Senin, 29 Oktober 2018

Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kuantitas Periwayatnya (PAI D Semester Ganjil 2018/2019)



KLASIFIKASI HADIS DARI SEGI KUANTITAS (HADIS MUTAWATTIR DAN HADIS AHAD)

Uwly Iffat Arifin Al Hasyimi (17110010)
Iwan Bekti Setiawan (17110075)

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang


Abstract
The writing of this article is about the classification of hadis in terms of quantity, which aims to provide an explanation to the reader in more detail and depth about the classification of hadis in terms of quantity. The background of the writing of this article is because of the large of Muslims who still don’t really understand and know the various kinds of hadis, one of them is the distribution in terms of quantity. The distribution of hadis in terms of quantity is reviewed by the number of narrators who narrate the hadis. While the classification of hadith in terms of quantity itself there are 2 types, namely ahad hadis and mutawattir hadis.
Keywords : Hadis, Ahad, Mutawattir
Abstrak
Penulisan artikel ini tentang klasifikasi hadis dari segi kuantitas, yang bertujuan memberikan penjelasan kepada pembaca lebih rinci dan mendalam mengenai klasifikasi hadis dari segi kuantitas. Latar belakang penulisan artikel ini adalah karena banyaknya umat Islam yang masih belum begitu memahami dan mengetahui macam-macam hadis, salah satunya pembagiannya dari segi kuantitas. Pembagian hadis dari segi kuantitas ini ditinjau dari banyaknya periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut. Sedangkan klasifikasi hadis dari segi kuantitas ini sendiri ada 2 macam yaitu, hadis ahad dan hadis mutawattir.
Kata kunci : Hadis, Ahad, Mutawattir


A.      Pendahuluan
Hadis adalah suatu perkataan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. Hadis dijadikan sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Alquran, dimana hadis ini dijadikan sebagai dasar operasional dalam agama Islam.
Hadis memiliki beberapa fungsi diantaranya seperti memperjelas suatu ayat Alquran yang bersifat mujmal, membuat hukum yang tidak tercantum di dalam Alquran, memperinci apa yang ada didalam Alquran dan masih banyak fungsi lainnya dari hadis.
Kehujjahan Hadis sudah tidak dapat diragukan lagi karena hadis bersumber dari Rasulullah dan didalam Alquran juga dijelaskan apabila umat Islam mengalami persoalan hendaknya kembalikan persoalan tersebut kepada Allah dan Rasul-NYA. Rasulullah juga bersabda “Aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang tidak akan sesat jika engkau berpegang teguh padanya, yaitu Alquran dan sunahku”.
Disisi lain, hadis juga memiliki banyak macam ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya. Dari segi kuantitas hadis dibagi menjadi 2 yaitu hadis mutawattir dan hadis ahad.
B.       Pengertian Hadis Mutawattir
Mutawattir, secara bahasa adalah isim fa’il dari kata berbahasa Arab al-tawatur yang memiliki makna al-tatabu’ (berturut-turut).[1]Dalam hal ini, mutawattir mengandung artian yang sifatnya kontinyu secara berturut-turut atau terus menerus tanpa adanya sesuatu yang menyela dan menghalangi kontinuitas itu.
            Secara istilah, Mahmud al-Thahhan memberikan definisi sebagai berikut :
ما رواه عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم علي الكذب
“Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat banyak yang menurut kebiasaan mereka mustahil bersepakat untuk berdusta”.[2]
            Definisi lebih lengkap mengenai hadis mutawattir dikemukakan oleh ‘Ajjaj al-Khatib, yaitu :
ما رواه جمع تحيل العادة  تواطؤهم علي الكذب عن مثلهم من اوّل السّند الي منتهاه علي ان لا يختل هذا الجمع في ايّ طبقة من طبقات السّند
 “Hadis yang diriwayatkan oleh beberapa rawi yang menurut kebiasaan mereka mustahil bersepakat untuk berdusta dari julah rawi yang sepadan dari awal sanad hingga sanad terakhir dengan syarat jumlah itu tidak berkurang pada tiap tingkatan sanad”.[3]
            Dalam ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh subhi al-Salih mendefinisikan bahwa hadis mutawattirr sebagai berikut :
هو الحديث الصحيح الذي يرويه جمع يحيل العقل والعادة تواطؤهم علي الكذب عن جمع مثلهم في اول السند ووسطه وآخره
“Hadis sahih yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang menurut akal sehat dan kebiasaan mereka mustahil bersepakat berdusta dari banyak periwayat di awal, tengah, dan akhir sanadnya”.[4]
            Jadi, hadis mutawattir adalah hadis yang sahih dan diriayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut akal sehat dan kebiasannya mereka mustahil bersepakat untuk berdusta pada apa yang diriwayatkannya dan jumlah periwayat tidak berkurang pada setia tingkatan sanadnya.
C.      Syarat-Syarat Hadis Mutawattir
Menurut ulama’ mutaakhirin dan ahli ushul hadis bahwa suatu hadis tersebut bisa ditetapkan sebagai hadis mutawattir bila memenuhi beberapa syarat. Syarat- syarat tersebut yaitu :
1.    Diriwayatkan oleh sejumlah perawi
Hadis mutawattir memang harus diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang memberikan keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat untuk berdusta. Mengenai jumlah dari perawi ada beberapa pendapat yaitu, ada yang menetapkan mengenai jumlah perawi dan ada pula yang tidak menetapkan jumlahnya.
Al-Qadi Al-Baqilani menetapkan bahwa perawi hadis dalam hadis mutawattir sekurang-kurangnya 5 orang. Sementara Astikhary berpendapat bahwa yang aling baik yaitu minimal 10 orang karena 10 merupakan awal bilangan banyak.[5]
2.      Berdasarkan kebiasaan perawi mustahil untuk berdusta
Perawi hendaknya yang menurut kebiasaannya itu tidak mungkin untuk berdusta. Karena jika menurut kebiasaan perawi berdusta maka bisa dikatakan hadis tersebut diragukan.
3.      Jumlah perawi yang banyakharus terjadi pada setiap lapisan sanad dari awal hingga akhir
Pada hadis mutawattir, jumlah perawi harus seimbang antara suatu thabaqah dengan thabaqah lainnya.[6] Jadi, jika suatu hadis diriwayatkan oleh 20 sahabat, kemudian diterima oleh 10 tabi’in dapat digolongkan sebagai hadis mutawattir karena jumlah perawi tidak seimbang antara thabaqah satu dengan thabaqah lainnya.
4.      Berdasarkan pada tanggapan pancaindra
Berita atau hadis yang disampaikan oleh para perawi harus berdasarkan pancaindra. Maksudnya disini adalah para perawi menyampaikan hadis tersebut benar-benar berdasarkan apa yang dilihat dan didengar sendiri.
D.      Pembagian Hadis Mutawattir
Mengenai klasifikasi hadis mutawattir dibagi menjadi 2, yaitu : hadis mutawattir lafzi dan hadis mutawattir maknawi. Sebagian ulama’ juga ada yang membagi hadis mutawattir menjadi 3, yaitu : hadis mutawattir lafzi, hadis mutawattir maknawi dan hadis mutawattir amali.
1.    Hadis Mutawattir Lafzi
Secara bahasa atau etimologi, mutawattir lafzi memiliki arti berurutan secara lafal. Sedangkan menurut istilah atau terminologi, hadis yang teks dan maknanya disampaikan secara mutawattir.[7]
Imam Suyuti berpendapat, mutawattir lafzi adalah hadis mutawattir yang lafal hadisnya sama atau hampir sama.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikan hadis mutawattir lafzi, yaitu :
ما رواه بلفظه جمع عن جمع لا يتوهّم تواطؤهم علي الكذب من اوّله الي منتهاه
“Hadis yang secara lafal diriwayatkan oleh banyak orang yang mustahis bersepakat untuk berdusta baik dari awal sanad hingga akhir sanad”.[8]
Contoh dari hadis mutawattir lafzi sebagai berikut :
حَدَّثَناَ مُحَمَدُ بْنُ عُبَيْدِ الْغُبَرِيُّ حَدَّثَناَ اَبُو عَوَانَة عَنْ أَبِي حَصِيْنِ عَنْ أبِي صَالِحِ عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ الله صَلَّي الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (روه مسلم)
حَدَّثَناَ سُوَيدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَناَ عَلِيُّ بن سَهِيْرٍ عَنْ مُطَرِّفِ عَنْ عَطِيَّة عَنْ ابي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ الله صَلَّي الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (روه ابن ماجه)
“Barang siapa yang berbuat dusta kepadaku secara sengaja, makahendaklah menempati tempat duduknya di neraka”.
            Hadis diatas diriwayatkan oleh segolongan sahabat. Menurut sebagian penghafal hadis, hadis diatas diriwayatkan dari Rasulullah oleh 60 sahabat. Menurut Ibnu Al-Shalah bahwa hadis mutawattir lafzi ini sangat jarang atau langka.[9]

2.    Hadis Mutawattir Maknawi
Hadis mutawattir maknawi adalah hadis mutawattir yang susunan redaksinya berbeda-beda antara periwayat satu dengan periwayat yang lainnya, tetapi maknanya sama.[10]
Abu Bakar As-Suyuti mendefinisikan hadis mutawattir maknawi sebagai berikut:
هو ان تنقل جماعه يستحيل عادّة تواطنهم علي الكذب وقائع مختلفة إشتركت في أمر ينواتر ذلك القدر المشترك
“Hadis yang dinukiloleh sejumlah orang yang menurut kebiasaan mereka mustahil bersepakat untuk berdusta atas kejadian yang berbeda, tetapi bertemu pada titik persamaan”.[11]
            Dengan kata lain, bahwa hadis mutawattir maknawi ini matannya bebeda secara redaksional, tetapi mempunyai kesamaan makna atau peristiwa. Dan hadis seperti ini relatif banyak dan semua sepakat mengenai kemutawattirannya.[12]
            Jadi, hadis mutawattir maknawi yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yangmenurut kebiasaan mereka mustahil bersepakat berdustayang lafalnya berbeda namun memiliki makna atau titik pemahaman yang sama.
            Contoh hadis mutawattir maknawi yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a :
اَنَّ رَسُولُ الله صَلَّي الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْئٍ مِنْ دُعَائِهِ اِلاَّ فِي الاِسْتِسْقَاءِ فَاِنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّي يُرَى بَيَاضُ اِبْطَيْهِ (رواه البخاري : 3301)
حَدَّثَنَا ابو بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَحْيَ بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولُ الله صَلَّي الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي الدُعَاءِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ اِبْطَيِهِ (رواه مسلم : 1490)
            Hadis diatas berjumlah sekitar 100 hadis yang memiliki redaksi atau lafal yang berbeda namun memiliki makna dan titik pemahaman yang sama.
3.    Hadis Mutawattir Amali
            Hadis mutawattir amali yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi, tetapi hanya berupa pengamalan saja tanpa redaksi atau lafal.
            Jenis hadis mutawattir amali ini banyak jumlahnya dan banyak kita temukan, misalnya seperti tata cara salat, haji, salat jenazah dan masih banyak lagi.
E.       Kehujjahan Hadis Mutawattir
Menurut Muhammad al-Shabbagh bahwa pengetahuan yang disampaikan pada hadis mutawattir harus bersifat dharuri yang diperoleh dari pengamatan pancaindra.[13] Hal ini dikarenakan agar berita yang akan disampaikan berdasarkan pada sesuatu atau ilmu yang pasti bukan berdasarkan prasangka dengan harapan agar dapat meyakinkan kepada orang-orang yang mendengar berita tersebut.
Menurut Mahmud al-Thahhan bahwa hadis mutawattir bersifat dharuri maksudnya adalah ilmu yang meyakinkan dan mengharuskan seseorang untuk mempercayai dan membenarkannya tanpa ada keraguan sedikitpun.[14] Dengan begitu seluruh hadis mutawattir dapat diterima atau maqbul untuk dijadikan sebagai hujjah tanpa harus mengkaji para rawinya.
F.       Pengertian Hadis Ahad
kata ahad berasal dari kata bahasa arab jamak dari kata ahadun yang berarti satu. Secara bahasa hadis ahad yaitu orang yang meriwayatkan hadis hanya satu. Sedangkan menurut ulama hadis secara istilah atau terminologi hadis ahad adalah
هو ما لا يجتمع فيه شروط التواتر
“hadis yang tidak memenuhi salah satu dari syarat hadis mutawatir”[15]
Muhammad Sa’id  Ramadhan al- Buthi berpendapat bahwa hadis ahad adalah “hadis yang sanadnya shahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya(nabi Muhammad) tetapi kandungannya memberikan penggertian dzhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin”.[16]
Berdasarkan dari dua pendapat tentang penggertian hadis ahad diatas menunjukan dua hal: pertama kuantitas perwayatannya hadis ahad kedudukannya  dibawah hadis mutawatir, yang kedua dilihat dari segi isinya bahwa hadis ahad berifat dzhanni bukan qoth’i. Sehingga bisa disimpulkan bahwa penggertian hadis ahad adalah “Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur atau mutawatir”.[17]
G.      Pembagian Hadis Ahad
Mahmud al-Tahzan berpendapat bahwa dilihat dari segi jumlah sanadnya hadis ahad dibagi menjadi tiga yaitu hadis masyhur,hadis aziz dan hadis gharib.[18]
Sedangkan menurut para ulama hadis ahad dibagi menjadi dua yaitu hadis masyhur dan ghoiru masyhur kemudian hadis ghoiru masyhur ini dibagi menjadi dua bagian lagi yaitu hadis aziz dan hadis ghorib.[19]
1.    Hadis Masyhur
Menurut bahasa kata masyhur berarti populer atau sesuatu yang telah tersebar. Sedangkan menurut istilah ialah
مَارَوَاهُ الثَّلَاثَةُ فَأَكْثَرَوَلَمْ يَصِلْ دَرَجَةَ التَّوَاتُرِ
”hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi bilangannya tidak mencapai ukuran bilangan mutawatir”.[20]
Jadi hadis ini disebut dengan hadis masyhur karena memang sudah terkenal atau populer dikalangan masyarakat. Berikut ini adalah contoh dari hadis masyhur:
قال رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏إنما الأعمال ‏ ‏بالنيات ‏ ‏وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا ‏ ‏يصيبها ‏ ‏أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Hadist tersebut diriwayatkan oleh imam buhori dan imam mslim dengan sanad seperti tabel dibawah ini :
https://ikabalarangan.files.wordpress.com/2012/04/new-picture.png?w=604&h=468
Ulama memberikan beberapa status pada hadis ini yaitu shahih,hasan dan daif.[21] Selain jumlah rawi yang meriwayatkan hadis dalam hadis masyhur juga mempertimbangkan kemasyhuran suatu hadis walaupun diriwayatkan oleh sedikit rawi maka dari itu hadis masyhur juga masih dibagi menjadi beberapa macam kriteria hadis masyhur diantaranya yaitu[22] :
a.    Masyhur dikalangan ahli hadis
b.    Masyhur dikalangan ulama hadis dan ulama lain serta orang awam
c.    Masyhur dikalangan ulama fikih
d.   Masyhur dikalangan ulama ushul fikih
e.    Masyhur dikalangan ahli sufi
f.     Masyhur dikalangan ulama Arab
2.    Hadis Ghairu Masyhur
Hadis ghairu masyhur dibagi menjadi dua oleh para ulama yaitu ‘aziz dan gharib.[23]
a.    Hadis ‘Aziz
Aziz berasal dari kata azza,yaizzu yang artinya sedikit atau jarang. Sedangkan menurut istilah adalah
أَنْ لَا يَقِلَّ رُوَاتُهُ عَنِ اثْنَيْنِ فِيْ جَمِيْعِ طَبَقَاتِ السَّنَدِ
“hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanadnya”[24]
Dari penggertian tersebut Mahmud At-Tahan dan Ibnu Hajar menjelaskan bahwa walaupun ada beberapa thobaqat yang perawinya lebih dari tiga tapi kalau ada satu thabaqhat yang hanya dua orang perawi maka itu juga termasuk hadis aziz.[25]
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتّٰى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
”Tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada orang tua, anaknya, dan manusia semuanya”.
Berikut adalah tabel sanad dari hadis tersebut:
Screenshot_1
b.    Hadis Gharib
Secara bahasa gharib berarti menyendiri atau jauh dari kerabatnya. Menurut istilah ulama hadis gharib berarti: “hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam periwayatannya”.[26]
Ada defenisi lain yang dikemukakan oleh H. Muhammad  Ahmad dan M. Mudzakir
مَا اِنْفَرَدَ بِرِوَايَتِهِ شَخْصٌ فِيْ أَيِّ مَوْضِعٍ وَقَعَ التَّفَرُّدُ بِهِ مِنَ السَّنَدِ
“Hadis yang pada sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkanya dimana saja dalam sanad itu terjadi”.[27]
Jadi dalam hadis gharib ini dalam periwayatnya hanya ada seorang perawi dalam meriwayatkan suatu hadis dan tidak ada orang lain yang ikut dalam meriwayatannya baik itu diawal ,tenggah ataupun akhir sanad. Hadis gharib sendiri masih dibagi menjadi dua macam yaitu[28] :
·      Gharib Mutlak
Gharib mutlak adalah “Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada asal sanad” Penyendirian  ini berasal dari ashlu sanna yaitu tabiin bukan sahabat karena jika sahabat meskipun dalam penyendirian itu pasti keadilanya sudah diakui oleh jumhur ulama karena para sahabat sudah menganggap keadilan sahabat tidak diragukan lagi. Tetapi jika tabiin yang kesendirian dalam periwayatanya suatu hadis ini masih bisa diragukan maka itu hadis ini disebut hadis gharib mutlak.[29] Berikut adalah contoh hadis ghorib mutlak :
اَلوَلَاءُ لَحْمَةٌ كَلَحْمَةِ النّّسّبِ لَا يُبَاعُ وَلاَ يُوْهَبُ
“kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan jalan keturunan, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”. Hadis Nabi ini diterima oleh Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar dan hanya Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkan hadis ini. Beliau adalah seorang tabiin yang hafidz Al Quran dan seorang yang dhobith.
·      Gharib Nisbi
Ghorib Nisbi adalah”Hadis yang terjadi gharib di pertenggahan sanadnya” hadis ini pada awalnya dari sahabat sangat banyak yang meriwayatkanya akan tetapi ditenggah-tenggah sanad terdapat perawi yang sendiri dalam meriwayatakan suatu hadis.[30]
Berikut adalah contoh dari hadis ghorib nisbi yang berkenaan dengan tempat tinggal atau kota tertentu :
أُمِرَ نَا أَنْ نَقْرَ أَبِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ(رواه ابو داود)
“kami diperintahkan oleh Rasul SAW agar membaca surat Al-Fatihah dan surat yang mudah dari Alquran”. ( H.R. Abu Dawud ) “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad Abu Al-Walid Al-Tayalisi, Hammam, Qatadah, Abu Nadrah, Dan said. Semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkanya dari kota lain”.
H.      Penutup
Setelah melakukan kajian diatas, hadis merupakan suatu perkataan, perbuatan dan ketetapan dari Rasulullah SAW. Sedangkan maksud dari pengklasifikasian hadis disni guna menjaring hadis yang jumlahnya sangat banyak.  Disinilah juga muncul kategori-kategori pengklasifikasian hadis dan pengkategorian ini berimplikasi pada kehujjahan suatu hadis tersebut.
Hadis dari segi kuantitas ditinjau dari banyaknya periwayat yang meriwayatkan suatu hadis. Dan hadis dari segi kuantitas dibagi menjadi 2 macam yaitu, hadis mutawattir dan hadis ahad. Hadis mutawattir disini dipecah lagi menjadi 3 macam yaitu, hadis mutawattir lafzi, maknawi dan amali. Sedangkan hadis ahad,dipecah lagi menjadi 3 macam yaitu : masyhur, ‘aziz dan gharib.


DAFTAR PUSTAKA

Idri. Studi Hadis. Jakarta : Kencana, 2010.
Sahrani, Sohari. Ulumul Hadits. Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2010.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006
Rosidin, Mukarom Faisal dan Ngatiman. Menelaah Ilmu Hadis Untuk Kelas XI Madrasah Aliyah Program Keagamaan. Surakarta : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2015.
Witono, Toton. “Klasifikasi Kuantitas Hadits (Hadits Ahad dan Mutawattir)”. 2001.

Catatan:
1.      Similarity 20%.
2.      Mengapa referensi hanya 5 saja?
3.      Penulisan yang benar adalah mutawatir, bukan mutawattir.
4.      Jika mengambil referensi jurnal, maka harus dicantumkan juga nama jurnal, volume dan nomor berapa serta halamannya.



[1]Idri, Studi Hadis (Jakarta : Kencana, 2010) hlm. 130
[2]Ibid., hlm. 131
[3]Ibid.
[4]Ibid., hlm. 132
[5]Sohari Sahrani, Ulumul Hadits (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 85
[6] Ibid., hlm. 87
[7] Mukarrom Faisal Rosidi dan Ngatiman, Menelaah Ilmu Hadis Untuk Kelas XI Madrasah Aliyah Program Keagamaan (Surakarta : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2015) hlm. 53
[8] Idri, op cit., hlm. 137
[9] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006) hlm. 90
[10]Mukarrom Faisal Rosidi dan Ngatiman,op cit., hlm. 56
[11] Sohari Sahrani, op cit., hlm. 89
[12] Toton Witono, Klasifikasi Kuantitas Hadits (Hadits Ahad dan Mutawattir), 2001.
[13] Idri, op cit., hlm. 139
[14]Ibid., hlm. 140
[15]Ibid., hlm. 141
[16]Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Sohari Sahrani, op cit., hlm. 93
[20] Ibid., hlm. 94
[21] Ibid.
[22] Ibid., hlm. 96
[23] Ibid., hlm. 97
[24] Ibid.
[25] Ibid., hlm. 98
[26] Ibid.
[27] Ibid., hlm. 99
[28] Ibid.
[29] Ibid., hlm. 100
[30] Ibid., hlm 101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar