Jumat, 28 Oktober 2016

Ijtihad dan Fatwa dalam Islam (PAI E Semester III)




IJTIHAD DAN FATWA DALAM ISLAM

Muhammad Bahauddin dan Zuan Ashifana
Pendidikan Agama Islam E UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract:
Talks about ijtihad, the mufti of muslim have a different opinion. Beginning from definition of ijtihad, the terminology of ijtihad is use the logical power’s human to produce and explain islamic law. Then, the foundation of ijtihad: the first is Al-Qur’an,and the second is Al-Hadist. Ijtihad have three kinds, that is Ijtihad Al-Batani, Ijtihad Al-Qiyasi, Ijtihad al-ishtishlah. But according to Muhammad Taqiyu al-Hakim, Ijtihad have two kinds, that is Ijtihad al-aqli, and Ijtihad syari’.
According to Al-Ghazali, Ijtihad objects is every syara’ law who didn’t have dalil qathi’. Ijtihad have five laws about the law of apply ijtihad, that is fardhu ‘ain, fardhu kifayah, sunah, and haram.
According to ulama muslims, Ijtihad have five level, that is Mujtahid mustaqil, Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, Mujtahid muqayyad atau Mujtahid Takhrij, Mujtahid Tarjih, Mujtahid Fatwa.
The next is talks about fatwa. The devinition about fatwa, explain syara’ laws in something of problems as answer from something question, who knows the identity of questioner is explicit or not. The questioner individual or collektive. Fatwa is one of methodes in alquran al-karim dan As-sunnah Al-Muthahharah to explain laws of Islam, lessons, and directions.

Keywords: Ijtihad, fatwa, and syara’ or Islam law.






IJTIHAD
Pengertian Ijtihad
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata al-jahd dan al-juhd, yang berarti al-thaaqah (tenaga, kuasa, dan daya), sementara al-ijtihad dan al-tahajud berarti penumpahan segala kesempatan dan tenaga (bazl al-wus’I wa al-majhud). Sedangkan, Luwis Ma’luf menulis bahwa kata Ijtihad berasal dari kata dasar jahada yang berarti mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban. Oleh karena itu, ijtihad menurut ahli bahasa ialah usaha yang optimal dan menanggung beban berat. Dengan demikian, tidak dapat dinamakan ijtihad apabila tidak ada unsur kesulitan dalam sebuah pekerjaan. Berdasarkan peninjauan makna dari sudut bahasa ini, para ulama merumuskan pengertian ijtihad dengan konsep yang berbeda-beda.
Ulama ushuliyyin mengartikan ijtihad dengan usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual dalam mengistinbathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Atau seperti yang dirumuskan oleh Abd Al-Wahab Al-Khallaf, yaitu mencurahkan kesanggupan yang prima untuk menghasilkan hukum syar’i yang amali dan berpedoman dari dalil yang terperinci (tafshili).[1]
            Al-Amidi merumuskan ijtihad sebagai mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni, dalam batas sampai dirinya meresa tidak mampu melebihi usahanya itu. Menurut pengertian yang disampaikan oleh al-Amidi tersebut, terkandung pengertian bahwa lapangan ijtihad terbatas pada mengeluarkan hukum syar’i yang bersifat praktis dalam peringkat yang bersifat zhanni. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hasil ijtihad dari seorang mujtahid adalah relatif, tidak mutlaq benar, atau meminjam istilah ushul fiqh, diartikan sebagai sesuatu yang mendekati kebenaran dalam pandangan mujtahid.
            Di tempat lain, Al-Ghazali merumuskan pengertian ijtihad dalam arti bahasa sebagai pencurahan segala daya usaha dan penumpahan segala kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang berat atau sulit.
            Usaha dengan sungguh yang dalam bahasa Al-Qur’an, disebut dengan mujahadah yang sebenarnya merupakan perwujudan dari dari ketidakmungkinan seseorang menguasai keseluruhan paradigma secara final. Akan tetapi, orang yang menyediakan dirinya untuk berusaha sungguh-sungguh. Al-Qur’an memuat janji Allah bahwa berbagai jalan Allah, akan ditunjukkan kepada mereka yang mau bermujahadah itu, meskipun yang terjadi pada seseorang ialah pengalaman mendekati kebenaran.
            Sedangkan, Al-Syaukani memberi pengertian ijtihad adalah pencurahan kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’i yang bersifat operasional, ‘amali melalui upaya istinbath (penggalian) hukum.[2]
            Dalam pengertian yang luas, Ijtihad berarti menggunakan daya nalar manusia untuk menghasilkan dan menjelaskan hukum syari’ah. Ijtihad ini mengalami berbagai proses pikir dan kejiwaan yang berkisar dari penafsiran nash al-Qur’an serta penilaian atas keshahihan hadist. Dari sini, maka al-Qiyas atau nalar analogis merupakan suatu bentuk ijtihad. Dengan metode ini prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh al-Qur’an, al-Sunnah, dan ijma’, diperluas dan diterapkan untuk memecahkan berbagai masalah baru yang timbul dan belum dijelaskan dan diatur sebelumnya.[3]
Dasar Hukum Ijtihad
Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:
1. Firman Allah SWT.
انّا انزلنا اليك الكتاب با لحقّ لتحكم بين النّاس بما اراك الله ـ ( النساء : ۱۰۵)
“Sesungguhnya Kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu.”
Dalam ayat tersebut penetapan ijtihad berdasarkan qiyas
انّ فى ذالك لأ يا ت لقوم يتفكّرون ـ
“Sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.”
2. Adanya keterangan dari sunnah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Umar:
“Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.”
Dan hadist Mu’adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW. mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman.
“Rasulullah SAW. bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi? Ia menjawab,” Dengan apa yang ada dalam kitab Allah. Bertanya Rasulullah, “Jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah?” Dia menjawab: “Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah”. Rasul bertanya lagi, “”Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah?” Berkata Mu’adz, “Aku berijtihad dengan pendapatku.” Rasulullah bersabda, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya.”
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.[4]
Macam-macam Ijtihad
Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu:
a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
b. Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-ishtishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah ishtishlah.
     Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkap-kan oleh Muhammad Taqiyu al-Hakimdengan mengemukakan beberapa alasan, di antaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
     1. Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadharatan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.
     2. Ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan. Ishtishlah,‘urf, ishtishhab, dan lain-lain.[5]
Objek Ijtihad
Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qathi’. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban malaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT.     
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat ... ” (QS. An-Nuur: 56)
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat.
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.
Apabila ada nash yang keberadaannya masih zhanni, hadist ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah peneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebu, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain. Namun, permasalahan ini banyak diperdebatkan di kalangan para ulama.[6]
Hukum Melakukan Ijtihad
Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di atas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:
     a. Orang tersebut dihukumi fardhu ‘ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain. Karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah.
     b. Juga dihukumi fardhu ‘ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
     c. Dihumi fardhu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
     d. Dihukumi sunah apabila berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya maupun tidak.
     e. Dihukumi haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi’,sehingga hasil ijtihad-nya itu bertentangan dengan dalil syara’.[7]
Syarat-syarat Mujtahid (Orang yang Melakukan Ijtihad)
Secara umum, ulama ushul menyimpulkan persyaratan seorang mujtahid sebagai berikut:
a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun syaria’ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat.
b. Menguasai dan mengetahui hadist-hadist tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya.
c. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghapalnya.
d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’.
e. Mengetahui qiyasdan berbagai persyaratannya serta meng-istinbat-nya, karena qiyasmerupakan kaidah dalam berijtihad.
f. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan As-Sunah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dalam Al-Qur’an atau As-Hadist.
g. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut Fakhru Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam ber-ijtihad adalah ilmu Ushul Fiqih.
h. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum, karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-Syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada istihsan, maslahahmursalah, urf, dan sebagainya yang menggunakan maqashidu Asy-Syari’ahsebagai standarnya.[8]
Tingkatan Mujtahid
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaq itu sudah tidak ada lagidan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad.” Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang semuanya berbeda.
Adapun tingkatan para mujtahid, menurut para ulama, diantaranya menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima tingkatan:
     1. Mujtahid mustaqil
                   Adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut As-Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
     2. Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil
                   Adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu iamam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai mutlaq muntasib, tidak mutaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlid kepada imamnya, melainkan mengikuti jalan yang ditempuh imamnya. Di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
     3. Mujtahid muqayyad atau Mujtahid Takhrij
                   Adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Di antaranya Hasan bin Ziyad dari golongan hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki, serta Al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi’i.
     4. Mujtahid Tarjih
                   Adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’, mujtahid ini sangat faqih, hapal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya, ia tergolong masih kurang. Diantaranya, Al-Qaduri dan pengarang kitab Al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.
     5. Mujtahid Fatwa
                   Adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.
     Menururut Imam Nawawi, “Tingkatan ini adalah fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang yang ada dalam madzhab tersebut”.

FATWA

Definisi Fatwa
Fatwa menurut bahasa bearti jawaban mengenai suatu kejadian (peristiwa), yang merupakan bentukan sebagaimana dikatakan Zamakhsyari dalam al-kasysyaf dari kata (al-fatta/pemuda) dalam usianya, dan sebagai kata kiasan (metafora) atau (isti’arah).
            Sedangkan pengertian fatwa menurut syara’ ialah menerangkan hukum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya ataupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif[9].
Telah di jelaskan bahwa yang di fatwakan atau materi fatwa adalah hukum syara’ yang di peroleh melalui ijtihad. Dalam hal ini mufti sama kedudukannya dengan hakim, yaitu menyampaikan hukum kepada umat. Fatwa di sampaikan mufti dengan ucapannya setelah menerima pertanyaan dan umat. Sedangkan qadhi menyampaikan hukum melalui putusan hukum atau dalam proses persidangan setelah perkaranya di sampaikan oleh umat. Keduanya meerupakan hasil ijtihad.
            Seandainya mufti itu adalah seorang mujtahid, maka hukum yang di sampaikannya itu adalah hasil ijtihadnya sendiri. Seandainya mufti itu adalah seorang muqallid (bertaqlid), yang menurut ulama sebagaian di perbolehkan maka hukum yang di fatwakannya adalah hukum yang di hasilkan melalui ijtihad hasil temuan seorang imam yang dia ikuti pendapat (mazhab)-nya.[10]
Metode Al-qur’an dan As-Sunnah dalam menjelaskan Hukum
            Fatwa merupakan salah satu metode dalam alquran al-karim dan As-sunnah Al-Muthahharah dalam menerangkan hukum-hukum syara’, ajaran-ajarannya, dan arahan-arahannya.
            Kadang-kadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya pertanyaan atau perintah fatwa, dan cara inilah yang dominan terdapat dalam alquran baik mengenai persoalan hukum maupun nasihat dan pengajaran. Namun demikian kadang penjelasan itu dating setelah adanya pertanyaan dan permintaan fatwa terlebih dahulu.
            Sementara itu di dalam as-sunnah ada kalanya Rasulullah SAW, menerangkan suatu hukum suatu masalah secara langsung tanpa didahului pertanyaan dari seseorang. Biasanya hal seperti ini beliau lakukan untuk menghilangkan kesalahpahaman, untuk membetulkan pengertian, mengajarkan kepada yang tidak tahu, memantapkan hati seseorang yang sedang menuntut ilmu, untuk menghususkan yang umum atau memberi qayid (ketetapan) bagi yang mutlak (tidak terikat),sebagai penjelasan Nabi saw. Terhadap alkitab (alQuran), atau untuk tujuan lainnya.
            Ada kalanya juga sebagai jawaban bagi suatu pertanyaan, dan yang demikian ini banyak sekali jumlahnya. Misalnya Abu musa Al-asyari: wahai rasulullah, berilah fatwa kepada kami tentang minuman yang kami buat di Yaman yang di sebut al-biq’u, yang berasal dari madu yang dijadikan minuman keras, dan almizru yang terbuat dari jagung dan gandum hingga menjadi minuman keras. Dan Fatwa-fatwa rasulullah saw terhadap para penanya dalam sebagaian besar persoalan syariat dan berbagai persoalan hidup sangatlah luas, banyak daan beraneka ragam yang tidak menimbulkan keraguan bagi orang yang mau mengkaji sunnah beliau[11].
Kitab-kitab fatwa
            Para fuqaha muslimin dari berbagai mazhab , Negara, dan zaman telah banyak menulis kitab fatwa dalam ukuran besar, sedang , dan kecil, yang pada umumnya mereka susun berdasarkan urutan bab-bab fikih.Namun begitu, mereka belum menganggap cukup dengan adanya kitab-kitab fikih yang biasa itu, meskipun kitab-kitab fatwa tersebut memuat berbagai persoalan praktis yang di alami manusia dan yang mereka butuhkan dalam menghadapi kenyataan hidup yang mereka arungi. Karena yang mereka inginkan adalah adanya unsur pemikat dan daya tarik yang berupa Tanya jawab.
Kitab-kitab fatwa dalam mazhab hanafi antara lain kitab Fatawa Qadikhan, al-fatawa al-kubra,al-fatawa ash-suhgro (karya ash-shadr asy-Syahid), al-Bazaziyah, ath-Thuhriyyah, az-Zainiyyah, al-Hamidiyyah, dan al-fatawa al-Hindiyyah wal-Mahdiyyah.[12]
            Fatwa-fatwa dalam mazhab syafi’I terkumpul dalam kitab-kitab fatwa karya ibnush-Shalah, an-Nawawi, as-Subki, asy-Syekh Zakaria, Ibnu Hajar al-Haistami,dan lainnya.
            Kitab-kitab fatwa dalam mazhab Maliki antara lain Fatwa ibnu Rusyd, Fatawa asy-Syatibi, dan Mausu’ah karya al-Wansyarisi yang diterbitkan dalam 12 jilid.
Keluhuran Kedudukan Fatwa
            Fatwa menempati kedudukan yang strategis dan sangat penting, karena mufti atau pemberi fatwa sebagaimana dikatakan oleh Imam Asya-Syathibi merupakan pelanjut tugas Nabi saw. Sehingga ia berkedudukan sebagai khalifah dan ahli waris beliau.
            Seorang mufti menggantikan kedudukan nabi saw. Dalam menyampaikan hukum-hukum syariat, mengajar manusia, dan memberi peringatan kepada mereka agar sadar dan berhati-hati di samping menyampaikan apa yang diriwayatkan dari shahibusy-syari’ah (Nabi saw), mufti juga menggantikan kedudukan beliau dalam memutuskan hukum-hukumyang di gali dari dalil-dalil hukum melalui analisis dan ijtihadnya, sehingga jika dilihat dari sisi ini seorang mufti, sebagai mana dikatakan Imam Asy-syatibi,  juga sebagai pencetus hukum yang wajib di ikuti dan dilaksanakan keputusannya. Inilah khalifah (penggantian tugas) yang sebenarnya.
            Imam Abu abdillah Ibnu Qayyim menganggap serorang mufti sebagai menerima mandate dari Allah Ta’ala mengenai apa yang ia fatwakan.
            Para Ulama salaf r.a, telah mengetahui betapa mulia, agung, dan berpengaruhnya fatwa di dalam agama Allah dan kehidupan manusia Oleh sebab itu, mereka mengemukakan beberapa hal :
1. Takut memberi Fatwa
2. Mengingkari orang yang berfatwa tanpa berdasarkan ilmu
3. Ilmu dan pengetahuan Mufti.[13]
            Di antara kondisi mufti yang paling jelek dan membahayakn ialah hidup bergelimang dengan kitab, tetapi terlepas dari realitas. Karena itu amat bagus gagasan al-Khatib r.a. ketika menuntut seorang mufti untuk mengetahui perkara yang serius dan yang tidak, yang bermanfaat dan yang madarat bagi kehidupan.
            Imam ahmad berkata: “Tidak seyogianya seseorang menerjunkan dari untuk memberi fatwa sehingga ia memiliki lima kriteria seperti berikut ini :
1. Dilakukan dengan niat dan tekad yang benar,sebab jika ia tidak berniat seperti itu, dia tidak akan menapatkan nur (cahaya), demikian pula perkataanya.
2. penyantun, berwibawa dan tenang
3. teguh pendirian dan kuat pengetahuannya.
4. cukup ekonominya, karena jika tidak begitu akan diremehkan orang.
5. mengenal orang-orang.
            Mufti yang basir (jeli) harus mengetahui kenyataan dan tidak melalaikannya sehingga fatwanya memiliki keterkaitan dengan kehidupan manusia. Dan tidak hanya menulis teori-teori, dan tidak pula melontarkan fatwanya ke dalam ruang hampa. Memperhatikan realitas menjadikan mufti mampu mengamati kasus-kasustertentu secara jelas, meletakkan ikatan-ikatan (ketentuan) tertentu pada tempatnya, dan teringat akan ungkapan-ungkapan penting.
Korelasi Fatwa Dengan Ijtihad
          Berbicara tentang fatwa tidak akan terlepas dengan dari bahasan mengenai masalah ijtihad dengan segala perangkatnya. Sebab fatwa itu di keluarkan kepada masyarakat umum setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. Fatwa dikeluarkan oleh para Ulama/ahli fikih islam yang mampu mengangkat permasalahan keagamaan maupun nonkeagamaan seperti kedokteran, dan penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Fatwa keagamaan dalam fikih islam tentu sangat berkaitan erat dengan ijtihad yang telah di hasilkan oleh para ulama/ahli fikih islam. Fatwa merupakan kumpulan nasihat /wejangan yang berharga untuk kemaslahatan umat itu bearti sangat tepat sebagaimana termaktub dalam penghujung akhir ayat surat al-ashr, yang artinya “ Kita hendaknya saling berwasiat dalam hal kebenaran dan saling berwasiat dalam kesabaran.
            Ayat tersebut memberikan pengertian yang amat luas, betapa pentingnya fatwa dalam kehidupan masyarakat muslim sejati. Korelasi antara fatwa dengan ijtihad memberikan gambaran konkret bahwa persyaratan untuk mengeluarkan fatwa juga sama dengan persyaratan melakukan ijtihad. Sebab seorang mufti (ahli memberikan fatwa)  persyaratan juga tidak jauh berbeda dengan persyaratan seorang mujtahid. Seorang mufti harus memiliki pengetahuan yang luas dan mempunyai pola pikir yanhg integral dalam memahami dan mengupas ajaran-ajaran islam secara mendetail. Syariat islam tidak akan mengalamai perkembangan yang pesat manakala tidak di topang oleh fatwa-fatwa keagamaan yang mantap dan valid.
            Persyaratan seseorang dapat mengeluarkan fatwa apabila telah di penuhi empat syarat mutlak, yakni :
1. Orang tersebut harus mengetahui dan memahami bahasa arab dengan sempurna dari segala seginya.
2. Orang tersebut mengetahui ilmu alquran dengan sempurna dari segala seginya, yakni berkaitan dengan hukum-hukum yang di bawa oleh alquran dan mengetahui secara persis cara-cara pengambilan hukum (istinbathul hukmi) dari ayat-ayat tersebut.
3. Mengetahui As-Sunnah dengan sempurna dari segala seginya, yakni hal hal yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’.
4. Mengetahui ilmu ushul fiqih terutama yang berkaitan dengan macam-macam illat dan hikmah penetapan hukum yang di dasarkan untuk kepentingan syariat islam.[14]

REFERENSI
Koto, Alaiddin. 2006.Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Suyatno, 2011.Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh.Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Rahman. 2002.Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Syafe’i, Rachmat. 2010.Ilmu Ushul Fiqih.Bandung: CV Pustaka Setia
Qardhawi, Yusuf. 1997. FATWA antara ketelitian & kecerobohan. Jakarta: Gema Insani Press
Syarifuddin, Amir. 2008.USHUL FIQIH.Jakarta: Kencana

Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.      Abstrak hanya ditulis satu paragraf saja
3.      Belum ada pendahuluan dan kesimpulan
4.      Penulisan pembahasan makalah ini perlu diperbaiki. Seharusnya pembahasan dibuat menjadi:
Pendahuluan
Sekilas Mengenai Ijtihad
1.      Bla bla bla
2.      Bla bla bla
3.      Bla bla
Sekilas Mengenai Fatwa
1.      Bla bla
2.      Bla bla
Kolerasi antara Ijtihad dan Fatwa
Kedudukan Ijtihad dan Fatwa dalam Islam
Kesimpulan
Daftar Pustaka
4. Penulisan footnote perlu diperbaiki, pelajari cara penulisan foootnote yang baik dan benar, contoh: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 2.
5. Tolong diperbaiki lagi perujukannya. Banyak tulisan yang tidak diberikan rujukan: apakah itu gagasan Anda sendiri atau berdasarkan karya orang lain.




[1] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 127-128
[2] Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2011, hlm. 173
[3] A. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 106
[4] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 103
[5]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 104
[6] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 107

[7]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 108
[8] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 106
[9]Yusuf Qardhawi,  FATWA antara ketelitian & kecerobohan, Gema Insani Press,Jakarta,1997, hlm. 5.
[10] Amir Syarifuddin, USHUL FIQIH, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 488.
[11]Yusuf Qardhawi,  FATWA antara ketelitian & kecerobohan, Gema Insani Press,Jakarta, 1997, hlm. 5.

[12]Yusuf Qardhawi,  FATWA antara ketelitian & kecerobohan, Gema Insani Press,Jakarta, 1997, hlm. 9

[13]Yusuf Qardhawi,  FATWA antara ketelitian & kecerobohan, Gema Insani Press,Jakarta, 1997, hlm. 24

[14] DR Yusuf Qardhawi, 1997,  FATWA antara ketelitian & kecerobohan, Jakarta, GAMA INSANI PRESS, hlm. 76-77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar