Minggu, 07 Mei 2017

Gerakan Baru di Indonesia (PBA B Semester Genap 2016/2017)




GERAKAN-GERAKAN BARU DI INDONESIA
Achmad Rizky Afandi (16150042), Wilda Wahyu Al-Mubarok (16150047), Novan Dymas Pratama (16150049),  Nurul Fadhilah Fakaubun (16150107)
PENDIDIKAN BAHASA ARAB ANGKATAN 2016
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Abstract
                        This article was  written with a simple review of some contemporary Islamic movements by having several categories, and the main purpose is why these movements were established was the desire to return to the life of Islam.And also discuss the new movements that are in Indonesia and growing in Indonesia that became phenomenal in the midst of society, namely the liberal Indonesia network movement that combine the past religion with the notion of liberalism and secularism.This discussion not only discusses the development and thinking of liberal Islam, but also discusses the thoughts and activities of one political party movement that carries the idea of ​​khilafah ala minhaj An-nubuwah namely Hizbut Tahrir, better known as HTI.
           
               Keyword : Harakah Islam Contemporary, Liberal Islam, Hizbut Tahrir Indonesia

Abstrak
            Ditulisnya artikel ini dengan sederhana yang mengulas beberapa gerakan-gerakan Islam kontemporer dengan memiliki beberapa kategori , dan tujuan utama mengapa didirikan gerakan-gerakan tersebut yakni keinginan ingin kembali kepada kehidupan islam. Dan membahas pula gerakan-gerakan baru yang berada di Indonesia dan berkembang di Indonesia yang menjadi fenomenal ditengah-tengah masyarakat, yakni  gerakan jaringan Indonesia liberal yang menggabung kan antara agama silam dengan paham liberalism serta sekularisme.Pembahasan ini tidak hanya membahas tentang perkembangan dan pemikiran islam liberal, melainkan juga membahas tentang pemikiran dan aktivitas salah satu gerakan partai politik yang mengusung ide khilafah ala minhaj An-nubuwah yakni  Hizbut Tahrir , yang lebih dikenal dengan sebutan HTI.
            Kata kunci : Harakah islam Kontemporer, Islam Liberal, Hizbut Tahrir Indonesia
Hizbut Tahrir Indonesia
A.       Sekilas Gerakan Islam Kontemporer( Pertumbuhan, tujuan dan metode )
            Dalam mempelajari gerakan-gerakan atau harakah-harakah kontemporer islam, maka akan dipelajari dengan pembagian dalam tiga kategori utama yakni:
            Pertama, harakah atau jama’ah dakwah yang berjuang untuk mewujudkan perubahan menyeluruh di tengah-tengah masyarakat dengan metode maraih kekuasaan dan penerapan hukum-hukum islam sebagai pengganti sistem-sistem yang sedang eksis saat ini.
            Kedua, harakah atau jama’ah dakwah yang berjuang melakukan perbaikan individu-individu, penyabaran ibadah dan keterikatan individual terhadap hukum-hukum islam; tanpa bertujuan mengubah masyarakat sebagai suatu keselurruhan; juga tanpa beraktivitas mewjujudkan perubahan mendasar di tengah-tengah masyarakat, yakni perubahan sistem dan perundang-undangan yang diterapkan atas manusia saat ini.
            Ketiga, harakah atau jama’ah dakwah yang memiliki tujuan yang sesaat yang terbatas.Harakah/jama’ah dakwah demikian kadang hanya khusus disuatu wilayah atau beberapa wilayah saja.[1]
            Harakah dan jama’ah dakwah Islam yang  tegak di Dunia Islam saat ini, baik yang terdahulu maupun yang belakangan, banyak jumlahnya, dengan tujuan yang beragam. Dalam hal ini mereka berbeda dalam hal thariqah atau metode aktivitas yang mereka lakukan untuk mencapai pada tujuan masing-masing.
            Oleh sebab itu, maka dalam jurnal ini tidak akan membahas seluruh aktivitas dakwah dan metode serta tujuan oleh setiap harakah atau jama’ah dakwah, namun dalam jurnal ini akan memberikan pemaparan sekilas tentang beberapa harakah atau jama’ah kontemporer yang berkaitan dengan kategori pertama sesuai yang telah dijelaskan di atas, yakni sebagai berikut:
1.      Jama’ah Ikhwanul Muslimin
2.      Jama’ah Al-Islami di India dan Pakistan
3.      Dakwah Salafiyah (Gerakan Salafi)
4.      FIS (al-jabhah al-islamiyyah li al-Inqadz fi al-Jaza’ir  -Front Islami Untuk Pembebasan) di Al-Jazair
5.      Tannzimul Jihad di Mesir
6.      Hizbut Tahrir
7.      Gerakan An-Nahdhah (Harakah Kebangkitan) di Tunisia
8.      Harakah Ath-Thala’i Al-Islamiyyah (Harakah Pelopor Islam)
9.      Hizb Jabhah al-‘Amal al-Islami ( Partai front amal islami ) di Yordania
10.  Harakah Al-Mahdiyyah  di Sudan.[2]
Adapun maksud dari pemaparan harakah-harakah diatas ialah bahwa jika para pembaca meyakini  bahwa ingin untuk melanjutkan kehidupan islam maka menjadi suatu yang tidak dipungkiri  atau suatu keharusan untuk bergabung dalam harakah atau pun kelompok atau jama’ah yang ia lihat paling kuat untuk diikuti dan paling sesuai dengan metode Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dalam suatu perjuangan untuk kembali ke kehidupan islam tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Dan dapat dikatakan bahwa aktivitas Individual tidak akan mampu mewujudkan kehidupan islam zaman sekarang. Sebagaimana dalam Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104).
            Kata ummah disiniberarti jama’ah. Orang yang mengkaji perjalanan para nabi, orang yang shalih dan para pemimpin akan melihat dengan jelas bahwa aktifitas yang menghasilkan (produktif) dan berpengaruh senantiasa merupakan aktivitas Jama’I dan bukannya aktifitas individual.[3]
B.  Pergerakan Di Indonesia
Dari harakah-harakah Islam kontemporer yang dibahas pada subjudul diatas maka dalam jurnal ini akan membahas pula  pergerakan atau harakah yang masuk ke Indonesia dan gerakan baru di Indonesia.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa banyak gerakan-gerakan islam yang ada di Indonesia yang memiliki pula tujuan serta metodenya, seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Front Pembela Islam (FPI), Jama’ah Tabligh, dan lain-lain.
Dalam jurnal ini tidak akan dikaji satu-persatu gerakan-gerakan yang telah disebutkan, melainkan disini akan membahas gerakan yang di Indonesia yang masih dianggap baru, yang salah satunya yakni Hizbut Tahrir, yang biasa dikenal oleh masyarakat luas dengan sebutan “HTI”.

C.     Latar belakang kelahiran Hizbut Tahrir Indonesia
Hizbut Tahrir didirikan pada tahun 1953 M/1372 H olehSyaikh Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismailbin Yusuf an-Nabhani, seorang ulama yang mencapaiderajat mujtahid mutlak, seorang hakim (qadhi) padaMahkamah Banding di al-Quds, serta seorang politisiulung. Beliau berasal dari sebuah “keluarga ilmu”, karenakedua orang tua beliau adalah ahli syariah Islam (faqih).
Selain itu, kakek buyut beliau, yakni Syaikh Yusuf binHasan bin Muhamad an-Nabhani as-Syafi’iy, Abu Mahasin,adalah seorang ulama, penyair dan salah seorang hakimpada masa Daulah Khilafah.
Setelah Syaikh an-Nabhani wafat pada tahun 1977 M/1396 H, kedudukan beliau digantikan oleh Syaikh Abdul Qadim Yusuf Zallum, salah seorang yang telah membantu dakwah beliau sejak Hizb berdiri.[4]

Latar Belakang berdirinya Hizbut Tahrir didirikan dalam rangka memenuhi seruanAllah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surah Ali Imran ayat 104:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104).

 Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat islam dari kemerosotan yang sangat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem atau perundang-undangan dan hukum-hukum kufur; serta membebaskan mereka dari kekuasaan dan dominasi Negara-negara kafir. Hizbut Tahrir juga bermaksud untuk membangaun kembali Daulah Khilafah Islamiyyah dimuka bumi, sehingga urusan pemerintahan dapat dijalankan kembali sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah swt.[5]
Dalam surah Ali Imran ayat 104 telah memerintahkan kaum muslimin agar diantara mereka ada suatu kelompok yang bergerak dalam dua aktivitas yakni :
1.      Mengajak kapada kebaikan, yaitu mengajak kepada Islam
2.      Menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar.

D.    Tujuan Hizbut Tahrir
Sebagaimana diketahui bahwa setiap melakukan sesuatu pekerjaan maka pasti haruslah ada tujuan yang dimaksudkan, begitu pula dalam mendirikan sebuah harakah ataupun organisasi.
Begitu pula dengan Hizbut Tahriryang  bertujuan untuk melanjutkan kembali kehidupan yang islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Ini berarti, mengajak kaum muslimin untuk kembali hidup secara darul islam dan didalam masyarakat yang Islam. Dan seluruh aktifitas kehidupan di dalamnya diatur sesuai dengan hukum-hukum syara’.
Disamping itu, Hizbut Tahrir juga bertujuan untuk membangkitkan kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benar, melalui pola pikir yang cemerlang.
Dan tujuan Hizbut Tahrir lainnya adalah menyampaikan petunjuk Syari’at bagi umat manusia, dan memimpin untuk menentang ide-ide, sistem perundang-undangan kufur, maupu kekufuran itu sendiri secara menyeluruh sehingga islam dapat menyelimuti seluruh dunia.[6]
Tujuan dari perjuangan politik Hizbut Tahrir tidak lain untuk membebaskan umat Islam dari berbagai konsep, pemikiran, dan perasaan yang rusak. Hizbut Tahrir berjuang agar pemikiran Islam menjadi kesadaran umum, yang mampu mendorong umat agar bertindak sesuai dengan pemikiran tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan nyata.
Pemikiran Islam itu juga diharapkan mampu mengubah perasaan umat agar mereka mencintai apa pun yang dicintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan membenci segala yang dibenci Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Hizbut Tahrir berjuang untuk mewujudkan pola interaksi yang Islami di tengah masyarakat.Dengan demikian, wajar jika Hizbut Tahrirkemudian menjadi representasi umat Islam dalam perjuangan penerapan syariah Islam.[7]

E.     Aktivitas Hizbut Tahrir
Seluruh aktivitas Hizbut Tahrir yang dilakukan bersifat politik, dimana hizb memperhatikan urusan masyarakat sesuai hukum dan pemecahan yang syar’i.sebab, politik ialah mengatur dan memelihara urusan masyarakat sesuai dengan hukum dan pemecahan islam.[8]
Dalam aktivitas politik yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, ialah bukan politik yang diartikan sebagaimana sekarang ini dipahami.
Politik atau siyasah mempunyai makna mengatur urusan umat baik secara dalam maupun luar negeri.Politik dilaksanakan baik Negara maupun umat.Negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi pemerintah dalam melaksanakan tugasnya.
Definisi “politik” seperti disebut diatas umum pada semua orang, karena menggambarkan realitas aktivitas politik.Pendefinisian istilah politik ini, mirip dengan pendefinisian istilah “akal” “kejujuran” “kekuasaan, yaitu dengan menggambarkan realitas umum yang dipahami semua orang, sehingga masing-masing istilah tersebut mempunyai makna tunggal.Namun demikian, masing-masing kelompok manusia mempunyai aturan dan hukum-hukum yang berbeda dalam sistem politik mereka.Lebih lanjut secara bahasa kata politik (siyasah) berasal dari kata"ساس-يسوس-سياسة"[9]berarti memeliahara,yang dapat berarti pula mengurus kepentingan seseorang.[10]
Secara ringkasnya, Aktivitas yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir ialah aktivitas politik yakni mengurusi urusan ummat.
Aktivitas mengurusi urusan umat ini sangat terlihat jelas di dalam mendidik dan membina umat dengan tsaqafah Islam, meleburnya dengan islam, membebaskannya dari Akidah yang rusak, pemikiran yang salah, serta dari presepsi yang keliru, sekaligus membebaskannya dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan yang kufur.
Jadi aktivitas Hizbut Tahrir, semuanya bersifat politik, baik diluar perkara pemerintahan ataupun yang menyangkut pemerintahan.[11]

F.      Landasan Pemikiran Hizbut Tahrir

Hizbut Tahrir telah melakukan kajian, penelitian, dan studi, yang membandingkan antara kondisi umat sekarang yang sangat merosot, dengan umat masa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Khulafaur Rasyidin dan masa tabi’in. yang mana setelah melakukan kajian dengan berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, dan Qiyas, selain berpedoman pada ungkapan-ungkapan para sahabat, tabi’in, imam-imam dari kalangan mujtahdin, maka Hizb memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat, hukum-hukum, yang berkaitan dengan ide (fikrah), dan thariqoh (metode). Semua ide pendapat dan hukumnya, hanya berasal dari islam.
Hizbut Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukumnya, tersebut sesuai dengan ketentuan yang diperlukan dalam perjuangannya  untuk melangsungkan kehidupan islam serta serta mengemban dakwah islam ke seluruh penjuru dunia, dengan mendirikan Daulah Khilafah dan mengangkat seorang Khalifah.
Ide-ide, pendapat-pendapat, dan hukum-hukum yang telah dipilih dan ditetapkannya, telah dihimpun dalam berbagai buku dan selebaran.Semua itu telah ditetapkan dan disebarluaskan kepada umat. Dan beberapa bukunya yakni :
1.      Nizhamul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam)
2.      Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam)
3.      Nizhamul iqtishadi Fil Islami ( sistem ekonomi dalam islam)
4.      Nizhamul ijtima’I Fil Islami ( sistem pergaulan dalam islam)
5.      Takatul al-hizbi (pembentukan partai politik).
6.      Mafahim Hizbut Tahrir ( Pokok-pokok pikiran Hizbut Tahrir)
7.      Daulah Al-Islamiyah (Negara Islam)
8.      Syakhshiyah al-islamiyyah ( kepribadian islam)
9.      Mafahim siyasiyah li Hizbit Tahrir ( pokok-pokok pikiran politik Hizbut Tahrir)
10.  Nadlarat Siyasiyah li Hizbit Tahrir ( Pandangan politik Hizbut Tahrir). Dll[12]

G.    Metode Dakwah Hizbut Tahrir
      Dengan pola mengikuti pola dakwah Rasulullah, maka Hizbut Tahrir mengikuti  metode dakwah Rasulullah dengan beberapa tahapan dakwah sebagai berikut:
1.      Tahapan pembinaan dan pengkaderan (marhalah At-Tasqif), melalui halaqah-halaqah. Tahapa ini dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran dan model Hizbut Tahrir dalam rangka pembentukan kerangka tubuh partai.
2.      Tahapan berinteraksi dengan umat (marhalah tafa'ul ma’al ummah). Tahapan ini dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam. sehingga umat menjadikan Islam sebagai permasalahan umatnya, berjuang untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan.
3.      Tahapan pengambil alihan kekuasaan (marhalah istilam alhukm). Tahapan ini dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia.[13]
Alasan mengikuti tahapan ini dikarenakan mengikuti metode atau cara Rasulullah dan menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan ialah suatu kewajiban sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا(الأهذاب : 21)
Artinya :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (QS. Al Ahzab : 21)
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿آل عمران :31﴾
Artinya :
“Katakanlah: ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran : 31).

I.       Sejarah Masuknya Hizbut Tahrir Ke Indonesia
Hizbut Tahrir masuk keIndonesia pada tahun 1982-1983, karena semangat dakwah dan denganmisi mengembalikan Islam ke dalam sistem khilafah secara Internasional.Pada Awal 1980-an HT menyebar gagasan khilafahnya ke berbagai kampus perguruan tinggi melalui Jaringan Lembaga dakwah kampus.
Karena pada saat itu konstelasi politik dibawah orde baru belum memungkinkan gerakan organisasi ini untuk muncul, karena terjadi ancaman intimidasi dan pembubaran dari penguasa, sehingga gerakan ini hanya melakukan aktivitas "di bawah Meja Sistem Negara". Kemudian setelah lengsernya rezim soeharto tahun 1998 oleh gerakan reformasi, terjadi perubahan konstelasi politik, yakni era keterbukaan sehingga membuka peluang bagi organisasi-organisasi yang lama terkungkung oleh rezim soeharto mulai menampakkan statusnya termasuk Hizbut Tahrir.
Sejak terselenggarakannya Konferensi Internasional di Istora Senayan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Hizbut Tahrir Internasional maupun Nasional, serta dihadiri tokoh-tokoh organisasi lain, Hizbut Tahrir Indonesia resmi melakukan aktifitasnya di Indonesia secara terbuka sejak tahun 2000. Hizbut Tahrir dalam konteks Indonesia kemudian dikenal dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia kemudian disingkat dengan HTI.[14]



Jaringan Islam Liberal Indonesia
J.       Latar Belakang Perkembangan Jaringan Islam Liberal di Indonesia
Zaman modern ini banyak memunculkan masalah yang kompleks, permasalahan dari segala bidang kehidupan, baik bagi umat Islam sendiri ataupun masyarakat Indonesia pada umumnya.Para Intelektual Islam yang berhaluan liberal melihat dalam menghadapi era modern, umat Islam berada pada posisi tidak berkembang, terbelakang, dan beku pada satu titik yang memprihatinkan.Hal tersebut terjadi karena umat Islam menganggap Islam sebagai “Monumen” yang tidak boleh disentuh dan tidak boleh diperdebatkan. Oleh karena itu, berbagai permasalahan yang dihadapi, baik keagamaan seperti theology, nikah beda agama, jilbab bagi wanita, pemakaian simbol-simbol keagamaan, wahyu tidak terputus, semua agama adalah benar (pluralism agama), tidak adanya hukum Tuhan, maupun masalah sosial kemasyarakatan seperti, kesetaraan gender, prinsip keadilan, demokrasi, hak asasi manusia dan sebagainya, menurut kelompok Islam Liberal perlu ditinjau kembali sesuai dengan konteksnya.
Secara sejarah, Proses kemunculan pemikiran Islam liberal merupakan respon atau gerakan tandingan atau counter movement terhadap gerakan-gerakan fundamentalis-radikal di Indonesia yang mengemuka tidak lama setelah lengsernya Presiden Suharto pada tahun 1998. Dalam posisinya sebagai kelompok yang memperjuangkan ruang publik atau public sphere di Indonesia, jaringan ini berperan sebagai counter discourse bagi kelompok-kelompok radikal-konservatif muslim yang menyerukan penerapan syari’ah dan pembentukan negara Islam Indonesia.[15]Secara pemikiran, jaringan ini justru terus mendukung sistem demokrasi, kebebasan, dan kesetaraan sosial.
Secara bahasa, liberal sendiri jika dilihat sebagai adjektiva atau kata sifatadalah bersifat bebas; berpandangan bebas (luas dan terbuka).[16]Kata sifat ini sesuai dengan pola berfikir jaringan ini, bahwa Indonesia adalah bangsa majemuk/plural yang membutuhkan ruang publik, sehingga apapun yang menyangkut urusan bersama harus dimusyawarahkan secara bebas dan demokratis.
Dalam skala internasional, gagasan Islam liberal dapat kita lihat dalam pemikiran seperti Al-Tahtawi, Jamal Al-Din Al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Muhammad Rashid Ridha, Ali ‘Abd al-Raaziq. Fazlur Rahman, Muhammad Abed al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, ‘Abd al-KariSoroush, Fatima Mernissi, Muhammad Shahrour, Mohamed Arkoun, Asgar Ali Engineer, ‘Abdullahi Ahmad al-Na’im, Hasan Hanafi, dan Farid Essack. Mereka semua bertemu dalam titik episentrum pemikiran yang sama yaitu menyerukan untuk berijtihad, menghindari taklid, dan berusaha menafsirkan teks Islam secara substansial dan kontekstual, agar ia sesuai dengan tuntutan era modern.[17]
Di Indonesia, gagasan Islam liberal dapat kita telusuri perkemulaannya paling tidak sejak tahun 1970-an, ketika Nurcholish Madjid menulis sebuah artikel berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.Dalam artikel tersebut Madjid mulai memperkenalkan ide liberalisasi, sekularisasi, dan modernisasi Islam.[18]Karena pemikiranpemikirannya yang sangat berpengaruh, maka para aktivis Islam Liberal mengakui apabila dikatakan bahwa Nurcholish Madjid adalah lokomotif intelektual bagi wacana Islam liberal di Indonesia sekarang ini.
Selain Nurcholish Madjid, gagasan Islam Liberal di Indonesia juga dapat kita temukan pada para sarjana Muslim seperti Harun Nasution, A. Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Djohan Effendy, Ahmad Wahib, Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Dawam Rahardjo, untuk menyebutkan beberapa. Dalam pemikiran keislamannya, mereka cenderung menekankan Islam yang substantif dan inklusif.[19]

K.    Lahirnya Jaringan Islam Liberal di Indonesia
Jaringan Islam Liberal(Selanjutnya disebut JIL) adalah sebuah jaringan intelektual di Indonesia yang mempromosikan gagasan Islam liberal. JIL didirikan oleh para aktivis Utan kayu,[20] di Jakarta pada 8 April 2001.kelahiran JIL diprakarsai dan difasilitasi oleh budayawan Goenawan Muhammad. Sekitar pertengahan bulan Februari 2001, Goenawan Muhammad mengundang para tokoh muda yang konsern dengan gerakan pembaruan – sekitar 100 orang – untuk berkumpul di Utan Kayu, Jakarta, guna memperbincangkan isu seputar “Islam Liberal”. Diskusi ini merupakan diskusi perdana dari serial diskusi bulanan yang akan berlangsung lama, sampai sekarang (dalam lingkungan komunitas Teater Utan Kayu (TUK)). Dari hasil Perbincangan diskusi ini, akhirnya terbentuklah komunitas epistemic yang diberi nama Jaringan Islam Liberal.[21]
Pendirian JIL ditandai dengan peluncuran mailing list JIL, dan kemudian website JIL, www.Islamlib.com.JIL bukanlah organisasi formal seperti Muhammadiyyah dan Nahdatul Ulama.JIL hanyalah organisasi jaringan yang bersifat cair dan lepas.
Para aktivis JIL adalah dosen, sarjana, peneliti, jurnalis, dan mahasiswa dari seluruh Indonesia, yang mempunyai peran mempertemukan berbagai macam orang atau kelompok dilingkungannya masing-masing yang lebih kurangnya memiliki kesamaan ide atau gagasan tentang wacana Islam Liberal di daerah-daerah Indonesia. Jaringan nasional dimungkinkan karena adanya perkembangan teknologi internet, sehingga mereka bisa melakukan diskusi melalui mailing list. Dari sinilah terbentuk suatu komunikasi intensif yang mengarah pada pertukaran ide atau gagasan seputar perkembangan debat dikursus Islam klasik dan Islam kontemporer, baik yang sedang diperbincangkan dalam maupun luar negeri. Melalui jaringan milis, Islam liberal berupaya mendialogkan dan mengontektualisasikan wacana ke-Islaman dengan masalah-masalah ke-Indonesiaan yang sedang berkembang di tanah air, di antaranya pentingnya ide sekularisme, liberalisme dan pluralisme dalam melindungi kebebasan beragama Indonesia.
Para Intelektual muda Islam progresif yang terlibat JIL diantaranya : Goenawan Mohamad, Ahmad Sahal, Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukanie, Hamid Bayaib, dan Nong Darol Mahmada. Mereka boleh dikatakan tokoh-tokoh JIL generasi pertama ketika baru didirikan.Sementara yang terlibat dalam generasi kedua ialah Novriantoni, Abdul Moqsit Ghazali, Anick Hamin Tohari, Guntur Romli dan Burhanuddin.Para pendiri dan pengelola JIL ini sebenarnya sudah cukup lama mengungkapkan pemikiran atau gagasan Islam Liberal. Hal tersebut, sebagaimana diungkapkan aktivis JIL, Hamid Bayaib kurang lebih pergerakan pemikirannya dimulai sejak tahun akhir 80-an sampai 90-an. Menurut Luthfi Assyaukanie, sebagai gerakan lokal, Jaringan Islam Liberal baru berusia tujuh tahun (pada tahun 2008), tapi sebagai gerakan global, Islam Liberal dari mana istilah JIL berasal sesungguhnya telah berusia dua abad lebih. Mengambil patokan tahun 1798, ketika istilah ini mulai dipakai oleh tokoh modern India Asaf Fyze, istilah Islam Liberal mencapai 212 tahun.[22]
Secara teknis, istilah “Islam Liberal” yang digunakan JIL pada awalnya dipopulerkan oleh seorang sarjana Muslim India Asaf Ali Asghar Fyzee, di tahun 1950-an. Istilah tersebut menjadi tambah populer di Indonesia melalui dua buku, yaitu Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideologies (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1988) yang ditulis oleh Leonard Binder, dan Liberal Islam: a Source Book (New York and Oxford: Oxford University Press, 1998) yang diedit oleh Charles Kurzman. Disusul kemudian dengan diterbitkannya buku Greg Barton yang berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, 1968-1980 (Jakarta: Pustaka Antara-Paramadina, 1999).[23]
Secara ideologis, terbentuknya JIL dapat dilihat sebagai kristalisasi dan kelanjutan dari pemikiran dan gerakan Islam sebelumnya, baik dalam lingkup Indonesia secara khusus maupun di dunia secara umum.[24] Ide liberalisme Islam sebagai ciri khas JIL misalnya, tidak bisa dilepaskan dari gagasan dan pemikiran para sarjana muslim sebelumnya. Mengikuti para pendahulunya, JIL berpendapat bahwa agar Islam cocok dengan tuntutan era kontemporer, maka ia harus ditafsirkan secara substansial dan kontekstual.
Islam Kontekstual dan Islam Nusantara, kedua wacana ini diangkat dan dipopulerkan oleh Dr. Nurcholish Madjid pada era 1980-an. Sengaja digagas sebagai metode untuk mendinamisasikan Hukum Syari’at Islam agar sesuai dengan realitas tradisi di Indonesia, dan oleh Ulil Abshar Abdalla, dkk., diperkenalkan menusantarakan kembali (mendekontruksi) ajaran Islam, serta melegalkan tradisi Nusantara agar tegak sejajar dengan Syari’at Islam.[25]
Secara histori, JIL adalah sebuah organisasi yang lahir dan ada dalam konteks partikular Indonesia yang dicirikan dengan maraknya konservatisme, radikalisme dan fundamentalisme Islam pada awal era reformasi.Kelahiran JIL juga adalah respon terhadap maraknya kelompok-kelompok Islam yang menyuarakan penegakkan Syariat Islam, dengan agenda konkritnya yaitu tuntutan dimasukkannya tujuh kata dalam piagam Jakarta ke dalam konstitusi atau undang-undang. Maka tidak mengherankan apabila metode dan penafsiran al-Qur’an JIL mengarah pada paham dan ideologi tertentu, seperti tertera pada pembahasan selanjutnya.[26]
L.     Prinsip-prinsip etis dan Metodis Jaringan Islam Liberal
Ada dua prinsip yang dianut JIL[27], pertama, masalah prinsip-prinsip kerja etis para pemikir Islam Progresif; kedua, masalah metode, yaitu bagaimana cara para pemikir Islam Progresif memecahkan masalah-masalah sekularisme, liberalisme, dan prularisme melalui metode yang sekarang dikenal sebagai “Metode Islam Progresif” dalam mewacanakan pemikiran Islam. Prinsip Etis dan Metodis Islam Progresif ini telah berkembang lewat suatu wacana liberal Islam. Berikut adalah prinsip atau nilai etis yang dikembangkan oleh kalangan Islam Progresif sebagai prinsip etis, yaitu:
1.      Etika Keadilan
2.      Etika Kemaslahatan
3.      Etika Pembebasan
4.      Etika Kebebasan
5.      Etika Persaudaraan
6.      Etika Perdamaian
7.      Etika Kasih Sayang
Metode Pemikiran Islam Liberal adalah metode atau pemikiran yang dikembangkan oleh kalangan Islam Progresif sebagai dasar berpikir Islam Progresif, yaitu:
1.      Tafsir Al-Qur’an dalam Persepektif Liberal
2.      Dampak Penafsiran Tekstual
3.      Asbab al-Nuzul
4.      Nasik Mansukh
5.      Makkiyah dan Madaniyah
6.      Teori Ta’wil
7.      Mukhkamat dan Mutasyabihat
8.      Hermeneutika

M.   Penafsiran Al-Quran dan Pola Pemikiran JIL
Agama Islam adalah agama samawi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dilandaskan utamanya adalah Al-Quran dan Al-Hadits. Kedua landasan utama tersebut berupa nash-nash tafshihy(terperinci) dan mujnal(global). Nash tafshily merupakan nash yang tidak memerlukan penjelasan lebih luas, begitu sebaliknya dengan nash mujnal yang memerlukan perafsiran  untuk memahaminya lebih mendalam. Sepeninggal Rasulullah SAW hingga kini berkembanglah dua model penafsiran, yaitu tekstual dan kontekstual.Pemahaman tekstual adalah pemahaman terhadap agama yang terbatas pada nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits semata.Sedangkan pemahaman kontekstual ialah pengembangan pemikiran dari teks yang ada dalam Al-Quran dan Al-Hadits baik secara terpisah maupun terpadu, termasuk didalamnya pemahaman melalui pintu ijtihad.Pemahaman ini dilakukan secara komprehensif dan rasional terhadap kenyataan, baik fenomena alam maupun kemasyarakatan sebagai hasil penemuan ilmu pengetahuan.[28]Pemahaman yang kedua inilah yang digunakan oleh para intelektual Islam liberal dalam mengaplikasikan Al-Quran.
Sejak didirikannya, JIL telah mencoba menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan ide-ide liberalisme Islam yang mereka yakini, yaitu Islam yang dipahami secara liberal berdasarkan prinsip-prinsip: (1) terbukanya pintu ijtihad dalam seluruh dimensi Islam; (2) penafsiran yang menitik-beratkan pada aspek etikareligius, dan bukan pada makna tekstual-literalnya; (3) percaya pada kebenaran yang relatif, terbatas, dan temporal; (4) mengusung kebebasan menjalankan keyakinan agama; (5) pemihakan pada kaum tertindas dan pihak minoritas; dan (6) pemisahan antara urusan agama dan urusan dunia.[29]
Dengan membentuk jaringan ini JIL bermaksud untuk, pertama, mengembangkan penafsiran yang liberal atas Islam sesuai dengan prinsip-prinsip JIL dan kemudian mempromosikan dan menyebarkannya kepada masyarakat; kedua, mendorong bagi terciptanya ruang bagi dialog yang bebas dari segala bentuk tekanan; dan ketiga, membuat struktur sosial-politik yang adil dan berkemanusiaan di Indonesia.[30]
Sebagai fenomena sosial, kemunculan dan keberadaan JIL dapat dilihat sebagai produk wacana (product of discourse).[31] Pada awal kelahirannya, JIL merupakan sebuah respon terhadap kelompok-kelompok fundamental-radikal, tetapi karena ide-idenya yang liberal dan tidak biasa, maka pada gilirannya JIL menjadi objek respon.Pada perkembangannya, JIL cenderung menjadi objek kritikan.Oleh karena itulah, sebagian gagasan-gagasan JIL adalah hasil dari atau termotivasi oleh kritikan-kritikan ini, termasuk dalam hal ini metode tafsirnya. Gagasan metodologi tafsir JIL sesungguhnya termotivasi oleh banyaknya kalangan yang mempertanyakan epistemologi yang mereka gunakan dalam proses penetapan hukum (Istinbat al-Hukm).[32]
Dalam buku Metodologi Studi al-Qur’an,[33] JIL menawarkan sebuah metode dan pendekatan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Pertama, terkait cara memandang Al-Qur’an; kedua, terkait metode bagaimana menafsirkan Al-Qur’an; dan ketiga, terkait tujuan dan hasil penafsirannya. Dengan pengetahuan tentang ketiga hal tersebut, kita akan dapat memahami kenapa JIL bisa sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dengan mainstream dan cenderung menjadi kontroversi, termasuk dalam memahami konsep Syariat Islam dan ayat-ayat Hudud.[34]
Pertama, terkait cara memandang al-Qur’an. Menurut JIL, agar Al-Qur’an bisa dipahami dengan tepat, maka ia harus dikaji secara historis.[35] Oleh karena itulah maka JIL memahami teks al-Qur’an dalam konteks historisnya, yaitu pada waktu ia diwahyukan (process of revelation), ditulis (process of codification) dan disebarkan (process of dissemination).
Menurut JIL, wahyu seharusnya jangan dipandang sebagai teks yang sempurna pada saat ketika ia diturunkan. Setiap kitab suci adalah hasil proses panjang pengumpulan, pengeditan, modifikasi dan kodifikasi dari bentukawalnya yang terserak sampai pada bentuk akhirnya seperti yang kita ketahui sekarang ini.[36]
Terkait konsep wahyu ini, JIL juga mengkritik konsep pewahyuan seperti yang biasa dijelaskan oleh para sarjana klasik, yaitu sebagai proses pengkopian—di mana Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi melalui Jibril, adalah kopi dari Al-Qur’an yang komplit yang ada di lawh Al-mahfuz.  JIL menolak pendapat ini, karena menurutnya, pemahaman tersebut akan mengarah pada keyakinan bahwa pesan Tuhan itu diwahyukan secara literal (harfiyyah) dan, konsekuensinya, teks (Arab) al-Qur’an seperti yang kita dapati sekarang adalah dari Tuhan. Menurut Luthfi Assyaukanie, salah seorang tokoh JIL, konsep yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan secara literal (lafdzan) dan makna (ma‘nan) hanyalah imajinasi teologis (al-khayal aldini) yang dibuat oleh para sarjana Muslim sebagai bagian dari proses formalisasi doktrin-doktrin Islam.[37]
Berbeda dengan pandangan konvensional yang melihat Nabi Muhammad sebagai agen yang pasif dalam proses pewahyuan, bagi JIL, Nabi berperan aktif dalam mentransformasikan ide Tuhan ke dalam bahasa manusia (bahasa Arab). Oleh karena itu, teks al-Qur’an menurut JIL, sejatinya adalah ujaran atau tekstualisasi Nabi atas wahyu.Pendapat ini menggiring pada pandangan bahwa teks al-Qur’an itu tidak sakral, yang sakral itu hanya maknanya.[38]
Pandangan JIL tersebut tidaklah mengherankan karena metode pendekatan mereka dalam memahami konsep wahyu, kodifikasi-unifikasi, dan diseminasi al-Qur’an, adalah historis, antropologis, dan humanis. Melalui pendekatan seperti ini, JIL ingin menunjukkan bahwa proses pembukuan dan pembakuan al-Qur’an sebagai kitab yang suci dan sakral seperti yang kita yakini sekarang ini adalah hasil dari proses perjalanan panjang sejarah manusia (Muslim).[39]
Kedua, terkait metode bagaimana menafsirkan al-Qur’an. Berdasarkan pada kajian atas hakikat dan historisitas teks al-Qur’an, maka JIL seakan “meragukan” keabsolutan teks al-Qur’an.Oleh karena itulah maka JIL kemudian menyarankan untuk menafsirkan al-Qur’an secara substansial, yaitu dengan mempertimbangkan aspek ethico-legis (semangat etis) dari al-Qur’an sebagai pusat edar penafsiran. Sambil menolak pemahaman literal-tekstual[40] terhadap al-Qur’an, JIL menawarkan apa yang mereka sebut dengan penafsiran di balik teks (beyond text interpretation).
Terkait metodologi tafsirnya ini, JIL membagi ayat-ayat al-Qur’an pada dua bagian: pertama, ayat-ayat fundamental (usul) dan kedua, ayat-ayat cabang (fusul). Apabila yang pertama bersifat absolut dan tidak bisa berubah, maka yang kedua, menurut JIL, bisa ditafsirkan dan diubah sesuai dengan perkembangan sejarah manusia, atau dengan apa yang mereka sebut dengan “akal publik” (‘aql al-mujtama‘).[41] Lebih jauh JIL menjelaskan bahwa selain dari ayat-ayat tentang ritual seperti shalat, puasa, dan haji, serta aturan terkait makanan dan minuman, semua ayat-ayat hukum yang diturunkan di Madinah harus dilihat sebagai ayat-ayat temporal-kontekstual dan terbatas pada kehidupan masyarakat Arab pada abad ke-7 Hijriah.
            Ketiga, terkait tujuan dan hasil penafsirannya. Dari metodologi dan hasil-hasil ijtihad JIL dalam beberapa buku dan websitenya, terlihat jelas bahwa tujuan dan kepentingan penafsiran mereka, sesuai dengan misi awal kelahirannya, adalah ingin menampilkan Islam yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam Liberal, yaitu kebebasan, liberalisme, sekularisme, kesetaraan jender, dan demokrasi.
            Hal ini harus dipahami, bahwa JIL adalah sebuah organisasi yang lahir dan ada dalam konteks gerakan pembaruan di Indonesia yang dicirikan dengan maraknya konservatisme, radikalisme dan fundamentalisme Islam pada awal era reformasi. Kelahiran JIL juga adalah respon terhadap maraknya kelompok-kelompok Islam yang menyuarakan penegakkan Syariat Islam, dengan agenda konkritnya yaitu tuntutan dimasukkannya tujuh kata dalam piagam Jakarta ke dalam konstitusiatau undang-undang. Maka tidak mengherankan apabila metode dan penafsiran al-Qur’an JIL mengarah pada paham dan ideologi tertentu.[42]
N.    Kesimpulan
Gerakan Islam kontemporer saat ini sedang mengalami perkembangan pesat, baik gerakan yang berideologi radikal ataupun liberal.Hal ini menjadi salah satu tantangan dalam berkehidupan bangsa dan bernegara serta beragama. Gerakan-gerakan baru yang berada di Indonesia dan berkembang di Indonesia yang menjadi fenomenal ditengah-tengah masyarakat, yakni  gerakan jaringan Indonesia liberal yang menggabung kan antara agama Islam dengan paham liberal serta sekularisme, dan juga gerakan yang mengangkat tema khilafah ala minhaj An-nubuwah yakni  Hizbut Tahrir , yang lebih dikenal dengan sebutan HTI. Dua gerakan ini adalah gerakan baru yang dalam ideologinya sangat bertolak belakang, antara Radikal yang diwakili oleh HTI, dan Liberal yang diwakili oleh JIL.

Catatan:
1.      Makalah ini format tidak sesuai denggan format acuan, terlihat masih kacau dan perlu perlu diperbaiki, sehingga bisa dibaca dengan baik.
2.      Tolong dipahami lagi mengenai cara penulisan footnote, termasuk bagaimana cara menulis footnote yang sama.
3.      Daftar pustaka masih belum ada.


[1] Abu Za’rur, Seputar Gerakan Islam/Ash-Shahwah al-islamiyyah bayn al-waqi’ wa Tathla’at al-Mustaqbal, Bogor: Al-Azhar Press, 2012 M/1433 H, hlm 117.
[2]Ibid, hlm 119.
[3]Ibid, hlm 121.
[4]Tim Hizbut Tahrir, Manifesto Hizbut tahrir untuk Indonesia: Indonesia Khilafah dan penyatuan kembali dunia Islam, (Jakarta: HTI Press, 2009), hlm 71
[5] Hizbut Tahrir, mengenal hizbut tahrir dan strategi dakwah hizbut tahrir/ hizb at-tahrir mahaj hizbut tahrir fi taghyr, Bogor: Pustaka thariqul izzah cet.6 2014 M/1435 H. hlm 5
[6]Ibidhlm.25.
[7]Tim Hizbut Tahrir, Opcit  hlm 69.
[8] Hizbut Tahrir, Opcit hlm 30.
[9]  Prof. DR. H. Mahmud Yunus,Kamus Arab-Indonesia, Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah 2010 hlm 184
[10] Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam/Political Thought (Afkaru siyasiyyah), Bangil: Al-Izzah, 2001 M/1422 H, hlm.11
[11] Hizbut Tahrir, op cit hlm 31
[12]  Hizbut Tahrir, op cit hlm 36-37
[13] Zainal Abidin, SKRIPSI GERAKAN POLITIK HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI) SEBAGAI ORGANISASI ISLAM EKSTRA PARLEMENTER DI INDONESIA PASCA REFORMASI, Semarang : Institut Agama Islam Negeri  Walisongo, hlm 36.
[14] Zainal Abidin, Opcit hlm 39.
[15]Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013 ):63-86, Hal. 67
[16] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[17] Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud", Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013 ):63-86,  Hal. 68
[18] Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013):63-86, hal.69 dikutip dari Nurcholish Madjid, “Islam Kemodernan dan Keindonesiaan” (Bandung: Mizan, 2008), new edition, 225-259; Lihat juga Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hal.15.
[19] Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013):63-86,  hal.69
[20] Mereka adalah Goenawan Mohamad, Ahmad Sahal, Nong Darol Mahmada, Ulil Abshar Abdalla, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, Taufik Adnan Amal, Saiful Mujani dan Luthfi Assyaukanie. Lihat Ramy el-Dardiry.
[21] Budhy Munawar , Rachman, “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme” (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 31.
[22]Budhy Munawar , Rachman, “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme” (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 31-33.
[23]Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 63-86. Hal.70

[24]Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 63-86. Hal.68 dikutip dari Muhamad Ali, “The Rise of the Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary Indonesia” The American Journal of Islamic Social Sciences 22:1, 4._
[25] Alil Wafa, “Segitiga Berduri “ (Pasuruan: Sidogiri Mandiri Utama), hlm. 25
[26] Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 63-86, Hal.72
[27] Budhy Munawar , Rachman, “Argumen Islam untuk Liberalisme” (Jakarta: Grasindo, 2010), hal. 124-125 dan XV-XVI.
[28] Tim Peneliti Puslitbang, “Paham-Paham Keagamaan Liberal pada Masyarakat Perkotaaan”,  (Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta), hal.1
[29]Budhy Munawar , Rachman, “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme” (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 31.

[32] Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 63-86, hal.69
[33]Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 63-86., hal. 69 dalam  kutipannya “Ditulis oleh tiga pemikir dan aktivis JIL, yaitu: Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, and Ulil Abshar-Abdalla. Lihat Metodologi Studi al-Qur’an (Jakarta: Gramedia, 2009).”
[34] Cucu Surahman, " Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 63-86 hal.70
[35] Cucu Surahman, " Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 63-86 hal.70 dalam kutipannya “Bagi JIL, historisitas al-Qur’an ini didasarkan pada empat hal: pertama, Tuhan telah memilih bahasa manusia (Arab) sebagai alat komunikasi antara Tuhan dan Muhammad; kedua, keterlibatan Nabi Muhammad sebagai penerima dan sebagai penafsir telah sama-sama menentukan proses pengujaran dan tekstualisasi Al-Qur’an; ketiga, prinsip graduasi (tajrid) yang digunakan oleh Al-Qur’an dalam mengejawantahkan ajarannya; dan keempat, sejak turunnya (tanzil),  Al-Qur’an telah berdialog dengan realitas.”
[36]Ibid.
[37]Ibid.
[38] Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 64-86 hal.70 dalam kutipannya “Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah (w. 148/767).Berdasarkan argumentasi ini, dia membolehkan menggunakan terjemah Al-Qur’an dalam shalat. Lihat Mahmud Shaltut, al-Islam Aqidah wa Shari‘ah (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 483. Secara teologis, pandangan JIL tentang hakikat al-Qur’an ini lebih dekat ke Mu’tazilah yang meyakini bahwa al- Qur’an itu baru (hadith) dan makhluk (makhluq), dari pada ke Ash‘ariah yang meyakini bahwa al-Qur’an itu abadi (qadim) dan bukan makhluk (ghair makhluq). Lihat Qadi ‘Abd al-Jabbar, Sharhfi al-Usul al-Khamsah (Cairo: Maktabah Wahbah, tt.), 525; Abu al-Hasan al-Ash’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah (Kairo: Dar al-T}aba’ah Darb al- Atrak, tt), 17-34; dan al-Shahrashtani, Kitab Nihayah al-Iqdam fi ‘Ilm al-Kalam, 268-
340.”
[39] Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 64-86 hal.71 dalam kutipannya “Bagi JIL, Al-Qur’an yang ada sekarang ini bukanlah hanya merupakan campur tangan Tuhan saja, tetapi juga melibatkan Nabi, para penafsir, dan umat secara historis.” Lihat Abd Moqsith Ghazali, et.al., Metodologi Studi Al-Qur’an, 3 dan 70.
[40]Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 64-86, hal.64 dalam kutipannya “Penafsiran Tekstualis adalah penafsiran yang mendasarkan pada makna literalteks al-Qur’an.Penafsirannya terutama didasarkan pada analisis kebahasaan daripadaanalisis historis. Pendekatan ini dilandaskan pada keyakinan bahwa bahasa al-Qur’anmemiliki rujukan yang konkrit dan tidak berubah, serta makna yang cocok bagi segala
konteks zaman. Lihat Abdullah Saeed, The Qur’an: Introduction, 220.”
[41] Abd Moqsith Ghazali, et.al., Metodologi Studi Al-Qur’an, 164-166.
[42] Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudud",  Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 64-86, hal.77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar