Rabu, 06 Desember 2017

Kesetaraan Gender dalam Alquran dan Hadis (PAI D Semester Ganjil 2017/2018)





Maulidiyah Khasanah (16110139) dan Aminatunniswah (16110204)
PAI D Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email : maulidyah998@gmail.com
Abstract
In the view of Islamic law, everything created by Allah SWT with his nature. Thus human beings, between women and men as individuals and sex have their own nature. The Qur'an acknowledges that there is an anatomical difference between women and men, al-qur'an also acknowledges that the foreign members of each gender function by reflecting on the well-defined differences.
The nature of women is often also used as an excuse to reduce the various roles of women in the family and society, men are also often considered dominant in playing various roles. Culture that develops in society also sees that women as weak creatures, subtle, emotional and shy, while for men as a strong, rough, rational and courageous creature.
Keywords: understanding of gender, men's and women's relations across history, and gender equality in the Qur'an and Hadith
Abstrak
Dalam pandangan hukum islam, segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT dengan kodratnya. Demikian halnya manusia, antara perempuan dan laki-laki sebagai individual dan jenis kelamin memiliki kodratnya masing-masing. Al-qur’an mengakui bahwasanya adanya perbedaan anatomi antara perempuan dan laki-laki, al-qur’an juga mengakui bahwa anggota asing-masing gender berfungsi dengan cara merefleksikan perbedaan yang telah dirumuskan dengan baik.
Kodrat perempuan sering juga dijadikan alasan untuk mereduksi berbagai peran perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, kaum laki-laki juga sering dianggap dominan dalam memainkan berbagai peran. Kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat pun memandang bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, halus, emosional dan pemalu, sementara bagi kaum laki-laki sebagai makhluk yang kuat, kasar, rasional serta pemberani.
Kata Kunci : pengertian gender, relasi laki-laki dan perempuan lintas sejarah, dan kesetaraan gender dalam alquran dan hadis
A.    Pendahuluan
Kami akan membahas tentang hal-hal Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an dan Haditsyang didalamnya hampir semua uraian tentang pembangunan di kalangan organisasi non pemerintah maupun program pengembangan masyarakat diperbincangkan masalah Gender. Kata gender sejak sepuluh tahun terakhir telah memasuki kosakata di setiap diskusi. Dari pengamatan, masih terjadi kesalahpahaman, ketidakjelasan tentang apa yang di maksud dengan konsep gender juga kaitannya dengan emansipasi kaum wanita.
Kesetaraan gender sangat penting di era seperti sekarang. Karna banyak pelecehan yang menyebar terhadap seorang wanita. padahal hakekatnya hak dan kewajiban wanita sama halnya seperti hak dan kewajiban seorang laki-laki.
Maka dari itu, banyak ayat Al-Qur’an dan hadist yang menjelaskan tentang kesetaraan gender dan banyak perspektif orang tentang kesetaraan gender, agar hak dan kewajiban wanita dan laki-laki terpenuhi dengan sempurna tanpa adanya perselisihan diantara mereka.
B.     Pengertian Kesetaraan Gender
1.      Gender dalam istilah berarti seks atau jenis kelamin, pada kedua jenis kelamin yang dikonstruksikan secara sosial dan cultural bisa diartikan sebagai sifat juga karakter yang melekat. Pengertian gender menurut Margaret L. Andersen adalah: (Gender merujuk pada perilaku yang dipelajari secara sosial dan harapan-harapan yang berhubungan dengan dua jenis kelamin. Jadi, kalau female dan male merupakan fakta-fakta biologis, sementara maskulin dan feminine adalah atribut-atribut  yang dikonstruk secara kultural. Sebagaimana kategori social yang dibangun berdasarkan ras, kelas sosial, pola-pola gender adalah apa yang diharapkan orang lain terhadap kita dan apa yang kita harapkan pada diri kita sendiri. Gender, dalam skala besar, dipahami sebagai kesempatan hidup dan  mengarahkan hubungan social kita dengan yang lain).
Dalam arti tersebut gender mengidentifikasi laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis yang dikenal dengan istilah identitas jenis kelamin. Penafsiran jenis kelamin atau seks yang merupakan dari aspek biologis dengan tanda-tanda lahir yang mudah dikenali, misalkan laki-laki memiliki penis, jakun, memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, air susu ibu (ASI), juga mengalami siklus menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.[1]
Jadi, gender adalah perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dihasilkan dari kontruksi social budaya dan juga dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.[2]

2.      Kata gender (dibaca jender) berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin  (John M. Echols dan Hasan Shadily, 1983: 265).  Gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang tampak apabila dilihat dari nilai tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encyclpedia menjelaskan bahwa gender yaitu konsep kultural, yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam perilaku, mentalitas, dan peran serta karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam bukunya Hilary M. Lips yang terkenalSex dan Gender : an Introduction diartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Cultural Expectations for Women and men). Misalkan, wanita dikenal dengan lemah lembutnya, kecantikannya, emosional, dan keibuannya sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan kejantanannya.  Ciri-ciri sifat dari yang sudah disebutkan diatas merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, semisal ada laki-laki yang lemah lembuh; ada wanita yang kuat, rasional juga perkasa. Dari ciri perubahan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih, 1999: 8-9).[3]
Pengertian gender secara umum adalah kosakata yang berasal dari Bahasa Inggris yang bermakna “jenis kelamin”, dalam glosarium dapat juga disebut dengan seks dan gender. Gender sendirir diartikan sebagai “suatu sifat yang melekat pada diri laki-laki maupun dalam diri perenpuan yang berkonstruksi secara sosial. Kosakata gender bagi masyarakat Barat, khususnya masyarakat Amerika sudah telah digunakan sekitar di zaman era tahun 1960 –an sebagai bentuk perjuangan secara radikal, konservatif, sekuler maupun agama. Pada era tersebut telah ditandai dan diwarnai dengan tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar para perempuan dapat menyamai laki-laki dalam ranah ekonomi, sosial, politik dan bidang publik lainnya.[4]
 Di Indonesia, kata gender bagi masyarakat masih banyak yang mengasumsikan sebagai segala persoalan yang identik dengan perempuan. Gender secara umum yang lazim dapat dikenal oleh masyarakat yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang anatomi biologi, hormon dalam tubuh, kimia, anatomi fisik dan lain-lain. Oleh dasar itulah maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek yang maskulinitas atau feminitas seseorang. Sedangkan konsep lainnya terkait dengan gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki atau perempuan yang berkonstruksi secara sosial maupun kultural. Menurut pandangan kaum feminis mengatakan bahwa gender adalah gerakan yang memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan. Tujuan mereka adalah agar untuk membebaskan para kaum perempuan dari kungkungan agama, struktur dan budaya.[5]
C.    Relasi antara laki-laki dan perempuan dalam lintasan sejarah
1.      Dalam Islam konsep kesetaraan dan keadilan gender sesungguhnya telah menjadi bagian substantive nilai-nilai universal Islam melalui pewahyuan (al-Qur’an dan al-Hadits) dari Allah Yang Maha Adil dan Maha Pengasih. Posisi laki-laki dan perempuan ditempatkan setara untuk kepentingan dan kebahagiaan mereka di dunia juga di akhirat.  Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan yang sama sebagai hamba Allah mempunyai hak-hak dan kewajiban, yang membedakan hanyalah ketaqwaan di hadapanNya.[6]
Berbicara mengenai kedudukan perempuan, mengantarkan kita agar terlebih dahulu mendudukkan pandangan al-Qur’an. Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah firman Allah SWT yang berbunyi: ‘’ Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu(terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa’’.[7]
Pada Ayat tersebut menjelaskan tentang asal mula kejadian manusia dari seorang laki-laki dan perempuan juga sekaligus berbicara mengenai kemuliaan manusia, baik sebagai laki-laki ataupun perempuan. Yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku atau jenis kelamin, akan tetapi ketaqwaannya kepada Allah swt. Hal ini senada dengan pernyataan bukunya ‘’min Tawjihad Al-Islam’’ mantan Syekh al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut didalamnya bahwa ‘’ tabiat kemanusiaan  antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama, Allah swt telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkannya kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan menjadikan keduanya dapat melakukan kegiatan maupun aktivitas yang bersifat umum maupun khusus’’.[8]
Jadi dalam Islam juga dalam al-Qur’an  tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah SWT, karena laki-laki dan perempuan itu mempunyai derajat dan kedudukan yang sama.

2.      Sejarah perbedaan gender (gender diffences) antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender ini dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, sisosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural yang melalui ajaran keagamaan maupun negara.[9] Dalam konsep Islam tentang Kesetaraan jender ini dibagi beberapa perspektif  tetapi disini akan disebutkan 2 contoh diantaranya:[10]
a.       Perspektif Asal kejadian perempuan yakni, Alquran menerangkan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan Allah dengan derajat dan yang sama. Karena tidak adanya isyarat perbedaan dalam Alquran bahwa perempuan pertama (Hawa) yang diciptakan oleh Allah adalah suatu ciptaan yang mempunyai martabat yang lebih rendah dari laki-laki pertama (Adam). Jadi, baik bahan yang digunakan untuk menciptakan laki-laki maupun perempuan, keduanya berasal dari jenis yang sama.
b.      Perspektif kemanusiaan yakni, sebelum datangnya Islam ada salah satu tradisi bangsa Arab ialah mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena alas an takut miskin atau tercemar namanya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt:
وَإِذَا بُشْرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلْ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ [58] يَتَوَارَ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشْرَبِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرِابِ أَلاَ سَاء مَا يَحْكُمُونَ[59]
Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam(merah padamlah) wajahnya, dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya, (dia berpikir) akankah dia memeliharanya dengan menanggung kehinaan, atau menguburkannya dalam tanah (hidup-hidup). Ketauhilah, alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu (QS An-Nahl: 58-59).
Akan tetapi Islam hadir dengan mereformasi dan melakukan revolusi terhadap tradisi yang telah menginjak-injak kemanusiaan, terutama terhadap kaum perempuan. Islam juga melarang tradisi penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan mengecamnya sebagai perbuatan yang sangat biadab.

3.      Hermanutika gender
Ada sebagian orang yang mengatakan juga membaca Islam sebagai agama misoginis dan sangat paternalistik. Pendapat ini, dan jika mereka ditanya, merujuk pada pernyataan yang diduga berasal dari al-Qur’an khususnya tentang ketidaksetaraan gender juga pada sejarah panjang diskriminasi terhadap  perempuan dalam masyarakat muslim. Mungkin kita tidak bisa menyangkal kenyataan tersebut, karena  memang al-Qur’an dapat dibaca dengan model patriarkis (mengistimewakan laki-laki), dan juga bahwa praktik-praktik represif terhadap perempuan dibanyak masyarakat muslim sering kali akibat dari ketertundukan yang tidak kritis terhadap hal-hal yang dianggap sebagai nilai-nilai dan aturan Islam, dan juga gambaran tentang perempuan di ruang bawah sadar orang Islam benar-benar bersifat misoginis.[11]
Misoginis yaitu tidak suka terhadap wanita atau kebencian terhadap anak perempuan. Yang dapat diwujudkan dalam berbagai cara seperti diskriminasi seksual, fitnah perempuan, dan sebagainya.
Dalam islam masih konsep gender (relasi laki-laki dan perempuan) masih menjadi perdebatan di kalangan umat Muslim. Dari sebagian kalangan berpendapat bahwa gender dalam Islam tidak ada masalah, dan sebagian pula yang menganggapnya ada masalah pada pandangan status quotentang gender sudah saatnya digugat. Bila kita cermati, pangkal perbedaan pendapat mereka sebenarnya terletak pada masalah interpretasi ayat. Oleh karena itu, yang perlu dikaji dari persoalan krusial adalah menimbang perspektif ‘’keIslam-an’’ terhadap kedua pendapat tersebut.[12]
Al-Qur’an tidak memberikan beban gender secara mutlak dan kaku kepada seseorang namun bagaimana agar adanya kewenangan manusia untuk menggunakan kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling ,menguntungkan, baik dari sektor domestik maupun sektor publik. Dalam konteks ini, terdapat beberapa alasan munculnya dorongan al-Qur’an kea rah kesetaraan perempuan dan laki-laki. Yang pertama,al-Qur’an memberikan tempat yang terhormat kepada seluruh umat manusia, yang meliputi perempuan juga laki-laki. Yang kedua,secara norma etis al-Qur’an membela prinsip-prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki. Islam menegaskan prinsip-prinsip yang mendukung eksistensi keadilan gender dalam kaitan ini, yaitu: pertama, bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki peluang dan potensi untuk menjadi hamba Allah yang ideal, mencapai derajat puncak spirituallitas yang paling tinggi ialah muttaqin. Kedua, bahwa laki-laki dan perempuan adalah sebagai khallifah Allah di bumi yang sama-sama memiliki tugas untuk memakmurkan bumi. Ketiga, laki-laki dan perempuan juga sama-sama menerima dan mengemban amanah primodial. Dan yang keempat, laki-laki dan perempuan sama-sama terlibat dalam drama kosmis. Yang terakhir kelima, laki-laki dan perempuan juga sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi.[13]

D.    Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an dan Hadits
1.      Kesetaraan Gender dalam Al-qur’an, Gender tidak tertulis secara jelas di Al-qur’an, namun hal-hal yang berkaitan dengan gender dapat diketahui dalam penggunaan kata pria dan wanita dalam Al-qur’an. Kedua kata tersebut dapat di sebutkan dalam tempat, diantaranya yaitu “Mudzakar dan Muannas”, dapat menunjukkan kedewasaan dan menunjukkan kapasitas dan tanggung jawab, juga menunjukkan kebesaran seorang tokoh.[14]
Terlepas dari itu kehadiran pria dan wanita di dunia merupakan sebuah kesetaraan. Dan keduanya dapat menjalani perbuatan baik, mendapatkan imbalan pahala setara tanpa pandang status pria ataupun wanita , dan keduanya pun telah mendapatkan larangan untuk melakukan keji lagi Munkar. Dapat di buktikan dalam Al-qur’an  surah an-nahl (16):90.[15]
إِنَّ اللهََيَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) perlaku adil dan berbuat kebajikan, memberikepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan, dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (Q.S. an-Nahl (16): 90)
Keberagaman dan perbedaan yang ada pada laki-laki dan wanita merupakan sebuah fitrah kemanusiaan. Karena bagaimana pun mereka yang bertakwa sajalah yang mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah. Perempuan bukanlah makhluk yang dipinggirkan dan direndahkan martabatnya dan derajatnya. Komarudin Hidayat menyebutkan bahwa Citra wanita yang diidealkan dalam al-qur’an ialah wanita yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasi), sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Mumtahanah/60:12.[16]
يَأَيُّهَا النَّبِى إِذَا جَآ ءَكَ الْمُؤْمِنَتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَايُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلَايُسْرِقْنَ وَلَايَزْنِيْنَ وَلَايَقْتِلْنَ أَوْلَدَهُنَّ وَلَايَأْتِيْنَ بِبُهْتَنٍ يَفْتَرِيْنَهُ, بَيْنَ أَيْدِيْهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ  وَلَايَعْصِيْنَكَ فِى مَعْرُوْفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللهَ إِنَ اللهَ غَفُوْرٌرَّحِيْمٌ
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan memohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam al-qur’an membenarkan perempuan untuk menyuarakan kebenaran dan melakukan gerakan menentang atau mengkritik yang disebut dengan ‘oposisi’ terhadap berbagai kemungkaran sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Taubah/9:71.[17]
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَتِ بَعْضُهُمْ أَوْلِيآءُ بَعْضِ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَوةُ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَوتُ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ, أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“ Dan Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka meyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang Munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Pada perkembangan selanjutnya, semangat islam untuk mengangkat derajat perempuan, terkadang juga terhalang oleh budaya dan sebagai teks-teks keagamaan yang dipahami secara tekstual dan partikular. Hak-hak perempuan untuk berkiprah atau melakukan kegiatan dengan semangat di luar rumah sering dikebiri, ketidakadilan terhadap perempuan masih hidup dan tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Berbagai teks al-qur’an maupun hadis yang secara tekstual menampakkan ketidak berpihakkan kepada kaum perempuan, selalu menjadi justifikasi dan pembenaran sikap diskriminatif terhadap perempuan. Teks keagamaan tersebut di pahami oleh sebagian pemikir islam konservatif dan ditranmisikan apa adanya, tanpa mempertimbangkan asbab al-nuzul dan asbab al-wurudnya. Itulah salah satu sebab adanya diskriminasi perempuan.[18]
2.      Sedangkan kesetaraan gender dalam Hadits menjelaskan bahwa banyak hadits yang secara tekstual mengisyaratkan adanya posisi yang berbeda di antara laki-laki dan perempuan, oleh sebab itu hal ini kaum perempuan diposisikan sebagai kelompok yang selalu berada dibawah laki-laki, baik dalam ranah keluarga, ekonomi, social, maupun politik. Akan  tetapi, dalam kontekstual hadis dengan mencermati dan memahami secara holistic akan ditemukan makna yang sebaliknya, yaitu hadis-hadis yang sudah menunjukkan adanya kesamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam sisi martabat dan derajat disisi Allah SWT. Dalam Islam justru mengangkat hak-hak perempuan yang sebelumnya telah terpasung oleh budaya-budaya jahiliyyah, sebagaimana yang telah disebutkan juga dijelaskan ayat-ayat diatas.[19]
Hadis tentang penciptaan perempuan menjadi contoh dari sekian hadis yang menunjukkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, bahkan Nabi saw  pun secara jelas memerintahkan ummatnya untuk berlaku baik kepada semua perempuan. Sebagaimana hadis berikut;[20]
عن أبى هريرة – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رسول الله - صلى الله عليه وسلم – [[ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ الْمَرْأَةً خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعِ، وَإِنْ أعْوَجَ شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ ، فَإِنَّ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ]]
Hadis tersebut mempunyai kualitas sanad yang sahih, akan tetapi para ulama’ masih belum satu kata dalam menerima kejujjahan hadis tersebut, dikarenakan hadis tersebut masih masuk dalam kategori hadis ahad. Dan para ulama serta para sarjana masih memperselisihkan keotentikan hadis tersebut sebagai sabda Nabi saw. Secara umum pula ulama terbagi menjadi dua kelompok untuk memahami hadis yakni, kelompok pertama ; menerima hadis tersebut baik sanad maupun matannya sebagai sabda Nabi saw. Kelompok pertama yang menerima validitas hadis  ini juga terbagi menjadi dua pendapat, pendapat yang pertama; memahami hadis tersebut secara tekstual, sehingga menurut pendapat mereka, perempuan (Hawa) benar-benar diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Untuk kelompok kedua; berpendapat bahwa matan hadis tersebut tidak valid, sehingga harus ditolak. Hadis tersebut dijadikan justifikasi kebenaran tafsir mereka dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tentang awal penciptaan manusia, khususnya surat al-Nisa’ ayat pertama;[21]
يَا أَيُّهَاالنَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَنِسَاءً
Kata nafs wahidah dalam ayat tersebut, ditafsirkan dengan Adam, sedangkan kata zawjaha dimaknai dengan Hawa. Hadis tersebut dipahami apa adanya atau tekstual yang sesuai informasi hadis bahwa mereka berpendapat penciptaan Hawa berasal dari tulang rusuk Adam. Pendapat ini melahirkan pandangan yang menganggap perempuan diciptakan sebagai pendamping dan pelengkap laki-laki. Pendapat ini menurut tim penerjemah al-Qur’an Depaq RI, merupakan pendapat mayoritas ulama tafsir. Diantara ulama’ yang memiliki pandangan ini adalah Jalal al-din al-Suyuti (W 911 H), Ibnu Kathir (W 774 H), Al-Qurtubi (W 671 H), al-Biqa’I (W 885 H), DAN Abu Sa’ud (W 982 H).[22]
Sedangkan pendapat kedua dari kelompok pertama, memahami hadis tersebut secara metaforis, yang merupakan hasil dari tarik menarik antara redaksi hadis tersebut dengan ayat al-Qur’an. Pada umumnya mereka memahami kata nafs wahidah dalam surat al-Nisa’ ayat 1 dengan arti ‘’jenis yang satu’’, sehingga zawjaha berarti ‘’bahan atau jenis yang satu’’, sebagaimana penciptaan Adam.[23]
Kelompok kedua adalah kelompok yang menolak validitas hadis tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa kata nafs wahidah dalam satu surat al-Nisa’ ayat 1, mempunyai arti ‘’jenis yang satu’’, sehingga kata zawjaha berarti ‘’bahan atau jenis yang satu’’, sebagaimana penciptaan Adam. Dengan demikian, menurut mereka ayat tersebut sama sekali tidak mendukung paham yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Oleh karena itu, hadis yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki harus harus ditolak karena tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an. [24]
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, secara umum terdapat tiga pendapat mengenai interpretasi hadis tentang penciptaan perempuan. Pertama; interpretasi tekstual. Ini berarti, perempuan (Hawa) harus diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam). Kedua; interpretasi metaforis. Hadis ini mengandung pesan bahwa perempuan harus diperlakukan dengan baik,bijaksana dan tanpa kekerasan. Ketiga; menolak hadis tersebut, karena bertentangan dengan ayat al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 1 yang menegaskan bahwa laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa) diciptakan dari bahan atau jenis yang sama.[25]

3.      Konsepsi gender dalam pandangan Islam (Al-Qur’an dan Hadis)
Informasi dan perintah dari syariat yang disampaikan melalui media khusus kepada Muhammad saw merupakan Al-Qur’an. Sebagai manusia pertama yang penerima wahyu (Al-Qur’an) kemudian disampaikan kepada umat untuk kemaslahatan manusia agar dapat membentuk realitas budaya dibawah pancaran Qurani. Kebenaran Al-Qur’an, dimanapun umat Islam berada pasti menjadikannya pedoman hidup mereka yang berfungsi sebagai frame yang membingkai mereka dalam beribadah dan bermuamalah. Mereka juga percaya bahwa ajaran Al-Qur’an mengandung ajaran yang bersifat universal berlaku dimana saja melewati batas-batas suku, wilayah, bahasa dan budaya sehingga dikatakan shahih likulli zaman wa makan.[26]
Mengingat peran dan fungsi strategis yang dimiliki oleh Al-Qur’an, maka ia juga harus bisa dan mampu menjawab tantangan serta persoalan-persoalan kekinian (modern) dan yang akan datang agar dapat member problem solving kepada umat terutama kaum awam. Dengan begitu, interpretasi-interpretasi kontekstual sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan dan persoalan keutamaan yang semakin komples yang kadang kala masih terpaku pada interpretasi normatif-tekstual.[27]
Di antara persoalan yang dihadapi oleh  Al-Qur’an dan harus diberi way out adalah masalah gender serta ketidakadilan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Terutama adanya anggapan bahwa agama sebagai biang keladi ketidakadilan gender itu, agama juga dijadikan sebagai justifikasi dalam membedakan antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, apabila diteliti secara cermat justru Al-Qur’an dapat memberikan penjelasan lebih detail, tajam, dan mendalam.[28]
Dalam beberapa ayat disebutkan beberapa kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki, seperti sebagai pelindung, penerima waris, saksi yang efektif, diizinkan berpoligami, dengan beberapa syarat tertentu. Akan tetapi, kelebihan tersebut yang tercantum dalam Al-Qur’an dalam kapasitasnya sebagai bagian dari masyarakat social dan tidak menjadikannya sebagai hamba utama. Kapasitas manusia sebagai hamba yang baik laki-laki maupun perempuan akan mendapatkan penghargaan yang didasarkan suku, agama, dan budayanya, melainkan ketakwaan terhadap Tuhannya. Allah berfirman dalam Q.S. an-Nahl (16) : 97. Terjemahannya adalah: [29]

Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

E.   Penutup
Berdasarkan uraian pada pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan beberapa pernyataan sekaligus menjadi kesimpulan sebagai berikut:
Kesetaraan gender adalah persamaan hak dan tanggung jawab laki-laki maupun perempuan. Keduanya dapat menjalankan perbuatan baik, mendapatkan imbalan pahala setara tanpa pandang status, dan keduanya pun mendapatkan larangan untuk melakukan perbuatan keji lagi mungkar. Keberagaman dan perbedaan yang ada pada laki-laki dan perempuan merupakan sebuah fitrah kemanusiaan. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain.









DAFTAR PUSTAKA
Manoppo, Rukmina. Meretas Kesetaraan Gender. Malang: UM Press, 2012.
Sumbulah, Umi, Akhmad Kholil, Nasrullah. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN Maliki Press, 2014.
Mulyadi, Ahmad. Relasi laki-laki dan perempuan. Al-Hikam Vol. IV No.1 Juni 2009.
Mufidah. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing. 2003.
Faishol, M. Hermanutika Gender. Malang: UIN Maliki Press, 2011.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi sosial. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996.
Yahido, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. Bandung: Ghalia Indonesia
Mufidah. Isu-isu Gender Kontemporer. Malang: UIN Maliki PRESS, 2010.
Mufidah. pengarusutamaan GENDER pada basis keagamaan. Malang: UIN Maliki PRESS, 2009

Catatan:
1.      Abstrak hanya satu paragraf.
2.      Pendahuluan belum menemukan format logika penulisan yang bagus.
3.      Footnote dan daftar pustaka perlu diperbaiki.
4.      Tulis makalah dengan cara penulisan yang baik. Baris pertama dalam paragraf perlu agak dijorokkan.
5.      Sistematika makalah ini kurang jelas. Anda sebagai penulis pasti bisa merasakannya.
6.      Hermeneutika bukan menjadi pembahasan sendiri, tetapi ia bisa dimasukkan dalam pembahasan Kesetaraan gender menurut Alquran dan hadis.



[1]Mufidah, pengarusutamaan GENDER pada basis keagamaan, (Malang: UIN Maliki PRESS, 2009), hlm.1-2.
[2]Ibid, hlm.5.
[3]Mufidah, Paradigma GENDER, (Malang: Bayumedia publishing, 2003), hlm. 3.
[4]Mufidah, Isu-isu Gender Kontemporer, (Malang: UIN Maliki PRESS, 2010), HLM.3.
[5]Ibid, hlm 3-5.
[6]Ibid, hlm. 11.
[7]Ibid, hlm. 11.
[8]Ibid, hlm. 11-12.
[9]Mansour fakih, Analisis GENDER & Transformasi sosial, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 1996), hlm. 9.
[10]Huzaemah Tahido Yahido, Fikih perempuan kontemporer, (Bandung: GHALIA INDONESIA, ), hlm.91-94.
[11]M. Faisol, Hermanutika GENDER, (Malang: UIN Maliki PRESS, 2011), hlm. 19.
[12]AhmadMulyadi, ‘’RELASI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN’’. al-ihkamVol. IV NO. 1, Juni 2009,55.
[13]Ibid, 57.
[14]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis,( Malang: Uin Maliki PRESS, 2014), HLM. 265.
[15]Ibid, hlm.265.
[16]Ibid, 265-266.
[17]Ibid, hlm. 267.
[18]Ibid, hlm. 270.
[19]Ibid, hlm. 271.
[20]Ibid, hlm. 271-272.
[21]Ibid, hlm.273.
[22]Ibid, hlm.273
[23]Ibid, hlm.274.
[24]Ibid, hlm.274.
[25]Ibid, hlm.275.
[26]Rukmina G. Manoppo, Meretas Kesetaraan Gender, (Malang: UM PRESS, 2012), hlm. 81.
[27]Ibid, hlm. 82.
[28]Ibid, hlm. 82-83.
[29]Ibid, hlm. 86.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar