Alfaraby Shidqi
Ahmadi, Ihsan Malikus Sholih, Imroatul Muthoharoh
Mahasiswa
Pendidikan Bahasa Arab
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Angkatan 2016
e-mail:
albihamid03@gmail.com
Abstract
This article is designed with a
systematic form in the discharge of duties history of Islam, in Islam are
obligated to obey the legitimate leader (government). Talking about the
government, it could not be separated from the discussion of politics and the state.
We as Muslims must know the relevance of our religion and the state. talking
about the country then we focus on our beloved country the Republic that is
NKRI. Indonesia itself in its history can not be separated from the influence
of the Muslims, and vice versa the development of Muslims in Indonesia can not
escape from Allah’s way and the influence of politics and government of
Indonesia. Starting period before independence, which became a point of special
attention from the Japanese invaders, then the days of the old order and the
new order in which Islam experience up and downs in relation to political
government. Until now, Muslims and Muslim political parties are very
influential in the formation of the Indonesian government can not be denied again.
Therefore, it is interesting to be discussed, about relation of Islam and state
Indonesia specifically in its development starting from colonial times to the
present.
Abstrak
Makalah ini disusun dengan bentuk yang sistematis dalam menunaikan
tugas sejarah kebudayaan islam, dalam agama islam diwajibkan untuk taat
padapemimpin yang sah (pemerintah). Berbicara mengenai pemerintah, maka tak
lepas dari pembahasan politik dan negara.Kita sebagai umat Islam juga perlu
mengetahui keterkaitan agama kita dan negara.Berbicara mengenai negara maka
kita fokuskan pada negara kita yang tercinta yaitu NKRI.Indonesia sendiri dalam
sejarahnya tidak bisa lepas dari pengaruh umat Islam, begitu juga sebaliknya
perkembangan umat Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari izin Allah dan
pengaruh politik dan pemerintahan Indonesia.Mulai zaman sebelum merdeka, yang
mana Islam menjadi titik perhatian kusus dari penjajah Jepang, kemudian dimasa
orde lama dan orde baru yang mana Islam selalu megalami pasang surut dalam
keterkaitannya dalam politik pemerintahan.Hingga saat ini, umat Islam dan
partai politik Islam yang sangat berpengaruh dalam tatanan pemerintahan
Indonsia tidak bisa dipungkiri lagi.Maka dari itu, menarik untuk kita bahas,
mengenai relasi agama Islam dan negara Indonesia secara khusus dalam
perkembangannya mulai dari zaman penjajahan hingga saat ini.
Keywords: Relasi, Agama, Negara
A.
Pendahuluan
Islam adalah agama dan pemerintahan, sebagaimana nabi Muhammad SAW
tidak hanya diutus untuk meletakkan dasar-dasar agama saja, tapi juga untuk
meletakan dasar-dasar negara yang mencakup urusan dunia.Dengan demikian Nabi
adalah pendiri dasar-dasar negara Islami, disamping sebagai seorang nabi.[1]
Tujuan negara adalah untuk mengatur masyarakat dan menertibkan
hubungan.Untuk menjaga dan mengembangkan usaha umat dalam kemajuan, berkarya,
mendapatkan pemanfaatan, dan menolak bahaya.Bahwa perlunya suatu negara
merupakan suatu peniscayaan realita, sesuai dengan hukum sosial dan
pemasyaraktan. Hal itu bisa kita lihat dengan jelas setelah kita mengetahui
realita kehidupan manusia dengan jenis
dan kebudayaan, keyakinan yag berbeda. Walaupun bermacam-macam model negara dan
tingkatannya, kenyataannya manusia tidak lepas dari negara.[2]
B.
Bentuk
Relasi Agama dan Negara
1.
Pengertian
Agama dan Pengertian Negara
Agama, Religi, dan Din (pada
umumnya) adalah suatu sistem credo (tata-keimanan atau tata- keyakinan) atas
adanya sesuatu yng mutlak di luar manusia dan satu sistem maritus
(tata-peribadatan) manusia kepada yang dia anggapnya yang mutlak itu
sertasistema norma ( tata-kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama
manusia dan hubungan dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan
tata-keimanan dan tata-kepribadian.
Negara adalah organisasi (organ, badan, alat) bangsa untuk mencapai
tujuannya.Jadi negara itu bukanlah tujuan, melainkan alat, lebih-lebih bagi
setiap muslimin. Bagi setiap muslim negara adalah alat untuk merealisasikan
kedudukannya sebagai abdi Allah dan mengaktualisasikan fungsinya sebagai
Khalifah Allah, untuk mencapai keridhoan Allah, kesejahteraan duniawi dan
ukhrawi serta menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam lingkungannya.[3]
2.
relasi
agama dan negara
Tidak asing lagi pada telinga kita bahwa perdebatan di kalangan
para pakar tentang apakah Islam mencakup aspek politik, ataukah Islam hanya
mengurusi soal akhirat saja, dalam artian hanya memperhatikan hubungan makhluk
dengan Tuhannya.[4]
Pada pembahasan ini kami mencoba mengompirasikan antara beberapa
pendapat para pakar yang mengatakan bahwa Islam adalah agama dan negara dengan
yang mengatakan Islam merupakan agama yang hanya mengurusi masalah ibadah dan
tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan politik atau pemerintahan, yaitu:
1.
Menurut
Muhammad Sa’id Al-Asmawi, agama dan negara tidak memiliki hubungan, jadi beliau
tidak mengakui hubungan antara agama dengan negara. Hal ini dapat disimpulkan
dari hipotesis yang mengatakan baik Al-Qur’an maupun Hadist yang menegaskan
aturan hukum Islam tidak membatasi dengan suatu model suatu pemerintahan atau
aturan hukum. Beliau hanya membatasi bahwa dasar negara adalah keadilan, yang
mana setiap pemerintahan harus merealisasikan keadilan tersebut, baik dibidang
politik, sosial, maupun peradilan.[5]
2.
Menurut
Abdul Qadim Zalum, mengatakan negara Islam berdiri diatas landasan akidah Islam,
dan akidah Islam inilah yang menjadi asasnya. Secara syar’i, akidah Islam dalam
keadaan apapun, tidak boleh terlepas dari negara.[6]Bahkan Hasan
Albanna menganggap pemerintahan merupakan rukun Islam, dalam arti merupakan
kewajiban dari beberapa kewajiabannya.[7]
Dalam pemikiran politik Islam pandangan tentang masalah hubungan
agama dan negara ada tiga paradigma:
1.
Paradigma
integrated, paradigma ini menyatakan bahwa agama dan negara merupakan
kesatuan yang tidak terpisahkan.
Karena melihat bahwa Islam merupakan agama yang lengkap dan
sempurna, yang didalamnya bukan hanya mengatur masalah ibadah tetapi juga
mencakup politik atau negara.[8]Paradigma ini
dianut baik oleh kalangan Syiah dan kalangan Sunni.Bagi kalangan Syiah
legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan yang diturunkan melalui garis keturunan
nabi Muhammad dan legitimasi politik harus didasarkan pada legitimasi
keagamaan.Sementara dari kalangan Sunni yaitu menurut pemikiran Muhammad Rosyid
Ridho, Sayyid Quthb, dan Abu A’la Almaududi.Mereka berpendapat bahwa Islam
adalah suatu agama yang lengkap dengan petunjuk yang mengatur segala aspek
kehidupan, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[9] Karena itu,
untuk mengatur kehidupan politik umat Islam tidak perlu meniru sistem lain.[10]
2.
Paradigma
simbiotik, paradigma ini menyatakan bahwa antara agama dan negara
merupakan suatu yang saling terkait dan berhubungan.
Pendekatan kedua yang menyatakan bahwa antara agama dan negara
saling berkaitan dan berhubungan berdasarkan pada argumen bahwa agama
memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang.Begitupun,
negaramemerlukan agama karenadengan agama,
negaradapatberkembangandalambimbinganetikadan moral. Para pemikir Islam yang
termasukdalamparadigmainiantara lain adalahIbnuTaimiyah, Al-Mawardi, dan al-Ghazali.[11]
3.
Paradigmasekularistik,
paradigma ini menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang
harus terpisah.
C.
Relasi
Agama Islam dan Negara di Indonesia
1.
Era
Pra-Kemerdekaan (1942-1945)
Dalam menghadapi Umat Islam, Jepang sebenarnya mempunyai
kebijaksanaan politik yang sama dengan Belanda. Hanya dalam awal pendekatannya,
Jepang memperlihatkan sikap bersahabat. Karena Jepang berpendirian bahwa umat
Islam merupakan powerful forces dalam
menghadapi Sekutu. Latar belakang sejarah Umat Islam yang anti imperalisme
Barat, memiliki kesamaan tujuan dengan Perang Asia Timur Rayanya. Sikap Umat
Islam yang demikian itu akan dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial jepang.[12]
Tetapi tantara Jepang tidak menghendaki adanya parpol Islam.Mereka
lebih menyukai hubungan langsung dengan ulama daripada dengan pemimpin
parpol.Oleh karena itu, Jepang mengeluarkan maklumat pembubaran
parpol.Tampaknya dalam menghadapi tantara Jepang, Umat Islam bertindak untuk
sementara menyetujui pembubaran tersebut.[13]
Pada umumnya, kebijakan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai
dua prioritas.Yaitu, menghapuskan pengaruh Barat (Imperialisme) di kalangan
mereka dan memobilisasikan mereka hanya untuk kepentingan kemenangan Jepang.[14]
Tindakan Jepang ini jelas menunjukkan rasa takutnya terhadap Islam
sebagai partai politik.Tetapi di satu pihak Jepang menyadari potensi Umat Islam
dalam menunjang tujuan perang.[15] Pada akhir
bulan maret 1942 pihak Jepang di Jawa sudah mendirikan sebuah Kantor Urusan
Agama (dalam bahasa Jepang:Shumubu).[16]Dengan ketuanya
Kolonel Horie.Yang telah dipersiapkan konsepnya sebelum Jepang mendarat di
Indonesia.[17]
Pada bulan April 1942 usaha pertama pada suatu gerakan rakyat,
“Gerakan Tiga A” dimulai di Jawa.Nama ini berasal dari slogan bahwa Jepang
adalah pemimpin Asia, pelindung Asia, dan cahaya Asia.Di dalam gerakan tersebut
pada bulan Juli didirikan suatu subseksi Islam yang dinamakan persiapan
persatuan umat Islam yang dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosujoso (lahir tahun
1897, saudara Tjokroaminoto dan penggantinya sebagai ketua PSII.Abikoesno untuk
sementara dinggap oleh pihak jepang sebagai pemimpin Islam Indonesia yang
wajar.Akan tetapi, ini tidak lama sebelum pihak jepang (seperti halnya
orang-orang belanda) mulai meragukan pemimpin-pemimpin Islam Modern yang secara
politik aktif.Pada umumnya gerakan Tiga A tidak berhasil mencapai
tujuan-tujuannya. Para pejabat Indonesia hanya sedikit memberi dukungan, tidak
ada seorang nasionalis Indonesia yang termuka terlibat didalamnya, dan
propagandanya ditangani secara keras sehingga pada masa-masa awal pendudukan
pun hanya sedikit orang Indonesia yang menanggapi secara serius.[18]
Pada tanggal 4 September 1942 melalui Tiga A diadakan musyawarah
pertama di Hotel des Indes.Hasil dari musyawarah in, Umat Islam menghidupkan
kembali MIAI dan memilih W. Wondoamiseno sebagai ketua.Pusat kegiatan
dipindahkan dari Surabaya ke Jakarta.Dengan dihidupkannya kembali MIAI berarti
Muhammadiyah dan NU sebagai spongsornya mempunyai kebebasan bergerak pula.[19]
Kebijakan Politik Islam Jepang masih bertumpu kepada ulama desa.
Mayor Jenderal lebih menekankan perhatian pemerintahannya kepada ulama daripada
MIAI .untuk berhubungan langsung dengan ulama ini, digunakan Shumubu (KUA)
sebagai penggeraknya. Dengan cara ini diharapkan dapat mematikan MIAI yang
berkedudukan di Jakarta. Usaha tersebut jelas gagal.Betapa mungkin Shumubu
dapat dipealat untuk menghancurkan MIAI.[20]
Pada pertemuan lima puluh sembilan kiai dari seluruh Jawa di
Bandung (permulaan 1943), Abdul Karim Amrullah menunjukkan sikap menentang.
Pertentangan ini bagaimanapun juga menyebabkan Jepang mengharapkan penyelesaian
yang tidak merugikan usaha propaganda perangnya.Kemudian Jepang segera
mengadakan pertemuan antara ulama dengan pejabat pendidikan Jepang.[21]
Kebijaksanaan politik Jepang sebenarnya bertentangan dengan apa
yang dihadapi oleh Jerman di Timur Tengah. Di mana negara Arab berpihak kepada
Sekutu, sedangkan Jepang di Indonesia mengadakan kerja sama dengan Islam.
Kondisi yang demikian ini, menyebabkan Jepang juga melarang adanya pemakaian
Bahasa Arab.Namun bagaimana mungkin melarang pemakaian Bahasa Arab, sedangkan
Al-Qur’an berbahasa Arab?Situasi ini mendorong Jepang memerintahkan supaya
menerjemahkan Al-Qur’an dan Hadis ke dalam Bahasa Indonesia atau daerah.
Akibatnya rakyat semakin mengerti isi
Al-Qur’an sebagai sumber agama, politik, ekonomi, dan lain-lainnya.[22]
Perang Dunia II menuntut Jepang untuk menggerakkan masa Islam
berpihak kepadanya. Untuk itu, diletakkanlah Nippon’s Islamic grass roots policy (kebijaksanaan Politik Jepang
terhadap kalangan rakyat jelata Islam.
Untuk melaksanakan policytersebut,
Jepang menggunakan media pendidikan sebagai alat propagandanya.Sebagai
persiapan maka diadakan pertemuan antar Shumubu (KUA) dengan para ulama di
hotel Des Indes Jakarta.[23]
Satu peristiwa sangat penting dalam perkembangan politik Indonesia adalah pembentukan Pembela Tanah
Air (Peta). Dikatakan sangat penting karena didalamnya Umat Islam memegang
peranan sejak dari pembentukannya.Memang usulan pembetukan Peta tersebut oleh
Gatot Mangkupraja kawan Bung Karno.Tetapi realisasinya pada akhir Oktober 1943,
Jepang mengangkat para kiai sebagai Daidanco.[24]
Untuk mendapatkan dukungan lebih banyak dari Umat Islam, dan bahwa
tugas Peta sebagai tugas suci, bendera Peta dibuat sesuai dengan lambang bulan
bintang yang dihormati oleh rakyat Jawa. Tindakan Jepang ini melihat Umat Islam
sebagai powerful forcesyang akan
dimanfaatkan untuk kepentingannya, tetapi tidak akan memajukan Muslim dan kehidupannya. Tujuan penguasa
militer Jepang sebenarnya tidak akan menciptakan kesatuan, tetapi hanya
menginginkan kerja sama lebih mudah dengan Umat Islam Indonesia. Tujuan
tersebut menumbuhkan sikap takut Jepang akan timbulnya kesatuan Umat Islam.
Peta selain diharapkan bantuannya, juga disiapkan untuk memecah-belah struktur
organisasinya.Namun, sekalipun Jepang telah berusaha semacam tersebut, ulama
masih sanggup memanfaatkan Peta untuk membangkitkan semangat keprajuritan.Usaha
para ulama inilah yang telah menjadikan Peta sebagai wadah pembibitan pemimpin
TNI nanti di kemudian hari.[25]
Jepang mencoba menghilangkan pengaruh MIAI dengan membentuk Majelis
Syura Muslimin Indonesia., sekaligus dengan pembentukan organisasi baru ini
bertujuan menurunkan pemimpin MIAI dengan mengangkat Hasyim Asyari sebagai
Ketua Masyumi.Pengangkatan ini mempunyai tujuan bersayap.Jepang mengharapkan
timbulnya perpecahan di kalangan Umat Islam.Tetapi kenyataan sejarah
menuliskan, perkembangan Masyumi sangat cepat.Sejak awal Jepang mencoba untuk
menetralisir Masyumi dari kegiatan politik.Karena itu pemimpi Masyumi disumpah
untuk membebaskan dirinya dari kegiatan politik macam apapun. Usaha ini juga
mempunyai latar belakang yang lain pula, agar Jepang mudah mematahkan basis
suplai pesantren. Dengan kewajiban pengumpulan padi dari desa, pemimpi Masyumi
akan kekurangan waktu untuk memperhatikan desa, karena pemimpinnya menduduki
banyak jabatan.[26]
Untuk sedikit meyakinkan bangsa Indonesia, khususnya Umat Islam,
Jepang segera membentuk Komite 62 atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ketuanya adalah Dr. Rajiman Wediodiningrat (29
April 1945).Sekalipun pengangkatan ketua bukan dari kalangan pimpinan
organisasi Islam, Jepang tetap memberikan gambaran tentang usahanya untuk
membantu peranan Islam dalam mewarnai negara mendatang.[27]
Pada tanggal 29 April 1945 keluarlah maklumat Gunseikan no
23 tentang pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPKI). Badan ini kemudian mengharapkan kepada masyarakat agar bersedia
menyumbangkan buah pikiran tentang
bentuk dan isi dari Indonesia yang akan merdeka, baik melalui anggota badan
atau melalui media massa.[28]
Karena saat itu belum jelas tentang asas dan dasar negara
Indonesia, maka dalam sidang BPUPKI 29 Mei-1 Juni 1945 diadakanlah pemandangan
umum mendengarkan gagasan-gagasan yang diajukan oleh tokoh-tokoh nasionalis
Islam dan non-Islam. Sidang pertama BPUPKI tidak mengambil suatu rumusan.
Kemudian dibentuklah Panitia Sembilan terdiri dari: Ir. Sukarno, Drs. Mohammad
Hatta, A.A Maramis, S.H., Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus
Salim, Ahmad Subarjo, S.H., Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin, S.H. hasil karya
dari Panitia Sembilan selesai pada 22 Juni 1945, yang dinamakan oleh Muhammad
Yamin sebagai Piagam Jakarta, yang berisikan rumusan Pancasila.
1.
Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2.
(menurut
dasar) kemanusiaan yang adil dan beradab;
3.
Persatuan
Indonesia;
4.
(dan)
kerakyaan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan;
Ternyata janji kemerdekaan Indonesia dari Jepang tidak pernah
kunjung tiba. Nippon Pemimpin, Pelindung dan Cahaya Asia ternyata telah
bertekuk lutut kepada Sekutu. Umat Islam segera mendesak kepada Bung Karno dan
Bung Hatta untuk tidak ragu-ragu lagi segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dengan didorongkan oleh
keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan kemerdekaannya tepat pada 9 Ramadhan 1364 atau 17 Agustus
1945, Jum’at legi, pukul 10.00 di Jakarta.[30]
2.
Era
Pasca-Kemerdekaan (1945-sekarang)
a.
Orde
Lama (1945-1965)
Pada
taggal 18 Agustus 1945 atau 10 Ramadhan 1364, pancasila mengalami perubahan terakhir. Sebelum perubahan tersebut disahkan
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terlebih dahulu baik
landasan ideal Pancasila ataupun konstitusional UUD 1945 dirumuskan terakhir
oleh Wahid Hasyim (NU), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah), Kasman Singodimedjo
(MUhammadiyah), Mohammad Hatta dan Teuku Mohammad Hasan (wakil dari Sumatra.
Setelah perumusan kelima tokoh itu selesai, kemudian disahkan oleh PPKI.Dengan
demikian sejak 18 Agustus 1945, secara historis juridis pengesahan Pancasila
dan UUD 1945 sebenarnya mengikat seluruh bangsa Indonesia.Sekalipun demikian
jelas bagi kita bahwa pemuka-pemuka Islam ikut serta menggariskan dan
mempertahankan terwujudnya Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan negara
kita.[31]
Dengan adanya
proklamasi kemerdekaan, pada 22 Oktober 1945, NU mengeluarkan Revolusi Jihad
untuk mempertahankan tanah air, bangsa dan agama.Yang berisikan permohonan kepada
pemerintah RI supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan
terhadap usaha-usaha yang membahayakan kemerdekaan agama dan Negara Indonesia,
terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya.Dan supaya memerintahkan
kepada Umat Islam untuk melanjutkan perjuangan bersifat Sabilillah untuk
tegaknya negara RI merdeka dan agama Islam.Dan Resolusi Jihad inilah yang
mendorong timbulnya pertempuran antara bangsa Indonesia dengan Inggris di
Surabaya pada 10 Nopember 1945.[32]
Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 atau 9
Ramadhan 1364 H. disambut oleh Umat Islam sebagai rahmat Allah yang wajib
disyukri dan dipertahankan. Rasa syukur ini diwujudkan dengan dukungan Umat
Islam terhadap Proklamasi dengan lahirnya Resolusi Jihad yang disampaikan
kepada pemerintah RI. Umat Islam menyadari bila resolusi yang juga ditunjukkan
ke dunia internasional dan dunia islam,
tidak mendapat tanggapan dari pihak Sekutu, perlu disiapkan peran total. Oleh
karena itu, muktamar Umat Islam pada 7 Nopember 1945 diprsiapkan untuk
mengambil keputusan: membangun Partai Politik Islam Masyumi , membina potensi
pemuda Islam melalui Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan
mengkonsolidasikan organisasi militer dengan membentuk Barisan Hizbullah. Dalam
muktamar Umat Islam 1-2 Dzulhijjah 1364 atau 7 Nopember 1945, disebutkan pula
bahwa Barisan Sablillah merupakan Barisan Istimewa Tentara Keamanan Rakyat
(TKR). Lasykar Hizbullah ditugaskan untuk menjawab tantangan Sekutu yang
mengadakan pendudukan di Surabaya, Semarang, Ambarawa, Bandung dan
lain-lainnya.[33]
Pada awal orde ini posisi umat islam kurang menguntungkan dibanding
dengan mereka orang-orang yang netral agama. Hal ini merupakan lanjutan
kedudukan mereka yang juga lemah dalam badan penyelidik dan dalam panitia
kemerdekaan Indonesia. Faktor lain yang kurang menguntungkan ialah berdirinya
Partai Nasional Indonesia, yang menurut pimpinan negara merupakan satu-satunya
partai dinegara baru itu.[34]
Akhirnya pada 3 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat
tentang seruan untuk mendirikan partai pada rakyat Indonesia.[35] Para tokoh
Islam dari berbagai organisasi Islam pun mengadakan Muktamar Islam Indonesia
yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945. Muktamar tersebut
menghasilkan kesepakatan bahwa perlu mendirikan sebuah partai Islam, maka
disepakatilah berdirinya Masyumi sebagai satu-satunya wadah penyalur aspirasi
dan perjuangan umat Islam Indonesia di bidang politik.[36]
Dalam struktur kepengurusan Masyumi mempunyai dua macam anggota.Yaitu,
perseorangan dan organisasi. Anggota perseorangan minimum berumur 18 tahun atau
sudah menikah dan tidak diperbolehkan merangkap keanggotaan di partai lain.
Adapun anggota organisasi mempunyai hak untuk memberi nasihat atau saran,[37]organisasi
tersebut ialah Muhammadiyah, Nahdlotul Ulama, Perserikatan Umat Islam, dan
Persatuan Umat Islam.[38]Ide dualism
keanggotaan tersebut didasari pertimbangan untuk memperbanyak anggota. Sebab
lain, agar Masyumi dapat mewakili umat tanpa ada yang merasa terwakili.[39]
Tanggal
17 Desember 1945 Masyumi
mengeluarkan suatu program aksi, bahwa Islam “menghendaki kesejahteraan
masyarakat serta penghidupan yang damai antara bangsa-bangsa di muka bumi ini.”
Dan “menentang kekejaman, kebuasan serta kepalsuan kapitalis medan imperialisme”.
Padaumumnya, partai bermaksud “melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan
kenegaraan, hingga dapat mewujudkan susunan negara yang berdasarkan kedaulatan
rakyat dan masyarakat yang berdasar
keadilan menurut ajaran-ajaran Islam”. Ia juga bermaksud “memperkuat dan
menyempurnakan dasar-dasar pada Undang-Undang Dasar RI sehingga dapat
mewujudkan masyarakat dan Negara Islam”. Suatu pemilihan umum “yang bersifat
umum dan langsung” merupakan tuntutan partai.[40]
Walaupun mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam, namun kedudukan umat Islam (ulama) dalam masa permulaan orde
lama itu tidak begitu kuat dalam pemerintahan.Hal ini tercermin dalam kabinet
dan KNIP. Hanya ada 2 orang menteri yang mewakili mereka dalam kabinet yang
dibentuk pada bulan Agustus 1945 dan hanya 20 dari 137 anggota KNIP. Kedua
menteri tersebut ialah, Wachid Hasyim (Menteri Negara), dan
AbikusnoTjokrosujoso (Menteri Pekerja Umum).[41]
Pada tanggal 22-24 Desember Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti) mengambil keputusan dalam kongresnya di Bukit Tinggi
yaitumenyatakan diri sebagai partai politik. Partai ini kurang begitu
berkembang selain di Sumatra, tidak seperti partai Islam lainnya, seperti PSII,
NU, dan Masyumi yang telah tersebar ke seluruh Indonesia.[42]Pada tahun 1947, PSII menyatakan keluar dari Masyumi dan memproklamirkan
diri sebagai partai politik yang independen.[43] Disusul oleh NU yang keluar dari Masyumi dan menyatakan dirinya sebagai
partai politik pada tahun 1952 dalam
muktamar yang diselenggarakan di Palembang.[44]
Pada kabinet Amir
Syarifudin I, Masyumi menjadi partai oposisi.Namun, dalam kainet Amir II,
Masyumi ikut serta dalam kabinet.Keikut sertaan ini dengan maksud mempengaruhi
perdana mentri Amir Syarifudin dalam perundingan dengan pihak belanda.Namun
usaha ini gagal dengan disepakatinya Perjanjian Renville.Dalam
perjanjian tersebut wilayah Indonesia semakin menyempit,yaitu sebagian jawa dan
sebagian Sumatra.Akibat hasil perjanjian itu Masyumi kemudian menyatakan keluar
dari kabinet.Begitupun dalam kabinet Hatta, Masyumi mempunyai 4 orang dalam
kabinet.Pada masa ini Masyumi berperan dalam penyelesaian revolusi.Yaitu,
ketika agresi Belanda II Mr.Syafrudin Prawiranegara membentuk pemerintah
darurat RI di Sumatra untuk mengisi kekosongan kekuasaan karena para pemimpin
Indonesia ditangkap Belanda.[45]
Ketika
memasuki parlementer berdasarkan UUDS 1950 perang partai Islam mewarnai
kehidupan demokrasi.Partai-Partai Islam merupakan bagian yang tidak bisa
ditinggalkan dalam pembentukan kabinet. Bahkan Masyumi sendiri pernah memimpin
kabinet sebanyak 3 kali, yaitu kabinet Nasir (6 Agustus 1950-7 April 1951),
kabinet Sukiman (27 April 1951-5 April 1952), dan kabinet Burhanudin Harahap
(12 Agustus 1955-24 Maret 1956)[46]
Pada pemilu pertama tahun 1955 yaitu pada masa
Burhanudin Harahap (Masyumi)[47]terdapat 28 partai politik yang ikut serta sebagai kontestan partai-partai tersebut
secara garis besar jika dilihat dari segi ideologi dapat digolongkan dalam tiga
aliran, yaitu Islam, nasionalis, komunis atau sosialisme. Masyumi bersama NU
membentuk front Islam untuk memenangkan ideologi Islam dan menunjukkan sikap
anti komunis.Sementara PNI| menentangnya dan PKI juga mendukung PNI. PKI
mengatakan bahwa masyumi dan NU akan membangun negara Islam. Dalam konteks ini
Feith da Castle mengatakan bahwa “jika disebutkan satu masalah maka yang
mendominasi kampanye adalah apakah negara akan berdasarkan pancasila atau
Islam”.[48]Hasil pemilu ternyata tidak memuaskan semua pihak.Baik golongan Islam
maupun golongan nasionalis tidak ada yang keluar sebagai pemenang dengan
mayoritas (lebih dari 50%). Yaitu masyumi mendapatkan 20,9% dan NU mendapatkan
18,4%. Sementara partai-partai |Islam lainnya tida emperoleh suara yang banyak
(dibawah 1%).[49]
Dengan perolehan suara yang hampir sama dengan
kekuatan nasionalis tersebut maka akan sukar bagi golongan Islam untuk
memperjuangkan dasar negara yang telah dikampanyekan.[50]Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai
pemenang mengindikasikan bahwa ternyata tidak semua umat Islam yang menjadi
mayoritas di Indonesia pemilik partai-partai Islam.Dengan tidak semua umat
Islam memilih partai Islam, hal itu karena memang umat Islam Indonesia tidak
homogen dalam pemahaman terhadap Islam.[51]
Masa permulaan demokrasi terpimpin tahun 1957 mencatat
bahwa masyumi semakin bertentangan secara konfrontatif dengan presiden
Soekarno.Dengan Nasir sebagai ketua umum partai, garis kebijaksanaan politik
masyumi terhadap Soekarno semakin keras dan tidak dapat berkompromi dengan
Soekarno dalam soal demokrasi.[52]
Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1960, Masyumi
menerima surat dari direktur kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa Masyumi
harus dibubarkan dalam waktu 30 hari sesudah tanggal keputusan itu. Pembubaran
ini harus diberatahukan kepada Presiden secepatnya. Jika tidak parai Masyumi
akan diumumkan sebagai partai terlarang. Kurang dari sebulan kemudian, yaitu
tanggal 13 September 1960 pimpinan pusat menyatakan partainya bubar. Setelah
Masyumi bubar tersisa 3 Partai, yaitu NU, PSII, dan PERTI yang berhasil
bertahan selama periode demokrasi terpimpin, karena mampu menyesuaikan diri
dengan tuntutan yang dikehendaki Presiden Soekarno.[53]
b.
Orde Baru
Muhammad Syafi’i Anwar telah meneliti pola hubungan Islam dengan
negara pada masa Orde Baru (1966-1998).Menurutnya dalam kurun waktu tersebut,
terdapat tiga fase hubungan antara Islam dengan negara.Pertama, fase hubungan
antagonistic (1966-1981); yaitu hubungan agama dengan negara yang ditandai
hegemoni politik(negara) terhadap agama (ulama) dan kebijakan politik Orde Baru
telah melahirkan ketegangan yang mempersoalkan hubungan antara Islam dengan
negara.
Kedua, fase resipirokal kritis (1982-1985); yaitu hubungan yang
ditandai dengan dimulainya keterbukaan dari pemerintah dari kalangan Islam
dalam wilayah politik dan sebaliknya.Fase ini dinilai memberi arti penting bagi
pencapaian tujuan masing-masing dalam mempertegas arah pembangunan bangsa
disegala bidang.
Ketiga, fase akomodatif (1985-1998); yaitu pola hubungan yang lebih
dinamis antara Islam dengan negara.Banyaknya kalangan politisi Islam yang masuk
dalam struktur pemerintahan Orde Baru merupakan indikator penting yang
mendukung pola hubungan yang harmonis antara Islam dengan negara.Sehingga
banyak kebijakan pemerintah yang menguntungkan umat Islam itu sendiri.[54]
Pada pemerintahan era
Orde Baru, kekuatan politik Islam di tingkat nasional memperlihatkan
usaha-usaha untuk menata kembali posisinya.Sepanjang 1968 dan 1969,
partai-partai Islam mensponsori program-progam “hari peringatan piagam Jakarta”
yang diselenggarakan tiap tanggal 22 Juni.Suatu hal yang perlu disorot, isu ini
kembali merapatkan barisan kekuatan-kekuatan Islam baik NU maupun Parmusi
(mantan masyumi).Usaha-usaha gigih para pemimpin politik Islam dalam
memperjuangkan piagam Jakarta juga terlihat dalam SU MPRS, Maret 1968.Mereka
berusaha keras untuk memasukkan piagam Jakarta kedalam agenda keputusan SU MPRS
1968 komisi II.Akan tetapi usaha itu mendapat tantangan dari kelompok PNI,
Kristen dan wakil ABRI.Akhirnya pimpinan MPRS memutuskan untuk menunda
pembicaran tentang GBHN.[55]
Kegagalan dalam
memperjuangkan Piagam Jakarta dalam SU MPRS akhir Maret 1968 tak mematahkan
harapan para tokoh-tokoh Islam, mereka berusaha melakukan lobying.
Beberapa hari setelah penutupan SU MPRS V, wakil-wakil NU, PSII, Parmusi
diterima oleh presiden Soeharto, mereka meminta agar menjadikan aspirasi
politik umat Islam direalisasikan sebagai politik resmi negara. Namun keinginan
ini dikesampingkan oleh Soeharto, yang kemudian dalam Kongren Veteran pada
April 1968 Soeharto menyatakan tidak bersedia melaksanakan usul-usul dasar yang
tidak ditetapkan resmi oleh MPRS.[56]
Sebagai bagian dari
design restruksturisasi politik Orde Baru, negara menginginkan pengendalian
partai politik melalui penyederhanaan jumlah partai politik. Rencana
penyederhanaan partai politik tersebut sebenarnya mulai bergulir sebelum pemilu
1971.Pada waktu itu, Suharto menghimbau pada para pemimpin Sembilan partai dan
Golkar agar melakukan pegelompokan, dari sepuluh kontestan pemilu yang ada
menjadi tiga kelompok.Kelompok pertama adalah kelompok spiritual-material,
mereka adalah yang menitik beratkan program-progamnya pada pembangunan
spiritual.Kelompok kedua adalah kelompok material-spiritual yang menekankan
pada program pembangunan material.Dan ketiga adalah kelompok karya.[57]
Pimpinan Partai
Sarikat Islam Indonesia, M.CH. Ibrahim dan Bustaman dengan tegas menolak
rencana fusi partai. Mereka malahan mengelurkan instruksi kepada seluruh
wilayah dan cabang PSII seluruh Indonesia untuk melarang menghadiri pertemuan
yang akan membicarakan fusi partai-partai. Jendral Soemitro (kaskopkamtib)
dalam sebuah pidatonya menyatakan: “sekarang ini asih ada partai yang ragu-ragu
dan tidak setuju dengan fusi, pemerintah tak segan-segan mengambil tindakan
tegas terhadap partai-partai tersebut”.[58]
Sikap penolakan
fusi partai leih lunak diperliahatkan oleh NU, dan dalam NU juga tidak
mengalami gejolak internal yang berarti.Respon fusi partai ang positif
ditunjukkan oleh Parmusi dan Perti yang sejak semula bersemangat bergabung
dalam partai Islam baru.[59]
Setelah melalui
perundingan dan musyawarah, pada 5 Januari 1973 di Jakarta, berhasil disepakati
berdirinya Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Adapun kesepakatan antara
unsur-unsur dalam PPP tadi menempatkan Nu dalam posisi bergengsi karena
presiden partai dijabat oleh KH.Idham Cholid (ketua PBNU) dan Majelis Syuro
dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri (rois suriah PBNU). Sementara jabatan
eksekutif partai diketuai oleh HM. Mintaredja dari MI.[60]
Pada 31 Juli 1973
pemerintah mengajukan RUU perkawinan. Sebelum dibahas oleh DPR, melalui media
massa kaum muslimin mengetahui bahwa banyak dari pasal-pasalnya yang
bertentangan dengan syari’at Islam.[61]
Pasal dalam RUU
perkawinan tersebut jelas sangat potensial memancing emosi kaum muslimin
Indonesia.[62]Sikap penolakan
tegas juga diperlihatkan oleh organisasi pelajar-pelajar Islam yang ada.[63]Sementara itu,
Sembilan tokoh pemuda Islam yang tergabung dalam Generasi Muda Islam Indonesia
(GMII) dan Kesatuan Aksi Umat Islam (KAUI) gagal berdialog dengan Soeharto.
Malahan Sugiharto, pimpinan FKP di DPR yang membahas RUU perkawinan, menyatakan
tentang tidak perlunya hukum-hukum mempertimbangkan prinsip-prinsip agama
karena ajaran agama membuat orang tidak maju-maju. Pernyataan-pernyataan
semacam ini mengundang gelombang aksi demonstrasi umat Islam mengiringi
pembahasan RUU perkawinan tersebut di DPR RI.[64]
Pemerintah rupanya
menyadari betapa bahayanya jika membiarkan masalah ini berlarut-larut.Melalui
serangkaian lobi dari pemimpin Islam, terutama KH.Masykur dan KH.Syamsuri,
akhirnya pemerintah bersedia mempertimbangkan perubahan-perubahan yang
dikehendaki kaum muslimin.[65]
Salah satu dari
rezim baru yang terpenting untuk meredam pertentangan dalam kelas maupun kelompok
serta untuk menciptakan keselarasan, keharmonisan dan kerja sama dalam hubungan
negara dan masyarakat adalah melalui pengendalian perwakilan kepentingan atau
korporatisasi negara. Tindakan ini diarahkan untuk membatasi partisipan dalam
arena politik sebagai upaya menopang kelancaran pertumbuhan ekonomi dan
stabilitas politik.[66]Salah satunya
adalah terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Namun dalam
kenyataannya organisasi itu tidak efektif sebagaimana terlihat dalam kasus
MUI.MUI yang semula di desaign oleh negara untuk melegitimasi
kebijakan-kebijakan negara melalui fatwa-fatwanya dan mengontrol organisasi
Islam terlihat tidak efektif.Pada dasarnya ada dua alas an normative yang
diajukan Soeharto mengenai perlunya pembentukan MUI yaitu keinginan pemerintah
agar kaum muslimin bersatu dan kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa
tidak dapat diselesaikan tanpa keikutsertaan ulama.[67]
Organisasi para cendekiawan Muslim Indonesia berdiri pada tahun
1990 di Malang, Jawa Timur itu merupakan salah satu factor penting perubahan
pada tingkat negara yang membawa pengaruh pada pergerakan politik pada tingkat
nasional, khususnya yang berkaitan dengan umat Islam.[68]
Kelahiran ICMI dalam bentuk study yang ditulis oleh para sarjana,
merupakan titik yang mempengaruhi antar umat Islam di satu sisi dan negara Orde
Baru di sisi lain. Menurut Syafi’i Anwar, kelahirannya berkaitan erat dengan
membaiknya hubungan umat Islam dengan negara. Kelahiran ICMI ini disambut
sebagai hal yang menggembirakan bagi banyak kalangan, khususnya kelas menengah
umat Islam. Sebab dengan berdirinya ICMI akan berdampak positif bagi
perkembangan umat Islam. Mereka beranggapan kecurigaan negara terhadapa umat
Islam telah berakhir, dan pada gilirannya umat Islam akan mempunyai akses yang
lebih besar dalam pembangunan nasional.[69]
Proses kelahiran
ICMI itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari para aktifis masjid kampus. Bermula
dari sebuah keprihatinan sejumlah kecil ( 5 orang ) mahasiswa, aktifis masjid
kampus Universitas Brawijaya, malang, terhadap nasib dan masa depan umat Islam
Indonesia. Ditengah gencaranya idologi pembangunan dengan jargon tinggal landas
yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru ketika itu, mereka menemukan umat
Islam yang tidak siap.Sebagai komponen terbesar dari Republik Indonesia, umat
Islam tidak mempunya konsep yang berarti terhadap jargon pembangunan yang
gencar di propogandakan.Hal tersebut diperparah dengan kenyataan keterpecahan
yang terjadi di kalangan para cendekiawan. Dalam alam pikiran mahasiswa
tersebut, alih-alih memberikan makna yang signifikan dalam proses menuju
tinggal landas tersebut, umat Islam dikhawatirkan akan semakin terjerumus ke
dalam lubang keterbelakangan, yang menyebabkan tertinggal dari arus deras
pembangunan tersebut.[70]
Keprihatinan semacam itu tentu bukan sebuah kesadaran
tiba-tiba yang berada di ruang hampa. Tingkat keterlibatan 5 mahasiswa
tersebut.Yaitu; Erik Salman, Ali Mudakhir, Muhammad zainuri, Awang Surya dan
Muhammad Iqbal.Dalam berbagai aktifis keislaman dan kemahasiswaan memberikan
perspektif sendiri terhadap bangunan ideal sebuah masyarakat.Cara pandang mereka
tentang dunia sekitar tentu diwarnai dengan nilai-nilai yang selama ini meeka
tekuni dan geluti, yaitu nilai-nilai Islam.[71]
Pada musim haji
1991 Soeharto menunaikan ibadah haji di Makkah bersama seluruh
keluarganya.Keputusan Soeharto untuk naik haji pada saat itu lebih bermuatan
politik untuk memainkan kartu Islam dibandingkan dengan kesadaran keagamaan
Islam.Dan yang lebih penting lagi adalah keputusan Soeharto untuk mengambil
KH.Qosim Nurseha sebagai pemimbing kehidupan keagamaan Suharto dan keluarganya.[72]
Peranan Qosim
Nurseha dalam melakukan “islamisasi” keluarga presiden Soeharto hampir menjadi
persepsi umum terutama dikumandangkannya tahlil berkali-kali dalam prosesi
pemakaman Ibu Tien Soeharto pada 1996.[73]
Pada rekruitmen DPR
atau MPR RI 1993-1998, Wahono mengumumkan susukran krasinya di DPR atau MPR
yang mana didalamnya trdapat banyak tokoh-tokoh umat Islam, seperi dari NU: KH.
Ali Yafie, KH. Yusuf Hasyim, KH. Maimun Zubaer, KH. Ilyas Rukhiyat serta KH.As’ad
Umar. Dari Muhammadiyah terdapat nama KH. Azhar Basyir, Ismail Sunni, Watik
Pratiknya. Tokoh ormas lain seperti KH. Hasan Bisri (ketua MUI), Tutik
Alawiyah, Fadel Muhammad, Feri Mursidan, dr. Muhammad Thohir (asisten ketua
ICMI), Nur Kholis Najid, M. Quraisy Syihab, Mukti Ali, Zakiyah Darajat dan alumni HMI yang jumlahnya cukup
banyak dalam kursi DPR atau MPR.[74]
c.
Era
Reformasi
Rezim orde baru,
setelah 32 tahun berkuasa, pada tanggal 28 Mei 1998 berakhir dengan lengsernya
Jendral Soeharto dari kursi presiden. Lengsernya Soeharto tersebut akibat
gerakan mahasiswa yang menuntut agar presiden Soeharto mundur dari jabatannya.[75]
Setelah rezim Orde
Baru hancur, partai-partai Islam mulai bangkit kembali, dan bangkitnya
partai-partai Islam dianggap sebagai bangkitnya politik aliran, dikarenakan
selama orde baru politik aliran diberantas. Sehubungan dengan berdirinya
partai-partai politik Islam, ada berapa Faktor yang menyebabkan bangkitnya
partai-partai Islam pasca orde baru, yaitu factor teologis, historis, sosiologis,
dan faktor reformasi.[76]
Fenomena berdirinya
partai-partai politik Islam pasca orde baru ini ternyata beragam dan
terfragmentasi.Bahkan bukan hanya itu saja, di kalangan elit politik Islam
sendiri dalam mendirikan partai politik ada yang berdasarkan Islamdan ada yang
berdasarkan kebangsaan. Dengan kata lain, para elit politik Islam dalam
mendirikan partai politik ada yang menggunakan substansialistik dan ada yang
menggunakan pendekatan formalistik.[77]
Pada era reformasi
tidak sedikit yang beranggapan bahwa adanya peluang bagi umat Islam untuk
menerapkan hukum pidana Islam. Hal tersebut juga diyakini oleh Front Pembela
Islam (FPI) suatu ormas yang berdiri pada tanggal 17 Agustus 1998 di Cisarua
Bogor yang didirikan oleh Habib Riziq Syihab. Namun kalau melihat secara cermat
system hukum nasional ang berlaku sebenarnya sudah ada peluang untuk
memberlakukan hukum pidana Islam seperti yang terkandung dalam pasal 27 ayat 1
UU Pokok Kekuasaan kehakiman.[78]
Habib Riziq Syihab
mengatakan bahwa pihaknya optimis syariat Islam dapat dijalankan kendati
amandemen pasal 29 UUD 1945 gagal dilaksanakan. Pada Agustus 2002 MPR
mengadakan Sidang Tahunan ke II untuk masa pemerintahan megawati, salah satu
agendanya adalah pembahasan usulan amandemen UUD 1945 khususnya pasal 29
tentang agama, namun usulan tersebut akhirnya tetap ditolak oleh MPR.[79]
Ditolaknya amandemen UUD 1945 sebagian disebabkan kecilnya porsi
kekuatan parpol Islam yang memperjuangkan Syariat Islam, Praktis hanya PBByang
tetap bersikukuh agar dilakukan amandemen pasal 29.FPI juga pernah mengusulkan
agar pasal 416-418 tentang alat pencegah kehamilan harus ditambah redaksinya,
Bagi Suami Istri.[80]
D.
Penutup
Relasi Agama
dan Negara merupakan pembahasan mengenai keterkaitan antara agama dan negara.Negara
Indonesia merupakan negara yang majemuk, berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika.Islam
merupakan salah satu agama yang ada di Indonesia, pengaruhnya hampir vital
dalam tatanan pemerintahan Indonesia. Indonesia merupakan negara yang menganut simbiotik
dalam menerapkan agama di negaranya, sehingga umat islam di Indonesia
diperkenankan untuk berperan pada ranah politik dalam pemerintahan.
Meskipun pada perjalanannya umat
islam mengalami maju-mundur dalam pentas perpolitikan pemerintahan, namun umat
islam tetap memiliki peran penting pada sejarah negara Indonesia sejak zaman
penjajahan hingga saat ini.
Sebagai contoh, pada rezim Orde Baru
adanya wacana pengesahan RUU Perkawinan yang sangat jelas bertentangan dengan
syari’at islam. Meskipun umat Islam pada era itu di pandang sebelah mata oleh
Presiden, dan Presiden Soeharto juga dikenal dengan “kediktatorannya”, tetapi
RUU Perkawinan tetap bisa digagalkan melalui berbagai aksi demonstrasi dari
umat Islam, serta “lobbying” yang dilakukan oleh para ‘Ulama kepada Presiden.
Hal itu menjadi bukti bahwa umat Islam tidak bisa dianggap remeh dalam ranah
politik pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin.Kekuatan Islam dan
Pergulatan Kekuasaan di Indonesia: Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Noer, Deliar. Partai Islam di
Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965.
Bandung: Penerbit Mizan, 2000.
Toriqudin, Moh. Relasi Agama
& Negara. Malang: UIN Maliki Press, 2009.
Yatim, Badri. Soekarno, Islam dan
Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Tholkhah, Imamdan Choirul Fuad. Gerakan
Islam Kontemporer di Era Reformasi. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan, 2002.
Anshari, Endang Saifudin. Wawasan
Islam: Pokok-Pokok Fikiran Tentang Islam dan Ummatnya. Jakarta: Rajawali,
1990.
Romli, Lili. Islam Yes Partai
Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia. Jakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 2006.
Riclefs.Sejarah Indonesia
Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2007.
Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan
Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan,
1995
Damanik, Ali Said. Fenomena
Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia.
Jakarta: Teraju, 2003.
Salim, Abd. Mu’in. Fiqh Siyasah:
Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1995.
Catatan:
1.
Penulisan abstrak salah, itu malah seperti pendahuluan.
2.
Pendahuluannya tolong dirubah.
3.
Berikan pembahasan mengenai penghilangan beberapa kata di butir pertama pancasila
setelah proklamasi dilaksanakan.
4.
Harusnya setelah dibahas teori mengenai relasi agama dan negara, dikaji mengenai
teori mana yang layak diterapkan di Indonesia dengan melihat kondisi realistis di
nusantara.
[1]
Moh. Toriquddin, Relasi Agama&Negara (Malang:Uin Maliki Press,2009),
hlm. 42.
[3]
Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Fikiran tentang Islam
dan Umatnya (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 167.
[4]
Moh. Toriquddin, Relasi Agama&Negara (Malang:Uin Maliki Press,2009),
hlm. 67.
[8]
Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai
di Indonesia (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006), hlm. 21.
[12]
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 254.
[13]Ibid.
[14]
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Merdeka, terj. Dharmono Hardjowidjono
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007), hlm. 300.
[16]M.C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Merdeka, terj. Dharmono Hardjowidjono
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007), hlm. 302
[17] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan
Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan,
1995), hlm. 256.
[18]
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Merdeka, terj. Dharmono Hardjowidjono
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007), hlm. 302-303.
[19]
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 256.
[24]Ibid.
[28]
Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), hlm. 158.
[29]
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm. 266-267.
[34]
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis
Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965 (Bandung: Penerbit Mizan, 2000),
hlm. 49.
[36]
Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai
di Indonesia (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006), hlm. 35.
[37]
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis
Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965 (Bandung: Penerbit Mizan, 2000),
hlm. 52.
[42]
Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai
di Indonesia (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006), hlm. 42.
[52]
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis
Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965 (Bandung: Penerbit Mizan, 2000),
hlm. 395.
[54]Abd.
Mu’in Salim, Fiqh Siyasah: Konsep Kekuasaan Politik dalam Al-Qurqn (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 59-60.
[55]
Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia: Sebelum dan
Sesudah Runtuhnya Rezim Suharto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm.
82.
[59]Ibid.
[68]Ali Said
Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di
Indonesia (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 139
[69]Ibid.,
hlm. 139-140
[71]Ibid.
[72]Aminudin,
Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia: Sebelum dan Sesudah
Runtuhnya Rezim Suharto (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 305.
[75]
Lili Romli, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai-Partai
di Indonesia (Jakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2006), hlm. 97.
[78]
Imam Tholkhah, Gerakan Islam Kontemporer di Era Reformasi (Jakarta:Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002), hlm. 16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar