Senin, 01 Mei 2017

Relasi Agama dan Negara di Indonesia (PBA A Semester Genap 2016/2017)






Alfaraby Shidqi Ahmadi, Ihsan Malikus Sholih, Imroatul Muthoharoh
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Angkatan 2016
e-mail: albihamid03@gmail.com
Abstract
            This article is designed with a systematic form in the discharge of duties history of Islam, in Islam are obligated to obey the legitimate leader (government). Talking about the government, it could not be separated from the discussion of politics and the state. We as Muslims must know the relevance of our religion and the state. talking about the country then we focus on our beloved country the Republic that is NKRI. Indonesia itself in its history can not be separated from the influence of the Muslims, and vice versa the development of Muslims in Indonesia can not escape from Allah’s way and the influence of politics and government of Indonesia. Starting period before independence, which became a point of special attention from the Japanese invaders, then the days of the old order and the new order in which Islam experience up and downs in relation to political government. Until now, Muslims and Muslim political parties are very influential in the formation of the Indonesian government can not be denied again. Therefore, it is interesting to be discussed, about relation of Islam and state Indonesia specifically in its development starting from colonial times to the present.


Abstrak
Makalah ini disusun dengan bentuk yang sistematis dalam menunaikan tugas sejarah kebudayaan islam, dalam agama islam diwajibkan untuk taat padapemimpin yang sah (pemerintah). Berbicara mengenai pemerintah, maka tak lepas dari pembahasan politik dan negara.Kita sebagai umat Islam juga perlu mengetahui keterkaitan agama kita dan negara.Berbicara mengenai negara maka kita fokuskan pada negara kita yang tercinta yaitu NKRI.Indonesia sendiri dalam sejarahnya tidak bisa lepas dari pengaruh umat Islam, begitu juga sebaliknya perkembangan umat Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari izin Allah dan pengaruh politik dan pemerintahan Indonesia.Mulai zaman sebelum merdeka, yang mana Islam menjadi titik perhatian kusus dari penjajah Jepang, kemudian dimasa orde lama dan orde baru yang mana Islam selalu megalami pasang surut dalam keterkaitannya dalam politik pemerintahan.Hingga saat ini, umat Islam dan partai politik Islam yang sangat berpengaruh dalam tatanan pemerintahan Indonsia tidak bisa dipungkiri lagi.Maka dari itu, menarik untuk kita bahas, mengenai relasi agama Islam dan negara Indonesia secara khusus dalam perkembangannya mulai dari zaman penjajahan hingga saat ini.
Keywords: Relasi, Agama, Negara

A.                Pendahuluan
Islam adalah agama dan pemerintahan, sebagaimana nabi Muhammad SAW tidak hanya diutus untuk meletakkan dasar-dasar agama saja, tapi juga untuk meletakan dasar-dasar negara yang mencakup urusan dunia.Dengan demikian Nabi adalah pendiri dasar-dasar negara Islami, disamping sebagai seorang nabi.[1]
Tujuan negara adalah untuk mengatur masyarakat dan menertibkan hubungan.Untuk menjaga dan mengembangkan usaha umat dalam kemajuan, berkarya, mendapatkan pemanfaatan, dan menolak bahaya.Bahwa perlunya suatu negara merupakan suatu peniscayaan realita, sesuai dengan hukum sosial dan pemasyaraktan. Hal itu bisa kita lihat dengan jelas setelah kita mengetahui realita kehidupan manusia  dengan jenis dan kebudayaan, keyakinan yag berbeda. Walaupun bermacam-macam model negara dan tingkatannya, kenyataannya manusia tidak lepas dari negara.[2]



B.                 Bentuk Relasi Agama dan Negara
1.      Pengertian Agama dan Pengertian Negara
Agama, Religi, dan Din  (pada umumnya) adalah suatu sistem credo (tata-keimanan atau tata- keyakinan) atas adanya sesuatu yng mutlak di luar manusia dan satu sistem maritus (tata-peribadatan) manusia kepada yang dia anggapnya yang mutlak itu sertasistema norma ( tata-kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata-keimanan dan tata-kepribadian.
Negara adalah organisasi (organ, badan, alat) bangsa untuk mencapai tujuannya.Jadi negara itu bukanlah tujuan, melainkan alat, lebih-lebih bagi setiap muslimin. Bagi setiap muslim negara adalah alat untuk merealisasikan kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai Khalifah Allah, untuk mencapai keridhoan Allah, kesejahteraan duniawi dan ukhrawi serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya.[3]
2.      relasi agama dan negara
Tidak asing lagi pada telinga kita bahwa perdebatan di kalangan para pakar tentang apakah Islam mencakup aspek politik, ataukah Islam hanya mengurusi soal akhirat saja, dalam artian hanya memperhatikan hubungan makhluk dengan Tuhannya.[4]
Pada pembahasan ini kami mencoba mengompirasikan antara beberapa pendapat para pakar yang mengatakan bahwa Islam adalah agama dan negara dengan yang mengatakan Islam merupakan agama yang hanya mengurusi masalah ibadah dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan politik atau pemerintahan, yaitu:
1.                  Menurut Muhammad Sa’id Al-Asmawi, agama dan negara tidak memiliki hubungan, jadi beliau tidak mengakui hubungan antara agama dengan negara. Hal ini dapat disimpulkan dari hipotesis yang mengatakan baik Al-Qur’an maupun Hadist yang menegaskan aturan hukum Islam tidak membatasi dengan suatu model suatu pemerintahan atau aturan hukum. Beliau hanya membatasi bahwa dasar negara adalah keadilan, yang mana setiap pemerintahan harus merealisasikan keadilan tersebut, baik dibidang politik, sosial, maupun peradilan.[5]
2.                  Menurut Abdul Qadim Zalum, mengatakan negara Islam berdiri diatas landasan akidah Islam, dan akidah Islam inilah yang menjadi asasnya. Secara syar’i, akidah Islam dalam keadaan apapun, tidak boleh terlepas dari negara.[6]Bahkan Hasan Albanna menganggap pemerintahan merupakan rukun Islam, dalam arti merupakan kewajiban dari beberapa kewajiabannya.[7]
Dalam pemikiran politik Islam pandangan tentang masalah hubungan agama dan negara ada tiga paradigma:
1.                  Paradigma integrated, paradigma ini menyatakan bahwa agama dan negara merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.
Karena melihat bahwa Islam merupakan agama yang lengkap dan sempurna, yang didalamnya bukan hanya mengatur masalah ibadah tetapi juga mencakup politik atau negara.[8]Paradigma ini dianut baik oleh kalangan Syiah dan kalangan Sunni.Bagi kalangan Syiah legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan yang diturunkan melalui garis keturunan nabi Muhammad dan legitimasi politik harus didasarkan pada legitimasi keagamaan.Sementara dari kalangan Sunni yaitu menurut pemikiran Muhammad Rosyid Ridho, Sayyid Quthb, dan Abu A’la Almaududi.Mereka berpendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang lengkap dengan petunjuk yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[9] Karena itu, untuk mengatur kehidupan politik umat Islam tidak perlu meniru sistem lain.[10]
2.               Paradigma simbiotik, paradigma ini menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang saling terkait dan berhubungan.
Pendekatan kedua yang menyatakan bahwa antara agama dan negara saling berkaitan dan berhubungan berdasarkan pada argumen bahwa agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang.Begitupun, negaramemerlukan agama karenadengan agama, negaradapatberkembangandalambimbinganetikadan moral. Para pemikir Islam yang termasukdalamparadigmainiantara lain adalahIbnuTaimiyah, Al-Mawardi, dan al-Ghazali.[11]
3.               Paradigmasekularistik, paradigma ini menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang harus terpisah.

C.                Relasi Agama Islam dan Negara di Indonesia
1.      Era Pra-Kemerdekaan (1942-1945)
Dalam menghadapi Umat Islam, Jepang sebenarnya mempunyai kebijaksanaan politik yang sama dengan Belanda. Hanya dalam awal pendekatannya, Jepang memperlihatkan sikap bersahabat. Karena Jepang berpendirian bahwa umat Islam merupakan powerful forces dalam menghadapi Sekutu. Latar belakang sejarah Umat Islam yang anti imperalisme Barat, memiliki kesamaan tujuan dengan Perang Asia Timur Rayanya. Sikap Umat Islam yang demikian itu akan dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial jepang.[12]
Tetapi tantara Jepang tidak menghendaki adanya parpol Islam.Mereka lebih menyukai hubungan langsung dengan ulama daripada dengan pemimpin parpol.Oleh karena itu, Jepang mengeluarkan maklumat pembubaran parpol.Tampaknya dalam menghadapi tantara Jepang, Umat Islam bertindak untuk sementara menyetujui pembubaran tersebut.[13]
Pada umumnya, kebijakan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas.Yaitu, menghapuskan pengaruh Barat (Imperialisme) di kalangan mereka dan memobilisasikan mereka hanya untuk kepentingan kemenangan Jepang.[14]
Tindakan Jepang ini jelas menunjukkan rasa takutnya terhadap Islam sebagai partai politik.Tetapi di satu pihak Jepang menyadari potensi Umat Islam dalam menunjang tujuan perang.[15] Pada akhir bulan maret 1942 pihak Jepang di Jawa sudah mendirikan sebuah Kantor Urusan Agama (dalam bahasa Jepang:Shumubu).[16]Dengan ketuanya Kolonel Horie.Yang telah dipersiapkan konsepnya sebelum Jepang mendarat di Indonesia.[17]
Pada bulan April 1942 usaha pertama pada suatu gerakan rakyat, “Gerakan Tiga A” dimulai di Jawa.Nama ini berasal dari slogan bahwa Jepang adalah pemimpin Asia, pelindung Asia, dan cahaya Asia.Di dalam gerakan tersebut pada bulan Juli didirikan suatu subseksi Islam yang dinamakan persiapan persatuan umat Islam yang dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosujoso (lahir tahun 1897, saudara Tjokroaminoto dan penggantinya sebagai ketua PSII.Abikoesno untuk sementara dinggap oleh pihak jepang sebagai pemimpin Islam Indonesia yang wajar.Akan tetapi, ini tidak lama sebelum pihak jepang (seperti halnya orang-orang belanda) mulai meragukan pemimpin-pemimpin Islam Modern yang secara politik aktif.Pada umumnya gerakan Tiga A tidak berhasil mencapai tujuan-tujuannya. Para pejabat Indonesia hanya sedikit memberi dukungan, tidak ada seorang nasionalis Indonesia yang termuka terlibat didalamnya, dan propagandanya ditangani secara keras sehingga pada masa-masa awal pendudukan pun hanya sedikit orang Indonesia yang menanggapi secara serius.[18]
Pada tanggal 4 September 1942 melalui Tiga A diadakan musyawarah pertama di Hotel des Indes.Hasil dari musyawarah in, Umat Islam menghidupkan kembali MIAI dan memilih W. Wondoamiseno sebagai ketua.Pusat kegiatan dipindahkan dari Surabaya ke Jakarta.Dengan dihidupkannya kembali MIAI berarti Muhammadiyah dan NU sebagai spongsornya mempunyai kebebasan bergerak pula.[19]
Kebijakan Politik Islam Jepang masih bertumpu kepada ulama desa. Mayor Jenderal lebih menekankan perhatian pemerintahannya kepada ulama daripada MIAI .untuk berhubungan langsung dengan ulama ini, digunakan Shumubu (KUA) sebagai penggeraknya. Dengan cara ini diharapkan dapat mematikan MIAI yang berkedudukan di Jakarta. Usaha tersebut jelas gagal.Betapa mungkin Shumubu dapat dipealat untuk menghancurkan MIAI.[20]
Pada pertemuan lima puluh sembilan kiai dari seluruh Jawa di Bandung (permulaan 1943), Abdul Karim Amrullah menunjukkan sikap menentang. Pertentangan ini bagaimanapun juga menyebabkan Jepang mengharapkan penyelesaian yang tidak merugikan usaha propaganda perangnya.Kemudian Jepang segera mengadakan pertemuan antara ulama dengan pejabat pendidikan Jepang.[21]
Kebijaksanaan politik Jepang sebenarnya bertentangan dengan apa yang dihadapi oleh Jerman di Timur Tengah. Di mana negara Arab berpihak kepada Sekutu, sedangkan Jepang di Indonesia mengadakan kerja sama dengan Islam. Kondisi yang demikian ini, menyebabkan Jepang juga melarang adanya pemakaian Bahasa Arab.Namun bagaimana mungkin melarang pemakaian Bahasa Arab, sedangkan Al-Qur’an berbahasa Arab?Situasi ini mendorong Jepang memerintahkan supaya menerjemahkan Al-Qur’an dan Hadis ke dalam Bahasa Indonesia atau daerah. Akibatnya rakyat semakin  mengerti isi Al-Qur’an sebagai sumber agama, politik, ekonomi, dan lain-lainnya.[22]
Perang Dunia II menuntut Jepang untuk menggerakkan masa Islam berpihak kepadanya. Untuk itu, diletakkanlah Nippon’s Islamic grass roots policy (kebijaksanaan Politik Jepang terhadap kalangan rakyat jelata Islam.  Untuk melaksanakan policytersebut, Jepang menggunakan media pendidikan sebagai alat propagandanya.Sebagai persiapan maka diadakan pertemuan antar Shumubu (KUA) dengan para ulama di hotel Des Indes Jakarta.[23]
Satu peristiwa sangat penting dalam perkembangan politik  Indonesia adalah pembentukan Pembela Tanah Air (Peta). Dikatakan sangat penting karena didalamnya Umat Islam memegang peranan sejak dari pembentukannya.Memang usulan pembetukan Peta tersebut oleh Gatot Mangkupraja kawan Bung Karno.Tetapi realisasinya pada akhir Oktober 1943, Jepang mengangkat para kiai sebagai Daidanco.[24]
Untuk mendapatkan dukungan lebih banyak dari Umat Islam, dan bahwa tugas Peta sebagai tugas suci, bendera Peta dibuat sesuai dengan lambang bulan bintang yang dihormati oleh rakyat Jawa. Tindakan Jepang ini melihat Umat Islam sebagai powerful forcesyang akan dimanfaatkan untuk kepentingannya, tetapi tidak akan memajukan  Muslim dan kehidupannya. Tujuan penguasa militer Jepang sebenarnya tidak akan menciptakan kesatuan, tetapi hanya menginginkan kerja sama lebih mudah dengan Umat Islam Indonesia. Tujuan tersebut menumbuhkan sikap takut Jepang akan timbulnya kesatuan Umat Islam. Peta selain diharapkan bantuannya, juga disiapkan untuk memecah-belah struktur organisasinya.Namun, sekalipun Jepang telah berusaha semacam tersebut, ulama masih sanggup memanfaatkan Peta untuk membangkitkan semangat keprajuritan.Usaha para ulama inilah yang telah menjadikan Peta sebagai wadah pembibitan pemimpin TNI nanti di kemudian hari.[25]
Jepang mencoba menghilangkan pengaruh MIAI dengan membentuk Majelis Syura Muslimin Indonesia., sekaligus dengan pembentukan organisasi baru ini bertujuan menurunkan pemimpin MIAI dengan mengangkat Hasyim Asyari sebagai Ketua Masyumi.Pengangkatan ini mempunyai tujuan bersayap.Jepang mengharapkan timbulnya perpecahan di kalangan Umat Islam.Tetapi kenyataan sejarah menuliskan, perkembangan Masyumi sangat cepat.Sejak awal Jepang mencoba untuk menetralisir Masyumi dari kegiatan politik.Karena itu pemimpi Masyumi disumpah untuk membebaskan dirinya dari kegiatan politik macam apapun. Usaha ini juga mempunyai latar belakang yang lain pula, agar Jepang mudah mematahkan basis suplai pesantren. Dengan kewajiban pengumpulan padi dari desa, pemimpi Masyumi akan kekurangan waktu untuk memperhatikan desa, karena pemimpinnya menduduki banyak jabatan.[26]
Untuk sedikit meyakinkan bangsa Indonesia, khususnya Umat Islam, Jepang segera membentuk Komite 62 atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ketuanya adalah Dr. Rajiman Wediodiningrat (29 April 1945).Sekalipun pengangkatan ketua bukan dari kalangan pimpinan organisasi Islam, Jepang tetap memberikan gambaran tentang usahanya untuk membantu peranan Islam dalam mewarnai negara mendatang.[27]
Pada tanggal 29 April 1945 keluarlah maklumat Gunseikan no 23 tentang pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Badan ini kemudian mengharapkan kepada masyarakat agar bersedia menyumbangkan  buah pikiran tentang bentuk dan isi dari Indonesia yang akan merdeka, baik melalui anggota badan atau melalui media massa.[28]
Karena saat itu belum jelas tentang asas dan dasar negara Indonesia, maka dalam sidang BPUPKI 29 Mei-1 Juni 1945 diadakanlah pemandangan umum mendengarkan gagasan-gagasan yang diajukan oleh tokoh-tokoh nasionalis Islam dan non-Islam. Sidang pertama BPUPKI tidak mengambil suatu rumusan. Kemudian dibentuklah Panitia Sembilan terdiri dari: Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, A.A Maramis, S.H., Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Subarjo, S.H., Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin, S.H. hasil karya dari Panitia Sembilan selesai pada 22 Juni 1945, yang dinamakan oleh Muhammad Yamin sebagai Piagam Jakarta, yang berisikan rumusan Pancasila.
1.      Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2.      (menurut dasar) kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.      Persatuan Indonesia;
4.      (dan) kerakyaan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5.      (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.[29]
Ternyata janji kemerdekaan Indonesia dari Jepang tidak pernah kunjung tiba. Nippon Pemimpin, Pelindung dan Cahaya Asia ternyata telah bertekuk lutut kepada Sekutu. Umat Islam segera mendesak kepada Bung Karno dan Bung Hatta untuk tidak ragu-ragu lagi segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya tepat pada 9 Ramadhan 1364 atau 17 Agustus 1945, Jum’at legi, pukul 10.00 di Jakarta.[30]

2.      Era Pasca-Kemerdekaan (1945-sekarang)
a.       Orde Lama (1945-1965)
Pada taggal 18 Agustus 1945 atau 10 Ramadhan 1364, pancasila mengalami perubahan  terakhir. Sebelum perubahan tersebut disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terlebih dahulu baik landasan ideal Pancasila ataupun konstitusional UUD 1945 dirumuskan terakhir oleh Wahid Hasyim (NU), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Kasman Singodimedjo (MUhammadiyah), Mohammad Hatta dan Teuku Mohammad Hasan (wakil dari Sumatra. Setelah perumusan kelima tokoh itu selesai, kemudian disahkan oleh PPKI.Dengan demikian sejak 18 Agustus 1945, secara historis juridis pengesahan Pancasila dan UUD 1945 sebenarnya mengikat seluruh bangsa Indonesia.Sekalipun demikian jelas bagi kita bahwa pemuka-pemuka Islam ikut serta menggariskan dan mempertahankan terwujudnya Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan negara kita.[31]

            Dengan adanya proklamasi kemerdekaan, pada 22 Oktober 1945, NU mengeluarkan Revolusi Jihad untuk mempertahankan tanah air, bangsa dan agama.Yang berisikan permohonan kepada pemerintah RI supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang membahayakan kemerdekaan agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya.Dan supaya memerintahkan kepada Umat Islam untuk melanjutkan perjuangan bersifat Sabilillah untuk tegaknya negara RI merdeka dan agama Islam.Dan Resolusi Jihad inilah yang mendorong timbulnya pertempuran antara bangsa Indonesia dengan Inggris di Surabaya pada 10 Nopember 1945.[32]

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 atau 9 Ramadhan 1364 H. disambut oleh Umat Islam sebagai rahmat Allah yang wajib disyukri dan dipertahankan. Rasa syukur ini diwujudkan dengan dukungan Umat Islam terhadap Proklamasi dengan lahirnya Resolusi Jihad yang disampaikan kepada pemerintah RI. Umat Islam menyadari bila resolusi yang juga ditunjukkan ke dunia  internasional dan dunia islam, tidak mendapat tanggapan dari pihak Sekutu, perlu disiapkan peran total. Oleh karena itu, muktamar Umat Islam pada 7 Nopember 1945 diprsiapkan untuk mengambil keputusan: membangun Partai Politik Islam Masyumi , membina potensi pemuda Islam melalui Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan mengkonsolidasikan organisasi militer dengan membentuk Barisan Hizbullah. Dalam muktamar Umat Islam 1-2 Dzulhijjah 1364 atau 7 Nopember 1945, disebutkan pula bahwa Barisan Sablillah merupakan Barisan Istimewa Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Lasykar Hizbullah ditugaskan untuk menjawab tantangan Sekutu yang mengadakan pendudukan di Surabaya, Semarang, Ambarawa, Bandung dan lain-lainnya.[33]

Pada awal orde ini posisi umat islam kurang menguntungkan dibanding dengan mereka orang-orang yang netral agama. Hal ini merupakan lanjutan kedudukan mereka yang juga lemah dalam badan penyelidik dan dalam panitia kemerdekaan Indonesia. Faktor lain yang kurang menguntungkan ialah berdirinya Partai Nasional Indonesia, yang menurut pimpinan negara merupakan satu-satunya partai dinegara baru itu.[34]

Akhirnya pada 3 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang seruan untuk mendirikan partai pada rakyat Indonesia.[35] Para tokoh Islam dari berbagai organisasi Islam pun mengadakan Muktamar Islam Indonesia yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945. Muktamar tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa perlu mendirikan sebuah partai Islam, maka disepakatilah berdirinya Masyumi sebagai satu-satunya wadah penyalur aspirasi dan perjuangan umat Islam Indonesia di bidang politik.[36]

Dalam struktur kepengurusan Masyumi mempunyai dua macam anggota.Yaitu, perseorangan dan organisasi. Anggota perseorangan minimum berumur 18 tahun atau sudah menikah dan tidak diperbolehkan merangkap keanggotaan di partai lain. Adapun anggota organisasi mempunyai hak untuk memberi nasihat atau saran,[37]organisasi tersebut ialah Muhammadiyah, Nahdlotul Ulama, Perserikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam.[38]Ide dualism keanggotaan tersebut didasari pertimbangan untuk memperbanyak anggota. Sebab lain, agar Masyumi dapat mewakili umat tanpa ada yang merasa terwakili.[39]
Tanggal  17 Desember  1945 Masyumi mengeluarkan suatu program aksi, bahwa Islam “menghendaki kesejahteraan masyarakat serta penghidupan yang damai antara bangsa-bangsa di muka bumi ini.” Dan “menentang kekejaman, kebuasan serta kepalsuan kapitalis medan imperialisme”. Padaumumnya, partai bermaksud “melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan, hingga dapat mewujudkan susunan negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan masyarakat  yang berdasar keadilan menurut ajaran-ajaran Islam”. Ia juga bermaksud “memperkuat dan menyempurnakan dasar-dasar pada Undang-Undang Dasar RI sehingga dapat mewujudkan masyarakat dan Negara Islam”. Suatu pemilihan umum “yang bersifat umum dan langsung” merupakan tuntutan partai.[40]

Walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun kedudukan umat Islam (ulama) dalam masa permulaan orde lama itu tidak begitu kuat dalam pemerintahan.Hal ini tercermin dalam kabinet dan KNIP. Hanya ada 2 orang menteri yang mewakili mereka dalam kabinet yang dibentuk pada bulan Agustus 1945 dan hanya 20 dari 137 anggota KNIP. Kedua menteri tersebut ialah, Wachid Hasyim (Menteri Negara), dan AbikusnoTjokrosujoso (Menteri Pekerja Umum).[41]

Pada tanggal 22-24 Desember Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) mengambil keputusan dalam kongresnya di Bukit Tinggi yaitumenyatakan diri sebagai partai politik. Partai ini kurang begitu berkembang selain di Sumatra, tidak seperti partai Islam lainnya, seperti PSII, NU, dan Masyumi yang telah tersebar ke seluruh Indonesia.[42]Pada tahun 1947, PSII menyatakan keluar dari Masyumi dan memproklamirkan diri sebagai partai politik yang independen.[43] Disusul oleh NU yang keluar dari Masyumi dan menyatakan dirinya sebagai partai politik  pada tahun 1952 dalam muktamar yang diselenggarakan di Palembang.[44]

           Pada kabinet Amir Syarifudin I, Masyumi menjadi partai oposisi.Namun, dalam kainet Amir II, Masyumi ikut serta dalam kabinet.Keikut sertaan ini dengan maksud mempengaruhi perdana mentri Amir Syarifudin dalam perundingan dengan pihak belanda.Namun usaha ini gagal dengan disepakatinya Perjanjian Renville.Dalam perjanjian tersebut wilayah Indonesia semakin menyempit,yaitu sebagian jawa dan sebagian Sumatra.Akibat hasil perjanjian itu Masyumi kemudian menyatakan keluar dari kabinet.Begitupun dalam kabinet Hatta, Masyumi mempunyai 4 orang dalam kabinet.Pada masa ini Masyumi berperan dalam penyelesaian revolusi.Yaitu, ketika agresi Belanda II Mr.Syafrudin Prawiranegara membentuk pemerintah darurat RI di Sumatra untuk mengisi kekosongan kekuasaan karena para pemimpin Indonesia ditangkap Belanda.[45]

           Ketika memasuki parlementer berdasarkan UUDS 1950 perang partai Islam mewarnai kehidupan demokrasi.Partai-Partai Islam merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan dalam pembentukan kabinet. Bahkan Masyumi sendiri pernah memimpin kabinet sebanyak 3 kali, yaitu kabinet Nasir (6 Agustus 1950-7 April 1951), kabinet Sukiman (27 April 1951-5 April 1952), dan kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret 1956)[46]

Pada pemilu pertama tahun 1955 yaitu pada masa Burhanudin Harahap (Masyumi)[47]terdapat 28 partai politik yang ikut serta  sebagai kontestan partai-partai tersebut secara garis besar jika dilihat dari segi ideologi dapat digolongkan dalam tiga aliran, yaitu Islam, nasionalis, komunis atau sosialisme. Masyumi bersama NU membentuk front Islam untuk memenangkan ideologi Islam dan menunjukkan sikap anti komunis.Sementara PNI| menentangnya dan PKI juga mendukung PNI. PKI mengatakan bahwa masyumi dan NU akan membangun negara Islam. Dalam konteks ini Feith da Castle mengatakan bahwa “jika disebutkan satu masalah maka yang mendominasi kampanye adalah apakah negara akan berdasarkan pancasila atau Islam”.[48]Hasil pemilu ternyata tidak memuaskan semua pihak.Baik golongan Islam maupun golongan nasionalis tidak ada yang keluar sebagai pemenang dengan mayoritas (lebih dari 50%). Yaitu masyumi mendapatkan 20,9% dan NU mendapatkan 18,4%. Sementara partai-partai |Islam lainnya tida emperoleh suara yang banyak (dibawah 1%).[49]

Dengan perolehan suara yang hampir sama dengan kekuatan nasionalis tersebut maka akan sukar bagi golongan Islam untuk memperjuangkan dasar negara yang telah dikampanyekan.[50]Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai pemenang mengindikasikan bahwa ternyata tidak semua umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia pemilik partai-partai Islam.Dengan tidak semua umat Islam memilih partai Islam, hal itu karena memang umat Islam Indonesia tidak homogen dalam pemahaman terhadap Islam.[51]

Masa permulaan demokrasi terpimpin tahun 1957 mencatat bahwa masyumi semakin bertentangan secara konfrontatif dengan presiden Soekarno.Dengan Nasir sebagai ketua umum partai, garis kebijaksanaan politik masyumi terhadap Soekarno semakin keras dan tidak dapat berkompromi dengan Soekarno dalam soal demokrasi.[52]

Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1960, Masyumi menerima surat dari direktur kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa Masyumi harus dibubarkan dalam waktu 30 hari sesudah tanggal keputusan itu. Pembubaran ini harus diberatahukan kepada Presiden secepatnya. Jika tidak parai Masyumi akan diumumkan sebagai partai terlarang. Kurang dari sebulan kemudian, yaitu tanggal 13 September 1960 pimpinan pusat menyatakan partainya bubar. Setelah Masyumi bubar tersisa 3 Partai, yaitu NU, PSII, dan PERTI yang berhasil bertahan selama periode demokrasi terpimpin, karena mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan yang dikehendaki Presiden Soekarno.[53]


b.      Orde Baru
Muhammad Syafi’i Anwar telah meneliti pola hubungan Islam dengan negara pada masa Orde Baru (1966-1998).Menurutnya dalam kurun waktu tersebut, terdapat tiga fase hubungan antara Islam dengan negara.Pertama, fase hubungan antagonistic (1966-1981); yaitu hubungan agama dengan negara yang ditandai hegemoni politik(negara) terhadap agama (ulama) dan kebijakan politik Orde Baru telah melahirkan ketegangan yang mempersoalkan hubungan antara Islam dengan negara.
Kedua, fase resipirokal kritis (1982-1985); yaitu hubungan yang ditandai dengan dimulainya keterbukaan dari pemerintah dari kalangan Islam dalam wilayah politik dan sebaliknya.Fase ini dinilai memberi arti penting bagi pencapaian tujuan masing-masing dalam mempertegas arah pembangunan bangsa disegala bidang.
Ketiga, fase akomodatif (1985-1998); yaitu pola hubungan yang lebih dinamis antara Islam dengan negara.Banyaknya kalangan politisi Islam yang masuk dalam struktur pemerintahan Orde Baru merupakan indikator penting yang mendukung pola hubungan yang harmonis antara Islam dengan negara.Sehingga banyak kebijakan pemerintah yang menguntungkan umat Islam itu sendiri.[54]
           Pada pemerintahan era Orde Baru, kekuatan politik Islam di tingkat nasional memperlihatkan usaha-usaha untuk menata kembali posisinya.Sepanjang 1968 dan 1969, partai-partai Islam mensponsori program-progam “hari peringatan piagam Jakarta” yang diselenggarakan tiap tanggal 22 Juni.Suatu hal yang perlu disorot, isu ini kembali merapatkan barisan kekuatan-kekuatan Islam baik NU maupun Parmusi (mantan masyumi).Usaha-usaha gigih para pemimpin politik Islam dalam memperjuangkan piagam Jakarta juga terlihat dalam SU MPRS, Maret 1968.Mereka berusaha keras untuk memasukkan piagam Jakarta kedalam agenda keputusan SU MPRS 1968 komisi II.Akan tetapi usaha itu mendapat tantangan dari kelompok PNI, Kristen dan wakil ABRI.Akhirnya pimpinan MPRS memutuskan untuk menunda pembicaran tentang GBHN.[55]
           Kegagalan dalam memperjuangkan Piagam Jakarta dalam SU MPRS akhir Maret 1968 tak mematahkan harapan para tokoh-tokoh Islam, mereka berusaha melakukan lobying. Beberapa hari setelah penutupan SU MPRS V, wakil-wakil NU, PSII, Parmusi diterima oleh presiden Soeharto, mereka meminta agar menjadikan aspirasi politik umat Islam direalisasikan sebagai politik resmi negara. Namun keinginan ini dikesampingkan oleh Soeharto, yang kemudian dalam Kongren Veteran pada April 1968 Soeharto menyatakan tidak bersedia melaksanakan usul-usul dasar yang tidak ditetapkan resmi oleh MPRS.[56]
           Sebagai bagian dari design restruksturisasi politik Orde Baru, negara menginginkan pengendalian partai politik melalui penyederhanaan jumlah partai politik. Rencana penyederhanaan partai politik tersebut sebenarnya mulai bergulir sebelum pemilu 1971.Pada waktu itu, Suharto menghimbau pada para pemimpin Sembilan partai dan Golkar agar melakukan pegelompokan, dari sepuluh kontestan pemilu yang ada menjadi tiga kelompok.Kelompok pertama adalah kelompok spiritual-material, mereka adalah yang menitik beratkan program-progamnya pada pembangunan spiritual.Kelompok kedua adalah kelompok material-spiritual yang menekankan pada program pembangunan material.Dan ketiga adalah kelompok karya.[57]
           Pimpinan Partai Sarikat Islam Indonesia, M.CH. Ibrahim dan Bustaman dengan tegas menolak rencana fusi partai. Mereka malahan mengelurkan instruksi kepada seluruh wilayah dan cabang PSII seluruh Indonesia untuk melarang menghadiri pertemuan yang akan membicarakan fusi partai-partai. Jendral Soemitro (kaskopkamtib) dalam sebuah pidatonya menyatakan: “sekarang ini asih ada partai yang ragu-ragu dan tidak setuju dengan fusi, pemerintah tak segan-segan mengambil tindakan tegas terhadap partai-partai tersebut”.[58]
           Sikap penolakan fusi partai leih lunak diperliahatkan oleh NU, dan dalam NU juga tidak mengalami gejolak internal yang berarti.Respon fusi partai ang positif ditunjukkan oleh Parmusi dan Perti yang sejak semula bersemangat bergabung dalam partai Islam baru.[59]
           Setelah melalui perundingan dan musyawarah, pada 5 Januari 1973 di Jakarta, berhasil disepakati berdirinya Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Adapun kesepakatan antara unsur-unsur dalam PPP tadi menempatkan Nu dalam posisi bergengsi karena presiden partai dijabat oleh KH.Idham Cholid (ketua PBNU) dan Majelis Syuro dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri (rois suriah PBNU). Sementara jabatan eksekutif partai diketuai oleh HM. Mintaredja dari MI.[60]
           Pada 31 Juli 1973 pemerintah mengajukan RUU perkawinan. Sebelum dibahas oleh DPR, melalui media massa kaum muslimin mengetahui bahwa banyak dari pasal-pasalnya yang bertentangan dengan syari’at Islam.[61]
           Pasal dalam RUU perkawinan tersebut jelas sangat potensial memancing emosi kaum muslimin Indonesia.[62]Sikap penolakan tegas juga diperlihatkan oleh organisasi pelajar-pelajar Islam yang ada.[63]Sementara itu, Sembilan tokoh pemuda Islam yang tergabung dalam Generasi Muda Islam Indonesia (GMII) dan Kesatuan Aksi Umat Islam (KAUI) gagal berdialog dengan Soeharto. Malahan Sugiharto, pimpinan FKP di DPR yang membahas RUU perkawinan, menyatakan tentang tidak perlunya hukum-hukum mempertimbangkan prinsip-prinsip agama karena ajaran agama membuat orang tidak maju-maju. Pernyataan-pernyataan semacam ini mengundang gelombang aksi demonstrasi umat Islam mengiringi pembahasan RUU perkawinan tersebut di DPR RI.[64]
           Pemerintah rupanya menyadari betapa bahayanya jika membiarkan masalah ini berlarut-larut.Melalui serangkaian lobi dari pemimpin Islam, terutama KH.Masykur dan KH.Syamsuri, akhirnya pemerintah bersedia mempertimbangkan perubahan-perubahan yang dikehendaki kaum muslimin.[65]
           Salah satu dari rezim baru yang terpenting untuk meredam pertentangan dalam kelas maupun kelompok serta untuk menciptakan keselarasan, keharmonisan dan kerja sama dalam hubungan negara dan masyarakat adalah melalui pengendalian perwakilan kepentingan atau korporatisasi negara. Tindakan ini diarahkan untuk membatasi partisipan dalam arena politik sebagai upaya menopang kelancaran pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik.[66]Salah satunya adalah terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI).
           Namun dalam kenyataannya organisasi itu tidak efektif sebagaimana terlihat dalam kasus MUI.MUI yang semula di desaign oleh negara untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan negara melalui fatwa-fatwanya dan mengontrol organisasi Islam terlihat tidak efektif.Pada dasarnya ada dua alas an normative yang diajukan Soeharto mengenai perlunya pembentukan MUI yaitu keinginan pemerintah agar kaum muslimin bersatu dan kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat diselesaikan tanpa keikutsertaan ulama.[67]
Organisasi para cendekiawan Muslim Indonesia berdiri pada tahun 1990 di Malang, Jawa Timur itu merupakan salah satu factor penting perubahan pada tingkat negara yang membawa pengaruh pada pergerakan politik pada tingkat nasional, khususnya yang berkaitan dengan umat Islam.[68]
Kelahiran ICMI dalam bentuk study yang ditulis oleh para sarjana, merupakan titik yang mempengaruhi antar umat Islam di satu sisi dan negara Orde Baru di sisi lain. Menurut Syafi’i Anwar, kelahirannya berkaitan erat dengan membaiknya hubungan umat Islam dengan negara. Kelahiran ICMI ini disambut sebagai hal yang menggembirakan bagi banyak kalangan, khususnya kelas menengah umat Islam. Sebab dengan berdirinya ICMI akan berdampak positif bagi perkembangan umat Islam. Mereka beranggapan kecurigaan negara terhadapa umat Islam telah berakhir, dan pada gilirannya umat Islam akan mempunyai akses yang lebih besar dalam pembangunan nasional.[69]
           Proses kelahiran ICMI itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari para aktifis masjid kampus. Bermula dari sebuah keprihatinan sejumlah kecil ( 5 orang ) mahasiswa, aktifis masjid kampus Universitas Brawijaya, malang, terhadap nasib dan masa depan umat Islam Indonesia. Ditengah gencaranya idologi pembangunan dengan jargon tinggal landas yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru ketika itu, mereka menemukan umat Islam yang tidak siap.Sebagai komponen terbesar dari Republik Indonesia, umat Islam tidak mempunya konsep yang berarti terhadap jargon pembangunan yang gencar di propogandakan.Hal tersebut diperparah dengan kenyataan keterpecahan yang terjadi di kalangan para cendekiawan. Dalam alam pikiran mahasiswa tersebut, alih-alih memberikan makna yang signifikan dalam proses menuju tinggal landas tersebut, umat Islam dikhawatirkan akan semakin terjerumus ke dalam lubang keterbelakangan, yang menyebabkan tertinggal dari arus deras pembangunan tersebut.[70]
           Keprihatinan  semacam itu tentu bukan sebuah kesadaran tiba-tiba yang berada di ruang hampa. Tingkat keterlibatan 5 mahasiswa tersebut.Yaitu; Erik Salman, Ali Mudakhir, Muhammad zainuri, Awang Surya dan Muhammad Iqbal.Dalam berbagai aktifis keislaman dan kemahasiswaan memberikan perspektif sendiri terhadap bangunan ideal sebuah masyarakat.Cara pandang mereka tentang dunia sekitar tentu diwarnai dengan nilai-nilai yang selama ini meeka tekuni dan geluti, yaitu nilai-nilai Islam.[71]
           Pada musim haji 1991 Soeharto menunaikan ibadah haji di Makkah bersama seluruh keluarganya.Keputusan Soeharto untuk naik haji pada saat itu lebih bermuatan politik untuk memainkan kartu Islam dibandingkan dengan kesadaran keagamaan Islam.Dan yang lebih penting lagi adalah keputusan Soeharto untuk mengambil KH.Qosim Nurseha sebagai pemimbing kehidupan keagamaan Suharto dan keluarganya.[72]
           Peranan Qosim Nurseha dalam melakukan “islamisasi” keluarga presiden Soeharto hampir menjadi persepsi umum terutama dikumandangkannya tahlil berkali-kali dalam prosesi pemakaman Ibu Tien Soeharto pada 1996.[73]
           Pada rekruitmen DPR atau MPR RI 1993-1998, Wahono mengumumkan susukran krasinya di DPR atau MPR yang mana didalamnya trdapat banyak tokoh-tokoh umat Islam, seperi dari NU: KH. Ali Yafie, KH. Yusuf Hasyim, KH. Maimun Zubaer, KH. Ilyas Rukhiyat serta KH.As’ad Umar. Dari Muhammadiyah terdapat nama KH. Azhar Basyir, Ismail Sunni, Watik Pratiknya. Tokoh ormas lain seperti KH. Hasan Bisri (ketua MUI), Tutik Alawiyah, Fadel Muhammad, Feri Mursidan, dr. Muhammad Thohir (asisten ketua ICMI), Nur Kholis Najid, M. Quraisy Syihab, Mukti Ali, Zakiyah  Darajat dan alumni HMI yang jumlahnya cukup banyak dalam kursi DPR atau MPR.[74]
c.       Era Reformasi
           Rezim orde baru, setelah 32 tahun berkuasa, pada tanggal 28 Mei 1998 berakhir dengan lengsernya Jendral Soeharto dari kursi presiden. Lengsernya Soeharto tersebut akibat gerakan mahasiswa yang menuntut agar presiden Soeharto mundur dari jabatannya.[75]
           Setelah rezim Orde Baru hancur, partai-partai Islam mulai bangkit kembali, dan bangkitnya partai-partai Islam dianggap sebagai bangkitnya politik aliran, dikarenakan selama orde baru politik aliran diberantas. Sehubungan dengan berdirinya partai-partai politik Islam, ada berapa Faktor yang menyebabkan bangkitnya partai-partai Islam pasca orde baru, yaitu factor teologis, historis, sosiologis, dan faktor reformasi.[76]
           Fenomena berdirinya partai-partai politik Islam pasca orde baru ini ternyata beragam dan terfragmentasi.Bahkan bukan hanya itu saja, di kalangan elit politik Islam sendiri dalam mendirikan partai politik ada yang berdasarkan Islamdan ada yang berdasarkan kebangsaan. Dengan kata lain, para elit politik Islam dalam mendirikan partai politik ada yang menggunakan substansialistik dan ada yang menggunakan pendekatan formalistik.[77]
           Pada era reformasi tidak sedikit yang beranggapan bahwa adanya peluang bagi umat Islam untuk menerapkan hukum pidana Islam. Hal tersebut juga diyakini oleh Front Pembela Islam (FPI) suatu ormas yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1998 di Cisarua Bogor yang didirikan oleh Habib Riziq Syihab. Namun kalau melihat secara cermat system hukum nasional ang berlaku sebenarnya sudah ada peluang untuk memberlakukan hukum pidana Islam seperti yang terkandung dalam pasal 27 ayat 1 UU Pokok Kekuasaan kehakiman.[78]
           Habib Riziq Syihab mengatakan bahwa pihaknya optimis syariat Islam dapat dijalankan kendati amandemen pasal 29 UUD 1945 gagal dilaksanakan. Pada Agustus 2002 MPR mengadakan Sidang Tahunan ke II untuk masa pemerintahan megawati, salah satu agendanya adalah pembahasan usulan amandemen UUD 1945 khususnya pasal 29 tentang agama, namun usulan tersebut akhirnya tetap ditolak oleh MPR.[79]
Ditolaknya amandemen UUD 1945 sebagian disebabkan kecilnya porsi kekuatan parpol Islam yang memperjuangkan Syariat Islam, Praktis hanya PBByang tetap bersikukuh agar dilakukan amandemen pasal 29.FPI juga pernah mengusulkan agar pasal 416-418 tentang alat pencegah kehamilan harus ditambah redaksinya, Bagi Suami Istri.[80]














D.    Penutup

            Relasi Agama dan Negara merupakan pembahasan mengenai keterkaitan antara agama dan negara.Negara Indonesia merupakan negara yang majemuk, berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika.Islam merupakan salah satu agama yang ada di Indonesia, pengaruhnya hampir vital dalam tatanan pemerintahan Indonesia. Indonesia merupakan negara yang menganut simbiotik dalam menerapkan agama di negaranya, sehingga umat islam di Indonesia diperkenankan untuk berperan pada ranah politik dalam pemerintahan.
            Meskipun pada perjalanannya umat islam mengalami maju-mundur dalam pentas perpolitikan pemerintahan, namun umat islam tetap memiliki peran penting pada sejarah negara Indonesia sejak zaman penjajahan hingga saat ini.
            Sebagai contoh, pada rezim Orde Baru adanya wacana pengesahan RUU Perkawinan yang sangat jelas bertentangan dengan syari’at islam. Meskipun umat Islam pada era itu di pandang sebelah mata oleh Presiden, dan Presiden Soeharto juga dikenal dengan “kediktatorannya”, tetapi RUU Perkawinan tetap bisa digagalkan melalui berbagai aksi demonstrasi dari umat Islam, serta “lobbying” yang dilakukan oleh para ‘Ulama kepada Presiden. Hal itu menjadi bukti bahwa umat Islam tidak bisa dianggap remeh dalam ranah politik pemerintahan.
























DAFTAR PUSTAKA

            Aminudin.Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia: Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
            Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965. Bandung: Penerbit Mizan, 2000.
            Toriqudin, Moh. Relasi Agama & Negara. Malang: UIN Maliki Press, 2009.
            Yatim, Badri. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
            Tholkhah, Imamdan Choirul Fuad. Gerakan Islam Kontemporer di Era Reformasi. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002.
            Anshari, Endang Saifudin. Wawasan Islam: Pokok-Pokok Fikiran Tentang Islam dan Ummatnya. Jakarta: Rajawali, 1990.
            Romli, Lili. Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006.
                  Riclefs.Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007.
            Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan, 1995
            Damanik, Ali Said. Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia. Jakarta: Teraju, 2003.
            Salim, Abd. Mu’in. Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.


Catatan:
1.      Penulisan abstrak salah, itu malah seperti pendahuluan.
2.      Pendahuluannya tolong dirubah.
3.      Berikan pembahasan mengenai penghilangan beberapa kata di butir pertama pancasila setelah proklamasi dilaksanakan.
4.      Harusnya setelah dibahas teori mengenai relasi agama dan negara, dikaji mengenai teori mana yang layak diterapkan di Indonesia dengan melihat kondisi realistis di nusantara.


[1] Moh. Toriquddin, Relasi Agama&Negara (Malang:Uin Maliki Press,2009), hlm. 42.
[2]Ibid., hlm. 43.
[3] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Fikiran tentang Islam dan Umatnya (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 167.
[4] Moh. Toriquddin, Relasi Agama&Negara (Malang:Uin Maliki Press,2009), hlm. 67.
[5]Ibid., hlm. 71
[6]Ibid., hlm. 74
[7]Ibid., hlm. 75
[8] Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai di Indonesia (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006), hlm. 21.
[9]Ibid., hlm. 22.
[10]Ibid., hlm. 23.
[11]Ibid., hlm. 24.
[12] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 254.
[13]Ibid.
[14] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Merdeka, terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007), hlm. 300.
[15]Ibid., hlm. 255.
[16]M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Merdeka, terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007), hlm. 302
[17]  Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 256.
[18] M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Merdeka, terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007), hlm. 302-303.
[19] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 256.
[20]Ibid., hlm. 256-257.
[21]Ibid., hlm. 257.
[22]Ibid., hlm. 258.
[23]Ibid., hlm. 259.
[24]Ibid.
[25]Ibid., hlm. 261-262.
[26]Ibid., hlm. 262-263.
[27]Ibid., hlm. 266
[28] Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 158.
[29] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 266-267.
[30]Ibid., hlm. 268.
[31]Ibid., hlm. 267.
[32]Ibid., hlm. 268.
[33]Ibid., hlm. 295-296.
[34] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965 (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), hlm. 49.
[35]Ibid., hlm. 50
[36] Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai di Indonesia (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006), hlm. 35.
[37] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965 (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), hlm. 52.
[38]Ibid., hlm. 53.
[39]Ibid., hlm. 52.
[40]Ibid., hlm. 126-127.
[41]Ibid., hlm. 159-160.
[42] Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai di Indonesia (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006), hlm. 42.
[43]Ibid., hlm. 41.
[44]Ibid., hlm. 39.
[45]Ibid., hlm. 43-44.
[46]Ibid., hlm. 44.
[47]Ibid., hlm. 45-46.
[48]Ibid., hlm. 48-49.
[49]Ibid., hlm. 50.
[50]Ibid., hlm. 51.
[51]Ibid., hlm. 52.
[52] Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965 (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), hlm. 395.
[53]Ibid., hlm. 414-415.
[54]Abd. Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Qurqn (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 59-60.
[55] Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia: Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Suharto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 82.
[56]Ibid., hlm. 82-83.
[57]Ibid., hlm. 96-97.
[58]Ibid., hlm. 98.
[59]Ibid.
[60]Ibid., hlm. 99.
[61]Ibid., hlm. 100.
[62]Ibid., hlm. 101.
[63]Ibid., hlm. 102
[64]Ibid., hlm. 103.
[65]Ibid., hlm. 104.
[66]Ibid., hlm. 118.
[67]Ibid.,hlm. 120.
[68]Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 139
[69]Ibid., hlm. 139-140
[70]Ibid., hlm. 142
[71]Ibid.
[72]Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia: Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Suharto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 305.
[73]Ibid., hlm. 306.
[74] Ibid., hlm. 320.
[75] Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai di Indonesia (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006), hlm. 97.
[76]Ibid., hlm. 116.
[77]Ibid., hlm. 122
[78] Imam Tholkhah, Gerakan Islam Kontemporer di Era Reformasi (Jakarta:Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002), hlm. 16.
[79]Ibid., hlm. 18.
[80]Ibid., hlm. 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar