Senin, 02 Oktober 2017

Fiqih pada Masa Kemunduran dan Kebangkitan Kembali (PAI E Semester Ganjil 2017/2018)




Adi Yusuf Salsabilah & Ibda Wahyu Setiana
PAI E Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstrac
The beginning of the science of Fiqih stopped growing occurred in the 14 H century in the dynasty abbasiyah, among the causes of this decline is a taklid among scholars and experts jurisprudence. this period of decline lasts very long. at the end of the 13 H  century the attitude of taklid began to be eliminated, and at this time Islamic law began to rise again which marked the movement of thinking renewal on the teachings of Islam.

Abstrak
Awal ilmu Fiqih berhenti tumbuh terjadi pada abad ke 14 H dalam dinasti abbasiyah, di antara penyebab kemunduran ini adalah taklid antara pakar dan ahli yurisprudensi. Periode penurunan ini berlangsung sangat lama. Pada akhir abad ke 13 H sikap taklid mulai dieliminasi, dan saat ini hukum Islam mulai bangkit lagi yang menandai perpindahan pembaharuan pemikiran ajaran Islam.

Keyword : Setbacks, factors & causes, resurrection.
 
A.    Pendahuluan
Dalam setiap kehidupan umat manusia di dunia ini segalanya memliki dasar hukum, baik hukum yang bersumber dari Allah AWT maupun sumber hukum yang dibuat oleh manusia berupa hukum adat, hukum Negara dll. Hukum ini sebagai pedoman dan tumpuan dalam melakukan dan mengambil tindakan sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan.
Ulama sependapat bahwa di dalam syariat islam telah terdapat segala hukum yang mengatur semua tindak-tanduk manusia, baik perkataan maupun perbuatan. Untuk memahami hukum islam yang telah disebutkan secara jelas tidak diperlukan ijtihad, tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya, karena memang sudah jelas dan tegas disebut oleh Allah. Adapun untuk mengetahui hukum islam dalam bentuk dalil diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk menggali hukum yang terdapat didalam nash melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam. Dan ketetapan hukum yang telah disebutkan diatas disebut fiqih. Dilihat dari bahasa, fiqih berasal dari kata faqaha yang berarti memahami dan mengerti. Dalam peristilahan syar’i, ilmu fiqih yang dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang  mendalam terhadap dali-dalilnya yang terperinci dalam Nash.[1]
Sebelum jauh membahas mengenai Hukum Islam ( fiqih ) dan ruang lingkup pembahasannya, ada baiknya kita mengetahui mengenai sejarah ilmu fiqih. Yang mana dalam sejaranya terbagi menjadi dua periode, yaitu periode masa kemunduran dan periode masa kebangkitan kembali.
Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan diulas beberapa sejarah fiqih pada masa kemunduran dan pada masa kebangkitan kembali, penulis akan mencoba untuk mengemukakan dua masa tersebut yang mana dalam bahasan ini akan diambil beberapa poin penting, yaitu : sejarah fiqih pada masa kemunduran, faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan sejarah fiqih pada masa kebangkitan kembali. Dalam hal ini, penulis akan mencoba mengungkapkan sejarah tersebut dari beberapa referensi buku sejarah Ilmu fiqih sebagai penunjang materi.

B.     Sejarah fiqih pada masa kemunduran
1.         Periode Kemunduran
Periode kemunduran ini memakan waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar Sembilan setengah abad. Periode  ini dimulai dari pertengahan abad keempat Hijriyah sampai kurang lebih akhir abad ketiga belas Hijriyah yaitu waktu pemerintahan Turki Usmani memakai kitab undang-undang yang dinamai Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah. Dalam undang-undang tersebut materi-materi  fiqh  disusun dengan sistematis dalam satu Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dan pada periode tersebut kota Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol.
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah akibat berbagai konflik dan beberapa faktor sosiologis dalam keadaan lemah. Banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaanya dan mendirikan kerajaan-kerajaan sendiri-sendiri, seperti kerajaan Bani Samani di Turkistan (874M-999M), Bani Ikhsydi di Mesir (935M-1055M) dan beberapa kerajaan kecil lainnya yang antara satu dengan lain saling berebut pengaruh dan banyak terlibat dalam situasi konflik. [2]
            Pada umumnya ulama yang berada di masa itu sudah lemah kamauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada periode kejayaan seperti disebut di atas. Situasi kenegaraan yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya, Al-Qur’an dan Hadis. Mereka merasa puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada pendapat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap inilah kemudian yang mengantarkan Dunia Islam kea lam taklid, kaum Muslimin terperangkap kea lam pikiran yang jumud dan statis. [3]
C.     Faktor Kemunduran
            Pada periode ini umat Islam mengalami kemunduran di bidang politik, pemikiran, mental, dan kemasyarakatan yang mengakibatkan pula kemunduran dalam bidang fiqh:
1.      Timbulnya Taklid
Pada era kondisi ini perjalanan fiqh Islam sangat buruk sekali. Padahal periode ini adalah fase terpanjang dalam sejarah fiqh Islam, mengalami kemunduran dan jumud. Jika di zaman generasi pertama kita bisa melihat para fuqaha’ yang sibuk menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada periode ini para ulamanya sudah beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal mereka memiliki kemampuan untuk menempuh jalan pendahulunya. Mereka tidak hanya melakukan taqlid mutlak, semangat untuk menulis buku juga menurun sehingga hasil karya ilmiah para fuqaha’ juga sangat minim, dan hanya terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab pendahulu lalu dihafal dan dikaji, jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapa penjelasan singkat. [4]
Kegiatan Ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan, pensyarahan dan perincian kitab fiqih dari imam mujtahid yang ada (terdahulu), dan tidak muncul lagi pendapat atau pemikiran baru. [5]
2.      Kemunduran di Bidang Politik
Misalnya terpecahnya dunia Islam menjadi beberapa wilayah kecil yang masing-masing keamiran hanya sibuk saling berebut kekuasaan, saling memfitnah, dan berperang sesama muslim yang mengakibatkan ketidaktentraman masyarakat muslim. Kondisi yang semacam ini pada gilirannya menyebabkan kurangnya perhatian terhadap ilmu dan pemikiran tentang fiqh. Dan pada akhir kekuasaan Abbasiyah khalifah dijadikan boneka, daerah-daerah yang dikuasainya berdiri sendiri dan saling bermusuhan
3.      Dengan dianutnya pendapat madzhab tanpa pikiran yang kritis serta dianggapnya sebagai sesuatu yang mutlak benar,
Hal ini menyebabkan orang tidak mau meneliti kembali pendapat-pendapat tersebut. Orang merasa cukup mengikuti madzab tersebut bahkan mempertahankannya dan membelanya tanpa mengembalikan kepada sumber pokok Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Hal ini diperkuat lagi oleh penerapan satu mazhab tertentu bagi suatu wilayah kekuasaan tertentu. Misalnya Pemerintahan Turki termasuk para Hakim-nya menganut dan membantu mazhab Hanafi. Kekuasaan di sebelah barat mengokohkan madzhab Maliki dan di sebelah timur madzhab al-Syafi’i.[6]
4.      Dengan banyaknya kitab-kitab fiqh
Para ulama dengan mudah bisa menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Hal ini sudah tentu bermanfaat, akan tetapi apabila membacanya tanpa kritis dan tanpa membandingkan dengan pendapat madzhab-madzhab lain serta tanpa memerhatikan kembali Al-Qur’an dan Sunnah, membawa akibat kehilangan kepercayaan terhadap potensi yang besar yang ada pada dirinya. Tidak menghargai hasil ijtihad ulama-ulama lain dan merasa pendapat sendiri yang mutlak benar dalam masalah-masalah ijtihadiyah, sudah tentu akan mengarah kepada sikap yang tertutup dengan segala akibat-akibatnya. Yang di khawatirkan setelah munculnya kitab-kitab fikih adalah disubukkanya ulama dengan kegiatan yang berkutat pada kitab fikih melalui upaya pembuatan ringkasan (al-mukhtashar), penjelasan (syarh), dan penjelasan atas penjelasan (hasyisah). Dalam kitab Muqiddimah, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa melakukan kegiatan yang berkutat pada kitab fikih adalah kegiatan yang menyulitkan karena yang belajar diaharuskan menguasai, menghafal dan menjaga seluruh (isi) dan cara-cara yang ditempuhnya. [7]
5.      Berkembangnya Tasawuf
Dengan berkembagnya tasawuf yang begitu pesat, kerja ulama fikih menjadi sangat terbatas. Bersamaan dengan itu, muncullah problema kesenjangan dalam fikih, yaitu bagaimana fikih yang difahami secara tekstual dan kaku itu menjawab berbagai peersoalan yang terus berkembang. Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan adanya jarak (kesenjangan) antara fikih secara teoretis dengan kenyataan sosial secara praktis. Pertama, kakaguman yang berlebihan dari para ulama terhadap para imam dan guru membuat mereka membatasi kerja hanya untuk membela dan menyebarkan pemikiran-pemikiran fikih para imam dengan cara kodifikasi atau pengajaran. Pola kerja seperti ini otomatis akan memunculkan fanatisme yang tinggi terhadap hasil pemikiran para imam. Kedua, munculnya gerakan kodifikasi fikih para imam. Para pengikut imam yang setia menghimpun dan menuliskan pemikiran-pemikiran fikih yang belum ditulis sebelumnya. Ketiga, penggunaan madzhab tertentu dalam pengadilan. Pada zaman sahabat, tabiin, dan para imam madzhab, pelaksanaan pengadilan tidak menggunakan ketentuan madzhab tertentu. Saat itu semua orang yang memenuhi syarat-syarat ijtihad boleh memutuskan hukum suatu kaus, bahkan kemampuan berijtihad menjadi syarat utama bagi yang hendak memangku jabatan hakim. Keadaan seperti itu menyebabkan para ulama dan fuqaha Islam sudah merasa puas dengan usaha membuat ikhtisar karya-karya ulama masa lalu.[8]
6.      Kerja Para Ulama (keterpakuan tekstual)
Para ulama pada periode ini betul-betul berada dalam keterpakuan tekstual yang sangat mencekam, mereka juga berjasa dalam menghimpun pemikiran-pemikiran fikih para imam sebagai suatu kekayaan khazanah fikih Islam. Mereka menghimpun pemikiran-pemikiran fikih, mentarjih berbagai riwayat, mencari kekuatan hukumnya, kemudian merumuskan dasar-dasar pijakan dan kaidah-kaidah ushuliyyah yang menjadi landasan ijtihad dan fatwa para imam. Jadi kerja para ulama pada periode ini adalah, (1) mentarjih berbagai pendapat para madzhab, (2) membela madzhab, (3) merumuskan dasar-dasar dan kaidah-kaidah ushul fikih (Mun’im A. Sirry, 1995: 134). [9] Sebab keterpakuan tekstual, menurut Mun’im A. Sirry terjadi karena keterbelengguan akal pikiran sebagai akibat hilangnya kebebasan berfikir. Farouk Abu Zaid berpendapat bahwa kebebasan berfikir hilang, antara lain disebabkan oleh pemaksaan penggunaan aliran atau madzhab tertentu oleh pihak penguasa, seperti Khalifah al-Makmun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq memaksakan Muktazilah kepada ulama. (Mun’im A. Sirry, 1995: 128).[10] 



7.      Dengan jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan Islam di Barat
Tahun 1213 M dan kemudian jatuhnya Baghdad sebagai pusat kebudayaan Islam di Timur tahun 1258 M, maka berhentilah denyut jantung  kebudayaan Islam baik di Barat maupun di Timur. Ditambah lagi dengan kehancuran masyarakat Islam masa itu. Ulama-ulama di bagian Timur berusaha mencoba untuk menyelamatkan masyarakat yang sudah hancur itu dengan melarang berijtihad untuk menyeragamkan kehidupan sosial bagi semua rakyat, dengan demikian diharapkan timbulnya ketertiban sosial. Rupanya usaha ini tidak hanya tergantung kepada keseragaman kehidupan sosial tetapi juga kepada hasil kekuatan dan kreativitas perorangan.
D.  Sejarah fiqih pada masa kebangkitan kembali
1.    Masa Kebangkitan
Setelah mengalami masa kemunduran, timbulah kebangkitan kembali sebagai reaksi terhadap  sikap taqlid yang membawa pada kemunduran selama beberapa abad, sehingga para pemikir islam memulai gerakan-gerakan baru sebagai usaha untuk membangkitkan islam kembali. Termasuk didalamnya hal pemikiran hukum islam. Fenomena ini merupakan suatu wujud kesadaran dari kebangkitan hukum islam.
Periode ini dimulai dari awal-awal abad kedua Hijriah hingga pertengahan abad keempat Hijriah. Dalam kemajuannya yang sangat pesat, fiqih menghasilkan hukum perundang-undangan untuk mengatur berbagai urusan sehingga umat islam merasakan ketentraman dan kedamain dari hukum-hukum tersebut. Pada periode ini muncul ulama fiqih.  Para mujtahid mendirikan madzhab fiqih yang masih bertahan hingga saat ini.[11]
Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1798 M. kejatuhan Mesir ini menginsafkan umat islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih. Banyak diantara pembaharu merupakan ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Sebenarnya, usaha kearah pembaharuan ini telah diawali oleh Ibn Taimiyah pada awal abad VII H. Tokoh yang terlahir di Harran, Syiria, 12 januari 1236 M ( 10 robiul Awwal 661 H ) dan terkenal sebagai tokoh yang sangat keras menentang ketidakbenaran dalam praktik keagamaan umat islam ini, telah meresmikan perang terhadap taklid di peralihan abad ketiga belas dan keempat belas Masehi.[12]
2.    Sebab Kebangkitan Fiqih
Kebangkitan fiqih pada masa ini disebabkan oleh beberapa sebab yang melatarbelakangi hal tersebut, adapun diantaranya[13] :
Pertama , perhatian para khalifa Abbasiyah terhadap fiqih dan fuqaha. Perhatian ini tampak pada sikap mereka mendekati para fuqaha dan merujuk pendapat-pendapat mereka. Perhatian khalifah terhadap fuqaha dan pemberian kebebasan yang cukup kepada mereka untuk mengadakan kajian ilmiah telah mendorong semangat para fuqaha dalam menghasilkan produk fiqih dan kajian ilmiah. Sehingga setiap fiqih berijtihad secara leluasa dan memunculkan hasil ijtihadnya dalam masalah-masalah fiqih.
Kedua, meluasnya Negara islam. Dinegara yang luas ini terdapat beraneka ragam tradisi yang berbeda-beda sehingga ijtihad pun menjadi berbeda-beda pula menyesuaikan perbedaan adat dan tradisi. Disisi lain, umat islam sangat antusias untuk mengetahui hukum syariat. Mereka selalu merujuk dan meminta fatwa kepada para fuqaha dan para fuqaha menjawab dan mengistinbathkan hukum-hukum permasalahan mereka.
Ketiga, lahirnya mujtahi-mujtahid besar yang memiliki kemampuan fiqih yang mendalam. Guna memenuhi kebutuhan sekaligus mengembangkan fiqih dalam kebutuhan umat islam maupun Negara, mereka memdirikan madrasah-madrasah fiqih yang melibatkan para tokoh fiqih.
Keempat, Kodifikasi  Sunnah. Sunnah telah dibukukan dan diidentifikasi antara yang shahih dan dha’if. Hal ini memudahkan fuqaha dan membantu merekatanpa perlu susah payah. Sunnah merupakan materi dan sumber kedua bagi fiqih.
Dari keempat sebab yang telah dijabarkan, dapat dideskripsikan bahwa pada zaman ini, para khalifah dan ulama sangat memperhatikan dalam bidang perkembngan ilmu khususnya ilmu hukum islam ( fiqih ). Perkembangan hukum islam ini sebagai sarana yang digunakan para khalifah dan ulama sebagai pengambilan keputusan terhadap suatu hal menurut hukum-hukum yang telah dirumuskan sebagai rujukan dan pegangan untuk menghilangkan keluhan dan kebimbangan di kalangan umat islam.
3.      Perkembangan fiqih pada masa Mujtahidin ( fiqih madzhab ) & masa Utsmani
a.      Perkembangan fiqih pada masa Mujtahidin ( fiqih madzhab )
Akhir abad pertama muncul mujtahi-mujtahid dalam furu’. Yang termasyhur antara lain[14] :
1)   Madzhab Aby Hanifah
Madzhab ini yang pertama muncul dan di kalangan madzhab sunni terkenal dengan madzhab yang sangat banyak menggunkan ra’yu. Dalam ijtihadnya selain berpegang kepada Al-Qur’an, Al-hadist, Ijma’ dan Qiyas beliau memakai dalil istihsan sebagai dalil yang khusus. Madzhab hanafi merupakan amdzhab yang banyak diikuti terutama di zaman Abbasiyah dan menjadi madzhab resmi pemerintah Utsmaniyah.
2)   Madzhab Maliki
Madzhab ini lahir di Hijaz, dengan tokoh yang menjadi imam madzhabnya bernama Malik Ibn Anas ( 95-179 H/713 – 795 M ). Madzhab ini terkenal sebagai madrasah Ahlul-Hadist. Pegangan dalam beristinbath hukum selain Al-Qur’an dan Sunnah, Ijma’ dan Qiyas juka dipakai.
3)   Madzhab Asy-Syafi’i
Tokoh yang menjadi imam madzhab ini Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’I ( 150-204 H / 767 – 819 M). madzhab ini merupakan madzhab pertengahan antara madzhab hanafi dan madzhab Maliki dalam mempergunakan qiyas dan hadist. Asy-Syafi’I dalam beristinbath hukumnya berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, kepada Ijma’ dan Qiyas, beliau menolak al-Istihsan dari hanafi dan menolak Al-Mashlahatul – Mursalah dari Maliki. Di Indonesia kita banyak menjumpai kitab-kitab fiqih Syafi’iyah dari pada fiqh madzhab lainnya.
4)   Madzhab Ahmad Ibn Hanbal
Madzhab ini sebagai madzhab terakhir diantara madzhab ahli sunni yang masih banyak pengikutnya. Tokoh yang menjadi imamnya adalah Abu Abdillah / Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241 H / 780 – 855 M ). Ahmad Ibn Hanbal adalah murid Asy-Syafi’I yang berdiri sendiri mempunyai madzhab tersendiri.

b.      Perkembangan fikih pada masa Utsmani
Pemerintah Utsmaniyah berdiri pada awal abad ke-14 di Anatoli ( Turki ) dan berlangsung kurang lebih selama empat abad. Negara Utsmani pada mulanya tidak menganut suatu madzhab tertentu, tetapi kemudian mengikuti madzhab Hanafi secara resmi untuk fatwa dan pengadilan. Dalam pengkodifikasian hukum pada masa Utsmani, terdapat beberapa kendala yang sedikit menghambat proses pengkodisikasian tersebut, yakni : Sumber tasyri’ Islami yang dikhawatirkan mereka membuat kekeliruan karena sumber ini adalah hal yang suci, kemerdekaan berijtihad yang mana dalam hal ini jika hasil ijtihad telah dikodifikasikan maka tidak lagi menerima ijtihad lain, dan kemerdekaan aqidah yang mana jika fiqih telah dikodifikasikan berarti membatasi kemerdekaan aqidah bagi lainnya.[15]
Cara yang ditempuh dalam melakukan kodifikasinya adalah bertahap sebagai berikut[16] :
1.    Menetapkan yang resmi bagi Negara
Kegagalan Abu Ja’far al-Mansur dalam menetapkan madzhab maliki dengan al-Muwaththa sebagai madzhab yang resmi, maka Sultan Salim I ( 1512-1520, sultan Utsman kesembilan ) memandang perlu menetapkan madzhab yang resmi, maka dikeluarkan ketetapan sultan ( Qararan Sultaniyyan / Firman ) yang mengumumkan bahwa madzhab Hanafi merupakan madzhab resmi Negara yang harus diikuti dalam hal “ peradilan dan fatwa “.
2.    Penyusunan satu pendapat ( madzhab )
Penyusunan suatu madzhab dengan menyusun undang-undang perdata Utsmani ( al-qanun al-madani al-Utsmani ) yang terkenal dengan Majallatul-Ahkam al-Adlliyah yang mengandung 1851 pasal yang terbagi ke dalam mukadimah dan 16 kitab. Yang mana mukadimah terdiri atas 100 pasal, yang pertama dengan definisi fiqih dan yang lainnya tentang prinsip-prinsip umum yang disebut dengan al-qawaid al-kulliyah, dan undang-undang lainnya yang diambil dari madzhab Hanafi.
3.    Membuat kompilasi dari madzhab yang berbeda-beda
Penyusunan undang-undang yang dilakukan di seluruh wilayah Utsmani dan diikuti di Mesir, Suriyah, Irak, Tunisia, dll juga mengambil dari madzhab lain apabila madzhab tersebut sesuai untuk kemaslahatan manusia selain berdasarkan madzhab Hanafi sebagai madzhab yang resmi. Misalnya dalam perundang-undangan tentang al-ahwalusy – syakhsyiyyah wakaf, waris dan wasiat yang disesuaikan dengan kebutuhan masa kini dan perubahan kondisi dan situasi. 
4.    Mengambil perundang-undangan modern
Pengambilan perundang-undangan yang sesuai dengan syari’ah islamiyah dari perundang-undangan modern seperti hukum perdata ( madani ), hukum perdagangan ( tijari ), dan hukum pidana baru ( jina’i ).
Masuknya campur tangan asing ke dalam undang-undang Utsmani
Percepatan meluasnya pengaruh kerajaan Utsmaniyah hingga ke Asia, Afrika, dan Eropa menyebabkan campur tangan asing dalam urusan peraturan perundang-undangan. Hal ini berawal dari golongan minoritas non-muslim yang menikmati peraturan perundang-undangan islami daulah islamiyah dalam masalah-masalah al-ahwal al-syahshyiyyah. Orang-orang asing mendapat hak istimewa yang telah dikeluarkan oleh Sultan Muhammad al-Fatih. Perjanjian-perjanjian tersebut disebut capitulation yang mengenai pajak dan perlindungan dari kekuasaan peerinah Utsmaniyah, bahkan dalam semua masalah perdagangan dan lain-lain, terutama perjanjian dengan Prancis tahun 1673 dan perjanjian denga Inggris tahun 1675 yang memberikan hak kepada negala lain ( asing ) untuk melindungi rakyat Negara lain. Campur tangan ini meningkat pada awal abad ke-19 ketika pemerintahan Utsmaniyah mulai lemah, khusunya pada pemerintahan Abul Aziz ( memerintah 1861-1876 M), ketika Negara jatuh ke dalam hutang luar negeri karena pemborosan dan keroyalan.[17]
Peraturan perundang-undangan kerajaan Utsmani
Pemerintah Utsmaniyah terpengaruh oleh perundang-undangan modern Eropa, antara lain dalam hal-hal berikut :
1.         Undang-undang perdagangan.
2.         Undang – undang pemerintahan.
3.         Undang – undang tentang hukum pidana.
4.         Undang-undang perdagangan laut.
5.         Undang-undang hukum acara.
Dalam periode kebangkitan kembali ilmu fiqih, terdapat beberapa tanda-tanda kemajuan yang terdapat dalam tiga bidang, diantaranya ;
1.      Di Bidang perundang-undangan
Periode ini dimulai dengan masa berlakunya Majalah al-Ahkam al-Adliyah yaitu kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam pemerintah Turki Utsmani pada tahun 1292 H atau tahun 1876 M. baik bentuk maupun isi dari kitab Undang-undang tersebut berbeda dengan bentuk dan isi kitab fiqih dari satu madzhab tertentu. Di Mesir dengan keluarnya undang-undang no. 25 tahun 1920 M., dalam sebagian pasal-pasalnya dalam hukum keluarga tidak menganut madzhab Hanafi, tetapi mengambil pendapat lain dari madzhab al-‘Arba’ah. Kemudian dalam undang-undang 1929 M. juga tentang hukum keluarga maju selangkah yaitu tidak mengambil dari madzhab al-‘Arba’ah, tetapi juga dari madzhab yang lain.[18]
Dari penjabaran diatas beserta contoh yang telah di jabarkan pula, dapat dilihat bahwa perkembangan hukum fiqih yang digunakan sebagai dasar pengambilan tindakan atas masalah umat islam yang dihadapi semakin kompleks seiring  berkembangan zaman dan perluasan wilayah, oleh karena itu masa Turki Utsmani sebagai penerus kepemimpinan umat islam melakukan legislasi besar-besaran dengan menyusun al-Ahkam al-Adliyah yang berasaskan madzhab Hanafi dengan memilih pendapat  yang paling sesuai dengan prkembangan zaman.
2.      Di Bidang Pendidikan
Di perguruan tinggi Agama di Mesir, Pakistan maupun Indonesia dalam cara mempelajari fiqih tidak hanya dipelajari satu madzhab tertentu, tetapi juga dipelajari madzhab-madzha yang lain secara muqaranah atau perbandingan, bahkan juga dipelajari sistem Hukum Adat dan sistem Hukum Romawi.[19]
Dari hal ini dapat dikatakan bahwa, pembelajaran fiqih  secara muqaranah dapat menjadi model pembelajaran dengan mempertimbangan dan melihat dari berbagai sudut pandang, sehingga pengambilan kesimpulan mengenai suatu hal diambil secara objektif dan sesuai dengan kaidah yang sudah ada sebagai penguat dan sandaran pengambilan hukum yang disesuaikan dengan kebutuhan. Sehingga terjadi perpaduan yang seimbang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman, terlebih di Indonesia.
Sekitar tahun 1966 di Indonesia diperkenalkan pula Fiqih Siyasah pada Fakultas Syariah yang banyak berorientasi kepada kemaslahatan dalam penerapan hukum, serta menekankan prinsip-prinsip hukum dan semangat ajaran dalam Fiqih Islam.[20]
Dalam mempelajari Ilmu Fiqih haruslah protektif dan lebih memperhatikan guna memperoleh ilmu dan hukum yang tepat dan terarah, yang mana dalam hal ini sesuai dengan kaidah fiqih sesungguhnya.
3.      Di Bidang penulisan buku-buku dalam Bahasa Indonesia dan penerjemahan
Seperti kita ketahui ajarn islam pada umumnya dan fiqih pada khususnya tertulis dala puluhan ribu kitab yang berbahasa Arab. Sudah tentu ilmu-ilmu tertulis dalam bahasa Arab itu hanya diketahui oleh sedikit orang yang mampu membaca dan memahami bahasa Arab.[21]
Dari hal ini, muncullah satu kegiatan penulisan hukum islam/fiqih dalam bahasa Indonesia, baik yang sudah dicetak maupun masih berupa diktat. Selain penulisan dalam bahasa Indonesia, pula terdapat kegiatan menerjemah kitab – kitab dalam bahasa Arab meskipun masih sedikit kitab yang diterjemahkan. Namun, hal ini sangat bermanfaat guna memperkenalkan dan memberikan pemahaman pemikiran-pemikiran di bidang hukum islam/fiqih yang lebih luas.












E.     Kesimpulan
Periode kemunduran Fiqih  memakan waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar Sembilan setengah abad. Periode  ini dimulai dari pertengahan abad keempat Hijriyah sampai kurang lebih akhir abad  ketiga belas Hijriyah yaitu waktu pemerintahan Turki Usmani. Keruntuhan Baghdad menjadi awal mula runtuhnya keilmuan Islam  termasuk Fiqih. Beberapa faktor yang menjadi runtuhnya Fiqih antara lain, muncul dan berkembangnya taklid di kalangan fuqaha serta yang paling menjadi penyebab utama runtuhnya keilmuan Islam adalah jatuhnya cordoba dan Baghdad ke tangan tentara Mongol.  Setelah mengalami masa kemunduran, timbulah kebangkitan kembali sebagai reaksi terhadap  sikap taqlid yang membawa pada kemunduran selama beberapa abad, sehingga para pemikir islam memulai gerakan-gerakan baru sebagai usaha untuk membangkitkan islam kembali. Kebangkitan Fiqih ditantadi dengan munculnya para imam-imam Fiqih seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Maliki dan sebagainya. Termasuk meluasnya ajaran Islam ke penjuru dunia sebagai tanda bangkitnya kembali fikih dari keterpurukan sampai pula fikih  imam  madzhab berkembang pesat di Negara Indonesia yang di tandai dengan terjemah-terjemah fikih yang berbahasa Indonesia.


Catatan:
1.      Similarity 41 %.
2.      Tolong footnote diperbaiki.
3.      Tidak usah mencantumkan fiqih pada zaman mujtahid (Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, Ahmad) sebab sudah dibahas pada pertemuan lalu. Kemajuan fiqih setelah kemunduran juga tidak ditandai dengan munculnya imam-imam madzhab tersebut. Pahami lagi materinya dengan baik.



                                                                                        










DAFTAR PUSTAKA
Rachmat Djatmika, dkk. 1986. Perkembangan Ilmu fiqh di dunia Islam. Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI
______________, dkk. 1991.  Hukum Islam di Indonesia : perkembangan dan pembentikan. Bandung : PT remaja Rosdakarya
Dzajuli. 2005.  Ilmu Fiqih.  Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Khalil, Rasyad Hasan. 2009. Tarikh Tasyri’. Jakarta : AMZAH
Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul fiqih. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Marzuki. 2013. Pengantar Studi Hukum Islam. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Mubarak, Jaih. 2000.  Sejarah dan perkembangan Hukum Islam. Bandung : PT Remaja Kosdakarya
Syarifudin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. Ciputat : PT LOGOS Wacana Ilmu
Zaidan, Abdul Karim. 2008.  Pengantar Studi Syariah.  Jakarta : Robbani Press


[1] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul fiqih, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006 ), hal 1-2
[2]Ibid, hal 20
[3] Ibid, hal 21
[4] Rasyad Hasan Khalil,  Tarikh Tasyri’, Jakarta, AMZAH, 2009, hal 126
[5] Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, Ciputat, PT LOGOS Wacana Ilmu,  1997, hal 32
[6] Dzajuli, Ilmu Fiqih, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005, hal 156
[7] Ibid, hal 156-157
[8] Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam, (Yogyakarta : Penerbit Ombak 2013),  hal 277-278
[9] Ibid, hal 278-279
[10] Jaih Mubarak, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, (Bandung : PT Remaja Kosdakarya, 2000) , hal 137
[11] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariah, ( Jakarta : Robbani Press, 2008), hal 181
[12] Alaiddin Koto,Opcit, hal 23-24
[13] Abdul Karim Zaidan, Opcit, hal 182-184
[14] Rachmat Djatmika, dkk, Perkembangan Ilmu fiqh di dunia Islam, ( Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1986 ) hal 15- 20
[15] Rachmat Djatmika, dkk, Hukum Islam di Indonesia : perkembangan dan pembentikan, ( Bandung : PT remaja Rosdakarya, 1991 ),  hal 15
[16] Ibid, hal 15-16
[17] Ibid, hal 17
[18] Djazuli, Ilmu Fiqih : penggalian, perkembangan, dan penerapan hukum islam, ( Jakarta : Kencana, 2006 ), hal 159
[19]Ibid, hal 159
[20] Ibid, hal 160
[21] Ibid, hal 160

1 komentar: