Senin, 27 Maret 2017

Hadis dan Historisitasnya (P-IPS E Semester Genap 2016/2017)




HADIS DAN HISTORISITASNYA

Khusnul Khotimah dan Achmad Gilang R.
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas E
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

e-mail: khusnulwon@gmail.com


Abstract: Hadith is news sourced and come from the Prophet Muhammad in all forms of the words, deeds, and statutes attributed to the Prophet. There are Several terms that are synonyms of the hadith is sunnah, khabar, and atsar. Which of all of the differences between one another. The development of the Prophet's hadith classified being 7 period, so in her book hadiths based on the quality or a specific topic.
Keywords: Hadith, Prophet, Diversity, History
Pendahuluan
Islam mengenal dua sumber utama dalam perundang-undangan. Pertama Al-Qur’an dan yang kedua Al-Hadis. Hadis adalah sumber utama dalam islam selain Al-Qur’an. Seperti yang telah diketahui bahwa hadis merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, serta hal ihwalnya yang banyak melengkapi isi kandungan dariAl-Qur’an.Pentingnya hadis di dalam islam, membuat Rasulullah serta para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jalannya menaruh perhatian besar atasnya. Penulisan hadis adalah salah satu bukti perhatian Rasulullah dan para sahabat.
Hadis sangat berkaitan erat dengan Al-Qur’an. Dimana dalam Al-Qur’an berisi garis-garis besar syariat-syariat Islam, sedangkan hadis sendiri adalah mubayyin (penjelas) terhadap Al-Qur’an dan memberikan gambaran tentang apa yang belum digambarkan dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, seseorang tidak akan bisa memahami Al-Qur’an sebelum memahami dan menguasai hadis, serta begitu pula sebaliknya.
A.    PENGERTIAN HADIS
Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis’ berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hadits, jamaknya al-ahadits, al-haditsan, dan al-hudtsan. Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti diantaranya[1]اَلْجَدِيْدُ, yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat, seperti perkataan:  هُوَ حَدِيْثُ اْلعَهْدِ فِي اْلإِسْلَامِ    , artinya Dia baru masuk/memeluk Islam. Lawan kata  اَلْحَدِيْثُ adalahاَلْقَدِيْمُ Hadis juga berarti اَلْخَبَرُ , “berita”, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Disamping itu, hadis juga berarti اَلْقَرِيْبُ , “dekat” tidak lama terjadi, sedangkan lawannya adalahاَلْبَعِيْدُ  , artinya jauh.[2]
Hadis dirumuskan dalam pengertian yang berbeda-beda di antara para ulama. Perbedaan-perbedaan pandangan itu lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.
Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut:

كُلُّ مَا اُثِرَ عَنِ النَّبِيّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقيَّةٍاُوْخُلُقِيَّةٍ
Artinya :
“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW. baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.”[3]
Menurut istilah ahli ushul fiqih, pengertian hadis ialah:

كُلُّ مَا صُدِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ غَيْرُ الْقُرْاَن
Artinya:
“Hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. selain Al-Qur’an Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara.”
Tidak termasuk dalam istilah hadis adalah sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum, seperti urusan pakaian yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi, dalam cara-cara berpakaian seperti menutup aurat merupakan bagian dari hadis karena merupakan tuntutan syariat Islam. Itu sebabnya, dalam kajian fiqh, berpakaian termasuk Jibiliyah, yaitu sebagian merupakan tuntutan kebudayaan, sebagian lagi merupakan tuntutan syariat.
Adapun menurut istilah para fuqaha, hadis adalah:

كُلُّ مَا ثُبِتَ عَنِ النَّبِيِّصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ بَابِ اْلفَرْضِ وَلَا اْلوَاجِبِ
Artinya:
“Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW. yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib.”[4]
Dari sudut terminologi, para ahli hadis tidak membedakan antara hadis dan sunnah. Menurut mereka, hadis atau sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkatan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau, dan sifat ini, baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun perilaku, sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya. Sunnah pada dasarnya sama dengan hadis, namun dapat dibedakan dalam pemaknaannya, seperti yang diungkapkan oleh M.M. Azami bahwa sunnah berarti model kehidupan Nabi SAW., sedangkan hadis adalah periwayatan dari model kehidupan Nabi SAW. tersebut.[5]

B.     MACAM-MACAM HADIS
1.      Hadis Qauli
Yang dimaksud dengan hadis qauli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan ataupun ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan dengan aqidah, syariah, akhlak, atau lainnya.[6] Diantara contoh hadis qauli adalah hadis tentang kecaman Rasul kepada orang-orang yang mencoba memalsukan hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah SAW.,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ كَذَ بَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًافَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَهُ مِنَ االنَّارِ . ~ رواه مسلم ~
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW. bersabda, “barang siapa sengaja berdusta atas diriku, hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat tinggalnya di neraka.” (H.R. Muslim)[7]
Contoh lain, hadis tentang bacaan Al-Fatihah dalam shalat, yang berbunyi:
لَا صَلَا ةَ لِمَنْ لَمْيَقْرَأْ بِأُمِّ اْلكِتَابِ
Artinya :
“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca ummul Quran (Al-Fatihah).”[8]
2.      Hadis Fi’li
Hadis fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dalam hadis tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW. yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya.[9]Seperti hadis tentang shalat dan haji.
Contoh hadis fi’li tentang shalat adalah sabda Nabi SAW . yang berbunyi:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُ صَلِّىْ  ~ رواه البخارى ومسلم ~

Artinya:
“shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.R. Bukhari Muslim).[10]
3.      Hadis Taqriri
Hadis taqriri adalah hadis brupa ketetapan Nabi SAW. terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW. membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempermasalahkannya. Sikap Nabi yang demikian itu dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqririyang dapat dijadikan hujah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian syara’.
Diantara contoh hadis taqriri adalah sikap Rasul SAW. yang membiarkan para sahabat dalam menafsirkan sabdanya tentang shalat pada suatu peperangan, yaitu:
لَايُصَلِّيْنَ أَحَدٌ اْلعَصْرَ إِلَّا فِيْ بَنِيْ قُرَيْضَةِ . ~ رواه البخا ري ~
“Janganlah seorangpun shalat ashar, kecuali nanti di Bani Quraidhah”. (H.R. Al-Bukhari)
Sebagian sahabat memahami larangan itu berdasarkan pada hakikat perintah tersebut sehingga mereka terlambat dalam melaksanakan shalat Ashar. Segolongan sahabat lainnya memahami perintah tersebut untuk segera menuju Bani Quraidhah dan serius dalam peperangan dan perjalanannya sehingga dapat shalat tepat pada waktunya. Sikap para sahabat ini dibiarkan oleh Nabi SAW. tanpa ada yang disalahkan atau diingkarinya.[11]
4.      Hadis Ahwali
Yang dimaksud dengan hadis ahwali ialah hadis yang menyebutkan hal ihwal Nabi Muhammad SAW. yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya. Adapun tentang keadaan fisik Nabi Muhammad SAW., dalam beberapa hadis disebutkan bahwa beliau tidak telalu tinggi dan tidak pendek, sebagaimana dikatakan Al-Bara’i dalam sebuah hadis berikut:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًاوَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِاطَّوِيْلِ اْلبَائِنِ وَلَابِالْقَصِيْرِ. ~ رواه البخارى ~
Artinya :
“Rasulullah SAW. adalah manusia yang memiliki sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek.” (H.R. Bukhari)
Dalam hadis lain disebutkan:[12]
قاَلَ أَنَسٌ رَضِيَ اَللهُ عَنْهُ ماَ مَسَسْتُ حَرَيْرًا وَلاَ دِيْبَاجًا اَلْيَنُ مِنْ كَفِّ النَّبِيّ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَلاَشَمِمْتُ رِيْحاً قَصُّ أَوْعَرَقًا قَطُّ أَطْيَبُ مِنْ رِيْحٍ أَوْعَرَقِ النَبِيِّ لَقَدْ جَدَمْتُ رَسُوْلَ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَشْرَسِنِيْنَ فَمَا قَالَ لِى قَطُّ أُفٍّ.
Artinya :
“Berkata Anas bin Malik, “Aku belum pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna sehalus telapak tangan Rasul SAW. juga belum pernah mencium wewangian seharum Rasul SAW. Aku mengabdi kepada beliau selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata yang menyakitkan hatiku.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Mengenai sifat Rasulullah SAW. disebutkan dalam hadis dari ibnu Umar berikut:
لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَاحِشًا وَلاَ مُتَفَحِّشًا وَكَانَ يَقُوْلُ اِنَّ مِنْ خِيَا رِكُمْ أَحْسَنُكُمْ أخْلاَقًا.
Artinya:
“Rasululah SAW. bukanlah orang yang melampaui batas dan suka berkata kotor. Bahkan beliau bersabda, “sebaik-baiknya kamu adalah sebaik akhlakmu.” (H.R. Bukhari)[13]
C.    PERBEDAAN ANTARA HADIS, SUNNAH, ATSAR, DAN KHABAR
1.      Sunnah
Sunnah menurut etimologi berarti “jalan”, sedang menurut terminologi ialah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir.[14] Sunnah dalam artian ini identik dengan pengertian hadis. Menurut pendapat sebagian ulama, bahwa pengertian sunnah dengan hadis itu berbeda, hadis terbatas pada perkataan dan perbuatan Nabi SAW, sedang sunnah lebih luas.

2.      Khabar
Dibandingkan dengan sunnah, khabar lebih layak menjadi sinonim hadis.[15] Khabar menurut etimologi berarti “berita”, kebalikan dari kata “insya`” yang berarti mengarang. Menurut terminologi, mengenai arti khabar terdapat tiga pendapat, yaitu:
a.       Pengertian khabar identik dengan hadis.
b.      Khabar ialah apa-apa atau sesuatu yang datang selain dari Nabi, sedang hadis adalah sebaliknya. Sehingga terkenal dengan sebutan “Muhaddits” bagi orang-orang yang menggeluti bidang ilmu hadis, dan disebut “Ikhbari” bagi orang-orang yang menggeluti bidang sejarah dan sejenisnya.
3.      Atsar
Atsar menurut etimologi berarti “sisa-sisa perkampungan”, atau yang sejenisnya. Sedangkan menurut terminologinya ada dua pendapat, yaitu:
a.       Pengertian atsar identik dengan pengertian hadis, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Nawawi, bahwasanya para ahli hadis menyebut hadis marfu’ dan hadis mauquf dengan atsar.[16]
b.      Atsar ialah sesuatu yang datang dari sahabat (baik perkataan maupun perbuatan). Dalam hal ini atsar berarti hadis mauquf. Dan ini barangkali ditinjau dari segi bahasa yang berarti bekas atau peninggalan sesuatu, karena perkataan dan perbuatan merupakan sisa-sisa atau peninggalan-peninggalan Nabi SAW. Dan oleh karena yang berasal dari Nabi SAW disebut khabar, maka pantaslah kalau yang berasal dari sahabat disebut atsar.[17]
Dengan kata lain, semua informasi berupa perkataan atau perbuatan yang bersumber dari sahabat dan tabi’in disebut sebagai atsar.[18]
Demikian jelaslah bahwa kata sunnah, hadis, khabar, dan atsar adalah sinonim, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, atau kepada sahabat, atau kepada thabi’in, baik yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat-sifat. Sedangkan yang membedakan antara yang datang dari Rasullullah saw, atau sahabat, atau tabi’in, adalah keterangan-keterangan dalam periwayatannya.[19]
D.    SEJARAH SINGKAT HADIS NABI
Azami berpandangan bahwa proses periwayatan hadis secara tertulis dimulai sejak masa sahabat sampai pada masa pengumpulan hadis di pertengahan abad ketiga Hijriah. Artinya literatur hadis yang diwarisi dari masa ke masa tersebut adalah hasil periwayatan tertulis dari masa sahabat, sehingga secara historis bukti itu terjamin keaslian dan kualitasnya tanpa keraguan.[20]
Sejarah perkembangan hadis merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh periode, sejak periode Nabi SAW. hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.
1.      Perkembangan Hadis pada Masa Rasulullah SAW.
Periode ini disebut “Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin” (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Qur’an untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. memberi ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dkirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.
Pada masa Nabi SAW., kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadis dalam amalan sehari-hari, serta mentablighkannya kepada orang lain.
Tidak ditulisnya hadis secara resmi pada masa Nabi, bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis hadis. Dalam sejarah penulisan hadis terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadis, diantaranya:
a.    ‘Abdullah Ibn Amr Ibn ‘Ash, shahifah-nya disebut Ash-Shadiqah.
b.        Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadis tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain.
c.         Anas Ibn Malik.[21]
Di samping itu, ketika Nabi SAW. menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah Islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara, dan barat. Surat-surat tersebut merupakan koleksi hadis juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. telah dilakukan penulisan hadis di kalangan sahabat.
2.      Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin (11 H-40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat).[22]Keadaan hadis pada masa ini juga belum dibukukan, meskipun umat Islam pada waktu itu sangat memerlukan hadis-hadis Nabi di samping Quran sebagai pedoman untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang dihadapinya.[23]
Nabi SAW. wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu,Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Qur’an.[24]
3.      Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al - Riwayah ila Al-Amshar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW. diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai.[25]
Pada periode ini juga muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a.[26] setelah itu timbulah perpecahan di kalangan umat Islam karena soal khilafah/ pemerintahan/ politik.[27]Umat Islam mulai terpecah menjadi beberapa golongan: pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib’ yang kemudian dinamakan golongan Syi’ah. Kedua, golongan khawarij yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu’awiyah, dan ketiga, golongan jumhur (golongan pemerintah masa itu).
Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertangggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.
4.      Perkembangan Hadis pada Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.
Masa pembukuan resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.[28]
5.      Masa Men-tashih-kan Hadis dan Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil diantara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadis.
Keadaan ini kemudian diubah oleh Al-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis dan membuat trobosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab shahih-nya[29](yang sekarang telah diakui dan sepakati kebenarannya oleh para ahli hadis).[30]
Pada mulanya para ulama menerima hadis dari para rawi lalu menulis ke kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadis, maka para ulama pun melakukan hal-hal berikut.[31]
a.   Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b.  Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha’if yakni dengan mentashihkan hadis.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna  oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari juga menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama AL-Famius Shahih. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha tersebut diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.[32]
6.      Dari Abad IV hingga tahun 656 H
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa 'Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Fami'.
Ulama-ulama hadis yaang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghapalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bengkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari 'Mutaakhirin'. Kebanyakan hadis mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghapalnya dan juga muncul kitab-kitab shahih yang tidak terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga.[33]
Diantara usaha-usaha ulama' hadis yang terpenting dalam periode ini adalah mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab, mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab enam, mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab, mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab 'Athraf.[34]
Di samping usaha-usaha penting ulama hadis, pada periode ini juga muncul usaha-usaha istikhraj, misalnya mengambil suatu hadis dari Al-Bukhari Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad Al-Bukhari atau Muslim. Muncul pula usaha yang kedua yaitu istidrak, yakni mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau disahihkan oleh Bukhari dan Muslim.[35]
7.      Periode Ketujuh (656- Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abbasiyah ke XVII Al-Mu’tasim. Sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Fami’ wa At-Takhrij wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun enam kitab Tahrij, serta membuat kitab-kitab Fami’ yang umum. Pada periode ini juga para ulama mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu dan muncul pula ulama-ulama hadis yang menyusun kitab-kitab ‘Athraf.
KESIMPULAN
Hadis adalah berita yang bersumber dan datang dari Nabi Muhammad SAW dalam semua bentuk perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang dinisbatkan kepada Rasulullah. Telah diketahui bahwa kata sunnah, hadis, khabar, dan atsar adalah sinonim, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, atau kepada sahabat, atau kepada thabi’in, baik yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat-sifat. Perkembangan hadis Nabi diklasifikasikan menjadi 7 periode, yaitu di mulai dari perkembangan hadis pada masa Rasulullah SAW, pada masa khulafa’ Ar-Rasyidin, pada masa sahabat kecil dan tabiin, pada abad II dan III Hijriah, lalu dilanjutkan dengan Masa men-tashih-kan hadis dan penyusunan kaidah-kaidahnya, pada abad IV hingga tahun 656 H, dan yang terakhir adalah pada pertengahan abad VII sampai sekarang.
            DAFTAR PUSTAKA
  Soetari, Endang. 2005. Ilmu Hadis Kajian Riwayah & Dirayah.Bandung: CV. Mimbar Pustaka.
Mudasir. 2005. Ilmu Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulumul Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Solahudin, M. Agus dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2006. Ilmu Ushul Hadis. Yogayakarta: Pustaka Pelajar.
As-shalih, Subhi. 1997. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Sumbulah, Umi. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Putaka Pelajar.
‘Itr, Nuruddin. 2012. ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT Rosdakarya.
Isnaen, Ahmad. 2014. Historisitas Hadis Menurut M. Mustafa Azami. Journal of Qur’an and Hadith Studies. Vol. 3, No.1.

Catatan:
1.      Abstrak dwi bahasa.
2.      Pendahuluan tolong diperbaiki.
3.      Berikan letak perbedaan antara hadis, sunnah, khabar, dan atsar.



[1]Endang Soetari, Ilmu Hadis Kajian Riwayah & Dirayah(Bandung:CV. Mimbar Pustaka, 2005), hlm, 1.
[2]Mudasir, Ilmu Hadis(Bandung:Pustaka Setia, 2005), hlm, 11.
[3] Badri Khaeruman, Ulumul Al-Hadis(Bandung:Pustaka Setia, 2010), hlm, 60.
[4]Ibid., hlm. 61.
[5] M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm, 19.
[6]Mudasir, Ilmu Hadis(Bandung:Pustaka Setia, 2005), hlm, 33.
[7]M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm, 21.
[8]Mudasir, Ilmu Hadis(Bandung:Pustaka Setia, 2005), hlm, 34.
[9]M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm, 21.
[10]Mudasir, Ilmu Hadis(Bandung:Pustaka Setia, 2005), hlm, 34.
[11]M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm, 22.
[12]Mudasir, Ilmu Hadis(Bandung:Pustaka Setia, 2005), hlm, 37.
[13]Ibid., hlm. 38.
[14]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006), hlm, 45.
[15] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm, 20.
[16]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006), hlm, 46.
[17]Ibid., hlm. 47.
[18] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis(Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm, 10.
[19]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2006), hlm, 47.
[20]Ahmad Isnaeni, “Historisitas Hadis Menurut M. Mustafa Azami”. Journal of Qur’an and Hadith Studies. Vol. 3 No. 1, hlm, 125.
[21]M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm, 34.
[22]Ibid., hlm. 35
[23]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits(Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1993), hlm, 81.
[24]M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm, 35.
[25] Ibid., hlm. 36.
[26] Ibid., hlm. 38.
[27]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits(Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1993), hlm, 83.
[28] M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm, 38.
[29]M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm, 42.
[30] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm, 240.
[31]M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis(Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm, 42.
[32]Ibid., hlm. 43.
[33]Ibid., hlm. 45.
[34]Ibid., hlm. 46.
[35]Ibid., hlm. 47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar