GERAKAN-GERAKAN BARU DI INDONESIA
Achmad Rizky Afandi (16150042), Wilda Wahyu Al-Mubarok (16150047), Novan
Dymas Pratama (16150049), Nurul Fadhilah
Fakaubun (16150107)
PENDIDIKAN BAHASA ARAB ANGKATAN 2016
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Abstract
This article was written with a simple review of some contemporary Islamic movements by having several categories, and the main purpose is why these movements were established was the desire to return to the life of Islam.And also discuss the new movements that are in Indonesia and growing in Indonesia that became phenomenal in the midst of society, namely the liberal Indonesia network movement that combine the past religion with the notion of liberalism and secularism.This discussion not only discusses the development and thinking of liberal Islam, but also discusses the thoughts and activities of one political party movement that carries the idea of khilafah ala minhaj An-nubuwah namely Hizbut Tahrir, better known as HTI.
Keyword : Harakah Islam Contemporary, Liberal Islam, Hizbut Tahrir Indonesia
Abstrak
Ditulisnya artikel ini dengan sederhana yang mengulas beberapa
gerakan-gerakan Islam kontemporer dengan memiliki beberapa kategori , dan
tujuan utama mengapa didirikan gerakan-gerakan tersebut yakni keinginan ingin
kembali kepada kehidupan islam. Dan membahas pula gerakan-gerakan baru yang
berada di Indonesia dan berkembang di Indonesia yang menjadi fenomenal ditengah-tengah
masyarakat, yakni gerakan jaringan
Indonesia liberal yang menggabung kan antara agama silam dengan paham
liberalism serta sekularisme.Pembahasan ini tidak hanya membahas tentang
perkembangan dan pemikiran islam liberal, melainkan juga membahas tentang
pemikiran dan aktivitas salah satu gerakan partai politik yang mengusung ide khilafah
ala minhaj An-nubuwah yakni Hizbut
Tahrir , yang lebih dikenal dengan sebutan HTI.
Kata kunci : Harakah islam Kontemporer, Islam Liberal, Hizbut Tahrir Indonesia
Hizbut Tahrir Indonesia
A.
Sekilas
Gerakan Islam Kontemporer( Pertumbuhan, tujuan dan metode )
Dalam mempelajari
gerakan-gerakan atau harakah-harakah kontemporer islam, maka akan dipelajari
dengan pembagian dalam tiga kategori utama yakni:
Pertama,
harakah atau jama’ah dakwah yang berjuang untuk mewujudkan perubahan menyeluruh
di tengah-tengah masyarakat dengan metode maraih kekuasaan dan penerapan
hukum-hukum islam sebagai pengganti sistem-sistem yang sedang eksis saat ini.
Kedua,
harakah atau jama’ah dakwah yang berjuang melakukan perbaikan
individu-individu, penyabaran ibadah dan keterikatan individual terhadap
hukum-hukum islam; tanpa bertujuan mengubah masyarakat sebagai suatu
keselurruhan; juga tanpa beraktivitas mewjujudkan perubahan mendasar di
tengah-tengah masyarakat, yakni perubahan sistem dan perundang-undangan yang
diterapkan atas manusia saat ini.
Ketiga,
harakah atau jama’ah dakwah yang memiliki tujuan yang sesaat yang
terbatas.Harakah/jama’ah dakwah demikian kadang hanya khusus disuatu wilayah
atau beberapa wilayah saja.[1]
Harakah dan
jama’ah dakwah Islam yang tegak di Dunia
Islam saat ini, baik yang terdahulu maupun yang belakangan, banyak jumlahnya,
dengan tujuan yang beragam. Dalam hal ini mereka berbeda dalam hal thariqah atau
metode aktivitas yang mereka lakukan untuk mencapai pada tujuan masing-masing.
Oleh sebab itu,
maka dalam jurnal ini tidak akan membahas seluruh aktivitas dakwah dan metode
serta tujuan oleh setiap harakah atau jama’ah dakwah, namun dalam jurnal ini
akan memberikan pemaparan sekilas tentang beberapa harakah atau jama’ah
kontemporer yang berkaitan dengan kategori pertama sesuai yang telah dijelaskan
di atas, yakni sebagai berikut:
1.
Jama’ah
Ikhwanul Muslimin
2.
Jama’ah
Al-Islami di India dan Pakistan
3.
Dakwah
Salafiyah (Gerakan Salafi)
4.
FIS
(al-jabhah al-islamiyyah li al-Inqadz fi al-Jaza’ir -Front Islami Untuk Pembebasan) di
Al-Jazair
5.
Tannzimul
Jihad di Mesir
6.
Hizbut
Tahrir
7.
Gerakan
An-Nahdhah (Harakah Kebangkitan) di Tunisia
8.
Harakah
Ath-Thala’i Al-Islamiyyah (Harakah Pelopor Islam)
9.
Hizb
Jabhah al-‘Amal al-Islami ( Partai front amal islami ) di Yordania
10.
Harakah
Al-Mahdiyyah di Sudan.[2]
Adapun maksud dari pemaparan harakah-harakah diatas ialah bahwa
jika para pembaca meyakini bahwa ingin
untuk melanjutkan kehidupan islam maka menjadi suatu yang tidak dipungkiri atau suatu keharusan untuk bergabung dalam
harakah atau pun kelompok atau jama’ah yang ia lihat paling kuat untuk diikuti
dan paling sesuai dengan metode Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam. Karena
dalam suatu perjuangan untuk kembali ke kehidupan islam tidak mungkin dapat
dilakukan secara individual. Dan dapat dikatakan bahwa aktivitas Individual
tidak akan mampu mewujudkan kehidupan islam zaman sekarang. Sebagaimana dalam
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى
الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104).
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104).
Kata ummah disiniberarti
jama’ah. Orang yang mengkaji perjalanan para nabi, orang yang shalih dan para
pemimpin akan melihat dengan jelas bahwa aktifitas yang menghasilkan
(produktif) dan berpengaruh senantiasa merupakan aktivitas Jama’I dan
bukannya aktifitas individual.[3]
B.
Pergerakan Di Indonesia
Dari harakah-harakah
Islam kontemporer yang dibahas pada subjudul diatas maka dalam jurnal ini akan
membahas pula pergerakan atau harakah
yang masuk ke Indonesia dan gerakan baru di Indonesia.
Sebagaimana
telah kita ketahui bahwa banyak gerakan-gerakan islam yang ada di Indonesia
yang memiliki pula tujuan serta metodenya, seperti Nahdhatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
Front Pembela Islam (FPI), Jama’ah Tabligh, dan lain-lain.
Dalam jurnal
ini tidak akan dikaji satu-persatu gerakan-gerakan yang telah disebutkan,
melainkan disini akan membahas gerakan yang di Indonesia yang masih dianggap
baru, yang salah satunya yakni Hizbut Tahrir, yang biasa dikenal oleh
masyarakat luas dengan sebutan “HTI”.
C.
Latar belakang kelahiran Hizbut Tahrir
Indonesia
Hizbut Tahrir didirikan pada tahun 1953 M/1372 H olehSyaikh
Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismailbin Yusuf an-Nabhani, seorang
ulama yang mencapaiderajat mujtahid mutlak, seorang hakim (qadhi)
padaMahkamah Banding di al-Quds, serta seorang politisiulung. Beliau berasal
dari sebuah “keluarga ilmu”, karenakedua orang tua beliau adalah ahli syariah
Islam (faqih).
Selain
itu, kakek buyut beliau, yakni Syaikh Yusuf binHasan bin Muhamad an-Nabhani
as-Syafi’iy, Abu Mahasin,adalah seorang ulama, penyair dan salah seorang
hakimpada masa Daulah Khilafah.
Setelah
Syaikh an-Nabhani wafat pada tahun 1977 M/1396 H, kedudukan beliau digantikan
oleh Syaikh Abdul Qadim Yusuf Zallum, salah seorang yang telah membantu
dakwah beliau sejak Hizb berdiri.[4]
Latar Belakang berdirinya Hizbut Tahrir didirikan dalam rangka
memenuhi seruanAllah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surah Ali Imran ayat 104:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى
الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104).
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. 3:104).
Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali
umat islam dari kemerosotan yang sangat parah, membebaskan umat dari ide-ide,
sistem atau perundang-undangan dan hukum-hukum kufur; serta membebaskan mereka
dari kekuasaan dan dominasi Negara-negara kafir. Hizbut Tahrir juga bermaksud
untuk membangaun kembali Daulah Khilafah Islamiyyah dimuka bumi,
sehingga urusan pemerintahan dapat dijalankan kembali sesuai dengan apa yang
diturunkan oleh Allah swt.[5]
Dalam
surah Ali Imran ayat 104 telah memerintahkan kaum muslimin agar diantara mereka
ada suatu kelompok yang bergerak dalam dua aktivitas yakni :
1.
Mengajak
kapada kebaikan, yaitu mengajak kepada Islam
2.
Menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar.
D.
Tujuan
Hizbut Tahrir
Sebagaimana diketahui bahwa setiap melakukan sesuatu pekerjaan maka
pasti haruslah ada tujuan yang dimaksudkan, begitu pula dalam mendirikan sebuah
harakah ataupun organisasi.
Begitu pula dengan Hizbut Tahriryang bertujuan untuk melanjutkan kembali kehidupan
yang islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Ini berarti,
mengajak kaum muslimin untuk kembali hidup secara darul islam dan didalam
masyarakat yang Islam. Dan seluruh aktifitas kehidupan di dalamnya diatur
sesuai dengan hukum-hukum syara’.
Disamping itu, Hizbut Tahrir juga bertujuan untuk membangkitkan
kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benar, melalui pola pikir yang
cemerlang.
Dan tujuan Hizbut Tahrir lainnya adalah menyampaikan petunjuk
Syari’at bagi umat manusia, dan memimpin untuk menentang ide-ide, sistem
perundang-undangan kufur, maupu kekufuran itu sendiri secara menyeluruh
sehingga islam dapat menyelimuti seluruh dunia.[6]
Tujuan
dari perjuangan politik Hizbut Tahrir tidak lain untuk membebaskan umat Islam
dari berbagai konsep, pemikiran, dan perasaan yang rusak. Hizbut Tahrir
berjuang agar pemikiran Islam menjadi kesadaran umum, yang mampu mendorong umat
agar bertindak sesuai dengan pemikiran tersebut dan menerapkannya dalam
kehidupan nyata.
Pemikiran
Islam itu juga diharapkan mampu mengubah perasaan umat agar mereka mencintai
apa pun yang dicintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan membenci segala yang
dibenci Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Hizbut
Tahrir berjuang untuk mewujudkan pola interaksi yang Islami di tengah
masyarakat.Dengan demikian, wajar jika Hizbut Tahrirkemudian menjadi
representasi umat Islam dalam perjuangan penerapan syariah Islam.[7]
E.
Aktivitas
Hizbut Tahrir
Seluruh
aktivitas Hizbut Tahrir yang dilakukan bersifat politik, dimana hizb
memperhatikan urusan masyarakat sesuai hukum dan pemecahan yang syar’i.sebab,
politik ialah mengatur dan memelihara urusan masyarakat sesuai dengan hukum dan
pemecahan islam.[8]
Dalam
aktivitas politik yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, ialah bukan politik yang
diartikan sebagaimana sekarang ini dipahami.
Politik
atau siyasah mempunyai makna mengatur urusan umat baik secara dalam maupun luar
negeri.Politik dilaksanakan baik Negara maupun umat.Negara adalah institusi
yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya.
Definisi
“politik” seperti disebut diatas umum pada semua orang, karena menggambarkan
realitas aktivitas politik.Pendefinisian istilah politik ini, mirip dengan
pendefinisian istilah “akal” “kejujuran” “kekuasaan, yaitu dengan menggambarkan
realitas umum yang dipahami semua orang, sehingga masing-masing istilah
tersebut mempunyai makna tunggal.Namun demikian, masing-masing kelompok manusia
mempunyai aturan dan hukum-hukum yang berbeda dalam sistem politik mereka.Lebih
lanjut secara bahasa kata politik (siyasah) berasal dari kata"ساس-يسوس-سياسة"[9]berarti memeliahara,yang dapat berarti pula mengurus kepentingan
seseorang.[10]
Secara
ringkasnya, Aktivitas yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir ialah aktivitas politik
yakni mengurusi urusan ummat.
Aktivitas
mengurusi urusan umat ini sangat terlihat jelas di dalam mendidik dan membina
umat dengan tsaqafah Islam, meleburnya dengan islam, membebaskannya dari
Akidah yang rusak, pemikiran yang salah, serta dari presepsi yang keliru,
sekaligus membebaskannya dari pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan yang
kufur.
Jadi
aktivitas Hizbut Tahrir, semuanya bersifat politik, baik diluar perkara
pemerintahan ataupun yang menyangkut pemerintahan.[11]
F.
Landasan
Pemikiran Hizbut Tahrir
Hizbut
Tahrir telah melakukan kajian, penelitian, dan studi, yang membandingkan antara
kondisi umat sekarang yang sangat merosot, dengan umat masa Rasulullah Shallahu
‘Alaihi Wa Sallam, Khulafaur Rasyidin dan masa tabi’in. yang mana setelah
melakukan kajian dengan berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, dan Qiyas,
selain berpedoman pada ungkapan-ungkapan para sahabat, tabi’in, imam-imam dari
kalangan mujtahdin, maka Hizb memilih dan menetapkan ide-ide,
pendapat-pendapat, hukum-hukum, yang berkaitan dengan ide (fikrah), dan
thariqoh (metode). Semua ide pendapat dan hukumnya, hanya berasal dari islam.
Hizbut
Tahrir telah memilih dan menetapkan ide-ide, pendapat-pendapat, dan
hukum-hukumnya, tersebut sesuai dengan ketentuan yang diperlukan dalam
perjuangannya untuk melangsungkan
kehidupan islam serta serta mengemban dakwah islam ke seluruh penjuru dunia,
dengan mendirikan Daulah Khilafah dan mengangkat seorang Khalifah.
Ide-ide,
pendapat-pendapat, dan hukum-hukum yang telah dipilih dan ditetapkannya, telah
dihimpun dalam berbagai buku dan selebaran.Semua itu telah ditetapkan dan
disebarluaskan kepada umat. Dan beberapa bukunya yakni :
1.
Nizhamul
Islam (Peraturan Hidup dalam Islam)
2.
Nizhamul
Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam)
3.
Nizhamul
iqtishadi Fil Islami ( sistem ekonomi dalam islam)
4.
Nizhamul
ijtima’I Fil Islami ( sistem pergaulan dalam islam)
5.
Takatul
al-hizbi (pembentukan partai politik).
6.
Mafahim
Hizbut Tahrir ( Pokok-pokok pikiran Hizbut Tahrir)
7.
Daulah
Al-Islamiyah (Negara Islam)
8.
Syakhshiyah
al-islamiyyah ( kepribadian islam)
9.
Mafahim
siyasiyah li Hizbit Tahrir ( pokok-pokok
pikiran politik Hizbut Tahrir)
G.
Metode
Dakwah Hizbut Tahrir
Dengan
pola mengikuti pola dakwah Rasulullah, maka Hizbut Tahrir mengikuti metode dakwah Rasulullah dengan beberapa
tahapan dakwah sebagai berikut:
1.
Tahapan
pembinaan dan pengkaderan (marhalah At-Tasqif), melalui halaqah-halaqah.
Tahapa ini dilaksanakan untuk membentuk kader-kader yang mempercayai pemikiran
dan model Hizbut Tahrir dalam rangka pembentukan kerangka tubuh partai.
2.
Tahapan
berinteraksi dengan umat (marhalah tafa'ul ma’al ummah). Tahapan ini
dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam. sehingga umat
menjadikan Islam sebagai permasalahan umatnya, berjuang untuk mewujudkannya
dalam realitas kehidupan.
3.
Tahapan
pengambil alihan kekuasaan (marhalah istilam alhukm). Tahapan ini
dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah
Islam ke seluruh dunia.[13]
Alasan mengikuti tahapan ini dikarenakan mengikuti metode atau cara
Rasulullah dan menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan ialah suatu
kewajiban sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا(الأهذاب :
21)
Artinya :
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari Kiamat,
dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat Allah).” (QS. Al Ahzab : 21)
قُلْ إِن
كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿آل عمران :31﴾
Artinya :
“Katakanlah:
‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.”
(QS. Ali Imran : 31).
I.
Sejarah
Masuknya Hizbut Tahrir Ke Indonesia
Hizbut Tahrir masuk keIndonesia pada tahun 1982-1983, karena
semangat dakwah dan denganmisi mengembalikan Islam ke dalam sistem khilafah secara
Internasional.Pada Awal 1980-an HT menyebar gagasan khilafahnya ke berbagai
kampus perguruan tinggi melalui Jaringan Lembaga dakwah kampus.
Karena pada saat itu konstelasi politik dibawah orde baru belum
memungkinkan gerakan organisasi ini untuk muncul, karena terjadi ancaman
intimidasi dan pembubaran dari penguasa, sehingga gerakan ini hanya melakukan
aktivitas "di bawah Meja Sistem Negara". Kemudian setelah lengsernya
rezim soeharto tahun 1998 oleh gerakan reformasi, terjadi perubahan konstelasi
politik, yakni era keterbukaan sehingga membuka peluang bagi
organisasi-organisasi yang lama terkungkung oleh rezim soeharto mulai
menampakkan statusnya termasuk Hizbut Tahrir.
Sejak terselenggarakannya Konferensi Internasional di Istora
Senayan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Hizbut Tahrir Internasional maupun
Nasional, serta dihadiri tokoh-tokoh organisasi lain, Hizbut Tahrir Indonesia
resmi melakukan aktifitasnya di Indonesia secara terbuka sejak tahun 2000.
Hizbut Tahrir dalam konteks Indonesia kemudian dikenal dengan nama Hizbut
Tahrir Indonesia kemudian disingkat dengan HTI.[14]
Jaringan Islam Liberal Indonesia
J. Latar Belakang Perkembangan Jaringan Islam Liberal di
Indonesia
Zaman modern ini banyak memunculkan
masalah yang kompleks, permasalahan dari segala bidang kehidupan, baik bagi
umat Islam sendiri ataupun masyarakat Indonesia pada umumnya.Para Intelektual
Islam yang berhaluan liberal melihat dalam menghadapi era modern, umat Islam
berada pada posisi tidak berkembang, terbelakang, dan beku pada satu titik yang
memprihatinkan.Hal tersebut terjadi karena umat Islam menganggap Islam sebagai
“Monumen” yang tidak boleh disentuh dan tidak boleh diperdebatkan. Oleh karena
itu, berbagai permasalahan yang dihadapi, baik keagamaan seperti theology, nikah
beda agama, jilbab bagi wanita, pemakaian simbol-simbol keagamaan, wahyu tidak
terputus, semua agama adalah benar (pluralism agama), tidak adanya hukum Tuhan,
maupun masalah sosial kemasyarakatan seperti, kesetaraan gender, prinsip
keadilan, demokrasi, hak asasi manusia dan sebagainya, menurut kelompok Islam
Liberal perlu ditinjau kembali sesuai dengan konteksnya.
Secara sejarah, Proses kemunculan
pemikiran Islam liberal merupakan respon atau gerakan tandingan atau counter
movement terhadap gerakan-gerakan fundamentalis-radikal di Indonesia yang
mengemuka tidak lama setelah lengsernya Presiden Suharto pada tahun 1998. Dalam
posisinya sebagai kelompok yang memperjuangkan ruang publik atau public
sphere di Indonesia, jaringan ini berperan sebagai counter discourse
bagi kelompok-kelompok radikal-konservatif muslim yang menyerukan penerapan
syari’ah dan pembentukan negara Islam Indonesia.[15]Secara
pemikiran, jaringan ini justru terus mendukung sistem demokrasi, kebebasan, dan
kesetaraan sosial.
Secara bahasa, liberal sendiri jika
dilihat sebagai adjektiva atau kata sifatadalah bersifat bebas; berpandangan bebas (luas dan terbuka).[16]Kata
sifat ini sesuai dengan pola berfikir jaringan ini, bahwa Indonesia adalah
bangsa majemuk/plural yang membutuhkan ruang publik, sehingga apapun yang
menyangkut urusan bersama harus dimusyawarahkan secara bebas dan demokratis.
Dalam skala internasional, gagasan
Islam liberal dapat kita lihat dalam pemikiran seperti Al-Tahtawi, Jamal Al-Din
Al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Muhammad Rashid Ridha, Ali ‘Abd
al-Raaziq. Fazlur Rahman, Muhammad Abed al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, ‘Abd
al-KariSoroush, Fatima Mernissi, Muhammad Shahrour, Mohamed Arkoun, Asgar Ali
Engineer, ‘Abdullahi Ahmad al-Na’im, Hasan Hanafi, dan Farid Essack. Mereka
semua bertemu dalam titik episentrum pemikiran yang sama yaitu menyerukan untuk
berijtihad, menghindari taklid, dan berusaha menafsirkan teks Islam secara
substansial dan kontekstual, agar ia sesuai dengan tuntutan era modern.[17]
Di Indonesia, gagasan Islam liberal
dapat kita telusuri perkemulaannya paling tidak sejak tahun 1970-an, ketika
Nurcholish Madjid menulis sebuah artikel berjudul “Keharusan Pembaharuan
Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.Dalam artikel tersebut Madjid mulai
memperkenalkan ide liberalisasi, sekularisasi, dan modernisasi Islam.[18]Karena
pemikiranpemikirannya yang sangat berpengaruh, maka para aktivis Islam Liberal
mengakui apabila dikatakan bahwa Nurcholish Madjid adalah lokomotif intelektual
bagi wacana Islam liberal di Indonesia sekarang ini.
Selain Nurcholish Madjid, gagasan
Islam Liberal di Indonesia juga dapat kita temukan pada para sarjana Muslim
seperti Harun Nasution, A. Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Djohan Effendy, Ahmad
Wahib, Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Dawam Rahardjo, untuk menyebutkan beberapa.
Dalam pemikiran keislamannya, mereka cenderung menekankan Islam yang substantif
dan inklusif.[19]
K. Lahirnya Jaringan Islam Liberal di Indonesia
Jaringan Islam Liberal(Selanjutnya
disebut JIL) adalah sebuah jaringan intelektual di Indonesia yang mempromosikan
gagasan Islam liberal. JIL didirikan oleh para aktivis Utan kayu,[20]
di Jakarta pada 8 April 2001.kelahiran
JIL diprakarsai dan difasilitasi oleh budayawan Goenawan Muhammad. Sekitar
pertengahan bulan Februari 2001, Goenawan Muhammad mengundang para tokoh muda
yang konsern dengan gerakan pembaruan – sekitar 100 orang – untuk berkumpul di
Utan Kayu, Jakarta, guna memperbincangkan isu seputar “Islam Liberal”. Diskusi
ini merupakan diskusi perdana dari serial diskusi bulanan yang akan berlangsung
lama, sampai sekarang (dalam lingkungan komunitas Teater Utan Kayu (TUK)). Dari
hasil Perbincangan diskusi ini, akhirnya terbentuklah komunitas epistemic yang
diberi nama Jaringan Islam Liberal.[21]
Pendirian JIL ditandai dengan peluncuran mailing list JIL,
dan kemudian website JIL, www.Islamlib.com.JIL bukanlah organisasi formal seperti Muhammadiyyah dan Nahdatul
Ulama.JIL hanyalah organisasi jaringan yang bersifat cair dan lepas.
Para aktivis JIL adalah dosen, sarjana, peneliti, jurnalis, dan
mahasiswa dari seluruh Indonesia, yang mempunyai peran mempertemukan berbagai
macam orang atau kelompok dilingkungannya masing-masing yang lebih kurangnya
memiliki kesamaan ide atau gagasan tentang wacana Islam Liberal di
daerah-daerah Indonesia. Jaringan nasional dimungkinkan karena adanya
perkembangan teknologi internet, sehingga mereka bisa melakukan diskusi melalui
mailing list. Dari sinilah terbentuk suatu komunikasi intensif yang
mengarah pada pertukaran ide atau gagasan seputar perkembangan debat dikursus
Islam klasik dan Islam kontemporer, baik yang sedang diperbincangkan dalam
maupun luar negeri. Melalui jaringan milis, Islam liberal berupaya mendialogkan
dan mengontektualisasikan wacana ke-Islaman dengan masalah-masalah ke-Indonesiaan
yang sedang berkembang di tanah air, di antaranya pentingnya ide sekularisme,
liberalisme dan pluralisme dalam melindungi kebebasan beragama Indonesia.
Para Intelektual muda Islam progresif yang terlibat JIL diantaranya
: Goenawan Mohamad, Ahmad Sahal, Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukanie, Hamid
Bayaib, dan Nong Darol Mahmada. Mereka boleh dikatakan tokoh-tokoh JIL generasi
pertama ketika baru didirikan.Sementara yang terlibat dalam generasi kedua
ialah Novriantoni, Abdul Moqsit Ghazali, Anick Hamin Tohari, Guntur Romli dan
Burhanuddin.Para pendiri dan pengelola JIL ini sebenarnya sudah cukup lama
mengungkapkan pemikiran atau gagasan Islam Liberal. Hal tersebut, sebagaimana
diungkapkan aktivis JIL, Hamid Bayaib kurang lebih pergerakan pemikirannya
dimulai sejak tahun akhir 80-an sampai 90-an. Menurut Luthfi Assyaukanie,
sebagai gerakan lokal, Jaringan Islam Liberal baru berusia tujuh tahun (pada
tahun 2008), tapi sebagai gerakan global, Islam Liberal dari mana istilah JIL
berasal sesungguhnya telah berusia dua abad lebih. Mengambil patokan tahun
1798, ketika istilah ini mulai dipakai oleh tokoh modern India Asaf Fyze,
istilah Islam Liberal mencapai 212 tahun.[22]
Secara teknis, istilah “Islam Liberal”
yang digunakan JIL pada awalnya dipopulerkan oleh seorang sarjana Muslim India
Asaf Ali Asghar Fyzee, di tahun 1950-an. Istilah tersebut menjadi tambah
populer di Indonesia melalui dua buku, yaitu Islamic Liberalism: a Critique of
Development Ideologies (Chicago and London: The University of Chicago Press,
1988) yang ditulis oleh Leonard Binder, dan Liberal Islam: a Source Book (New
York and Oxford: Oxford University Press, 1998) yang diedit oleh Charles
Kurzman. Disusul kemudian dengan diterbitkannya buku Greg Barton yang berjudul
Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid,
Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, 1968-1980 (Jakarta: Pustaka
Antara-Paramadina, 1999).[23]
Secara ideologis, terbentuknya JIL
dapat dilihat sebagai kristalisasi dan kelanjutan dari pemikiran dan gerakan
Islam sebelumnya, baik dalam lingkup Indonesia secara khusus maupun di dunia
secara umum.[24]
Ide liberalisme Islam sebagai ciri khas JIL misalnya, tidak bisa dilepaskan
dari gagasan dan pemikiran para sarjana muslim sebelumnya. Mengikuti para
pendahulunya, JIL berpendapat bahwa agar Islam cocok dengan tuntutan era
kontemporer, maka ia harus ditafsirkan secara substansial dan kontekstual.
Islam Kontekstual dan Islam
Nusantara, kedua wacana ini diangkat dan dipopulerkan oleh Dr. Nurcholish
Madjid pada era 1980-an. Sengaja digagas sebagai metode untuk mendinamisasikan
Hukum Syari’at Islam agar sesuai dengan realitas tradisi di Indonesia, dan oleh
Ulil Abshar Abdalla, dkk., diperkenalkan menusantarakan kembali
(mendekontruksi) ajaran Islam, serta melegalkan tradisi Nusantara agar tegak
sejajar dengan Syari’at Islam.[25]
Secara histori, JIL adalah sebuah
organisasi yang lahir dan ada dalam konteks partikular Indonesia yang dicirikan
dengan maraknya konservatisme, radikalisme dan fundamentalisme Islam pada awal
era reformasi.Kelahiran JIL juga adalah respon terhadap maraknya
kelompok-kelompok Islam yang menyuarakan penegakkan Syariat Islam, dengan
agenda konkritnya yaitu tuntutan dimasukkannya tujuh kata dalam piagam Jakarta
ke dalam konstitusi atau undang-undang. Maka tidak mengherankan apabila metode
dan penafsiran al-Qur’an JIL mengarah pada paham dan ideologi tertentu, seperti
tertera pada pembahasan selanjutnya.[26]
L.
Prinsip-prinsip
etis dan Metodis Jaringan Islam Liberal
Ada dua prinsip yang dianut JIL[27],
pertama, masalah prinsip-prinsip kerja etis para pemikir Islam Progresif;
kedua, masalah metode, yaitu bagaimana cara para pemikir Islam Progresif
memecahkan masalah-masalah sekularisme, liberalisme, dan prularisme melalui
metode yang sekarang dikenal sebagai “Metode Islam Progresif” dalam mewacanakan
pemikiran Islam. Prinsip Etis dan Metodis Islam Progresif ini telah berkembang
lewat suatu wacana liberal Islam. Berikut adalah prinsip atau nilai etis yang
dikembangkan oleh kalangan Islam Progresif sebagai prinsip etis, yaitu:
1.
Etika
Keadilan
2.
Etika
Kemaslahatan
3.
Etika
Pembebasan
4.
Etika
Kebebasan
5.
Etika
Persaudaraan
6.
Etika
Perdamaian
7.
Etika
Kasih Sayang
Metode Pemikiran Islam Liberal
adalah metode atau pemikiran yang dikembangkan oleh kalangan Islam Progresif
sebagai dasar berpikir Islam Progresif, yaitu:
1.
Tafsir
Al-Qur’an dalam Persepektif Liberal
2.
Dampak
Penafsiran Tekstual
3.
Asbab
al-Nuzul
4.
Nasik
Mansukh
5.
Makkiyah
dan Madaniyah
6.
Teori
Ta’wil
7.
Mukhkamat
dan Mutasyabihat
8.
Hermeneutika
M. Penafsiran Al-Quran dan Pola Pemikiran JIL
Agama Islam adalah agama samawi yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dilandaskan utamanya adalah Al-Quran
dan Al-Hadits. Kedua landasan utama tersebut berupa nash-nash
tafshihy(terperinci) dan mujnal(global). Nash tafshily merupakan nash yang
tidak memerlukan penjelasan lebih luas, begitu sebaliknya dengan nash mujnal
yang memerlukan perafsiran untuk memahaminya
lebih mendalam. Sepeninggal Rasulullah SAW hingga kini berkembanglah dua model
penafsiran, yaitu tekstual dan kontekstual.Pemahaman tekstual adalah pemahaman
terhadap agama yang terbatas pada nash-nash Al-Quran dan Al-Hadits
semata.Sedangkan pemahaman kontekstual ialah pengembangan pemikiran dari teks
yang ada dalam Al-Quran dan Al-Hadits baik secara terpisah maupun terpadu,
termasuk didalamnya pemahaman melalui pintu ijtihad.Pemahaman ini dilakukan
secara komprehensif dan rasional terhadap kenyataan, baik fenomena alam maupun
kemasyarakatan sebagai hasil penemuan ilmu pengetahuan.[28]Pemahaman
yang kedua inilah yang digunakan oleh para intelektual Islam liberal dalam
mengaplikasikan Al-Quran.
Sejak didirikannya, JIL telah
mencoba menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan ide-ide liberalisme Islam yang
mereka yakini, yaitu Islam yang dipahami secara liberal berdasarkan
prinsip-prinsip: (1) terbukanya pintu ijtihad dalam seluruh dimensi Islam; (2)
penafsiran yang menitik-beratkan pada aspek etikareligius, dan bukan pada makna
tekstual-literalnya; (3) percaya pada kebenaran yang relatif, terbatas, dan
temporal; (4) mengusung kebebasan menjalankan keyakinan agama; (5) pemihakan
pada kaum tertindas dan pihak minoritas; dan (6) pemisahan antara urusan agama
dan urusan dunia.[29]
Dengan membentuk jaringan ini JIL
bermaksud untuk, pertama, mengembangkan penafsiran yang liberal atas Islam
sesuai dengan prinsip-prinsip JIL dan kemudian mempromosikan dan menyebarkannya
kepada masyarakat; kedua, mendorong bagi terciptanya ruang bagi dialog yang
bebas dari segala bentuk tekanan; dan ketiga, membuat struktur sosial-politik
yang adil dan berkemanusiaan di Indonesia.[30]
Sebagai fenomena sosial, kemunculan
dan keberadaan JIL dapat dilihat sebagai produk wacana (product of discourse).[31]
Pada awal kelahirannya, JIL merupakan sebuah respon terhadap kelompok-kelompok
fundamental-radikal, tetapi karena ide-idenya yang liberal dan tidak biasa,
maka pada gilirannya JIL menjadi objek respon.Pada perkembangannya, JIL
cenderung menjadi objek kritikan.Oleh karena itulah, sebagian gagasan-gagasan
JIL adalah hasil dari atau termotivasi oleh kritikan-kritikan ini, termasuk
dalam hal ini metode tafsirnya. Gagasan metodologi tafsir JIL sesungguhnya
termotivasi oleh banyaknya kalangan yang mempertanyakan epistemologi yang
mereka gunakan dalam proses penetapan hukum (Istinbat al-Hukm).[32]
Dalam buku Metodologi Studi
al-Qur’an,[33]
JIL menawarkan sebuah metode dan pendekatan dalam memahami dan menafsirkan
al-Qur’an. Pertama, terkait cara memandang Al-Qur’an; kedua, terkait metode
bagaimana menafsirkan Al-Qur’an; dan ketiga, terkait tujuan dan hasil
penafsirannya. Dengan pengetahuan tentang ketiga hal tersebut, kita akan dapat
memahami kenapa JIL bisa sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dengan
mainstream dan cenderung menjadi kontroversi, termasuk dalam memahami konsep
Syariat Islam dan ayat-ayat Hudud.[34]
Pertama, terkait cara memandang
al-Qur’an. Menurut JIL, agar Al-Qur’an bisa dipahami dengan tepat, maka ia
harus dikaji secara historis.[35]
Oleh karena itulah maka JIL memahami teks al-Qur’an dalam konteks historisnya,
yaitu pada waktu ia diwahyukan (process of revelation), ditulis (process of
codification) dan disebarkan (process of dissemination).
Menurut JIL, wahyu seharusnya jangan
dipandang sebagai teks yang sempurna pada saat ketika ia diturunkan. Setiap
kitab suci adalah hasil proses panjang pengumpulan, pengeditan, modifikasi dan
kodifikasi dari bentukawalnya yang terserak sampai pada bentuk akhirnya seperti
yang kita ketahui sekarang ini.[36]
Terkait konsep wahyu ini, JIL juga
mengkritik konsep pewahyuan seperti yang biasa dijelaskan oleh para sarjana
klasik, yaitu sebagai proses pengkopian—di mana Al-Qur’an yang diturunkan
kepada Nabi melalui Jibril, adalah kopi dari Al-Qur’an yang komplit yang ada di
lawh Al-mahfuz. JIL menolak pendapat
ini, karena menurutnya, pemahaman tersebut akan mengarah pada keyakinan bahwa
pesan Tuhan itu diwahyukan secara literal (harfiyyah) dan, konsekuensinya, teks
(Arab) al-Qur’an seperti yang kita dapati sekarang adalah dari Tuhan. Menurut
Luthfi Assyaukanie, salah seorang tokoh JIL, konsep yang mengatakan bahwa
al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan secara literal (lafdzan) dan makna
(ma‘nan) hanyalah imajinasi teologis (al-khayal aldini) yang dibuat oleh para
sarjana Muslim sebagai bagian dari proses formalisasi doktrin-doktrin Islam.[37]
Berbeda dengan pandangan
konvensional yang melihat Nabi Muhammad sebagai agen yang pasif dalam proses
pewahyuan, bagi JIL, Nabi berperan aktif dalam mentransformasikan ide Tuhan ke dalam
bahasa manusia (bahasa Arab). Oleh karena itu, teks al-Qur’an menurut JIL,
sejatinya adalah ujaran atau tekstualisasi Nabi atas wahyu.Pendapat ini
menggiring pada pandangan bahwa teks al-Qur’an itu tidak sakral, yang sakral
itu hanya maknanya.[38]
Pandangan JIL tersebut tidaklah
mengherankan karena metode pendekatan mereka dalam memahami konsep wahyu,
kodifikasi-unifikasi, dan diseminasi al-Qur’an, adalah historis, antropologis,
dan humanis. Melalui pendekatan seperti ini, JIL ingin menunjukkan bahwa proses
pembukuan dan pembakuan al-Qur’an sebagai kitab yang suci dan sakral seperti
yang kita yakini sekarang ini adalah hasil dari proses perjalanan panjang
sejarah manusia (Muslim).[39]
Kedua, terkait metode bagaimana
menafsirkan al-Qur’an. Berdasarkan pada kajian atas hakikat dan historisitas
teks al-Qur’an, maka JIL seakan “meragukan” keabsolutan teks al-Qur’an.Oleh
karena itulah maka JIL kemudian menyarankan untuk menafsirkan al-Qur’an secara
substansial, yaitu dengan mempertimbangkan aspek ethico-legis (semangat etis)
dari al-Qur’an sebagai pusat edar penafsiran. Sambil menolak pemahaman
literal-tekstual[40] terhadap
al-Qur’an, JIL menawarkan apa yang mereka sebut dengan penafsiran di balik teks
(beyond text interpretation).
Terkait metodologi tafsirnya ini,
JIL membagi ayat-ayat al-Qur’an pada dua bagian: pertama, ayat-ayat fundamental
(usul) dan kedua, ayat-ayat cabang (fusul). Apabila yang pertama bersifat
absolut dan tidak bisa berubah, maka yang kedua, menurut JIL, bisa ditafsirkan
dan diubah sesuai dengan perkembangan sejarah manusia, atau dengan apa yang
mereka sebut dengan “akal publik” (‘aql al-mujtama‘).[41]
Lebih jauh JIL menjelaskan bahwa selain dari ayat-ayat tentang ritual seperti
shalat, puasa, dan haji, serta aturan terkait makanan dan minuman, semua
ayat-ayat hukum yang diturunkan di Madinah harus dilihat sebagai ayat-ayat
temporal-kontekstual dan terbatas pada kehidupan masyarakat Arab pada abad ke-7
Hijriah.
Ketiga,
terkait tujuan dan hasil penafsirannya. Dari metodologi dan hasil-hasil ijtihad
JIL dalam beberapa buku dan websitenya, terlihat jelas bahwa tujuan dan
kepentingan penafsiran mereka, sesuai dengan misi awal kelahirannya, adalah
ingin menampilkan Islam yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam Liberal, yaitu
kebebasan, liberalisme, sekularisme, kesetaraan jender, dan demokrasi.
Hal
ini harus dipahami, bahwa JIL adalah sebuah organisasi yang lahir dan ada dalam
konteks gerakan pembaruan di Indonesia yang dicirikan dengan maraknya konservatisme,
radikalisme dan fundamentalisme Islam pada awal era reformasi. Kelahiran JIL
juga adalah respon terhadap maraknya kelompok-kelompok Islam yang menyuarakan
penegakkan Syariat Islam, dengan agenda konkritnya yaitu tuntutan dimasukkannya
tujuh kata dalam piagam Jakarta ke dalam konstitusiatau undang-undang. Maka
tidak mengherankan apabila metode dan penafsiran al-Qur’an JIL mengarah pada
paham dan ideologi tertentu.[42]
N. Kesimpulan
Gerakan Islam
kontemporer saat ini sedang mengalami perkembangan pesat, baik gerakan yang
berideologi radikal ataupun liberal.Hal ini menjadi salah satu tantangan dalam
berkehidupan bangsa dan bernegara serta beragama. Gerakan-gerakan baru yang
berada di Indonesia dan berkembang di Indonesia yang menjadi fenomenal
ditengah-tengah masyarakat, yakni
gerakan jaringan Indonesia liberal yang menggabung kan antara agama
Islam dengan paham liberal serta sekularisme, dan juga gerakan yang mengangkat
tema khilafah ala minhaj An-nubuwah yakni Hizbut Tahrir , yang lebih dikenal dengan
sebutan HTI. Dua gerakan ini adalah gerakan baru yang dalam ideologinya sangat
bertolak belakang, antara Radikal yang diwakili oleh HTI, dan Liberal yang
diwakili oleh JIL.
Catatan:
1. Makalah ini
format tidak sesuai denggan format acuan, terlihat masih kacau dan perlu perlu
diperbaiki, sehingga bisa dibaca dengan baik.
2. Tolong dipahami
lagi mengenai cara penulisan footnote, termasuk bagaimana cara menulis footnote
yang sama.
3. Daftar pustaka
masih belum ada.
[1] Abu
Za’rur, Seputar Gerakan Islam/Ash-Shahwah al-islamiyyah bayn al-waqi’ wa
Tathla’at al-Mustaqbal, Bogor: Al-Azhar Press, 2012 M/1433 H, hlm 117.
[2]Ibid,
hlm 119.
[3]Ibid,
hlm 121.
[4]Tim Hizbut Tahrir, Manifesto Hizbut tahrir
untuk Indonesia: Indonesia Khilafah dan penyatuan kembali dunia Islam,
(Jakarta: HTI Press, 2009), hlm 71
[5]
Hizbut Tahrir, mengenal hizbut tahrir dan strategi dakwah hizbut tahrir/ hizb
at-tahrir mahaj hizbut tahrir fi taghyr, Bogor: Pustaka thariqul izzah
cet.6 2014 M/1435 H. hlm 5
[6]Ibidhlm.25.
[7]Tim Hizbut
Tahrir, Opcit hlm 69.
[8]
Hizbut Tahrir, Opcit hlm 30.
[9] Prof. DR. H. Mahmud Yunus,Kamus
Arab-Indonesia, Ciputat: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah 2010 hlm 184
[10]
Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam/Political Thought (Afkaru
siyasiyyah), Bangil: Al-Izzah, 2001 M/1422 H, hlm.11
[11]
Hizbut Tahrir, op cit hlm 31
[12] Hizbut Tahrir, op cit hlm 36-37
[13] Zainal Abidin, SKRIPSI GERAKAN POLITIK HIZBUT TAHRIR INDONESIA
(HTI) SEBAGAI ORGANISASI ISLAM EKSTRA PARLEMENTER DI INDONESIA PASCA REFORMASI,
Semarang : Institut Agama Islam Negeri
Walisongo, hlm 36.
[14]
Zainal Abidin, Opcit hlm 39.
[15]Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep
Syariat Islam dan Hudud", Journal of Qur’an and Hadith
Studies – Vol. 2, No. 1 (2013 ):63-86, Hal. 67
[16]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
[17]
Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam
dan Hudud", Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013
):63-86, Hal. 68
[18] Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep
Syariat Islam dan Hudud", Journal of Qur’an and Hadith Studies –
Vol. 2, No. 1 (2013):63-86, hal.69 dikutip dari Nurcholish Madjid,
“Islam Kemodernan dan Keindonesiaan” (Bandung: Mizan, 2008), new edition,
225-259; Lihat juga Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam
Liberal: Dialog Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003), hal.15.
[19]
Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam
dan Hudud", Journal of Qur’an and
Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013):63-86, hal.69
[20] Mereka adalah Goenawan Mohamad, Ahmad Sahal, Nong Darol Mahmada,
Ulil Abshar Abdalla, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, Taufik Adnan Amal, Saiful
Mujani dan Luthfi Assyaukanie. Lihat Ramy el-Dardiry.
[21]
Budhy Munawar , Rachman, “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme” (Jakarta:
Grasindo, 2010), hlm. 31.
[22]Budhy
Munawar , Rachman, “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme” (Jakarta:
Grasindo, 2010), hlm. 31-33.
[23]Cucu
Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan
Hudud", Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013):
63-86. Hal.70
[24]Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep
Syariat Islam dan Hudud", Journal of Qur’an and Hadith Studies –
Vol. 2, No. 1 (2013): 63-86. Hal.68 dikutip dari Muhamad Ali, “The Rise
of the Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary Indonesia” The American
Journal of Islamic Social Sciences 22:1, 4._
[25]
Alil Wafa, “Segitiga Berduri “ (Pasuruan: Sidogiri Mandiri Utama), hlm. 25
[26]
Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam
dan Hudud", Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013):
63-86, Hal.72
[27] Budhy
Munawar , Rachman, “Argumen Islam untuk Liberalisme” (Jakarta: Grasindo, 2010),
hal. 124-125 dan XV-XVI.
[28] Tim
Peneliti Puslitbang, “Paham-Paham Keagamaan Liberal pada Masyarakat
Perkotaaan”, (Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Jakarta), hal.1
[29]Budhy
Munawar , Rachman, “Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme” (Jakarta:
Grasindo, 2010), hlm. 31.
[32]
Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam
dan Hudud", Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1
(2013): 63-86, hal.69
[33]Cucu
Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan
Hudud", Journal of Qur’an and
Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 63-86., hal. 69 dalam kutipannya “Ditulis oleh tiga pemikir dan
aktivis JIL, yaitu: Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, and Ulil
Abshar-Abdalla. Lihat Metodologi Studi al-Qur’an (Jakarta: Gramedia, 2009).”
[34]
Cucu Surahman, " Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam
dan Hudud", Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1
(2013): 63-86 hal.70
[35] Cucu
Surahman, " Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan
Hudud", Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013):
63-86 hal.70 dalam kutipannya “Bagi JIL, historisitas al-Qur’an ini didasarkan
pada empat hal: pertama, Tuhan telah memilih bahasa manusia (Arab) sebagai alat
komunikasi antara Tuhan dan Muhammad; kedua, keterlibatan Nabi Muhammad sebagai
penerima dan sebagai penafsir telah sama-sama menentukan proses pengujaran dan
tekstualisasi Al-Qur’an; ketiga, prinsip graduasi (tajrid) yang digunakan oleh
Al-Qur’an dalam mengejawantahkan ajarannya; dan keempat, sejak turunnya
(tanzil), Al-Qur’an telah berdialog
dengan realitas.”
[36]Ibid.
[37]Ibid.
[38] Cucu
Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan
Hudud", Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013):
64-86 hal.70 dalam kutipannya “Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah (w.
148/767).Berdasarkan argumentasi ini, dia membolehkan menggunakan terjemah Al-Qur’an
dalam shalat. Lihat Mahmud Shaltut, al-Islam Aqidah wa Shari‘ah (Beirut: Dar
al-Fikr, 1996), 483. Secara teologis, pandangan JIL tentang hakikat al-Qur’an
ini lebih dekat ke Mu’tazilah yang meyakini bahwa al- Qur’an itu baru (hadith)
dan makhluk (makhluq), dari pada ke Ash‘ariah yang meyakini bahwa al-Qur’an itu
abadi (qadim) dan bukan makhluk (ghair makhluq). Lihat Qadi ‘Abd al-Jabbar,
Sharhfi al-Usul al-Khamsah (Cairo: Maktabah Wahbah, tt.), 525; Abu al-Hasan
al-Ash’ari, al-Ibanah ‘an Usul al-Diyanah (Kairo: Dar al-T}aba’ah Darb al-
Atrak, tt), 17-34; dan al-Shahrashtani, Kitab Nihayah al-Iqdam fi ‘Ilm al-Kalam,
268-
340.”
[39] Cucu
Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam dan
Hudud", Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013):
64-86 hal.71 dalam kutipannya “Bagi JIL, Al-Qur’an yang ada sekarang ini
bukanlah hanya merupakan campur tangan Tuhan saja, tetapi juga melibatkan Nabi,
para penafsir, dan umat secara historis.” Lihat Abd Moqsith Ghazali, et.al.,
Metodologi Studi Al-Qur’an, 3 dan 70.
[40]Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep
Syariat Islam dan Hudud", Journal
of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1 (2013): 64-86, hal.64 dalam
kutipannya “Penafsiran Tekstualis adalah penafsiran yang mendasarkan pada makna
literalteks al-Qur’an.Penafsirannya terutama didasarkan pada analisis
kebahasaan daripadaanalisis historis. Pendekatan ini dilandaskan pada keyakinan
bahwa bahasa al-Qur’anmemiliki rujukan yang konkrit dan tidak berubah, serta
makna yang cocok bagi segala
konteks zaman.
Lihat Abdullah Saeed, The Qur’an: Introduction, 220.”
[41] Abd
Moqsith Ghazali, et.al., Metodologi Studi Al-Qur’an, 164-166.
[42]
Cucu Surahman, "Tafsir Kontekstual JIL: Telaah atas Konsep Syariat Islam
dan Hudud", Journal of Qur’an and Hadith Studies – Vol. 2, No. 1
(2013): 64-86, hal.77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar