14] Logikanya, ketika teksnya bermasalah maka tafsirannya-pun akan demikian. Metode hermeneutika ini merupakan metode yang banyak digunakan oleh para mufassir kotemporer. Metode hermeneutika ini dianggap menyeluruh dalam manafsirkan sebuah ayat, sehingga ayat tersebut benar-benar tergali dengan baik dari segi makna.
Metode ini menjadi sangat penting di masa setelah nabi wafat. Semasa nabi hidup, metode hermeneutika tidak begitu diperlukan. Pada masa itu, ketika ada wahyu turun para sahabat bisa dengan mudah menghafal kemudian mengamalkan. Jika ada kesulitan atau kekurang-fahaman terhadap wahyu tersebut, mereka bisa langsung bertanya kepada Nabi SAW. Berbeda di masa setelah Nabi SAW wafat, metode hermeneutika menjadi sangat penting kaitannya guna  menguraikan, membedah dan memaknai dari sebuah teks atau ayat. Seorangmusffasir mengaitkan antara ayat atau teks dengan kejadian yang sifatnya sosio-historis pada masa itu, serta mengaitkan kejadian pada saat itu dengan keadaan di era modern-kotemporer.
Hermeneutika sebagai sebuah teori penafsiran yang ditujukan untuk proses penggalian makna. Maka hermeneutika dianggap sangat diperlukan dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebab tujuan dari menafsirkan adalah untuk menjadikan sebuah ayat atau teks menjadi hidup dalam kejadian apapun. Tanpa adanya hermenutika dalam penafsiran maka, seseorang akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari dan menemukan makna baru didalam sebuah ayat. Selain itu, seseorang akan kehilangan daya kritisnya dalam menyikapi penafsiran dari orang lain.[15]
Berkaitan dengan hermenutika ini, Fazlur Rahman lebih cenderung pada aliran objektivitas. Aliran objektivitas adalah aliran dimana setiap ayat sejatinya memiliki sebuah makna yang masih bersifat asli. Fazlur Rahman berpendapat bahwasannya sebuah teks atau ayat pasti memiliki makna asli yang mana bisa dipahami melalui kejadian dimana ayat atau teks tersebut diturunkan. Sehingga tidak mungkin dalam sebuah makna dari ayat atau teks seorangmufassir bisa mencampuri maksud (makna)  dari Tuhan.[16]
Jika dilihat dari sudut pandang hermeneutik, perbedaan karya yang dihasilkan oleh masing-masing tokoh juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan pengarang, lingkungan kerja dan konteks penulisannya. Fazlur Rahman merupakan sarjana Muslim yang berasal dari Pakistan dan juga seorag profesor filsafat Islam di Universitas Chicago. Tentunya, lingkungan universitasnya juga ikut mempengaruhi metode dan hasil yang ingin dicapai oleh karya-karya tulisnya.
Bagi Fazlur Rahman, pendekatan sosio-historis sebenarnya akan lebih memudahkan seorang mufassir dalam menafsirkan teks atau ayat. Pendekatan sosio-historis ini berkaitan dengan berbagai aspek latar belakang. Hal yang termasuk didalam latar belakang ini adalah bagaimana nabi dan al-Qur’an pada masa itu. Kemudian pula bagaimana nabi dan bangsa Arab pada saat itu. Sebab bagaiamana nabi, al-Qur’an dan bangsa Arab memiliki keterkaitan.
Dengan demikian, sangat penting mengetahui bagaimana perjuangan nabi pada saat membenahi bangsa arab dan dalam waktu bersamaan dinaungi oleh al-Qur’an. Sehingga seorang mufassir menurut Fazlur Rahaman harus memahami bagaimana sebenarnya masyarakat Arab. Sebab semua yang berkaitan dengan bangsa arab akan sangat berpengaruh terhadap nabi dan ayat yang kemudian turun. Sehingga seorang mufassirpun perlu memahami kepercayaan, kebiasaan, sosial, politik dan bahkan ekonomi dari bangsa Arab.[17]
Fazlur Rahman menawarkan metode penafsiaran al-Qur’an yang sistematis sebagai berikut: 1) menemukan arti dari teks al-Qur’an dengan pendekatan sejarah secara jujur dan bijaksana, 2) membedakan ketetapan legal al-Qur’an dengan tujuan yang ingin dicapainya, 3) memahami sasaran-sasaran al-Qur’an dengan memperhatikan latar belakang sosiologis diturunkannya al-Qur’an.[18]Hal ini guna meminimalisir penafsiran-penafsiran al-Qur’an secara subyektif di kalangan mufasir.[19]
Tema pembahasan yang diangkat oleh Fazlur Rahman ialah dari pesan dasar al-Qur’an dalam sudut pandang metafisis-ontologis dan etis-teologis. Fazlur Rahman mendalami pesan al-Qur’an yang bersifat perennial-universal dimana masih terbungkus oleh budaya dan peristiwa historis yang bersifat lokal dan kontemporer. Kemudian dalam hal penafsiran Fazlur Rahman yang awalnya hanya menggunakan teori atau metode hermenutika akhirnya menambahkannya dengan istilah “double movement”.[20]
Double movement adalah suatu proses interpretasi dengan melibatkan “gerakan ganda”. Penggalianmakna yang dilakukan oleh mufassir tersebut mengacu pada kejadian saat ini menuju di mana ketika al-Qur’an diturunkan kemudian dikembalikan lagi kepada keadaan saat ini untuk melakukan kontekstualisasi terhadap pesan-pesan eksternal-universal al-Qur’an yang hendak diaplikasikan di masa sekarang. Dengan demikian satu hal yang perlu digarisbawahi bahwasannya metode penafsiran hermeneutika double mevoment ini hanya dapat digunakan untuk ayat yang bersifat “hukum” bukan untuk ayat yang bersifat metafisik.Sedangkan untuk ayat yang bersifat metafisik Fazlur Rahman cenderung menggunakan metode tematik.[21]
Rahman sendiri mengatakan bahwa setiap ayat yang turun tidak mungkin kemudian berdiri sendiri. Pasti ada sesuatu yang mendukung mengapa ayat tersebut ada dan diturunkan. Sehingga jika dilihat bagaimana kondisi masyarakat Arab pada masa itu, maka tidak mungkin tidak ada ayat yang turun kemudian seputar kepercayaan, moral dan sosial. Selain itu, kadang-kadangal-Qur’an turun sebagai jawaban dari suatu pertanyaan.[22]
Fazlur Rahman memandang sejarah adalah sebuah rangkaian peristiwa yang tak pernah terputus, sebab pemaknaan sejarah selalu mengarah ke depan meskipun terjadi pada hari ini. Dengan merujuk pada al-Qur’an, Fazlur Rahman memaknai masa lalu manusia bukan hanya sekadar masa yang sifatnya historis-empiris tetapi juga secara ontologis keberadaan manusia berawal dari ciptaan Tuhan. Begitu juga dengan konsep pertanggungjawaban etis di akhirat nanti. Itulah mengapa dalam al-Qur’an tema eskatologi (hari akhir) mempunyai posisi yang sangat penting karena membuat manusia mejadi lebih taqwa.
Fazlur Rahman tidak mencari hubungan kronologis berdasarkan asbab al-nuzul dalam menghubungkan ayat-ayat tentang suatu tema atau pokok bahasan,  tetapi dengan mensitesakan ayat-ayat dan tema berdasarkan penalaran logis-filosofis dimana paham monoteisme menjadi poros serta rujukan etis dari seluruh pembahasan.[23]Pendekatan bersifat filosofis yang dipilih Fazlur Rahman ini mengandung resiko dikecam oleh penganut madzhab tradisional karena dinilai lebih memilih signifikansi makna yag bersifat umum daripada makna tekstual yang terikat dengan peristiwa lokal-historis. Menurutnya, ini harus ditempuh jika ingin mengaktualisasikan pesan-pesan dasar al-Qur’an untuk masyarakat modern.
Mengenai bagaimana sebenarnya dari teori hermeneutika double movement ini Fazlur Rahman memberikan langkah kerja sebagai berikut:
1.      Mengkaji problem historis suatu ayat guna memahami makna dari pernyataan (ayat) tersebut. Sebelum melakukan pengkajian terhadap ayat-ayat spesifik (mikro), seorang musaffir terlebih dulu harus mengetahui kondisi makro masyarakat serta aspek kehidupannya khususnya di wilayah Makkah dan sekitarnya.Dengan kata lain, memahami konteks mikro maupun makro ketika al-Qur’an diturunkan.[24]
2.      Menyimpulkan jawaban-jawaban tersebut serta menentukan tujuan moral-sosial yang disaring dari ayat-ayat tersebut berdasar latar belakang sosio-historis.[25]
Dalam proses bolak-balik gerakan ganda tersebut, seorang mufassir harus tetap memperhatikan ajaran dari keseluruhan al-Qur’an sehingga antara satu dengan yang lainnya saling berhubungan.Metode hermeneutika double movementtidak menampik adanya pendekatan linguistik, seperti nahwu-sharaf, filologis, dan balaghah. Namun, Rahman berpendapat bahwasanya pendekatan linguistik menduduki tempat kedua dan penafsiran terhadap suatu makna dari ayat al-Qur’an tidak boleh terlepas dari konteks internal al-Qur’an itu sendiri.[26]
Secara tematis, Fazlur Rahman memberikan pandangan dunia (world view) al-Qur’an yang berbicara bukan hanya kepada umat Islam tetapi juga menawarkan suatu ideologi kehidupan yang bersumber dari Tuhan, dimana pesan al-Qur’an ini sejalan dengan akal sehat dan fitrah manusia.[27] Dengan demikian legitimasi dari klaim kebenaran bukan hanya dari wahyu Tuhan tetapi juga dari rasionalitas manusia sendiri sebab adanya titik temu antara logika manusia dan logika al-Qur’an. Disini, Fazlur Rahman ingin menunjukkan bahwa apa yang dianggap benar oleh Tuhan, juga apa yang dianggap baik oleh nalar sehat dan fitrah manusia.


D.      Poligami Perspektif Fazlur Rahman
a.    Pengertian Poligami
Poligami adalah ikatan atau hubungan perkawinan lebih dari satu yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan.[28]Dalam antropologi sosial, poligami dapat dikatakan sebagai praktik pernikahan yang mana melibatkan lebih dari satu suami atau istri (berdasarkan jenis kelamin orang yang bersangkutan). Poligami sendiri terdiri dari dua macam, yakni poligini dan poliandri. Poligini adalah perkawinan yang membolehkan bagi seorang laki-laki memiliki beberapa istri dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan, poliandri adalah perkawinan yang membolehkan seorang wanita memiliki beberapa suami dalam waktu yang bersamaan.[29]
Kebalikan dari poligami adalah monogami. Monogami yakni ikatan atau hubungan perkawinan yang hanya membolehkan seseorang memiliki satu pasangan dalam kurun waktu tertentu. Istilah lain dari monogami adalah monogini, yakni laki-laki hanya boleh memiliki satu istri.[30]

b.   Poligami dalam Prespektif Fazlur Rahman
Isu gender yang sampai saat ini masih menjadi masalah yang hangat adalah poligami. Padahal di dalam Islam permasalahan poligami telah disebutkan didalam QS. An-Nisa’ [4] ayat 3. Namun yang menjadi masalah adalah dalam kaitan penafsiran dari QS. An-Nisa’ yang sangat beragam. Dari keberagaman penafsiran ini terdapat tiga aliran yang berbicara menegenai hukum dari poligami.
1.      Aliran yang menyatakan hukum poligami boleh secara mutlak.
Aliran ini menyatakan kebolehan poligami secara mutlak dengan syarat maksimal empat. Aliran yang berpendapat demikian adalah aliran dari golongan mufassir klasik dan pertengahan.[31]
2.      Aliran yang menyatakan hukum poligami boleh namun dalam keadaan darurat dan disertai syarat yang ketat.[32]
Keadaan darurat dalam konteks ini yakni:
-          Istri yang mandul sehingga tidak dapat melahirkan keturunan.
-          Suami memiliki overseks, sedangkan istrinya memiliki kelemahan seks, memiliki permasalahan terhadap masa haidnya sehingga seorang istri tidak mampu memberikan hak suami secara penuh.
-          Perbandingan jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki.[33]
Dalam hal tersebut, seorang laki-laki diperbolehkan menikah lagi, namun tetap dengan persyaratan yang ketat. Aliran yang berpendapat demikian adalah aliran dari golongan mufassir modern kontemporer.
3.      Aliran yang melarang mutlak.
Aliran yang melarang mutlak akan praktik poligami ini berasal dari kaum aktifis feminis liberal. Mereka beranggapan bahwa praktik poligami adalah sesuatu yang bertentangan dengan kesetaraan gender. Sebab poligami dianggap sebagai sesuatu yang mendiskriminasi wanita.[34]

Secara tekstual, al-Qur’an telah menyinggung tentang adanya sistem poligami. Namun, di sisi lain al-Qur’an juga memberikan poin-poin penting terkait poligami, yakni: 1) pemberian batas maksimal mengenai jumlah pasangan, 2) mengenai tuntutan keadilan dari perempuan terhadap laki-laki, 3) peningkatan nasib perempuan.
Menurut Fazlur Rahman ayat yang berkaitan dengan poligami tersebut merupakan jawaban dari masalah sosial yang terjadi pada saat itu. Rahman juga berpandangan bahwasanya al-Qur’an bukan semata-mata produk hukum, melainkan sebuah prinsip dan seruan moral. Kemudian poin penting dari ketetapan al-Qur’an yakni mengenai perempuan dan perbudakan, salah satunya mengenai poligami.[35]
Sebagaimana di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 187 mengkiaskan pasangan suami istri seperti hanya libas atau pakaian. Dinyatakan pula bahwasanya seorang perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, kecuali terhadap masalah mencari nafkah yang mana dibebankan kepada kaum laki-laki.[36]
Poligami telah disinggung dalam QS. An-Nisa’ [4] ayat 3:

وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ  ٣
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Permasalahan dari ayat di atas adalah terkait penafsirannya, sehingga tidak jarang orang melakukan praktik poligami karena menganggapnya ‘boleh’. Mereka yang beranggapan demikian, secara tidak langsung tidak memperhatikan bagaimana asbabul nuzul dari ayat serta pesan moral yang terkandung dalam praktik poligami tersebut. Seperti halnya di dalam QS. An-Nisa’[4] ayat 2:

وَءَاتُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰٓ أَمۡوَٰلَهُمۡۖ وَلَا تَتَبَدَّلُواْ ٱلۡخَبِيثَ بِٱلطَّيِّبِۖ وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَهُمۡ إِلَىٰٓ أَمۡوَٰلِكُمۡۚ إِنَّهُۥ كَانَ حُوبٗا كَبِيرٗا  ٢
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”

Ayat tersebut diturunkan setelah terjadi Perang Uhud.Di dalam Perang Uhud banyak tentara muslim yang mati syahid sehingga berimbas kepada keluarga yang ditinggalkan. Terdapat dua permasalahan yang muncul setelah peperangan, yakni: 1) mengenai anak yang kemudian menjadi yatim; 2) mengenai istri yang kemudian menjadi janda.
Dengan adanya permasalahan yang demikian, Rasulullah menugaskan para sahabat yang masih hidup untuk mengelola harta anak yatim, namun kenyataannya tidak semua sahabat menjalankan amanah dengan baik.Di antara bentuk penyalahgunaan harta tersebut yakni menukar harta anak yatim yang baik dengan harta sahabat yang buruk, serta memakannya secara batil. Sehingga, turunlah teguran dari Allah dalam QS. An-Nisa’ [4]: 2. Setelah adanya ayat tersebut, mereka justru memilih mengawini para gadis yatim tersebut. Kemudian disinggung di QS. N-Nisa’ [4]: 127.

وَيَسۡتَفۡتُونَكَ فِي ٱلنِّسَآءِۖ قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيكُمۡ فِيهِنَّ وَمَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ فِي يَتَٰمَى ٱلنِّسَآءِ ٱلَّٰتِي لَا تُؤۡتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرۡغَبُونَ أَن تَنكِحُوهُنَّ وَٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلۡوِلۡدَٰنِ وَأَن تَقُومُواْ لِلۡيَتَٰمَىٰ بِٱلۡقِسۡطِۚ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِهِۦ عَلِيمٗا  ١٢٧
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.”

Di dalam QS. An-Nisa’ [4]:3, apabila ditakutkan tidak bisa berlaku adil terhadap harta dari gadis yatim yang mereka nikahi, maka diperbolehkan menikahi gadis lain yang mereka senangi, dan apabila khawatir tidak bisa berlaku adil, maka menikah dengan seorang saja. Penekanan konteks adil QS. An-Nisa’ [4]:3 ditegaskan kembali dalam QS. A-Nisa’ [4]:129.
Menurut Fazlur Rahman, ayat-ayat di atas terkesan bertentangan, yakni antara diperbolehkannya poligami dengan maksimal empat, kemudian tuntutan untuk berbuat adil, dan pernyataan yang tegas bahwasanya tuntutan untuk berbuat adil adalah mustahil.[37]Mengenai pendapat bahwasanya poligami adalah legal menurut kaum tradisionalis adalah mutlak, sedangkan mengenai tuntutan keadilan didasarkan pada kesadaran suami. Pendapat yang demikian ini sangat bertentangan dengan kaum modernis. Pandangan kaum modernis yakni lebih menekankan pada tuntutan keadilan dan ketidakmungkinan berbuat adil. Oleh karena itu, menurut modernis poligami tidaklah mutlak, melainkan bersifat sementara dan dalam keadaan yang sangat darurat.[38]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya di dalam QS. An-Nisa’ [4]: 3 dan QS. An-Nisa’ [4]: 129, secara tidak langsung memberikan rambu-rambu bahwasanya al-Qur’an melarang poligami bagi mereka yang khawatir tidak bisa berlaku adil. Maka dapat dikatakan pula bahwasanya prinsip sebenarnya dalam pernikahan adalah monogami. Jika seseorang terpaksa berpoligami, maka tujuannya adalah tujuan sosial.
Secara emplisit bahwasanya poligami yang diterangkan dalam ayat al-Qur’an tersebut berkaitan dengan penyantunan anak-anak yatim, orang-orang terlantar, dan orang-orang miskin. Maka dari itu, ayat tentang poligami tidak lantas dimaknai semata-mata untuk kepentingan pribadi. Setidaknya, apabila masyarakat tidak mampu meninggalkan poligami, maka poligami dijadikan jalan perbaikan struktur sosial. Secara hukum, boleh berpoligami dengan pembatasan maksimal empat perempuan, namun secara moral di balik pembatasan tersebut terdapat usaha untuk memperbaiki struktur sosial.[39]


E.       PENUTUP
Demikianlah pemaparan penulis mengenai hukum poligami perspektif Fazlur Rahman. Fazlur Rahman dalam menanggapi isu poligami melihat bagaimana konteks ayat-ayat dalam al-Qur’an terkait poligami tersebut. Beliau menafsirkan ayat-ayat poligami menggunakan hermeneutika double movement yakni melibatkan ‘gerakan ganda’ yang mengacu pada kejadian saat ini menuju kejadian ketika al-Qur’an diturunkan, kemudian dikembalikan lagi kepada situasi saat ini. Penafsiran tersebut menggunakan pendekatan sosio-historis yang berkaitan dengan berbagai aspek latar belakang.Metode penafsiran hermeneutika double mevoment ini hanya dapat digunakan untuk ayat yang bersifat “hukum” bukan untuk ayat yang bersifat metafisik.
Berdasarkan penafsiran dari ayat-ayat terkait poligami di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam QS. An-Nisa’ [4]: 3 dan QS. An-Nisa’ [4]: 129, secara tidak langsung memberikan rambu-rambu bahwasanya al-Qur’an melarang poligami bagi mereka yang khawatir tidak bisa berlaku adil. Maka dapat dikatakan pula bahwasanya prinsip sebenarnya dalam pernikahan adalah monogami. Jika seseorang terpaksa berpoligami, maka tujuannya adalah tujuan sosial, melihat sosio-historis bagaimana ayat tersebut diturunkan.













DAFTAR PUSTAKA

Budiarti. “Studi Metode Ijtihad Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Pembaruan Hukum Islam.” Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam.Vol.3, no. 1 (Juli 2017). http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=809907&val=13227&title=STUDI%20METODE%20IJTIHAD%20DOUBLE%20MOVEMENT%20FAZLUR%20RAHMAN%20TERHADAP%20PEMBARUAN%20HUKUM%20ISLAM, diakses 02 Mei 2019.
Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996.
Iqbal, Abu Muhammad. Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Khalil, Umi Azizah. Percayalah, Perempuan Itu Lebih Gampang Masuk Surga. Yogyakarta: Araska, 2018.
Mulia, Musdah. Pandangan Islam Tentang Poligami. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS Group, 2012.
Nadia, Zunly. “Membaca Ayat Poligami Bersama Fazlur Rahman.” Jurnal Studi Islam.Vol.2, no. 1 (Desember 2017). http://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/mukaddimah/article/download/1369/1185, diakses 27 April 2019.
Rahman, Fazlur. Metode dan Alternatif Neomodernisasi Islam. Bandung: Mizan, 1993.
———. Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Pustaka, 1996.
Shidiq, Sapiudin. Fikih Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.

Catatan:
Makalah sudah bagus, similarity 4%.


[1]Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), hlm. 3.
[2]Ibid., hlm. 4.
[3]Budiarti, “Studi Metode Ijtihad Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Pembaruan Hukum Islam,” Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 3, no. 1 (Juli 2017): 22, http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=809907&val=13227&title=STUDI%20METODE%20IJTIHAD%20DOUBLE%20MOVEMENT%20FAZLUR%20RAHMAN%20TERHADAP%20PEMBARUAN%20HUKUM%20ISLAM.
[4]Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisasi Islam, Terj. Taufik Adnan Amal (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 13.
[5]Zunly Nadia, “Membaca Ayat Poligami Bersama Fazlur Rahman,” Jurnal Studi Islam,Vol.2, no. 1 (Desember 2017): 205, http://ejournal.uin-suka.ac.id/pusat/mukaddimah/article/download/1369/1185.
[6]Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS Group, 2012), hlm. 88.
[7]Zunly Nadia, “Membaca Ayat Poligami Bersama Fazlur Rahman, hlm. 206.
[8]Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 90.
[9]Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisasi Islam, hlm. 13.
[10]Ibid., hlm. 13–14.
[11]Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 90.
[12]Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisasi Islam, hlm. 16.
[13]Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 92
[14]Ibid.,hlm. 174.
[15]Ibid., hlm. 175.
[16]Ibid., hlm. 175–176.
[17]Ibid., hlm. 178.
[18]Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 629–630.
[19]Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisasi Islam, hlm. 24.
[20]Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 195.
[21]Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 178.
[22]Ibid., hlm. 178–179.
[23]Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hlm. 196.
[24]Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 180.
[25]Ibid., hlm. 181
[26]Ibid., hlm. 183.
[27]Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hlm. 197.
[28]Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, hlm. 2.
[29]Umi Azizah Khalil, Percayalah, Perempuan Itu Lebih Gampang Masuk Surga (Yogyakarta: Araska, 2018), hlm. 119.
[30]Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, hlm. 2.
[31]Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 257–258.
[32]Ibid., hlm. 258.
[33]Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hlm. 63.
[34]Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 258.
[35]Ibid., hlm. 258.
[36]Ibid., hlm. 259.
[37]Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an (Bandung: Pustaka, 1996), hlm. 69.
[38]Ibid., 257–58.261.
[39]Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 262.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar